Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Blok Musculosketal adalah blok 22 semester V dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.

B. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

C. Data Tutorial
Tutor : Dr. dr. Legiran, M.Kes
Moderator : Riski Fitri Nopina
Sekertaris : Eriska Geriana Permatasari Saing
Murtiningsih
Waktu : 1. Senin, 21 November 2016
2. Rabu, 23 November 2016
Pukul 10.00 – 12.00 WIB.
Pukul 10.00 – 12.00 WIB.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Skenario
Anamnesis
A mother brought her 10 days old boy to the outpatient clinic. She noticed that both of
her boy’s foot looks excessively turned inward since he was born. There is no abnormality
at other part of his body. She had normal delivery with normal weight birth. She never
suffered from any kind of illness and never got any medical prescriptions during pregnancy.
She has already brought him to traditional bone setter but there was no improvement.
Physical Examination
General examination within normal limit
Extremity examination : at foot region there are abnormalities : 1. Equinus foot, 2.
Varus of the foot.

B. Klarifikasi Istilah
No. Kata Arti
1. Kaki Equinus Dalam bahasa latin kuda; posisi kaki plantar fleksi pada pergelang
kaki (angkle), terlihat seperti kuda.
2. Kaki Varus Varus adalah melengkung ke dalam; menunjukan deformitas
dengan sudut bagian tersebut mendekati garis tengah badan.

C. Identifikasi Masalah
No. Identifikasi Masalah Prioritas
1. Seorang ibu membawa anak laki-lakinya berumur 10 hari ke poliklinik.
Dia menyadari kedua kaki anaknya terlihat berbelok ke arah dalam
VVV
sejak lahir. Tidak ditemukan kelainan lain di bagian tubuh lain dari
anaknya.
2. Ibu melahirkan secara normal dengan berat badan lahir anak normal.
Ibu tidak pernah mengalami penyakit dan mengonsumsi obat saat VV
hamil.
3. Ibu telah membawa anaknya ke tukang urut, namun tak ada perbaikan. VV
4. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Ekstremitas : regio kaki abnormal : 1. Kaki Equinus, 2. V
Kaki Varus

2
D. Analisis Masalah
1. Seorang ibu membawa anak laki-laki nya berumur 10 hari ke poliklinik. Dia
menyadari kedua kaki anaknya terlihat berbelok ke arah dalam sejak lahir.
Tidak ditemukan kelainan lain di bagian tubuh lain dari anaknya.
a. Bagaimana hubungan jenis kelamin dengan kelainan pada kaki pasien?
Jawab :
Epidemiologi CTEV
 Sekitar 1 dari 1000 kelahiran
 Anak laki- laki 2 kali lebih sering menderita kasus ini dibanding anak
perempuan.
 30% sampai 40% kasus terjadi secara bilateral.

b. Bagaimana onset usia munculnya kelainan pada kaki seperti pada kasus?
Jawab :
CTEV dapat dilihat sejak dalam kandungan dengan pemeriksaan Prenatal
Transvaginal Sonographic. Pada 36 kasus, bisa dideteksi di usia 13-16 minggu gestasi
(early onset). Tapi ada juga beberapa kasus dimana clubfoot tampak dan kemudian hilang
(transient) lalu muncul kembali (20-22 minggu gestasi). Selain itu ada juga yang baru bisa
didiagnosis pada usia 22 – 24 minggu gestasi (late onset). Meskipun jarang, pada rahim
juga bisa dijumpai dua femomena yaitu transient dan late onset. Sedangkan Gold period
untuk CTEV adalah 3 minggu pertama sejak lahir.

c. Apa makna klinis kaki berbelok ke arah dalam dan terjadi pada kedua kaki?
Jawab :

Gambar 1. Equino varus

3
Kaki berbelok ke dalam menandakan terjadi sebuah defotmitas pada kasus berpa
kaki equinovarus (kaki plantar flexi dan inversi) sehingga membuat kaki berbelok ke arah
dalam. Kelainan ini sering disebut clubfoot. Clubfoot sendiri dapat berupa bawaan atau
CTEV atau merupakan akibat dari kelemahan (peroneal nerve palsy atau cerebral palsy).
Pada kasus terjadi pada kedua kaki, berarti CTEV pada kasus terjadi secara bilateral.
Berdasarkan epidemiologi sekitar 30 – 40% kasusnya bilateral. Pada kasus unilateral, kaki
kanan lebih sering terkena.

d. Bagaimana anatomi kaki sehubungan dengan kasus?


Jawab :

Gambar 2. Anatomi Kaki Normal

Gambar 3. Anatomi Kaki Clubfoot

4
Pada talus, caputnya menonjol di sisi dorsolateral dengan collum yang lebih pendek.
Navikulare bergeser ke sebelah medial caput talus, pergeseran ini mulai dari subluksasi
sampai dislokasi yang hampir kompleks. Oleh karena navikulare berpindah ke medial,
cuboid dan calcaneus bergeser pula ke medial dan terjadi perubahan yang sifatnya adaptasi
pada sisi lateral kaki (calcaneus, cuboid, metatarsal V).

e. Apa saja penyebab kelainan pada kaki seperti pada kasus?


Jawab :
Faktor genetik dan lingkungan merupakan penyebab clubfoot. Riwayat keluarga
sangat berpengaruh menunjukkan pengaruh genetik sangat kuat. 2,9% clubfoot terjadi jika
saudara menderita clubfoot, 0,6% bila paman dan bibi, dan 0,2 % bila sepupu yang terkena.
Risiko cukup tinggi bila kedua orang tua mengalami clubfoot. Bentuk familial biasanya
lebih parah daripada bentuk sporadik.
Kaki clubfoot tetap fisiologis selama 11 minggu umur janin, kemudian baru kaki
mengalami perubahan menjadi bentuk normal. Fibula tumbuh lebihh cepat dari tibia hingga
minggu ke-11, dan tibia tumbuh setelah titik ini. Risiko clubfoot juga meningkat pada ibu
hamil yang merokok. Posisi intrauterin yang tidak tepat juga berpengaruh terhadap
timbulnya clubfoot, seperti oligohydroamnion walaupun kebanyakan hal ini tidak terjadi
pada ketidaktepatan posisi intrauterin.

f. Bagaimana embriologi normal perkembangan kaki?


Jawab :
Perkembangan Embriologi Extremitas Bawah
 Manifestasi pertama extremitas bawah sebagai paddle-shape bud pada dinding
ventrolateral tubuh selama minggu 4-5 gestasi. Limb bud ini akan berkembang
bentuknya dengan adanya migrasi dan proliferasi dari jaringan mesenkim yang
berdifrensiasi. Dengan berakhirnya minggu ke 6, limb bud terus berkembang
membentuk lempengan terminal (plate) dari tangan dan kaki (termasuk membentuk
pola digiti) serta membentuk eksternal awal dari tungkai.
 Tepatnya minggu ke 7, axis longitudinal dari upper dan lower limb buds adalah
parallel. Komponen pre-axial menghadap ke dorsal dan post-axial menghadap ke
ventral. Pada periode ini posisi limb bud dibanding trunk tidak mengalami perubahan

5
yang berhubungan dengan aktivitas otot namun dipastikan akan mengalami torsion
pada tulang-tulangnya.
 Jari-jari dibentuk penuh pada minggu ke 8 embrio, permukaan plantar yang
berlawanan disebut posisi praying feet, segera setelah itu lower limb berputar ke
medial membawa ibu jari ke midline dari posisi post-axial pada awalnya.
 Selanjutnya secara mekanik intrauterine, terbentuklah ekstremitas bawah fetus,
kemudian femur atau upper limb bud berotasi ke eksternal dan tibia atau lower limb
bud berotasi ke internal. Postur kaki terus tumbuh dan dipastikan femur berotasi ke
lateral dan tibia ke medial.
 Dalam studi computer tomografi (CT) tibial torsion selama masa pertumbuhan fetus,
telah ditemukan bahwa ada peningkatan eksternal tibial torsion pada stadium awal dari
kehidupan fetus namun kemudian secara bertahap menurun pada saat bayi lahir, tibial
akan torsion ke arah internal. Setelah lahir tibia berotasi ke arah eksternal dan rata-rata

version tibia pada tulang matur adalah 15⁰.

Beberapa fase perkembangan embrio kaki berdasarkan morfologi:


1. Bulan ke-2: Kaki pada posisi 90° equinus dan adduksi.
2. Awal bulan ke-3: Kaki pada posisi 90° equinus, adduksi, dan terlihat supinasi
3. Pertengahan bulan ke-3): Kaki dorsifleksi pada ankle, tetapi masih sedikit tampak
beberapa derajat equinus. Dan supinasi masih ada. Metatarsal pertama tetap adduksi.
4. Awal bulan ke-4): Kaki pronasi dan sampai pada posisi midsupinasi. Dan masih
tampak sedikit metatarsus varus. Equinus sudah tidak tampak.
Pronasi berlanjut selama fase pertumbuhan dan tetap belum sempurna saat bayi baru
lahir. Keempat tingkatan perkembangan morfologi kaki dapat memberikan gambaran yang
jelas, walau pada kenyataannya, perubahan yang terjadi tidak selalu sesuai dengan
tingakatan perkembangan yang ada, tetapi perubahan terjadi secara bertahap dan
berkesinambungan.

g. Bagaimana mekanisme (dan embriologi sehubungan kasus) munculnya


deformitas seperti pada kasus?
Jawab :
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula (6,5 – 7
minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika terjadi gangguan

6
perkembangan saat kedua fase tersebut, misalnya pada fase tibia awal mendapat paparan
zat-zat tertentu (seperti glukokortikoid dan bahan kimia) maka kemungkinan terjadinya
CTEV akan meningkat.
Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV,
namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah multifactorial dan proses
kelainan telah dimulai sejak limb bud development.
Ada beberapa hipotesis sehubungan dengan penyebab CTEV yang idiopatik, yaitu:
(1) Hipotesis tekanan mekanik atau posisi
Retriksi pada pergerakan kaki fetus oleh uterus menyebabkan idiopathic CTEV
(ICTEV). ICTEV muncul dari sekuens oligohidroamnion, misalnya penurunan volume
carian amnion. Teori ini didukung dengan adanya kesimpulan hasil penilitan dengan
amniocentasis. Namun, oligohydramnion secara umum berhubungan dengan anomaly
perkembangan tambahan dan dapat menunjukan penyebab neurologis yang jelas. Penelitian
dengan amniocentesis, menunjukan kebocoran amnion hanya ditemukan pada beberapa
kasus, sehingga mekanisme dari ICTEV setelah amniocentesis dapat berhubungan dengan
etiologi berbeda. Sehubungan dengan hipotesis posisi, clubfoot dapat dideteksi dari
trimester kedua, jauh sebelum tekanan uterus berlebihan pada perkembangan janin pada
kebanyakan kasus.
(2) Hipotesis tulang/sendi
Hipoteisis tluang/sendi menyatakan abnormalitas posisi tulang sebagai penyebab
anomaly. Osifikasi endochondral dari kaki terganggu dan berhubungan dengan
tergangguanya osifikasi perichondral.
(3) Hipotesis jaringan ikat
Hipotesis jaringan ikat menunjukan abnormalitas primer dari jaringan ikat yang
menyebabkan ICTEV. Teori ini didukung dengan kelemahan dari sendi. Namun pada
temuan histologi, otot, tendon, fasia, dan jaringan lunak lain tidak mengalami abnormalitas.
Peningkatan jaringan fibrosa dapat dijumpai pada otot, fascia, ligament, dan tendon.
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari adanya
defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan gambaran histologis
normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan
tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang.
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada
pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten.

7
(4) Hipotesis vascular
Ditemukan blocking pada sinus tarsi. Hal ini mencolok pada awal kehidupan fetus,
dan menurun menjadi infiltrasi lemak yang sederhana dan jaringan fibrosa pada specimen
yang lebih tua. Individu dengan ICTEV memiliki otot yang atrofi pada ipsilateral betis yang
berhubungan dengan penurunan perfusi melalui arteri tibialis pada masa perkembangan.

(5) Hipotesis neurologi


CTEV merupakab bagian dari beberapa sindrom neurologis, seperti spina bifida.
(6) Hipotesis hambatan pertumbuhan
Saat perkembangan akhir dari kaki (9 – 38 minggu), chondrofikasi dari kaki
sempurna, dan mulai osteofikasi, cavitas sendi dan formasi ligament sempurna dan kaki
sidtal berputar kea rah medial. Dalam proses rotasi, memungkinkan pedis dari kaki untuk
terletak rata di atas tanah, dakan ke arah dalam, seperti pada kaki di periode embrional
akhir. Pronasi terus berlanjut sampai perkembangan postnatal. Clubfoot yang parah mirip
dengan umur perkembangan kaki fetus saat awal bulan kedua dan deformitas bersamaan
dengan tidak berkembanganya tulang dan otot.

h. Mengapa kelainan hanya mengenai bagian kaki? Apakah bisa timbul kelainan
serupa di bagian tubuh lain?
Jawab :
Hal ini berkaitan dengan mekanisme terjadinya kelainan akibat kebocoran amnion
pada masa pertumbuhan ekstremitas, dimana posisi kepala berada di atas, dan ekstremitas
inferior berada di bawah. Kebocoran amnion, atau kelainan amniotik tinggi pada bagian
bawah sehingga clubfoot hanya terjadi pada kaki.

i. Apa tipe-tipe kelainan deformitas kongenital pada kaki?


Jawab :
1. Congenital talipes equinovarus
Congenital talipes equinovarus adalah fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan
varus. Tulang kalkaneus, navikular, dan kuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan
tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan,
tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.

8
Gambar 4. Congenital talipes equinovarus
2. Deformitas talipes lain
Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas ankle disebut dengan talipes yang
berasal dari kata talus (yang artinya ankle) dan pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki
dan ankle dipilah tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki. Deformitas talipes di
antaranya:
 Talpes calcaneovarus : deformitas pada bagian anterior kaki yang terangkat dan
arkus longitudinal kaki tinggi secara abnormal
 Talipes calcaneovagus : deformitas kaki pada tumit yang terpuntir ke luar garis
tengah badan dan bagian anterior kaki terangkat
 Talipes calcaneovarus : deformitas kaki pada tumit yang terpuntir ke arah garis
tengah badan dan bagian anterior terangkat
 Talipes calcaneus : dorsofleksi dimana jari-jari lebih tinggi daripada tumit
 Talipes cavovalgus : deformitas yang arkus longitudinal kakinya tinggi secara
abnormal dan tumit terpuntir ke luar dari garis tengah tubuh
 Talipes cavovarus: deformitas yang arkus longitudinal kakinya tinggi secara
abnormal dan tumit terpuntir ke dalam dari garis tengah tubuh
 Talipes cavus : arkus longitudinal kaki yang sangat tinggi; dapat kongenital atau
akibat kontraktur atau gangguan keseimbangan otot-otot
 Talipes equinovalgus : deformitas kaki yang tumitnya terangkat dan terpuntir ke
luar dari garis tengah tubuh
 Talipes equinus : plantar fleksi dimana jari-jari lebih rendah daripada tumit
 Talipes planovalgus : deformitas kaki yang tumitnya terpuntir keluar dari garis
tengah tungkai dan tepi luar bagian anterior kaki lebih tinggi daripada tepi

9
dalamnya. Hal ini mengakibatkan penurunan arkus longitudinal. Keadaan ini
dapat kongenital dan permanen, atau dapat spasmodik sebagai akibat spasme
refleks otot-otot yang mengontrol kaki.
 Talipes valgus : eversi atau membengkok ke luar; deformitas forefoot adduksi dan
supinasi melalui sendi midtarsal, tumit varus pada subtalar, tumit varus pada
subtalarequinus pada ankle dan deviasi medial seluruh kaki dalam hubungan
dengan lutut. (salter)
 Talipes varus : inversi atau membengkok ke dalam

Gambar 5. Berbagai macam deformitas talipes


3. Osteogenesis Imperfekta (Fragilitas Osseum)
Kelainan jaringan ikat dan tulang yang bersifat herediter dengan gangguan maturitas
kolagen, sehingga osteoblas tidak mampu untuk berdiferensiasi
 Kerapuhan tulang
 Kelemahan persendian
 Kerapuhan pembuluh darah
 Sklera biru
 Gangguan kulit

10
Gambar 6. Osteogenesis Imperfekta
4. Metatarsus primus varus
Terjadi varus/adduksi pada metatarsus satu terhadap metatarsus lainnya. Bagian
medial dari ibu jari menjauh terhadap metatarsus kedua sehingga terdapat ruangan
diantaranya.

Gambar 7. Metatarsus primus varus

11
5. Metatarsus verus
Terjadi varus dan adduksi dari kelima metatarsal. Seluruh kaki bagiandepan tidak
saja mengalami adduksi,juga supinasi. Keadaan ini biasa disertai dengan torsi tibial
interna

Gambar 8. Metatarsus verus

2. Ibu melahirkan secara normal dengan berat badan lahir anak normal. Ibu
tidak pernah mengalami penyakit dan mengonsumsi obat saat hamil.
a. Apa makna klinis dari riwayat kelahiran dan kehamilan ibu terhadap kelainan
pada anak?
Jawab :
Pada riwayat kelahiran dan kehamilan ibu yang normal menandakan bahwa
etiologinya bukan dari faktor kelahiran dan kehamilan ibu. Akan tetapi etiologi CTEV
idiopatik atau tidak diketahui. Penyebab CTEV adalah multifactorial dan proses kelainan
telah dimulai sejak limb bud development.

b. Apakah ada pengaruh riwayat kehamilan dengan kelainan deformitas


congenital yang dialami anaknya?
Jawab :
Hingga kini belum ditemukan cara untuk mengobati efek yang timbul akibat
paparan bahan teratogenik pada ibu hamil. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat
dilakukan oleh ibu hamil dalam mencegah efek bahan teratogenik adalah dengan

12
menghindari paparan bahan tersebut pada dirinya. Untuk itu perlu bagi ibu hamil untuk
mengetahui dan memahami bahan-bahan apa saja yang dapat memberikan efek teratogenik.
Umumnya bahan teratogenik dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan golongannya
yakni bahan teratogenik fisik, kimia dan biologis. Bahan tertogenik fisik adalah bahan yang
bersifat teratogen dari unsur-unsur fisik misalnya Radiasi nuklir, sinar gamma dan sinar X
(sinar rontgen). Bila ibu terkena radiasi nuklir (misal pada tragedi chernobil) atau terpajan
dengan agen fisik tersebut, maka janin akan lahir dengan berbagai kecacatan fisik. Tidak
ada tipe kecacatan fisik tertentu pada paparan ibu hamil dengan radiasi, karena agen
teratogenik ini sifatnya tidak spesifik karena mengganggu berbagai macam organ.
Dalam menghindari terpajan agen teratogen fisik, maka ibu sebaiknya menghindari
melakukan foto rontgen apabila ibu sedang hamil. Foto rontgen yang terlalu sering dan
berulang pada kehamilan kurang dari 12 minggu dapat memberikan gangguan berupa
kecacatan lahir pada janin.Bahan teratogenik kimia adalah bahan yang berupa senyawa
senyawa kimia yang bila masuk dalam tubuh ibu pada saat saat kritis pembentukan organ
tubuh janin dapat menyebabkan gangguan pada proses tersebut. Kebanyakan bahan
teratogenik adalah bahan kimia. Bahkan obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
beberapa penyakit tertentu juga memiliki efek teratogenik.
Alkohol merupakan bahan kimia teratogenik yang umum terjadi terutama di negara-
negara yang konsumi alkohol tinggi.
Konsumsi alkohol pada ibu hamil selama kehamilannya terutama di trisemester
pertama, dapat menimbulkan kecacatan fisik pada anak dan terjadinya kelainan yang
dikenal dengan fetal alkoholic syndrome . Konsumsi alkohol ibu dapat turut masuk
kedalam plasenta dan memperngaruhi janin sehingga pertumbuhan otak terganggu dan
terjadi penurunan kecerdasan/retardasi mental. Alkohol juga dapat menimbulkan bayi
mengalami berbagai kelainan bentuk muka, tubuh dan anggota gerak bayi begitu ia
dilahirkan.
Paparan rokok dan asap rokok pada ibu hamil terutama pada masa organogenesis
juga dapat menimbulkan berbagai kecacatan fisik. Ada baiknya bila ibu berhenti merokok
(bila ibu seorang perokok) dan menghindarkan diri dari asap rokok. Ada baiknya bila sang
ayah yang perokok tidak merokok selama berada didekat sang ibu dalam kehamilannya.
Asap rokok bila terpapar pada janin-janin yang lebih tua (lebih dari 20minggu)
dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, atau bayi kecil.

13
Obat-obatan untuk kemoterapi kanker umumnya juga bersifat teratogenik.
Beberapa jenis obat anti biotik dan dan penghilang rasa nyeri juga memiliki efek gangguan
pada janin. Obat-obatan yang menimbulkan efek seperti narkotik dan obat-obatan
psikotropika bila dikonsumsi dalam dosis besar juga dapat menimbulkan efek serupa
dengan efek alcohol pada janin. Untuk itu ada baiknya bila selama kehamilan terutama
trisemester pertama agar ibu berhati-hati dalam mengkonsumsi obat dan hanya
mengkonsumsi obat-obatan yang dianjurkan oleh dokter.
Beberapa polutan lingkungan seperti gas CO, senyawa karbon dan berbagai
senyawa polimer dalam lingkungan juga dapat menimbulkan efek teratogenik. Oleh karena
itu ada baiknya bila ibu membatasi diri dalam bepergian ke tempat tempat dengan tingkat
polusi tinggi atau dengan mewaspadai konsumsi makanan dan air minum tiap harinya. Hal
ini karena umumnya bahan tersebut akan mengendap dan tersimpan dalam berbagai
makanan maupun dalam air minum harian.
Agen teratogenik biologis adalah agen yang paling umum dikenal oleh ibu hamil.
Istilah TORCH atau toksoplasma, rubella, cytomegalo virus dan herpes merupakan agen
teratogenik biologis yang umum dihadapi oleh ibu hamil dalam masyarakat. Infeksi
TORCH dapat menimbulkan berbagai kecacatan lahir dan bahkan abortus sampai
kematian janin.
Selain itu, beberapa infeksi virus dan bakteri lain seperti penyakit sifilis/raja singa
juga dapat memberikan efek teratogenik. Ada baiknya bila ibu sebelum kehamilannya
melakukan pemeriksaan laboratorium pendahuluan untuk menentukan apakah ia sedang
menderita infeksi TORCH, infeksi virus atau bakteri lain yang berbahaya bagi dirinya
maupun kehamilannya. Bila dari hasil dinyatakan positif, ada baiknya bila ibu tidak hamil
lebih dulu sampai penyakitnya disembuhkan dan telah dinyatakan fit untuk hamil.

c. Apakah ada pengaruh riwayat kelahiran dengan kelainan deformitas congenital


yang dialami anaknya?
Jawab :
Riwayat kelahiran atau jalan lahir tidak mempengaruhi kelainan deformitas ini
tetapi saat didalam kandungan yang dapat mempengaruhi bisa terjadinya kelainan
deformitas in.

14
Faktor risiko terjadi clubfoot adalah tidak cukup cairan ketuban selama kehamilan.
Terlalu sedikit cairan yang mengelilingi bayi dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
kaki clubfoot.

3. Ibu telah membawa anaknya ke tukang urut, namun tak ada perbaikan.
a. Apa pengaruh manipulasi tulang oleh tukang urut terhadap keadaan anak
tersebut dan mengapa tidak ada perbaikan?
Jawab :
Struktur tubuh bayi yang lebih mudah untuk dimanipulasi dapat memungkinkan
terjadinya perburukan dan akan lebih parah. Selain itu, pada kasus CTEV dibutuhkan
tatalaksana fiksasi lama karena tinggi untuk terjadi relaps dalam proses pertumbuhan
tulang. Hal ini juga yang menjadi penyeabab mengapa tidak ada perbaikan setelah
dilakukan manipulasi tulang oleh tukang urut.

4. Pemeriksaan Ekstremitas : Regio kaki abnormal : 1. Kaki Equinus, 2. Kaki


Varus
a. Bagaimana gambaran dan anatomi dari kaki equines dan kaki varus? Jelaskan!
Jawab :
Gambaran klinik clubfoot sangat karakteristik, kaki dan tungkai bawah seperti
tongkat (clublike). Terdapat lekukan yang dalam pada bagian posterior sendi ankle, kaki
bagian tengah dan kaki bagian depan terjadi aduksi, inversi dan aquinus. Dengan adanya
inversi dan aduksi dari kaki bagian depan akan menyebabkan terabanya benjolan tulang
pada subkutis dorsum pedis sisi lateral.
Kulit pada sisi cembung (dorsum pedis), tipis, teregang, dan tidak ada lekukan kulit,
malleolus lateralis lebih menonjol dibanding yang medial. Kulit sisi cekung (daerah medial
dan plantar) terdapat cekungan yang dalam.
Tulang naviculare berdekatan langsung dengan malleolus medialis, sehingga pada
palpalsi jarak antara kedua tulang tersebut tidak terdapat sela. Kaki bagian depan dalam
posisi equinus dan jaringan lunak sisi plantar kaki sangat kontraktur. Dapat diraba
ligamentum dan kapsul sendi sisi medial kaki dan sisi posterior sendi ankle memendek dan

15
menebal. Terdapat juga atrofi dari otot betis 3 dan pemendekan dari kaki. Keadaan equinus
ini kaku dan bila dilakukan manipulasi pasif hanya terkoreksi sedikit.
Bila keadaan ini datang terlambat untuk dikoreksi, maka keadaan kontraktur akan lebih
parah dan akan lebih kaku, anak akan berjalan pada sisi kaki lateral dan pada malleolus
lateralis. Anak tersebut bila berjalan akan terasa sakit dan terbentuk bursa dengan cepat.

Gambar 9. Congenital talipes equino varus

b. Apa dampak dari abnormalitas pada kaki seperti pada kasus terhadap
kehidupan pasien?
Jawab :
Dampak bagi penderita yang mengalami hal ini adalah penderita merasa tidak
nyaman (gelisah) & tidak akan mampu menempatkan kaki yang abnormal rata di lantai,
sehingga mengalami kesulitan saat berjalan, bermain dan beraktivitas. Akan tetapi, CTEV
tidak menghambat seorang anak untuk berjalan. Anak masih bisa berjalan walaupun gerak

16
jalannya aneh karena plantar pedis yang seharusnya digunakan untuk menumpu beban
digantikan oleh bagian lateral pedis. Disebut juga kaki pengkor.
Dampak kosmetik juga terganggu dimana penderita mengalami kaki yang
memendek dan bentuk yang abnormal pada kakinya sehingga sedikit kesusahan dalam
memilih sepatu.

ASPEK KLINIS
a. Diagnosis banding
 Postural clubfoot – terjadi karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas
kaki ini dapat dikoreksi secara manual. Postural clubfoot memberi respons baik
pada pemasangan gips serial dan jarang relaps.
 Metatarsus adductus (atau varus) - suatu deformitas tulang metatarsal saja.
Forefoot mengarah ke garis tengah tubuh, atau berada pada aposisi adduksi.
Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips
serial.

b. Algoritma diagnosis
1. Anamnesa:
 Keadaan kehamilan ibu (masa dalm kandungan)
 Riwayat persalinan : normal atau tidak, langsung menangis atau tidak,
 Berat badan dan panjang badan
 Adanya riwayat penyakit yang menurun, baik dari pihak ayah atau ibu
(pedigree / silsilah / keturunan)
 Perkembangan anak.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Look
Memperlihatkan keadaan anatomi, perhatikan anak dalm posisi pasif, bayi tiduran
telanjang dimeja operasi, dilihat mulai dari kepala sampai dengan anggota bawah (kaki).
 Kepala
o Mata : juling, biru (blue sclerae)
o Mulut : terbelah (schiziis), terbuka (open bite / menganga)

17
o Bentuk / perbandingan kepala ± badan : kecil (microcephal), besar
(macrocephal).
 Leher  Bayi yang batu lahir, yang tiduran telentang, tak terlihat leher bagian depan, oleh
karena itu tidak banyak dapat dilihat kecuali memperhatikan posisi kepala.
 Anggota gerak atas  Perlu diperhatikan lengkap atau tidak, bentuk dan gerakannya.
 Anggota gerak bawah  Juga seperti anggota gerak atas, lihat juga perbedaan panjang
dan bentuk serta gerakan ± gerakan aktif. Adakah perbedaan kulit antara sisi kanan dan
kiri, bila terdapat selisih panjang.
 Bagian punggung  dilihat ketika pasien dibalik.
b. Feel
Diperiksa sekaligus untuk melihat fungsi. Raba benjolan yang ada.
c. Move
 Kepala : Periksa apakah ubun´ masih terbuka (pada microcephal, ubun ± ubun cepat
menutup.
 Leher : Kalau melihat posisi kepala terpaku, (fixed) pada sutu jurusan, maka perlu dilihat
dan diperhatikan apakah betul gerakannya terhambat.Apabila tampak pendek dan gerakan
terbatas, maka perhatian khusus pada pemeriksaan otot
 Sternocleidomastoideus : Untuk itu, maka bayi diangkat dengan mengangkat
punggung, sehingga kepala menengadah.Perhatikan kembali kelainan yang tampak,
benjolan yang fusiform di otot sternocleidomastoideus disebut spindlelike tumor. Selain
itu raba ketegangan otot, kemudian gerakan kepala ke kanan, kekiri dan rotasi. Kelainan
yang ada didaerah ini pada umumnya perlu diperkirakan untuk diagnosis banding dari
keadaan leher pendek (brevii collis). Anggota gerak atas, mulai dengan meraba daerah
klavicula---Absen klavicula (agenesis / aplasia clavicula), Craniocleido disostosis,
Fraktur klavicula,Bahu biasanya tak banyak kelainan, kecuali bila ada kelumpuhan.,Siku
Bayi baru lahir biasanya posisi siku flexi, akibat kedudukan dalam rahim (foetal position),
sehingga ekstensi tak pernah maksimal, tetapi pronasi dan supinasi dapat penuh.
 Antebrachii (lengan bawah)
1. Kelainan yang tampak adalah keadaan aplasia atau displasia dari radius, sehingga
tampak tangan deviasi kearah radius,tau disebut radial club hand, yaitu suatu
inkomplite / partial amputasi, agenesis / aplasia tulang radius sebagian atau
keseluruhan.

18
2. Madellung Deformity, adalah suatu keadaan congenital dislokasi sendi radioulnar
distal.
 Tangan (Palydactyli, Syndactyli, X-ray)  yang penting pada pemeriksaan
tangan adalah memperhatikan ibu jari yang pada waktu jari ± jari di ekstensi
selalu dalam keadaan fleksi, perlu dicoba untuk ekstensi.
 Tulang Belakang  bayi perlu dibalik, caranya adalah dengan memegang
leher bayi dari depan dan dibalik, dimana kedua anggota gerak bawah disisi
radius atau ulna lengan bawah pemeriksa.
 Anggota Gerak Bawah  pada waktu bayi telungkup (prone) sekaligus
perhatikan keadaan sendi panggul dengan memperhatikan daerah :Bokong dan
perineum (simetri/jarak melebar), Lipatan kulit paha., Panjang kedua
ekstremitas
 Panggul  diperiksa brsama kanan & kiri u membandingkan gerak knan & kiri
dgn memegang paha bayi.
 Lutut  Seperti pada siku, posisi normal adalah flexi dan tidak bisa ekstensi
maksimal

c. Diagnosis kerja
Anak laki-laki, 10 hari, datang ke poliklinik mengalami Congenital Talipes Equino-
Varus (CTEV) yang menyebabkan kakinya berbelok ke arah dalam.

d. Epidemiologi
Angka kejadiannya bervariasi terhadap ras dan jenis kelamin. Pada Caucasian
frekuensinya 1,2/1000 kelahiran, dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 2 : 1. Pada
kejadiaan unilateral sisi kanan sedikit lebih banyak dari kiri.
Faktor genetik hanya memegang peranan sekitar 10%, sisanya merupakan kejadian
yang pertama kali didalam keluarga. Secara umum dapat dikatakan bahwa CTEV terjadi
kurang berat pada kasus yang sporadis bila dibandingkan dengan ada faktor familial, dan
makin banyak congenital talipes equinovarus (clubfoot) dalam keluarga makin besar
kemungkinannya punya anak dengan CTEV yang rigid (kaku).
Selain faktor keturunan, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting.
Insidensi CTEV pada kembar monozygote dan dizygote. Pada monozygote 13 dari 40

19
(32,5%) kembarannya menderita yang sama, dan pada dizygote hanya 4 dari 134 (2,9%).
Dari data ini dapat menyokong adanya kedua faktor pengaruh tersebut.
Pada kelurga Caucasians dapat dikatakan bila orang tua normal akan mendapat
kemungkinan anak laki-laki dengan CTEV 2%, bila perempuan 5%. Bila salah satu orang
tua terkena dan sudah mempunyai anak yang terkena juga maka kemungkinan punya anak
lagi dengan CTEV 10% - 25%.

e. Etiologi
Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya merupakan
isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang muncul bersamaan
dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan kongenital multipel.
Ada beberapa hipotesis lain berhubungan dengan penyebab dari CTEV, yaitu:
1) Hipotesis tekanan mekanik atau posisi
Retriksi pada pergerakan kaki fetus oleh uterus menyebabkan idiopathic CTEV
(ICTEV). ICTEV muncul dari sekuens oligohidroamnion, misalnya penurunan volume
carian amnion. Teori ini didukung dengan adanya kesimpulan hasil penilitan dengan
amniocentasis. Namun, oligohydramnion secara umum berhubungan dengan anomaly
perkembangan tambahan dan dapat menunjukan penyebab neurologis yang jelas. Penelitian
dengan amniocentesis, menunjukan kebocoran amnion hanya ditemukan pada beberapa
kasus, sehingga mekanisme dari ICTEV setelah amniocentesis dapat berhubungan dengan
etiologi berbeda. Sehubungan dengan hipotesis posisi, clubfoot dapat dideteksi dari
trimester kedua, jauh sebelum tekanan uterus berlebihan pada perkembangan janin pada
kebanyakan kasus.
2) Hipotesis tulang/sendi
Hipoteisis tluang/sendi menyatakan abnormalitas posisi tulang sebagai penyebab
anomaly. Osifikasi endochondral dari kaki terganggu dan berhubungan dengan
tergangguanya osifikasi perichondral.
3) Hipotesis jaringan ikat
Hipotesis jaringan ikat menunjukan abnormalitas primer dari jaringan ikat yang
menyebabkan ICTEV. Teori ini didukung dengan kelemahan dari sendi. Namun pada
temuan histologi, otot, tendon, fasia, dan jaringan lunak lain tidak mengalami abnormalitas.
Peningkatan jaringan fibrosa dapat dijumpai pada otot, fascia, ligament, dan tendon.

20
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari adanya
defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan gambaran histologis
normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan
tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang.
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada
pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten.
4) Hipotesis vascular
Ditemukan blocking pada sinus tarsi. Hal ini mencolok pada awal kehidupan fetus,
dan menurun menjadi infiltrasi lemak yang sederhana dan jaringan fibrosa pada specimen
yang lebih tua. Individu dengan ICTEV memiliki otot yang atrofi pada ipsilateral betis yang
berhubungan dengan penurunan perfusi melalui arteri tibialis pada masa perkembangan.
5) Hipotesis neurologi
CTEV merupakan bagian dari beberapa sindrom neurologis, seperti spina bifida.
6) Hipotesis hambatan pertumbuhan
Saat perkembangan akhir dari kaki (9 – 38 minggu), chondrofikasi dari kaki
sempurna, dan mulai osteofikasi, cavitas sendi dan formasi ligament sempurna dan kaki
distal berputar ke arah medial. Dalam proses rotasi, memungkinkan pedis dari kaki untuk
terletak rata di atas tanah, dan akan ke arah dalam, seperti pada kaki di periode embrional
akhir.
Pronasi terus berlanjut sampai perkembangan postnatal. Clubfoot yang parah mirip
dengan umur perkembangan kaki fetus saat awal bulan kedua dan deformitas bersamaan
dengan tidak berkembanganya tulang dan otot.

f. Faktor risiko
Faktor risiko meliputi:
 Sejarah keluarga. Jika salah satu orang tua atau anak-anak mereka yang lain memiliki
kaki clubfoot, bayi lebih cenderung untuk memilikinya juga.
 Kondisi bawaan. Dalam beberapa kasus, kaki clubfoot dapat dikaitkan dengan kelainan
lain dari kerangka yang hadir pada saat lahir (kongenital), seperti spina bifida, cacat lahir
yang serius yang terjadi ketika jaringan sekitarnya sumsum tulang belakang berkembang
dari janin tidak menutup dengan benar .
 Lingkungan Hidup. Jika seorang wanita dengan riwayat keluarga kaki clubfoot
merokok selama kehamilan, risiko bayinya kondisi mungkin dua kali lipat dari bukan

21
perokok. Juga, mendapatkan infeksi atau menggunakan narkoba selama kehamilan
dapat meningkatkan risiko kaki clubfoot.
 Tidak cukup cairan ketuban selama kehamilan. Terlalu sedikit cairan yang
mengelilingi bayi dalam kandungan dapat meningkatkan risiko kaki clubfoot.

g. Manifestasi klinis dan Klasifikasi


Gejala klinis dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga yang menderita clubfoot atau
kelainan neuromuskuler, dan dengan melakukan pemeriksaan secara keseluruhan untuk
mengidentifikasi adanya abnormalitas.
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pronasi, dengan bagian plantar yang terlihat,
dan supinasi untuk mengevaluasi rotasi internal dan varus. Jika anak dapat berdiri, pastikan
kaki pada posisi plantigrade, dan ketika tumit sedang menumpu, apakah pada posisi varus,
valgus atau netral.
Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and arthrogryposis. Oleh sebab
itu agar selalu memeriksa gejala-gejala yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tersebut.
Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi dapat dorso
fleksi dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian anterior dari tibia). Dorso fleksi
melebihi 90° tidak memungkinkan.
Gambaran klinisnya dapat dibagi 2:
1. Tipe rigid (intrinsic / resistent) => Tidak dapat dikoreksi dengan manipulasi.
Tumit kecil, equinus, dan inversi. Kulit dorsolateral pergelangan kaki tipis
dan teregang, sedangkan kulit medial terlipat.
2. Tipe fleksibel (extrinsic / easy) => Dapat dimanipulasi. Tumit normal dan
terdapat lipatan kulit pada bagian dorsolateral pergelangan kaki.

h. Etiopatogenesis
Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya merupakan
isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang muncul bersamaan
dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan kongenital multiple.
Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan etiologi CTEV, yaitu:
1. Faktor mekanik in utero
Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh Hippocrates. Dia
percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus akibat adanya kompresi dari luar

22
uterus. Namun Parker pada 1824 dan Browne pada 1939 mengatakan bahwa keadaan
dimana berkurangnya cairan amnion, seperti oligohidramnion, mencegah pergerakan janin
dan rentan terhadap kompresi dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan memicu
deformitas ini.
2. Defek neuromuskuler
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari adanya
defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan gambaran histologis
normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan
tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang.
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF
pada pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten.
3. Primary germ plasma defect
Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki equinovarus dan 14 kaki
normal, mereka menemukan neck talus selalu pendek dengan rotasi ke medial dan plantar.
Mereka berpendapat hal ini karena adanya defek pada primary germ plasma.
4. Arrested fetal development
 Intrauterina
Adanya gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio adalah penyebab
clubfoot kongenital.
 Pengaruh lingkungan
Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta asap rokok
memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi temporary growth arrest pada
janin.
5. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula (6,5 –
7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika terjadi gangguan
perkembangan saat kedua fase tersebut, maka kemungkinan terjadinya CTEV akan
meningkat.
Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV,
namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah multifactorial dan
proses kelainan telah dimulai sejak limb bud development.

23
i. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis CTEV ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menilai kemajuan pengobatan bisa dengan X-Ray. Gambar posisi AP
diambil dengan kaki 30º plantar flexi & tabung (beam) membentuk sudut 30º dan posisi
lateral. Tiga komponen utama pada deformitas dapat terlihat pada pemeriksaan radiologi,
yaitu:
 Equinus kaki belakang adalah plantar flexi dari kalkaneus anterior (serupa dengan kuku
kuda) seperti sudut antara axis panjang dari tibia dan axis panjang dari kalkaneus (sudut
tibiocalcaneal) lebih dari 90°
 Pada varus kaki belakang, talus terkesan tidak bergerak terhadap tibia. Pada penampang
lateral, sudut antara axis panjang talus dan sudut panjang dari kalkaneus (sudut
talocalcaneal) adalah kurang dari 25° (sekitar 20o), dan kedua tulang mendekati sejajar
dibandingkan posisi normal. Tarik garis melalui axis memanjang talus sejajar batas
medial & melalui axis memanjang calcaneus sejajar tepi lateral.
 Pada penampang dorso plantar, sudut talocalcaneal adalah kurang dari 15°, dan kedua
tulang tampak melampaui normal. Juga axis longitudinal yang melewati talus bagian
tengah (midtalar line) melewati bagian lateral ke bagian dasar dari metatarsal pertama,
dikarenakan bagian depan kaki terdeviasi kearah medial.
 Posisi lateral diambil dengan kaki dalam forced dorsi flexi. Garis ditarik melalui axis
mid longitudinal talus dan tepi bawah calcaneus. Normalnya 40°. Pada penampang
lateral, tulang metatarsal tampak menyerupai tangga.

Gambar . Radiologi angkle normal

24
Pengukuran Kaki Normal Clubfoot
Sudut tibiocalcaneal 60-90° on lateral view >90° (hindfoot equinus) on lateral view
Sudut Talocalcaneal 25-45° on lateral view, <25° (hindfoot varus) on lateral view,
15-40° on DP view <15° (hindfoot varus) on DP view
Metatarsal Slight on lateral view, None (forefoot supination) on lateral
convergence slight on DP view view, increased (forefoot supination) on
DP view
Tabel 1. Perbandingan kaki normal dan Clubfoot

Gambar 11. Gambar sudut tulang pada pedis (TibCalc: Tibiocalcaneus; TC: Talocalcaneus; TibTal:
Tibiotalus; TH: Talohorizontal ; TMT 1: Talus metatarsal 1; CMT1: Calcaneum metatarsal 1; CMT 5:
Calcaneus metatarsal 5)
Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan pemeriksaan
fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang tarsal, calcaneus, dan
metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang tersebut telah cukup terosifikasi, dan
pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan proyeksi film anteroposterior dan lateral
dengan stress dorsofleksi.
Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-50°) dan talo-metatarsal I (0-10°),
sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal (30-50°) dan tibiocalcaneal (10-
20°). Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV,sehingga dapat
memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi yang akan diberikan.

j. Tatalaksana dan evaluasi


I. Terapi Non Operative/Konservatif
Perawatan non operatif dimulai sejak penderita lahir, dengan melakukanelongasi
jaringan lunak yang mengalami kontraktur dan kemudian dipertahankandengan
pemasangan gips secara serial selama 6 minggu dan gips diganti setiap minggu.

25
Dari 6 minggu sampai 12 minggu dipasang splint clubfoot tipe Denis Brown. Setelah
penderita waktunya berjalan setiap malam dipasang splint sepatu Denis Brown dan siang
hari memakai sepatu outflare sampai usia prasekolah.
Dari serial terapi tersebut yang paling penting adalah tahap pertama yaitu elongasi
jaringan lunak yang mengalami kontraktur dengan manipulasi pasif.
1) Stretching
Stretching merupakan latihan peregangan untuk memanjangkan jaringan lunak dan
kulit yang mengalami kontraktur dan merupakan suatu bentuk terapi yang di susun untuk
mengulur struktur jaringan lunak yang mengalami pemendekan secara patologis dan
dengan dosis tertentu dapat menambah range of motion. Passive stretching dilakukan
ketika pasien dalam keadaan rileks, menggunakan gaya dari luar, dilakukan secara manual
atau dengan bantuan alat untuk menambah panjang jaringan yang memendek. Posisi pasien
se-rileks mungkin, terutama pada daerah yang akan diterapi. Posisi terapis berada di depan
pasien.
 Elongasi otot triceps Surae, kapsul posterior dan lig. ankle dan sendi subtalar.
 Os calcaneus dipegang dgn jari telunjuk dan ibu jari 1 tangan kemudian tarik ke
arah distal tumit akan tertarik ke bwh dan terdorong menjauhi maleolus medial
fibula.
 Dengan tangan lain, area calcaneocuboid didorong ke posisi dorsofleksi, seluruh
kaki tetap dalam posisi inversi.
 Posisi ini dipertahankan dalam hitungan 10, lalu dilepaskan. Ulangi stretching
pasif ini 20-30 kali/sesi.
Tidak diperbolehkan melakukan dorsifleksi daerah kaki bagian depan, hal ini
akan menyebabkan kaki melengkung (roker-bottom).
 Elongasi otot tibialis posterior dan lig.tibionavicularis.
 Untuk stretching os.calcaneus dipegang dengan jari telunjuk dan ditarik ke
bawah ke arah distal.
 Tangan lain menjepit naviculare dengan jari telunjuk dan ibu jari menarik
naviculare dan bagiantengah ditarik ke distal ke daerah ibu jari kaki dan abduksi.
 Elongasi ligamen calcaneonaviculare plantaris dan jaringan lunak lantar.
 Dengan satu tangan mendorong tumit ke proximal dan tangan yang
lainmemegang kaki bagian tengah ke arah dorsifleksi.

26
 Ibu jari 1 tangan berada di atas maleolus medial dan ibu jari tangan lain di atas
naviculare.
 Posisi ini dipertahankan 10 hitungan lalu dilepas dan diulangi 20-30 kali tiap
sesi.
 Reduksi tertutup dislokasi medial dan plantar sendi talocalcaneonaviculare
Tahapan ini dikerjakan setelah tahap di atas sudah cukup berhasil.
 Kaki bagian belakang dipegang dengan tangan, jari kedua di atas corpustalus (di
atas sinus tarsi), dekat anterior dan distal malleolus lateralis, ibu jari padaanterior
malleolus medialis.
 Tangan satunya memegang kaki bagian tengah dan depan di antara ibu jaridan
jari kedua, dengan menggunakan traksi ke arah longitudinal, kaki dalamposisi
equinus dan inversi. Selanjutnya melakukan abduksi kaki bagian tengah,
mendorong naviculare ke lateral dan talus bagian anterior ke medial dengan
ibujari.
Secara klinis reduksi berhasil dengan terbentuknya kontur eksterna normal pada
posisi istirahat. Setelah reduksi, dilakukan pemeriksaan radiologi, sisi AP dan lateral.
Dianggap berhasil bila pada gambaran AP sudut talocalcaneal lebih dari 20 derajat dan T-
MT1 kurang dari 15 derajat, pada gambaran lateral sudut talicalcaneal harus antara 30-45
derajat.
Keadaan terreduksi ini dipertahankan dengan gips yang diganti setiap seminggu
sekali.

27
Gambar 12 . Teknik manipulasi CTEV

28
2) Patterning dari jongkok ke berdiri
Pasien duduk di atas matras, posisi terapis berada di depan pasien. Fasilitasi half
kneeling ke berdiri, pelaksanaanya posisi anak half kneeling sedangkan terapis kneeling di
depan atau di belakang anak dengan pegangan pada pelvis. Anak diminta untuk
memindahkan aba-aba “ayo bungkukkan badannya!” dilanjutkan dengan “ayo berdiri!”
terapis dapat membantu dengan memberikan sedikit tarikan ke arah depan dan ke atas (ke
arah berdiri). Pertahankan posisi ini untuk beberapa saat. Ulangi 5-8 kali pengulangan.
3) Pemasangan strapping
Strapping merupakan metode intervensi berupa balutan elastis yang direkatkan
pada jaringan superficial kulit guna menstabilkan otot, sendi dan melancarkan peredaran
darah serta aliran limfe, sehingga mengurangi nyeri pada proses penyembuhan tanpa
membatasi gerakan tubuh. Strapping adalah pita terapi berbahan khusus yang sangat elastis
dengan perekat akrilik (acrylic adhesive) dengan mengikuti pola seperti kulit, yang
mempunyai efek mengangkat kulit dengan mengambil tekanan dari reseptor rasa sakit.
Posisi pasien duduk dengan ankle diluruskan supaya rileks dan memudahkan
fisioterapis dalam memasang strapping. Sebelum pemasangan taping pastikan daerah yang
akan diaplikasikan dalam keadaan bersih dan kering supaya terhindar dari resiko gatal-
gatal, dan alergi kulit lainnya.
 Posiskan terlebih dahulu kaki pasien ke posisi anatomis dengan berlawanan arah pada
kasus CTEV yaitu abduksi, pronasi, eversi + dorsi fleksi ankle.
 Kemudian pasang rigid tape atau strapping pada 1/3 proksimal tibiofibula dengan
posisi mendatar, pemasangan rigid tape atau strapping untuk coreks postur ankle di
mulai dari bawah malleolus medial ke lateral 1/3 proksimal tibiofibula di lakukan
sebanyak 3 kali, kemudian dari 1/3 proksimal tibiofibula medial ke 1/3 proksimal
tibiofibula bagian medial sebanyak 3 kali
 Lalu pasang kembali rigid tape atau strapping pada 1/3 proksimal tibiofibula secara
mendatar. Kemudian lakukan pemasanga rigid tape atau strapping secara sirkuler dari
1/3 proksimal tibiofibula sampai ke metatarsal, tetapi calcaneus/tumit di bebaskan dari
pemasangan strapping agar ankle tetap bisa bergerak.
4) Standing
Pasien duduk di atas matras, posisi terapis berada di depan pasien. Fasilitasi
keseimbangan pada posisi berdiri caranya posisikan anak berdiri di lantai atau di matras
sedang terapis berada di depan atau di belakang anak dengan pegangan pada bahu

29
kemudian berikan dorongan ke depan, ke belakang atau ke samping. Latihan ini juga bisa
dilakukan di atas tilting board dengan posisi anak berdiri di atasnya dan terapis
menggoyang-goyang ke kanan, ke kiri, setelah dilakukan tiga kali arah diganti ke depan
dan ke belakang.

Bila konservatif berhasil, pengobatan dapat dilakukan dengan Denis Brown Splint
dan dikontrol sampai anak dewasa. Bila 3 bulan konservatif gagal, maka lakukan operatif.

II. Terapi Operatif


Indikasi:
 Gagal terapi konservatif
 Kambuh setelah konservatif berhasil
 Anak sudah besar dan belum mendapat pengobatan
Penatalaksanaan dengan operatif harus mempertimbangkan usia pasien :
1) Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur
jaringan lunak.
2) Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony
reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur
Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
3) Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau
arthrodesis.
Insisi
Beberapa pilihan insisi, antara lain :
1) Cincinnati: berupa insisi transversal, mulaidari sisi anteromedial
(persendiannavikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisianterolateral (bagian distal
dan medialsinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakangpergelangan kaki setinggi
senditibiotalus.
2) Insisi Turco curvilineal medial/posteromedial : insisi ini dapat menyebabkan luka
terbuka, khususnya di sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini,
beberapa operator memilih beberapa jalan, antara lain:
 Tiga insisi terpisah – insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral
 Dua insisi terpisah – curvilinear medial dan posterolateral.

30
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk terapi operatif di semua kuadran, antara
lain:
 Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis, fleksor digitorum brevis, ligamen
plantaris panjang dan pendek
 Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavikular
dan subtalar, tibialis posterior, FHL (fleksor halucis longus), dan
pemanjangan FDL (fleksor digitorum longus)
 Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligamen talofi bular posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofi bular
 Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar
Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang adekuat. Struktur-
struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah:
 Tendon Achilles
 Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar
 Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
 Ligamen tibiofi bular inferior
 Ligamen fi bulokalkaneal
 Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
 Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.
Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari proyeksi
lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di
persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan
menggunakan gips. Luka pasca operasi tidak boleh ditutup paksa. Luka dapat dibiarkan
terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau nantinya dapat dilakukan cangkok (graft)
kulit.
Harus diperhatikan keadaan luka pasca-operasi. Jika penutupan kulit sulit
dilakukan, lebih baik dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi granulasi, untuk kemudian
memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan
pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka operasi. Perban hanya boleh dipasang
longgar dan harus diperiksa secara reguler.

31
Follow-up
Pasien Pin untuk fiksator biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu, tetap
diperlukan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.

k. Pencegahan dan edukasi


Pencegahan
Tidak ada cara untuk mencegah Clubfoot saat ini. Namun, wanita hamil tidak boleh
merokok, terutama jika mereka memiliki riwayat keluarga Clubfoot. Merokok juga
meningkatkan risiko memiliki bayi dengan berat lahir rendah atau prematur, serta
berhubungan dengan kejadian clubfoot dan komplikasi kehamilan lainnya. Konseling
genetik dapat membantu orang tua memahami kemungkinan memiliki anak dengan kaki
clubfoot. Umumnya, jika seorang anak memiliki Clubfoot terisolasi (tidak ada cacat lahir
lainnya sekarang), risiko kekambuhan pada kehamilan lain adalah rendah (sekitar 5 persen).
Edukasi
Clubfoot dan beberapa cacat kaki yang lain secara umum dapat diakui selama
pemeriksaan baru lahir. Cacat ini biasanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan fisik
saja, meskipun kadang-kadang penyedia bisa merekomendasikan tes tambahan, seperti
sinar-X.
Clubfoot kadang didiagnosis sebelum kelahiran, selama USG. Meskipun gangguan
tersebut tidak dapat diobati sebelum kelahiran, orang tua memiliki kesempatan untuk
menemukan seorang ahli bedah ortopedi dan belajar tentang pilihan pengobatan. Apapun
masalahnya, yang terpenting adalah pengenalan dini penyebab deformitas, sehingga
rangkaian penatalaksanaan dapat segera direncanakan dan keluarga penderita memperoleh
informasi yang akurat, prognosis yang realistik dan menghindari komplikasi iatrogenik
akibat kekeliruan dalam program penatalaksanaan clubfoot.
Keluarga penderita harus diberikan edukasi yang sejelas-jelasnya, terutama
mengenai kemungkinan terjadinya kekambuhan dan kelainan ini tidak dapat terkoreksi
sempurna atau normal, adanya gejala sisa. Orangtua juga harus mendapatkan informasi
yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian “cast”
secara teratur untuk menunjang penyembuhan. Perawatan “cast” (termasuk observasi
terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang
normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau terapi yang lama.

32
l. Komplikasi
1. Infeksi (jarang)
2. Kekakuan dan keterbatasan gerak: kekakuan yang muncul awal berhubungan
dengan hasil yang kurang baik.
3. Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul
pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.
4. Overkoreksi yang mungkin karena:
 Pelepasan ligamen interoseum dari persendian subtalus
 Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral
 Adanya perpanjangan tendon.

m. Prognosis
Prognosis baik, asalkan terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar dapat
diperbaiki, walaupun demikian, keadaan ini sering tidak sembuh sempurna dan sering
kambuh, terutama pada bayi dengan kelumpuhan otot yang nyata atau disertai penyakit
neuromuskuler
 Quo advitam (prognosis kehidupan) = dubia at bonam
 Quo adfunctionam (prognosis fungsional) = dubia at bonam/malam. 60%
sembuh, namun tidak sempurna.
 Quo adsanationam (prognosis sembuh sempurna atau tidak) = dubia at malam

n. SKDI
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Lulusan dokter mampu
membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

33
E. Learning Issues
1. Anatomi Pedis
a. Skeletal pada Regio Pedis

Gambar 13. Tulang-tulang pada pedis


Pada regio pedis terdiri atas Ossa tarsal, Ossa metatarsal,Ossa phalanges. Ossa
tarsal tersusun atas ossa berukuran kecil yang menyusunnya, yang berjumlah tujuh buah,
yaitu : Os. Talus (terdiri atas : Os. Talus Caput, Os. Talus Collum, Os. Talus Trochlear),
Os. Naviculare, Os. Cuneiformis (Medial, Intermedium, lateral), Os. Cuboideum, Os.
Calcaneus. Os Talus bersendian dengan Os. Tibia, serta bersendian juga dengan Os.
Calcaneus yang merupakan tulang tumit. Pada bagian anterior, Os. Talus berhubungan
dengan Os. Naviculare, sedangkan Os. Calcaneus berhubungan dengan Os. Cuboideum.
Os. Cuneiform distal terhadap Os. Naviculare. Os. Cuneiform lateral bersendian dengan
Os. Cuboideum. Os. Metatarsalia bersendian dengan Os. Cuneiform dan Os. Cuboideum.
Secara garis besar, Os. Tarsal dan os. Metatarsal dapat dibagi menjadi tiga
kelompok. Kelompok belakang adalah Os. Talus dan Os. Calcaneus. Kelompok tengah
terdirir atas Os. Naviculare, Os. Cuneiform, Os. Cuboideum. Kelompok depan ditempai
Os. Metatarsal.

34
b. Articulatio pada Regio Pedis

Gambar 14. Sendi dan Ligamentum pada Plantar


Untuk keperluan amputasi kaki, dikenal dua buah garis sendi, yaitu articulatio
tarsalis transversa sebagai linea amputationes chorpati yang memisahkan kelompok
tengah dengan kelompok belakang. Sedangkan linea amputationes lifranci merupakan
garis sendi yang memisahkan kelompok tengah dengan kelompok depan atau pada
persendian articulatio tarsometatarsal.
Untuk dapat menahan beban yang diteruskan melalui os. Tibia, os. Tarsalia harus
mempunyai ligament yang kuat, diantaranya ligamentum plantare longum yang merupakan
ligamen terbesar di plantar pedis, yang menghubungkan bagian anterior tuber calcanei
dengan os cuboideum, dan basis os. Metatarsal (II, III,IV,V). Ujung depan ligamentum ini
melekat pada os. Cuboideum membentuk celah untuk dilalui tendon musculus peroneus
longus. Ligamentum intertarsalia dan ligamentum tarsometatarsalia merupakan ligamen
pengikat yang melekat pada busur tulang-tulang kaki yang dibentuk oleh apneurosis
plantaris.
Bila busur yang dibentuk tulang-tulang kaki kurang melengkung maka terjadilah
suatu “flat-foot” atau pes planus. Sedangkan bila terlalu melengkung disebut pes cavus.
Istilah “club-foot” atau talipes menunjukkan suatu anomali bentuk kaki yang bermacam-
macam.

35
c. Muscular pada Regio Pedis

Gambar 15. Otot-otot plantar


Pada dorsum pedis terdapat musculus extensor digitorum brevis. Otot ini berorigo
pada dasar sinus tarsi dan retinaculum musculorum extensorum inferior. Tendonnya yang
menuju Hallucis dinamakan musculus extensor hallucis brevis. Dan berinsersio pada basis
phalanges pertama hallucis. Otot ini dipersarafi oleh nervus peroneus profundus.
Otot-otot plantar pedis dapat dibagi dalam empat lapisan, yaitu :
1. Lapisan pertama (paling luar) : Terdiri dari musculus abductor hallucis,
musculus flexor digiorum brevis, musculus abductor digiti minimi.
2. Lapisan kedua : Terdiri dari musculus flexor accesorius (musculus quadratus
plantae), musculus lumbricales, tendon musculus flexor digitorum longus, dan
tendon musculus flexor hallucis longus.
3. Lapisan ketiga: Terdiri dari musculus flexor hallucis brevis, musculus adductor
hallucis, dan musculus flexor digiti minimi brevis.
4. Lapisan keempat : Terdiri dari musculus interossei plantares, tendon musculus
tibialis posterior dan tendon musculus peroneus longus.

36
d. Vaskular (arteri dan vena) pada Regio Pedis

Gambar 16. Vaskularisasi Pedis


Plantar pedis mendapat darah melalui cabang terminal arteri tibialis posterior yang
mencapai plantar pedis melalui maleolus medialis. Setelah mencapainya, arteri ini
bercabang menjadi arteri plantaris medialis dan arteri lantaris lateralis.
Arteri plantaris lateralis dipercabangkan dibawah retinaculum musculorum
flexorum hingga mencapai basis os. Metatarsal v, arteri ini melengkung ke medial arcus
plantaris profundus dan beranastomose dengan iarteri plantaris medialis.
Di Plantar pedis juga terdapat arcus venosus plantaris yang darahnya dialirkan ke
vena marginalis medialis dan vena marginalis lateralis. Vena marginalis medialis
selanjutnya mengalirkan darah balik ke vena spahena magna dan vena marginalis lateralis
ke vena saphena parva.

2. Embriologi Pedis
a. Periode embrionik terbagi menjadi 23 horizon atau tingkatan. Tiap horizon atau
tingkatan, berhubungan dengan tingkatan perkembangan dari embrio. Bentuk kaki
yang bulat mulai terlihat pada horizon ke 17, pada minggu ke 5 fase embrionik.
Permukaan lempeng kaki berada pada bidang transversal dan permukaan ventral, dan
permukaan plantar menghadap ke kepala. Bila dilihat dari aspek ventral dari embrio,
rotasi dari lempeng kaki kiri adalah berlawanan dengan arah jarum jam, dan rotasi kaki
kanan searah jarum jam, segmen tungkai bawah berperan dalam perubahan rotasi ini

37
dan secara morfologi belum tampak jari-jari kaki pada lempeng kaki. Dua hari
kemudian, minggu ke 6 fase embrionik, rotasi kedalam tungkai bawah terus berjalan.
Permukaan medial dari lempeng kaki lebih mengarah ke bidang median dari batang
tubuh.
b. Perubahan dari lempeng kaki lebih terlihat jelas strukturnya pada horizon ke 20 dan
pada horizon ke 21, minggu ke 7 fase embrionik.
c. Horizon ke 23 menandakan akhir dari fase embrionik dan berhubungan dengan akhir
dari minggu ke 8 fase embrionik. Kaki bersentuhan antara satu dengan lainnya, dan
telapak berada pada posisi berdoa. Pada periode janin, perubahan rotasi yang penting
terjadi, awalnya telapak kaki berhadapan, pada posisi equinus relatif terhadap tungkai
kaki. Terjadi rotasi internal yang progresif dari bagian paha, dan kaki berada pada
posisi equinus, supinasi, dan external rotasi relative terhadap tungkai kaki. Yang pada
akhirnya dorsiflexi dan pronasi kaki mengarah pada posisi netral kaki pada orang
dewasa.

Beberapa fase perkembangan embrio kaki berdasarkan morfologi:


a. bulan ke-2: Kaki pada posisi 90° equinus dan adduksi.
b. awal bulan ke-3: Kaki pada posisi 90° equinus, adduksi, dan terlihat supinasi
c. pertengahan bulan ke-3): Kaki dorsifleksi pada ankle, tetapi masih sedikit tampak
beberapa derajat equinus. Dan supinasi masih ada. Metatarsal pertama tetap
adduksi.
d. awal bulan ke-4): Kaki pronasi dan sampai pada posisi midsupinasi. Dan masih
tampak sedikit metatarsus varus. Equinus sudah tidak tampak.
Pronasi berlanjut selama fase pertumbuhan dan tetap belum sempurna saat bayi baru lahir.
Keempat tingkatan perkembangan morfologi kaki dapat memberikan gambaran yang jelas,
walau pada kenyataannya, perubahan yang terjadi tidak selalu sesuai dengan tingakatan
perkembangan yang ada, tetapi perubahan terjadi secara bertahap dan berkesinambungan.
Perkembangan Embriologi Extremitas Bawah
a. Manifestasi pertama extremitas bawah sebagai paddle-shape bud pada dinding
ventrolateral tubuh selama minggu 4-5 gestasi. Limb bud ini akan berkembang
bentuknya dengan adanya migrasi dan proliferasi dari jaringan mesenkim yang
berdifrensiasi. Dengan berakhirnya minggu ke 6, limb bud terus berkembang

38
membentuk lempengan terminal (plate) dari tangan dan kaki (termasuk membentuk
pola digiti) serta membentuk eksternal awal dari tungkai.
b. Tepatnya minggu ke 7, axis longitudinal dari upper dan lower limb buds adalah
parallel. Komponen pre-axial menghadap ke dorsal dan post-axial menghadap ke
ventral. Pada periode ini posisi limb bud dibanding trunk tidak mengalami
perubahan yang berhubungan dengan aktivitas otot namun dipastikan akan
mengalami torsion pada tulang-tulangnya.
c. Jari-jari dibentuk penuh pada minggu ke 8 embrio, permukaan plantar yang
berlawanan disebut posisi praying feet, segera setelah itu lower limb berputar ke
medial membawa ibu jari ke midline dari posisi post-axial pada awalnya.
d. Selanjutnya secara mekanik intrauterine, terbentuklah ekstremitas bawah fetus,
kemudian femur atau upper limb bud berotasi ke eksternal dan tibia atau lower limb
bud berotasi ke internal. Postur kaki terus tumbuh dan dipastikan femur berotasi ke
lateral dan tibia ke medial.
e. Dalam studi computer tomografi (CT) tibial torsion selama masa pertumbuhan
fetus, telah ditemukan bahwa ada peningkatan eksternal tibial torsion pada stadium
awal dari kehidupan fetus namun kemudian secara bertahap menurun pada saat bayi
lahir, tibial akan torsion ke arah internal. Setelah lahir tibia berotasi ke arah

eksternal dan rata-rata version tibia pada tulang matur adalah 15⁰.

Osteogenesis
Perkembangan tulang pada embrio terjadi melalui dua cara, yaitu osteogenesis desmalis
dan osteogenesis enchondralis. Keduanya menyebabkan jaringan pendukung kolagen
primitive diganti oleh tulang, atau jaringan kartilago yang selanjutnya akan diganti pula
menjadi jaringan tulang. Hasil kedua proses osteogenesis tersebut adalah anyaman tulang
yang selanjutnya akan mengalami remodeling oleh proses resorpsi dan aposisi untuk
membentuk tulang dewasa yang tersusun dari lamella tulang. Kemudian, resorpsi dan
deposisi tulang terjadi pada rasio yang jauh lebih kecil untuk mengakomodasi perubahan
yang terjadi karena fungsi dan untuk mempengaruhi homeostasis kalsium. Perkembangan
tulang ini diatur oleh hormone pertumbuhan, hormone tyroid, dan hormone sex.
Osteogenesis Desmalis

39
Nama lain dari penulangan ini yaitu Osteogenesis intramembranosa, karena
terjadinya dalam membrane jaringan. Tulang yang terbentuk selanjutnya dinamakan tulang
desmal. Yang mengalami penulangan desmal ini yaitu tulang atap tengkorak.
Mula-mula jaringan mesenkhim mengalami kondensasi menjadi lembaran jaringan
pengikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Sel-sel mesenkhimal saling
berhubungan melalui tonjolan-tonjolannya. Dalam substansi interselulernya terbentuk
serabut-serabut kolagen halus yang terpendam dalam substansi dasar yang sangat padat.
Tanda-tanda pertama yang dapat dilihat adanya pembentukan tulang yaitu matriks
yang terwarna eosinofil di antara 2 pembuluh darah yang berdekatan. Oleh karena di daerah
yang akan menjadi atap tengkorak tersebut terdapat anyaman pembuluh darah, maka
matriks yang terbentuk pun akan berupa anyaman. Tempat perubahan awal tersebut
dinamakan pusat penulangan primer.
Pada proses awal ini, sel-sel mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas yang
memulai sintesis dan sekresi osteoid. Osteoid kemudian bertambah sehingga berbentuk
lempeng-lempeng atau trabekulae yang tebal. Sementara itu berlangsung pula sekresi
molekul-molekul tropokolagen yang akan membentuk kolagen dan sekresi glikoprotein.
Sesudah berlangsungnya sekresi oleh osteoblas tersebut disusul oleh proses
pengendapan garam kalsium fosfat pada sebagian dari matriksnya sehingga bersisa sebagai
selapis tipis matriks osteoid sekeliling osteoblas.
Dengan menebalnya trabekula, beberapa osteoblas akan terbenam dalam matriks
yang mengapur sehingga sel tersebut dinamakan osteosit. Antara sel-sel tersebut masih
terdapat hubungan melalui tonjolannya yang sekarang terperangkap dalam kanalikuli.
Osteoblas yang telah berubah menjadi osteosit akan diganti kedudukannya oleh sel-sel
jaringan pengikat di sekitarnya. Dengan berlanjutnya perubahan osteoblas menjadi osteosit
maka trabekulae makin menebal, sehingga jaringan pengikat yang memisahkan makin
menipis. Pada bagian yang nantinya akan menjadi tulang padat, rongga yang memisahkan
trabekulae sangat sempit, sebaliknya pada bagian yang nantinya akan menjadi tulang
berongga, jaingan pengikat yang masih ada akan berubah menjadi sumsum tulang yang
akan menghasilkan sel-sel darah. Sementara itu, sel-sel osteoprogenitor pada permukaan
Pusat penulangan mengalami mitosis untuk memproduksi osteoblas lebih lanjut
Osteogenesis Enchondralis
Awal dari penulangan enkhondralis ditandai oleh pembesaran khondrosit di tengah-
tengah diaphysis yang dinamakan sebagai pusat penulangan primer. Sel – sel kondrosit di

40
daerah pusat penulangan primer mengalami hypertrophy, sehingga matriks kartilago akan
terdesak mejadi sekat-sekat tipis. Dalam sitoplasma kondrosit terdapat penimbunan
glikogen. Pada saat ini matriks kartilago siap menerima pengendapan garam–garam
kalsium yang pada gilirannya akan membawa kemunduran sel–sel kartilago yang
terperangkap karena terganggu nutrisinya. Kemunduran sel–sel tersebut akan berakhir
dengan kematian., sehingga rongga–rongga yang saling berhubungan sebagai sisa–sisa
lacuna. Proses kerusakan ini akan mengurangi kekuatan kerangka kalau tidak diperkuat
oleh pembentukan tulang disekelilingnya.
Pada saat yang bersamaan, perikhondrium di sekeliling pusat penulangan memiliki
potensi osteogenik sehingga di bawahnya terbentuk tulang. Pada hakekatnya pembentukan
tulang ini melalui penulangan desmal karena jaringan pengikat berubah menjadi tulang.
Tulang yang terbentuk merupakan pipa yang mengelilingi pusat penulangan yang masih
berongga–rongga sehingga bertindeak sebagai penopang agar model bentuk kerangka tidak
terganggu. Lapisan tipis tulang tersebut dinamakan pipa periosteal.
Setelah terbentuknya pipa periosteal, masuklah pembuluh–pembuluh darah dari
perikhondrium,yang sekarang dapat dinamakan periosteum, yang selanjutnya menembus
masuk kedalam pusat penulangan primer yang tinggal matriks kartilago yang mengalami
klasifikasi. Darah membawa sel–sel yang diletakan pada dinding matriks. Sel – sel tersebut
memiliki potensi hemopoetik dan osteogenik.
Sel–sel yang diletakan pada matriks kartilago akan bertindak sebagai osteoblast.
Osteoblas ini akan mensekresikan matriks osteoid dan melapiskan pada matriks kartilago
yang mengapur. Selanjutnya trabekula yang terbentuk oleh matriks kartilago yang
mengapur dan dilapisi matriks osteoid akan mengalami pengapuran pula sehingga akhirnya
jaringan osteoid berubah menjadi jaringan tulang yang masih mengandung matriks
kartilago yang mengapur di bagian tengahnya. Pusat penulangan primer yang terjadi dalam
diaphysis akan disusun oleh pusat penulangan sekunder yang berlangsung di ujung–ujung
model kerangka kartilago.
Pertumbuhan Memanjang Tulang Pipa
Setelah berlangsung penulangan pada pusat penulangan sekunder di daerah
epiphysis, maka teradapatlah sisa–sisa sel khondrosit diantara epiphysis dan diaphysis. Sel–
sel tersebut tersusun bederet–deret memanjang sejajar sumbu panjang tulang. Masing–
masing deretan sel kartilago dipisahkan oleh matriks tebal kartilago, sedangkan sel–sel
kartilago dalam masing–masing deretan dipisahkan oleh matriks tipis. Jaringan kartilago

41
yang memisahkan epiphysis dan diaphysis berbentuk lempeng atau cakram sehingga
dinamakan Discus epiphysealis.
Sel–sel dalam masing–masing deretan tidak sama penampilannya. Hal ini
disebabkan karena ke arah diaphysis sel–sel kartilago berkembang yang sesuai dengan
perubahan–perubahan yang terjadi pada pusat penulangan. Karena perubahan sel–sel dalam
setiap deret seirama, maka discus tersebut menunjukan gambaran yang dibedakan dalam
daerah–daerah perkembangan.
Daerah – daerah perkembangan :
1. Zona Proliferasi : sel kartilago membelah diri menjadi deretan sel – sel gepeng.
2. Zona Maturasi : sel kartilago tidak lagi membelah diri,tapi bertambah besar.
3. Zona hypertrophy : sel-sel membesar dan bervakuola.
4. Zona kalsifikasi : matriks cartílago mengalami kalsifikasi.
5. Zona degenerasi : sel-sel cartílago berdegenerasi diikuti oleh terbukanya lacuna
sehingga terbentuk trabekula.
Karena masuknya pembuluh darah, maka pada permukaan trabekula di daerah ke
arah diaphysis diletakan sel –sel yang akan berubah menjadi osteoblas yang selanjutnya
akan melanjutkan penulangan.
Dalam proses pertumbuhan discus epiphysealis akan semakin menipis, sehingga
akhirnya pada orang yang telah berhenti pertumbuhan memanjangnya sudah tidak
deketemukan lagi.
Pembesaran Diameter Tulang Pipa
Pertumbuhan tulang pipa selain memanjang melalui discus epiphysealis juga
mengalami pertambahan diameter dengan cara pertambahan jeringan tulang melalui
penulangan oleh periosteum lapisan dalam yang dibarengi dengan pengikisan jaringan
tulang dari permukaan dalamnya.
Dengan adanya proses pengikisan jaringan tulang ini, walau pun diameter tulang
bertambah namun ketebalannya tetap dipertahankan. Hal ini penting, karena tanpa
pengikisan,berat tulang akan bertambah terus sehingga mengganggu fungsinya.
Pembentukan Tulang
Osifikasi atau yang disebut dengan proses pembentukan tulang telah bermula sejak
umur embrio 6-7 minggu dan berlangsung sampai dewasa. Osifikasi dimulai dari sel-sel
mesenkim memasuki daerah osifikasi, bila daerah tersebut banyak mengandung pembuluh

42
darah akan membentuk osteoblas, bila tidak mengandung pembuluh darah akan
membentuk kondroblas.
Pembentukan tulang rawan terjadi segera setelah terbentuk tulang rawan
(kartilago).Mula-mula pembuluh darah menembus perichondrium di bagian tengah batang
tulang rawan, merangsang sel-sel perichondrium berubah menjadi osteoblas. Osteoblas ini
akan membentuk suatu lapisan tulang kompakta, perichondrium berubah menjadi
periosteum. Bersamaan dengan proses ini pada bagian dalam tulang rawan di daerah
diafisis yang disebut juga pusat osifikasi primer, sel-sel tulang rawan membesar kemudian
pecah sehingga terjadi kenaikan pH (menjadi basa) akibatnya zat kapur didepositkan,
dengan demikian terganggulah nutrisi semua sel-sel tulang rawan dan menyebabkan
kematian pada sel-sel tulang rawan ini.
Kemudian akan terjadi degenerasi (kemunduran bentuk dan fungsi) dan pelarutan
dari zat-zat interseluler (termasuk zat kapur) bersamaan dengan masuknya pembuluh darah
ke daerah ini, sehingga terbentuklah rongga untuk sumsum tulang.
Pada tahap selanjutnya pembuluh darah akan memasuki daerah epiphise sehingga
terjadi pusat osifikasi sekunder, terbentuklah tulang spongiosa. Dengan demikian masih
tersisa tulang rawan dikedua ujung epifise yang berperan penting dalam pergerakan sendi
dan satu tulang rawan di antara epifise dan diafise yang disebut dengan cakram epifise.
Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan pada cakram epifise terus-menerus
membelah kemudian hancur dan tulang rawan diganti dengan tulang di daerah diafise,
dengan demikian tebal cakram epifise tetap sedangkan tulang akan tumbuh memanjang.
Pada pertumbuhan diameter (lebar) tulang, tulang didaerah rongga sumsum dihancurkan
oleh osteoklas sehingga rongga sumsum membesar, dan pada saat yang bersamaan
osteoblas di periosteum membentuk lapisan-lapisan tulang baru di daerah permukaan.

3. Congenital Talipes Equinovarus (CTEV)


i. Definisi
CTEV, bisa disebut juga dengan clubfoot, merupakan suatu kombinasi deformitas
yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel varus pada
sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial terhadap lutut.
Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus dan sebagian internal tibial torsion.

43
Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus (ankle), pes
(foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda, dan varus berarti
inversidan adduksi (inverted and adducted).
Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar,
adduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang
diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot
varus.

ii. Anatomi Clubfoot


Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan forefoot
adductus dan cavus.

Gambar 17. Anatomi Clubfoot


Pada talus, caputnya menonjol di sisi dorsolateral dengan collum yang lebih
pendek. Navikulare bergeser ke sebelah medial caput talus, pergeseran ini mulai dari
subluksasi sampai dislokasi yang hampir kompleks. Oleh karena navikulare berpindah ke
medial, cuboid dan calcaneus bergeser pula ke medial dan terjadi perubahan yang sifatnya
adaptasi pada sisi lateral kaki (calcaneus, cuboid, metatarsal V).
Bentuk dari kaki sangat khas. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi.
Ibu jari kaki terlihat relatif memendek. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki
cekung dengan alur atau cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang
equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang
dalam pada bagian atas belakang sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat
tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki
depan tidak dapat diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari
posisi varus. Kaki yang kaku ini yang membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan

44
postural atau positional karena posisi intra uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan
ke posisi normal.
Luas gerak sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke
posisi netral, bila disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottom
dengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis
akan terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak
terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan korpus talus
pada bagian bawahnya.
Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang
kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada
maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang navikularis.
Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya
perputaran subtalar ke medial.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior
dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah
dan memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor
jari kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk spring ligament, master
knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga berkontribusi dalam
abnormalitas clubfoot.
Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau tidak adanya arteri
tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri tibialis anterior juga
dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini meningkatkan risiko komplikasi vaskuler jika
salah satu arteri dominan terkena saat comprehensive soft-tissue release atau Achilles
tenotomi.
Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya spina bifida.
Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya
subluksasi atau dislokasi.

iii. Epidemiologi
Angka kejadiannya bervariasi terhadap ras dan jenis kelamin. Pada Caucasian
frekuensinya 1,2/1000 kelahiran, dengan perbandingan laki-laki : perempuan = 2 : 1. Pada

45
kejadiaan unilateral sisi kanan sedikit lebih banyak dari kiri. Kasus bilateral sekitar 50%
dari total kejadian.
Faktor genetik hanya memegang peranan sekitar 10%, sisanya merupakan kejadian
yang pertama kali didalam keluarga. Secara umum dapat dikatakan bahwa CTEV terjadi
kurang berat pada kasus yang sporadis bila dibandingkan dengan ada faktor familial, dan
makin banyak congenital talipes equinovarus (clubfoot) dalam keluarga makin besar
kemungkinannya punya anak dengan CTEV yang rigid (kaku).
Selain faktor keturunan, faktor lingkungan sangat memegang peranan penting.
Insidensi CTEV pada kembar monozygote dan dizygote. Pada monozygote 13 dari 40
(32,5%) kembarannya menderita yang sama, dan pada dizygote hanya 4 dari 134 (2,9%).
Dari data ini dapat menyokong adanya kedua faktor pengaruh tersebut. Insidensi akan
semakin meningkat (pada 25% kasus) bila ada riwayat keluarga yang menderita CTEV.
Kemungkinan munculnya CTEV bila ada riwayat keluarga yaitu sekitar 1:35 kasus, dan
sekitar 1:3 (33%) bila anak terlahir kembar identic.
Pada kelurga Caucasians dapat dikatakan bila orang tua normal akan mendapat
kemungkinan anak laki-laki dengan CTEV 2%, bila perempuan 5%. Bila salah satu orang
tua terkena dan sudah mempunyai anak yang terkena juga maka kemungkinan punya anak
lagi dengan CTEV 10% - 25%.
Insidensi CTEV beragam pada beberapa Negara, di Amerika Serikat
2,29:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000 kelahiran; pada ras Oriental
0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000 kelahiran; pada orang China
0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,81:1000 kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000
kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada orang Hawaii.

iv. Etiopatogenesis
Ada beberapa hipotesis lain berhubungan dengan penyebab dari CTEV, yaitu:
1) Hipotesis tekanan mekanik atau posisi
Retriksi pada pergerakan kaki fetus oleh uterus menyebabkan idiopathic CTEV
(ICTEV). ICTEV muncul dari sekuens oligohidroamnion, misalnya penurunan volume
carian amnion. Teori ini didukung dengan adanya kesimpulan hasil penilitan dengan
amniocentasis. Namun, oligohydramnion secara umum berhubungan dengan anomaly
perkembangan tambahan dan dapat menunjukan penyebab neurologis yang jelas. Penelitian

46
dengan amniocentesis, menunjukan kebocoran amnion hanya ditemukan pada beberapa
kasus, sehingga mekanisme dari ICTEV setelah amniocentesis dapat berhubungan dengan
etiologi berbeda. Sehubungan dengan hipotesis posisi, clubfoot dapat dideteksi dari
trimester kedua, jauh sebelum tekanan uterus berlebihan pada perkembangan janin pada
kebanyakan kasus.
2) Hipotesis tulang/sendi
Hipoteisis tluang/sendi menyatakan abnormalitas posisi tulang sebagai penyebab
anomaly. Osifikasi endochondral dari kaki terganggu dan berhubungan dengan
tergangguanya osifikasi perichondral.
3) Hipotesis jaringan ikat
Hipotesis jaringan ikat menunjukan abnormalitas primer dari jaringan ikat yang
menyebabkan ICTEV. Teori ini didukung dengan kelemahan dari sendi. Namun pada
temuan histologi, otot, tendon, fasia, dan jaringan lunak lain tidak mengalami abnormalitas.
Peningkatan jaringan fibrosa dapat dijumpai pada otot, fascia, ligament, dan tendon.
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari adanya
defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan gambaran histologis
normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan
tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang.
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada
pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten.
4) Hipotesis vascular
Ditemukan blocking pada sinus tarsi. Hal ini mencolok pada awal kehidupan fetus,
dan menurun menjadi infiltrasi lemak yang sederhana dan jaringan fibrosa pada spesimen
yang lebih tua. Individu dengan ICTEV memiliki otot yang atrofi pada ipsilateral betis yang
berhubungan dengan penurunan perfusi melalui arteri tibialis pada masa perkembangan.
5) Hipotesis neurologi
CTEV merupakan bagian dari beberapa sindrom neurologis, seperti spina bifida.
6) Hipotesis hambatan pertumbuhan
Saat perkembangan akhir dari kaki (9 – 38 minggu), chondrofikasi dari kaki
sempurna, dan mulai osteofikasi, cavitas sendi dan formasi ligament sempurna dan kaki
distal berputar ke arah medial. Dalam proses rotasi, memungkinkan pedis dari kaki untuk
terletak rata di atas tanah, dan akan ke arah dalam, seperti pada kaki di periode embrional
akhir.

47
Pronasi terus berlanjut sampai perkembangan postnatal. Clubfoot yang parah mirip
dengan umur perkembangan kaki fetus saat awal bulan kedua dan deformitas bersamaan
dengan tidak berkembanganya tulang dan otot.

v. Manifestasi Klinis dan Klasifikasi


Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan
deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya
berdasarkan pemeriksaan radiologis. Klasifikasi diperlukan untuk membantu menentukan
prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi.
Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai Negara,
namun system klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling banyak digunakan.
Keduanya memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan fisik.
Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori berdasarkan
pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas:
e. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan
standard casting atau fisioterapi.
f. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus dapat
dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi maka tindakan
operatif harus dilakukan.
g. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus terkoreksi dan
setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan tindakan operatif
h. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan
memerlukan tindakan koreksi secara operatif

48
Gambar 18. Klasifikasi Dimeglio

Tabel 2. Klasifikasi Dimeglio

49
Gambar 19. Foto Klinis Pemeriksaan CTEV

50
Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial, roatasi
calcaneopedal block, forefoot adduction) dikategorikan dari I – IV. Poin tambahan
ditambahkan untuk deep posterior dan medial creases, cavus dan kondisi oto yang buruk.
Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana,
yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable dapat
menerima nilai nol, setengah, dan satu poin.

Gambar 20 . Klasifikasi Pirani

51
Tabel 3. Parameter Pirani

vi. Tatalaksana
Tujuan terapi talipes equinovarus adalah:
1. Mereduksi dislokasi atau sublokasi sendi talocalcaneonaviculare
2. Mempertahankan reduksi
3. Memperbaiki normal articular alignment
4. Membuat keseimbangan otot antara evorter dan invertor, dan dorsi flexor
danplantar flexor
5. Membuat kaki mobile dengan fungsi normal dan weight bearing
Terapi harus sudah dimulai pada hari-hari pertama kelahiran, 3 minggu pertama
merupakan golden period, sebab jaringan lunak pada usia ini masih lentur.
Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non operatif merupakan
pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka pun setuju semakin awal terapi
dimulai, maka semakin baik hasilnya, sehingga mencegah terapi operatif lanjutan.
Tata laksana CTEV sebaiknya dimulai pada beberapa hari awal kehidupan
sang bayi. Tujuannya adalah mendapatkan kaki yang estetik, fungsional, bebas nyeri dan
plantigrade. Prinsip terapi meliputi koreksi pasif yang gentle, mempertahankan koreksi
untuk periode waktu yang lama, dan pengawasan anak hingga usai masa pertumbuhan.
Pengawasan diperlukan karena walaupun telah terkoreksi, 50% kasus akan terjadi
rekurensi dan adanya kontraktur soft tissue dapat menyebabkan terbatasnya
pergerakan sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai di berbagai belahan dunia
karena extensive surgery memiliki hasil yang buruk dalam jangka panjang.

Metode Ponseti
Metode ini diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti yang sedang popular namun masih
menimbulkan nyeri dan deformitas residu. Komponen dari metode ini meliputi serial

52
manipulasi yang gentle dan casting setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy.
Terkadang digunakan juga foot abduction brace untuk mencegah dan mengatasi relaps.
Ponseti memberikan sebuah akronim CAVE sebagai panduan untuk tahapan
koreksi CTEV. Pada metode ini terjadi relaksasi kolagen dan atraumatik remodeling pada
permukaan sendi dan menghindari fibrosis, seperti yang terjadi bila dilakukan operasi
release.
Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua pasien,
dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun. Terapi dapat dimulai
dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir usia belum ditentukan dikarenakan
adanya keberhasilan metode ini saat diterapkan pada anak usia lebih dari 1 tahun.
Tercatat sekitar 95% kasus yang ditangani dengan metode ini tidak memerlukan posterior
medial dan laterat release. Terkadang diperlukan sedasi pada anak-anak usia lebih dari
15 bulan karena nyeri yang ditimbulkan saat manipulasi. Dalam setiap sesi manipulasi,
disarankan bersamaan dengan waktu memberi makan anak. Hal ini bertujuan agar sang
anak lebih relaks sehingga lebih mudah saat pemasangan cast.
Serial casting dapat menggunakan bahan plaster atau fiberglass dan tidak
ditemukan perbedaan hasil diantara kedua bahan tersebut. Cast terpasang dipasang

dari jari kaki hingga 1/3 atas paha dengan lutut fleksi 90 o dan akan diganti setiap 5-7
hari. Biasanya diperlukan 5-6 kali penggantian cast untuk mendapatkan koreksi
yang baik.
Walaupun biasanya metode Ponseti digunakan pada idiopathic clubfoot, pada
beberapa kasus dapat juga digunakan pada non-idiopathic clubfoot (yang disertai
dengan arthrogryposis, myelomeningocele, berbagai sindrom genetik, dan kelainan
neuromuskuler. Metode Ponseti juga digunakan pada complex clubfoot dan kasus relaps
meski telah menjalani extensive soft tissue release surgery.
Deformitas cavus dikoreksi terlebih dahulu dengan cara supinasi forefoot relatif
terhadap hindfoot melalui penekanan pada metatarsal I. Pada kebanyakan kasus,
deformitas cavus akan terkoreksi dengan satu kali pemasangan long leg cast.
Forefoot adduction, hindfoot varus, dan hindfoot equinus akan dikoreksi pada
pemasangan cast ke 2-4. Koreksi aduksi forefoot dan hindfoot varus dilakukan secara
simultan dengan supinasi pedis dan counterpressure pada kepala talus. Dengan teknik
ini calcaneus, navicular dan cuboid akan displace secara perlahan ke lateral. Manuver

53
penting ini mengoreksi mayoritas deformitas dari clubfoot dan harus dilakukan pada
setiap sesi dengan memperhatikan tiga hal:
 Abduksi forefoot harus dilakukan dengan dengan sedikit supinasi pedis,
sehingga koreksi pada deformitas cavus tetap terjaga dan colinearity dari
metatarsal tetap terjaga.
 Jangan melakukan dorsofleksi premature terhadap tumit, hal ini bertujuan
agar calcaneus dapat terabduksi secara bebas dibawah talus dan eversi ke posisi
pedis netral, serta mencegah rocker bottom deformity.
 Berikan counterpressure pada sisi lateral k e p a l a talus. Koreksi hindfoot
varus dan calcaneal inversion akan sulit bila counterpressure diberikan pada sisi
lateral pedis, bukan pada sisi lateral head of talus.
Secara umum diperlukan 3-4 minggu manipulasi dan casting untuk
melonggarkan sisi medial struktur ligamen pada tulang tarsal dan molding parsial dari
persendiannya.

Gambar 21. Teknik koreksi Ponseti

Equinus merupakan deformitas terakhir yang dikoreksi, dan koreksi harus

dilakukan ketika hindfoot dalam posisi sedikit valgus dan pedis abduksi 70 o relative
terhadap cruris. Derajat abduksi tampak ekstrem namun diperlukan untuk mencegah
rekurensi deformitas. Equinus dapat dikoreksi dengan dorsofleksi pedis secara progresif
setelah varus dan adduksi pedis telah terkoreksi. Dorsofleksi pedis dilakukan dengan
penekanan pada seluruh bagian telapak kaki dan kurangi penekan pada head metatarsal

54
untuk menghindari rocker bottom deformity. Equinus dapat dengan sempurna dikoreksi
melalui stretching dan casting yang progresif.

Setelah cast keempat, pedis harus bisa abduksi 50 o dan varus harus sudah
terkoreksi, namun biasanya equinus masih ada. Calcaneus akan terkoreksi dengan
sendirinya tanpa manipulasi menjadi eversi dan dorsofleksi.
Setelah cast dilepas, foot abduction orthosis (sering disebut Denis Browne bar
and shoes) diberikan untuk mencegah rekurensi deformitas, untuk remodeling
persendian dengan tulang-tulang dalam posisi baik, dan untuk meningkatkan kekuatan
otot kaki. Alat ini berupa sepatu yang terhubung dengan dynamic bar (kira-kira

sepanjang bahu pasien). Rotasi sepatu terhadap bar sekitar 60-70o eksternal rotasi

pada kaki clubfoot dan 40o eksternal rotasi pada kaki normal. Alat ini dipakai 22-23 jam
sehari selama 3 bulan, lalu saat tidur malam dan siang (12-14 jam sehari) hingga anak
berusia 1 tahun, dan saat tidur malam hingga usia 3-4 tahun. Pasien disarankan untuk
control satu bulan berikutnya dan dilanjutkan dengan interval 3 bulan.
Orthosis terdiri dari dua sepatu yang dihubungkan dengan sebuah papan yang
mampu memposisikan sepatu selebar bahu. Papan harus mampu menahan sepatu 70
derajat eksternal rotasi dan 5-10 derajat dorsofleksi. Pada kasus unilateral, kaki normal
harus berada di 40 derajat eksternal rotasi. Menahan kaki selebar bahu membantu abduksi
pedis. Orthosis digunakan setiap hari hingga 3-4 bulan, lalu dilanjutkan pemakaian saat
tidur siang dan malam selama 2-4 tahun.
Pada 90% kasus diperlukan adanya Achilles tenotomy (percutaneous Achilles
Tenotomy/ pAT) untuk mengoreksi kontraktur equinus. Tindakan ini dilakukan dengan
anestesi local pada anak usia dibawah 1 tahun (tanpa adanya overlengthening atau
kelemahan otot) dan dengan sedasi di ruang operasi untuk anak yang lebih tua. Untuk
anestesi local disarankan hanya menggunakan anestesi topical terlebih dahulu dan
anestesi injeksi diberikan setelah prosedur tenotomy. Hal ini untuk menghindari
kesulitan dalam palpasi tendon sehingga berpotensi merusak neurovaskuler di area
tersebut. Tenotomy dapat dilakukan dengan thin cataract knife yang steril di klinik
(setelah EMLA cream menganastesi kulit secara local selama 30 menit). Beberapa dokter
lebih memilih mengerjakan di ruang operasi untuk anak >3 bulan, karena akan lebih
mudah memasang cast tanpa adanya resistensi dari anak.

55
Setelah steril, pedis ditahan oleh asisten dengan tekanan dorsofleksi yang ringan
hingga sedang. Tekanan yang terlalu kuat akan cenderung mengencangkan kulit dan
menyulitkan untuk palpasi tendon dengan baik. Pisau memasuki kulit sepanjang batas
medial tendon Achilles. Karena biasanya calcaneus terelevasi pada fat pad, maka
penting untuk memotong tendon 0,5 – 1 cm proksimal dari insersinya, dimana akan
cenderung untuk menyebar ke tuberositas calcaneus. Setelah dimasukkan, pisau
didorong ke medial tendon dan dirotasikan di bawahnya. Counterpressure dengan jari
telunjuk dari arah berlawanan akan mendorong tendon ke pisau dan mencegah laserasi
yang tidak diinginkan. Pergerakan yang berlebihan dari pisau ke arah lateral akan
berisiko mencederai vena saphena dan nervus suralis. Tenotomy yang berhasil ditandai
dengan palpable pop dan adanya kemampuan untuk dorsofleksi tambahan sejauh 15-

20o. Tidak perlu ada jahitan dan dipasangkan cotton cast padding steril, diikuti dengan
pemasangan long leg cast pada maksimal dorsofleksi dengan abduksi 70 derajat.
Pedis diimobilisasi selama 3-4 minggu; kebanyakan bayi memerlukan imobilisasi
sekitar 3 minggu, pemasangan lebih lama masih diperbolehkan untuk anak berusia > 6

bulan. Long leg cast dipasang dengan posisi abduksi 60-70o dan dorsofleksi 5-

10o. Suatu studi menyebutkan bahwa penyembuhan tendon terjadi dalam 3 minggu saat
terpasang cast.

Gambar 22. Percutaneous heel cord tenotomy


Suatu alternatif dari percutaneous heel cord tenotomy telah disarankan. Toksin
Botulinum A diinjeksikan ke kompleks otot triseps surae untuk melemahkan fungsinya.
Dilaporkan keberhasilan jangka pendek sekitar 50 dari 51 bayi dengan clubfoot.
Teknik modifikasi diterapkan pada kaki yang complex idiopathic atau atypic.
Kaki ini biasanya pendek dan tebal, dengan fixed equinus dan posterior crease yang

56
dalam, serta hiperfleksi metatarsal. Saat pemasangan cast, forefoot harus diabduksi, dan
dorsofleksi melalui penekanan pada head metatarsal, serta pAT dilakukan lebih awal (3).
Terkadang penekanan pada metatarsal sebelum mengoreksi calcaneal varus
mengakibatkan iatrogenic conves foot atau rocker bottom deformity. Keadaan ini
ditangani dengan pemasangan cast dalam posisi slight equinus selama 1-2 minggu untuk
retraksi plantar ligament.
Kasus relaps merupakan tantangan dalam penangan clubfoot. Biasanya
intoleransi saat pemakaian brace adalah penyebabnya. Kebanyakan kasus relaps
ditemukan deformitas varus dan equinus hindfoot. Pada relaps awal, penanganan hanya

dengan serial casting dan dilanjutkan dengan brace. Bila setelah cast terdapat <15o
dorsofleksi, diperlukan Achilles tenotomy ulangan.
Untuk anak lebih dari 3 tahun dengan kombinasi hindfoot varus dan
supination forefoot memerlukan pendekatan yang berbeda. Hindfoot varus dan adduction
dikoreksi terlebih dahulu dan diikuti dengan serial casting. Setelah terkoreksi, dilakukan
full tibialis tendon transfer ke cuneiform ketiga dan diikuti dengan casting selama 6
bulan tanpa perlu pemakaian brace lagi.

Gambar 23. Brace orthosis


Rekurensi parsial biasanya terjadi pada 2-3 tahun pertama, sekitar 1/3 kasus
relaps, dan penyebab paling sering adalah ketidakpatuhan pemakaian brace orthosis.
Koreksi pada relaps tahun pertama cukup dengan manipulasi dan serial cast, untuk
anak yang lebih tua akan lebih sulit memasang cast. Pemakaian brace m erupakan
keharusan untuk menjaga hasil koreksi. Pada 2/3 kasus relaps lainnya memerlukan
intervensi bedah, namun tidak untuk anak <18 bulan. Jenis operasi meliputi heel cord
lengthening, posterior ankle release, atau plantar facial release akan mampu
mengembalikan plantigrade foot.

57
Pada pasien lebih dari 2-3 tahun dynamic swing phase supination deformity akan
muncul sebagai akibat medial overpull dari tendon tibialis anterior. Reduksi inkomplit
dari navicular ke head of talus akan mengubah fungsi tendon ini dari dorsifleksor
menjadi foot supinator. Bila tidak dikoreksi, keadaan ini akan menjadi hindfoot varus

berulang. Pada pasien-pasien ini dilakukan transfer anterior tibialis ke 3rd cuneiform
setelah beberapa koreksi dengan cast. Untuk mencegah bowstringin g, tendon sebaiknya
dibiarkan di bawah anterior retinaculum ankle. Sangat penting untuk menilai
rekurensi equinus karena untuk menentukan kebutuhan Achilles tendon Z-lengthening
saat transfer tibialis anterior. Walaupun operasi akan sukses, namun tidak menjamin hasil
akan menjadi plantigrade.
Pada beberapa studi, pasien relaps yang memerlukan tindakan operatif sekitar
32-35%. Prosedur paling umum yang dikerjakan adalah transfer tendon tibialis
anterior yang mengoreksi swing phase supination. Pada pasien relaps yang gagal
dalam terapi non operatif dan memerlukan complete posteromedial release biasanya
terdeteksi dini dan mendapatkan operasi sebelum mereka berusia 2 tahun.

French Method
Pada tahap pertama, os navicular di-release secara progresif dari malleolus
medial dan dari posisi medialnya pada head talus. Awalnya, relaksasi ini akan belum
sempurna karena talus masih pada posisi patologis, namun akan membaik seiring
waktu.
Tahap kedua adalah mengoreksi forefoot adduction dengan stabilisasi dari
adduksi menyeluruh calcaneus-forefoot block. Manuver ini meregangkan semua sendi
(naviculocuneiform, cuneiform-metatarsal, dan MTP). Setelah semua sendi teregang,
forefoot adduction akan terus berkurang dengan melanjutkan peregangan medial skin
crease. Untuk menjaga pasif ROM yang baru, ekstensor ibu jari dan peroneal harus
dikuatkan. Untuk itu, terapis merangsang reflek kutaneus dengan memijat halus
bagian lateral pedis.
Tahap ketiga adalah reduksi progresif dari hindfoot varus. Diawali setelah
talonavicular joint tereduksi dan dapat dilakukan bersamaan dengan koreksi forefoot
adduction. Calcaneus bergerak secara gradual kearah posisi netral dan akhirnya menjadi

58
valgus. Ankle tereksternal rotasi bersamaan saat calcaneus diposisikan menjadi valgus.
Lutut dijaga tetap 90 derajat selama maneuver.
Tahap akhir dari program ini adalah mengoreksi equinus dari calcaneus, dimana
sering sulit karena kontraktur dari posterior soft tissue yang tidak mudah diregangkan
dengan manipulasi. Calcaneus dibawa secara progresif dari plantar fleksi ke dorsofleksi
sementara lutut tetap dalam fleksi. Lalu lutut diekstensikan dengan hati-hati. Manuver
ini dilakukan berulang-ulang. Lateral arch ditopang dengan baik untuk melindungi
midfoot teregang (midfoot break).
Walaupun dikatakan menyebabkan inflamasi, fibrosis dan kekakuan, metode ini
memberikan keseimbangan otot dan suasana biomekanik yang mengubah pola
pertumbuhan strukutr osteokondral dari pedis.
Dimeglio pada 1996 melaporkan keberhasilan metode ini sebesar 74%, tanpa
memerlukan intervensi bedah. Adapun tindakan posterior release dilakukan bila ada
residual equinus. Kelemahan dari metode ini adalah butuh komitmen orang tua untuk
menjalani terapi harian selama dua bulan awal.

Gambar 24. French method

59
TINDAKAN OPERATIF
Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi tambahan
terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus resisten, kasus yang
berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren, dan adanya deformitas residu
setelah tindakan extensive soft tissue release
Operasi berulang sebaiknya dihindari karena hanya akan mengakibatkan
kekakuan sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena
imobilisasi dalam waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya adalah
koreksi yang tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.
Dengan menggunakan Ponsetti atau French method, jumlah operasi akan lebih
sedikit pada kasus-kasus relaps atau kegagalan koreksi. Biasanya posterior release,
seperti Achilles tendon lengthening dan posterior capsulotomy dari sendi tibiotalar dan
subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa equinus dan minimal hindfoot varus. Sekitar
15% idiopati clubfoot memerlukan posteromedial release.
Beberapa teknik operasi dan prosedur telah dikemukakan untuk
mengembalikan clubfoot kembali ke posisi anatomis, beberapa diantaranya adalah:
1) Turco : One stage posteromedial release
Koreksi terhadap calcaneus dengan dilakukan subtalar release (lateral, posterior,
medial) dan juga calcaneofibular ligament.
2) Carrol : Plantar fascial release dan capsulotomy dari calcaneocuboid joint
3) Goldner : Koreksi dari rotasi talus dan tibiotalar joint release
4) McKay dan Simons : Prosedurnya lebih ekstensif, mayoritas struktur peritalar
dibebaskan.

Komplikasi pasca operasi dapat ditemui bila tidak dilakukan pengawasan yang
baik, meliputi beberapa hal diantaranya:
1) Hilangnya koreksi
Penyebabnya adalah setelah minggu ke 4 pasca operasi, cast menjadi terlalu
longgar dan tidak diganti sehingga posisi kaki akan berubah. Bila terjadi
infeksi luka operasi, posisi kaki harus tetap dipertahankan saat perawatan luka.
Walaupun terjadi infeksi pada pin tract, sangat penting untuk tetap dipertahankan
mengingat risiko hilangnya koreksi dan navicular dorsal subluxation bila pin

60
dilepas secara premature. Perawatan luka dan pemberian antibiotic dapat diberikan
hingga waktu pelepasan pin sesuai waktunya.
2) Navicular dorsal subluxation
Hal ini menyebabkan kaki cavovarus yang memendek. Dikatakan sering
terjadi setelah prosedur Turco dan Carrol, serta pelepasan pin yang premature.
Terjadi rotasi subluksasi, dimana bagian medial navicular terputar ke superior.
Operasi revisi dilakukan untuk mereduksi navicular dan sebaiknya pada anak
<6 tahun.
3) Valgus overcorrection
Gejalanya berupa nyeri pada bagian medial kaki dan memerlukan operasi
revisi untuk memperbaikinya.
4) Dorsal bunion
Pada clubfoot, hal ini terjadi karena overpull otot fleksor ibu jari pada kaki yang
lemah untuk plantar fleksi (kelemahan triceps). Dikoreksi dengan
kapsulotomi sendo MTP yang terfleksi, pemanjangan flexor hallucis longus
tendon, dan release atau transfer flexor hallucis brevis untuk menjadi
ekstensor.

Revisi dan Prosedur Sekunder


Timbulnya rekurensi walupun pernah tercapai hasil koreksi yang memuaskan,
merupakan hal yang memerlukan perhatian khusus. Biasanya rekurensi diakibatkan oleh
koreksi yang tidak sempurna pada awalnya. Bila kita sudah yakin bahwa koreksi telah
sempurna maka perlu dicurigai adanya suatu ”true recurrence” yang dapat disebabkan
oleh kelainan lainnya, seperti kelainan neurologis (occult spinal dysraphism). Untuk
ememastikannya diperlukan pemeriksaan elektrofisiologi dan MRI.
Prevalensi terjadinya rekurensi setelah dilakukan soft tissue release berkisar pada
10%., namun tidak semua memerlukan revisi karena persepsi dan keputusan dokter dan
keluarga berbeda-beda. Dalam menentukan revisi harus dipertimbangkan komplikasinya,
seperti kekakuan dan kelemahan otot akibat tindakan bedah dan imobilisasi berulang.
Tujuan tindakan revisi adalah untuk mendapatkan “the realistic foot” dengan sesedikit
mungkin prosedur bedah.

61
Jadi operasi revisi dilakukan harus dengan mengetahui masalah atau
deformitas yang ingin dikoreksi, seperti posisi kaki yang buruk (supinasi/inversi)
yang nantinya akan menimbulkan nyeri.

Soft Tissue Surgery


Percutaneus Achilles Tenotomy
Prosedur ini dilakukan untuk membantu mengoreksi residual equinus dengan
memanjangkan tendon Achilles. Manfaat yang didapat dengan prosedur ini adalah dapat
mengurangi lamanya pengobatan, menurunkan risiko rekurensi, mencegah talar
flattening (nut cracker effect) atau convex foot, dan mengurangi jumlah surgical
release. Adapun risiko yang menyertai seperti triceps insufficiency dan posterior tibial
vascular nerve lesion.
Complete transverse section dilakukan sekitar 1-2 cm dari insersi. Masukkan
blade tip ukuran 11 atau jarum ke bagian medial tendon dan pindahkan ke posterolateral.
Tanda telah tercapainya complete sectioning adalah adanya click-like perception dari

hiatus pada tendon saat dorsofleksi 15-20o. Setelah 21 hari diimobilisasi dengan
LLC (femoropedal immobilization) tendon akan terlihat continuous melalui ultrasound
dan struktur akan tampak normal setelah 1 tahun.
Anterior TIbial Muscle Surgery
Muscular disequilibrium sering terjadi pada M. tibialis anterior pasca terapi,
termasuk pemanjangan tendon Achilles. Ditandai dengan dynamic supination pedis saat
oscillating phase, dengan kurangnya anteromedial support, piano key si gn dan forefoot
supination pada dorsofleksi aktif ankle.
Bila tidak terkoreksi setelah usia berjalan, akan menyebabkan risiko deformity
fixation (pes cavus, forefoot adduction, hindfoot varus, navicular dorsal subluxation).
Operasi ini direkomendasikan untuk dilakukan saat pasien berumur 2-3 tahun, dan
biasanya ditujukan untuk kasus-kasus rekurensi dengan flexible foot. Beberapa tindakan
yang tercakup didalamnya adalah:
 Transfer sebagian tendon tibialis anterior ke cuboid untuk menjaga
keseimbangan dorsofleksi.
 Transfer anterior tibialis tendon ke lateral cuneiform. Prosedur ini
merupakan bagian integral dari penanganan rekurensi Ponseti. Tercatat

62
15,2% rekurensi kembali, namun tindakan ini dapat mencegah
degenerative joint lesion.
 Z-lengthening tendon anterior tibialis. Prosedur ini juga dikerjakan pada
Posteromedial release. Dengan memanjangkan bagian medial akan
memendekkan tendon anterior tibialis.

Posteromedial Soft-tissue Release (PMR)


Dengan memanjangkan tendon dan membelah aponeurosis dan kapsul sendi,
PMR akan mengoreksi tibiotarsal dan subtalar equinus, CPB adduction dan mediotarsal
adduction. Operasi ini sebaiknya dilakukan sebelum usia 1 tahun. Diawali dengan
posterior release lalu menuju bagian medial pedis. Talonavicular joint untuk sementara
direduksi maksimal untuk mencegah navicular dorsal subluxation. Bila terjadi adduksi
akibat incomplete correction atau orientasi calcaneocuboid joint yang patologis, lateral
column pedis dapat dipendekkan melalui calcaneus substraction osteotomy (Lichtblau
technique). Didapatkan koreksi pada 75-85% kasus dengan 20-40% rekurensi, yang akan
memerlukan operasi revisi. Adapun risiko lain adalah hipo dan hiperkoreksi, dorsal
bunion, dan triceps insufficiency.
Kualitas terapi akan menurun seiring waktu. Sekitar 20 tahun pasca operasi akan
timbul keluhan seperti nyeri, menurunnya kekuatan dan daya tahan, walaupun tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Terdapat juga forefoot dorsoflexion dan adduksi
dengan hindfoot equinus. PMR merupakan pilihan terakhir pada kasus resisten
terhadap terapi konservatif.

Bony Surgery
Lateral Column Shortening
Terkadang koreksi tidak dapat dilakukan karena adanya length disparity pada
kedua sisi kaki (medial dan lateral). Prosedur Evans menyarankan untuk
mengombinasikan posteromedial release dengan lateral column shortening.
Calcaneal Osteotomy
Dapat dilakukan pada fixed heel varus tanpa atau pun dengan deformitas
residual yang signifikan. Prosedur ini dapat dikombinasikan dengan prosedur lain dan
tidak mengganggu prosedur triple arthrodesis di masa mendatang.

63
Supramalleolar Osteotomy
Adanya toe-in gati yang persisten, >2 standar deviasi, merupakan indikasi
pada 8-25% pasien.

Triple Arthrodesis
Untuk anak lebih dari 10 tahun, penanganan deformitas residu adalah triple
arthrodesis. Prosedur ini bukkan hanya untuk mengoreksi deformitas residu anamun
untuk mempertahankan posisi seteleah koreksi.

Perawatan di rumah sakit atau perawatan jangka panjang di rumah


1) Perawatan Selama Terapi Konservatif
Metoda fiksasi apapun yang dipilih, perawatan yang perlu diingat dan dilakukan
adalah:
 Karena penderita biasanya menjalani rawat jalan, maka jangan pernah
memperbolehkan anak meninggalkan rumah sakit atau klinik sampai yakin betul
bahwa sirkulasi jari kaki adekuat.
 Instruksikan ibu untuk mengamati jari kaki dan segera menghubungi bila sesuatu
yang tidak biasa terjadi. Perlu antisipasi pembengkakan jari kaki yang ditandai
dengan jari berwarna kemerahan saat jepitan digital pada jari kaki dilepaskan.
Pembengkakan menyeluruh bersama dengan hilangnya warna yang harus
diwaspadai. Fiksasi mungkin harus diperbarui, tapi tidak boleh dilepas seluruhnya
karena akan kehilangan posisi koreksi. Dinding plaster posterior pada posisi
koreksi dapat dipasang untuk sementara.
 Kaki harus terjaga kebersihannya dan kering. Saat penggantian splint, cuci kaki
dan tungkai dengan hati-hati, pertahankan posisi koreksi. Beri perhatian khusus
pada area-area yang menerima tekanan. Usahakan menjaga pemasangan splint
tetap kering. Sepotong lembaran kapas dapat dipakai untuk melindungi basis ibu
jari atau jari V dari tekanan. Strapping yang baru tidak dipasang pada area kulit
yang sama dengan sebelumnya. Jangan menghentikan splinting karena ulkus
dekubitus atau iritasi kulit. Melepaskan kaki yang telah terkoreksi sebagian akan
menjadi lebih resisten terhadap penanganan daripada yang belum pernah dikoreksi
sama sekali. Dinding plaster posterior dapat dipakai untuk mempertahankan posisi
koreksi.

64
 Splinting harus dikombinasi dengan stretching pasif yang teratur oleh orang tua
bayi. Setelah anak dapat berjalan dengan baik dan sepatu Dennis Browne terakhir
yang dipakai bereversi 10º, splint dapat dihentikan tetapi stretching pasif
dilanjutkan sampai kurang lebih usia 2 atau 3 tahun dan tidak tampak tanda-tanda
rekurensi. Jika rekurensi deformitas terjadi, dokter harus memutuskan apakah
akan diberikan tambahan casting atau koreksi operatif.
 Perawatan jangka panjang untuk di rumah meliputi perawatan “cast” (termasuk
observasi terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi
tumbuh kembang normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau
therapi yang lama

Perawatan “cast” meliputi :


 Biarkan cast terbuka sampai kering
 Posisi ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi dengan diganjal bantal pada hari
pertama atau sesuai intruksi
 Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan warna kulit dan
laporkan bila ada perubahan yang abnormal
 Cek pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi adanya rasa
nyeri
 Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama tetapi anjurkan untuk melatih otot-
otot secara ringan, gerakkan sendi diatas dan dibawah cast secara teratur.
 Istirahat yang lebih banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma
 Jangan biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-benda
kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak
 Rasa gatal dapat dikurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi cast
dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat
 Cast sebaiknya dijauhkan dari dengan air
2) Perawatan pasca pembedahan
 Lepas gips setelah 6 minggu. Anak dapat berjalan dengan kaki menumpu berat
badan sesuai toleransi. Setelah operasi penderita tidak perlu menggunakan brace.
Periksa pasien 6 bulan kemudian untuk menilai efek dari transfer tendo. Pada
beberapa kasus diperlukan fisioterapi untuk memulihkan kembali kekuatan dan
cara jalan yang normal.

65
 Okupasi Terapi : Okupasi terapis memberi latihan berupa koreksi aktif dengan
aktivitas atau permainan.
 Sosial Medik : Petugas sosial medik memberikan pengertian pada orang
tuapenderita mengenai Kelainan apa yang terjadi pada CTEV serta kemungkinan
faktorpenyebab.
 Psikologis : Psikolog memberikan pengertian pada orang tua penderita
mengenaikeadaan anaknya dan memberi support mental bahwa kelainan tersebut
dapat disembuhkan apabila ditangani secara dini dan terus menerus sampai usia
pertumbuhan.

Follow-up
Pasien Pin untuk fiksator biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu, tetap
diperlukan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.

o. Pencegahan dan edukasi


Pencegahan
Tidak ada cara untuk mencegah Clubfoot saat ini. Namun, wanita hamil tidak boleh
merokok, terutama jika mereka memiliki riwayat keluarga Clubfoot. Merokok juga
meningkatkan risiko memiliki bayi dengan berat lahir rendah atau prematur, serta
berhubungan dengan kejadian clubfoot dan komplikasi kehamilan lainnya. Konseling
genetik dapat membantu orang tua memahami kemungkinan memiliki anak dengan kaki
clubfoot. Umumnya, jika seorang anak memiliki Clubfoot terisolasi (tidak ada cacat lahir
lainnya sekarang), risiko kekambuhan pada kehamilan lain adalah rendah (sekitar 5 persen).

Edukasi
Clubfoot dan beberapa cacat kaki yang lain secara umum dapat diakui selama
pemeriksaan baru lahir. Cacat ini biasanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan fisik
saja, meskipun kadang-kadang penyedia bisa merekomendasikan tes tambahan, seperti
sinar-X.
Clubfoot kadang didiagnosis sebelum kelahiran, selama USG. Meskipun gangguan
tersebut tidak dapat diobati sebelum kelahiran, orang tua memiliki kesempatan untuk
menemukan seorang ahli bedah ortopedi dan belajar tentang pilihan pengobatan. Apapun

66
masalahnya, yang terpenting adalah pengenalan dini penyebab deformitas, sehingga
rangkaian penatalaksanaan dapat segera direncanakan dan keluarga penderita memperoleh
informasi yang akurat, prognosis yang realistik dan menghindari komplikasi iatrogenik
akibat kekeliruan dalam program penatalaksanaan clubfoot.
Keluarga penderita harus diberikan edukasi yang sejelas-jelasnya, terutama
mengenai kemungkinan terjadinya kekambuhan dan kelainan ini tidak dapat terkoreksi
sempurna atau normal, adanya gejala sisa. Orangtua juga harus mendapatkan informasi
yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian “cast”
secara teratur untuk menunjang penyembuhan. Perawatan “cast” (termasuk observasi
terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang
normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau terapi yang lama.

p. Komplikasi
1. Infeksi (jarang)
2. Kekakuan dan keterbatasan gerak: kekakuan yang muncul awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.
3. Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus
muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.
4. Overkoreksi yang mungkin karena:
 Pelepasan ligamen interoseum dari persendian subtalus
 Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral
 Adanya perpanjangan tendon

q. Prognosis
Prognosis baik, asalkan terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar dapat
diperbaiki, walaupun demikian, keadaan ini sering tidak sembuh sempurna dan sering
kambuh, terutama pada bayi dengan kelumpuhan otot yang nyata atau disertai penyakit
neuromuskuler.

67
F. Kerangka Konsep

Tekanan mekanik intrauterine

Genetik

Abnormalitas posisi tulang saat osifikasi

Gangguan Jaringan Ikat (fibrosa)

Blocking pada sinus tarsi

Muncul deformitas
Defek neuromuskular
pada susunan tulang,
otot, dan atau ligamen
Hambatan pertumbuhan

Perubahan sudut talocalcaneus Perubahan sudut tibiocalcaeal

Kaki Varus Adduksi bagian distal Kaki Equinus


kaki

Pemendekan jari kaki

Lipatan kulit pada Lipatan kulit pada


medial plantar posterior pedis

Congenital Talipes Equinovarus (CTEV)

68
G. Sintesis
Seorang ibu datang dengan membawa anak laki-lakinya, berusia 10 hari ke poli.
Keluhan utama sang ibu adalah kaki anaknya yang berbelok ke arah dalam, tanpa ada
kelainan lain. Dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa kaki anak berbentuk equinus dan
varus. Dari hasil pemeriksaan dan anamnesis anak mengalami congenital talipes
equinovarus (CTEV).
CTEV dapat diagnosis banding dengan euqinovarus posture yang lebih ringan dimana
waktu yang dibutuhkan untuk memanipulasi tulang menjadi normal lebih cepat. Hal ini
berhubungan dengan riwayat anak pernah dibawa ke tukang urut namun tak ada perbaikan.
Equinovarus posture bersifat lebih fleksibel untuk direduksi ke bentuk normal.
CTEV banyak ditemui pada laki-laki dengan perbandingan 2:1 dengan perempuan.
CTEV sendiri sudah dapat dideteksi sejak masa kehamilan. Kejadian CTEV berkaitan
dengan genetik, namun umumnya bersifat sporadik, sehingga ada faktor lingkungan yang
memengaruhi kejadian CTEV sendiri. Ibu yang merokok, kekurangan cairan amnion
(oligohydroamnion), konsumsi obat-obatan, dan infeksi saat kehamilan dapat
memengaruhi kejadian CTEV. Namun, pada umumnya CTEV dapat muncul pada anak
yang di masa kehamilannya normal.
CTEV merupakan kelainan idiopatik kongenital. Penyebab CTEV belum diketahui
jelas, namun diduga merupakan multifaktorial. Ada beberapa hipotesis berkaitan dengan
kejadian dari CTEV, yaitu :
 Tekanan mekanik intrauterin, hal ini retriksi pergerakan fetus dalam uterus
yang berhubungan dengan oligohidroamnion.
 Abnormalitas posisi tulang, sehingga proses osifikasi endochondral dan
perichondral terganggu
 Gangguan jaringan ikat, dimana untuk gambaran histologis tak ada kelainan
mencolok, namun ditemukan jaringan fibrosa. Hal ini didukung dengan adanya
kelemahan sendi pada penderita CTEV
 Blok pada sinus tarsi pada vaskularisasi pedis, sehingga terbentuk jaringan
fibrosa dan muncul kelemahan otot betis
 Defek neuromuskular, kejadian CTEV biasanya berhubungan dengan
gangguan neuromuskular.

69
 Hambatan pertumbuhan, terjadi gangguan proses perkembangan dimana kaki
fetus tertahan pada posisi equinovarus.
 Herediter, berkaitan dengan masa pertubuhan tibia dan fibula intrauterin yang
mengalami gangguan
Pada CTEV, diagnosis ditentukan berdasarkan gambaran klinis. Bentuk dari kaki
sangat khas. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki terlihat relatif
memendek. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur atau
cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik
dan mengalami inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas
belakang sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil
dan sulit dipalpasi. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari posisi varus.
Pada CTEV, caput talus menonjol di sisi dorsolateral dengan collum talus yang
lebih pendek. Navikulare bergeser ke sebelah medial caput talus, pergeseran ini mulai dari
subluksasi sampai dislokasi yang hampir kompleks. Oleh karena navikulare berpindah ke
medial, cuboid dan calcaneus bergeser pula ke medial dan terjadi perubahan yang sifatnya
adaptasi pada sisi lateral kaki (calcaneus, cuboid, metatarsal V).
Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal anterior tulang
kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada
maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang navikularis.
Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya
perputaran subtalar ke medial.
Pergesaran tulang dapat dilihat dari radiologi. Radiologi digunakan sebagai
pemeriksaan tambahan dengan tujuan untuk menentukan terapi dan prognosis.
Pengukuran Kaki Normal Clubfoot
Sudut tibiocalcaneal 60-90° on lateral view >90° (hindfoot equinus) on lateral view
Sudut Talocalcaneal 25-45° on lateral view, <25° (hindfoot varus) on lateral view,
15-40° on DP view <15° (hindfoot varus) on DP view
Metatarsal Slight on lateral view, None (forefoot supination) on lateral
convergence slight on DP view view, increased (forefoot supination) on
DP view
Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan
menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottom dengan posisi tumit equinus dan

70
dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus,
pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan maleoulus
lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.
Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot tibialis anterior
dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah
dan memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor
jari kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk spring ligament, master
knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga berkontribusi dalam
abnormalitas clubfoot.
Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau tidak adanya arteri
tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri tibialis anterior juga
dilaporkan namun jarang. Anomali arteri ini meningkatkan risiko komplikasi vaskuler jika
salah satu arteri dominan terkena saat comprehensive soft-tissue release atau Achilles
tenotomi.
CTEV merupakan penyakit dengan kompetensi 2 yang berarti sebagai dokter umum
dapat mendioagnosis dan merujuknya. Pasien harus dirujuk ke Bagian Orthopedi. Dalam
CTEV, penentuan derajat keparahan dapat menggunakan klasifikasi Dimeglio (gambar 18,
halaman 48) atau Klasifikasi Pirani (gambar 20, halaman 50).
Pada kasus, anak masih berumur 10 hari, sehingga masih dalam masa dimana terapi
non-konservatif masih dapat dilakukan. Golden period dari perbaikan CTEV adalah 3
minggu sejak kelahiran. Terapi non-operatif dapat menggunakan Metode Poseti dan French
Method.
Pada Metode Poseti dilakukan serial casting dapat menggunakan bahan plaster
atau fiberglass dan tidak ditemukan perbedaan hasil diantara kedua bahan tersebut.

Cast terpasang dipasang dari jari kaki hingga 1/3 atas paha dengan lutut fleksi 90 o dan
akan diganti setiap 5-7 hari. Biasanya diperlukan 5-6 kali penggantian cast untuk
mendapatkan koreksi yang baik. Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik
dengan orang tua pasien, dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4
tahun.
Manuver penting ini mengoreksi mayoritas deformitas dari clubfoot dan harus
dilakukan pada setiap sesi dengan memperhatikan tiga hal:

71
 Abduksi forefoot harus dilakukan dengan dengan sedikit supinasi pedis,
sehingga koreksi pada deformitas cavus tetap terjaga dan colinearity dari
metatarsal tetap terjaga.
 Jangan melakukan dorsofleksi premature terhadap tumit, hal ini bertujuan
agar calcaneus dapat terabduksi secara bebas dibawah talus dan eversi ke posisi
pedis netral, serta mencegah rocker bottom deformity.
 Berikan counterpressure pada sisi lateral k e p a l a talus. Koreksi hindfoot
varus dan calcaneal inversion akan sulit bila counterpressure diberikan pada sisi
lateral pedis, bukan pada sisi lateral head of talus.
Setelah cast dilepas, foot abduction orthosis (sering disebut Denis Browne
bar and shoes) diberikan untuk mencegah rekurensi deformitas, untuk remodeling
persendian dengan tulang-tulang dalam posisi baik, dan untuk meningkatkan kekuatan
otot kaki. Alat ini berupa sepatu yang terhubung dengan dynamic bar (kira-kira

sepanjang bahu pasien). Rotasi sepatu terhadap bar sekitar 60-70o eksternal rotasi

pada kaki clubfoot dan 40o eksternal rotasi pada kaki normal. Alat ini dipakai 22-23 jam
sehari selama 3 bulan, lalu saat tidur malam dan siang (12-14 jam sehari) hingga anak
berusia 1 tahun, dan saat tidur malam hingga usia 3-4 tahun. Pasien disarankan untuk
control satu bulan berikutnya dan dilanjutkan dengan interval 3 bulan.
Orthosis terdiri dari dua sepatu yang dihubungkan dengan sebuah papan yang
mampu memposisikan sepatu selebar bahu. Papan harus mampu menahan sepatu 70
derajat eksternal rotasi dan 5-10 derajat dorsofleksi. Pada kasus unilateral, kaki normal
harus berada di 40 derajat eksternal rotasi. Menahan kaki selebar bahu membantu abduksi
pedis. Orthosis digunakan setiap hari hingga 3-4 bulan, lalu dilanjutkan pemakaian saat
tidur siang dan malam selama 2-4 tahun.
Pada 90% kasus diperlukan adanya Achilles tenotomy (percutaneous Achilles
Tenotomy/ pAT) untuk mengoreksi kontraktur equinus. Tindakan ini dilakukan dengan
anestesi local pada anak usia dibawah 1 tahun (tanpa adanya overlengthening atau
kelemahan otot) dan dengan sedasi di ruang operasi untuk anak yang lebih tua. Untuk
anestesi local disarankan hanya menggunakan anestesi topical terlebih dahulu dan
anestesi injeksi diberikan setelah prosedur tenotomy. Hal ini untuk menghindari kesulitan
dalam palpasi tendon sehingga berpotensi merusak neurovaskuler di area tersebut.

72
Tenotomy dapat dilakukan dengan thin cataract knife yang steril di klinik (setelah
EMLA cream menganastesi kulit secara local selama 30 menit).
Pada tahap pertama, os navicular di-release secara progresif dari malleolus
medial dan dari posisi medialnya pada head talus. Awalnya, relaksasi ini akan belum
sempurna karena talus masih pada posisi patologis, namun akan membaik seiring
waktu.
Tahap kedua adalah mengoreksi forefoot adduction dengan stabilisasi dari
adduksi menyeluruh calcaneus-forefoot block. Manuver ini meregangkan semua sendi
(naviculocuneiform, cuneiform-metatarsal, dan MTP). Setelah semua sendi teregang,
forefoot adduction akan terus berkurang dengan melanjutkan peregangan medial skin
crease. Untuk menjaga pasif ROM yang baru, ekstensor ibu jari dan peroneal harus
dikuatkan. Untuk itu, terapis merangsang reflek kutaneus dengan memijat halus
bagian lateral pedis.
Tahap ketiga adalah reduksi progresif dari hindfoot varus. Diawali setelah
talonavicular joint tereduksi dan dapat dilakukan bersamaan dengan koreksi forefoot
adduction. Calcaneus bergerak secara gradual kearah posisi netral dan akhirnya menjadi
valgus. Ankle tereksternal rotasi bersamaan saat calcaneus diposisikan menjadi valgus.
Lutut dijaga tetap 90 derajat selama maneuver.
Tahap akhir dari program ini adalah mengoreksi equinus dari calcaneus, dimana
sering sulit karena kontraktur dari posterior soft tissue yang tidak mudah diregangkan
dengan manipulasi. Calcaneus dibawa secara progresif dari plantar fleksi ke dorsofleksi
sementara lutut tetap dalam fleksi. Lalu lutut diekstensikan dengan hati-hati. Manuver
ini dilakukan berulang-ulang. Lateral arch ditopang dengan baik untuk melindungi
midfoot teregang (midfoot break).
Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi tambahan
terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus resisten, kasus yang
berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren, dan adanya deformitas residu
setelah tindakan extensive soft tissue release
Operasi berulang sebaiknya dihindari karena hanya akan mengakibatkan
kekakuan sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena
imobilisasi dalam waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya adalah
koreksi yang tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.

73
Dengan menggunakan Ponsetti atau French method, jumlah operasi akan lebih
sedikit pada kasus-kasus relaps atau kegagalan koreksi. Biasanya posterior release,
seperti Achilles tendon lengthening dan posterior capsulotomy dari sendi tibiotalar dan
subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa equinus dan minimal hindfoot varus. Sekitar
15% idiopati clubfoot memerlukan posteromedial release.
Prognosis tatalaksana dilakukan sesegera mungkin, maka prognosis dapat baik.
Namun, dapat terjadi relaps dan kegagalan dalam tatalaksana sehingga dibutuhkan terapi
operatif. Pada kasus bila orang tua kooperatif maka prognosis akan baik.

74
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan
Anak laki-laki, 10 hari, dibawa ibunya ke poliklinik karena menderita Congenital
Talipes Equinovarus (CTEV), sehingga kaki anak berbelok ke arah dalam.
B. Saran
Anak ini disarankan untuk dirujuk ke bagian Orthopedi untuk mendapatkan
penanganan yang sesuai untuk CTEV. Disarankan untuk melakukan tindakan manipulasi
denga non-operatif. Penting untuk mengedukasi orang tua bahwa proses manipulasi
tulang ke bentuk normal membutuhkan waktu yang lama untuk menghindari relaps dan
butuh kerja sama orang tua untuk mencapai hasil terapi yang maksimal.

75
DAFTAR PUSTAKA

Marcdante, Karen J, dkk. 2011. Nelson-Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Ed. 6. Singapura:
Elsevier
Hefti, Fritz.. dkk. 2007. Pediatric Orthopedic in Practice. Berlin : Springer
Ismiarto, Yoyos Dias. 2015. “Congenital Talipes Equinovarus (Club Foot)”. Bandung :
Bagian Orthopedi FK Universitas Padjadjaran
Anggananugraha, IGB Indra dan Kadek Ayu C. D.. 2016. “Congenital Talipes Equino
Varus (CTEV)”. Denpasar : Bagian Bedah FK Universitas Udayana
I, Bar-Hava, Bronshtein M, dkk. 1997. “Caution: Prenatal Clubfoot Can Be Both A
Transient And A Late-Onset Phenomenon”.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9178321, diunduh pada 21 November 2016
Kementrian kesehatan RI. 2010. “Kelainan Congenital Dan Trauma Lahir : Talipes
Equinovarus. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial”.
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Buku-Saku-Pelayanan-Kesehatan-
Neonatal-Esensial.pdf, diunduh pada 21 November 2016

76
77

Anda mungkin juga menyukai