Anda di halaman 1dari 17

Diagnosis Demensia

Diagnosis demensia tepat waktu sebagai kunci dalam peningkatan layanan demensia
dan didukung oleh pedoman klinis di seluruh Eropa. Diagnosis tepat waktu
memungkinkan perencanaan untuk masa depan. Pasien demensia yang memiliki
penyakit Alzheimer, penggunaan inhibitor kolinesterase berpotensi untuk mengubah
gejala dan menunda kebutuhan untuk mencari perawatan di panti jompo. Kira-kira
50% dari orang dewasa yang lebih tua dengan demensia tidak terdiagnosis atau tidak
menyadari diagnosisnya. Saat mempertimbangkan diagnosis demensia, penting untuk
membedakan antara penemuan kasus dan skrining.19
Dalam praktiknya, sebagian besar penilaian gangguan kognitif di perawatan
primer melibatkan penemuan kasus daripada skrining non-target. Penemuan kasus
adalah proses menegakkan diagnosis bila ada kecurigaan klinis. Skrining non-target
pada individu asimtomatik tidak direkomendasikan, karena tidak ada bukti bahwa
skrining meningkatkan hasil. Kondisi dan kelompok berisiko tinggi yang perlu
dipertimbangkan termasuk gangguan kognitif ringan atau mild cognitive impairment
(MCI), faktor risiko kardiovaskular yang kuat, pasca stroke, sindroma Down, HIV,
intoksikasi alkohol, penghuni panti jompo, penyakit neurodegeneratif (Parkinson).19

Kriteria Diagnosis
Demensia adalah sekelompok gangguan ditandai dengan penurunan kognisi yang
melibatkan satu atau lebih domain kognitif (pembelajaran dan memori, bahasa, fungsi
eksekutif, perhatian kompleks, motor persepsi, kognisi sosial). Defisit harus mewakili
penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya dan cukup parah untuk mengganggu fungsi
sehari-hari. Demensia onset muda secara konvensional dianggap mencakup pasien
dengan onset demensia sebelum usia 65 tahun. Demensia sering kali diawali dengan
periode MCI. Namun, sepertiga dari kasus MCI tidak berkembang menjadi demensia.
MCI umumnya didefinisikan dengan adanya kesulitan memori dan gangguan memori
obyektif tetapi dibedakan dari demensia oleh kemampuan yang dipertahankan untuk
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Delirium adalah keadaan akut (jam sampai
hari) biasanya reversibel akibat gangguan metabolisme, seringkali dengan kesadaran
berfluktuasi. Penderita delirium mengalami kesulitan mempertahankan perhatian dan
konsentrasi. Delirium dan demensia bisa tumpang tindih, sehingga sulit dibedakan.
Demensia sendiri adalah faktor risiko terbesar untuk mengembangkan delirium,
menambah kompleksitas penilaian.19

Kriteria diagnosis terbaru untuk delirium mencakup gejala berikut:


 Gangguan perhatian (berkurangnya kemampuan untuk mengarahkan, fokus) dan
kesadaran (berkurangnya orientasi ke lingkungan).
 Perubahan dari perhatian dan kesadaran dasar dan cenderung berfluktuasi dalam
tingkat keparahan selama sehari.
 Gangguan kognisi (misalnya defisit memori, disorientasi, bahasa, kemampuan
visuo-spasial atau persepsi).19

Jenis Demensia
Istilah demensia mengacu pada sekelompok sindrom yang ditandai dengan
penurunan fungsi kognitif secara progresif. Sub-jenis utama demensia termasuk
Penyakit Alzheimer (AD), Demensia Vaskular (VaD), Demensia dengan Badan Lewy
(DLB), demensia Fronto-temporal (FTD), dan demensia terkait alkohol secara singkat
dijelaskan pada Tabel 1. Sub-jenis lainnya termasuk Penyakit Huntington, Demensia
HIV, Penyakit Neuron Motorik, dan Penyakit Prion (termasuk Penyakit Klasik
Creutzfeldt-Jakob). Identifikasi subtipe demensia penting karena jenis demensia yang
berbeda akan memiliki perjalanan yang berbeda, dengan pola gejala yang berbeda,
dan dapat merespons pengobatan yang berbeda pula.19
Tabel 1. Subtipe demensia.22

Anamnesis
Perhatian khusus harus diberikan pada onset, perjalanan perkembangan, pola
gangguan kognitif dan adanya gejala non-kognitif seperti gangguan perilaku,
halusinasi dan delusi. Terlepas dari masalah seputar gangguan memori, riwayat juga
harus fokus pada bukti afasia (gangguan bahasa), apraksia (gangguan motorik) dan
agnosia (kesulitan mengenali objek), dan aktivitas instrumental yang kompleks dalam
kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja, menyiapkan makanan atau mengelola
keuangan. Gangguan perilaku juga harus dieksplorasi, karena hampir semua pasien
demensia Alzheimer mengalami beberapa bentuk gejala perilaku selama perjalanan
penyakit mereka, seperti apatis, kecemasan, agitasi dan depresi. Beberapa tes skrining
kognitif misal GPCOG. Diagnosis banding utama untuk demensia adalah depresi,
delirium, dan obat-obatan. Penyebab gangguan kognitif lain yang dapat diobati
termasuk hipotiroidisme dan defisiensi vitamin tertentu. Perbedaan lain yang perlu
dipertimbangkan termasuk MCI, masalah memori subjektif, tuli, gangguan
penglihatan dan tumor otak.19

Rincian gambaran klinik demensia adalah sebagai berikut:6,20


1. Gangguan memori
Ketidakmampuan untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan hal-hal yang baru
saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Pada demensia tahap lanjut, gangguan
memori menjadi sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah,
tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan namanya sendiri.
2. Afasia
Bahasa lisan dan tertulis juga dapat terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat
menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia
(menirukan apa yang didengar) atau palilalia (mengulang suara atau kata terus
menerus).
3. Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan motorik, fungsi
sensorik, dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Apraksia dapat mengganggu
keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.
4. Agnosia
Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda meskipun fungsi
sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tidak mengenali kursi, pena, meskipun
visusnya baik. logam.
5. Gangguan fungsi eksekutif
Gejala yang sering dijumpai, gejala ini erat kaitannya dengan gangguan di lobus
frontalis atau jaras subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi
eksekutif melibatkan kemampuan berfikir abstrak, merencanakan, mengambil
keputusan, inisiatif, membuat urutan, memantau, atau menghentikan kegiatan yang
kompleks. Gangguan dalam berfikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam
hal menguasai tugas/ide baru serta menghinari situasi yang memerlukan pengolahan
informasi baru atau kompleks.
6. Gejala yang lain.
Sangat bervariasi. Penderita demensia dapat mengalami gangguan orientasi ruang.
Sementara itu wawasan menjadi sempit dan sulit untuk menyatakan pendapat.
Penderita kurang menyadari adanya gangguan memori dan kelainan kognitif lainnya.
Beberapa penderita menunjukkan adanya gangguan ekstrapiramidal, abnormalitas
aktivitas susunan saraf pusat dan tepi, inkontinensia urin dan feses. Kejang dapat
terjadi tetapi sangat jarang ditemukan.

Tabel 2. Perbedaan delirium dan demensia.6,20


Delirium Demensia
Terjadi secara tiba-tiba Terjadi secara perlahan
Berlangsung selama beberapa Bisa menetap
minggu
Berhubungan dengan pemakaian Bisa tanpa penyakit
obat atau gejala putus obat, penyakit
berat, kelainan metabolisme
Hampir selalu memburuk di Sering bertambah buruk di
malam hari malam hari
Tidak mampu memusatkan Perhatiannya 'mengembara'
perhatian
Kesiagaan berfluktuasi dari Kesiagaan seringkali
letargi menjadi agitasi berkurang
Orientasi terhadap lingkungan Orientasi terhadap lingkungan
bervariasi terganggu
Bahasanya lambat, seringkali Kadang mengalami kesulitan
tidak dapat dimengerti & tidak tepat dalam menemukan kata-kata yg
tepat
Ingatannya bercampur baur, Ingatannya hilang, terutama
linglung untuk peristiwa yang baru saja
terjadi

Demensia kortikal dan subkortikal


Pembagian subdivisi demensia yang berguna adalah berdasarkan letak lesi, mulai
dari demensia dimana korteks serebri sebagai letak primer penyakit, hingga demensia
dengan struktur subkortikal yang lebih banyak terlibat (walaupun beberapa gangguan
menunjukkan bentuk campuran). Pada demensia kortikal, pasien memiliki memori,
kemampuan bahasa, praksis dan atau fungsi spasial yang terganggu. Karakterisitik
demensia subkortikal adalah fungsi kognitif yang melambat (bradifrenia), serta
gangguan kepribadian dan mood. Pasien nampak apatis dan sulit dipengaruhi, disertai
gambaran lain dari disfungsi frontal. Walaupun memori terganggu, tetapi bahasa,
praksis, dan keterampilan visuospasial umumnya cukup baik setidaknya pada awal
penyakit. Fungsi kognitif yang terdistribusi dan terlokalisasi dapat dinilai secara
klinis dengan menggunakan berbagai komponen pemeriksaan.6,20

Pemeriksaan Fisik
Fokus pemeriksaan fisik harus pada penyakit kardiovaskular, tanda-tanda neurologis
khususnya Parkinsonisme, kehilangan sensorik, dan menyingkirkan kemungkinan
penyebab penurunan kognitif atau delirium yang dapat diperbaiki.

Pemeriksaan Tambahan
Tidak ada satu pun tes laboratorium yang dapat membuktikan adanya demensia.
Pemeriksaan dilakukan untuk menemukan penyebab potensial gangguan kognitif
yang dapat diperbaiki. Pemeriksaan relevan disertakan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Pemeriksaan demensia.19


Penilaian Kognitif
Pengujian fungsi kognitif menambah bukti lebih lanjut untuk penilaian dan
investigasi klinis. Sejumlah alat skrining kognitif tervalidasi yang digunakan dalam
praktik umum. Kinerja pasien mungkin dipengaruhi oleh kemampuan pendidikan,
bahasa, pendengaran dan budaya. Hasil pengujian harus dimasukkan dalam rujukan
ke perawatan sekunder. Lebih dari 50% dokter umum menggunakan MMSE karena
ketersediaan dan kebiasaan profesional, namun, ada sejumlah alat penilaian kognitif
lain yang tersedia yang telah dikembangkan untuk digunakan dalam perawatan
primer. Gambaran singkat tentang alat penilaian yang umum digunakan disajikan
pada Tabel 4. Selain itu terdapat tes mental standar seperti pemeriksaan mental mini /
mini mental state examination (MMSE).6,20

Tabel 4. Pemeriksaan mental mini/mini mental state examination (MMSE).6,20


Domain Nilai maksimum
Orientasi :
- Tahun, bulan, hari, tanggal, musim 5
- Negara, provinsi, kota, nama rumah 5
sakit, nama ruang rawat.

Registrasi :
- Pemeriksa menyebutkan 3 kata/ 3
benda dan minta pasien mengulangi
kata-kata tadi (kemudian
mengulangi lagi sebanyak 3 kali).
Atensi :
7 serial : hentikan setelah 5 jawaban, 1 poin 5
untuk setiap jawaban yang benar; alternative
lain minta pasien untuk menyebut huruf yang
membentuk kata DUNIA, dari belakang ke
depan.
Mengingat kembali :
- Pasien diminta untuk mengulang 3
kembali 3 kata yang telah
disebutkan sebelumnya.
Bahasa :
- Pasien diminta untuk menyebutkan 2
merek pulpen dan merek jam.
- Pasien diminta untuk mengulang “ 1
jika tidak, dan atau tetapi”
- Berikan perintah 3 tahap. Nilai 1 3
untuk setiap tahap (misalnya :
ambil kertas ini dengan tangan
kanan, lipat jadi dua, dan letakkan
di atas meja).
- Pasien diminta untuk membaca dan 1
mematuhi suatu perintah yang
ditulis pada selembar kertas yang
menyatakan “tutup mata”
- Pasien diminta untuk menulis 1
sebuah kalimat – beri nilai bila
kalimat mamsuk akal, dan
mengandung subjek dari kata kerja.

Meniru :
- Pasien diminta untuk meniru 1
gambar pentagon yang saling
berpotongan.
TOTAL 30

Tingkat keparahan demensia sering ditentukan oleh skor Mini Mental State
Examination (MMSE):6,20
 Penyakit Alzheimer ringan: MMSE 21–26
 Penyakit Alzheimer sedang: MMSE: 10-20
 Penyakit Alzheimer yang cukup parah: MMSE 10–14
 Penyakit Alzheimer yang parah: MMSE kurang dari 10
Skor di bawah 24/30 pada tes ini mengindikasikan demensia. Akan tetapi,
keseluruhan nilai tes ini tidak sensitive pada tahap awal demensia, teutama jika
kemampuan intelektual premorbid cukup tinggi, dan pada deficit kognitif
sirkumskrip, terutama yang melibatkan fungsi hemisfer non dominan dan lobus
frontal. Oleh karena itu, banyak pasien dengan defisit kognitif membutuhkan evaluasi
psikometrik yang lebih detail oleh neuropsikologi.6,20
Tabel 5. Alat pemeriksaan kognisi di layanan primer.19

Tatalaksana Demensia
Pencegahan
Sampai saat ini, penelitian yang mengevaluasi peran statin dan asam lemak omega-3
dalam mencegah demensia Alzheimer telah memberikan hasil yang bertentangan. Uji
coba terkontrol secara acak belum mendukung penggunaan ginkgo biloba untuk
mengurangi risiko pengembangan demensia Alzheimer pada pasien usia lanjut
dengan atau tanpa MCI. Stres oksidatif dianggap sebagai faktor dalam degenerasi
saraf dan kematian neuron pada demensia Alzheimer, oksidan seperti selenium dan
vitamin E telah diteliti, namun tidak menunjukkan peran pencegahan dalam demensia
Alzheimer.21

Tatalaksana nonfarmakologis
Meskipun berbagai pelatihan kognitif dan program latihan telah diusulkan untuk
meningkatkan atau mempertahankan kognisi dan fungsi pada pasien dengan demensia
ringan hingga sedang, beberapa penelitian belum memberikan bukti yang cukup
untuk mendukung intervensi tertentu yang bermanfaat. Namun, meskipun olahraga
tidak meningkatkan kognisi, gejala neuropsikiatri, atau depresi, olahraga dapat
meningkatkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari pada individu
dengan demensia.21

Tatalaksana farmakologis
The NICE Guideline merekomendasikan tiga Acetylcholinesterase inhibitors
(AChEIs) donepezil, rivastigmine dan galantamine, sebagai pilihan untuk menangani
penyakit Alzheimer ringan sampai sedang. Bukti telah menunjukkan bahwa AChEI
memiliki beberapa manfaat dalam hal peningkatan kognisi.1 Penghambat
kolinesterase mencegah kerusakan asetilkolin di otak, neurotransmitter utama yang
terlibat dalam pembelajaran dan memori, sehingga meningkatkan kadar asetilkolin di
otak individu dengan demensia. Donepezil (Aricept), galantamine (Reminyl) dan
rivastigmine (Exelon) adalah penghambat kolinesterase yang diindikasikan untuk
pengobatan demensia Alzheimer ringan sampai sedang di Kanada. Donepezil juga
dapat digunakan pada demensia Alzheimer yang parah, dan rivastigmin diindikasikan
untuk pengobatan pasien dengan PDD dan demensia Alzheimer ringan sampai
sedang.
Penghambat kolinesterase harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan bradikardia (denyut jantung <55 denyut per menit), kelainan konduksi
jantung (misalnya, blok cabang berkas kiri), gangguan epilepsi dan kejang. Efek
samping yang paling umum yang terkait dengan kelas obat ini adalah gastrointestinal
(misalnya, mual, muntah, diare) dan berasal dari peningkatan konsentrasi asetilkolin
di pusat dan perifer. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan muncul saat
terapi dimulai atau saat dosis ditingkatkan. Efek samping lain yang mungkin terjadi
yang memerlukan pemantauan termasuk insomnia, mengantuk, penurunan berat
badan dan sinkop. Meskipun tidak ada inhibitor kolinesterase yang terbukti lebih
unggul dari yang lain untuk mengobati demensia ringan hingga sedang, rivastigmin
oral tampaknya dikaitkan dengan efek gastrointestinal.
Rivastigmin transdermal memberikan tolerabilitas gastrointestinal yang lebih tinggi
daripada formulasi oral. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa peralihan dari
penghambat kolinesterase oral ke rivastigmin transdermal dapat menjadi strategi
terapeutik yang efektif setelah kurangnya atau hilangnya kemanjuran menjadi agen
pertama atau untuk meningkatkan tolerabilitas gastrointestinal. Selain itu, karena
orang dewasa yang lebih tua cenderung memiliki beberapa penyakit penyerta yang
memerlukan pengobatan, skenario klinis yang umum adalah pengobatan demensia
dan inkontinensia urin secara bersamaan. Obat antikolinergik memberikan
perlawanan farmakologis dengan penghambat kolinesterase. Sebuah studi kohort
prospektif pada orang dewasa yang lebih tua di panti jompo menunjukkan bahwa
penggunaan obat antikolinergik kandung kemih secara bersamaan dengan
penghambat kolinesterase dikaitkan dengan tingkat penurunan fungsional yang lebih
besar daripada penggunaan penghambat kolinesterase saja. Penting untuk diketahui
bahwa pilihan pengobatan farmakologis saat ini tidak mencegah perkembangan
demensia. Farmakoterapi dapat menunda perkembangan hasil kognitif, fungsional
dan perilaku dan dengan demikian meningkatkan kualitas hidup pasien dan perawat,
tetapi penting bahwa dokter menetapkan ekspektasi yang realistis dari hasil
pengobatan.21
Pedoman NICE lebih lanjut menjelaskan bahwa ketika menilai kebutuhan
pengobatan AChEI, dokter tidak boleh bergantung pada skor kognisi saja. Keputusan
tentang permulaan dan pemeliharaan obat harus dibuat atas dasar terapeutik dan
klinis. Efek samping yang paling umum dari AChEI adalah gastrointestinal, yang
melibatkan mual, muntah, diare, dan sakit perut. Efek ini paling sering terjadi pada
inisiasi dan dosis titrasi dinaikkan dan biasanya bersifat sementara. Efek samping
dapat dikurangi atau dihindari dengan meningkatkan dosis secara perlahan atau
dengan meminum obat setelah makan. Pasien yang tidak mentolerir satu AChEI dapat
mentolerir AChEI lainnya.19

Program Rehabilitasi Demensia


Tujuan dari program ini adalah untuk menyajikan kepada tenaga kesehatan
profesional dengan strategi dan teknik yang dapat digunakan untuk membantu orang
dengan masalah memori dalam mengoptimalkan manajemen kehidupan dan aktivitas
sehari-hari mereka. Strategi ini telah dimasukkan ke dalam intervensi rehabilitasi
kognitif yang berorientasi pada tujuan yang bertujuan untuk (i) memanfaatkan
kekuatan yang dipertahankan untuk mendukung perilaku adaptif; dan (ii) mencapai
tingkat kesejahteraan yang optimal dengan menargetkan kinerja pada tujuan yang
relevan secara pribadi.24

Tabel 6. Strategi dan intervensi rehabilisasi.24


Beberapa terapi rehabilitasi sudah diterapkan secara sporadis dalam perawatan
demensia. Rehabilitasi kognitif memanfaatkan kemampuan memori yang tersisa dan
menemukan cara untuk mengkompensasi kesulitan. Dalam demensia, tujuan
rehabilitasi kognitif secara teratur ditinjau kembali dan direvisi saat kognisi
menurun.22
Dalam rehabilitasi kognitif, prinsip-prinsip ini diterapkan untuk
memungkinkan penderita demensia mempertahankan atau mengoptimalkan
fungsinya. Istilah ªkognitifº mungkin menyesatkan, karena rehabilitasi kognitif tidak
dimaksudkan untuk melatih atau meningkatkan kognisi tetapi menggunakan
pendekatan yang berorientasi pada tujuan untuk memfasilitasi perbaikan pengelolaan
kecacatan fungsional. Target potensial termasuk fungsi sehari-hari, aktivitas hidup
sehari-hari, perawatan diri, bahasa dan komunikasi, interaksi sosial, dan efek
disabilitas fisik terkait demensia. Terapis rehabilitasi kognitif bekerja secara
kolaboratif dengan setiap individu untuk merumuskan tujuan yang bermakna yang
realistis dan berpotensi dapat dicapai. Terapis juga memberikan dukungan psikologis
yang penting saat orang menghadapi dampak emosional dari kecacatan fungsional.
Prinsip rehabilitasi dapat diterapkan secara fleksibel untuk memenuhi berbagai jenis
kebutuhan pada berbagai tahap demensia. Misalnya, seseorang pada tahap awal
demensia mungkin ingin belajar menggunakan email untuk tetap berhubungan
dengan teman, mengembangkan strategi untuk merasa cukup percaya diri untuk pergi
sendiri, atau bisa memasak makanan tanpa terganggu, sementara untuk seseorang
dengan demensia yang lebih lanjut, fokusnya mungkin pada mempertahankan
kemampuan berpakaian sendiri, mengatasi kesulitan menelan, atau memungkinkan
partisipasi dalam aktivitas yang menyenangkan. Setiap individu mungkin memiliki
beberapa episode dukungan rehabilitasi dari waktu ke waktu saat kebutuhan dan
tujuan berubah atau ketika keadaan tertentu muncul, seperti pulang ke rumah setelah
dirawat di rumah sakit.23

Terapi Okupasi
Penekanan terapi okupasi terutama pada aktivitas sehari-hari, termasuk berpakaian,
makan, dan dandan. Tujuan utamanya adalah untuk memulihkan dan mengurangi
penurunan kemampuan fungsional orang tersebut. Terapi okupasi meningkatkan
kemampuan individu untuk terlibat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (misalnya
makan, mandi, toilet, mobilitas fungsional) dan aktivitas instrumental dari kehidupan
sehari-hari (misalnya menyiapkan makan, berbelanja, mengatur keuangan seseorang),
pekerjaan dan aktivitas produktif.19

Fisioterapi
Tujuan utama fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan orang tersebut terkait
mobilitas untuk memungkinkan tingkat kemandirian setinggi mungkin. Selain
penurunan kognitif, gangguan gaya berjalan dan gangguan keseimbangan
menyebabkan risiko jatuh dan patah tulang yang lebih besar bagi penderita demensia.
Diperkirakan bahwa orang dengan demensia kira-kira tiga kali lebih mungkin
mengalami patah tulang pinggul mereka daripada kelompok kontrol yang sesuai jenis
kelamin dan usia. Selain itu, bagi penderita demensia, pemulihan setelah patah tulang
pinggul diperumit oleh pengaruh faktor psikologis dan sosial.

Terapi Wicara dan Bahasa


Terapi wicara dan bahasa memiliki peran unik dalam mengidentifikasi sifat khusus
dari kesulitan komunikasi bagi penderita demensia dan dalam mengurangi dampak
kesulitan komunikasi bagi orang tersebut dan bagi anggota keluarganya.
Mengoptimalkan keterampilan penderita demensia serta lawan komunikasinya,
adalah kunci pemberdayaan dan kemampuan mereka untuk hidup dengan baik. Selain
kesulitan komunikasi, kesulitan makan, minum, dan menelan terjadi pada semua jenis
demensia. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menilai dan mengelola kesulitan makan
dan mengidentifikasi risiko potensial aspirasi sangat penting.19

Edukasi Demensia
Dokter ditempatkan pada posisi yang tepat untuk memberikan pendidikan dan
dukungan bagi penderita demensia dan keluarganya. Informasi sebaiknya tidak hanya
mencakup masalah yang dianggap relevan oleh dokter, tetapi harus disesuaikan untuk
memenuhi kebutuhan yang muncul dari pasien dan pengasuh. Banyak orang dengan
demensia dini mempertahankan beberapa wawasan, dapat memahami diagnosis
mereka, dan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Untuk kasus dementia,
dokter sebaiknya memberikan edukasi kepada keluarga dan caregiver mengenai cara
untuk merawat pasien, yaitu:19
 Menggunakan bahasa yang sederhana untuk berkomunikasi dengan pasien.
 Membuat rutinitas harian, misalnya makan, mandi, tidur, dan lain-lain. Bantu
pasien agar dapat melakukan kegiatan harian secara mandiri.
 Untuk reorientasi, dapat digunakan gambar, tanda, kalender, foto keluarga,
dan jadwal harian.
 Tidak mengkonfrontasi tindakan atau pemikiran pasien yang salah karena
dapat memicu pasien untuk melakukan tindakan yang tidak diinginkan.
Sebaiknya ganti subyek pembicaraan atau memberitahu kebenaran secara
persuasi.
 Lingkungan rumah dibuat agar aman, misalnya tidak meletakkan peralatan
elektronik di toilet, menyimpan benda berbahaya di lemari yang dikunci, dan
lain-lain. Sebaiknya, tidak melakukan perubahan yang besar di lingkungan
rumah.

1. Committee, P. (2019). Dementia : Diagnosis & Man a gement in General


Practice. March.

2. Sidharta, Priguna. 1999. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta :


Dian Rakyat.

3. Snell, Richard S. 2006. Neuroanatomi Klinik. Jakarta : EGC.


4. Duong, S., Patel, T., & Chang, F. (2017). Dementia : What pharmacists need
to know. 150(2), 11–14.
5. Ations, M. O. C., Aver, K. A. T. E. E. L., Rotty, M. A. C., & Ameron, I. A. N.
D. C. (2018). Rehabilitation in dementia care. November 2017, 171–174.
6. Clare, L. (2017). Rehabilitation for people living with dementia: A practical
framework of positive support. PLoS Medicine, 14(3), 7–10.
7. Kelly, Michelle E., Maria O’Sullivan. (2015). Strategies and Techniques for
Cognitive Rehabilitation. Manual for healthcare professionals working with
individuals with cognitive impairment.Trinity College Dublin: The Alzheimer
Society of Ireland.

Anda mungkin juga menyukai