Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Batik merupakan karya warisan budaya bangsa Indonesia yang dapat
memperkuat identitas bangsa dan telah mengalami perkembangan seiring dengan
perjalanan waktu. Perkembangan yang terjadi telah membuktikan bahwa seni
kerajinan batik sangat dinamis dan dapat menyesuaikan dirinya baik dalam
dimensi bentuk, ruang, dan waktu. Batik sebagai salah satu seni tradisional
Indonesia menyimpan konsep artistik yang tidak dibuat semata-mata untuk
keindahan, tetapi batik juga fungsional sebagai pilihan busana sehari-hari, untuk
keperluan upacara adat, tradisi, kepercayaan, agama, bahkan status sosial.
Di balik keidahan batik bukan hanya sebagai pemuas mata, melainkan
melebur dengan nilai-nilai moral, adat, tabu, dan agama. Batik tumbuh dan
berkembang di Indonesia sebagai manifestasi dari kekayaan budaya daerah
pembatikan, seperti Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Madura,
dan pada akhirnya batik tidak dapat dipisahkan dari ekspresi budaya suatu
masyarakat pendukungnya.
Di setiap daerah di Indonesia terutama Daerah Istimewa Yogyakarta yang
sebagian masyarakat memproduksi batik, corak dan motif batik satu sama lain
berbeda-beda. Dalam hal ini eksistensinya saling mempertahankan ciri-ciri seni
tradisi, proses teknologinya, dan selera konsumennya. Maka dari itu kunjungan
industry batik ini di latar belakangi agar mahasiswa dapat mengetahui tentang
bagaimana proses pembatikan serta pengelolaan limbahnya yang merupakan
bagian dari mata kuliah Penyehatan Air dan Pengelolaan Limbah Cair (PAPLC).
Selain itu juga agar mahasiswa mendapatkan pengalaman dan wawasan tentang
dunia usaha baik khusus maupun umum. Dan kunjungan industri ini dapat
mendorong mahasiswa agar lebih semangat belajar untuk dapat mencapai
kesuksesan di masa yang akan datang atau nantinya dapat memasuki dunia kerja,
maka dengan adanya kunjungan industri ini mahasiswa dapat mempunyai
gambaran bila nanti akhirnya memasuki dunia kerja.
B. Tujuan

Adapun beberapa tujuan diselenggarakannya kunjungan industri bagi siswa


sebagai berikut:

1. Memperluas pengetahuan mahasiswa tentang bagaimana proses


pembuatan batik.
2. Agar mahasiswa mengerti dan paham tentang bagaimana pengelolaan
limbah dari hasil kegiatan pembuatan batik.
3. Agar mahasiswa mempunyai pengalaman dan wawasan yang luas
tentang batik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Batik di Dunia

Sejarah pembatikan di dunia seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan


pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di
Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM,
dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk
membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok
semasa Dinasti T’ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara
(645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria,
serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah
ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII
atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai
awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar
tahun 1920-an.

Walaupun kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa
sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini
kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.
Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog
Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja,
Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area
yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat
batik.

B. Sejarah Batik di Indonesia

Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa
mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan
menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam
literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian
kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk
penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia,
sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya
yang terkait.

Sejarah batik di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan


kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa
catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan
terus berkembang hingga kerajaan dan raja-raja berikutnya. Kesenian batik secara
umum meluas di Indonesia dan secara khusus di pulau Jawa setelah akhir abad ke-
XVIII atau awal abad ke-XIX.

Teknik batik sendiri telah diketahui lebih sedekad (millennium),


kemungkinan berasal dari Mesir kuno atau Sumeria. Teknik batik meluas di
beberapa negara di Afrika Baratseperti Nigeria, Cameroon dan Mali, atau di Asia,
seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, Iran, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Hingga awal abad ke-XX, batik yang dihasilkan semuanya adalah batik tulis.
Batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia Pertama berakhir atau sekitar tahun
1920.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang
menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia di zaman dulu.
Awalnya aktiviti membuat batik hanya terbatas dalam keraton saja dan ia
dihasilkan untuk pakaian di raja dan keluarga kerajaan serta para pembesar. Oleh
kerana banyak dari pembesar tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini
dibawa oleh mereka keluar dari keraton dan dihasilkan pula di tempatnya masing-
masing.
C. Sejarah Batik TOPO Yogyakarta

Batik Topo merupakan perusahaan turun-temurun sejak tahun 1975. Pak


Topo merupakan generasi ke 3 dan usaha ini dirintis sejak 1982 dan merupakan
salah satu perusahaan batik yang pertama kali menggunakan proses pewarnaan.
Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis perekonomian sehingga usaha ini
sempat mengalami kemacetan. Semakin mahalnya harga bahan pokok
menyebabkan semakin mahalnya harga batik.

Akibat lesunya pasar perusahaan Batik Topo berusaha bangkit salah satunya
dengan cara mengikuti pameran-pameran. Karena sering mengikuti pameran Pak
Topo banyak mengenal orang-orang dinas pemerintahan daerah sehingga sering
diajak pameran kelilingJawa. Selama mengikuti pameran Pak Topo lebih sering
mendapatkan kerugian karena banyak pengunjung pameran yang hanya datang
untuk melihat-lihat. Padahal Pak Topo banyak mengeluarkan biaya untuk
akomodasi untuk mengikuti pameran. Walaupun begitu berkat pameran tersebut
nama Batik Topo semakin dikenal masyarakat.

Pada tahun 2000 Pak Topo memutuskan untuk membuka show room
dirumahnya. Tahun 2006 akibat gempa Jogja usaha Batik Topo ini mengalami
kelumpuhan selama 2 bulan. Hal ini dikarenakan banyak tenaga kerja yang tidak
bisa kembali bekerja karena sedang mengalami musibah ini. Tetapi karena
kegigihan Pak Topo mengadakan pelatihan usaha batik ini bisa kembali bekerja.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pembuatan Batik

Sebelum memulai membatik, langkah yang paling pertama adalah


menyiapkan alat dan bahan berupa: kain, malam, canting, dan pewarna. Kain
umumnya adalah kain katun putih yang dapat diresapi malam sehingga
menghalangi pewarnaan dapat digunakan sebagai bahan batik. Jenis-jenis kain
yang digunakan sebagai bahan dasar akan menentukan kualitas batik nanti setelah
jadi. Juga akan menentukan daya tahan warna. Pengalaman dari para pembatik,
beberapa jenis kain yang sangat halus, sulit untuk dibatik, karena malam cair
mudah meresap kedalam kain sehingga malam mengering tidak persis seperti
jejak canting (alat untuk menorehkan malam cair). Untuk masing-masing kain
diperlukan malam dalam komposisi tertentu sehingga jejak canting persis seperti
yang diinginkan. Dan berikut adalah cara membatik:

1. Membuat Pola Batik

Pola ini yang akan dilapisi dengan malam. Pola ini digambarkan pada kain
dengan menggunakan bahan yang mudah hilang tercuci. Bukan tinta berbahan
permanen, misalnya pensil dengan kadar karbon rendah. Biasanya pola yang
digambarkan tidak sedetail motif asli. Pelengkap motif seperti titik atau garis
pendek biasanya langsung dituliskan dengan canting tanpa dibuat dulu polanya.
Pola yang dibuat terlebih dahulu berguna untuk menyeragamkan bentuk dan
ukuran. Meskipun tidak presisi tinggi. Manfaat lain adalah memudahkan editi
motif, hal yang sangat sangat merepotkan jika dilakukan pada malam yang
sudah mengering di atas kain.

2. Membatik

Selanjutnya pola ‘ditutupi’ dengan lilin/malam/wax cir dengan cara


mengguriskan ujung canting yang berisi malam cair. Dimulai dengan mengikuti
garis-garis pola. Kemudian dilengkapi dengan titik atau gari pendek atau pola-
pola geometris sederhana lain seperti lingkaran, segitiga, garis silang dan lain-
lain. Kegiatan ini dikenal dengan sebuta mBatik atau nglowong. Bagian-bagian
pola yang mentuknya lebih besar dari gari dan titik diblok dengan malam cair,
dengan menggunakna cantik yang ‘jejaknya’ lebih besar untuk mempercepat
pekerjaan. Nglowong, dan nembok ini untuk jenis kain tertentu harus dilakukan di
kedua sisi (nerusi). Kain mori ini digambari pada kedua sisi dalam pola yang
sama. Untuk nerusi tidak lagi dibuat pola terlebih dahulu. Nerusi hanya mengikuti
pola yang sudah ditorehkan pada permkaan kain sisi yang lain.

3. Mewarnai

Kain yang sudah dibatik dengan malam dicelup kedalam pewarna.


Pencelupan dapat dilakukan berulang-ulang untuk menpatkan warna yang tepat
kadarnya. Dalam proses pencelupan ini harus dijaga agar malam tidak terlepas
dari kain. Beberapa pewarna lebih efektif digunakan pada suhu yang lebih panas,
suhu yang digunakan harus tepat jangan sampai mencarikan malam.

4. Melorod

Melorod (nglorod) adalah melepaskan lilin dari kain. Jejak lilin akan tetap
berwarna seperti aslinya. Malam atau lilin lorodan, di beberapa lokasi
pembatikan, masih dapat digunakan kembali sebagai bahan untuk membatik
berikutnya. Proses di atas dapat dilakukan berulang-ulang untuk memperoleh
batik yang berwarna-warni atau batik yang bernuansa warna yang sama (dari
warna ringan/muda hingga warna yang lebih tua yang diperoleh dengan
pencelupan berulang. Proses yaang berulang dan b erbeda pola batik yang
dicantingkan. Untuk variasi warna yang lebih polanya lebih sempit dari warna lain
dapat pula dilakukan dengan menggunakan kuas. Kain tidak dicelup tapi
‘dilukisi’. Proses keseluruhan pembuatan selembar kain batik dapat berlangsung
sampai hitungan bulan
B. Pengelolaan Limbah

Limbah yang dihasilkan dari industri Batik TOPO HP terdiri dari 4 jenis, yaitu :

1. Gas (uap)
Limbah gas (uap) terutama dihasilkan dari pembakaran pada tungku
yang digunakan untuk memanaskan air saat proses pelorodan atau
pelepasan malam batik. Biasanya, uap panas dari pendidihan bahan
pelorodan berbau khas dan asap pembakaran juga cukup menggangu.
Pada industri Batik TOPO HP, pembakaran pada tungku
menggunakan bahan bakar kayu. Untuk meminimalkan asap yang
mengganggu, Batik TOPO HP mengaplikasikan saringan pada tungku dan
dibuat celah terbuka tepat dibagian atas ruang pelorodan agar asap yang
dihasilkan langsung keluar dan tidak mengganggu udara di dalam ruangan.
Selain gas (uap) yang dihasilkan pada proses pelorodan, limbah gas
(uap) juga dihasilkan pada proses peramuan zat warna. Dalam meramu zat
warna, bahan-bahan utama dilarutkan dengan air panas. Saat penambahan
air panas tersebut, keluar uap yang cukup mengganggu. Untuk mengatasi
hal tersebut, pegawai yang meramu zat warna diwajibkan memakai Alat
Pelindung Diri (APD) berupa masker.
2. Padat
3. Apung
Limbah apung berupa lilin atau malam batik. Batik TOPO HP telah
melakukan proses daur ulang malam/lilin batik untuk dijadikan lilin batik
kembali dengan tambahan bahan pembantu.
Daur ulang dilakukan dengan mengangkat lilin/malam batik
menggunakan serok dan dikumpulkan. Setelah terkumpul dalam jumlah
tertentu, kemudian ditambahkan bumbu lilin yang terdiri dari gondorukem
(getah pohon pinus), moto kucing atau damar (getah damar), microwax
(limbah pertamina) dan pelumas (minyak goreng/oli). Minyak goreng
berfungsi sebagai pelentur.
4. Cair
Limbah cair dari industri Batik TOPO HP terutama dihasilkan dari
proses pelorodan, pewarnaan serta pencucian. Ketiga proses tersebut
banyak menggunakan air sebagai pelarutnya. Limbah cair yang berasal
dari proses pencelupan dan pewarnaan biasanya pekat, sedangkan limbah
cair yang berasal dari proses pencucian bersifat tidak pekat.
Volume limbah cair yang dihasilkan pada industri Batik TOPO HP
kurang lebih 100 lt/hari. Pengolahan limbah cair batik cukup susah, karena
limbah cairnya mengandung lilin. Kandungan lilin pada limah cair batik
dapat menyebabkan saluran menjadi tersumbat, sehingga diperlukan
pengendapan terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, Batik TOPO
HP melakukan pengolahan sederhana terhadap limbah cair untuk
memisahkan lilin batik dengan limbah cairnya, yaitu dengan penambahan
tawas dan kapur.
Proses pelorodan merupakan proses untuk menghilangkan
malam/lilin batik menggunakan larutan panas yang mengandung bahan
kimia “water glass”. Digunakan “water glass” karena lebih aman
dibandingkan dengan penggunaan soda api, yaitu tidak merusak kain
batik.
Tawas diaplikasikan pada limbah cair bekas proses pelorodan, yaitu
dengan menambahkan tawas padat kurang lebih 100 gram ke dalam
larutan pelorodan yang masih dalam keadaan mendidih. Dengan
penambahan tawas ini, malam batik pada limbah cair bekas proses
pelorodan akan mengendap sehingga lilin batik tidak ikut terbawa ke
dalam bak pengolahan selanjutnya. Pada bak pengolahan, dilakukan
penambahan kapur untuk menetralisir pH dari limbah cair batik yang
dihasilkan dari proses pencelupan, pelorodan, pewarnaan dan pencucian.
Pengolahan limbah cair batik dengan tawas dan kapur dilakukan
pada sore hari setelah kegiatan batik selesai. Pembuangan limbah cair hasil
pengolahan dilakukan pada pagi selanjutnya. Limbah cair hasil
pengolahan dialirkan menuju ke Sungai Bedog yang berjarak sekitar 100
m dari industri Batik TOPO HP.
Sebenarnya, Batik TOPO HP mendapatkan alat penetralisir limbah
cair batik dari BLH Bantul pada tahun 2015. Namun terdapat kendala
dalam aplikasinya, yaitu perlu tambahan tenaga operasional pengolah
batik karena butuh pengadukan manual selama 3 jam. Selain itu, bahan
adsorben yang digunakan sulit didapatkan cukup mahal, yaitu Rp.
1000.000,00/kg. Sehingga, alat penetralisir limbah cair batik tersebut tidak
digunakan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai