UPAYA PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN KAIN LURIK SEBAGAI
WARISAN BUDAYA BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal menurut UU No. 32 Tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur
yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari. Sedyawati (2006:382) menjabarkan kearifan lokal adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Nilai-nilai dan warisan budaya yang dihasilkan lebih ditekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut. Oleh karena itu, setiap daerah memiliki warisan budaya kearifan lokal yang berbeda dan unik. Warisan budaya sendiri, menurut Davidson (1991:2) merupakan produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tadisi yang berbeda dan prestasi spiritual berbentuk nilai dari masa lalu yang menjadi pokok dalam jatidiri suatu kelompok. Salah satu contohnya adalah kain lurik. Kain lurik merupakan kain tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa khususnya daerah Surakarta dan Yogyakarta. Kain lurik berasal dari kata rik yang memiliki arti garis atau parit, sehingga dapat dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi orang yang memakainya (Adji dan Wahyuningsih, 2018). Kain lurik memiliki ciri khas yang berbeda jika dibandingkan dengan kain-kain tradisional yang lainnya. Ciri khas kain lurik terletak pada motif susunan unsur garis dan bidang yang bervariasi. Motif tenun yang berbentuk kotak-kotak (perpaduan dari garis vertikal dan horizontal yang bertemu) terinspirasi dari nangka yang belum matang yang dicacah sehingga membentuk corak tenun yang dinamakan motif cacah gori atau dam-daman (Martono, 1998:8). Unsur-unsur dalam motif visual kain lurik tidak hanya mengandung nilai estetik saja, namun juga mengandung makna filosofis yang mendalam. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa motif-motif yang ditampilkan dalam kain lurik memiliki makna spiritual dan sebagai simbolisasi dari sesuatu/keadaan. Oleh karena itu, terdapat motif-motif kain lurik yang hanya digunakan dalam momen-momen tertentu seperti corak liwatan, tumbar pecah, kembenan dan nyampingan yang dipakai untuk upacara selamatan tujuh bulanan, corak kluwung dan tuluh watu untuk upacara ruwatan, corak pletek jarak yang khusus dipakai oleh para bangsawan yang dapat menambah kewibawaan pada pemakainya, corak telu-pat yang digunakan oleh Abdi Dalem dan lain sebagainya. Sayangnya, ditengah kemajuan jaman dan globalisasi yang meningkat sangat pesat, kain lurik menjadi terpinggirkan. Sudah jarang orang-orang yang memakai pakaian yang terbuat dari kain lurik. Bahkan, mungkin generasi jaman kini sudah banyak yang lupa akan keberadaan kain yang penuh dengan makna dan filosofi ini. Memang tidak dapat dipungkiri, meskipun memiliki makna yang mendalam, secara tampilan dan model pakaian yang terbuat dari kain lurik terkesan kuno dan kurang menarik. Generasi sekarang lebih menyukai kemeja dan dress model barat yang lebih terkesan elegan, modern, dan enak dipandang untuk digunakan dalam acara-acara penting mereka. Alasan lain dibalik kurangnya minat kaum muda terhadap kain lurik adalah proses pembuatannya yang lama. Sebagai salah satu jenis kain tenun, proses pembuatannya diawali dari pemintalan dan diakhiri dengan proses pewarnaan. Proses-proses tersebut terkesan sederhana, namun dibutuhkan keahlian khusus dan juga ketekunan dalam memintal benang menjadi kain dengan motif-motif tertentu. Sebenarnya, disinilah letak kelebihan dari keindahan motif- motif dalam kain tenun yakni dibentuk secara alami melalui ketekunan dan kreativitas dari penenun. Bukan seperti motif-motif pada kain modern yang merupakan hasil printing. Dengan keindahan makna filosofi yang terkandung dalam motif-motif kain lurik, sudah sepantasnya kain ini seharusnya menjadi kearifan lokal yang membanggakan bagi para pemakainya. Oleh karena itulah, diperlukan pengembangan dan penyesuaian agar dari kain lurik ini dapat menjadi produk fashion yang elegan, modern, dan tetap memiliki makna filosofi yang mendalam. Pengembangan produk fashion kain lurik selain sebagai wujud nyata dalam upaya pelestarian juga dapat menumbuhkan industri ekonomi kreatif masyarakat. Kain lurik pada masa kini memiliki daya tarik yang begitu hebat bagi berbagai fashion desainer di Indonesia. Sebelumnya, kain lurik salah satu fungsinya yaitu sebagai kain yang digunakan di acara mitoni dalam adat tradisi Jawa, namun saat ini kain lurik menjadi tren fashion masa kini yang sering diangkat menjadi sebuah karya Hal ini menandakan bahwa kain lurik yang pernah tidak digubris oleh masyarakat sekarang diangkat kembali dan diterima oleh masyarakat luas (Adji dan Wahyuningsih, 2018). Beberapa perancang busana yang produktif menghasilkan karya dari kain lurik yaitu Lulu Lutfi Labibi, Didiet Maulana, Maharani Setyawan dan Ningsihwwulan. Selain dibuat untuk busana, kain lurik juga dapat dibuat menjadi produk-produk fashion lainnya seperti tas, dompet, gelang, dan aksesoris lainnya. Dengan semakin berkembangnya penggunaan kain lurik dalam fashion, akan memberikan efek positif bagi perekonomian masyarakat yang terlibat mulai dari proses pembuatan hingga proses distribusinya. Kain lurik merupakan kearifan lokal yang telah menjadi warisan budaya dari para pendahulu yang sudah seharusnya dilestarikan dan dikembangkan. Sudah seharusnya kaum muda masa kini mengangkat kembali kain lurik sebagai warisan luhur bangsa dan mengembangkannya sesuai dengan kondisi saat ini. Namun, filosofi dan makna yang terkandung dalam kain lurik harus tetap dijaga dan dilestarikan. DAFTAR PUSTAKA Adji, P.S. dan Wahyuningsih, N. 2018. Kain Lurik: Upaya Pelestarian Kearifan Lokal. ATRAT: Jurnal Seni Rupa, volume 6 (2), http://dx.doi.org/10.26742 /atrat.v6i2.544 Davison, G. dan C Mc Conville. 1991. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW: Allen & Unwin. Martono. 1998. Kain Tenun: Koleksi Museum Sono Budoyo. Yogyakarta: Museum Negeri Provinsi D.I Yogyakarta Sonobudoyo. Sedyawati, E. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.