Anda di halaman 1dari 6

ARTIKEL ILMIAH

Warisan Kain Tenun Lurik Khas Klaten

NAMA :

Dimas Panji D.B.

NIM

14312561

Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi


Universitas Islam Indonesia
2016
Warisan Kain Tenun Lurik Khas Klaten
Kebudayaan Indonesia merupakan suatu hal
yang perlu dilestarikan karena terdapat nilainilai budaya yang kental. Budaya Indonesia
sangatlah kental dengan beraneka ragam
pakaian dari berbagai daerah, dan batik adalah
salah satu ciri khas pakaian Orang Indonesia.
Hampir

diseluruh

wilayah

di

Indonesia

memiliki kain batik sendiri-sendiri baik batik


tulis maupun tenun.
Dalam hal ini Klaten juga memiliki ciri khas
budaya yang melekat di kota ini, salah satunya adalah tenun lurik pedan yang dibuat dengan alat
tradisional. Berbagai penemuan sejarah memperlihatkan bahwa kain tenun lurik telah ada di
Jawa sejak zaman pra sejarah. Ini dapat dilihat dari berbagai prasasti yang masih tersisa,
misalnya Prasasti peninggalan zaman Kerajaan Mataram (851 882 M) menunjuk adanya kain
lurik pakan malang. Prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur tahun 1033 menyebutkan kain tuluh
watu, salah satu nama kain lurik. Demikian juga pemakaian selendang pada arca terracotta asal
Trowulan di Jawa Timur dari abad ke 15 M (museum Sonobudaya, Yogyakarta) juga
memperlihatkan pemakaian lurik pada masa itu. Yang lebih memperkuat pendapat bahwa tenun
telah dikenal lama di Pulau Jawa adalah pemakaian kain tenun pada arca-arca dan relief candi
yang tersebar di Pulau Jawa. berapa sumber terkait dengan sejarah lurik ini dan salah satunya ada
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997), di sana tertulis bahwa lurik diperkirakan berasal
dari daerah pedesaan di Jawa, namun selanjutnya berkembang, bukan hanya menjadi milik
rakyat, tetapi juga digunakan di lingkungan keraton.

Kain lurik dengan motif garis-garis vertikal memanjang merupakan salah satu nama besar
yang lahir dari salah satu kecamatan di sudut Kabupaten Klaten yang bernama Pedan. Di kota
Klaten ini tidak hanya Pedan produksi kain lurik tetapi Bayat,Delanggu,Cawas juga
memproduksi kain tersebut. Dulu menurut cerita, lurik menjadi salah satu primadona. Industri
Lurik Pedan tahun 1950-an pernah sangat berjaya kala itu, Pedan pernah menjadi pusat produksi
lurik Jawa Tengah.

Dengan dukungan koperasi di tiap kecamatan, pengusaha lurik Klaten mencapai 500 orang
dengan 70.000 buruh. Proses dalam pembuatan kain lurik zaman dahulu dengan sekarang sudah
berbeda. Dahulu kain lurik ditenun dengan menggunakan benang katun yang dipintal dengan
menggunakan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut dengan
Gedog. Tetapi, saat ini proses produksi kain lurik sudah menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan
Mesin) yang lebih modern dan dapat menghasilkan kain yang lebih banyak. proses dari
pemintalannya pun juga sudah modern yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti yang membuat
kain disebut dengan kain lurik penggunaan benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang
khas pada kain ini. Sehingga apabila kain bermotif lurik ini dipintal dengan benang polyester
tidak dapat disebut sebagai kain lurik. Karena teksturnya yang berbeda dengan kain lurik yang
terbuat dari bahan katun. Dimana kain tenun lurik yang juga merupakan kebudayaan dari
masyarakat Indonesia yang masih ada di zaman modern ini walaupun dalam proses
pembuatannya masih menggunakan alat tradisional. Meskipun sudah banyak alat mesin tenun
yang lebih modern disaat ini, tetapi pembuatan kain tenun lurik Pedan masih menggunakan alat
tenun tradisional yaitu dengan alat tenun kayu manual. Dengan menggunakan alat tenun
tradisional diyakini hasil lebih bagus dibanding dengan menggunakan alat mesin yang modern.

Harga yang ditawarkan dari kain lurik juga bermacam-macam ada yang Rp. 30.000,00 per meter
tergantung jenisnya. Selain mendapat hasil yang lebih bagus para pengusaha kain lurik tersebut
juga ingin menjaga warisan budaya Indonesia agar para penerus generasi bangsa bisa menikmati
warisan dari nenek moyang. Sehingga untuk menjaga kelestarian kain lurik tersebut, maka
Pemkab Klaten mengeluarkan kebijakan Program Lurikisasi agar para PNS mengenakan kain
lurik Pedan setiap hari Kamis. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemkab Klaten tersebut tidak
hanya mengangkat nama lurik tetapi juga potensi ekonomi lokal. Industri lurik makin terpuruk
pada Orde Baru ketika pabrik tekstil dan konglomerasi bermunculan yang menyebabkan kainkain dengan warna memikat dan murah masuk ke pasaran sehingga banyak pengusaha lurik
gulung tikar. Banyak juga pengusaha yang berpindah menjadi pengusaha kuliner,garmen,dll. Hal
itu jelas membuat produksi kain lurik turun drastis di Klaten. Pengusaha berfikir bahwa jika tetap
memproduksi tetap akan kalah dengan harga dan desain warna yang tiap waktu berkembang.
Belum juga untuk membayar upah karyawan jika penjualan menurun maka dapat mengakibatkan
kerugian. Hal tersebut mengakibatkan perkembangan lurik tidak begitu pesat dan popular seperti
dulu. perkumpulan Cita Tenun Indonesia (CTI), mengidentifikasi beberapa kendala terkait
perkembangan lurik. Kesejahteraan perajin tergolong rendah, tidak ada regenerasi, dan perajin
bergantung pada bahan baku benang serta pewarna impor. Solusi untuk permasalahan
perkembangan lurik bisa diatasi dengan Kesejahteraan perajin didongkrak dengan imbauan
pemakaian lurik hasil produksi perajin. Demi regenerasi, pemerintah harus memasukkan
pendidikan lurik ke dalam muatan lokal. Pemerintah juga harus mempermudah akses,
ketersediaan bahan baku , dan pemasaran.
Lurik tak ubahnya artefak yang merekam semangat dan selera zaman, yang memang
tumbuh dari kalangan jelata. Seperti yang dikatakan Kepala Institut Javanologi, Universitas
Sebelas Maret, Sahid Teguh Widodo, lurik merupakan bagian dari kekuatan masyarakat agraris.
Oleh karena itu, karakter kesederhanaan melekat erat dalam identitas lurik. Dibandingkan
dengan tenun Indonesia lainnya pun, lurik merupakan jenis tenun yang proses pembuatannya
paling sederhana karena coraknya hanya terdiri dari garis. Memang kain lurik saat ini masih jauh
dari populer dibanding kain batik walaupun yang sama-sama berada di tanah Jawa. Kain lurik
pun masih belum menjadi primadona dikalangan para masyarakat. Padahal dalam pembuatan
kain lurik perlu ketrampilan khusus yang membutuhkan kejelian agar menghasilkan perpaduan

warna yang indah. Di era modern ini kehadiran teknologi yang maju dan kapitalisasi
menyebabkan tergilasnya pamor kain lurik, sehingga perkembangan kain lurik semakin merosot.
Untuk perkembangan kain lurik tersebut harus ada perlindungan dan campur tangan pemerintah
demi pelestarian kain tradisional ini. Sehingga ada strategi komplementer yang dapat diterapkan
agar pengusaha kain lurik tidak tergilas oleh pabrik tekstil. Selain itu perlunya pengusaha kain
lurik yang kreativitas untuk menciptakan desain warna yang memikat. Inilah saatnya untuk
bergerak melestarikan dan tidak malu memakai kain lurik tersebut karena Kain lurik merupakan
kain tradisional yang mewarnai perjalanan peradaban bangsa ini.

Daftar Pustaka
Asdhiana, I. M. (2014, Februari 25). Lurik Menerobos Zaman. Retrieved September
16, 2016, from
http://travel.kompas.com/read/2014/02/25/0848409/Lurik.Menerobos.Zaman
Firmansyah, S. A. (2012, Desember 10). Tenun Lurik ATBM Khas Klaten. Retrieved
September 15, 2016, from http://www.virmansyah.info/2012/12/tenun-lurik-atbmkhas-klaten.html
Haryati, S. G. (2012, Desember 25). Keberadaan Lurik yang Perlu Dijaga. Retrieved
September 16, 2016, from http://www.kompasiana.com/sarohganik/keberadaanlurik-yang-perlu-dijaga_551b4b07813311150b9de4e2
Joemena, N. S. (2000). Lurik, Garis-garis Bertuah. PT. Ikrar Mandiri Abadi.
Triyanto. (2016, Februari 24). Belajar Membuat Kain Lurik di Sentra Kerajinan Kain
Lurik Pedan, Klaten. Retrieved September 15, 2016, from
https://pariwisataklaten.com/belajar-membuat-kain-lurik-di-sentra-kerajinan-kainlurik-pedan-klaten/

Anda mungkin juga menyukai