Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 22

Kelompok: 10
Tutor: dr. Tia Sabrina
Anita Pradiastuti

04011281320015

Shepty Ira Luthfia

04011281320021

Moulya Halisyah Cempaka

04011381320053

Fira Andriani

04011381320065

Afkur Mahesa Nasution

04011381320067

Muhammad Emir Amaro Syailendra 04011381320069


Moganashini Ravi

04011381320083

Devi Agustini Rahayu

04011181320013

Muhammad Mardian Safitra

04011181320059

Erika Resti Prahastika

04011181320067

Patima Sitompul

04011181320069

Helvie Ramadaniati

04011181320071

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya lah
kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas Tutorial Blok 22 Pendidikan Dokter Umum Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2015. Laporan ini membahas kasus berdasarkan
sistematika klarifikasi istilah, identifikasi masalah, menganalisis, meninjau ulang dan
menyusun keterkaitan antar masalah, serta mengidentifikasi topik pembelajaran.
Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil diskusi antar anggota kelompok dan bahan
ajar dari dosen-dosen pembimbing.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, tutor dr. Tia Sabrina dan
anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun materil dalam pembuatan
laporan ini.
Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi
kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Palembang, 11 Desember 2015

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
I.

Skenario....................................................................................................................4

II.

Klarifikasi Istilah.......................................................................................................5

III.

Identifikasi Masalah..................................................................................................6

IV.

Analisis Masalah.........................................................................................................7

V.

Hipotesis...................................................................................................................19

VI.

Template...................................................................................................................19

VII.

Learning Issue..........................................................................................................36

VIII. Kerangka Konsep....................................................................................................49


IX.

Kesimpulan.............................................................................................................50

X.

Daftar Pustaka.........................................................................................................51

I.

SKENARIO
Anamnesis
A mother brought her 10 days old boy to the outpatient clinic. She noticed that both of
her boys foot looks excessively turned inwardsince he was born. There is no abnormality at
other part of his body. She had normal delivery ith normal weight birth. She never suffered
from any kind of illness and never got any medical prescriptions during pregnancy. She has
already brought him to a traditional bone setter but there was no improvement.
Physical Examination
General examination within normal limit.
Extremity examination: at foot region there are abnormalities: 1. Equinus foot, 2. Varus
of the foot.

II.

KLARIFIKASI ISTILAH
No

Istilah

Definisi

.
1

Pregnancy

Keadaan mengandung embrio atau fetus yang tumbuh di


dalam tubuh setelah penyatuan sel telur dengan

Traditional bone setter

spermatozoon.
Profesi perawatan kesehatan terkait dengan pencegahan,
diagnosis,

perawatan,

dan

rehabilitasi

gangguan

muskuloskeletal.
3

Equinus foot

Kondisi dimana gerakan melengkungkan ke atas dari


sendi pergelangan kaki terbatas.

Varus of the foot

Melengkung ke dalam; menunjukkan deformitas dengan


sudut bagian tersebut mendekati garis tengah badan
seperti talipes varus

III. IDENTIFIKASI MASALAH


Kalimat
Anamnesis

Konsen
VVV

A mother brought her 10 days old boy to the outpatient clinic.


She noticed that both of her boys foot looks excessively
turned inwardsince he was born. There is no abnormality at
5

other part of his bodY.


She had normal delivery ith normal weight birth. She never
suffered from any kind of illness and never got any medical
prescriptions during pregnancy.
She has already brought him to a traditional bone setter but
there was no improvement.
Physical Examination

VV

General examination within normal limit.


V
Extremity examination: at foot region there are abnormalities:
1. Equinus foot, 2. Varus of the foot

IV.

ANALISIS MASALAH

1. Anamnesis : A mother brought her 10 days old boy to the outpatient clinic. She noticed that
both of her boys foot looks excessively turned inwardsince he was born. There is no
abnormality at other part of his body.
a. Hubungan jenis kelamin dan umur pada kasus?
Berdasarkan beberapa penelitian CTEV terjadi pada anak laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 2:1. Tidak ada hubungan usia dengan kasus sebab CTEV ini
merupakan kelainan yang timbul setelah bayi lahir yang mungkin disebabkan adanya
gangguan pada masa embriologi sebab etiologi dari CTEV masih belum diketahui tetapi ada
beberapa teori mengenai terjadinya CTEV yaitu faktor mekanik intrauteri, defek
neuromuskular, defek sel plasma primer, perkembangan fetus terhambat, herediter dan
vaskular.
b. Apa penyebab dan mekanisme kaki melengkung ke dalam?
Kelainan genetic (kromosom), kelainan otot, kelainan saraf maupun kelainan
perkembangan intra uterine (kandungan) dan juga kelainan eksternal seperti trauma. Namun,
clubfoot sering dihubungkan dengann agen teratogenik seperti sodium aminopterin, dan juga
diturunkan secaraa autosomal resesif.
1) Teori Kromosom (herediter)
Teori ini menyatakan kelainan sudah teradi sebelum adanya fertilisasi atau unfertilized
germ cell. Teori ini dibangun atas pengamatan adanya peningkatan insiden CTEV lebih
sering pada keluarga-keluarga yang menderita CTEV. Insiden turunan pertama 2%, turunan
kedua 0,6%, saudara kandung 2,8%, dan kembar identik 33%. Kemungkinan CTEV
diturunkan secara polygenic multifactorial pada kelompok ras tertentu. Bukti lain yang
mendukung teori ini adalah adanya hubungan insiden dengan jenis kelamin, dimana laki-laki
lebih sering dibanding wanita.
2) Teori Embrionik
Teori ini menyatakan bahwa kelainan terjadi pada fertilisasi. Defek terjadi pada periode
embrionik 12 minggu, selama pertumbuhan embrional os talus. Pengamatan menunjukkan
pada CTEV terdapat kolumna os talus yang pendek, menyerong ke medial dan plantar.
3) Teori Otogenik
Teori ini menyatakan adanya pertumbuhan yang terhenti secara permanen, temporer
atau perlambatan. Pertumbuhan terhenti yang permanen dapat mengakibatkan malformasi
kongenital. Pada CTEV, diduga terjadi pertumbuhan terhenti yang temporer. Pada teori ini
7

diduga ada hubungannya dengan perubahan faktor genetik yang menentukan saat yang tepat
terjadinya modifikasi yang progresif yang berlangsung saat pertumbuhan (cronon). CTEV
terjadi akibat suatu faktor perusak lokal atau general yang menyebabkan perubahan pada
cronon.
4) Teori Fetal
Teori ini menyatakan, CTEV terjadi akibat tekanan ekstrinsik pada janin dalam uterus.
Apabila ukuran atau volume uterus mengecil akibat oligohidramnion, bayi kembar, pimipara,
atau adanya tumor intra uterina, maka ada tekanan mekanis yang menyebabkan kaki janin
tertekan pada posisi equinovarus. Dalam hal ini, pertumbuhan tulang terutama os talus akan
terganggu dan otot-otot sekitar akan memendek sesuai postur intrauterina.
5) Teori Neurologi
Teori ini menjelaskan bahwa terdapat kelainan pada saraf. Apabila saraf yang
menginervasi otot kaki mengalami gangguan, maka terjadi gaya yang abnormal pada talus,
sehingga takus tumbuh tidak normal.
c. Apa saja penyebab yang memungkinkan kaki bayi melengkung ke dalam berlebihan secara
keseluruhan?
a. Faktor Obat-obatan (konsumsi saat hamil)
Sodium aminopterin yang bersifat teratogenik
Obat penyekat ACE dan penyekat reseptor angiotensin (anti hipertensi).
Obat golongan ini mengganggu sistem renin-angiotensin janin (suatu hormon yang
dihasilkan oleh ginjal dan paru untuk mengatur tekanan darah) sehingga pertumbuhan ginjal
dan paru janin terganggu. Selain itu dapat menyebabkan cacat pada anggota gerak (tangan

dan kaki), berat badan lahir rendah, dan gangguan pertumbuhan tulang tengkorak
SSRI (anti depresan)
Beberapa studi menunjukkan bahwa bayi lebih cenderung lahir dengan kaki pengkor
jika ibu mereka mengambil antidepresan saat hamil . Beberapa ibu yang mengambil
antidepresan tertentu seperti Effexor , Pristiq , Celexa , Lexapro , dan Zoloft , telah

melaporkan bahwa mereka telah memiliki bayi yang lahir dengan kaki pengkor .
b. Faktor mekanik intrauteri
Teori tertua oleh Hipokrates. Dikatakan bahwa kaki bayi ditahan pada posisi
equinovarus karena kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakan
bahwa oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena keterbatasan
gerak fetus.
c. Defek neuromuskular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu karena adanya defek neuromusku-lar,
tetapi banyak penelitian tidak me-nemukan adanya kelainan histologis dan elektromiografik.
d. Defek sel plasma primer
8

Setelah melakukan pembedahan pada 11 kaki CTEV dan 14 kaki normal; Irani &
Sherman menemukan bahwa pada kasus CTEV, leher talus selalu pendek, diikuti ro-tasi
bagian anterior ke arah medial dan plantar; diduga karena defek sel plasma primer.
e. Perkembangan fetus terhambat
f. Herediter
Adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal, se-peri
infeksi Rubella dan pajanan talido-mid (Wynne dan Davis).
g. Vaskular
Atlas dkk. (1980) menemukan abnormali-tas vaskulatur berupa hambatan vaskular
setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi dengan CTEV didapatkan mus-cle
wastingdi bagian ipsilateral, mungkin karena berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior
selama masa perkembangan
d. Bagaimana anatomi dari organ yang terganggu?
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan gambaran kilnis dari CTEV (Congenital Talipes
Equinus Varus). Talipes berasal dari kata talus yang artinya ankle dan pes yang artinya kaki.
Deformitas pada kaki dan ankle. Mekanisme abnormal: CTEV bisa terjadi karena
terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular, kurangnya jaringan kartilagenosa talus,
faktor neurogenik seperti abnormalitas histokimia pada otot peroneus, ada perubahan inervasi
intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke, dan retraksi fibrosis sekunder karena
peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligament. CTEV juga dapat disebabkan karena faktor
genetik.

e. Bagaimana embriologi dari organ yang terganggu?


EMBRIOGENESIS SKELETAL
Sistem rangka berasal dari lapisan embriogenik mesoderem paraksial, lempeng lateral
dan sel-sel kista neuralis. Akhir minggu ke 3, mesoderem paraksial menjadi semacam balokbalok yang disebut somit. Somit terbagi 2 :
o Dorsolateral
Disebut demomytome, bagian myotome membentuk myoblast, dermatom membentuk
dermis.
o Ventromedial

Disebut skleroton, pada akhir mingguke 4 akanmenjadi sel-sel mesenkim (jaringan


penyambung mudigah), kemudian berpindah dan berdiferensiasi menjadi fibroblas,
kondroblas, dan osteoblas.
1. Histogenesis Tulang dan Kartilago
1.1. Kartilago
o Muncul ketika embrio berumur 5 minggu
o Pertumbuhan dimulai dari sel-sel mesenkim yang mengalami kondensasi, berprolerasi, dan
berdiferensiasi menjadi condroblast. Condroblast mensekresikan serat-serat kolagen dan
subtansi dasar matric sehingga terbentuk condrosit. Selanjutnya condrosit akan terus menerus
mengeluarkanmatriks sehingga condrosit yang berdekatan akansaling mendorong sehingga
kartilago bertambah panjang.
o Sel-sel mesenkim yang letaknya diperifer akan berdiferensiasi menjadi fibroblast.
Fibroblast akan membentuk suatu jaringan ikat kolagen, yaitu perichondrium.
1.2. Tulang
Pertumbuhan tulang berlangsung dengan 2 cara :
o Osifikasi intramembranosa
o Osifikasi intrakartilago/ endokondral
1.2.1. Osifikasi Intramembranosa
Umumnya pada tulang pipih . Osifikasi berlangsung dalam suatu membran yang
dibentu oleh sel-sel mesenkim itu sendiri. Sel-sel mesenkim berdiferensiasi menjadi
osteoblast dan mulai mensekresikan matriks dan subtansi interseluler membentuk
osteosit.Osteoblast yang terdapat diperifer tulang membentuk lapisan-lapisan yang membuat
tulang lebihtebal di bagian perifernya, ditambah lagi dengan aktivitas osteoklas,akibatnya
bagian tengah tulang akan berrongga. Pada rongga ini sel-sel mesenkim akanberdiferensiasi
menjadi sumsum tulang.
1.2.2. Osifikasi Intrakartilago
Umumnya pada tulang panjang Diawali dengan terbentuknya tulang rawan. Pada
tingkat selular, sel-sel kartilago akan berubah menjadi osteoblas lalu osteosit.Osifikasi
pertama kali terjadi di diafisis (pusat osifikasi primer) pada akhir masa embrionik. Pada
diafisis sel-sel kartilago mengalami 3 hal yaitu : hipertropi, kalsifikasi matriks, serta kematian
sel-selnya. Selainitu perikondrium akanmengalami vaskularisasi sehinggasel-sel kartilago
berubah menjadi osteoblast. Pada waktu lahir sebagian besar diafisis telah mengalami
10

osifikasi,sedangkan epifisis masih berupa kartilago. Osifikasi skunder dilempeng epifisis


baru berlangsung pada tahun-tahun pertama usia bayi.

2. Perkembangan Sendi
Mulai terbentuk pada minggu ke 6 dan akhir mingguke 8 sendiyang terbentuk sudah
seperti sendi orang dewasa. Terdapat 3 jenis sendi berdasarkan materi penyusunnya yaitu :
o Sendi fibrosa (sutura di kranium)
o Sendi kartilago (simfisis pubis)
o Sendi sinovial (sendi lutut)

PERKEMBANGAN

DAN

EMBRIOLOGI

PEMBENTUKAN

KAKI

SEJAK

DALAM JANIN

Periode embrionik terbagi menjadi 23 horizon atau tingkatan. Tiap horizon atau tingkatan,
berhubungan dengan tingkatan perkembangan dari embrio. Bentuk kaki yang bulat mulai
terlihat pada horizon ke 17, pada minggu ke 5 fase embrionik. Permukaan lempeng kaki
berada pada bidang transversal dan permukaan ventral, dan permukaan plantar menghadap ke
kepala. Bila dilihat dari aspek ventral dari embrio, rotasi dari lempeng kaki kiri adalah
berlawanan dengan arah jarum jam, dan rotasi kaki kanan searah jarum jam, segmen tungkai
bawah berperan dalam perubahan rotasi ini dan secara morfologi belum tampak jari-jari kaki
pada lempeng kaki. Dua hari kemudian, minggu ke 6 fase embrionik, rotasi kedalam tungkai
bawah terus berjalan. Permukaan medial dari lempeng kaki lebih mengarah ke bidang median
dari batang tubuh.

Perubahan dari lempeng kaki lebih terlihat jelas strukturnya pada horizon ke 20 dan pada
horizon ke 21, minggu ke 7 fase embrionik.

Horizon ke 23 menandakan akhir dari fase embrionik dan berhubungan dengan akhir dari
minggu ke 8 fase embrionik. Kaki bersentuhan antara satu dengan lainnya, dan telapak
berada pada posisi berdoa. Pada periode janin, perubahan rotasi yang penting terjadi, awalnya
telapak kaki berhadapan, pada posisi equinus relatif terhadap tungkai kaki. Terjadi rotasi
internal yang progresif dari bagian paha, dan kaki berada pada posisi equinus, supinasi, dan
external rotasi relative terhadap tungkai kaki. Yang pada akhirnya dorsiflexi dan pronasi kaki
mengarah pada posisi netral kaki pada orang dewasa.
11

Beberapa fase perkembangan embrio kaki berdasarkan morfologi:


1. bulan ke-2: Kaki pada posisi 90 equinus dan adduksi.
2. awal bulan ke-3: Kaki pada posisi 90 equinus, adduksi, dan terlihat supinasi
3. pertengahan bulan ke-3): Kaki dorsifleksi pada ankle, tetapi masih sedikit tampak beberapa
derajat equinus. Dan supinasi masih ada. Metatarsal pertama tetap adduksi.
4. awal bulan ke-4): Kaki pronasi dan sampai pada posisi midsupinasi. Dan masih tampak
sedikit metatarsus varus. Equinus sudah tidak tampak.
Pronasi berlanjut selama fase pertumbuhan dan tetap belum sempurna saat bayi baru
lahir. Keempat tingkatan perkembangan morfologi kaki dapat memberikan gambaran yang
jelas, walau pada kenyataannya, perubahan yang terjadi tidak selalu sesuai dengan tingakatan
perkembangan yang ada, tetapi perubahan terjadi secara bertahap dan berkesinambungan.

Perkembangan Embriologi Extremitas Bawah


12

Manifestasi pertama extremitas bawah sebagai paddle-shape bud pada dinding ventrolateral
tubuh selama minggu 4-5 gestasi. Limb bud ini akan berkembang bentuknya dengan adanya
migrasi dan proliferasi dari jaringan mesenkim yang berdifrensiasi. Dengan berakhirnya
minggu ke 6, limb bud terus berkembang membentuk lempengan terminal (plate) dari tangan
dan kaki (termasuk membentuk pola digiti) serta membentuk eksternal awal dari tungkai.

Tepatnya minggu ke 7, axis longitudinal dari upper dan lower limb buds adalah parallel.
Komponen pre-axial menghadap ke dorsal dan post-axial menghadap ke ventral. Pada
periode ini posisi limb bud dibanding trunk tidak mengalami perubahan yang berhubungan
dengan aktivitas otot namun dipastikan akan mengalami torsion pada tulang-tulangnya.

Jari-jari dibentuk penuh pada minggu ke 8 embrio, permukaan plantar yang berlawanan
disebut posisi praying feet, segera setelah itu lower limb berputar ke medial membawa ibu
jari ke midline dari posisi post-axial pada awalnya.

Selanjutnya secara mekanik intrauterine, terbentuklah ekstremitas bawah fetus, kemudian


femur atau upper limb bud berotasi ke eksternal dan tibia atau lower limb bud berotasi ke
internal. Postur kaki terus tumbuh dan dipastikan femur berotasi ke lateral dan tibia ke
medial.

f. Mengapa bagian tubuh yang lain normal?


Karena penyakit yang dialami pasien adalah penyakit yang predileksinya di kaki
(ekstremitas bawah). Hal ini juga bermakna bahwa pasien ini tidak mengalami penyakit lain.
Dan juga hal ini menunjukkan bahwa CTEV yang dialami pasien adalah CTEV idiopatik
bukan CTEV sindromik. Dimana pada CTEV idiopatik ekstremitas superior dalam keadan
normal sedangkan pada CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan
neuromuskular, seperti spina bifida maupun atrofi muskular spinal.

2. She has already brought him to a traditional bone setter but there was no improvement.
a. Mengapa tidak terjadi perubahan setelat diurut?
Pada kelainan ini terjadi akibat dysplasia pada tulang, otot, bahkan fascia, serta
kemungkinan faktor neurogenik. Pengobatan tradisional dengan pijat umumnya berpengaruh
pada kelelahan yang dialami otot, dan diurut juga hanya membenarkan posisi yang salah
13

yang terjadi pada persendian, hanya memperlancar sirkulasi dan metabolisme, tidak
membantu untuk memperbaiki letak tulang, tidak dapat mengubah panjang otot dan
deformitas tulang yang telah terbentuk seiring pertumbuhan bayi.
b. Apa dampak setelah diurut pada organ yang terganggu?
Pada kelainan ini terjadi akibat dysplasia pada tulang, otot, bahkan fascia, serta
kemungkinan faktor neurogenik. Pengobatan tradisional dengan pijat umumnya berpengaruh
pada kelelahan yang dialami otot, dan diurut juga hanya membenarkan posisi yang salah
yang terjadi pada persendian, hanya memperlancar sirkulasi dan metabolisme, tidak
membantu untuk memperbaiki letak tulang, tidak dapat mengubah panjang otot dan
deformitas tulang yang telah terbentuk seiring pertumbuhan bayi.
3. She had normal delivery ith normal weight birth. She never suffered from any kind of
illness and never got any medical prescriptions during pregnancy.
a. Apa makna klinis dari :
- kelahiran normal dan BBL (berat badan lahir) normal
Makna klinis dari berat badan lahir normal dan kelahiran normal yaitu berarti tidak ada
kalainan pasca melahirkan seperti prematur, asfiksia neonatorum, perdarahan intrakranial,
dan kelainan metabolik seperti hipogilkemi serta hiperbilirubinemia.
- tidak ada penyakit
Makna klinis dari tidak ada penyakit yaitu berarti tidak ada kelainan pasca melahirkan
seperti prematur, asfiksia neonatorum, perdarahan intrakranial, kecacatan, dan kelainan
metabolik seperti hipogilkemi serta hiperbilirubinemia
- tidak ada pemakaian obat saat kehamilan
Keluhan yang dialami bayi laki-laki tersebut merupakan club foot. Riwayat kehamilan
ibu dapat membantu pemeriksa untuk menentukan etiologi penyebab keluhan karena terdapat
beberapa hubungan antara posisi kaki pada saat di dalam kandungan, pertumbuhan tulang
yang abnormal pada tahap awal dalam kehamilan. Terdapat beberapa penyebab seorang anak
dapat mengalami club foot, yaitu,
1. Teori kromosom

14

Adalah teori hereditary germ plasm. Defek sudah terdapat didalam unferilized germ
cell, jadi defek sudah ada sebelum fertilisasi. lni terbukti menurut Palmer (1964) CTEV lebih
sering terjadi pada keluarga-keluarga dimana sudah ada menderita CTEV. Wyne-Davis (1964)
mencatat ada peningktan insiden CTEV dalam keluarga yang menderita CTEV. Mungkin
CTEV diturunkan sebagal polygenic multifactonal trait pada racial group seperti Polynesia
yang mempunyai insidensi tinggi. Inipun bisa dilihat angka CTEV pada laki-laki lebih
banyak daripada wanita (Kite =70% laki).
2. Teori embrionik
Teori ini menyatatan bahwa defek terjadi pada saat fertilized germ cells. Teori ini
diajukan oleh Irani, Sherman dan Settle bahwa defek terjadi' dalam embryonic period (mulai
konsepsi -12 minggu). Berdasarkan didapatkannya collum tali yang pendek dengan mengarah
ke medial dan plantar pada semua CTEV. Kejadian ini oleh karena defek dan pertumbuhan os
talus pada periode pertumbuhan embrio. Teori ini banyak menyanggah karena kelainan os
talus ini tidak selalu primer, tetapi bisa disebabkan oleh gaya yang tidak simetris selama
pertumbuhan. Begitu pula adanya CTEV yang unilateral melemahkan teori embrionik.
3. Teori atogenik
Teori ini menyatatan bahwa adnaya/terjadinya pertumbuhan yang terhenti (arrest of
development). Teori ini pertama diajukan oleh Bohm (1929) : development arrest pada awal
pertumbuhan janin. Terjadinya pertumbuhan ini bisa secara permanen, temporer atau
perlambatan. Permanent arrest bisa mengakibatkan malformasi kongenital, dimana temporary
arrest mengakibatkan keadaan serupa dengan garis-garis dari Harris. Pertumbuhan yang
lambat bisa terjadi misalnya karena, pemberian steroid.
Teori yang berhubungan dan dapat menimbulkan CTEV adalah temporary arrest.
Apabila temporary arrest ini terjadi pada minggu ke 7-8 pertumbuhan embrio maka akan
terjadi CTEV yang tipenya berat dan bila terjadi setelah minggu ke 9 tipe CTEV lebih ringan.
Arrest theory ini diperkirakan ada hubungannya dengan perubahan faktor genetik yang
disebut "cronon" yaitu faktor yang menentukan saat yang tepat terjadinya modifikasi yang
progresif yang berlangsung saat pertumbuhan.
Jadi CTEV disebabkan oleh suatu elemen yang disruptif (lokal atau general) yang
menyebabkan perubahan didalam faktor genetik (=cronon). Perubahan-perubahan struktur
kemudian terhenti, sedangkan pertumbuhan berjalan terus dibawah impuls-impuls yang
diterima cronon setelah mengalami kerusakan (antara minggu ke 812). Jadi kaki berada
dibawah suatu pengontrol yang bisa mengalami keadaan patologis dan mengarah
kepertumbuhan yang abnormal. Pada akhir dari fase growth arrest, pertumbuhan mulai
normal kembali akan dimulai dari titik pertumbuhan yang terakhir.

15

Teori temporary arrest dapat dijadikan landasan untuk menjadi dasar anamnesis
riwayat kehamilan ibu.
Temporary arrest tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Asap Rokok
Bukan hanya merokok langsung secara aktif, perokok pasif atau terhirup asap rokok di
lingkungan bagi ibu hamil bisa berdampak buruk. Paparan asap rokok pada ibu hamil dengan
lingkungan yang penuh asap rokok beresiko akibatkan asma dan gangguan pernafasan pada
anak-anak. Penelitian lain pada anak yang terlahir dari ibu yang terpapar asap rokok selama
masa kehamilan berisiko dua kali lebih tinggi mengalami gangguan perhatian dan cenderung
agresif ketika mencapai usia lima tahun. Penelitian lain menyatakan bahwa merokok
merupakan penyebab nomer satu dalam lahirnya bayi dengan kondisi buruk, seperti lahir
prematur, bayi yang lahir terlalu kecil pertumbuhan terlambat, kerusakan organ tubuh yang
paling parah adalah kegagalan janin atau kematian. Jika bayi yang terkontaminasi zat kimia
rokok berhasil lahir, maka akan terjadi kelainan dalam perkembangan tubuh dalam hal berat
serta ukuran, organ tubuh seperti paru-paru yang tidak berfungsi secara optimal serta fungsi
otak yang terbelakang.
Asap rokok ini mengandung berbagai macam bahan kimia yang berbahaya, lebih dari
sekitar empat ribu diantaranya sianida, nikotin, karbon monoksida serta 60 buah senyawa
penyebab kanker. Jika seorang ibu hamil merokok, maka semua zat-zat kimia tersebut akan
mengalir dalam darah dan sampai ke janin. Sementara dari empat ribu bahan kimia itu tidak
ada satu pun yang baik bagi bayi, maka yang terjadi adalah bayi akan terkontaminasi zat
kimia berbahaya bahkan sebelum ia tumbuh. Nikotin serta karbon monoksida bisa berakibat
gangguan janin karena dapat mengurangi pasokan oksigen lewat tali pusat. Nikotin berkerja
seperti kolesterol yang menyebabkab penyempitan pembuluh darah ibu hamil dan
menyumbat aliran oksigen di seluruh pembuluh darah termasuk tali pusat. Keadaan akan
semakin memburuk karena sel-sel darah merah yang membawa oksigen pada akhirnya juga
bisa membawa molekul karbon monoksida dan menyalurkannya ke janin.
Flu Berkepanjangan Meskipun peneliti tidak tahu mekanisme kerja, diduga antibodi
yang dikeluarkan oleh sistem kekebalan tubuh ibu dapat mempengaruhi perkembangan otak.
Tapi efek langsung dari virus flu juga masih diteliti. Selain itu penemuan mengejutkan lain
menunjukkan bahwa sebuah studi longitudinal 1.959 bayi yang lahir pada minggu pertama
Maret 1958 untuk ibu yang dilaporkan memiliki mengalami influenza selama kehamilan
mengungkapkan insiden kanker sebesar 4,1 per 1.000 dibandingkan dengan hanya 0,8 per
1.000 antara 14.791 bayi dari ibu yang tidak mengalami influenza. Beberapa penelitian

16

menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami flu beresiko cacat janin, kanker dan
Skizofrenia.
Kekurangan Asam Folat Konsumsi asam folat yang cukup saat kehamilan merupakan
kunci perkembangan dan metabolisme sel pada awal terjadinya pembuahan. Kekurangan
asam folat akan menyebabkan bayi menderita spina bifida dan kecacatan lainnya. Asam folat
juga diketahui sebagai koenzim untuk produksi DNA serta meningkatkan replikasi sel. Asam
folat sangat dibutuhkan justru pada saat kehamilan belum disadari, yakni pada minggu kedua
sampai keempat pertumbuhan janin. Seorang perempuan usia produktif membutuhkan asam
folat 400 mikrogram setiap harinya. Kita bisa mendapatkannya dari sayuran berdaun hijau,
kacang-kacangan, buah-buahan seperti lemon, pisang, dan melon, serta produk makanan yang
sudah difortifikasi.
Infeksi TORCH TORCH adalah istilah yang mengacu kepada infeksi yang disebabkan
oleh (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes simplex virus II (HSV-II)
dalam wanita hamil. Infeksi TORCH ini sering menimbulkan berbagai masalah kesuburan
(fertilitas) baik pada wanita maupun pria sehingga menyebabkan sulit terjadinya kehamilan.
Infeksi TORCH bersama dengan paparan radiasi dan obat-obatan teratogenik dapat
mengakibatkan kerusakan pada embrio. Beberapa kecacatan janin yang bisa timbul akibat
TORCH yang menyerang wanita hamil antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan pada
otak, paru-paru, mata, telinga, terganggunya fungsi motorik, hidrosepalus, dan lain
sebagainya.
Konsumsi antidepresan Berdasarkan review terhadap sejumlah studi diketahui jika
konsumsi antidepresan selama hamil akan memberikan efek jangka panjang terhadap janin.
Lebih dari 13 persen wanita mengonsumsi antidepresan saat hamil. Penelitianlain juga
menemukan mengonsumsi salah satu jenis antidepresan yaitu selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) ketika hamil dikaitkan dengan tingginya risiko keguguran, lahir cacat,
persalinan prematur dan gangguan perilaku pada bayi, termasuk autisme.
Kekurangan Vitamin D Rendahnya kadar vitamin sinar matahari selama hamil akan
menyebabkan gangguan kesehatan, baik pada sang ibu maupun si anak. Sebuah kajian
terhadap 30 penelitian mengungkapkan rendahnya kadar vitamin D dalam tubuh seorang ibu
dikaitkan dengan tingginya risiko diabetes gestasional, pre-eclampsia dan berat lahir yang
rendah. Vitamin D berpengaruh sangat positif bagi ibu hamil dan calon bayinya. Selain
fungsinya untuk mendukung pertumbuhan tulang, bayi yang lahir dari ibu yang cukup
mengonsumsi vitamin D selama hamil cenderung lebih cerdas. Kekurangan vitamin D
diketahui terkait dengan perkembangan mental dan kemampuan gerak bayi.

17

Paparan polusi udara Ada dua jenis polusi kendaraan bermotor yang berdampak pada
pertumbuhan janin, yaitu partikel hitam dan nitrogen dioksida.
Diet Kafein American College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan
agar wanita hamil membatasi asupan kafeinnya sebanyak 200 milligram perhari atau sama
dengan dua cangkir kopi atau jangan lebih dari 6 ons perhari. Penelitian lain mengungkapkan
asupan kafein yang terlalu sedikit juga erat kaitannya dengan peningkatan risiko bayi lahir
dengan berat badan lebih kecil dari bayi normal. Beberapa penelitian juga menunjukkan
peningkatan resiko keguguran pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 300 mg kafein per
hari. Banyak penelitian yang dilakukan pada hewan menyatakan kafein dapat menyebabkan
cacat lahir, berkurangnya kesuburan, dan masalah reproduksi lainnya.
4. Physical Examination : General examination within normal limit.
Extremity examination: at foot region there are abnormalities: 1. Equinus foot, 2. Varus of the
foot.

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?


Jaringan lunak mengambil peranan dalam deformitas ini karena ketengangan jaringan
ini menyebabkan posisi equinus dan varus.
a. Equinus foot
Posisi equinus disebabkan oleh kontraktur dari otot otot :
Gastrocnemius
Soleus
Tibialis posterior
Fleksor hallucis longus
Fleksor digitorum longus
b. Varus foot
Sedangkan posisi varus disebabkan oleh kontraktur dari otot otot :
Tibialis anterior dan posterior
Fleksor hallucis longus
Fleksor digitorum longus
Ligamentum deltoid
Otot otot kecil disisi medial kaki
b. Bagaimana berat badan lahir normal?
Berat
Panjang

: 2500gr 3800gr
: 45cm 50cm

18

V.

HIPOTESIS

Seorang bayi laki-laki berumur 10 hari , kedua kakinya memutar ke dalam dikarenakan
CTEV (Congenital Talipes Equinu Varus).
VI.

TEMPLATE

1. Bagaimana cara penegakan diagnosis?

PENILAIAN DAN PEMERIKSAAN


Gejala klinis dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga yang menderita clubfoot tatau kelainan
neuromuskuler,

dan

dengan

melakukan

pemeriksaan

secara

keseluruhan

untuk

mengidentifikasi adanya abnormalitas.


Pemeriksaan dilakukan dengan posisi prone, dengan bagian plantar yang terlihat, dan supine

untuk mengevaluasi rotasi internal dan varus.


Jika anak dapat berdiri , pastikan kaki pada posisi plantigrade, dan ketika tumit sedang
menumpu, apakah pada posisi varus, valgus atau netral. Deformitas serupa terlihat
pada myelomeningocele and arthrogryposis. Oleh sebab itu agar selalu memeriksa gejala-

gejala yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tersebut.


Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi dapat dorso fleksi
dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian anterior dari tibia). Dorso fleksi melebihi
90 tidak memungkinkan.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Tiga komponen utama pada deformitas dapat terlihat pada pemeriksaan radiologi.
19

Equinus kaki belakang adalah plantar flexi dari kalkaneus anterior (serupa dengan kuku
kuda) seperti sudut antara axis panjang dari tibia dan axis panjang dari kalkaneus (sudut

tibiocalcaneal) lebih dari 90


Pada varus kaki belakang, talus terkesan tidak bergerak terhadap tibia. Pada penampang
lateral, sudut antara axis panjang talus dan sudut panjang dari kalkaneus (sudut talocalcaneal)

adalah kurang dari 25, dan kedua tulang mendekati sejajar dibandingkan posisi normal.
Pada penampang dorso plantar, sudut talocalcaneal adalah kurang dari 15, dan kedua tulang
tampak melampaui normal. Juga axis longitudinal yang melewati talus bagian tengah
(midtalar line) melewati bagian lateral ke bagian dasar dari metatarsal pertama, dikarenakan

bagian depan kaki terdeviasi kearah medial.


Pada penampang lateral, tulang metatarsal tampak menyerupai tangga.
Pengukuran
Sudut

Kaki Normal
60-90 on lateral view

Clubfoot
>90 (hindfoot equinus) on lateral view

tibiocalcaneal
Sudut

25-45 on lateral view, 15-40 on <25 (hindfoot varus) on lateral view,

Talocalcaneal
Metatarsal

DP view
<15 (hindfoot varus) on DP view
Slight on lateral view, slight on None (forefoot supination) on lateral

convergence

DP view

view, increased (forefoot supination) on


DP view

DIAGNOSIS

Bentuk dari kaki sangat khas.


Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki terlihat relatif memendek.
Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur atau cekungan pada
bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami
inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang sendi

pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi.
Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat diabduksikan dan dieversikan,
kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang
membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau positional karena posisi
intra uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi
pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila
disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottom dengan posisi tumit
equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada

20

kalkaneus, pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan

maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.
Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang kalkaneus.
Tulang navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada maleolus
medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang navikularis. Sudut aksis
bimaleolar menurun dari normal yaitu 85 menjadi 55 karena adanya perputaran subtalar ke

medial.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan
posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan
memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki

memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.


Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida. Sendi lain
seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya subluksasi
atau dislokasi. Pmeriksaan penderita harus selengkap mungkin secara sistematis seperti yang
dianjurkan oleh R. Siffert yang dia sebut sebagai Orthopaedic checklist untuk menyingkirkan
malformasi multiple.
2. Apa saja diagnosis banding pada kasus?
Pembanding
Jenis Kelamin

CTEV
Dominan anak laki-laki

Metatarsus Aductus
Anak laki-laki dan anak

Etiologi

perempuan
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Beberapa penelitian mengungkapkan Kemungkinan

akibat

faktor genetik serta lingkungan sebagai faktor posisi janin saat


Bentuk
deformitas

penyebab utama
berada dalam rahim
Metatarsal mengarah ke
Inversion persendiaan subtalar
Adduction
pada
persendiaan medial tubuh
talonavicular
Equinus pada persendiaan ankle

3. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan?


Radiologist = tujuannya bukan untuk diagnostik, tapi untuk menentukan derajat
equinus, varus, dan perubahan kaki belakang agar memberikan gambaran seberapa besar
koreksi yang dibutuhkan.
21

Foto AP => Sudut talocalcaneal (sudut kite) kecil dari normal


(normal=25-45 derajat)
Foto lateral => Sudut talocalcaneal lebih kecil dari normal.
Foto dorsoflexi maksimal => sudut ini bertambah kecil (normalnya bertambah besar)
4. Apa diagnosis kerja pada kasus?
Congenital Talipes Equinu Varus (Club Foot)
5. Apa definisi dari diagnosis kerja pada kasus?
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai club-foot adalah
suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior. Congenital Talipes Equino Varus
adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular
dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta
inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi
terhadap daerah plantar.
6. Bagaimana epidemiologi dari diagnosis kerja?
Frekuensi clubfoot dari populasi umum adalah 1 : 700 sampai 1 : 1000 kelahiran
hidup dimana anak laki-laki dua kali lebih sering daripada perempuan. Insidensinya berkisar
dari 0,39 per 1000 populasi Cina sampai 6,8 per 1000 diantara orang. Berdasarkan data, 35%
terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya
peranan faktor genetika.
Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau clubfootmerupakan terminology yang
digunakan untuk mendeskrisipkan kelainan yang bersifat kompleks, kongenital, serta
kontraktual pada tulang dan sendi di daerah kaki dan pergelangan kaki. CTEV merupakan
kelainan bawaan yang sering ditemukan pada bayi baru lahir dengan insidensi 0,93 sampai
1,5 per 1000 kelahiran pada ras kaukasia, sedangkan di Asia angka insidensinya sebesar 0,6
per 1000 kelahiran. Anak laki-laki terkena dua kali lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan, serta pada 50% kasus ditemukan keterlibatan kedua kaki.
7. Bagaimana etiologi dari diagnosis kerja?
Etiologi CTEV tidak diketahui pasti; beberapa teori tentang etiologi CTEV antara lain:
a. Faktor mekanik intrauteri
Teori tertua oleh Hipokrates. Dikatakan bahwa kaki bayi ditahan pada posisi
equinovarus karena kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939)

22

mengatakan bahwa oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar


karena keterbatasan gerak fetus.
b. Defek neuromuskular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu karena adanya defek neuromusku- lar,
tetapi

banyak penelitian

tidak menemukan adanya kelainan histologis dan

elektromiografik.
c. Defek sel plasma primer
Setelah melakukan pembedahan pada11 kaki CTEV dan 14 kaki normal; Irani &
Sherman menemukan bahwa pada kasus CTEV, leher talus selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan plantar; diduga karena defek sel plasma primer.
d. Perkembangan fetus terhambat
Teori ini menyatatan bahwa adnaya/terjadinya pertumbuhan yang terhenti (arrest of
development). Teori ini pertama diajukan oleh Bohm (1929) : development arrest pada
awal pertumbuhan janin. Terjadinya pertumbuhan ini bisa secara permanen, temporer
atau perlambatan. Permanent arrest bisa mengakibatkan malformasi kongenital, dimana
temporary arrest mengakibatkan keadaan serupa dengan garis-garis dari Harris.
Pertumbuhan yang lambat bisa terjadi misalnya karena, pemberian steroid.
Teori yang berhubungan dan dapat menimbulkan CTEV adalah temporary arrest.
Apabila temporary arrest ini terjadi pada minggu ke 7-8 pertumbuhan embrio maka
akan terjadi CTEV yang tipenya berat dan bila terjadi setelah minggu ke 9 tipe CTEV
lebih ringan.
Arrest theory ini diperkirakan ada hubungannya dengan perubahan faktor genetik yang
disebut "cronon" yaitu faktor yang menentukan saat yang tepat terjadinya modifikasi
yang progresif yang berlangsung saat pertumbuhan.
Jadi CTEV disebabkan oleh suatu elemen yang disruptif (lokal atau general) yang
menyebabkan perubahan didalam faktor genetik (=cronon). Perubahan-perubahan
struktur kemudian terhenti, sedangkan pertumbuhan berjalan terus dibawah impulsimpuls yang diterima cronon setelah mengalami kerusakan (antara minggu ke 812).
Jadi kaki berada di bawah suatu pengontrol yang bisa mengalami keadaan patologis dan
mengarah kepertumbuhan yang abnormal. Pada akhir dari fase growth arrest,
pertumbuhan mulai normal kembali akan dimulai dari titik pertumbuhan yang terakhir.
e. Herediter
Adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal, se- peri
infeksi Rubella dan pajanan talidomid (Wynne dan Davis).
f. Vaskular
Atlas dkk. (1980) menemukan abnormalitas vaskulatur berupa hambatan vaskular
setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi dengan CTEV didapatkan mus- cle

23

wasting di bagian ipsilateral, mungkin karena berkurangnya perfusi arteri tibialis


anterior selama masa perkembangan.
8. Apa saja faktor resiko dari diagnosis kerja?

Mechanical factor in utero


Penekanan dari uterus. Baik penekanan dari luar (trauma) atau tekanan lain (kembar,
oligohidramnion)

Neuromuscular defect
Terjadinya fibrosis dan pemendekan dari otot posterior medial tungkai terutama otot betis

seperti M. tibialis posterior.


Primary germ plasm defect

Kelainan genetik, sekitar 10% yang dimulai sebelum minggu ke-7


Arrested Fetal Development (pengaruh di sekitar rahim)
Heredity
Kombinasi antara Heredity dengan lingkungan
9. Bagaimana patogenesis dari diagnosa kerja?
Beberapa teori mengenai patogenesis CTEV antara lain :

a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular


b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
Telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot peroneus pada
pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan inervasi intrauterine karena
penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada
35% bayi dengan spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang sangat
longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur tendon (kecuali Achilees).
Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat
teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan
mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban
kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali pada insersi
tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikarenakan adanya distorsi
pada posisi anatomis CTEV yang membuat tampak terlihat adanya kelainan pada insersi
tendon.
f. Variasi iklim
24

Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden


epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang serupa pada insiden
kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal
poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord
anterior bayi-bayi tersebut.
10. Bagaimana patofisiologi dari diagnosis kerja?
Beberapa teori mengenai patogenesis CTEV antara lain:
a.
b.
c.

Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular


Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
Faktor neurogenik.
Telah ditemukan adanya abnormalitashistokimiawi pada kelompok otot peroneus
pasien CTEV. Hal ini diperkirakan akibat perubahan inervasi intrauterin kar- ena
penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung oleh insiden CTEV pada 35%
bayi spina bifida.

d.

Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang sangat
longgar dan dapat teregang di semua ligamen dan struktur tendon (kecuali Achilles).
Sebaliknya, tendon Achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak
dapat teregang. Zimny dkk. menggunakan mik- roskop elektron, menemukan mioblast
pada fasia medialis yang dihipotesiskan sebagai penyebab kontraktur medial.

e.

Anomali insersi tendon (Inclan)


Teori ini tidak didukung oleh penelitian lain; karena distorsi posisi anatomis CTEV
yang membuat tampak terlihat adanya kelainan insersi tendon.

f.Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden CTEV.
Hal ini

sejalan

dengan

adanya variasi serupa insiden kasus poliomielitis di

komunitas. CTEV dikatakan merupa- kan sequela dari prenatal polio-like condi- tion.
Teori ini didukung oleh adanya pe- rubahan motor neuron pada spinal cord anterior
bayi-bayi tersebut.
11. Bagaimana gejala klinis dari diagnosis kerja?

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinik berupa deformitas pada :


Adduksi dan supinasi kaki depan pada sendi mid dorsal
Equinus kaki belakang pada sendi ankle
25

Varus pada kaki belakang pada sendi subtalar


Deviasi medial seluruh kaki terhadap lutut
Inversi (mengarah ke medial) pada tumit

Bentuk dari kaki sangat khas. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu
jari kaki terlihat relatif memendek. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung
dengan alur atau cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus.
Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada
bagian atas belakang sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit
terlihat kecil dan sulit dipalpasi. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak
dapat diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus.
Kaki yang kaku ini yang membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau
positional karena posisi intra uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi
normal. Luas gerak sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke
posisi netral, bila disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottom
dengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur pada
jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam
posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke
arah lateral pada bagian posteriornya.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior dan
posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan
memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki
memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
26

Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida.
Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya
subluksasi atau dislokasi. Pmeriksaan penderita harus selengkap mungkin secara sistematis
seperti yang dianjurkan oleh R. Siffert yang dia sebut sebagai Orthopaedic checklist untuk
menyingkirkan malformasi multiple.
Gambaran klinisnya dapat dibagi 2:
1.

Type rigid (intrinsic) (resistent) => Tidak dapat dikoreksi dengan manipulasi. Tumit
kecil, equinus, dan inversi. Kulit dorsolateral pergelangan kaki tipis dan teregang, sedangkan
kulit medial terlipat.

2.

Type fleksibel (extrinsic) (easy) => Dapat dimanipulasi. Tumit normal dan terdapat
lipatan kulit pada bagian dorsolateral pergelangan kaki.10
Tanda lain :

Betis seperti tangkai pipa (pipe stem colf)

Tendo archiles pendek

Bagian distal fibula menonjol

Kaki lebar dan pendek

Metatarsal I pendek
12. Apa saja terapi yang dapat diberikan dari diagnosis kerja?
Terapi Medis
Tujuan terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas dan mempertahankan koreksi
yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang.
Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu:

CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting, dan pemasangan gips.
CTEV resisten yang memberikan respons minimal terhadap penatalaksanaan dengan
pemasangan gips dan dapat relaps cepat walaupun awalnya berhasil dengan terapi
manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.

The Pirani Scoring System


Dapat digunakan untuk identifikasi tingkat keparahan dan memantau perkembangan
kasus CTEV selama koreksi dilakukan.
Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk hindfoot,
kategori

terbagi

menjadi

tonjolan

posterior/

posterior

crease

(PC),

kekosongan
27

tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi / degree of dorsiflexion (DF).
Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of
the lateral border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan terpajannya kepala
lateral talus/uncovering of the lateral head of the talus (LHT).

Curvature of the lateral border of the foot (CLB)


Batas lateral kaki normalnya lurus. Batas kaki yang tampak melengkung menandakan
ter- dapat kontraktur medial.Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan
batangan/penggaris di bagian lateral kaki. Normalnya, batas lateral kaki tampak lurus,
mulai dari tumit sampai ke kepala metatarsal ke lima. Skor adalah 0 (Gambar 1).
Pada kaki abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus tersebut. Batas lateral
yang tampak melengkung ringan diberi nilai0,5 (lengkungan terlihat di bagian distal
kaki pada area sekitar metatarsal) (Gambar 2).
Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan
tersebut nampak setinggi persendian kalkaneokuboid) (Gambar 3).

Medial crease of the foot (MC)


Pada keadaan normal, kulit daerah telapak kaki akan memperlihatkan garis-garis halus.
Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya kontraktur di daerah medial.
Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat memeriksa.
Lihatlah pada lengkung batas medial kaki. Normalnya, akan terlihat garis-garis halus
pada kulit telapak kaki yang tidak mengubah kontur lengkung medial tersebut. Nilai
MC adalah 0 (Gam- bar 4).
Pada kaki abnormal, akan tampak satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila hal
ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur lengkung medial, nilai MC adalah 0,5
(Gambar5).
Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur batas medial
kaki, nilai MC adalah sebesar 1 (Gambar 6).

Posterior crease of the ankle (PC)


Pada keadaan normal, kulit bagian tumit posterior akan memperlihatkan lipatan kulit
multipel halus. Terdapatnya lipatan kulit yang lebih dalam menunjukkan adanya
kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan lembut saat
memeriksa.
Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis halus
yang tidak mengubah kontur tumit. Lipatan-lipatan ini menyebabkan kulit dapat
28

menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki dalam posisi dorsofleksi. Pada
kondisi ini, nilai PC adalah 0 (Gambar 7).
Pada kaki abnormal, akan didapatkan satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila
lipatan ini tidak terlalu mempengaruhi konturdari tumit, nilai PC adalah 0,5 (Gambar
8).
Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah tumit dan hal
tersebut merubah kontur tumit, nilai PC adalah 1 (Gambar 9).

Lateral part of the Head of the Talus (LHT)


Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, pemeriksa dapat meraba kepala talus di bagian
lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, tulang navikular akan turun menutupi kepala
talus, membuatnya menjadi lebih sulit teraba, dan akhirnya sama sekali tidak dapat
teraba. Tanda turunnya tulang navikular menutupi kepala talus adalah ukuran
besarnya kontraktur di daerah medial (Gambar 10).

Gambar 1Skor 0

Gambar 2 Skor 0,5

Gambar 3 Skor 1

Gambar 4 Nilai MC 0

29

Gambar 5 Nilai MC 0,5

Gambar 6 Nilai MC 1

Gambar 7 Nilai PC 0

Gambar 8 Nilai PC 0,5

Gambar 10. Perabaan kepala talus

Penatalaksanaan Non-operatif
Berupa pemasangan splint yang dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan koreksi
yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

Adduksi kaki depan (forefoot)


Supinasi kaki depan
Ekuinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa koreksi dapat

mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh
dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa
didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan menggunakan strapping yang diganti
tiap beberapa hari, atau menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Cara ini
dilanjutkan hingga dapatdiperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan
koreksi selanjutnya.
Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan.
Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan terapi
konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa
rockerbottom foot, atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan.Setelah
pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui apakah jenis deformitas CTEV
mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini dikonfirmasi menggunakan X-ray dan dilakukan
perbandingan penghitungan orientasi tulang. Tingkat kesuksesan metode ini11-58%.
30

Metode Ponseti
Langkah-langkah yang diambil:
1.

Deformitas utama pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah
intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki dalam posisi adduksi dan plantar pedis
mengalami fleksi padasendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam
posisi abduksi dan dorsofleksi.Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal, tulang
kalkaneus harus bisa denganbebasdirotasikan ke bawahtalus. Koreksi dilakukan melalui
lengkung normal persendian subtalus, dapat
jaritelunjukoperatordi maleolus

medialis

dilakukan dengan

cara meletakkan

untuk menstabilkan kaki,

kemudian

mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral kepala talus, sementara melakukan
2.

gerakan abduksi pada kaki depan dengan arah supinasi.


Cavus kaki akan meningkat bila kaki depan berada dalam posisi pronasi. Apabila ada
pes cavus, langkah pertama
dengan

3.

koreksi kaki adalah mengangkat metatarsal pertama

lembut untuk mengoreksi cavusnya. Setelah terkoreksi,kaki depan dapat

diposisikan abduksi seperti pada langkah pertama.


Saat kaki dalam posisi pronasi, dapat menyebabkan tulang kalkaneus berada di
bawah talus. Apabila hal ini terjadi, tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap
pada posisi varus,cavus akanmeningkat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya beanshaped foot. Pada akhir langkah pertama, kaki akan berada pada posisi abduksi

4.

maksimal, tetapi tidak pernah pronasi.


Manipulasi dikerjakandi ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki dimanipulasi,
selanjutnya dipasang long leg cast untuk mempertahankan

koreksi yang telah

dilakukan. Gips dipasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat.
Langkah selanjutnya adalah

menyemprotkan

tingtur

benzoinke kaki

untuk

melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih memasang bantalan
tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar aman saat melepas gips
menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari
kaki atau mengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90 selama
pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit
sebelum dilepas. Gips dibelah dua, dilepas menggunakan gergaji berosilasi (berputar),
kemudian disatukan kembali. Hal ini untuk mengetahui perkembangan abduksi kaki
depan, selanjutnya dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta koreksi yang
telah dicapai oleh kaki ekuinus.

31

5.

Usaha mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles yang kaku dapat
mengakibatkan patahnya kaki tengah (midfoot) dan berakhir dengan terbentuknya
deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki abnormal (cavus) harus
diterapi terpisah seperti pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat
dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya kaki tengah.
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi kaki
maksimum. Gips diganti tiap minggu. Koreksi (usaha membuat kaki dalam posisi
abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60.
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutuhkan
tenotomi perkutaneus tendon Achilles secara aseptis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi lignokain topikal dan infiltrasi lidokain lokal minimal. Tenotomi dilakukan
dengan

cara membuat irisan menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka pasca-

operasi ditu- tup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorpsi.
Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki berada pada posisi dorsofleksi
6.

maksimum, kemudi-an gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.


Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang
dipasangkan pada

lempengan DennisBrown. Kaki yang bermasalah diposisikan

abduksi (rotasi ekstrem) hingga 70, kaki sehat diabduksi 45. Sepatu ini juga memiliki
bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu digunakan 23 jam
7.

sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3 tahun.
Pada 10-30% kasus, tendon tibialis anterior dapat berpindah ke bagian lateral kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih
lama, mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada
anak usia 2-2,5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum operasi, pasangkan
long leg cast untuk beberapa minggu.

Terapi Operatif
1.

Insisi
Beberapa pilihan insisi, antara lain :
a. Cincinnati: berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial
sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi
tibiotalus.
b. Insisi Turco curvilineal medial/posteromedial: insisi ini dapat menyebabkan luka
terbuka, khususnya di sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini,
beberapa operator memilih beberapa jalan, antara lain:
Tiga insisi terpisah insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral
Dua insisi terpisah curvilinear medial dan posterolateral.
32

Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk tera- pi operatif di semua kuadran, antara lain:
a. Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis, fleksor digitorum brevis, ligamen plantaris panjang dan pendek
b. Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavikular dan
subtalar, tibialis posterior, FHL (fleksor halucis longus), dan pemanjangan FDL
(fleksor digitorum longus)
c. Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama

pelepasan

ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular


d. Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta
pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar
Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang adekuat. Struktur-struktur
yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah:
a. Tendon Achilles
b. Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar
c. Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
d. Ligamen tibiofibular inferior
e. Ligamen fibulokalkaneal
f. Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
g. Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.
Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20 dari proyeksi
lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di
persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat
dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi tidak boleh ditutup paksa. Luka dapat
dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau nantinya dapat dilakukan
cangkok (graft) kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia pasien:
1.

Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur

2.

jaringan lunak.
Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony
reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur

3.

Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).


Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau

arthrodesis.
Harus diperhatikan keadaan luka pasca-operasi. Jika penutupan kulit sulit dilakukan,
lebih baik dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi granulasi, untuk kemudian
memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder.

Dapat juga dilakukan

pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka operasi. Perban hanya boleh dipasang
longgar dan harus diperiksa secara reguler.

33

Follow-up Pasien, Pin untuk fiksator biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu,
tetap diperlukan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.
13. Bagaimana pencegahan dari diagnosis kerja?
Pada dasarnya tidak ada jenis pencegahan yang mutlak dalam menghindari penyakit ini,
hanya saja memang sudah menjadi kebiasaan yang baik apabila seorang wanita hamil untuk
menghindari asap rokok, berbagai macam radiasi serta penggunaan obat-obatan yang
memang tidak dianjurkan oleh dokter. Hal ini berkaitan pula dengan beberapa penilitian yang
menyebutkan bahwa banyak diantaranya wanita hamil yang melakukan aktifitas merokok
selama masa kehamilannya beresiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan kondisi CTEV.
14. Apa saja komplikasi dari diagnosis kerja?

Infeksi (jarang)

Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal berhubungan
dengan hasil yang kurang baik.

Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada tehnik
kombinasi pelepasan medial dan lateralis.
Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :

Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus

Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral

Adanya perpanjangan tendon


15. Bagaimana prognosis dari diagnosis kerja?

Dubia ad Bonam
a. Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan
operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar 89% dengan menggunakan
tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata
tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan
setinggi 75-90%, baik dari segi penampilan maupun fungsi kaki.
b. Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama yang
mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki, dimana hal tersebut
dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari

34

pasien dengan kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya
adalah prosedur pembentukan ulang tulang).
c. Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara 10-50%.
d. Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3 bulan
(biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).
16. Apa SKDI dari diagnosis kerja?
SKDI 2
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya, dan lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

35

VII.

LEARNING ISSUE

1. CTEV (Congenital Talipes Equinu Varus)


DEFINISI
Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi, supinasi
dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus,
dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan,
tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.
EPIDEMIOLOGI
Insiden dari CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insiden CTEV di
Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kasus laki-laki
dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus.
KLASIFIKASI
Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian CTEV, tetapi belum terdapat satu
klasifikasi yang digunakan secara universal. Pembagian yang sering digunakan adalah
postural atau posisional, serta

fixed

rigid. Clubfeet postural atau posisional bukan

merupakan clubfeet yang sebenarnya. Sedangkan clubfeet

jenis fixed atau rigid dapat

digolongkan menjadi jenis yang fleksibel (dapat dikoreksi tanpa operasi) dan resisten
(membutuhkan terapi operatif, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar menurut pengalaman
dr. Ponseti).
Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain :
a. Pirani
b. Goldner
c. Di Miglio
d. Hospital for Joint Diseases (HJD)
e. Walker
ETIOLOGI
36

Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. akan tetapi banyak
teori mengenai etiologi CTEV, antara lain :
a. faktor mekanik intra uteri
Adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatakan bahwa kaki
bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan
Browne (1939) mengatakn bahwa adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya
penekanan dari luar karena keterbatasan gerak fetus.
b. defek neuromuskular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak ditemukan adanya
kelainan histologis dan eektromiografik.
c. defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan CTEV dan 14 kaki
normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari talus selalu pendek, diikuti rotasi
bagian anterior ke arah medial dan plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal
tersebut dikarenakan defek dari plasma sel primer.
d. perkembangan fetus yang terhambat
e. herediter
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik mempermudah fetus
terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella, penggunaan Talidomide).
f. hipotesis vaskular
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-kasus CTEV.
Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis. Pada bayi dengan CTEV
didapatkan adanya muscle wasting pada bagian ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan
dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.
PATOFISIOLOGI
Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
Telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot peroneus pada
pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan inervasi intrauterine karena
penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada
35% bayi dengan spina bifida.
37

d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang sangat
longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur tendon (kecuali Achilees).
Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat
teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan
mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban
kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali pada insersi
tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikarenakan adanya distorsi
pada posisi anatomis CTEV yang membuat tampak terlihat adanya kelainan pada insersi
tendon.
f. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden
epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang serupa pada insiden
kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal
poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord
anterior bayi-bayi tersebut.
GAMBARAN KLINIK
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga. Lakukan
pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya kelainan lain. Periksa
kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga dapat terlihat bagian plantar. Periksa
juga dengan posisi bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.
Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan arthrogryposis.
Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada dalam posisi supinasi (varus)
serta adduksi.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur pada
jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam

38

posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke
arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti pipi).
Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi kembali dan pada perabaan akan
terasa lebih keras (seperti meraba hidung atau dagu).
Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba
pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh navikular dan badan talus. Maleolus
medial menjadi susah diraba dan pada umumnya menempel pada navikular. Jarak yang
normal terdapat antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami
rotasi internal.
GAMBARAN RADIOLOGIS
Radiographi
Gambaran radiologis dari CTEV adalah adanya kesejajaran antara tulang talus dan
kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis memiliki arti yang sangat penting.
Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30 dan posisi
tabung 30 dari keadaan vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar
sebesar 30.
Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar
fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus.
Mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP digambar melalui
pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta melalui pusat aksis tulang
kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya adalah antara 25-40. Bila
ditemukan adanya sudut kurang dari 20 maka dikatakan abnormal.
Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring dengan
terapi yang diberikan, baik dengan casting maupun operasi, maka tulang kalkaneus akan
berotasi ke arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan begitu
maka akan terbentuk sudut talokalkaneus yang adekuat.

39

Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta
sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50, sedang pada CTEV
nialinya berkisar antara 35 dan negatif 10.
Sudut dari dua sisi ini (AP and lateral) ditambahkan untuk mengetahui indeks
talokalkaneus, dimana pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari 40.
Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan
metatarsal pertama.
Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi maksimal
dorsofleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosa CTEV yang
tidak dikoreksi.
TERAPI
1. Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada dan
mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang.
Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :

CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan pemasangan gips.

CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penata laksanaan dengan
pemasangan gips dan dapat relaps ccepat walaupun sepertinya berhasil dengan terapi
manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr. Shafiq Pirani,

seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan The Pirani Scoring System. Dengan
menggunakan sistem ini, kita dapat mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor
perkembangan suatu kasus CTEV selama koreksi dilakukan.
Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk
hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior crease (PC), kekosongan
tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion
40

(DF).

Sedangkan

untuk

kategori

midfoot,

terbagi

menjadi

kelengkungan

batas

lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan
tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of the lateral head of the talus (LHT).
2. Terapi Operatif
a. Insisi
Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain :

Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial sinus
tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.

Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat menyebabkan luka
terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa
operator memilih beberapa jalan, antara lain :

o Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral
o Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di semua
kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain :

Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen plantaris panjang
dan pendek

Medial : struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavicular dan subtalar,


tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL

Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan ligamen talofibular
posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular

Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta


pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar

41

Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang adekuat.
Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai berikut :

Tendon Achilles

Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.

Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.

Ligamen tibiofibular inferior

Ligamen fibulocalcaneal

Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.

Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik


Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20 dari proyeksi
lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di
persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan
menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka
tersebut dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya
dapat dilakukan cangkok kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien :

1.

Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur
jaringan lunak.

2.

Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan pembentukan ulang
tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur
Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).

3.

Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau
arthrodesis.).

42

Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska operasi
sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi
ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder.
Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka paska operasi. Perban
hanya boleh dipasang longgar dan harus diperiksa secara reguler.
Follow-up pasien
Pin untuk fiksator ini biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu tetap diperlukan
pemasangan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.
KOMPLIKASI

Infeksi (jarang)

Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal berhubungan
dengan hasil yang kurang baik.

Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada tehnik
kombinasi pelepasan medial dan lateralis.
Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :

Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus

Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral

Adanya perpanjangan tendon


DIAGNOSA BANDING

Postural clubfoot disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas
kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh pemeriksa. Postural clubfoot memberi
respon baik dengan pemasangan gips serial dan jarang relaps.

43

Metatarsus adductus (atau varus) adalah suatu deformitas dari tulang metatarsal
saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada pad aposisi addkutus.
Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial.
PROGNOSIS

Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan
operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar 89% dengan menggunakan
tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata
tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan
setinggi 75-90%, baik dari segi penampilan maupun fungsi kaki.

Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama yang
mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki, dimana hal tersebut
dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari
pasien dengan kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya
adalah prosedur pembentukan ulang tulang).

Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara 10-50%.

Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3 bulan
(biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).
2. Tumbuh Kembang Ektremitas Bawah Embrio
Periode embrionik terbagi menjadi 23 horizon atau tingkatan. Tiap horizon atau
tingkatan, berhubungan dengan tingkatan perkembangan dari embrio. Bentuk kaki yang
bulat mulai terlihat pada horizon ke 17, pada minggu ke 5 fase embrionik. Permukaan
lempeng kaki berada pada bidang transversal dan permukaan ventral, dan permukaan
plantar menghadap ke kepala. Bila dilihat dari aspek ventral dari embrio, rotasi dari
lempeng kaki kiri adalah berlawanan dengan arah jarum jam, dan rotasi kaki kanan searah
jarum jam, segmen tungkai bawah berperan dalam perubahan rotasi ini dan secara
morfologi belum tampak jari-jari kaki pada lempeng kaki. Dua hari kemudian, minggu ke
6 fase embrionik, rotasi kedalam tungkai bawah terus berjalan. Permukaan medial dari
lempeng kaki lebih mengarah ke bidang median dari batang tubuh. Perubahan dari

44

lempeng kaki lebih terlihat jelas strukturnya pada horizon ke 20 dan pada horizon ke 21,
minggu ke 7 fase embrionik.
Horizon ke 23 menandakan akhir dari fase embrionik dan berhubungan dengan
akhir dari minggu ke 8 fase embrionik. Kaki bersentuhan antara satu dengan lainnya, dan
telapak berada pada posisi berdoa. Pada periode janin, perubahan rotasi yang penting
terjadi, awalnya telapak kaki berhadapan, pada posisi equinus relatif terhadap tungkai
kaki. Terjadi rotasi internal yang progresif dari bagian paha, dan kaki berada pada posisi
equinus, supinasi, dan external rotasi relative terhadap tungkai kaki. Yang pada akhirnya
dorsiflexi dan pronasi kaki mengarah pada posisi netral kaki pada orang dewasa.
Beberapa fase perkembangan embrio kaki berdasarkan morfologi:
1. bulan ke-2: Kaki pada posisi 90 equinus dan adduksi.
2. awal bulan ke-3: Kaki pada posisi 90 equinus, adduksi, dan terlihat supinasi
3. pertengahan bulan ke-3): Kaki dorsifleksi pada ankle, tetapi masih sedikit tampak
beberapa derajat equinus. Dan supinasi masih ada. Metatarsal pertama tetap
adduksi.
4. awal bulan ke-4): Kaki pronasi dan sampai pada posisi midsupinasi. Dan masih
tampak sedikit metatarsus varus. Equinus sudah tidak tampak.
Pronasi berlanjut selama fase pertumbuhan dan tetap belum sempurna saat bayi baru lahir.
Keempat tingkatan perkembangan morfologi kaki dapat memberikan gambaran yang jelas,
walau pada kenyataannya, perubahan yang terjadi tidak selalu sesuai dengan tingakatan
perkembangan yang ada, tetapi perubahan terjadi secara bertahap dan berkesinambungan.
Perkembangan Embriologi Extremitas Bawah

Manifestasi pertama extremitas bawah sebagai paddle-shape bud pada dinding


ventrolateral tubuh selama minggu 4-5 gestasi. Limb bud ini akan berkembang
bentuknya dengan adanya migrasi dan proliferasi dari jaringan mesenkim yang
berdifrensiasi. Dengan berakhirnya minggu ke 6, limb bud terus berkembang
membentuk lempengan terminal (plate) dari tangan dan kaki (termasuk
membentuk pola digiti) serta membentuk eksternal awal dari tungkai.

Tepatnya minggu ke 7, axis longitudinal dari upper dan lower limb buds adalah
parallel. Komponen pre-axial menghadap ke dorsal dan post-axial menghadap ke
ventral. Pada periode ini posisi limb bud dibanding trunk tidak mengalami
45

perubahan yang berhubungan dengan aktivitas otot namun dipastikan akan


mengalami torsion pada tulang-tulangnya.

Jari-jari dibentuk penuh pada minggu ke 8 embrio, permukaan plantar yang


berlawanan disebut posisi praying feet, segera setelah itu lower limb berputar ke
medial membawa ibu jari ke midline dari posisi post-axial pada awalnya.

Selanjutnya secara mekanik intrauterine, terbentuklah ekstremitas bawah fetus,


kemudian femur atau upper limb bud berotasi ke eksternal dan tibia atau lower
limb bud berotasi ke internal. Postur kaki terus tumbuh dan dipastikan femur
berotasi ke lateral dan tibia ke medial.

Dalam studi computer tomografi (CT) tibial torsion selama masa pertumbuhan
fetus, telah ditemukan bahwa ada peningkatan eksternal tibial torsion pada
stadium awal dari kehidupan fetus namun kemudian secara bertahap menurun
pada saat bayi lahir, tibial akan torsion ke arah internal. Setelah lahir tibia berotasi
ke arah eksternal dan rata-rata version tibia pada tulang matur adalah 15.

Perkembangan Sejak Lahir

Femoral anteversi pada saat lahir akan memiliki sudut sekitar 30 sampai 40.
Dikarenakan intrauterin biasanya hip eksternal rotasi positif, maka pada saat
pemeriksaan infan akan terlihat hip lebih eksternal rotasi.

Jaringan lunak hip eksternal rotasi yang kontraktur akan berkurang lebih dari 1
tahun pertama kehidupan seorang anak selanjutnya meningkat menjadi internal
rotasi diharapkan femoral anteversi akan menjadi semakin terlihat.

Ada penurunan secara bertahap femoral anteversi dari 30 sampai 40 pada saat
lahir kemudian menjadi 10 sampai 15 pada adolesen awal dan puncak perbaikan
terjadi sebelum usia 8 tahun.

46

VIII. KERANGKA KONSEP


Bayi laki-laki, umur 10
hari
idiopatik
Kekakuan pada jaringan
lunak

Calcaneus rotasi ke
medial terhadap talus

Varus

Bentuk kaki melengkung


ke arah ventral plantar

Equinus

CTEV (Congenital
Talipes Equinus Varus

47

IX.

KESIMPULAN
Seorang bayi laki-laki berumur 10 hari , kedua kakinya memutar ke dalam dikarenakan

menderita CTEV (Congenital Talipes Equinu Varus).

48

X.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ponseti

IV. Clubfoot

management. J

Pediatr

Orthop. Nov-Dec 2000;20(6):699-

700. [Medline].
2. Cooper DM, Dietz FR. Treatment of idiopathic clubfoot. A thirty-year follow-up note. J Bone
Joint Surg Am. Oct 1995;77(10):1477-89. [Medline].
3. Bor N, Herzenberg JE, Frick SL. Ponseti management of clubfoot in older infants. Clin
Orthop Relat Res. Mar 2006;444:224-8. [Medline].
4. Noonan KJ, Richards BS. Nonsurgical management of idiopathic clubfoot. J Am Acad
Orthop Surg. Nov-Dec 2003;11(6):392-402. [Medline].
5. Docker CE, Lewthwaite S, Kiely NT. Ponseti treatment in the management of clubfoot
deformity a continuing role for paediatric orthopaedic services in secondary care
centres. Ann R Coll Surg Engl. Jul 2007;89(5):510-2. [Medline].
6. Ippolito E, Ponseti IV. Congenital club foot in the human fetus. A histological study. J Bone
Joint Surg Am. Jan 1980;62(1):8-22. [Medline].
7. Putz, R dan R. Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
8. Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. ed : Hartanto, Huriawati, dkk.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
9. Guyton, Arthur C., and John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Scher DM. The Ponseti method for treatment of congenital club foot. Curr Opin Pediatr. Feb
2006;18(1):22-5. [Medline].
11. Freedman JA, Watts H, Otsuka NY. The Ilizarov method for the treatment of resistant
clubfoot: is it an effective solution?. J Pediatr Orthop. Jul-Aug 2006;26(4):432-7. [Medline].
12. Ponseti IV. Relapsing clubfoot: causes, prevention, and treatment. Iowa Orthop J.
2002;22:55-6. [Medline].
13. Tachdjian Mihran O. Congenital Talipes Equinovarus In: John Anthony Herring [editor]:
Pediatric Orthopaedics, From the Texas Scottish Rite Hospital for Children. Saunders elsivier,
2008; 1070-1078.

49

14. Reyes Tyrone M, Luna-Reyes Ofelia B. The Ankle and the Foot. In: Kinesiology. Manila,
Philipines: UST Printing Office, 1978;152-166.
15. Graham. Apley, Louis Solomon. Deformities of the Foot. In: Apleys System of Orthopaedics
and Procedurs,1982; 307-9.
16. David H. Sutherland. Congenital Clubfoot. In: Gait Disorders in Chilhood and Adolescence.
William and Wilkins, 1984, 81
17. Http://www.emedicine/spesialities/radiology/pediatrics. Author: Ellen M Chung.
18. Http://www.ijoonline.com, Indian Journal of Orthopaedics, November 2008

50

Anda mungkin juga menyukai