Anda di halaman 1dari 8

REAKSI SUBSTITUSI

1. Reaksi substitusi nukleofilik


Reaksi substitusi adalah reaksi pada mana berlangsung pergantian ikatan kovalen pada satu
atom karbon. Reagensia pengganti dan gugus yang meninggalkan induknya dapat berupa
nukleofil atau elektrofil (atau radikal bebas). Secara umum reaksinya dapat dinyatakan sebagai
berikut :

Substitusi nukleofilik:

NU: +

CXNuC

Substitusi elektrofilik:

CXCE+

:X

Nukleofil sinonim dengan basa lewis, yakni istilah yang lebih populer dalam ilmu kimia
Anorganik. Nukleofil mempunyai pasangan elektron bebas yang berada dalam orbital molekuler
berenergi tinggi. Sumber reaktifitas nukleofil adalah highest occupied moleculer orbital,
HOMO, yang dapat berupa pasangan elektron bebas (:) atau elektron-, termasuk sistem
aromatik.

Beberapa contoh nukleofil yang umum, misalnya :


R3C: , R3N: ,R2O: , R-X
Nukleofil boleh saja berupa spesi netral atau anion,akan tetapi sangat jarang dalam
bentuk kation. Ada spesies yang sebenarnya tidak memiliki pasangan elektron bebas, namun
segera dapat menghasilkannya. Misalnya ion BH4 dapat bertindak selaku nukleofil dengan jalan
menghasilkan ion hibrida, H: . ada jenis nukleofil yang sifatnya ambident

dalam arti memiliki dua pusat kegiatan nukleofilik. Sistem enol misalnya dapat menerima
elektrofil E baik pada atom C maupun pada atom 0.

Ligan yang akan diganti (gugus L, atau gugus yang akan meninggalkan induknya) dari
substrat jenuh dalam reaksi substitusi nukleofilik . pada umumnya adalah halogen, ligan oksigen
dan ligan nitrogen.
Reaksi substitusi nukleofilik dapat melibatkan beberapa kombinasi spesis sebagai
reaktan. Berikut ini diberikan beberapa contohnya.

1. Substrat netral + nukleofil netral

2. Substrat netral + nukleofil anionik

Kedua tipe reaksi tersebut di atas merupakan contoh- contoh yang umum. Contoh lain seperti
Substrak kationik + nukleofil netra, Substrat kationik + nukleofil anionik, substrat anionik
+nukleofil anionik dapat juga berlangsung apabila reaktan yang dipih cukup reaktif. Dalam
contoh digambarkan hubungan antara produk dengan substrat, namun tidak bicara tentang
mekanismenya.dalam memperdalam mekanisme reaksi substitusin, perlu dikaji ulang kasuskasus terbatas, yakni mekanisme ionisasi SN1 dan mekanisme pergantian langsung SN2 menurut
istilah dari Hughes dan Ingold.
a) Reaksi SN2
Reaksi metil bromida dengan larutan natriumhidroksida dalam metilalkohol berlangsung
melalui reaksi order pertama dalam ion hidroksida. Oleh karena itu, kedua spesis yang terlibat
muncul dalam keadaan transisi dari reaksi. Oleh Ingold, mekanisme seperti ini disebut substitusi
nukleofilik bimolekuler yang diberi simbol dengan SN2. Perlu diperhatikan bahwa angka 2
berarti bimolekuler dan bukan menunjukkan bahwa reaksinya orde kedua.orde reaksi adalah
kuantitas eksperimental sedang molekularitas berarti bilangan spesis yang terlibat dalam
langkah-penentu laju.

Secara eksperimental ditemukan bahwa kinetika orde kedua yang ditunjukkan oleh
berbagai reaksi substitusi menandakan bahwa substitusi tersebut adalah SN2.
Jika pusat reaksi kebetulan karbon asimetrik, maka stereokimia dari reaksi dapat diamati,
yakni bahwa reaksi berlangsung dengan inversi konfigurasi. Secara stereokimia, proses tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :

Inversi konfigurasi yang terjadi selama berlangsungnya reaksi SN2 tidaklah semaat-mata
karena tolakan elektrostatik antara gugus penyerang ion hidroksida dengan ion halida yang akan
meninggalkan karbon.

Reaktifitas dalam reaksi SN2


1) Struktur gugus alkil
Reaktifitas relatif dari metilkhlorida terhadap etilkhlorida dalam reaksi S N2 bergantung
pada keadaan nukleofil, pelarut dan kondisi reaksi. Hasil analisis dari sejumlah data yang dapat
dikumpulkan Steitwieser menyimpulkan reaktivitas relatif dari berbagai derivat alkil sebagai
berikut

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa rintangan ruang (sterik) memberi pengaruh yang lebih
menentukan dalam reaksi SN2. Pengaruh sterik paling besar berlangsung apabila alkil yang
secara langsung terikat ke atom karbon yang akan bereaksi tersubstitusi sempurna (m isalnya
pada tert-butil). Selanjutnya pada tabel dapat dilihat bahwa laju reaksi turun drastis dari metil ke
etil, namun dari etil ke n-propil (atau n-butil) penurunan laju reaksi lebih kecil. Menarik juga
untuk dicatat bahwa pengaruh sterik paling besar kedua (setelah tert-butil) dialami oleh pusat
reaksi yang langsung terikat ke karbon tersier, yakni pada gugus neopentil.
Pengaruh elektronik juga berperan dalam hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh derivat
alil dan benzil. Pada keadaan transisi reaksi SN2, karbon pusat reaksi terbentuk hibrida sp dan
kedua orbital p mengikuti gugus yang akan masuk dan yang akan keluar. Dalam senyawa alil dan
benzil, orbital p tersebut dapat juga terkonyugasi ke sistem elektron lainnya dalam molekul.
Hal ini mengakibatkan stabilitas keadaan transisi makin besar yang berrarti mempercepat laju
reaksi. Reaktivitas yang tinggi karena pengaruh elektronik juga dijumpai pada -haloketon.

Pengaruh sterik juga dijumpai pada beberapa senyawa siklik, misalnya pada reaksi sikloalkil
bromida dengan ion iodida, sebagaiman ditunjukkan pada tabel IV.A.3

Kalau diurutkan, reaktivitas sikloalkil tersebut adalah sebagai berikut:


Siklopentil>> siklobutil>> siklopropil
Karena atom karbon dalam keadaan transisi reaksi sn2 berbentuk hibrida sp sedang dalam
keadaan mula-mula berbentuk hibrida sp, maka sudut ikatan pada karbon puasat reaksi harus
diperbesar sekitar 11 (yakni dari 10928 pada keadaan mula-mula menjadi 120 pada keadaan
transisi). Sudukt ikatan pada siklopropil bromida adalah 60; berarrti 4928 lebih kecil dari
10928. Akibatnya, molekul siklopropil bromida menanggung beban atau tegangan dalam
( yang disebut :intenal strain atau I-strain) yang amat besar. Dalam keadaaan transisi, tegangan
ini lebiih gawat lagi karena sudutnya 60 lebih kecil dari persyaratan hibrida sp. Jadi, tegangan
dalam pada sikloalkil bromida menaikkan energi keadaan transisi dan energi energi keadaan
dasar. Akan tetapi kenaikan energi pada keadaan transisi lebih besar. Energi aktivasi makin besar
sehingga laju reaksi menjadi lebih lambat. Namun demikian, tipe tegangan sudut seperti
diuraikan di atas hanya berarti pada cincin yang kecil (suku-3 dan suku-4).
2) Keadaan nukleofil

Reaktivitas relatif dari berbagai nukleofil bergantung pada substrat, kondisi reaksi serta
beberapa faktor lainnya. Sekali lagi, keadaan rata-rata nukleofilitas untuk ini telah dikerjakan
oleh Streiwieser. Satu contoh disajikan dalam tabel IV.A.4.

Sepintas lalu terlihat bahwa urutan nukleofilitas dalam tabel di atas menunjukkan urutan
sifat basa dari nukleofil. Pada keadaan transisi, nuklofil mulai mengadakan ikatan dengan
karbon; makin kuat ikatan ini, energi keadaan transisi akan makin rendah yang berarti reaksinya
makin cepat.
Juga dapat disimpulkan bahwa spesis basis seperti ion fenoksida dan ion asetat adalah
kurang nukleofilik dari pada ion non-basis seperti ion iodida. Dalam hal ini, ada beberapa faktor
yang ikut berperan dalam menentukan nukleofilitas.
1. Jika gugus penyerang mengandung atom yang sama, misalnya oksigen, maka basisitas
tidak berperan. Jadi, untuk gugus yang mengandung oksigen, urutannya adalah seagai
berikut:

2. atom-atom besar lebih bersifat nukleofilik dari pada atom-atoom yang lebih kecil. Ion
tiofenoksida misalnya jauh lebih reaktif dari pada ion fenoksida meskipun ion yang
terakhir bersifat lebih basa.
Reaktivitas relatif ion-ion halogen juga mencerminkan faktor tadi, faktor besaran dari
spesis bertaliajn dengan polarizabilitas: elektron-elektron dari atom yang besar tidak begitu kuat
terikat dengan intinya sehingga lebih mudah dipisahkan. Pada keadaan transisi dalam reaksi
SN2, nukleofil masih agak jauh dari karbon. Keadaan transisi akan distabilkan jika elektron dari
atom yang mudah terpolarisasi dapat bergeser menuju karbon sehingga memungkinkan ikatan
yang efektif meskipun jaraknya masih jauh.

Atom-atom yang besar juga cenderung lebih sulit mengadakan ikatan hidrogen dengan
gugus hidroksil pelarut, oleh karena itu, sedikit saja ikatan yang harus diputuskan selama
berlangsungnya substitusi. Ini berarti bahwa nukleofilitas relatif mungkin menjadi sangat
berbeda dengan pelarut nonhidrosiklik. Ion iodida misalnya telah diamati kurang nukleofilik dari
pada ion bromida dalam aseton. Pengaruh faktor-faktor seperti basisitas, polarizabilitas dan
solvasi terhadap reaktivitas dari nukleofil tertentu merupakan bidang penelitian yang sangat
menarik dalam kimia organik fisik.
3) Keadaan gugus L ( yang meninggalkan pusat reaksi)
Karena gugus L harus meninggalkan pusat reaksi (karbon), maka diharapkan bahwa
gugus L yang baik adalah basa lemah. Basa kuat seperti ion OH tidak pernah sebagai gugus L
dalam reaksi substitusi (meskipun H2O mungkin dapat bertindak selaku gugus L apabila
hidroksil diprotonasikan oleh asam sebelum berlangsung pergantian. Beberapa reaktivitas ratarata yang telah dikomplikasikan oleh Streiwieser disajikan dalam tabel IV.A.5

Sementara itu Laju reaktif beberapa gugus L lainnya ditemukan sebagai berkut (Su,dkk,1969):

Gugus yang satu dengan yang lainnya. Yang paling menyolok adalah reaktivitas dari alkil
fluorida yang begitu kecil jika dibandingkan dengan alkil halogenida lainnya. Ini terjadi karena
ikatan C F sangat kuat. Reaktivitas alkil nitrat juga kecil. Ini menunjukan bahwa nukleofil yang
lemah tidak harus merupakan gugus < yang baik
4) Keadaan Pelarut
Karena reaksi SN2 melibatkan spesis ionik baik sebagai bahan asli maupun sebagai
produk, maka reaksi ini biasanya dilakukan dalam media yang relatif polar. Pengaruh yang eksak
dari polarisasi pelarut pada laju reaksi bergantung pada muatan bahan asal dan keadaan
transisinya. Jadi, jika dalam suatu reaksi terlibat nukleofil netral dan substrat netral, misalnya
pada reaksi metil iodida dan trimetilamin maka keadaan transisi akan lenih ionik dari pada zat
asal, konsenkuensinya adalah bahwa reaksi akan berlangsung lebih cepat dalam pelarut yang
lebih polar.

Sebaliknya, pergantian ion trimetilsulfonium oleh ion etoksida akan lebih cenderung berlangsung
apabila digunakan pelarut yang kurang polar. Hal ini terjadi karena bahan asal lebih ionik dari
pada keadaan transisi sehingga pelarut polar menurunkan energinya.

b) Reaksi SN1
Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik unimolekul atau SN1 berlangsung melalui dua
langkah. Pertama gugus yang meninggalkan atom pusat mengion dan meninggalkan karbokation
(karbokation adalah istilah yang lebih umum untuk ion karbonium) dan kemudian ion tersebut
bereaksi dengan nukleofil. Karbokation sangat tidak stabil sehingga dengan cepat bereaksi
dengan nukleofil (kecuali beberapa karbokation seperti tropilium). Oleh karena itu, pada
umumnya langkah penentu laju dalam reaksi SN1 adalah langkah pertama atau ionisasinya. Jadi,
kinetika reaksi SN1 haruslah oerder pertama, dengan kata lain, laju reaksi bergantung pada
konsentrasi substrat dan bukan pada konsentrasi nukleofil.

Sifat kinetik seperti itu sring teramati dalam reaksi substitusi nukleofilik apabila zat
antara karbokation distabilkan oleh resonansi atau induksi. Benzhidril klorida misalnya bereaksi
ddengan ion fluorida dalam larutan SO2 cair melalui mekanisme SN1 dan laju reaksi tidak
bergantung pada konsentrasi ion fluorida (dalam rentangan konsentrasi tertentu untuk
penyelidikan ini).

Reaksi di atas tidak bergantung pada konsentrasi nukleofil, juga tidak brgantung pada keadaan
nukleofil. Jadi, jika benzhidril klorida direaksikan dengan piridin atau trietilamin sebagai
pengganti ion fluorida, laju reaksinya tetap sama meskipun produknya sudah tentu akan berbeda.
Sekali lagi, kinetika reaksinya tetap oerder pertama yang bebas dari konsentrasi nukleofil.
Sebenarnya, kinetika reaksi SN1 tidaklah sesederhana perjalasan yang telah dikemukakan
di depan. Misalnya, begiru reaksi berlangsung ion klorida yang terjadi segera dapat bertindak
selaku nukleofil dan mulai bersaing dengan nukleofil mula-mula dalam memperebutkan
karbokation. Akibatnya, laju substitusi dapat berkurang karena munculnya ion klorida yang
menangkap sebagian dari zat antara (karbokation) yang reaktif dan kembali menghasilkan
senyawa mula-mula. Ini adalah pengaruh ion yang sama dan merupakan karakteristik dari reaksi
SN1.

2. Substitusi Elektrofilik Pada Karbon Jenuh


Sejumlah mekanisme yang paralel dengan reaksi substitusi nukleofilik dapat juga
dituliskan untuk pergantian elektrofil pada karbon jenuh. Pada reaksi dari tipe ini, ada satu gugus
yang keluar dari induknya sambil meninggalkan sepasang elekron bebas. Gugus < (yang
meninggalkan induk) elektrofilik dalam hal ini termasuk proton (meskipun reaksi yang
melibatkan proton biasanya dianggap sebagai proes asam basa), karbokation yang stabil dan
unsur-unsur yang sangat elektropositif, terutama logam seperti Sn, Hg, Pb dan metaloid Si, Ge,
dan B.
Ada dua tipe mekanisme yang dapat dipertimbangkan dalam substitusi elekrofilik, yaitu
substitusi elektrofilik unimolekuler (SE1) dan substitusi elektrofilik bimolekuler (SE2).
a) Mekanisme SE1
Ionisasi gugus < elektrofilik menghasilkan karbonion yang pusat reaksi bermuatan
negatifnya distabilkan oleh substitusi R. Pada pertukaran isotopik Hg :
RHgBr + Hg*Br

DMSO

R Hg*Br Hg*Br

Laju reaksinya adalah order kedua terhadap RHgBr dan tidak bergantung pada (Hg +Br2) . laju
substitusi dalam hal ini sama dengan laju resemisasi sebagaimana diharapkan dari reaksi-reaksi
yang membentuk karbokation pada langkah yang paling lambat. Oleh karena itu, mekanismenya
dapat disusun sebagai berikut:

Katalisis oleh ion Br- dapat diamati dengan bentuk kinetik sebagai berikut :

kobs = k1 + kc (Br-)2
persamaan diatas menunjukkan adanya dua ion Br - yang membentuk HgBr3 sehingga
dapat lebih mudah bereaksi. Mekanisme yang mirip dapat berlangsung pada pemutusan
ikatan

piridiniummetil merkuri dibawah ini, pada mana ikatan C-Hg berdisosiasi, dibantu oleh
katalisis nukleofilik Cl- serta proses netralisis muatan.
b) Mekanisme SE2
Halogenesis dari sejumlah senyawa organometalik menunjukkan bahwa reaksinya
berlangsung bimolekuler. Reaksi pemutusan alkil.
R HgBr + Br2
R Br + HgBr2
Merkuri halida misalkan merupakan merkuri halida misalnya merupakan reaksi yang
stereokimianya dapat diselidiki dengan menggunakan ligan siklik atau khiral alkil R
(lihat tabel berikut )

DAFTAR PUSTAKA
Tobing, Rangke L. 1989. Kimia Organik Fisik. Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan

Anda mungkin juga menyukai