Anda di halaman 1dari 52

VOL. 3 NO.

4, DESEMBER 2013

Megapolitan

Jayabaya

Jakarta, Selalu yang Pratama


Air Tanah dan Pembangunan Bawah Tanah Jakarta
Memburu Letusan Sinabung
Saat Benda Langit Mengukir Bumi
Sampurno

Membangun Negeri dengan Geologi

ISSN: 2088-7906

Editorial

VOL. 3 NO. 4, DESEMBER 2013


PEMBACA YTH

ARTIKEL
Megapolitan Jayabaya

18

Jakarta, Selalu yang Pratama

28
38
52

Air Tanah dan Pembangunan Bawah Tanah Jakarta

56

Lanskap Peradaban Manusia,


Sejak Zaman Purba Hingga Kini

62

Saat Benda Langit Mengukir Bumi

68

Air Tanah Jakarta: Air Diambil, Angka Dicatat

LANGLANG BUMI

Geomagz Majalah Geologi Populer


Pembina Kepala Badan Geologi Pengarah
Sekretaris Badan Geologi Pemimpin
Redaksi Oman Abdurahman Wakil
Pemimpin Redaksi Priatna Dewan
Redaksi Budi Brahmantyo, SR. Wittiri, Oki
Oktariadi, T. Bachtiar, Igan S. Sutawidjaja,
Hadianto, Joko Parwata, Rukmana N. Adhi,
Sabtanto Joko Suprapto, Teuku Ishlah,
Irwan Meilano, Suyono, Sinung Baskoro,
Subandriyo Editor Bahasa Hawe Setiawan,
Bunyamin, Atep Kurnia Editor Foto Deni
Sugandi Fotografer Ronald Agusta,
Gunawan, Hilman Kalam Dokumentasi
Sofyan Suwardi (Ivan), Titan Roskusumah,
Agus Yoga Insani, Dedy Hadiyat, Budi
Kurnia, Willy Adibrata Sekretariat Wineta
Andaruni, Fera Damayanti, Riantini,
Dadang Suhendi, Nurul Husaeni Distribusi
Rian Koswara, Wiguna, Yudi Riyadi, Sobiran
Slamet Riyadi, Subiantoro, Asep Sutari,
Casta.

Memburu Letusan Sinabung

82

PROFIL
Sampurno
Membangun Negeri dengan Geologi

92

RESENSI BUKU
Geowisata di Bumi Sejuta Sapi

94

Sekretariat Redaksi:
Badan Geologi, Gedung D Lt. 4
Sekretariat Badan Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung
Telp. 022-72227711/Fax. 022-7217321
E-mail:
geomagz@bgl.esdm.go.id
geomagz.bgl@gmail.com
Website:
www.geomagz.com

ESAI FOTO
Garut: Pangirutan yang Kini Kakarut

Foto sampul: Lanskap Jabodetabekpunjur.


Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang Nasional Kementerian PU

Setiap artikel atau tulisan yang dikirim ke


redaksi hendaknya diketik dengan spasi
rangkap, maksimal 5.000 karakter,
ditandatangani dan disertai identitas. Format
digital dikirim ke alamat e-mail redaksi.
Setiap artikel/tulisan/foto atau materi apa
pun yang telah dimuat di Geomagz dapat
diumumkan/dialihwujudkan kembali dalam
format digital maupun non digital yang tetap
merupakan bagian Geomagz. Redaksi
berhak menyunting naskah yang masuk.

Kota adalah kita, wajah kota adalah wajah kita, demikian bunyi slogan sebuah
komunitas penggiat lingkungan di Bandung. Ungkapan yang singkat tapi tajam itu
menyiratkan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal, sekaligus mengesankan sebuah
kesadaran bahwa apa pun yang kita perbuat, maka akan kembali kepada kita. Perkembangan
kota sebagai sumber daya buatan atau lingkungan binaan manusia (man-made) itu
mencerminkan para penghuninya.
Jika direfleksikan ke dalam bidang geologi, slogan itu seakan mengingatkan kembali akan
fakta adanya potensi geologi dan kendala geologi dari lingkungan yang dihadapi setiap kali
manusia akan mencipta, menata, atau membina lingkungan itu. Fakta itulah yang disebut
faktor-faktor geologi dalam geologi lingkungan yang secara melekat (inherent) dimiliki oleh
suatu bagian dari lingkungan geologi.
Miroslav Hrasna dalam tulisannya The Basic Concepts of Environmental Geology and
Its Role in the Government Management (2006), mendefinisikan hal berikut: geological
environment (geoenvironment) can be defined as the part of lithosphere, which directly
influences the conditions of the existence and development of society, which the man exploits
and converts (dapat diartikan: lingkungan geologi adalah bagian kulit bumi yang langsung
mempengaruhi kondisi keberadaan dan perkembangan masyarakat serta menjadi tempat
manusia melakukan eksploitasi dan alih fungsi lahan). Berdasarkan definisinya, lingkungan
geologi dibentuk dari komponen dasar atau komponen geologi (geocomponents) berupa
batuan (termasuk tanah), bentang alam (relief), dan fenomena geodinamik. Sementara geologi
lingkungan dimaknai sebagai bagian dari disiplin geologi yang memusatkan perhatiannya
pada identifikasi, analisis, dan evaluasi faktor-faktor kegeologian yang meliputi faktor-faktor
potensi geologi (geopotentials) dan kendala geologi (geoconstraints) dari lingkungan. Oleh
karena itu, peran utama geologi lingkungan di dalam pengelolaan lingkungan geologi
lingkungan tempat kita hidup iniadalah memanfaatkan sumber daya alam secara rasional
dan melindungi lingkungan. Pengertian ini sebenarnya terwadahi dalam istilah geologi tata
lingkungan, yakni geologi untuk menata lingkungan.
Potensi geologi akan memberikan dukungan untuk pembangunan lingkungan binaan.
Sebaliknya, kendala geologi adalah faktor geologi yang menjadi penghalang untuk
pembangunan tersebut dan perlu rekayasa untuk mengatasinya. Hal ini akan benar-benar
dihadapi ketika kita merencanakan eksploitasi air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air,
pembangunan jalan raya, bendung atau bendungan; pengembangan megapolitan dan
lainnya. Rekomendasi hasil analisis geologi lingkungan yang meliputi hidrogeologi, geologi
teknik, dan geologi untuk pengembangan wilayah harus diterapkan dalam pembangunan
semua lingkungan binaan tersebut. Jika tidak, tentulah akan banyak terjadi amblesan tanah,
turunnya secara drastis muka air tanah pada sumur penduduk, konflik sosial karena rebutan
air tanah, mudah terjadi banjir yang dipicu oleh banjir genangan, masalah kesehatan yang
dipicu oleh menurunnya kualitas air tanah, bangunan teknik yang miring atau tidak stabil,
jalan yang mudah longsor, dan tata kota yang semrawut serta rentan terhadap ancaman
bencana.
Pembangunan kota dan lingkungan binaan kita lainnya sudah semestinya memperhatikan
potensi geologi dan kendala geologi, juga potensi dan kendala bidang yang berkaitan seperti
ekologi. Jika tidak, maka ungkapan berikutnya, yang bernuansa ancaman, dari para penggiat
lingkungan, yaitu alam ruksak, cai bak, hirup balangsak (artinya: alam rusak, air habis, dan
hidup sengsara), akan menjadi kenyataan yang bakal kita hadapi sehari-hari.n

Oman Abdurahman
Pemimpin Redaksi

Surat
Salam Redaksi Geomagz,
Saya sangat senang dengan diterbitkannya Geomagz.
Perkenalan saya pertama kali dengan majalah ini
terjadi saat saya mencari publikasi untuk keperluan
tugas kuliah. Saat saya mengakses link ke Geomagz,
saya dibawa kecontentyang sangat menarik. Saya
sangat kagum dan cukup terharu, ternyata Indonesia
mempunyai majalah geologi populer yang dapat
diakses secara gratis melalui Internet. Untuk itu saya
mengucapkan terima kasih kepada semua anggota
redaksi yang sudah memuat artikel-artikel menarik
mengenai kondisi geologi tanah air kita.
Saya kemudian mengirimkanlink websiteuntuk
unduhan majalah ini kepada adik-adik kelas saya di
SMA. Harapan saya, ada teman-teman yang tertarik
untuk mengenal geologi dan kondisi geologi di
Indonesia. Ternyata, antusiasme dan respons dari
teman-teman saya sangat besar, dan mereka tertarik
untuk memilikihard copydari Geomagz. Untuk itu,
melalui surat ini, saya ingin bertanya, bagaimanakah
saya dapat memperoleh Geomagz edisi cetak?
Mohon informasi.
Atas perhatian dan informasinya, saya ucapkan terima
kasih. Teruslah berkarya untuk mempopulerkan
geologi kepada masyarakat luas.
Salam,
Twin Hosea W. K.
Mahasiswa Teknik Geologi Unpad

Geomagz yang cantik isinya, penampilan, serta


informatif ini, mengingatkan saya bahwa saya
seorang geologis yang sudah lama terdampar bekerja
di instansi pemerintah dan sekarang ditugaskan pada
kegiatan intelijen. Saya sangat berharap Geomagz
bisa menampilkan foto dan ulasan kondisi alam di
daerah perbatasan RI negara lain yang bisa saya
gunakan sebagai referensi dalam rangka cipta kondisi
dan penggalangan kepada masyarakat di daerah
perbatasan sehingga mereka tetap menjadi bagian
dari NKRI. Bravo Geomagz.

Teguh. R (Djodjok)
Pejaten, Jakarta

Ralat:

1. Pada Geomagz Vol. 3 No. 3, September 2013, foto pada hal.


60, arah utara (U) pada foto seharusnya seperti pada gambar
di bawah.
2. Pada Geomagz Vol. 3 No. 3, September 2013, pada artikel
Menyigi Geologi, Mencari Migas Indonesia hal 24, kolom
kanan, paragraf pertama, baris kedua dari atas, TERTULIS:
Pada tahun 2012 produksi itu ...dst, SEHARUSNYA: Pada
tahun 2012 konsumsi itu...dst.
3. Pada Geomagz Vol. 3 No. 3, September 2013, pada artikel
Bercermin ke Jeju hal 70, kolom kanan, paragraf keempat,
TERTULIS: ...di Jeju hotspot tersebut menerobos sisi Timur
Sejauh kaki melangkah, batu-batu basal berwarna hitam atau
abu-abu gelap berlubang Kerak Benua Eurasia -lubang (tekstur
vesikuler) selalu menjadi pijakan kita. SEHARUSNYA: ...di Jeju
hotspot tersebut menerobos sisi Timur Kerak Benua Eurasia.
Sejauh kaki melangkah, batu-batu basal berwarna hitam atau
abu-abu gelap berlubang-lubang (tekstur vesikuler) selalu
menjadi pijakan kita.
Dengan demikian kesalahan telah kami perbaiki.

Jawaban:
Untuk memperoleh Geomagz edisi cetak, masyarakat
dapat mengajukan surat permohonan kepada Badan
Geologi di Jl. Diponegoro 57 Bandung. Adapun
Geomagz edisi online dapat diakses selain melalui
alamat www.bgl.esdm.go.id, juga melalui alamat
www.geomagz.com.

GUNUNG BATUR, BALI


Gunung Batur terletak dalam Kaldera Gunung Batur Purba yang berukuran 13,8 x 10 kilometer. Termasuk salah satu kaldera terbesar
di dunia. Gunung Batur mempunyai beberapa kerucut, karena kegiatannya berpindah-pindah pada arah baratdaya-timurlaut. Pada
gambar tampak beberapa kawah yang berkelompok di Batur I (kanan) Batur II (tengah) dan Batur III (kiri). Vulkanisme didominasi oleh
aliran lava. Tampak lava 1849 dan 1868 (paling kanan), 1926 (berbentuk kipas, tengah) dan lava1968 (kiri). Lebih jauh di sebelah kiri
adalah lava 1905 dan 1921, sedang yang paling jauh adalah lava 1963. Dinding kaldera I (paling besar) dan kaldera II (lebih bawah)
tampak di latar belakang.n
Sketsa dari Panelokan jam 7 pagi, lekukan tampak lebih jelas. Kertas HVS, potlot berwarna, dan bolpoin.
Sketsa dan teks oleh: Adjat Sudradjat.

Redaksi Geomagz yth. terus terang saya penggemar


majalah ini. Saya sudah unduh semua edisi. Majalah
ini lebih bagus daripada majalah sejenis yang beredar
luas di Indonesia, dan Geomagz lebih terfokus kepada
masalah kebumian. Bagi saya, Geomagz adalah
majalah populer yang memuat sains kebumian paling
baik yang pernah ada di Indonesia.
Daryono Sutopawiro
(BMKG)

GEOMAGZ

Desember 2013

Pembaca dapat mengirimkan tanggapan, kritik, atau


saran melalui surat elektronik ke alamat: geomagz@bgl.
esdm.go.id atau geomagz.bgl@gmail.com

GLETSER

CARSTENSZ
Beku Abadi di Ekuator
Salju di daerah ekuator memang menarik, dan menjadikan daerah itu sebagai atraksi yang unik. Salju ekuator Jayawijaya di Taman
Nasional Lorentz merupakan fenomena alam yang langka. Di dunia salju seperti ini hanya dijumpai di beberapa tempat, yaitu di Gunung
Kilimanjaro dan Ruwenson, Kenya, Afrika Timur; Gunung Chimborazo dan Huascaran, Amerika Selatan, dan Pegunungan Jayawijaya,
Indonesia. Lapisan es di Puncak Jaya, Pegunungan Jayawijaya, Papua, merupakan sisa-sisa glasiasi terakhir, yaitu Glasiasi Wurm,
pada Zaman Kuarter (1,8 juta hingga 11.000 tahun lalu). Es tersebut menutupi sebagian singkapan batuan karbonat dari Kelompok
Batugamping Papua Nugini yang berumur Kapur Akhir hingga Miosen Tengah. Kini, salju di puncak tertinggi di Indonesia itu semakin
menyusut karena pemanasan global.
Foto: Tubagus Deddy
Teks: Oki Oktariadi

GEOMAGZ

Desember 2013

CARSTENSZ GLACIER, eternal frozen in the equator


Snow in equatorial regions is interesting, and makes the regions a unique attraction. The equatorial snow of Jayawijaya in Lorentz
National Park is a rare natural wonder. Throughout the world such a snow could only be found in few places, namely East African
Mount Kilimanjaro and Ruwenson; South American Mount Chimboraso and Huascaran; and, obviously, Indonesian Mount Jayawijaya.
The glaze on Puncak Jaya in Papuan Jayawijaya Mountain is the remains of the last glaciation, known as Wurm Glaciation, in Quarter
Era (some 1.2 to 11,000 years ago). The glaze covers some carbonate rock outcrop of Papua New Guinea Limestone Group dated
back to Late Cretaceous to Middle Miocene. Today the snow on the highest peak in Indonesia has been increasingly shrinking due to
global warming.

Belae,

kampung wisata

Kars PANGKEP

Kars Maros Pangkep secara administratif tercatat sebagai bagian dari dua daerah pemerintahan di Provinsi
Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Luas
kawasan ini sekitar 40.000 hektare dan 20.000 hektare di antaranya termasuk dalam kawasan lindung Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kampung Belae yang merupakan bagian dari Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan adalah salah satu kampung yang dilalui oleh Formasi Kars Menara Maros Pangkep. Sedikit
demi sedikit kampung tersebut mulai dikembangkan sebagai Kampung Wisata Minat Khusus (Ekowisata)
sehubungan dengan potensi yang dimilikinya. Para pengunjung dapat menjelajahi gua-gua vertikal dengan
panduan pemuda sekitar dan mengunjungi gua-gua prasejarah dengan beragam gambar cadas di dalamnya.
Foto dan teks: Ayu Wulandari

Belae, tourism village in PANGKEP Karst


Maros Pangkep Karst is administratively a part of two local governments in the province of South Sulawesi,
namely Maros Regency and Pangkajene dan Kepulauan Regency (Pangkep). Of the total area about 40,000
ha, 20,000 ha are included in the protected area of Bantimurung Bulusaraung National Park. Belae Village
which is part of Pangkajene dan Kepulauan is one of the villages through which the formation Karst Tower
of Maros Pangkep. The village gradually began to be developed as a Special Interest Tourism Village
(ecotourism) with respect to its potentials. Visitors can explore the vertical caves by local guides and visit
the prehistoric caves and enjoy various ancient rock paintings.

GEOMAGZ

Desember 2013

LAU
KAWAR
Jejak Runtuhan Lereng Sinabung
Lau Kawar artinya danau air tawar. Danau seluas 200 hektar ini berada di kawasan ekosistem Leuser,
Kecamatan Namanteran, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Danau indah berhawa sejuk ini terletak
di kaki baratlaut Gunung Sinabung. Dalam rekonstruksi geologi, danau ini diduga terbentuk akibat
runtuhan lereng bagian barat-baratlaut Sinabung dan membentuk lereng setengah lingkaran. Karena
proses erosi dan lainnya, di tengah lingkaran terbentuk celah, kemudian terisi air dan jadilah danau. Bukti
geologi akan dugaan ini adalah tersebarnya bongkah-bongkah batuan beku di sekitar danau. Letak danau
ini sekitar 30 km dari Kota Kabanjahe, Ibu kota Kabupaten Tanah Karo.

LAU KAWAR, the Track of Collapsed Slope of Sinabung


Lau Kawar means freshwater lake. The lake of 200
hectares is located in the Leuser ecosystem area in North Sumatran
district of Namanteran. This beautiful lake with a cooling breeze is located in north-western foot of Mount Sinabung.
In geological reconstruction, the lake was supposedly formed by the debris of west-north-western slope of Sinabung,
forming a semicircle slope. Because of erosion and other natural processes, a gap was formed in the middle of the
circle, and then it was filled with water to become a lake. Geological evidence of this conjecture was the spreading
over of blocks of igneous rocks around the lake. The lake is about 30 km from Kabanjahe, the capital of Karo Regency.

Foto: Ronald Agusta, Teks: T. Bachtiar

10

GEOMAGZ

Desember 2013

11

HIASAN ALAM
DI KEGELAPAN
GUA PETRUK
Di kegelapan sebuah gua, hiasan alam ternyata menakjubkan.
Proses rekristalisasi dari hasil pelarutan kalsium karbonat
menghasilkan endapan-endapan gua yang khas yang disebut
speleotem. Di Gua Petruk, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen,
Jawa Tengah, sebuah gua sepanjang tidak lebih dari 500 m
terbentuk speleotem yang beragam. Selain stalaktit dan stalagmit
yang biasa terbentuk di dalam gua, bentukan speleotem yang
terdapat di Gua Petruk di antaranya adalah flowstone hiasan
alam yang biasanya terbentuk di dinding gua. Ada pula sebuah
endapan berbentuk teras, seperti yang menjadi pijakan sang
penjelajah gua di bagian tengah Gua Petruk ini, dikenal sebagai
gourdam mengadopsi dari istilah Prancis, atau rimstone dam
dalam istilah Inggris.
Foto: Feni Kertikasyari
Teks: Budi Brahmantyo

NATURAL ORNAMENTS IN THE DARKness


of PETRUK CAVE
In the darkness of a cave, one could find amazing natural
ornaments. Recrystallization process of dissolving calcium
carbonate produces typical cave sediments called speleothem.
Located in Central Javas district of Ayah, Petruk Cave forms
various types of speleothem. In addition to common cave
ornaments such as stalactites and stalagmites, this natural
wonder of no more than 500 metres length also preserve
another types of speleothem namely, among others, flowstones
natural ornaments which are usually formed in a cave wall.
There is also terraced sediment, which provides a path for cave
explorers in the middle part of it, known as gourdam a term
that is derived from French, or rimstone dams in English.

12

GEOMAGZ

Desember 2013

13

NADI
PERADABAN
YANG DISIA-SIAKAN

Lebih dari 25 juta warga sangat bergantung pada Sungai Citarum


yang mengalir dari Gunung Wayang di Kecamatan Kertasari,
Kabupaten Bandung hingga Muara Gembong di Kecamatan
Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Belum terhitung puluhan
juta warga yang mengambil manfaatnya untuk pengairan,
perikanan, dan listrik. Sungguh malang Sungai Citarum, semua
limbah masuk ke sungai sepanjang 300 km ini, mulai sampah
rumah tangga hingga limbah pabrik yang sangat berbahaya.
Keadaannya kian diperparah, karena hutan sepanjang alirannya
sudah beralih fungsi menjadi lahan tanaman sayuran dan
tanaman musiman lainnya, yang ditanam di lereng yang curam
dengan sistem pertanian yang tidak ramah lingkungan. Air deras
menggerus tanah pucuk yang subur, mengendap di dasar sungai,
dan timbullah banjir di musim penghujan. Sedangkan di musim
kemarau, air menghilang, tak tersisa di akar pohon yang sudah
habis ditebang.
Foto: Deni Sambas untuk Cita-Citarum
Teks: T. Bachtiar

A WASTED LIFEBLOOD OF CIVILIZATION


More than 25 million people rely heavily on Citarum River
flowing from Mount Wayang in Bandungs district of Kertasari
to Bekasis district of Muara Gembong. That doesnt include tens
of millions of people who take benefits from the river such as
irrigation, fisheries, and electricity. What a poor river, all kinds
of waste, from household waste to the most dangerous waste
plant, are dumped into a river of 300 miles length. The situation
is exacerbated, for the forest along the flow has long been
converted to vegetables and other seasonal crops field on steep
slopes with agricultural systems that are not environmentally
friendly. Rapid stream erodes fertile topsoil, settles sediment in
the bottom of the river, and there arise floods in the rainy season.
In the dry season the water disappeared, for the trees have long
been cut down.

14

GEOMAGZ

Desember 2013

15

PENEMO, RAJA AMPAT


KEINDAHAN DARI TIMUR
Kars Penemo Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, memiliki keragaman geologi yang menarik, cerminan proses geologi
panjang pada awal pembentukannya. Keragaman geologi di kepulauan Penemo, Waigeo umumnya, terkait dengan
batugamping Formasi Waigeo yang mengalami pengangkatan dari dasar laut dan selanjutnya mengalami proses
karstifikasi. Terangkatnya batugamping ke permukaan laut memberikan karakteristik batimetri yang bervariasi dari
permukaan dasar laut. Pada batimetri kurang dari 55 m, batugamping ini memiliki fungsi bagi kelangsungan lingkungan
hidup wilayah ini, sehingga telah diakui sebagai wilayah perairan dengan keragaman hayati kelas dunia.

PENEMO, RAJA AMPAT, BEAUTY OF THE EAST


Penemo Karst in West Papua has an interesting geological diversity, reflecting the long geological process
at the beginning of its formation. Geological diversity in Penemo Islands, Waigeo, commonly relates to
limestone of Waigeo Formation that was elevated from seabed and subsequently affected by karstification
process. The elevation of the limestone to sea surface provides varying bathymetry characteristics of the
sea floor. In less than 55 m bathymetry, this limestone has a function for environmental sustainability of this
region, so it has been recognized as a water area with world-class biodiversity.

Foto dan teks: Oki Oktariadi

16

GEOMAGZ

Desember 2013

17

Megapolitan
Jayabaya

Oleh: Oki Oktariadi

eruntung ide Megapolitan Jabodetabekpunjur


tidak jadi disahkan menjadi Undang-undang.
Nampaknya para pengusul ide itu salah
persepsi tentang konsepsi megapolitan yang
menganggapnya sebagai pengelolaan wilayah di
bawah satu pemerintahan. Konsepsi megapolitan
dan konsep pengelolaan wilayah (pemerintahan)
adalah dua hal yang berbeda. Megapolitan adalah
fenomena pertumbuhan wilayah perkotaan akibat
menyatunya beberapa wilayah metropolitan yang
terjadi secara alamiah dan tanpa dikehendaki. Pihak
(pemerintah) yang melakukan pengelolaan wilayah di
masing-masing metropolitan dalam megapolitan itu
dapat saja berbeda.
Akhirnya, aturan yang disahkan adalah
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008
tentang Kawasan Jabodetabekpunjur. Perpres itu
mengarahkan pengembangan wilayah Jakarta,
Tangerang, dan Bekasi (Jatabek) ke arah timur dan
barat daerah pesisir. Sementara itu, Perpres tersebut
mempertahankan wilayah di selatan, yaitu Bogor,
Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) yang berada di hulu
atau daerah imbuhan air tanah sebagai kawasan
konservasi air untuk menyelamatkan kawasan
bawahannya, yaitu Jatabek.
Pengembangan
Jabodetabekpunjur
tidak
bisa lepas dari konsep river basin development.
Sedangkan megapolitan pada hakikatnya adalah road
basin development. Menetapkan pengembangan
wilayah megapolitan Jabodetabekpunjur akan
menjurus pada pelaksanaan pembangunan secara
masif dan besar-besaran yang mengarah ke selatan,
ke arah Bogor sampai ke Cianjur. Hal ini akan
mengancam daerah imbuhan air tanah (resapan
air) yang akan banyak tertutup bangunan dan
menyebabkan aliran permukaan meningkat yang
dapat menimbulkan banjir di daerah bawahnya
(Jabatek). Bisa dibayangkan apa jadinya bila wilayah
Jabodetabekpunjur dikembangkan sebagai sebuah
megapolitan. Kemungkinan Jakarta, Tangerang, dan
Bekasi akan semakin tenggelam oleh meningkatnya
aliran permukaan seperti yang mulai dirasakan saat
ini. Maka, diperlukan kebijakan untuk mengantisipasi
berkembangnya megapolitan agar lebih memiliki
daya dukung dan daya tampung lingkungan yang

18

GEOMAGZ

Desember 2013

Lansekap Jabodetabekpunjur,
Foto: Igan S. Sutawidjaja.

memadai. Konsep megapolitan Jayabaya barangkali


dapat menjadi alternatif pengembangan tersebut.
Megapolitan
Apakah sesungguhnya wilayah megapolitan itu?
Istilah yang digunakan awalnya adalah megalopolis,
dicetuskan tahun 1961 oleh seorang ilmuwan
Perancis Prof. Jean Gottmann. Pada awalnya beliau
menggunakan istilah megalopolis untuk sebuah
wilayah perkotaan yang berkembang sangat pesat di
sepanjang pesisir timur Amerika Serikat. Istilah itu dia
ambil dari sebuah kota raksasa bernama Megalopolis
pada zaman Yunani Kuno yang direncanakan
dibangun oleh penduduk Peloponnesus Yunani.
Impian mereka tidak pernah menjadi kenyataan,
kota Megalopolis yang mereka bangun, sekarang
ini tidak lebih dari sebuah kota kecil yang tercantum
dalam peta modern Peloponnesus. Namun istilah
tersebut kurang berkenan bagi beberapa institusi
di Amerika Serikat, salah satunya adalah Regional

Plan Association, sehingga muncul beberapa istilah


seperti transmetropolitan, urban region, dan super
city. Tetapi ternyata berbagai macam istilah tersebut
tidak dapat diterima secara umum dan akhirnya
lambat laun istilah megapolitan (minus lo) menjadi
kesepakatan bersama.
Istilah megapolitan itu mulai digunakan pada
wilayah perkotaan yang berkembang pesat di Amerika
Serika, terbentang dari selatan New Hampsire sampai
ke utara Virginia dan dari Pantai Atlantic sampai
ke kaki Bukit Appalachian. Di sepanjang koridor
dengan panjang lebih kurang 600 mil (atau lebih
kurang 1000 km) dan lebar bervariasi dari 30 sampai
60 mil tersebut, terdapat pertumbuhan wilayah
perkotaan yang tidak terputus yang menyatukan 5
kota metropolitan utama, yaitu Boston, New York,
Philadelphia, Baltimore dan Washington (sekarang
ini populer dengan sebutan Boswash). Apabila kita
melakukan perjalanan menggunakan kendaraan atau

naik kereta api di sepanjang koridor ini maka sejauh


mata memandang yang tampak hanya bangunan.
Jumlah penduduk yang menghuni koridor ini pada
tahun 1961 mencapai 37 juta jiwa dengan kepadatan
700 jiwa per mil persegi, sedangkan pada tahun 2003
jumlah penduduknya mencapai 50 juta jiwa dengan
kepadatan 1150 jiwa per mil persegi.
Secara
geografis
wilayah
megapolitan
umumnya memiliki karakteristik daerah pesisir yang
perkembangan koridor wilayahnya ditandai dengan
pertumbuhan fisik kota-kota menyatu secara menerus
tanpa terputus (konurbasi raksasa), konsentrasi
penduduk dan bangunan sangat tinggi, kegiatan
sangat heterogen dengan fungsi-fungsi yang padat,
corak masyarakat bergaya hidup kota dan tidak ada
lagi desa-kota, serta mobilitas sosial ekonomi sangat
tinggi. Pengembangan wilayah Megapolitan ditandai
juga dengan munculnya begitu banyak pusat
kegiatan di sepanjang koridor utama yang tidak lagi

19

hierarkis seperti dalam wilayah metropolitan.


Meskipun pada wilayah megapolitan masih
terdapat kegiatan pertanian, tetapi secara konstan
kegiatan ini mengalami penurunan yang signifikan
dan lambat laun akan menghilang dengan sendirinya.
Masing-masing wilayah metropolitan atau kota-kota
yang termasuk dalam konstelasi wilayah megapolitan
tersebut berdiri sendiri-sendiri dan tidak diatur dalam
satu otoritas. Masing-masing juga memiliki peraturan
pengendaliannya sendiri mengacu kepada aturanaturan maupun kebijaksanaan di tingkat negara
bagian.
Pada akhirnya Gottmann menyimpulkan bahwa
pengembangan wilayah megapolitan hanya akan
mengarah pada satu tatanan saja, yaitu tatanan
wilayah perkotaan dengan kegiatan yang sepenuhnya
berbasis pada manufaktur dan perdagangan serta
kegiatan pertanian sangat terbatas dan pilihan.
Syarat sebuah megapolitan menurut Metropolitan
Institute adalah terdiri dari sekurang-kurangnya dua
wilayah metropolitan yang telah ada dengan total
penduduk lebih dari 10 juta jiwa, terjadi akibat
bergabungnya (konurbasi) wilayah mikropolitan
dengan wilayah metropolitan yang berdampingan.
Mikropolitan adalah suatu daerah hunian pedesaan
yang sangat padat dengan corak kehidupan
perkotaan. Syarat lainnya adalah wilayah budaya
organik dengan latar belakang sejarah dan identitas
berbeda, secara umum menempati lingkungan
fisik yang sejenis, pusat-pusat utama dihubungkan
dengan infrastruktur transportasi primer, membentuk
jaringan perkotaan fungsional melalui aliran barang

dan jasa, dan suatu wilayah geografis yang berguna


dalam perencanaan wilayah skala luas.
Beberapa contoh megapolitan yang berkembang
di dunia adalah Northeast, Midwest, Gulcoast,
Piedmont, NorCal, Southland, Valley of the Sun,
Cascadia, Peninsula, I-35 Corridor, semuanya di
Amerika Serikat; Ruhr Area dan sebagian Low
Countries, Eropa Daratan; Midland and parts of
Northern England (termasuk London ); Tokyo Osaka,
Jepang; dan Gauteng, Afrika Selatan (konurbasi
antara Johanesburg, Pretoria dan Vaal Triangle).
Potensi Megapolitan di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah akan
muncul sebuah megapolitan? Apabila mengacu
pada persyaratan sebuah megapolitan menurut
Metropolitan Institue tersebut di atas, tentu wilayah
pesisir utara pulau Jawa yang perkembangannya
sangat pesat sudah memenuhi persyaratan tersebut.
Kondisi yang telah berkembang seperti diperlihatkan
oleh sedikitnya 40 kabupaten atau kota yang berada
di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dengan jumlah
penduduk tidak kurang dari 50 juta jiwa, atau
sekitar 50 persen dari total penduduk Pulau Jawa.
Padatnya penduduk di kawasan itu tidak lepas dari
tren pertumbuhan penduduk pesisir Pulau Jawa di
era tahun 1990-an hingga 2000-an, yang mengalami
peningkatan sekitar 2,2 persen atau lebih tinggi dari
pertumbuhan penduduk rata-rata nasional.
Gambaran megapolitan di atas sudah mulai
terlihat dengan berkembangnya wilayah-wilayah
metropolitan yang meliputi Cilegon, Serang,

Teratai Mekar
di Batujaya
Kompleks percandian di Batujaya. Foto: T. Bachtiar

Candi-candi

putih itu laksana teratai yang


mekar di tengah telaga. Di Pantai Batujaya abad ke-5
akan terlihat kompleks percandian yang terbuat dari
bata merah yang dilapisi plesteran (lepa) batu kapur
bakar warna putih. Di tepian Laut Jawa di sekitar Pantai
Batujaya yang tenang, dekat muara Ci Tarum yang besar,
kawasan yang tingginya antara 0-1 meter dari permukaan
laut (m dpl.) itu, berjajar candi-candi putih, laksana
teratai putih yang mengambang di permukaan air yang

20

GEOMAGZ

Desember 2013

biru. Candi Jiwa, misalnya, bagian atasnya membentuk


delapan kelopak bak bunga teratai yang mekar.

Sekarang, saat hujan turun begitu lebatnya,


hamparan persawahan maha luas di daerah Batujaya,
Karawang, berubah menjadi genangan air yang seakan
tiada berujung. Berhari-hari di musim penghujan, sawah
yang baru ditanami itu tergenang. Pada saat banjir
inilah lumpur dari Ci Tarum dan sungai kecil lainnya
mengendap di daerah limpahan banjir. Lumpur yang

Peta Fisiografi Pula Jawa menggambarkan pola-pola umum bentang alam, batuan, dan perairan (sungai, danau dan laut) yang menempati wilayah Pulau
Jawa.

Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cirebon;


Serta Semarang, Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo.
Sementara itu, beberapa wilayah metropolitan telah
menyatu, seperti Jakarta, Depok, Tangerang, dan
Bekasi (Jadetabek) sendiri saat ini telah berkembang
sebagai sebuah konurbasi. Perkembangan ini terus
berlanjut dengan adanya pertumbuhan wilayah
perkotaan yang menerus di wilayah Karawaci, Banten
dan Cikarang, Jawa Barat. Di Surabaya pun konurbasi
terjadi dengan pesat dan tidak terputus. Ini terlihat
dari perkembangan kota-kota sekeliling Surabaya

seperti Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo,


dan Lamongan atau dikenal sebagai kawasan
Gerbangkertasusila.

hanyut dari lereng-lereng gunung, mulai dari kawasan


di sekitar Gunung Wayang dan daerah hulu lainnya
di Kabupaten Bandung, setiap waktu mengendap di
sepanjang alirannya, dan tersebar secara merata ketika
banjir menggenangi seluruh hamparan persawahan itu.

tidak berada pada posisinya sekarang, melainkan jauh


menjorok ke dalam, di daerah yang saat ini mempunyai
ketinggian 5 m dpl. Batujaya saat itu masih berupa
pantai dangkal. Muka laut terus menurun, sampai pada
suatu saat muka laut berada di daerah yang mempunyai
ketinggian 2 m dpl. yang terjadi 1500 tahun yang
lalu. Peta geomorfologi yang dibuat oleh Herman Th.
Verstappen (2000) menggambarkan riwayat bentang
alam Jakarta Bekasi Karawan Utara, seperti aliran Ci
Tarum purba, serta tanggul-tanggul pantai purba yang
berada jauh dari pantai saat ini.

Kalau setahun diendapkan lumpur setebal 1 mm,


maka selama 10 tahun akan mengendap lumpur
setebal 1 cm. Pengendapan lumpur itu bukan saja
dapat mempertebal lapisan tanah, tapi juga dapat
memperpanjang aliran sungai. Muara sungai pun terus
bergeser ke arah laut, semakin menjauh dari kompleks
percandian.

Nama-nama tempat di kawasan Batujaya, Karawang


Utara, banyak yang berkaitan dengan air atau laut.
Misalnya Telukampel, Telukbango, atau Telukbuyung.
Nama-nama tempat ini sekarang berada jauh dari
pantai. Teka-teki penamaan ini akan terjawab bila kita
menghubungkannya dengan turun-naiknya muka laut di
Indonesia, seperti yang pernah diteliti oleh De Klerk.
Sekitar 5000 tahun yang lalu, pantai utara Karawang

Secara umum, wilayah pesisir utara Pulau Jawa


sebagian besar menempati lingkungan fisik yang
sejenis. Bentang alam ini dikenal dengan wilayah
Pantura, membentang luas mulai dari dataran
Serang di barat hingga dataran Surabaya di timur
dan menyempit ke arah Panarukan lebih ke timur lagi.
Sungai yang mengalir di daerah ini umumnya berair
sepanjang tahun dan terlihat bermeander dengan

Peristiwa alam masa lalu sangat membantu para


ahli kebudayaan untuk merekonstruksi suatu peristiwa
budaya. Hal ini pernah dirintis, misalnya, oleh Sampurno
(1980) untuk menjawab teka-teki keruntuhan Kerajaan
Majapahit. Demikian juga Yahdi Zaim (1997) mencoba
menjawab pertanyaan mengapa Kerajaan Sriwijaya
mengalami kemunduran. Kerajaan yang berpusat di
pinggir pantai dan di muara sungai itu mengalami
kemunduran ketika pengendapan lumpur yang tinggi,
dibarengi adanya pengangkatan Pulau Sumatra,

21

menyatu dan saling bergantung satu sama lainnya,


maka diperlukan suatu perencanaan wilayah yang
holistik dalam skala luas maupun menengah, seperti
disusunnya rencana tata ruang Pulau Jawa yang
ditindaklanjuti dengan rencana tataruang wilayah
Pantura.
Megapolitan Jayabaya
Jika di Amerika Serikat, megapolitan Boswash,
berasal dari singkatan Boston - Washington, maka
nama megapolitan pesisir utara Pulau Jawa pun
dapat diusulkan, misalkan Megapolitan Jayabaya
yang merupakan singkatan dari Jakarta Raya
Surabaya. Jayabaya adalah seorang raja di Pulau
Jawa yang terkenal, yang memerintah sekitar tahun
1135-1157. Beliau sendiri pernah meramalkan
bahwa suatu saat nanti negeri ini (Indonesia) akan
mencapai kemakmuran, dan saat itu kereta kencana
akan bergulir dari Anyer sampai Panarukan.
Peta Zona Gempa Pulau Jawa menggambarkan tingkat kerusakan gempa yang mungkin terjadi dan sebarannya di Pulau Jawa. Jawa bagian Utara
umumnya merupakan daerah dengan tingkat ancaman gempa yang kecil.

lembah berbentuk U akibat energi aliran sungai


yang melemah dan butiran endapan semakin halus,
sehingga erosi sungai ke arah lateral lebih dominan
dibandingkan erosi arah vertikalnya. Material lepas
pembentuk morfologi ini umumnya berasal dari
batuan lebih tua di selatannya, berupa endapan kipas
aluvial, maupun endapan aluvium di daerah bantaran
banjir beberapa sungai besar yang bermuara di
daerah ini.

Selain itu, saat ini di wilayah pesisir utara


pusat-pusat utama metropolitan telah terhubung
dengan jaringan infrastruktur terutama jaringan
transportasi primer berupa jalan kereta api, jalan
tol, jalan nasional, dan jalan provinsi. Demikian
pula, tersedianya infrastruktur transportasi yang
cukup lengkap tersebut telah membentuk pula polapola jaringan perkotaan yang bersifat fungsional
melalui aliran barang dan jasa yang sudah mapan.
Dengan kondisi wilayah geografis pantura yang telah

serta pengaruh perubahan muka laut (regresi) yang


mengakibatkan pusat kerajaan menjadi jauh dari pantai.
Akhirnya Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan
memudar pengaruhnya.

alam di selat antara Gunung Muria dengan Pulau


Jawa pada abad ke-16. Kala itu, selat ini merupakan
jalur perekonomian di pantura Jawa Tengah, yang
menghubungkan pusat-pusat kerajaan di sana.
Keadaannya kemudian berubah mendangkal dan
berakhir menjadi daratan yang saat ini sangat padat lalulintas antara Jakarta Cirebon Semarang Surabaya.

S. Sartono pun, seperti diungkapkan Yahdi Zaim


(1997), menulis, bahwa di sekitar Tosara, Kabupaten
Bone, terdapat kerajaan yang berkembang pada abad ke 16
yang berpusat di Teluk Bone, Sulawesi. Ketika Kerajaan
ini berada pada puncak kejayaannya, perdagangan sudah
sangat maju. Saat itu, dari Teluk Bone di timur, dapat
langsung memotong Pulau Sulawesi ke Selat Makassar
di sebelah barat, karena masih berupa selat yang sangat
baik untuk dilayari. Saat ini jalur tersebut telah menjadi
daratan. Ketika jalur lintas ini mendangkal, maka
pelayaran harus memutar ke selatan, melewati Selat
Selayar di Laut Flores yang jauh dan penuh risiko. Jalur
lintas ini amat penting, karena telah menghubungkan
jalur perdagangan antara kerajaan di Tosara dengan
kerajaan-kerajaan di Kalimantan.

R.W. van Bemmelen melihat adanya perubahan

22

GEOMAGZ

Desember 2013

Inilah pentingnya menganalisis keadaan alam dan


lingkungan di masa lalu ketika kerajaan itu masih berdiri
dengan peninggalan budayanya. Lingkungan di sekitar
percandian di Batujaya abad IV VII, tentu beda dengan
saat ini.

Ketika garis pantai berada di daerah yang


mempunyai ketinggian 0-2 m dpl., di sana didirikan
lebih dari 24 candi bata merah berlepa kapur bakar yang
putih. Jadi, candi yang saat ini berada jauh dari pantai
itu dulunya didirikan di pinggir pantai, di tepian muara
Ci Tarum purba. Lokasi ini memberikan kemudahan
bagi hubungan dengan daerah lain. Kapal-kapal merapat
di muara sungai yang tenang, lalu masuk ke kompleks

Perkembangan ke arah megapolitan tersebut


menyebabkan masalah geologi lingkungan menjadi
pusat perhatian dalam pengambilan keputusan
(decision making) terutama pada saat terjadinya
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang
menyebabkan penurunan daya dukung lingkungan,
atau menimbulkan bencana alam adalah contoh
permasalahan yang terus-menerus perlu diwaspadai
dan diambil solusinya.
Walaupun sebenarnya wilayah Pantura ini
jauh dari zona subduksi yang artinya cukup aman
dari bahaya gempa bumi dan tsunami, namun
problematika atau kendala geologi dalam rangka

percandian di Batujaya. Aliran peribadatan di kompleks


percandian di Batujaya haruslah dimulai dari barat laut,
arah datangnya para peziarah, lalu berputar serah jarum
jam, mengalir seirama gerak alam raya di bumi selatan
khatulistiwa.

Kerajaan Tarumanagara tumbuh menjadi kerajaan


yang pengaruhnya sangat luas hingga seluruh Provinsi
Jawa Barat, Banten, dan DKI Jaya saat ini, berkembang
sejak tahun 358. Dewawarman VII raja Kerajaan
Salakanagara (308-340), menyerahkan kekuasaannya
kepada
menantunya
Jayasinghawarman.
Nama
kerajaanya kemudian diganti menjadi Tarumanagara, dan
ia menjadi rajanya yang pertama (358382). Kerajaan
Tarumanagara berkembang dari tahun 358 hingga
669. Nama Tarumanagara hilang dalam percaturan
ketika Tarusbawa, menantu Raja Tarumanagara ke-12,
mengubah nama kerajaan itu menjadi Kerajaan Sunda,
dan pusat kerajaannya dipindahkan ke Pakuan di Bogor.
Kompleks percandian Batujaya berada tidak jauh
dari Tugu, Bekasi, tempat Prasasti Tugu ditemukan.

pembangunan infrastruktur tetap besar karena


daerahnya berada di atas kelompok batuan endapan
permukaan yang berumur Kuarter. Kelompok batuan
itu terdiri atas endapan sungai, endapan rawa,
endapan pantai serta aliran bahan rombakan gunung
api. Kesemuanya merupakan jenis batuan sedimen
lepas hingga kurang padu.
Dampak negatif yang sering terjadi di wilayah
Pantura, di antaranya adalah terjadinya banjir alami
seperti di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Banjir
ini semakin besar dan berkembang tidak alami yang
dipicu oleh perubahan penggunaan lahan, seperti
tutupan lahan semakin kedap akibat pembangunan
yang tidak terkendali dan hutan di wilayah hulunya
dalam kondisi kritis karena penebangan tak
berizin. Hal ini terjadi karena faktor pengendalian
pembangunan yang menjadi kunci permasalahan
kurang berjalan dengan baik.
Dampak lainnya yang harus diantisipasi adalah
terjadinya penurunan tanah akibat pembangunan
di daerah tanah lunak dan pengambilan air tanah
yang tidak terkendali. Kondisi ini sudah dirasakan
oleh kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta,
Semarang, dan Surabaya, termasuk beberapa kota
besar di Asia seperti Bangkok, Shanghai, dan Tokyo
berupa penurunan muka tanah atau amblesan
tanah (land subsidence), utamanya pada lahan yang
digunakan sebagai kawasan industri, komersial atau
perkantoran, dan permukiman.
Fenomena menurunnya permukaan tanah
tersebut merupakan permasalahan geologi teknik
yang sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan

Prasasti ini memberitahukan tentang pembuatan dua


saluran irigasi, yang lokasinya telah direkonstruksi oleh
Herman Th. Verstappen dan Nurduyn (2000).

Penataan lanskap kompleks candi harus segera


dibuat dan melibatkan berbagai ahli, selagi kawasan
ini belum dipadati permukiman dan pabrik, sebelum
masalah yang makin rumit datang. Perencanaan dan
penataan untuk proyeksi sekian puluh tahun ke depan,
bila wujud percandian di Batujaya dan Cibuaya ini sudah
dipugar dengan utuh, jalan tol pantura sudah rampung,
jembatan di Ci Tarum yang menghubungkan Bekasi
dengan Karawang sudah selesai, bandara di sana sudah
dibangun, betapa mudahnya akses masuk ke kawasan ini.
Kompleks percandian ini mempunyai prospek yang
amat strategis bagi pengembangan daerah, seperti sektor
pariwisata dan pendidikan. Tentunya jika kawasan ini
sangat mudah dijangkau.
Penulis: T. Bachtiar.

23

Peta Amblesan Tanah di


DKI Jakarta, warna-warna
menunjukkan besarnya
amblesan yang diukur dalam
sentimeter (cm). Tampak
bahwa seluruh wilayah DKI
telah mengalami amblesan
bervariasi dari 10 hingga 150
cm dalam waktu lima tahun
(1992-1997).

keteknikan dari lapisan tanah penyusun, seperti


sifat kompresibilitas/pemampatan yang tinggi pada
lempung/lempung organik yang sangat lunak dan
pasir urai/lepas. Akibat pembebanan dari berat massa
tanah atau batuan itu sendiri dan ditambah dengan
beban dari bangunan yang berada dari atasnya
secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu terjadi
perosokan tanah (settlement), yang merupakan
proses litifikasi atau kompaksi pada lapisan tanah atau
batuan. Terlebih lagi dengan adanya pengambilan air
tanah dalam jumlah besar, maka tekanan hidrolik

ke arah vertikal menjadi menurun, sehingga akan


mempercepat terjadinya penurunan muka tanah
(land subsidence).

Menahan Amblesan
Kota Semarang

diperoleh pemahaman yang lebih baik atas mekanisme


dan perilaku kejadiannya. Seiring dengan pemantauan
itu, upaya pengurangan dampak yang merugikan akibat
amblesan tersebut perlu pula dilakukan. Salah satunya
melalui konservasi air tanah.

Perkembangan

penduduk dan aktivitas


pembangunan di kota-kota besar di Indonesia, seperti
Kota Semarang, sangat pesat. Untuk Semarang, keadaan
itu merupakan salah satu hasil dari program Pemerintah
tentang pengembangan daerah pantai utara Pulau Jawa
sebagai kawasan industri. Pembangunan di wilayah
pesisir utara Pulau Jawa ini menimbulkan persoalan.
Salah satu persoalan itu adalah amblesan tanah seperti
yang terjadi di dataran Kota Semarang, terutama di
daerah pantai, Semarang Bawah atau Semarang Utara,
yang batuannya disusun oleh endapan aluvial yang belum
termampatkan.
Diperlukan upaya pemantauan terus menerus
terhadap fenomena amblesan di Semarang Utara ini agar

24

GEOMAGZ

Desember 2013

Akibat dari penurunan muka tanah yang cukup


besar, biasanya mudah terjadi banjir, dan banjir
genangan. Kondisi seperti itu telah terjadi di wilayah
Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Gambar di atas
menunjukkan peringkat wilayah-wilayah di wilayah
DKI Jakarta yang telah terjadi penurunan tanah dan
berdampak banjir.

Peta Hidrogeologi Pula Jawa menggambarkan potensi air tanah Pulau Jawa yang dinyatakan oleh warna dari biru tua untuk daerah yang paling berpotensi
hingga merah muda untuk daerah langka air tanah. Tampak daerah Jakarta dan sekitarnya umumnya memilki potensi air tanah yang tinggi.

Namun di balik kendala geologi yang dapat


menghambat laju pembangunan, wilayah pesisir juga
memiliki daya dukung untuk sebuah pembangunan
perkotaan, diantaranya adalah tanah yang relatif
datar dengan kemiringan lereng kurang dari 5o
dan berada pada ketinggian rata-rata kurang dari
40 meter di atas muka laut. Tersedianya sumber
daya air permukaan kerena banyak sungai besar
yang berhulu di gunung-gunung yang disusun oleh
batuan vulkanik muda bermuara di Pantura, seperti

Ci Sadane, Ci Tarum, Ci Manuk, Bengawan Solo, Kali


Brantas, dan lainnya juga merupakan keuntungan.
Demikian pula air tanah di wilayah pesisir
berlimpah dan sebarannya berada pada jenis
batuan yang menyusun dataran pantai, cekungan
antargunung, dan lembah-lembah sungai yang
keterdapannya beragam dengan jenis air tanah tidak
tertekan maupun air tanah tertekan. Sementara itu,
sumber air tanah yang terdapat pada batuan lepas di
dataran pantai, umumnya menempati daerah yang

Amblesan dalam Pemantauan

Hasil pemantauan Badan Geologi menunjukkan


bahwa di Kota Semarang Utara, terutama di sekitar
pelabuhan, telah mengalami penurunan yang paling
besar seperti yang diperlihatkan Peta Elevasi Semarang
Utara. Daerah pelabuhan ke arah timur hingga Tambak
Mulyo dan ke selatan hingga jalan lingkar utara telah
berada di bawah muka air laut.

Pada umumnya daerah Semarang Utara dibentuk


oleh endapan aluvial rawa. Faktanya, daerah ini sering
mengalami banjir atau genangan air terutama pada
saat pasang laut. Sedangkan daerah yang berada pada
ketinggian antara 0 0,5 m dari permukaan laut
telah meluas dari mulai Tanah Mas - Bandar Harjo
Stasiun TawangKawasan Industri Terboyo. Hal ini
menunjukkan bahwa Semarang Utara mempunyai tanah

Peta penurunan tanah


di Kota Semarang
Utara. Prediksi tahun
2008.

25

meningkat dengan ditopang oleh pemanfaatan


sumber daya alam secara bijaksana.

Peta Resapan Utama Pulau Jawa menunjukkan bahwa pegunungan tengah harus dipertahankan sebagai daerah yang memiliki fungsi lindung.

luas. Air di kawasan tersebut sebagian kualitasnya


payau, karena pengaruh proses sedimentasi
dan pasang surut air laut, namun masih dapat
dimanfaatkan dan diolah untuk mendapatkan baku
mutu air sesuai keperluannya.

Indonesia dengan kondisi daya dukung lahannya


yang cukup leluasa, seperti tersedianya lahan yang
subur, sumber daya alam yang cukup berlimpah
termasuk air, dan daya dukung tanahnya yang lebih
stabil.

Perkembangan wilayah Pantura menjadi sebuah


megapolitan merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan. Kondisi ini akan terus berkembang secara
dinamis. Hal ini terjadi karena dalam lingkup wilayah
nasional pun Pulau Jawa memiliki banyak kelebihan
dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Tiada
lain, karena secara geografi posisi pulau ini terletak
sangat strategis berada di tengah-tengah wilayah

Konsep pembangunan yang berkelanjutan


mensyaratkan bahwa pembangunan harus terus
berlanjut tanpa menimbulkan kerusakan dan degradasi
atau penurunan kualitas lingkungan. Dengan kata
lain, pembangunan berkelanjutan adalah upaya
untuk menjamin kelanjutan pembangunan, sehingga
kesejahteraan masyarakat pada masa sekarang
maupun yang akan datang dapat terus-menerus

lunak yang cukup dalam. Daerah ini bila diberikan beban,


baik berupa bangunan ataupun tanah urukan yang cukup
tebal, akan mengalami penurunan tanah yang cukup
besar akibat beban tersebut.

Utara telah menyebabkan kerugian bagi Pemerintah


Daerah Kota Semarang maupun masyarakat dan
kalangan indsutri setempat. Beberapa kerugian yang
disebabkan oleh amblesan tanah ini adalah meluasnya
daerah banjir dan tinggi air banjir juga meningkat.

Kecepatan penurunan yang terjadi akibat adanya


pembebanan di atas permukaan tanah mencapai lebih
dari 3 cm/tahun. Faktor lain yang menyebabkan amblesan
tanah di Semarang Utara adalah proses pemadatan alami.
Fenomena ini berkaitan dengan batuan/tanah penyusun
yang berupa endapan aluvial dengan lapisan lempung
sebagai penyusun utama. Endapan ini umumnya
mempunyai sifat keteknikan berupa kompresibilitas
atau kemudahan mengalami tekanan yang tinggi dan
merupakan tanah terkonsolidasi normal. Sifat tanah yang
demikian disebabkan oleh belum pernah dialaminya
tekanan pembebanan yang maksimum, sehingga apabila
ada beban diatasnya, misalnya oleh beban lapisan tanah
itu sendiri, masih memungkinkan terjadinya pemadatan
secara alami.
Kerugian Akibat Amblesan

Proses amblesan tanah yang terjadi di Semarang

26

GEOMAGZ

Desember 2013

Peristiwa lain berkaitan dengan amblesan tanah


yang khas terjadi di Kota Semarang adalah rob atau
banjir karena air laut yang bukan tsunami masuk ke
daratan. Rob menyebabkan banjir di ibu kota Provinsi
Jawa Tengah ini terjadi tidak hanya pada musim hujan,
melainkan sepanjang tahun. Banjir rob menyebabkan
rumah, perkantoran, dan kawasan indsutri terendam
air sepanjang tahun. Istilah rob kini sudah umum
digunakan untuk fenomena banjir karena air laut yang
masuk ke daratan dalam keadaaan normal (bukan karena
tsunami) akibat amblesan daratan atau karena air laut
pasang.
Akibat amblesan lainnya yang langsung dirasakan
adalah semakin meluasnya kawasan yang terkontaminasi
oleh air laut melalui mekanisme banjir rob maupun
intrusi air laut. Kontaminasi ini menyebabkan air tanah

Pembangunan
berkelanjutan
diupayakan
melalui kegiatan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup secara seimbang dan tetap
mempertahankan daya dukung dan daya tampung
untuk kehidupan manusia. Dengan demikian,
sumber daya alam dan lingkungan disamping
dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
pembangunan dan kesejahteraan rakyat, juga
bermanfaat bagi generasi mendatang. Pada dewasa
ini konsep pembangunan yang sesuai adalah yang
bersifat proaktif yaitu mencegah, memperbaiki
dan mengurangi kerugian-kerugian dari dampak
lingkungan yang akan muncul.
Dari peta di kiri atas terlihat bahwa wilayah tengah
pulau Jawa dikenal sebagai zona gunung api aktif
kadangkala dapat menyebabkan bencana, namun
di sisi lain berperan pula sebagai wilayah imbuhan
air tanah atau resapan utama yang mensuplai
kebutuhan air permukaan maupun air tanah bagi
wilayah bawahannya seperti wilayah Pantura.
Sementara secara geomorfologi wilayah Pantura
ini merupakan daerah berbakat banjir dan memiliki

menjadi payau atau asin. Akibat lebih lanjut dari keadaan


air, baik air yang berasal dari banjir rob, maupun air tanah
yang payau atau asin ini adalah terjadinya korosi pada
konstruksi bangunan. Hal tersebut adalah akibat air
payau atau air asing yang langsung dirasakan, sedangkan
beberapa akibat yang tidak langsung dirasakan adalah
terganggunya kegiatan dan produktivitas di daerah yang
terkena amblesan tanah. Dampak lebih lanjut bersifat
psikologi, yaitu munculnya stres pada masyarakat yang
tinggal di daerah tersebut.
Upaya Penanggulangan

Upaya-upaya menanggulangi bencana amblesan


tanah telah banyak dilakukan. Upaya itu umumnya
berupa usaha meninggikan tanah dengan cara
pengurukan di kawasan pengembangan di sekitar pantai
yang akan digunakan untuk berbagai bangunan seperti
pergudangan, pemukiman, dan berbagai infrastruktur.

ketergantungan terhadap wilayah atasnya (hulu).


Oleh karena itu, menjadi penting dalam perencanaan
nasional mengarahkan pembangunan di wilayah
hulu sesuai dengan perannya sehingga pengendalian
penggunaan lahan pun sesuai dengan karakteristik
unit-unit lahan agar tidak terjadi kenaikan laju run
off, erosi dan sedimentasi, sehingga kesetimbangan
neraca air hulu dan hilir terjaga dengan baik.
Sementara di wilayah bawahannya (Pantura),
perencanaan pembangunan perkotaan khususnya
pengembangan sistem drainase harus sesuai dengan
pola dan karakteristik daerah aliran sungai (DAS) agar
ekosistem disekitarnya ikut terpelihara dengan baik.
Pada akhirnya harapan dari perkembangan
megapolitan di wilayah pesisir utara Pulau Jawa yang
memperhatikan dan menjaga keseimbangan alam
dapat mengantarkan terwujudnya kemakmuran dan
kenyamanan warga negara Indonesia (nusantara)
seperti yang ada dalam pikiran cemerlang seorang
Jayabaya.
Penulis adalah Penyelidik Bumi Utama di Badan Geologi,
KESDM

mengimbangi kecepatan amblesan tanah. Bagi kalangan


yang dapat melakukan peninggian tanah masalah ini
dapat ditanggulangi, namun bagi kalangan bawah
masalah ini tidak dapat dilaksanakan dikarenakan
memerlukan biaya yang cukup besar.
Sementara itu, untuk mengantisipasi kecepatan
amblesan tanah dilakukan upaya konservasi air tanah
dengan cara menghentikan pembuatan sumur bor baru
yang menyadap air dari berbagai akuifer di wilayah
tersebut. Sebagai alternatif lain untuk pemenuhan
air bersih adalah pengolahan air permukaan sebagai
pengganti air tanah. Hal ini dapat dilakukan dengan
membuat bendung-bendung pada sungai yang ada
di Semarang Atas (Semarang Selatan) yang airnya
kemudian dijernihkan.
Penulis: Dodid Murdohardono.

Upaya menghindari bencana sebagai dampak


amblesan tersebut telah menimbulkan kerugian yang
cukup besar karena setiap tahun diperlukan biaya
yang besar untuk menaikkan permukaan tanah untuk

27

akarta sekarang bukan lagi metropolis, kota


besar dunia. Dari kota yang pada pra-PD II,
berpenduduk kurang dari setengah juta, kini
dengan penduduk sembilan juta lebih, Jakarta
sudah jadi megalopolis atau kota raksasa dunia.
Maka, ketersediaan data dan informasi geologi yang
handal untuk mendukung pengembangan kota
Jakarta juga perkotaan lainnya di Indonesia dengan
bercermin kepada Jakartamutlak merupakan
sebuah keniscayaan.
Tulisan berikut mengetengahkan pengalaman
pribadi saya yang terlibat dalam penyediaan data
dan informasi geologi untuk pembangunan Jakarta
sejak awal, di sekitar tahun 1960-an, hingga periode
2000-an. Perlu disampaikan pula bahwa tulisan
hanya mengandalkan pingat (memory) pribadi. Maka
dari itu, mohon maaf, kiranya ada kekurangannya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sudah Jadi Masa Lampau

Foto: Igan S. Sutawidjaja

JAKARTA,

Selalu yang Pratama

Prime Novelties for Jakarta


Oleh: M.M. Purbo-Hadiwidjoyo

Ever since the colonial period when it was called Batavia, prime issues went always to this
city, currently known as Jakarta, Indonesias first megacity. This article deals with those
facts, particularly so regarding water. It started with the introduction of an integrated
surface water management system, something very basic. Though very very much smaller
in scale and importance, earlier Batavia, in fact, got another primer, i.e., the use of selfflowing wells from the firstly discovered artesian basin, lying underneath the town. Later,
something peculiar was decided, the first ever in this country, the design of a piped-water
supply system, conveying the abundantly discharging spring whose water was, and still
is, of splendid quality. The spring issues in the lower slope of Mt. Salak above Bogor. The
system, including a some 70 km-long pipeline is until today, after more than a century of
service. The latest issue of making Jakarta flood-free is still hanging on.

28

GEOMAGZ

Desember 2013

Tidak ada alasan lain, Jakartadulu dikenal


sebagai
Bataviaharus
diutamakan
karena
ditetapkan sebagai ibu kota, pada waktu negeri
ini masih bernama Nederlands Indi dan sekarang
jadi Republik Indonesia. Gagasan teranyar adalah
membangun terowongan serbaguna. Barang anyar
seperti itu memerlukan banyak persiapan. Apa yang
harus dimulai secepat-cepatnya adalah yang disebut
data dasar. Sebenarnya, bagi Jakarta hal itu sudah
menumpuk. Saya ragu jangan-jangan banyak yang
sudah tertimbun atau seperti orang Belanda bilang,
in het vergeetboek geraakt, terselip entah di mana
(asal jangan terlanjur diloakkan).
Semenjak sekitar tahun 1960-an saya terlibat
dalam upaya penyediaan data dasar bagi kota raksasa
itu. Peta yang pertama yang pantas saya sebutkan
adalah Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor. Tokoh
yang empunya gagasan itu adalah Soetaryo Sigit,
geologiwan pertama lulusan Bagian Geologi, FMIPA,
Universitas Indonesia, Cabang Bandung, sekarang
Institut Teknologi Bandung. Peta ini terbit ketika
beliau jadi Sekjen Departemen Pertambangan, di
samping itu menjabat Kepala Biro Penanaman Modal
Asing. Peta berukuran 150 x 100 cm ini ditempelkan
di dinding di belakang meja kerjanya.
Apa yang nyata adalah awal perkembangan
daerah Jabotabek. Setelah Jakarta bypass, jalan bebas
hambatan pertama, Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi)
pun menyusul. Hal yang juga tak dapat ditawartawar adalah data untuk membangun kota seperti
keterdapatan bahan bangunan, dan itu berkisar dari
tanah uruk, batu belah, hingga pasir.
Selanjutnya adalah pabrik semen Cibinong. Ini
merupakan pabrik semen berikutnya milik pemerintah,
setelah sebelumnya ada Pabrik Semen Indarung dekat

Padang, Sumatera Barat dan Pabrik Semen Gresik,


di Jawa Timur. Atas suatu penugasan, Direktorat
Geologi melakukan penyelidikan mengenai bahan
dasar semen yang tersedia di dekat Cibinong. Setelah
semua data yang diperlukan terkumpul, persiapan
untuk pembangunan pabrik pun dimulai dan tugas
itu diserahkan kepada Bechtel. Perusahaan ini
menghadapi kesulitan, karena ternyata batugamping
di bawah calon pabrik, berongga dan perlu diatasi.
Maka pekerjaan membangun pabrik Semen Cibinong
pun tertunda.
Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor itulah yang
melatarbelakangi pembangunan segala proyek.
Pertanyaan yang pertama muncul adalah lahan
yang diperlukan, ketercapaian tempat, dan bahan
dari Bumi. Jawaban atas semua perkara itu dapat
ditemukan lewat upaya. Arah yang harus ditempuh
pun diketahui. Pertama adalah penelitian tapak. Untuk
itu perlu ditemukan data persifatan tanah dari segi
keteknikan, dan data itu kemudian diakurkan dengan
tuntutan setelah ditemukan kenyataan di lapangan.
Dari sana kemudian disimpulkan penyelesaiannya,
dan ini tugas pihak perekayasa.
Langkah berikutnya berupa pengumpulan data
dasar sebagaimana disarankan oleh Operation
Room. Seperti layaknya dalam lingkungan Angkatan
Bersenjata, Pemerintah DKI yang pada waktu itu
dikomandani oleh Ali Sadikin, Jenderal KKO, sangat
disiplin. Kali ini perintah bersifat menjenis (khas),
karena tujuannya untuk kepentingan menetapkan
tata ruang. Maklum, ketika itu di luar Kebayoran
Baru, daerah boleh kita anggap masih kosong.
Karena kebetulan saya ditunjuk sebagai koordinator,
sayalah yang harus menentukan jenis data dasar yang
diperlukan, sumbernya, cara memperolehnya, dan
dengan sendirinya, juga cara menyajikannya.
Berturut-turut data itu menyangkut curah hujan,
rupabumi, air tanah, dan data serta informasi yang
berguna sebagai penunjang. Data curah hujan
mudah diperoleh, karena Koninklijk Meteorologisch
en Geophysisch Instituut sudah menerbitkannya,
data rupabumi berupa peta topografi pada skala
1:50,000 dan 1:25.000.
Saya kemudian mencoba menemukan kembali
titik tetap yang digunakan sebagai acuan pada waktu
dilakukan pemetaan topografi. Arsip titik tetap yang
bersangkutan di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bekasiyang kemudian dikenal sebagai daerah
Jabotabekada di Jawatan Topografi Angkatan
Darat. Saya pernah mencoba mencari kembali arsip
itu, dan ternyata tidak segampang saya kira semula.
Tidak semua data itu dapat saya peroleh.
Setelah itu, tahuan (informasi-red) yang
berhubungan dengan medan yang kami kumpulkan

29

adalah potret udara. Data yang tersedia mencakup


seluruh Indonesia buatan Sekutu menjelang PD
II usai, dalam rangka persiapan mereka merebut
kembali wilayah Asia Tenggara. Meskipun sudah
berumur lebih dari 15 tahun, data geologi potret
itu tetap sangat berharga; kita tidak perlu berbicara
tentang mutu.
Hal yang selanjutnya dapat dikumpulkan adalah
data curah hujan seluruh daerah Jakarta-Bogor.
Rekaman curahan hujan itu tersedia sejak perempatan
terakhir abad ke-19 hingga 1941, menjelang PD
II meletus, dan terhimpun dalam Verhandelingen
Koninklijk Meteorologisch-Geophysch Insituut di
Batavia. Selain itu saya juga memperoleh peta curah
hujan dengan data turunan.
Data dan informasi air tanah cukup mudah untuk
diperoleh. Penyebabnya, karena dari lingkungan
instansi sendiri, Direktorat Geologi. Arsip Direktorat
Geologi selamat melewati huru-hara perang
dan bahkan bertambah. Saya menemukan satu
eksemplar laporan perihal air bawah-tanah (air
tanah) seluruh Indonesia buatan Komando Strategi
Sekutu Asia Tenggara, dan sumbernya juga arsip
yang sama, berkas hasil pemboran-dalam. Begitu
bergabung dengan Jawatan Pertambangan Federal
di tahun 1950 yang saya lakukan adalah memeriksa
laporan yang ada, satu demi satu. Di kemudian
hari, sebagai pimpinan bagian yang membawahkan
arsip, saya mencoba mencari kembali laporan
tersebut. Bentuknya menarik, berukuran folio dan
mimeographed, stensil-cetak, cara yang paling cocok
pada zaman menjelang akhir PD II. Saya sempat
heran, karena barangnya tidak lagi ada.
Salah seorang anggota tim adalah Sukardi
Puspowardoyo seorang yang sangat aktifkini
sudah tiadayang sangat menguasai persoalan.
Hasilnya ia sajikan berupa tiga buah penampang
hidrogeologi Jakarta selatan-utara. Penampang itu
sangat besar artinya untuk memperoleh gambaran
mengenai pola gerakan air tanah, termasuk daerah
pengimbuhan. Daerah itu harus diwaspadai dan
selanjutnya dilindungi.
Dengan ketiga penampang itu kita dapat
memperoleh gambaran bentuk tri-matra yang
disebut cekungan air tanah Jakarta. Itulah cekungan
artois pertama yang dikenali di negeri ini, dan kita
dapat mengikuti di dalamnya pergerakan air yang
tercurah dari hulu DAS Ciliwung, menuju ke ujungnya
yang ada di bawah Teluk Jakarta. Memang ada
zaman ketika orang bertanya, apa sebab pemboranair-dalam di Jakarta Utara menghasilkan air tawar?
Bahkan sumur-bor di Pulau Onrust airnya tawar
dan dimanfaatkan kapal yang menyinggahi Batavia.
Jawabnya dapat dibaca di penampang itu.

30

GEOMAGZ

Desember 2013

Ada selajur daerah tak terlampau lebar yang


terbentang timur-barat dari bagian selatan DKI
hingga sebelum Depok. Itulah yang dianggap
sebagai daerah peresapan air yang mengimbuh
cadangan air tanah dalam cekungan Jakarta. Dulu,
daerah itu masih lumayan kosong. Berdasar hasil
temuannya, tim menganjurkan agar lajur itu dapat
dipertahankan sebagai daerah hijau. Siapa hirau?
Kita dapat mengerti mengapa lajur itu justru menarik,
karena kedekatannya dengan Jakarta. Oleh sebab
itu, sekarang daerah itu sudah berubah jadi tempat
hunian padat.
Air yang terlibat dalam pengimbuhan waduk
bawah-tanah itu sudah mulai meresap sejak di
hulu DAS Ciliwung. Itu berupa luahan dari badan
gunung api, waduk bawah-tanah alami yang
pertama di hulu, Gunung Salak dan Gunung GedePangrango. Sebagian air dari waduk alam itu muncul
berupa sejumlah mata air. Itu telah berabad-abad
lamanya menjadi sumber bagi penghidupan orang
banyak. Sudah sejak awal, orang memanfaatkannya
untuk persawahan. Pada gilirannya itu pula yang
menjelmakan Kerajaan Pajajaran.
Kedatangan Belanda sebagai kekuatan politik
asing pertama mengubah segala tatanan. Di
dalamnya termasuk berubahnya tataguna air. Maka
terjadilah loncatan, ketika ditemukan bahwa mata
air besar yang muncul di kaki Gunung Salak, alihalih dibiarkan mengalir ke alur sungai, lebih baik
dimanfaatkan bagi Batavia, kota dengan jumlah
penduduk yang terus bertambah.
Sebenarnya, Batavia ketika itu sudah mengenal air
bersih yang berasal dari sumur-bor, dan airnya juga
mengalir sendiri (artesis). Belanda menguasai cara
membor air; mereka juga tahu mutunya, kedalaman
asal air itu, dan berapa meter bubungannya di atas
muka tanah. Tulisan ini tidak bermaksud membahas
pokok itu; sampai di sini sumur bor yang pertama.
Mata air di Gunung Salak muncul di ketinggian
beberapa puluh meter di atas permukaan laut (dapl),
luahnya besar, dan mutunya sangat baik. Karena
muncul di titik yang cukup tinggi, air itu tanpa
bantuan sarana selain pipa, karena gaya berat, dapat
mengalir ke pengguna di kota pantai. Dengan sistem
pipa, Batavia di pantai yang terpisah beberapa puluh
kilometer dari sumber airnya jadi kota pertama di
Hindia Belanda, dan dua abad jadi contoh.
Di lereng Gunung Gede-Pangrango juga terdapat
sejumlah mata air. Terutama yang diketahui banyak
di sebelah barat Puncak. Satu di antaranya, yang
paling terkenal, adalah kelompok mata air Cisarua
yang sejak dulu dimanfaatkan, awalnya untuk
sawah dan keperluan rumahtangga, dan sejak praPD II juga untuk kolam renang. Tanpa diolah, air itu

31

lari begitu saja. Ketika itu lereng masih tertutup


persawahan bersengked, seperti yang masih tersisa di
tempat berdekatan, seperi terlihat pra-1970. Laju-alir
air yang melimpas teredam berkurang berkat sawah
yang bersengked.

Danau Sunter timur.


Foto: Oki Oktariadi.

kinisetelah dibubuhi kaporitdiperuntukkan bagi


persediaan air penduduk Kecamatan Cisarua.
Akhir-akhir ini kita menyaksikan peminat air
gunung bertambah. Pihak itu tak lain adalah pelaku
bisnis air botolan atau air minum dalam kemasan
(AMDK). Usaha air mineral ini berkembang sangat
pesat, dan produksinya tidak hanya dijual di kota
besar yang hausnya tak dikendalikan, karena diramu
dengan teh dan entah dengan rasa buah apa, semua
dijajakan sampai ke daerah pelosok, tidak terkecuali
di sekitar sumber air, Cisarua. Apa sebabnya? Sangat
praktis dan ditanggung bersih.
Air gunung dikemas dalam botol segala ukuran,
sesuai dengan permintaan dan selera pembeli. Sedikit
tambahan, agar diperoleh gambaran besar volum
yang diangkut ke Jakarta, kita coba mengintip armada
pengangkut, dengan wadah sangat beragam, dalam
kemasan botol aneka ukuran dan meruah tidak
kepalang dengan truk tangki, semua sesuai dengan
pesanan. Apakah ada angka statistik? Saya kira tidak
ada, karena perhatian kita belum sejauh itu.
Itu satu sisi mata uang. Karena bisnis menyangkut
uang, entah uang mana dan siapa. Sisi yang lain,
semua air itu dari gunung, semula menuju entah
ke mana, tetapi yang pasti untuk pesawahan atau
pertanian. Di sini kesulitan muncul, karena ketiadaan
angka statistik. Tugas siapa? Yang jelas, bukan urusan
Pemerintah DKI semata.
Dalam hubungan dengan tata air ini saya merasa
sangat beruntung. Tahuan saya mengenai perkara
itu dan lingkungan banyak bertambah berkat
terlibat kegiatan sejak awal tahun 1970-an (Pelita I),
meskipun tidak dalam penelitian air tanah, melainkan
karena melihat sana-sini. Peluang datang dan tak
terpisahkan karena terbawa-bawa kegiatan tersebut.
Agar menjenis, sejak Pelita I hingga kini, nyaris
setengah abad, dan tempatnya antara Bogor-Cianjur.

32

GEOMAGZ

Desember 2013

Saya pernah menyusuri jalan setapak, pematang


sawah dan lorong, serta jalan desa yang diperkeras
atau bahkan diaspal, sendiri atau dengan teman.
Yang saya saksikan lingkungan yang sudah banyak
berubah. Data angka tidak ada, namun, gambaran
umum dalam benak, bahwa daerah antara BogorCianjur, sekilas pandang, bagian di dekat Bogor lebih
banyak beralih-rupa ketimbang yang di timur Puncak.
Itu kesan, bukan statistik.
Dalam kurun waktu itu, alaman (pengalamanred) yang saya peroleh dan saya nilai sangat berharga
untuk disajikan di sini, berasal dari tahun 1980an. Ketika itu saya anggota Tim Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi yang bertugas menatar alihbasa
dosen di sebuah hotel di Cisarua, 10 km timur Bogor.
Karena saat itu musim hujan, seperti lazimnya hujan
terjadi, sangat lebat tetapi hanya sebentar, berjeda
dan disusul guyuran berikut. Hotel itu yang dibangun
beberapa tahun sebelum peristiwa yang saya bahas
ini, menempati sebidang lahan miring di tepi kanan
jalan raya. Lahan milik hotel seluruhnya terbangun,
jika tidak untuk gedung tentu untuk jalan beraspal.
Dengan latar itu, kepada saya disuguhkan peristiwa
hujan lebat yang mengguyur. Hanya selang beberapa
menit seusai hujan, semua sudah kering! Ke mana
air hujan lari? Ke mana lagi jika tidak ke Ci Liwung,
nun di bawah sana. Lewat got di pinggir jalan, dalam
beberapa menit air hujan sudah mencapai Ci Liwung
dan selanjutnya menuju Jakarta. Itu kisah yang saya
saksikan hampir setengah abad yang lalu.
Peristiwanya berlangsung singkat, tetapi kecamuk
dalam benak saya tiada henti, bahkan saat ini. Apa
yang dapat saya berbuat, apalagi seorang diri? Maka
saya mencoba berbuat, dan saat itu tiba ketika ada
ajakan menulis sesuatu tentang Jakarta yang sedang
menghadapi masalah besar, banjir yang dirasakan
tiada hentinya. Berbagai tanya-jawab berkecamuk
dalam benak. Dulu, sebelum ada hotel setiap musim
penghujan guyuran demi guyuran pasti tidak akan

Apa mungkin mengubah kisah perjalanan air


hujan? Tentu saja bisa. Andaikata pada waktu
membangun hotel itu, perencananya sadar bahwa
hotel berdampak jauh. Ia dapat membantu alam
dengan meresapkan air dari langit itu dengan
gawai (alat, perkakas), dan air dapat masuk kembali
(meresap) ke dalam tanah. Gawai itu berupa sumur
imbuh atau sumur peresap (kini populer disebut:
sumur resapan), bergantung pada sudut pandang.
Maksudnya, agar curahan dari hujan alih-alih jadi
limpasan permukaan lari begitu cepat, air hujan
diarahkan jadi pengimbuh cadangan air di bawah
Jakarta. Jika yang kita gunakan istilah sumur
peresapatau lebih pendek sumur resapyang
dijadikan tujuan adalah mengurangi jumlah air dari
curahan dengan membelokkan sebagian limpasan
permukaan agar meresap ke dalam tanah. Cara itu
mengurangi beban selokan.
Tidak mungkin itu dilaksanakan. Penyebabnya
sederhana, karena hal itu menambah kerja, dan itu
sudah di luar kontrak. Jika tetap diminta, anggaran
proyek bertambah. Ini pasti tidak disetujui pihak
proyek, bouwheer, istilah Belanda yang sampai kini
biasa digunakan. Bagaimanapun, ini adalah bisnis.
Pernah dalam rangka mengurangi limpasan, ada
anjuran membuat sumur peresap. Hemat saya, orang
umumnya tidak paham akan gunanya. Oleh sebab
itu, anjuran itu tidak mungkin diikuti, karena artinya
menambah beban penduduk. Pelaksanaan semua itu
harus lewat ketentuan yang tertuang dalam undangundang dan dijabarkan dalam perda, peraturan
daerah. Siapa yang terkena tidak hanya perorangan,
juga developer, yaitu yang dewasa ini kita jumpai
di mana-mana, sampai di pelosok negeri. Mereka
pengembang dan bertugas membangun perumahan,
juga bagi perorangan.
Saya kira, ini perkara baru karena dunia air
memang sangat baru bagi kita. Di Bumi Parahyangan
atau Tatar Sunda, dulu air tidak disoal, cur-cor, ada
di mana saja. Sikap kita berhadapan dengan air
tercermin dalam undang-undang, peraturan tertinggi
negara, yang membagi dunia air jadi dua, ada air
permukaan yang kewenangannya di Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) dan air yang ada di bawah
permukaan, air tanah, yang otoritas pengelolaannya
ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) cq Badan Geologi. Ini batasan birokrasi, dan
akarnya tertanam dalam dalam sejarah, sehingga
tidak mudah dicabut, karena perlu merombak pola
pikir kita.

Tidak mengherankan, ketika muncul pokok


bahasan mengurangi jumlah limpasan, banyak pihak
keluar dengan gagasan membangun waduk, dan
tentu saja agar dilaksanakan segera. Bagaimana
membangun waduk, jika calon tempatnya saja tidak
kita ketahui, di anak Ci Liwung yang mana? Proyek
itusebab hanya lewat proyek benda itu dapat
dibanguntidak mungkin dilakukan tanpa apa yang
dinamakan persiapan yang didasari data. Kita masih
ingat akan peristiwa jebolnya bendunganistilah
waduk kini jarang digunakan lagi; mungkin karena
tinggalan zaman Belandaberapa waktu yang lalu
(Situgintung-red). Barangkali ada baiknya peristiwa
jebolnya bendungan Cipanas disinggung juga di sini.
Karena kehadiran bendungan itu maka lalulintas dari
Cianjur menuju Puncak diperpendek. Kenyataannya,
di belakang bendungan itu tertampung air entah
berapa ribu atau bahkan puluh ribu meter kubik.
Jika tidak salah ingat, peristiwa itu terjadi di musim
penghujan, November 1932, dan laporannya ada
dalam Arsip Geologi.
Sebelum mengakhiri bagian ini ada gunanya
informasi bahwa pernah dibentuk Dewan Air
Indonesia, dan diresmikan awal 1970-an. Dewan yang
beranggotakan tiga orang itu terdiri dari Ir. Srimurni
Dulhomid (alm), Prof. Sugandar Somawiganda, dan
saya sendiri. Pelantikan dilakukan Prof. Sarwono
Prawirohardjo, Ketua LIPI, tetapi sejak dilantik belum
pernah berapat.
Kita kembali sejenak ke kisah pengumpulan data
dasar untuk DKI. Tim sempat mengumpulkan data
Pantai Calincing di timur Tanjung Priok. Hal yang
menarik, dengan informasi yang tersedia, kami dapat
menyimpulkan bahwa garis pantai mundur, proses
yang ada hubungannya dengan selesainya proyek
Waduk Jatiluhur. Bahan endapan yang terangkut
dari daerah hulu dan selama sejarah mengendap
di muara, tiba-tiba berhenti. Kami tidak menelusuri
proses itu lebih lanjut, karena itu di luar tugas kami.
Kami hanya sampai pada simpulan bahwa bagian
terbesar bahan endapan itu terbawa Ci Tarum, dan
semula berhenti di hulu bendungan.
Hal yang Ada Sekarang dan Gagasan
Di atas disinggung gagasan membangun
terowongan serbaguna, gagasan yang bagus.
Anggap saja pengarah bagi pemikiran selanjutnya
menghadapi masa depan. Sebenarya, ada hal yang
pernah membuat saya berpikir-pikir keras. Itu tak
lain gara-gara tidak terduga-duga muncul di depan
saya seorang mantan mahasiswa di ITB. Ia berniat
menggandeng saya dalam tugas berhadapan dengan
yang ia rasakan berat, yaitu mengelola tempat
pembuangan sampah akhir (TPA) limbah BBB, bahan
beracun dan berbahaya. Gawainya sudah ada dan
mulai digunakan! Jadi, fait accompli.

33

Selama berhari-hari saya benar-benar seperti


dihantui. Karena barangnya sudah berfungsi, lalu
apa yang harus saya lakukan dan bagaimana caranya?
Apa yang tersedia adalah pernalaran yang didasarkan
pada keahlian yang saya miliki. Tempat BBB di
daerah berpenduduk. TPA itu memang agak jauh
dari permukiman, tetapi di dekatnya ada alur kecil
yang ujungnya masuk ke sungai induk. Saya hanya
mengandalkan profesionalisme, sebagai seorang
anggota Association of Engineering Geologists yang
berpusat di Amerika Serikat sejak bertahun-tahun.
Apa yang selalu saya ingat tertera dalam Code of Ethics
asosiasi itu dan berbunyi, di antaranya, sbb: It shall
be considered unprofessional to make any statement
that is not based on sound knowledge. Maka itu,
setelah saya pelajari semua yang dihadapkan kepada
saya, saya membuat laporan. Bahan isinya didasarkan
pada ilmu yang saya miliki, sesuai dengan asas itu.
Hal yang juga jadi pedoman pasal yang berbunyi to
the best of my ability and to the best of my believe,
sejauh kemampuan dan sejauh keyakinan saya.
Semua pihak juga tahu, pemantauan terusmenerus harus dilakuan. Pokok perhatian tertuju
kepada curah hujan, karena itu yang jadi sarana
pengangkutan semua barang yang dapat larut.
Titik pemantauan juga di dekat alur kecil tadi. Sukat
hujan tersedia. Yang kedua, memantau limpasan dari
TPA BBB, yang setiap saat dapat memberi isyarat,
kalau-kalau ada sesuatu kelainan yang mengarah ke
sesuatu yang memerlukan tindakan cepat. Sampai
di sini tamatlah babak kisah keterlibatan saya dalam
urusan TPA BBB tersebut.
Kini yang muncul sesuatu yang besar.
Meskipun kali ini saya bukan pribadi dihadapkan
pada soalan yang sebenarnya, saya berpendirian
jangan menggunakan setiap kesempatan sebagai
alasan untuk mendapatkan proyek. Seperti kita lihat,
banyak tindakan berujung jadi beban piutang bangsa.
Sebagai bangsa yang sudah 68 tahun merdeka,
modal berupa alaman sudah sangat mencukupi.
Untuk menghadapi masa depan kita, siasat kita harus
mengandalkan daya cipta sendiri,
Perhatian Pemerintah DKI Jakarta tertuju pada
cara mengatasi banjir. Pangkal banjir adalah curahan
air dari langit. Saya kaget ketika tahu bahwa sejak
tahun 2011 angka curah hujan Indonesia tidak lagi
tersedia secara lengkap.
Badan Meteorologi dan Geofisika masih ada,
tetapi beban tugas bertambah dan namanya lebih
panjang, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG). Ada saat saya banyak berhubungan
dengan kelembagaan yang dulu kantornya di Jalan
Gereja Inggris ini, kini di daerah Kemayoran, bekas
lapangan terbang. Saya sekali berkunjung ke sana.
Kini yang yang dapat saya lakukan hanyalah sebatas

34

GEOMAGZ

Desember 2013

menyambangi kantor BMKG di Jalan Cemara,


Bandung, yaitu pada pada 1 Oktober 2013.
Saya mendengar bahwa di daerah Bandung
dan sekitarnya hanya ada tiga sukat hujan, yaitu di
lapangan terbang Husen Sastranagara, di halaman
kantor BMKG, dan di Lembang. Tidak sempat cermati
sukat dewasa ini, tetapi dari jarak yang tidak terlalu
dekat saya melihat kemiripan dengan yang lama,
kecuali berubah sedikit.
Saya mengerti jika tindakan BMKG hanya
mengelola tiga sukat didasarkan pada lingkup
tugas, dan pertimbangan kemanfaatan dalam
hubungan kerja. Karena BMKG ditempatkan dalam
lingkungan Kementerian Perhubungan, tempat sukat
juga disesuaikan dengan lingkungan kewenangan.
Di Kantor BMKG selain sukat hujan juga terdapat
perlengkapan lain yang diperlukan. Sukat yang di
Lembang saya kira berada di halaman Teropong
Bintang, karena di ITB, dulu, bidang meteorologi
dan geofisika di bawah satu atap dengan astronomi.
Semua itu tindakan yang masuk akal.
Kita tahu, data curah hujan diperoleh dari
pengamatan titik, Inggrisnya point observation.
Jika data untuk Bandung Raya yang ada hanya dari
tiga titik, tentu saja hal itu tidak akan mencukupi.
Jumlah sebesar itu, jelas tidak mungkin menghasilkan
gambaran yang kita ingin tahu. Juga untuk daerah
Jabotabek, saya kira tidak lebih baik, meskipun Ibu
kota Negara.
Setiap kali ada berita banjir di Jakarta tidak
ketinggalan disebut angka dari Katulampa. Saya kira
banyak orang yang tidak dapat membayangkan apa
yang dimaksudkan dengan itu. Kita perlu tahu duduk
perkaranya. Untuk itu kita perlu menyimak sejarah.
Bendung dan pintu air di Katulampa berdiri di
waktu Belanda mulai membangun tata-kelola (sistem
pengelolaan) untuk membuat Batavia layak huni.
Dalam kaitan ini bangunan air yang paling awal
berdiri adalah bendung dan pintu air. Bendung adalah
penghalang aliran Ci Liwung, sungai terpenting
yang menguasai ibu kota. Dengan itu sebagian
liran Ci Liwung disadap, airnya diperuntukkan untuk
mengelola tata air ibu kota, dengan saluran yang
digali sepanjang tepi kiri jalan besar BuitenzorgBatavia (sekarang Bogor-Jakarta). Air mengalir
menuju pintu air di Manggarai dekat Jatinegara.
Berapa banyak air yang terlibat dalam penataan
ini perlu diketahui. Untuk itu, di semua titik penting
perlu ada gawai guna mendapatkan angka. Jadi
di Katulampa dan Manggarai terdapat gawai itu,
selain sukat hujan (penakar hujan, rain gauge)
untuk mengukur curahan hujan. Selain itu, ada
papan duga, juga di Manggarai. Bentuknya papan

Ciliwung hulu.
Foto: Oki Oktariadi.

bersenggat, bergaris-garis dengan jarak antargaris 1


cm, dan garis tebal desimeter. Itulah garis penunjuk
ketinggian muka-air sungai, atau dalam hal bendung
Manggarai, saluran air yang berasal dari pintu air
Katulampa. Meskipun bukan sungai alam, saluran dari
Katulampa di sepanjang jalan menuju ke Manggarai,
memperoleh banyak air dari daerah kanan-kirinya,
apalagi setelah semua terbangun. Jadi, dapat kiranya
kita bayangkan betapa besar jumlah air asal-limpasan
yang kini melewati ambang di Manggarai.
Di atas disinggung tujuan sistem pengelolaan air
permukaan yang bertujuan membuat Batavia jadi
layak huni. Dulu, nama Bovenstad (Kota-Atas) dengan
Weltevreden (artinya, sangat puas), Benedenstad
(Kota-Bawah) dan sekitarnya penuh dengan nama
Belanda. Belanda merencanakan semua, karena
sudah berabad-abad bergumul dengan air, dan
sebagian negerinya di bawah paras atau muka laut.
Negeri itu, selain bernama Holland (Negeri Cekung),
juga Nederland (Negera Bawah).
Cikal-bakal tata kelola air itu muncul ketika
Belanda di tahap dini bersiap-siap menciptakan
sistem bagi seluruh daerah, termasuk ibu kota, yang
ketika itu bernama Batavia. Sebagai acuan pangkal,
didirikan Priok peil. (Perhatikan, itu ucapan Belanda,
yang jika Melayu tentu periuk). Itu tanda atau
markah untuk menentukan muka-air laut (atau paras
laut) rerata. Itu pula titik awal atau pangkal semua
ukur-mengukur, dan dari sana pula tindak selanjutnya
menyebar ke seluruh pelosok untuk membangun
yang disebut jejaring trianggulasi. Semua titik yang
menonjol dimanfaatkan, seperti puncak gunung.
Tidak hanya puncak gunung yang berguna dalam
pembangunan jejaring itu. Ada titik berperingkat
tertinggi, titik P, singkatan Primair (pratama) yang
ditempatkan sebagai triangulasi bukan di puncak
gunung, melainkan di suatu lingkungan yang tiada

tonjolan, tepatnya di pinggir jalan raya. Di Bogor,


ada jalan raya menjulur lurus dari Istana Bogor
lebih-kurang ke arah barat kemudian membelok ke
utara, lurus menuju ke jembatan Satuduit. Di dekat
jalan yang membelok itu dulu berdiri tugu P. Tentu
saja ada alasan, mengapa tugu atau pilar P ada di
sana. Tak lain, alasan banglas, karena dari sana
orang dapat memandang dengan tiada halangan ke
sejumlah titik lain yang bertugu tingkat-tinggi. Entah
apa alasannya, di awal 1950-an, saat kita sudah
merdeka, tugu itu lenyap dan sebagai penggantinya
muncul air mancur, tanpa potongan alias jelek.
Itulah contoh, bahwa kita tak hirau sejarah, tidak
paham yang disebut tugu trianggulasi. Meskipun ada
GPS unduhan dari Internet, fakta lapangan (ground
truth) tetap berguna. Kini air mancur itu juga sudah
disingkirkan.
Ada hubungan antara pilar trianggulasi peringkat
tertinggi di Kota Bogor yang mudah dijangkau
itu dengan pengukuran topografi. Dalam proses
selanjutnya, dipastikan penempatan bendung
Ciliwung dan pintu air Katulampa berdasarkan
bantuan titik P itu. Tapak bendung Katulampa adalah
terbaik. Saya belum merunut sejarah, tetapi yang
sudah pasti pilar P di depan Istana Bogor sudah
lenyap.
Bendung berguna untuk menyadap sejumlah
air sungai. Sudah pasti di sana juga ditempatkan
sebuah sukat. Pihak yang berkewajiban mengelola
termasuk memantauketinggian air di bendung
maupun sukat hujan adalah pihak irigasi. Dalam
perkembangan zaman, kita mengenal Pengairan,
karena mengairi dalam bahasa Indonesia dan irigere
dalam bahasa Latin maksudnya sama.
Seperti lazimnya kini, setiap berita yang disebarkan
oleh berbagai media, mulai dari radio, koran, TV
hingga Internet, jika ada banjir di Jakarta, yang

35

kita sebagai bangsa mampu mengatasi setiap masalah


yang kita hadapi, seperti juga dapat disaksikan akhirakhir ini. Sebagai dedasarnya saya sebut ekapraya,
dan itu tak lain adalah apa yang dengan bungkus
asing dewasa ini sudah didengung-dengungkan,
synenergy, yang tidak semua orang memahami
apalagi menghayati.

Kebun teh, Puncak. Foto: Oki Oktariadi.

kemudian berdengung di telinga adalah ketinggian


air di bendung Katulampa. Kadang-kadang ada
tambahan, tentang kiriman air dari Bogor. Akhirakhir ini juga disebut-sebut perkara rob, istilah yang
berasal dari Semarang untuk pasang naik, terutama
saat bulan purnama. Tetapi biasanya tanpa disertai
angka besaran, karena orang tidak memilikinya.
Berekapraya Merekacipta Jakarta Bebas Banjir
Di atas diuraikan peran data dasar dan tindakan
Belanda sejak awal. Sejak kita merdeka, kita seakanakan tak hirau akan hal itu. Kita cenderung menyikapi
semua yang kita hadapi sebagai hal wajar, seperti
kita temukan dalan ungkapan Belanda op zijn
achterpoten terecht komen, jatuh di kaki belakang.
Itu kiasan yang kita temukan jika kucing jatuh dari
ketinggian berapa pun, jatuhnya pasti dengan kaki
belakang. Dengan kata lain, Toh semua beres.
Pada tahun 1960-an badan yang bernama
Kopro Banjir masih sering terdengar. Pada hemat
saya, itu pertanda bahwa sejarah tata kelola air Ibu
kota terputus dalam segala seginya. Pemutusnya
adalah Masa Pembangunan ketika semua diserahkan
kepada konsultan (asing), dengan pembiayaan yang
sumbernya juga dari luar. Semua berkembang terus,
dan sejarah terlalu rumit untuk dirunut.
Untuk menghadapi masa yang ada di depan, kita
harus pandai-pandai menelusuri benang yang harus
jadi harapan. Tidak mungkin soalan itu diserahkan
kepada orang-seorang atau sebarang pihak. Kita
harus segera bertindak. Siapa yang harus mulai
tidak terlalu jadi masalah. Pada hemat saya, yang
terpenting sebagai ancangan adalah menemukan
usulan kongkret. Anggap saja, tulisan ini sebagai
salah satunya. Semenjak apa yang saya uraikan di
atas, sumber daya manusia sudah berlipat ganda,
dan ilmu serta teknologi sifatnya sudah mendunia.
Sebelum menginjak ke bagian yang pokok, hemat
saya yang dapat digunakan adalah keyakinan bahwa

36

GEOMAGZ

Desember 2013

Apa sebenarnya ekapraya atau synenergy itu?


Pelaksanaan mewujudkan Jakarta bebas banjir tidak
mungkin tiba-tiba. Sebaiknya hal itu dilakukan lewat
tiga atau empat tahapan. Berturut-turut tahap
ancangan, kemudian disusul tahap pemantapan,
dan yang terakhir tahap pelaksanaan kerja. Ini tentu
hanya usulan, karena gambaran permasalahan
sudah mantap, yaitu membangun sistem, bukan
kelembagaan baru dengan anggaran sendiri.
Itu sebabnya tahap keempat tidak harus berdiri
sendiri, karena sejak tahap tiga, sistem merekaciptalah yang bekerja. Dengan kata lain, setelah tahap
pemantapan berakhir peralihan mulus ke pelaksanaan
kerja merekayasa semua pesusun (komponen),
masing-masing dalam kerangka kewenangan.
Hal yang sangat penting dan segera harus dimulai
adalah membangun hubungan kerja antarpihak yang
ada dan semuanya memiliki kepentingan. Pihak
yang paling berkepentingan adalah Pemerintahan
DKI. Sumber banjir ialah air dari langit, dan curahan
diperoleh terutama dari hulu Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciliwung yang termasuk Provinsi Jawa Barat
(Jabar), sehinga Pemda Jabar terlibat.
Hal yang tidak boleh dilewatkan adalah letak Kota
Bogor yang sangat khas, dari dua sudut pandang,
rupabumi dan iklim. Dari segi rupabumi, kota itu
terletak di legih (pemisah air) dua sungai besar, Ci
Liwung dan Ci Sadane. DAS dua sungai itu perlu
mendapat perhatian khusus, tersebab ada di tiga
provinsi, DKI, Jawa Barat dan Banten yang dilaluinya.
Jadi, kalau dilihat dari segi kepamongprajaan ada tiga
pemerintahan daerah yang terlibat, yaitu DKI, Jawa
Barat, dan Banten.
Dari segi iklim, Bogor adalah kota basah, dan
itu karena hujan jatuh sepanjang tahun. Meskipun
sekarang iklim berubah, letak kota tetap, tetapi
luasnya berubah karena membesar. Hujan tercurah
sepanjang tahun karena angin yang membawanya
tetap terpaksa naik gunung.
Dari segi sejarah, juru kunci air adalah
kelembagaan yang kini bernama Badan Meteorologi,
Klimatologi
dan
Geofisika
(BMKG).
Upaya
menemukan anjungan keserempakan gerak dan
langkah, kesepakatan dasar air dari sudut nasional
tidak hanya urusan Kementerian Perhubungan,
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, organisasi
payung BMKG. Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat (yang juga mengurusi lalulintas di sungai) tidak


terlepas dari soal curahan hujan.
Beberapa ruas jalan, baik jalan raya, jalan tol,
dan jalan keretapi, yang rentan gerakan tanah.
Sebagai seorang yang pernah bertahun-tahun
bertugas menangani ihwal gerakan-tanah, saya tahu
ruas jalan keretaapi yang rentan terdapat di antara
Bogor-Sukabumi, antara Sukabumi-Lampegan, dan
dekat Ciganea. Sejak beberapa tahun yang lalu,
jalan tol Jakarta-Bandung jadi pilihan karena jarak
diperpendek dan jalan itu bebas-hambatan. Di ruas
Purbaleunyi, khusus di sekitar km 90-92, diketahui
tanahnya selalu bergerak. Pangkal penyebabnya
adalah air dalam tanah yang jadi pemicu gerakan bila
kadarnya meningkat, yaitu di kala ada hujan.
Direktorat Jenderal Pengairan, termasuk Pusair
atau Pusat Penelitian dan Pengembangan Air adalah
pihak yang sangat berkepentingan seperti tersurat
pada namanya. Bahasan mengenai perkara banjir
Jakarta sudah terwakili sejarah bendung dan pintu-air
Katulampa di atas, yang semua dalam kewenangan
instansi urusan pengairan ini.
Pihak yang secara organisasi juga sangat banyak
berhubungan dengan air adalah Badan Geologi
sebagai bagian dari Kementerian ESDM. Kepentingan
timbal-balik terdapat di antara Pemerintah DKI
dan badan atau instansi yang kini bernama Badan
Geologi. Dalam hubungan ini apa yang perlu
ditampilkan adalah yang berikut. Dulu setiap bordalam ada arsipnya di Badan Geologi. Itu sebabnya
Tim Data Dasar disebut di atas dapat membuat
gambaran trimatra cekungan artois Jakarta. Berbagai
gejala seperti menurunnya tanah, cemaran lapisan
pembawa air tersebab penyelesaian sumur bor yang
tidak sempurna, dsb., masih diikuti oleh Badan
Geologi, entah selanjutnya.
Tidak
hanya
Jakarta
yang
mengalami
perkembangan sangat cepat, juga semua bidang
kegiatan yang lain. Sekadar ilustrasi tambahan,
catatan pribadi, dipungut secara sambil-lalu,
mengenai Kompleks Perumahan Bintaro Jaya.
Itu contoh kompleks yang muncul sejak dua
dasawarsa yang lalu. Perumahan yang dibangun
oleh pengembang swasta di batas barat DKI itu, kini
menyatu dengan Bumi Serpong Damai. Persediaan
air Bintaro Jaya mengandalkan sumur-bor. Rupanya
ada upaya memantau perkembangan penyadapan
air tanah lewat sumur-pantau. Apakah ada instansi
yang mengikutinya? Itu hanya satu segi kecil dalam
tata kelola air di masa mendatang. Pada masa kini,
perkara air tanah adalah urusan Badan Geologi dan
itu bermuara dalam bentuk peta hidrogeologi.

bekerja. Dalam pengawasan gunung api berbahaya,


kepetingan itu tampak jelas karena berkaitan besar
serta lamanya curahan hujan dengan aliran lahar.
Dari segi-pandang luas, tali-hubungan Badan
Geologi dan BMKG memang perlu dibina. Di zaman
penjajahan, dalam lingkungan Badan Geologi,
keterdapatan sukat hujan dimulai di kantor-pusatnya
di Bandung, berlanjut ke semua pos pengawasan
gunung api di seluruh negeri. Ketika itu, di Gunung
Merapi, Jawa Tengah, terdapat empat pos, masingmasing dengan sukat hujan. Instansi yang juga
mengurus sukat hujan adalah Pengairan dan
Camat. Komunikasi berlangsung lewat telepon
ontel dan pergerakan laharjika mengancam
setiap saat diberitahukan kepada pihak berwenang.
Perkara gerakan tanah sudah disinggung. Dalam
menghadapi gerakan tanah, ketika itu andalan
didasarkan pada angka curahan, karena iklim
masih normal. Jawa Barat musim hujan memiliki
dua puncak, November dan Maret, dan yang kami
lakukan hanya menunggu telepon di saat gawat.
Dalam upaya berekapraya ini Kementerian
Negara Lingkungan Hidup perlu ikut serta, meskipun
perkara sukat hujan masih perlu dipastikan. Hal
ini disebabkan karena sifat kementerian ini yang
berbeda dengan yang lain yang bersifat keteknikan.
Air itulah pokok yang jadi pangkal kerja yang datanya
digamak (diperoleh angkanya, di-assess) dengan
sukat, dinasab dengan angka dari papan duga. Di
waktu mendatang, semua sukat dari jenis swarekan,
dan dengan bantuan pengindera (sensor) semua
terhubung dengan papan-pantau. Ihwal papan
pantau perlu diagendakan, karena kehadirannya
selain di operation room DKI, bisa saja ada yang
memerlukan. Inilah inti sistem ekapraya yang
dimaksud, yang tujuan akhirnya kelak merupakan
bagian dari Sistem Gawar Dini Banjir DKI (Megapolitan
Jakarta Early Flood-Warning System).
Lingkup kegiatan berekapraya cukup luas,
terutama pada tahap awal. Saya pikir upaya
berekapraya juga memiliki segi yang bisa
dimanfaatkan untuk keperluan mendidik para calon
ahli, S2 dan S3. Jadi, hal yang juga perlu jalinan
dengan perguruan tinggi.
Penulis adalah Geologiwan senior

Tugas Badan Geologi juga mengurus penjagaan


gunung api. Di pedalaman DKI hanya ada sebuah yang

37

Air Tanah

dan Pembangunan Bawah Tanah

Jakarta

Oleh: Haryadi Tirtomihardjo

Guna memenuhi kebutuhan akan air domestik,


Jakarta belum dapat sepenuhnya mengandalkan
fasilitas pengolahan air bersih yang bersumber dari
air permukaan. Sebagai contoh, pada pertengahan
1990 produksi pengolahan air tercatat sebesar 347
juta m3 per tahun yang diperkirakan hanya mampu
melayani 25-30% dari total kebutuhan domestik dan
45% dari jumlah kebutuhan industri dan kegiatan
komersial lainnya. Oleh sebab itu kebutuhan akan
air tanah menjadi besar (Maathuis, d.r.r., 2000).
Pemenuhan kebutuhan akan air tanah untuk industri
dan komersial diperoleh dari sumur bor dalam (deep
wells).
Sejak awal kelahirannya, Jakarta telah menjadikan
air tanah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air

akarta, ibu kota Republik Indonesia, terus


berkembang dengan sangat pesat sehingga
kini akan membangun infrastruktur di bawah
tanah. Sejak awal berdirinya, air tanah
merupakan sumber air yang penting untuk ibu kota
ini. Jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan
telah menyebabkan tekanan pada air tanah
Jakarta. Penggunaan air tanah dari dasawarsa ke
dasawarsa yang terus meningkat hingga saat ini
telah menimbulkan beberapa dampak penting, baik
kuantitas maupun kualitas, yang perlu segera diatasi.
Konservasi air tanah telah dilakukan dan perlu terus
dilakukan untuk mengatasi dampak tersebut.
Jakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
dan industri di Indonesia pun kini dituntut untuk
mampu menata ruang di bawah tanahnya. Dalam
kaitan ini, upaya konservasi air tanah Jakarta perlu
menjadi perhatian, karena pembangunan di bawah
tanah Jakarta jangan sampai berbenturan dengan
upaya konservasi air tanah tersebut. Untuk itu, bukan
saja kondisi batuan di bawah tanah Jakarta yang
terlebih dahulu harus diketahui, melainkan juga
keadaan air tanahnya. Informasi terkini tentang air
tanah dan kendala yang mungkin ditimbulkannya
dalam pembangunan bawah tanah Jakarta mutlak
diperlukan dan dipahami terlebih dahulu oleh semua
pihak yang terkait pembangunan tersebut.
Penduduk, Kebutuhan akan Air dan Peran Air
Tanah
Penduduk Jakarta terus tumbuh dengan pesat.
Jakarta pada 1950 dihuni sekitar 1,5 juta jiwa yang
meningkat lebih dari tujuh kalinya pada 2010 menjadi
11,5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar
14.469 jiwa per km2. Pertumbuhan penduduk pada
periode 2000-2010 sekitar 1,4% per tahun yang
diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun
berikutnya.
Jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan
yang terus meningkat, kebutuhan akan air untuk
Jakarta, baik untuk penduduk sehari-hari (kebutuhan

38

GEOMAGZ

Desember 2013

air tanah dangkal (shallow aquifer syetem) telah lebih


dulu dimanfaatkan untuk sumber air baku penduduk,
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sejak saat
itu, air tanah dalam jadi sumber air baku untuk air
minum di beberapa kota di Jawa. Pada masa itu
pemerintah kolonial Belanda pun memandang perlu
melakukan pengelolaan air tanah dan memasukkan
topik air tanah dalam serangkaian peraturan tentang
air di Jawa dan Madura.
Kini, pertumbuhan penduduk dan ekonomi
yang terus meningkat berimbas pada pemanfaatan
air tanahnya yang diperkirakan mencapai 80%,
sedangkan industri memiliki ketergantungan terhadap
air tanah hingga 90% dari seluruh total kebutuhan
air. Akibatnya, di Jakarta terjadi penurunan kuantitas,
kualitas, dan lingkungan air tanah seperti debit air
tanah yang menurun secara drastis, pencemaran
air tanah, dan amblesan tanah. Keadaan ini dan
pengaruhnya terhadap bangunan bawah tanah perlu
diketahui secara lebih terinci dan dilibatkan dalam
pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan ruang
bawah tanah Jakarta.
Cekungan Air Tanah dan Sistem Akuifer
Jakarta secara umum beriklim tropis. Musim
kemarau berlangsung pada Juni, Juli, Agustus, dan
September; dan musim penghujan berlangsung pada
Januari, Februari, Maret, dan Desember. Menurut
FAO (2004), curah hujan bulanan rata-rata di wilayah
ini sekitar 150 mm/bulan; curah hujan paling tinggi,
300 mm/bulan, terjadi pada Januari dan Februari; dan
curah hujan terendah, yakni 43 mm/bulan, terjadi
pada Augustus. Temperatur udara harian maksimum
antara 28,8 oC dan 32,4 oC, dan minimum antara
22,8 oC dan 24,0 oC, sedangkan rata-ratanya antara
26,2 oC dan 27,0 oC.

Peta geologi wilayah Jakarta.

domestik) maupun untuk industri sangat besar.


Dengan mengambil standar keperluan air WHO
untuk perkotaan, 150 liter/orang/hari, Jakarta
pada 2010 (jumlah penduduk 9.607.800 jiwa)
memerlukan 1,441 miliar liter/hari atau 1,441 juta
meter kubik (m3)/hari atau 526 juta m3/tahun. Pada
2012, kebutuhan air domestik itu naik menjadi 1,490
juta m3/hari atau 544 juta m3 per tahun. Angkaangka tersebut belum memperhitungkan kebutuhan
air untuk industri dan kegiatan komersial lainnya
sehari-hari di Jakarta. Jumlah kebutuhan akan air ini
akan terus meningkat di masa mendatang.

Peta Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta tanpa skala, berbatasan dengan
CAT Karawang-Bekasi di sebelah timur, CAT Bogor di selatan, dan CAT
Serang-Tanggerang di barat, dengan garis warna biru menunjukkan batas
CAT, mengandung informasi tentang potensi atau produktivitas air tanah
yang ditunjukkan oleh warna peta, yaitu: produktivitas/potensi sangat
tinggi-tinggi, warna biru tua-biru; sedang-rendah (hijau-hijau muda),
sangat rendah daerah langka air tanah (kuning coklat).

penduduknya. Air dari sumur bor yang dibangun


pada 1848 di Benteng Fort Prins Hendrik Batavia,
daerah sekitar Masjid Istiqlal Jakarta kini, selain
sumber air bagi kebutuhan Jakarta juga merupakan
awal pemanfaatan air tanah pada sistem akuifer
dalam (deep aquifer system) di Indonesia. Ada pun

Menurut BMG tahun 2005, kini BMKG, distribusi


curah hujan (CH) tahunan rata-rata tertinggi, lebih
dari 3.000 mm/tahun, dijumpai di bagian selatan
cekungan, yaitu di sekitar daerah Depok, yang
berkurang secara bertahap ke arah utara. Masih
menurut sumber yang sama, CH paling rendah,
kurang dari 1.500 mm/tahun, terjadi di daerah
dataran pantai wilayah Tangerang, dan CH tahunan
rata-rata berkisar antara 1.500 - 2.000 mm. Inilah
segi hidrometeorologi atau sumber air yang berasal
dari atmosfer atau air meteorik termasuk air hujan
yang mempengaruhi keberadaan air tanah di wilayah
Jakarta.
Air meteorik yang jatuh di wilayah Jakarta
dalam perjalanannya menjadi air tanah-bidang yang
menjadi kajian hidrogeologi-sangat dipengaruhi oleh
bentang alam, tutupan lahan, dan kondisi batuan
di bawahnya. Bentang alam Jakarta dibagi menjadi
tiga satuan, yaitu Satuan Dataran Aluvial Pantai di
utara, Satuan Kipas Volkanik Bogor di selatan, dan

39

yang keluar dari akuifer tertekan ini,


baik menyembur (flowing) ataupun
tidak, sering disebut air artesis (artois).
Kadang-kadang
digunakan
istilah
akuifer semi tertekan untuk akuifer
yang dibatasi oleh lapisan akuitar
kurang sempurna atau akuitar yang
masih mampu mengalirkan air.
Parameter akuifer lainnnya yang
penting adalah konduktivitas dan
transmisivitas.
Konduktivitas
(k),
Penampang CAT Jakarta dari Selatan ke Utara memperlihatkan empat kelompok akuifer I
sering disebut koefisien permeabilitas
(tidak tertekan), II, III, dan IV (tertekan atasm tengah, dan bawah), akuitar (lapisan berwarna
hijau) dan ilustrasi sumur bor pada beberapa lokasi terpilih berikut kedalamannya, batuan
atau permeabilitas batuan adalah
dasar/alas, daerah imbuhan dan daerah lepasan.
kemampuan batuan dalam meloloskan
air dinyatakan dalam satuan panjang per
Satuan Volkanik Muda di selatan dari barat ke timur.
waktu (misal: m/detik). Konduktivitas
Sedangkan tutupan lahan di daerah Jakarta sendiri tersusun oleh dua jenis, yaitu konduktivitas vertikal
pada saat ini didominasi oleh sumber daya buatan dan konduktivitas horizontal. Transmisivitas (T)
seperti bangunan rumah dan perkantoran. Adapun adalah kemampuan akuifer dalam mengalirkan air,
batuan di wilayah Jakarta disusun oleh endapan dinyatakan dalam satuan kuadrat panjang per waktu
Kuarter, berumur kl. 2 juta juta tahun yang lalu (tyl) (misal: m2/detik). Secara sederhana, transmisivitas
hingga kini, berupa endapan rawa, sungai, dan diperoleh dari perkalian antara konduktivitas dengan
pematang pantai, serta kipas volkanik. Di beberapa ketebalan akuifer.

Jumlah Sumur Produksi dan Pengambilan Air Tanah Jakarta 2012

Jakarta Pusat

Jakarta Timur

Sistem Akuifer dan Transmisivitasnya (Soefner, 1985 dalam Haryadi, d.r.r., 2012).
Sistem akuifer

Qabs
[m3/hari]

Cempaka Putih

10

175,40

Gambir

27

984,54

Kemayoran

15

1.184,52

Menteng

35

1.061,56

Sawah Besar

30

1.031,14

Senen

24

1.258,45

Tanah Abang

51

1.712,50

Subtotal-1

192

7.408,12

Cakung

144

9.346,21

Kecamatan

Cipayung

26

2.969,22

Ciracas

145

13.218,73

Durensawit

23

1.854,95

Jatinegara

28

2.447,35

Kramatjati

34

1.760,38

Makasar

35

3.537,49

Matraman

21

1.090,42

Pasar Rebo

58

2.778,04

Subtotal -2

514

39.002,78

Cilincing

54

5.308,45

Kelapa Gading

39

4.337,13

Koja

398,59

Pademangan

59

6.187,70

Qabs
[juta m3/tahun]

2,70

14,24

Kedalaman [m bmt]

Transmisivitas [m2/hari]

0 - 40

120

Sistem akuifer tertekan atas

40 - 140

74.4

Penjaringan

145

14.406,14

Sistem akuifer tertekan tengah

140 - 200

43.2

Tanjung Priok

79

11.006,12

Sistem akuifer tertekan bawah

200 - 250

45.6

Subtotal-3

383

41.644,13

Kebayoran Baru

29

940,92

Cilandak

38

1.230,44

Pasar Minggu

50

1.592,33

Mampang Prapatan

18

579,03

Setiabudi

20

651,41

Pasanggrahan

45

1.447,57

Kebayoran Lama

50

1.592,33

Tebet

25

796,17

Pancoran

16

506,65

Jagakarsa

54

1.737,09

Subtotal-4

346

11.073,94

Cengkareng

109

6.255,89

Grogol

73

4.082,71

Kalideres

80

4.926,15

Kebonjeruk

58

2.794,14

Kembangan

32

2.320,23

Palmerah

61

2.888,08

Tamansari

35

2.296,55

Tambora

89,81

452

25.653,55

9,36

1.887

124.782,52

45,55

Sistem akuifer tidak tertekan

tempat, terutama di bagian barat dan selatan,


ditemukan batuan berumur Kuarter Bawah (kl. 2 juta
tyl) hingga Tersier (lebih tua dari 2 juta tyl).
Secara hidrogeologi, pembentukan air tanah
terjadi dalam suatu sistem yang disebut cekungan
air tanah (CAT), demikian pula di Jakarta. CAT Jakarta
terdiri atas beberapa sistem akuifer dan akuitar yang
masing-masing memiliki kedalaman, ketebalan dan
transmisivitas tertentu bergantung batuan penyusun,
posisi, geometri, dan hubungan di antaranya. Akuifer
(Inggris: aquifer) merupakan lapisan batuan yang
mampu menyimpan dan mengalirkan air tanah
dalam jumlah ekonomis, sedangkan akuitar (aquitard)
sebaliknya, yaitu lapisan batuan yang tidak mampu
atau kurang mampu menyimpan dan mengalirkan air
tanah secara ekonomis. Secara umum akuifer dibagi
menjadi akuifer tertekan yang umumnya berada
lebih dalam, yaitu akuifer yang dibatasi oleh akuitar
yang sempurna di bagian atas dan bawahnya, dan
akuifer tak tertekan yang biasanya dijumpai lebih
dangkal, yaitu akuifer yang bagian atasnya tidak
dibatasi oleh akuitar. Di masyarakat umum, air tanah

40

Jumlah sumur

Kota

GEOMAGZ

Desember 2013

Dalam sistem hidrogeologi Jakarta, akuitar


yang dibentuk oleh endapan Holosen (kl. 11.000
tyl - sekarang) dan aquifer yang dibentuk oleh
batuan kipas volkanik berumur Pleistosen Atas (kl.
2 juta 11.000 tyl) merupakan satuan yang dapat
diidentifikasi dengan mudah. Secara umum, sangatlah
sulit atau bahkan tidak mungkin mengidentifikasi
setiap unit akuifer dan akuitar yang dijumpai dalam
urutan (sekuen) endapan laut dan non laut berumur
Kuarter. Akibatnya, sekuen tersebut sulit dibedakan,
dan merupakan sistem akuifer-akuitard yang sangat
kompleks. Untuk alasan praktis, dalam pembagian
sistem akuifer yang dibentuk oleh endapan Kuarter,
mengacu kepada Soekardi (1987), digunakan acuan
kedalaman berikut: 0-40 meter di bawah muka tanah
setempat (m bmt), 40-140 m bmt, 140-200 m bmt,
dan 200-250 m mt sebagai pembatas.
Alas sistem akuifer-akuitar ini dibentuk oleh
endapan Miosene (kl. 23 juta s.d 5 juta tyl) yang
tersingkap di sekitar batas selatan cekungan. Endapan
cekungan tersebut terdiri atas endapan Kuarter yang
memiliki ketebalan mencapai sekitar 300 m. Ketebalan

Jakarta Utara

Jakarta Selatan

Jakarta Barat

Subtotal-5
TOTAL

15,20

4,04

41

Volume pengambilan air tanah dan jumlah sumur produksi di Jakarta 1879-2004.

setiap lapisan akuifer yang terutama disusun oleh


lapisan pasir halus dengan sisipan sekuen lanauan
dan lempungan berkisar antara 1,0-5,0 m, secara
total hanya sekitar 20% dari keseluruhan sekuen.
Transmisivitas keseluruhan endapan Kuarter
setebal 250 m diperkirakan berkurang ke arah utara

dari sekitar 500 m2/hari di sekitar


bagian tengah sampai 250 m2/
hari di dekat pantai. Konduktivitas
horizontal (kh) rata-rata sekitar 1,3
m/hari dengan kisaran 0,4-2,1 m/
hari. Konduktivitas vertikal (kv)
rata-rata sekitar 210-4 m/hari.
Faktor an-isotropy (kh/kv) adalah
sekitar 5.000 untuk sebagian besar
daerah sekitar pantai, sedangkan
kh/kv sekitar 500 atau 100 dimiliki
oleh sistem akuifer paling atas atau
di sekitar batas bagian selatan CAT
Jakarta.

Penggunaan Air Tanah


Menurut Schmidt dan Haryadi (1985), pada 1918
ketika masa awal pemanfaatan air tanah di Jakarta,
jumlah pengambilan air tanah (Qabs) yang berasal
dari sistem akuifer kedalaman 0-60 m, 60-100 m,
100-150 m, 150-200 m, 200-250 m, dan 250-300 m
tercatat sekitar 3,42 juta m3/tahun. Pengambilan air

Tabel Kecepatan Amblesan Tanah di Daerah Jakarta (Abidin, d.r.r., 2009)


Metode
Leveling survey

kerugian atau ancaman bagi lingkungan. Dampak


tersebut antar lain berupa penurunan jumlah air tanah
yang cukup mencolok, penyusupan air laut ke dalam
sistem air tanah di darat (intrusi air laut) sehingga
kadar garam (salinitas) air tanah di beberapa tempat
meningkat, dan amblesan tanah.

Dampak Penggunaan Air tanah

Menurut Soetrisno, d.r.r. (1997), pada 1910,


muka piezometrik di daerah Jakarta Utara berada
pada 12,5 m di atas muka laut (m.aml). Kedudukan

Pengambilan air tanah sejauh ini telah


menimbulkan beberapa dampak yang menimbulkan

Unsur yang
Diperiksa

No.

Kecepatan Amblesan Tanah [cm/tahun]

pH

1982-1991

0-9

15-30 mg/L

30-60 mg/L

>60 mg/L

15-30 mg/L

30-60 mg/L

>60 mg/L

Mg

+2

100-300 mg/L

300-1500 mg/L

>1500 mg/L

SO4-2

200-600 mg/L

600-3000 mg/L

>3000 mg/L

0-25

NH4

InSAR

2006-2007

0-12

GEOMAGZ

Desember 2013

+2

dirundung sungai dan sumber air lainnya yang kualitasnya


terus memburuk. Keadaan yang telah menjadi bahan
pembicaraan sehari-hari ini kita sebut sebagai dampak
lingkungan di permukaan akibat pertumbuhan kota
Jakarta.

gejalanya memerlukan teknik dan pengetahuan khusus.


Seringkali kita baru melihat dampaknya secara nyata
ketika kerusakan yang terjadi telah melampaui batas
ambang. Pada tahapan ini akan sulit bagi kita untuk
menanggulanginya.

Pemerintah Daerah dan warga DKI pun telah


melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi masalah
dampak lingkungan di permukaan tersebut. Akan tetapi,
tanpa kita sadari, dampak pertumbuhan kota Jakarta
tercinta ini tidak hanya di permukaan melainkan juga di
bawah permukaan. Di sela-sela kepenatan dan kesibukan
warga beradaptasi dengan lingkungan permukaan
Jakarta, ancaman dampak buruk di bawah permukaan
ibu kota ini juga harus diwaspadai sebelum menjadi
risiko nyata yang sulit diatasi.
Dampak bawah permukaan memang sulit untuk
dapat dirasakan oleh seluruh warga secara langsung
karena sifatnya yang tidak kasat mata. Dampak ini
berlangsung perlahan tapi pasti. Untuk melihat

Sangat Kuat

CO2 agresif

0-25

Perubahan yang Tak Kasat Mata

Kuat
<4,5

1991-1997

Permasalahan dan dampak perubahan itu dapat


dirasakan oleh hampir seluruh warga DKI Jakarta
maupun para pendatang. Sehari-hari Jakarta disergap
kemacetan, dilingkupi udara yang semakin panas, dan

Lemah
4,5-5,5

1997-2008

kalau 5 abad kemudian desa yang mereka dirikan akan


menjadi kota besar dan salah satu kota penting di
dunia. Perkembangan Jakarta dari desa hingga menjadi
megapolitan seperti saat ini telah membawa banyak hal
yang positif bagi perkembangan wilayah di utara Jawa
Barat. Namun, pada saat bersamaan, perkembangan
itu memacu timbulnya permasalahan pelik, baik dalam
bidang biogeofisik, maupun sosial, ekonomi, dan budaya.

Sifat Korosif
5,5-6,5

GPS survey

Para pendiri desa Jakarta tidak pernah membayangkan

Jumlah air tanah di Jakarta telah mengalami


perubahan dari waktu ke waktu yang terus menurun.
Hal ini diketahui berdasarkan turunnya muka air
tanah (MAT) yang diukur pada sumur, baik sumur
dangkal milik penduduk, maupun sumur dalam
atau sumur bor melalui pemantauan secara berkala.
Istilah MAT freatik digunakan untuk MAT dari akuifer
tak tertekan, dan MAT piezometrik untuk MAT dari
akuifer tertekan. Dalam hal ini, data tentang MAT
yang runut dari waktu ke waktu sangatlah penting.

Tabel Batasan Kandungan Unsur Kimia Air Tanah yang Bersifat Korosif Terhadap Beton (Mathelumual, B.C., 2007)

Periode

Ancaman dari
Bawah Jakarta

42

tanah berkembang secara intensif sejak 1968 dengan


10,3 juta m3 volume air tanah per tahun diambil dari
sistem akuifer produktif melalui 325 sumur bor yang
terdaftar. Volume pengambilan air tanah maksimum
sekitar 33,8 juta m3 terjadi pada 1994 yang dipompa
melalui 3.018 sumur produksi. Terjadi penurunan
pengambilan air tanah yang cukup berarti dari 22,6
juta m3 per tahun pada 1997 hingga 16,4 juta m3
per tahun pada 1999. Hal ini mungkin disebabkan
krisis ekonomi. Namun, pada periode setelah itu,
pengambilan air tanah terus meningkat setiap
tahunnya hingga mencapai 23,6 juta m3 pada 2004.
Data terakhir, yakni 2012, menunjukkan volume
pengambilan air tanah yang naik kembali menjadi
sebedar 45,55 juta m3 yang diambil melalui sebanyak
1.887 sumur bor produksi.

Tidak hanya Italia dengan menara Pisanya. Indonesia pun memiliki menara
miring akibat amblesan tanah di Jakarta. Kemiringan terus berlangsung
secara perlahan seperti diperlihatkan pada foto yang diambil pada tahun
2005 dan 2012. Foto Museum Bahari, Jakarta Utara. (Kiri, Dok. LPM ITB
2005, kanan: Dok. LIPI 2012).

Bentuk nyata akibat dari dampak ini adalah turunnya


muka air tanah, amblesan tanah (land subsidence),
pencemaran di Teluk Jakarta, penurunan kualitas air
sumur warga Kota Jakarta, dan pemanasan di bawah
permukaan. Dampak lingkungan bawah permukaan ini
disebabkan oleh pembebanan kota akibat pembangunan
yang menerus dan peningkatan pengambilan air tanah.
Peningkatan pengambilan air tanah terjadi akibat
tekanan kebutuhan air penduduk ibu kota. Hal ini telah
dirasakan secara nyata oleh sebagian warga kota Jakarta,
namun mungkin hanya sedikit yang menyadari bahwa
hal tersebut terjadi akibat terus berlangsungnya proses
degradasi lingkungan di bawah permukaan.
Adakah usaha-usaha pemantauannya selama ini?
Ada, antara lain oleh pemerintah daerah DKI Jakarta,
Badan Geologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan

43

muka piezometrik tersebut berubah menjadi berada


pada kedudukan sekitar muka laut (0 m.aml) pada
1970, dan kemudian berubah semakin dalam menjadi
antara 30-50 m di bawah muka laut (m.bml) pada
1990. Hasil pemantauan MAT Jakarta selama periode
1982-1994 menunjukkan adanya penurunan MAT
pada setiap sistem akuifer. Muka air tanah freatik
umumnya turun dengan relatif kecil, sekitar 0,40 m/
tahun selama 10 tahun. Adapun MAT piezometrik
cenderung turun dengan kecepatan 0,5-1,5 m/tahun
untuk akuifer tertekan bagian atas, dan turun 0,6-1,2
m/tahun untuk akuifer tertekan bagian bawah.

Peta muka air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan.

Peta muka air tanah pada sistem akuifer tertekan.

Peta sebaran lokasi MAT freatik dan MAT


piezometrik telah dibuat berdasarkan data hasil
pengukuran pada Desember 2011 oleh Taat Setiawan,
d.r.r.. Hasilnya menunjukkan telah hadirnya kerucut
penurunan MAT (cone of groundwater depression)
suatu indikasi telah terjadinya degradasi air tanah
yang berbahaya bagi lingkungan dengan sebaran
sbb: 1) pada sistem akuifer tidak tertekan di timur laut
(daerah Cilincing dan Kelapagading, MAT mencapai
3,0 m bml); 2) pada sistem akuifer tertekan di barat
laut (daerah Penjaringan, MAT 53 m. bml), dan 3) di
bagian timur daerah dataran (daerah Cakung, MAT
40 m.bml).
Hingga sekitar 1970, sejumlah volume air tanah
dilepaskan ke laut di utara Jakarta karena landaian
hidraulik air tanah garis batas antara MAT dan
muka air laut - dominan mengarah ke pantai. Setelah
periode 1970, ketika pengambilan air tanah mulai
melonjak, landaian hidraulik air tanah berbalik,

Peta salinitas air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan.

Indonesia (LIPI) melalui unit-unit satuan kerjanya antara


lain Pusat Penelitian Geoteknologi. Pusat penelitian
ini mencoba merangkai penelitian mengenai dampak
lingkungan bawah permukaan akibat pertumbuhan kota
Jakarta sejak tahun 2006 hingga saat ini. Penelitian ini
memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi, mengingat
belum banyaknya penelitian sejenis di Indonesia
maupun dunia. Jarangnya penelitian di wilayah seperti
ini disebabkan karena dampak ini seringkali baru terasa
pada saat pertumbuhan penduduk kota telah mencapai
lebih dari 10 juta perwilayah kota atau disebut sebagai
megapolitan.
Salah satu penyebab utama dari dampak ini adalah
adanya pengambilan air tanah yang terus menerus. Suatu
sumber resmi menyebutkan bahwa pengambilan air
tanah di kota Jakarta pada 2010 mencapai 22 juta meter
kubik atau setara dengan antrian 4.400 mobil tanki air
berkapasitas 5000 liter sepanjang 40 km atau sepanjang
jalan Tol Jagorawi.

Peningkatan pengambilan air tanah ini mungkin


juga disebabkan persepsi masyarakat bahwa pengambilan

44

GEOMAGZ

Desember 2013

mengarah ke darat. Hal ini mengakibatkan air laut


mulai menyusup ke dalam sistem akuifer (di darat).
Peristiwa ini dikenal sebagai intrusi air laut. Volume
penyusupan air laut sekitar 2,0 juta m3/tahun pada
pertengahan 1980 (Schmidt & Soefner, 1988).
Salinitas air tanah pada sistem akuifer tak tertekan
meningkat mulai dari kurang dari 500 mikromhos/
sentimeter (S/cm) di bagian selatan hingga 2.500 S/
cm di bagian utara seiring dengan arah umum aliran
air tanah. Di daerah pantai, salinitas ini meningkat
jadi 10.000 S/cm. Tipe air tanah Ca-Na-HCO3 secara
bertahap berubah menjadi tipe Na-Cl seiring dengan
meningkatnya salinitas. Demikian juga kadar zat
padat terlarut dalam air tanah (total dissolved solid,
TDS) yang dinyatakan dalam ppm atau setara dengan
miligram/liter (mg/L) umumnya naik. Ukuran lainnya
yang digunakan berkaitan dengan salinitas air tanah
adalah daya hantar listrik (electric conductivity, EC) air
tanah, dinyatakan S/cm, dan kandungan klorida (Cl-)
dalam air tanah (dalam ppm atau mg/L). Berdasarkan
standar baku, air tanah yang layak untuk air minum
adalah air tanah yang memiliki TDS maksimum 1000
mg/L, dan kadar Cl- paling banyak 250 mg/L.
Taat Setiawan, d.r.r. (2011) telah menentukan
kawasan penyebaran salinitas air tanah, baik air
tanah pada sistem akuifer dangkal (kedalaman antara
0-40 m. bmt) maupu air tanah artesis (kedalaman
antara 40-140 m.bmt) berdasarkan EC, TDS, dan
kadar khlorida (Cl-) air tanah di CAT Jakarta. Hasilnya,
teridentifikasi tiga kawasan atau zona air tanah.
Pertama, zona air tanah tawar dicirikan dengan EC

Peta salinitas air tanah pada sistem akuifer tertekan

air tanah itu bersifat murah, mudah, menerus dan


bersih. Hasil penelitian aspek sosial pada para warga
Jakarta yang telah lebih dari 40 tahun tinggal di kota
ini menyatakan bahwa air sumur merupakan sumber
penyediaan kebutuhan utama penduduk akan air bersih.
Hal ini memperlihatkan bahwa warga masih melihat dan
merasakan bahwa hingga saat ini sumurnya masih tetap
jernih, tidak pernah kering dan tidak berubah rasanya.

Persepsi masyarakat seperti baru saja disebutkan


di atas umum dijumpai meskipun sebenarnya hasilhasil pengukuran menunjukkan kandungan bakteri dan
nitrat dalam air yang dikonsumsi warga yang berasal
dari sumur mereka itu telah melampaui ambang batas.
Kondisi ini seringkali dituding sebagai akibat dari tidak
baiknya sistem sanitasi di lingkungan warga. Padahal,
di balik itu, ada fenomena lain yang harus diwaspadai,
yaitu meningkatnya temperatur bawah permukaan
akibat perubahan iklim dan pemanasan kota (urban heat
island). Temperatur di bawah permukaan yang semakin
meningkat dapat membuat perkembangbiakan bakteri
semakin pesat.

Penurunan kualitas air tanah inipun tanpa kita sadari


telah menjadi sumber pencemar di wilayah lainnya.
Mengikuti hukum gaya tarik bumi, air tanah akan
bermuara di laut. Dapat kita bayangkan, apa yang terjadi
jika air tanah kota yang telah tercemar ini telah sampai di
laut. Hal ini akan menyebabkan pesisir teluk Jakarta pun
akan ikut tercemar.
Pencemar yang seringkali tidak kita antisipasi
dan dapat bergerak jauh adalah unsur-unsur nutrisi,
dalam hal ini nitrat. Kandungan nutrisi yang berlebih
di wilayah pesisir akan menyebabkan ledakan populasi
biota dalam air pada kurun waktu tertentu. Kita pernah
mendengar kasus mengenai monster Ancol yang
mengindikasikan adanya ledakan populasi binatang
pesisir secara mendadak. Pusat Penelitian OseanografiLIPI menyatakan bahwa hewan tersebut termasuk
kelompok isopoda jenis cirolana. Hewan ini di beberapa
daerah dapat diolah sebagai cemilan atau rempeyek serta
makanan untuk ikan dan umpan pancing. Walaupun
demikian, tetap saja kita harus mengantisipasi ledakan
populasi makhluk hidup di wilayah pesisir ini pada

Monster Ancol. Seorang petugas Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta,


tengah menunjukkan sample hewan yang selama ini meresahkan warga di
Youtube dengan video berjudul Monster Air di Pantai Ancol.
Setelah LIPI melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata hewan tersebut
termasuk kelompok isopoda jenis cirolana. Di beberapa daerah, hewan
tersebut diolah sebagai cemilan atau rempeyek serta makanan untuk ikan
dan umpan pancing. (Harian Rakyat Merdeka, Rabu, 19/11/08). JPNN

45

lebih kecil dari 1.500 S/cm, TDS lebih kecil dari


1.000 ppm, dan kadar Cl- lebih kecil dari 500 ppm,
sebarannya terutama mencakup bagian utara Dataran
Jakarta. Kedua, zona air tanah agak payau (EC antara
1.500-5.000 S/cm, TDS antara 1.000-3.000 ppm,
dan Cl- antara 500-2.000 ppm) yang mencakup
bagian utara cekungan dengan jarak maksimum
mencapai 12 km dari garis pantai, yakni di daerah
Jakarta Utara. Ketiga, zona air tanah payau (EC antara
5.000-15.000 S/cm, TDS antara 3.000-10.000 ppm,
dan Cl- berkisar 2.000-5.000 ppm) yang menempati
sebelah timur daerah Cilincing (Jakarta Utara) dan
daerah sebelah timur Kampung Baru (Jakarta Timur).
Fenomena amblesan tanah atau penurunan muka
tanah (land subsidence) telah terjadi di sebagian
daerah Jakarta. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
daerah yang permukaan tanahnya turun ini secara
umum relatif berimpit dengan daerah kerucut
penurunan muka air tanah (cone of groundwater
depression). Adanya amblesan tanah di daerah
Jakarta terkait erat dengan kondisi geologi bawah
permukaan tanah dan jumlah pengambilan air
tanah yang besar pada sistem akuifer potensial,
yakni sistem akuifer pada kedalaman 40-140 m.bmt.
Penghitungan model geoteknik sangat mendukung
hipotesis bahwa pengambilan air tanah merupakan
penyebab utama amblesan tanah terukur (10-99
cm selama periode 1978-1989, lebih dari 50 cm
pada zona seluas sekitar 150 km2). Hasil simulasi
meyakini bahwa total penurunan tanah pada kondisi
tidak terkontrol dapat meningkat lima kali angka
penurunan tanah hasil pengukuran.

masa mendatang. Hal ini dikarenakan tidak tertutup


kemungkinan ledakan populasi makhluk hidup di
wilayah pesisir di masa yang akan datang itu adalah jenis
yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat kota
Jakarta.

Pengambilan air tanah untuk kebutuhan industri


juga ikut memicu dampak lingkungan bawah permukaan
lainnya. Muka air tanah tertekan yang semakin menurun
telah mengubah pola aliran air tanah di kota ini.
Sebagian besar wilayah Jakarta pada awalnya merupakan
daerah lepasan air tanah (discharge area). Hal ini dapat
dilihat dari laporan yang menyatakan bahwa sumur
bor artesis pertama yang dibangun pada tahun 1848 di
Benteng Prince Frederick, Lapangan Banteng, adalah
artesis positif (mengalir sendiri ke permukaan tanpa
dipompa) dengan ketinggian +2,4 meter. Pada saat ini
muka air tanah tertekan di wilayah tersebut berdasarkan
data sumur pantau adalah negatif hingga 25 m (- 25 m
di bawah muka tanah setempat). Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi air tanah tertekan di beberapa sistem
air tanah di Jakarta telah berubah dari daerah lepasan
menjadi daerah resapan air tanah (recharge area). Daerah

46

GEOMAGZ

Desember 2013

Upaya Konservasi Air tanah


Konservasi air tanah adalah upaya memelihara
keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat,
dan fungsi air tanah agar senantiasa tersedia
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan mahluk hidup, baik pada waktu
sekarang maupun yang akan datang. Ketentuan
konservasi air tanah di Indonesia diatur berdasarkan
UU Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah (PP)
terkait, yaitu PP Nomor 43 Tahun 2004 tentang Air
Tanah. Konservasi air tanah tersebut dilaksanakan
berdasarkan rencana pengelolaan air tanah yang
perlu disusun oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/
Walikota sesuai dengan kewenanganya. Dalam hal
CAT Jakarta yang bersifat lintas batas wilayah provinsi
(DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten), rencana
pengelolaan air tanah itu perlu disusun oleh Menteri
yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang air
tanah, yaitu Menteri ESDM melalui (cq) Badan
Geologi, KESDM.
Konservasi air tanah CAT Jakarta perlu dilakukan
secara menyeluruh, yaitu konservasi di daerah
imbuhan air tanah dan daerah lepasan air tanah
melalui perlindungan dan pelestarian air tanah,
pengawetan air tanah, dan pengelolaan kualitas
air tanah. Salah satu kegiatan konservasi air tanah
CAT Jakarta adalah menyusun dan menetapkan
zona konservasi air tanah yang mencakup zona
perlindungan dan zona pemanfaatan air tanah. Peta
zona konservasi air tanah CAT Jakarta telah disusun
oleh Badan Geologi, KESDM didasarkan data pada
2009 (Arismunandar, d.r.r., 2009 ). Peta tersebut

Amblesan tanah di Jakarta yang diukur dengan metode leveling survey selama periode 1982-1991 (gambar kiri) dan 1991-1997 (gambar kanan)
(Abidin, d.r.r., 2009)

sekarang sedang dimutakhirkan yang didukung


dengan kegiatan simulasi aliran air tanah untuk
menentukan debit pemompaan yang diizinkan pada
setiap zona konservasi air tanah.
Kendala untuk Pembangunan Bawah Tanah
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta,
di Jakarta rencana akan dikembangkan bangunan
bawah tanah berupa fasilitas atau infrastruktur
umum seperti jalan, rel keretaapi, dan lainnya. Dari
segi air tanah, rencana tersebut perlu kehatia-hatian
dalam pelaksanaannya mengingat potensi kendala
air tanah terhadap pembangunan di bawah tanah.

dengan kondisi seperti inilah yang disebut sebagai daerah


krisis air tanah. Salah satu dampaknya adalah air tanah
dangkal (air tanah tak tertekan) dapat tersedot oleh
sistem air tanah tertekan yang lebih dalam posisinya.
Akibatnya, muka air tanah di sumur penduduk semakin
dalam.

Kendala kuantitas air tanah berkaitan dengan


adanya zona jenuh air yang berada di bawah
permukaan tanah atau adanya kandungan air tanah
pada sistem akuifer tak tertekan yang berada pada
kedalaman kurang dari 40 m. Pemompaan air tanah
untuk menurunkan MAT hingga ke kedudukan
yang aman merupakan solusi untuk mengatasi
kendala kuantitas. Hal lain yang perlu diperhatikan
dari sisi kuantitas adalah bouyancy efect (efek
apungan) akibat tekanan hidrolik air tanah berupa
mengapungnya benda padat dalam zat cair. Dalam
Penyempurnaan regulasi dan kebijakan, perbaikan
sistem pembuangan air kotor, upaya pemulihan wilayah
air tanah kritis, serta penggunaan air tanah yang lebih
bijaksana menjadi bagian dari usulan penanggulangan
dampak yang telah terjadi.

Megapolitan Hijau

Berdasarkan beberapa bukti tersebut, masalah


dampak pertumbuhan kota terhadap lingkungan bawah
permukaan ini secara garis besar terdiri dari masalah
bencana geologi yang disebabkan oleh air tanah,
pemanasan bawah permukaan, dan penurunan kualitas
air tanah serta badan-badan air yang berinteraksi
dengannya. Upaya penanganan permasalahan ini
sebenarnya telah diantisipasi melalui berbagai kebijakan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah DKI Jakarta.
Fakta ilmiah yang menunjukkan adanya dampak
bawah permukaan yang masih terus terjadi menegaskan
bahwa upaya penanganan ini haruslah lebih
memperhatikan hasil-hasil kajian ilmiah terbaru dantentu saja-harus melibatkan seluruh warga DKI Jakarta.

Dalam hal ini terdapat tiga kendala, yaitu kuantitas,


kualitas, dan konservasi air tanah.

Sumber: Modifikasi dari Lerner D.N, 1990; Recharge due to Urbanization


in Groundwater Recharge, A Guide to Understanding and Estimating
Natural Recharge, AIH, 201-2014.

Namun, upaya ini akan menjadi sia-sia jika warga


DKI sendiri tidak menyadari dampak lingkungan bawah
permukaan yang sedang terjadi di kota tercintanya.
Jakarta harus bisa menjadi contoh ibu kota negara yg
mampu memanfaatkan informasi bawah permukaannya
untuk kemakmuran dan keselamatan penduduknya.
Tentu saja ini membutuhkan Gubernur yang berani
membuat perubahan dan berwawasan ke depan. Dalam
catatan sejarah, banyak hal-hal kritis dapat diatasi oleh
sedikit orang yang memiliki keberanian luar biasa. Kita
tunggu apakah Gubernur DKI berani membuat sejarah:
menjadikan Jakarta sebagai Green Megapolitan City.
Refleksi untuk Hidirogeologi Perkotaan

Sebagaimana dalam kasus Jakarta, dimasa mendatang


penduduk dunia akan dihadapkan pada permasalahan
yang disebabkan oleh dua isu besar yaitu perubahan iklim

47

48

GEOMAGZ

Desember 2013

49

hal ini zat cair itu adalah air tanah. Khususnya pasca
pembangunan insfrastruktur di bawah tanah, efek
apungan dikhawatirkan mengangkat bangunan
bawah tanah yang mengancam kestabilan fondasi.
Kendala kualitas air tanah berkaitan dengan
daya rusak air tanah karena knadungan kimia air
tanah berupa risiko korosi (corrosion risk) dan/atau
risiko pelapisan karena endapan (encrustation risk).
Terdapat beberapa kriteria kadar kimia air tanah
yang mengancam ketahanan komponen bangunan
(logam, beton, dll) bawah tanah, misalnya, kriteria
kualitas air yang berpengaruh terhadap korosi dan
karat menurut Binnie dan Partner (1984, revised);
juga batasan kandungan unsur-unsur kimia air
tanah yang bersifat korosif terhadap beton dari B.C.
Mathelumual (2007).
Berdasarkan kriteria dari Binnie dan Parter
(1984), korosifitas air tanah di wilayah Jakarta
Utara sekurang-kurangnya dapat disebabkan oleh
kadar TDS, Cl, dan Fe sedangkan keberadaan unsur
lainnya yang berpengaruh, seperti Ryznar Index,
kadar CO2, H2S, dan DO (dissolved oxygen, oksigen
terlarit) masih perlu penelitian lebih lanjut. Demikian
pula halnya dengan resiko karat (encrustation risk)
yang disebabkan oleh sifat air tanah memerlukan
penelitian agar dapat diketahui secara pasti kendala
kualitas air tanah dalam pembangunan ruang bawah
tanah. Sedangkan korosivitas air tanah terhadap
fondasi beton yang mungkin adalah CO2 agresif
dan lainnya yang berkaitan seperti pH, ammonium
(NH4+2), magnesium (Mg+2), dan sulfat (SO4-2).

Panas

Pengaruh kenaikan
suhu kota dan anomali
temperatur dekat
permukaan.

Material

Komposisi material yang


ada di bawah permukaan

50

Dampak
Lingkungan
Bawah
Permukaan

Pencemaran bawah
permukaan dan
ditransportasikan ke arah
pantai.

GEOMAGZ

Membaca peta konservasi air tanah, daerah


aman yang ditandai dengan warna biru dan hijau,
justru memerlukan upaya yang lebih hati-hati dalam
memanfaatkan ruang bawah tanah. Daerah-daerah
air tanah yang rawan hingga rusak yang berhasil
dipetakan dalam kegiatan konservasi air tanah banyak
yang berimpit dengan daerah rencana pemanfaatan
ruang bawah tanah. Kondisi ini saling bertolak
belakang dengan upaya konservasi air tanah karena
pembangunan bawah tanah harus membuang air
tanah, sedangkan konservasi berupaya mengurangi
pengambilan air tanah.
Penutup
Sebenarnya pemanfaatan ruang bawah tanah di
Jakarta dapat dilakukan di wilayah yang kedudukan
muka air tanahnya terlanjur di bawah kedalaman
rencana pemanfaatan ruang bawah tanah tersebut.
Secara teknologi, di tempat-tempat yang air tanah
menjadi kendala pun masih dapat dilakukan

Pertumbuhan kota telah meningkatkan


pemakaian air tanah. Hal ini dikarenakan
pengambilan air tanah bersifat murah, mudah,
menerus, dan bersih.

Anomali panas
(thermal) di bawah
permukaan

Upaya konservasi air tanah dari sisi pemulihan


air tanah merupaka sesuatu yang harus dilakukan.
Namun, dampak atau hasil dari kegiatan itu dari sisi
pengembangan bawah tanah menjadi suatu kendala
apabila tidak dicari jalan keluarnya. Sebagai contoh,
lapisan tanah yang jenuh air (akuifer) akan menyulitkan
dalam proses pengeringan tanah (dewatering)
untuk pemancanan fondasi, dll. Demikian pula efek
apungan yang akan lebih meningkat seiring dengan
pulihnya muka air tanah jika upaya konservasi air
tanah berhasil, akan mengancam ketahanan dan
keawetan bangunan air tanah.

Desember 2013

Pengambilan air tanah yang berlebih


telah mengakibatkan tekanan pada
kondisi bawah permukaan, amblesan
tanah, dan perubahan terhadap
ketersediaan sumber daya air.

Air

Siklus hidrologi yang


berada di bawah
permukaan.

Dampak pertumbuhan kota


terhadap lingkungan bawah
permukaan.

Dua orang petugas dari Badan Geologi tengah


memeriksa sumur bor yang pondasinya
amblas akibat amblesan bawah tanah karena
penyedotan air tanah yang berlebihan di
daerah Kamalmuara, Jakarta Utara.
Foto: Koleksi PAG, Badan Geologi.

pengembangan ruang bawah tanah. Untuk semua


itu perlu tetap dilakukan rekayasa agar ruang bawah
termanfaatkan sementara air tanah tidak banyak
terganggu. Karena itu, informasi air tanah yang
lebih rinci diperlukan di seluruh wilayah Jakarta.
Upaya untuk mengetahui keadaan air tanah secara
rinci sangat bergantung kepada pamantauan air

tanah dari waktu ke waktu untuk memperoleh data


air tanah yang lebih lengkap dan menyeluruh, dan
analisis menggunakan berbagai pendekatan, antara
lain simulasi atau pemodelan air tanah.

(climate change) dan pertumbuhan penduduk yang terus


meningkat. Keduanya menimbulkan dampak positif dan
negatif akibat perilaku manusia (antropogenik). Tentu
saja, permasalahan ini harus segera diantisipasi sebelum
menimbulkan kerugian yang besar. Salah satu lokasi
yang paling tepat untuk mensimulasikan masalah yang
akan terjadi akibat dua isu besar itu adalah kota besar,
khususnya kota dengan penduduk telah mencapai lebih
dari 10 juta jiwa yang dikenal sebagai Megapolitan.
Jakarta sudah memasuki tahap ini.

kiranya segera menjadi perhatian untuk diaplikasikan di


kota-kota besar, sebelum air tanah di kota-kota tersebut
terlanjur rusak dan tak dapat dipulihkan dalam kurun
waktu umur manusia.

Permasalahan di megapolitan saat ini sangatlah


kompleks. Beberapa diantaranya adalah permasalahan
air, energi, kesehatan, pangan, dan lingkungan. Khusus
permasalahan air, apa yang terjadi adalah sebuah ironi.
Hingga saat ini masyarakat kota telah mengambil
air bersih (fresh water) secara terus-menerus dari air
tanah dan air permukaan, dan sebagai kompensasinya,
penduduk kota memberikan air dengan kualitas yang
lebih buruk (waste water) kepada badan-badan air
tersebut. Maka, satu sub bidang kajian geologi, yaitu
Hidrogeologi Perkotaan (Urban Hydrogeologi), patut

Penulis adalah Perekayasa Madya di Badan Geologi.

Urban hidrogeologi adalah bidang kajian yang


secara spesifik mengamati, membahas dan mencari
solusi untuk permasalahan air khususnya air tanah di
wilayah perkotaan. Sebanyak dua belas kota besar di
Indonesia kiranya sudah saatnya menerapkan atau mulai
memperlakukan prinsip-prinsip kajian hidrogeologi
perkotaan dalam pembangunannya. Kedua belas
kota besar itu adalah: Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang,
Mataram, Makasar, Manado, dan Banjarmasin.
Penulis: Rachmat Fajar Lubis, Robert Delinom dan Hery Harjono.

51

yang bersifat tak tertekan dan sarana pengambilan


airnya dengan sumur gali atau sumur pantek, disebut
air tanah dangkal. Tentu saja, informasi yang baik
mengandung data tentang jumlah luah (debit) dan
asal pengambilan air tanah (kedalaman, ketebalan
dan parameter akuifer lainnya), lokasi (koordinat) dan
waktu pengambilan setiap saat.
Sejumlah data yang tersaji dalam berbagai
laporan resmi, tulisan ilmiah, maupun berita
di media menunjukkan rentangan masalah ini.
Terdapat beberapa hal yang sering dijadikan bahan
pertimbangan atau pembanding atas data atau
laporan resmi. Pertama, jumlah penduduk dengan
kebutuhan-hariannya terhadap air bersih. Data
ini biasanya menggunakan data BPS. Sedangkan
kebutuhan air untuk perkotaan terbagi menjadi dua:
kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri
(termasuk kegiatan perhotelan dan sejenisnya).
Kebutuhan air lainnya, yaitu kebutuhan air untuk
irigasi atau pertanian, dapat diabaikan karena relatif
kecil. Berikutnya, kemungkinan adanya sumur bor
yang belum terdata juga perlu dipertimbangkan.
Kebutuhan air domestik biasanya menggunakan
suatu standar yang telah ditetapkan atau diakui secara
resmi oleh Pemerintah atau standar yang banyak
digunakan di dunia, seperti standar WHO. Kebutuhan
air di perkotaan menurut standar WHO adalah 150
liter per orang per hari (L/O/H). Berdasarkan Badan
Regulator PAM Jakarta 2009, standar itu dipatok pada
angka 175 L/O/H, sementara PAM Jaya dalam suatu
presentasi menggunakan angka standar sebesar 130
L/O/H pada 2010 dan 138 L/O/H pada 2012. Disini
tampak pula kesulitan lainnya, yaitu bahwa standar
pemakaian air pun tidaklah sama. Untuk memperoleh
standar yang lebih mendekati sebenarnya, diperlukan
penelitian atau survei. Adapun kebutuhan industri
biasanya menggunakan pendekatan 30% dari
kebutuhan domestik. Angka yang lebih tepat
sebenarnya harus dihitung berdasarkan jumlah
industri yang ada dan pemakaian airnya oleh masingmasing industri tersebut.

Air Tanah
Jakarta:

Air Diambil, Angka Dicatat


Oleh: Oman Abdurahman

erapakah jumlah air yang diambil dari


bawah tanah Jakarta setiap tahunnya?
Inilah pertanyaan yang sering dilontarkan
ketika muncul isu atau kasus atau persoalan
terkait air tanah di Jakarta seperti amblesan tanah,
pencemaran air tanah, cakupan layanan air bersih,
analisis ketersediaan dan kebutuhan air serta sumbersumber pemenuhannya, adaptasi perubahan iklim,
dan pengelolaan sumber daya air lainnya.
Sayangnya, jawaban atas pertanyaan itu tidaklah
mudah. Sama sulitnya dengan menghitung jumlah
air yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan,
baik kebutuhan sehari-hari penduduk (kebutuhan

52

GEOMAGZ

Desember 2013

domestik), maupun kebutuhan industri dan kegiatan


eknomi lainnya. Padahal, ketepatan informasi kedua
hal tersebut sangat menentukan keakuratan hasil
analisis ketersediaan air dan kebutuhan air.
Sumur Bor, Air Tanah Dalam dan Asumsi
Kesulitan itu terutama muncul karena kenyataan
bahwa sulit untuk mendata seluruh sumur
pengambil air tanah, baik sumur bor, sumur pantek,
maupun sumur gali. Jika disebut sumur bor, orang
menghubungkannya dengan sarana pengambil
air tanah dalam. Tapi, kedalaman berapa? Sebab,
di Jakarta telah diketahui sedikitnya ada empat

kelompok akuifer atau lapisan tanah/batuan tempat


air tanah tersedia dan dapat diambil. Empat lapis
akuifer itu menunjukkan empat kedalaman yang
berbeda-beda, yaitu 0-40 meter di bawah muka
tanah setempat (m bmt), 40-140 m bmt, 140-200 m
bmt, dan 200-250 m mt.
Jadi, sumur bor itu ada yang mengambil air
tanah dalam, cukup dalam, dan sangat dalam.
Untuk mudahnya, air tanah pada kelompok akuifer
kedalaman lebih dari 40 meter, dengan sifat akuifer
tertekan, kita anggap sebagai air tanah dalam dan
sumur bornya disebut sumur bor dalam. Sementara
itu, air tanah pada akuifer kedalaman 0-40 meter

Pertimbangan berikutnya adalah kemungkinan


banyaknya sumur bor yang belum terdata. Beberapa
laporan di media memberitakan hal ini. Hasil
analisis perhitungan akan lebih menegaskan lagi
kemungkinan itu. Sebuah contoh analisis mungkin
dapat membantu penjelasan yang diperlukan.
Mencari Angka Pendekatan
Apabila dinyatakan bahwa jumlah pemakaian air
tanah di Jakarta pada tahun 2010 mencapai 22 juta
meter kubik, mungkin ada pertanyaan: apakah angka
itu menyatakan jumlah total pengambilan air tanah
dari semua lapisan akuifer yang ada di Jakarta? Dari
akuifer mana saja air tanah sebanyak itu diambil?
Ini tidak mudah untuk dijawab. Sebuah analisis

53

Analisis Jumlah Pengambilan Air Tanah Jakarta 2010-2012, Asumsi Penduduk Pengguna Air Tanah
40% Total Penduduk (tabel atas) & 30% total penduduk (tabel bawah)
Tahun

Jumlah Penduduk
diperiksa (jiwa)1

2010

Pengambilan Air Tanah (Juta meter kubik per tahun)2


SB Dalam 3

Standar 100 4

Standar 130 5

Standar 150 6

9.607.800

22,00

182,36

237,06

273,53

2011

9.761.992

33,00 8

185,28

240,87

277,92

2012

9.932.100

45,55

188,51

245,06

282,77

Pengambilan Air Tanah (Juta meter kubik per tahun)2

Tahun

Jumlah Penduduk
diperiksa (jiwa)1

SB Dalam 3

Standar 100 4

Standar 130 5

Standar 150 6

2010

9.607.800

22,00 7

136,77

177,80

205,15

2011

9.761.992

33,00 8

138,96

180,65

208,44

2012

9.932.100

45,55

141,38

183,80

212,08

Keterangan: 1Data BPS, asumsi penduduk pemakai air tanah: 40% total penduduk (tabel atas) dan 30% penduduk (tabel bawah), 2Total pemakaian
oleh domestik dan industri (asumsi: 30% kebutuhan domestik), diambil dari berbagai akuifer, baik dangkal maupun dalam, kecuali kolom SB Dalam;
3
Pengambilan oleh sumur bor dalam (lebih dari 40 m); 4,5,6 berturut-turut: standar pemakaian air domestik 100 liter L/O/H, 130 L/O/H), dan 150
L/O/H, air tanah diambil dari berbagai kedalaman akuifer; 7Lihat data pada halaman 40, 8 Data perkiraan (estimasi), 9Lihat data pada halaman 41.

menyatakan bahwa angka 22 juta m3 per tahun adalah


penggunaan komersial atau industri yang biasanya
mengambil air tanah dalam. Sedangkan pada 2012,
pengambilan air tanah itu, menurut sebuah laporan,
sudah mencapai 45,55 juta m3/tahun dari sejumlah
1.887 sumur bor. Dari akuifer kedalaman berapa saja
pengambilan air tanah tersebut? Ini juga sulit dijawab
apabila tidak tersedia data. Kita anggap saja bahwa
itu berasal dari akuifer dalam (kedalaman lebih dari
40 meter), dan dari semua sumur bor yang terdaftar.
Dari angka pengambilan 22 juta m per
tahun, dengan asumsi itu seluruhnya merupakan
pengambilan air tanah oleh industri, dianalisis
total pemakaian air tanah. Jika pemakaian oleh
industri diasumsikan sebesar 30% penggunaan
oleh domestik, maka, sebaliknya, pemakaian oleh
domestik diasumsikan 3 kali pemakaian oleh industri
(dibulatkan). Karena itu, perhitungan kasar pemakaian
domestik adalah 73 juta m3 per tahun. Maka, total
pengambilan air tanah pada 2010 (domestik dan
industri) mencapai 95 juta m3 per tahun.
3

Apakah kebutuhan domestik sebesar 95 juta


m3 per tahun ini mendekati sebenarnya? Atau,
bahkan belum cukup mendekati kenyataan? Untuk
jawabannya, salah satu yang dapat dilakukan adalah
penghitungan pemakaian air tanah berdasarkan
jumlah penduduk. Pada 2010, penduduk Jakarta
mencapai 9,6 juta orang (data BPS, dibulatkan).
Dengan asumsi penduduk yang menggunakan air
tanah ada 40% dari total penduduk, maka total
pemakaian air tanah di Jakarta (pemakaian air oleh

54

GEOMAGZ

Desember 2013

penduduk dan industri) pada 2010 mencapai 273,53


juta m3 jika standar pemakaian air oleh penduduk
(disingkat: standar pemakaian) sebesar 150 L/O/H,
atau 237,06 juta m3 jika standar pemakaian 130
L/O/H, dan 182,36 juta m3 apabila standar pemakaian
dikecilkan lagi menjadi 100 L/O/H (tabel atas). Jika
jumlah pengguna air tanah diturunkan lagi menjadi
30% total penduduk, dan standar pemakaian diambil
yang paling kecil, 100 L/O/H, angka pemakaian air
tanah taksiran ini tetap lebih besar dari 95 juta m3
per tahun dan lebih dari enam kali 22 juta m3 per
tahun, yaitu 136,77 juta m3 per tahun. Angka total
pemakaian air tanah itu menjadi 177,80 juta m3 atau
205,15 juta m3 per tahun jika standar pemakaian
berturut-turut 130 L/O/H atau 150 L/O/H (tabel di
atas). Pada dua tabel di atas dilakukan analisis yang
sama untuk tahun 2011, dan 2012.
Dari dua tabel di atas tampak perbandingan
penggunaan air tanah oleh sumur bor dalam
(kolom SB Dalam) dan total penggunaan yang
mungkin terjadi (domestik dan industri) menurut
tiga standar pemakaian air untuk tahun 2010,
2011, dan 2012. Tabel pertama, asumsi 40% total
penduduk menggunakan air tanah, sedangkan
tabel di bawahnya untuk asumsi 30% dari total
penduduk pemakai air tanah. Asumsi-asumsi lainnya
yang digunakan termasuk pesimis. Sebagai contoh,
untuk jumlah penduduk pengguna air tanah, angka
yang sering digunakan oleh peneliti adalah 45%
total penduduk, namun disini digunakan 40% dan
30%. Sebuah laporan menyatakan bahwa saat ini,

pelayanan air bersih sistem perpipaan dengan


sumber air baku dari air permukaan adalah antara
35% hingga 38% penduduk, sehingga pemakaian
air tanah oleh penduduk mungkin lebih besar lagi
dari 45%. Standar pemakaian air 100 L/O/H sudah
jarang digunakan, namun di sini tetap dilibatkan
untuk melihat seberapa besar pengambilan air tanah
dengan standar kebutuhan air terkecil. Pemakaian
oleh industri diasumsikan 30% dari total pemakaian
domestik. Tampak total pemakaian air tanah yang
mungkin terjadi lebih besar dari pemakaian oleh
sumur bor dalam walaupun standar pemakaian air
penduduk paling kecil (100 L/O/H). Pemakaian air
tanah akan jauh lebih besar dan demikian yang
diyakini jika persentase pengguna air tanah dan
standar pemakaian air lebih besar lagi.
Semuanya Terpulang kepada Data
Manakah dari angka-angka yang tersaji di atas
yang paling benar? Idealnya, angka yang kita
peroleh didasarkan pada perhitungan yang datanya
merupakan data primer. Tentu saja, semua angka
memiliki tingkat kebenaran asalkan berdasarkan
kepada data. Untuk sumur bor resmi yang terdaftar,
misalnya, angka pengambilan air tanah 22 juta m3
pada 2010 dan 45,55 juta m3 pada 2012 telah sesuai
atau seperti itulah gambaran besaran pengambilan
air tanah oleh sumur bor terdaftar.
Persoalan muncul ketika jumlah penduduk dan
industri yang memakai air tanah dipertimbangkan
dengan pemakaian air yang masuk akal (standar),
apalagi jika memang banyak sumur bor yang tidak
terdaftar, maka perlu dihitung kembali angka
pemakaian air tanah yang lebih memberikan
keyakinan. Cara lain untuk menghitung jumlah
pengambilan air tanah secara lebih tepat, termasuk
penyebaran
lokasi
pengambilannya,
adalah
pemodelan air tanah, termasuk penghitungan neraca
sumber daya air di dalmnya. Namun, keberhasilan
pemodelan juga akan sangat bergantung kepada
tersedianya data yang dapat diandalkan.
Semuanya bergantung kepada data. Semakin
akurat data yang digunakan, maka akan semakin
baik informasi yang kita peroleh. Diantara data yang
penting diketahui secara tepat adalah jumlah sumur
bor berikut sebaran ruang atau distribusi spasialnya,

dan debit pengambilan air tanah untuk setiap sumur


bor. Semestinya, untuk setiap air yang diambil ada
data angka pengambilan yang dicatat.
Data lain yang penting: jumlah penduduk
yang menggunakan air tanah. Kehati-hatian juga
diperlukan, mengingat saat ini tren pemakaian
sumber air maya (virtual water resources), yaitu
sumber air yang berasal dari luar daerah seperti
air dalam kemasan, di Jakarta semakin meningkat.
Sebagai contoh, menurut laporan Status Lingkungan
Hidup Daerah DKI, 2012, sebanyak 62,66% penduduk
Jakarta memakai air kemasan sebagai sumber air
minumnya.
Persoalan yang dibahas ini berkaitan dengan
kondisi air tanah yang semakin penting dan
sebenarnya saling terkait dengan sumber daya air
lainnya. Visi kita ke depan tentang air tanah harus
lebih ke arah konservasi mengingat kondisi air atanah
di perkotaan sudah semakin kritis. Air tanah, apalagi
air tanah di perkotaan, harus dipandang sebagai
persoalan lingkungan yang apabila kritis atau habis,
akan menimbulkan banyak dampak lingkungan yang
merugikan.
Selain kuantitas, kualitas air tanah juga perlu
diketahui dengan baik untuk berbagai keperluan
pembangunan. Untuk itu, Badan Geologi sejak tahun
2013-2014 ini meningkatkan upaya konservasi air
tanah di wilayah DKI Jakarta. Upaya itu, selain dengan
pemutakhiran peta konservasi, pembuatan sumur
pantau, dan pemantauan air tanah secara berkala,
berkala, juga pembentukan Balai Konservasi Air
Tanah Jakarta. Tugas balai ini adalah melaksanakan
pemantauan kondisi air tanah dan penanggulangan
dampak pengambilan air tanah pada Cekungan
Air Tanah Jakarta, serta pengembangan teknologi
konservasi air tanah. Untuk mengetahui keadaan
geologi bawah tanah Jakarta, diantaranya guna
memahami perilaku air tanah Jakarta dengan lebih
tepat lagi, saat ini Badan Geologi juga sudah mulai
melakukan kegiatan pengeboran dalam.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Geomagz, Kepala Bagian
Rencana dan Laporan, Sekretariat Badan Geologi.

55

Lanskap
Peradaban Manusia,
Sejak Zaman Purba hingga Kini
Oleh: Sampurno

Planet Bumi yang Unik


Bumi kini seperti keadaannya setelah melalui
masa-masa evolusi yang amat panjang dalam waktu
geologi. Planet bumi lahir dalam sistem tata surya
sekitar 4,7 miliar tahun yang lalu. Dengan berjalannya
waktu planet bumi terus mendingin, gas-gas
dilepaskan dari pembekuan magma menjadi batuan
beku dan letusan gunung, gas H2O mengalami
kondensasi dan perimbangan gas-gas lain di atmosfer
menjadi kondusif bagi kehidupan.
Jejak kehidupan terlacak di planet bumi telah
ada sejak 600 juta tahun yang lalu, dimulai dari
tetumbuhan bersel satu setelah atmosfer terbentuk
tadi. Evolusi kemudian telah mengubah dan
menambah jumlah spesies kehidupan di bumi yang
sekarang ini telah ada lebih dari satu juta spesies.
Manusia mulai muncul menduduki planet bumi sejak
1,8 juta tahun yang lalu dan terus bertambah dan
berkembang hingga kini.
Manusia, hewan, dan tetumbuhan dapat hidup
di planet bumi karena planet bumi selama evolusinya
kemudian merupakan planet yang mempunyai daya
dukung terhadap jenis-jenis kehidupan tadi. Apakah
daya dukung tersebut tetap tersedia sepanjang
masa? Makhluk hidup berinteraksi secara timbal balik
dengan benda-benda tak hidup seperti udara, tanah
dan batuan, air, dan membentuk suatu ekosistem
sepanjang masa. Sistem bergulir terus, perubahanperubahan selalu terjadi, makhluk hidup beradaptasi
terhadap alam sekitarnya, evolusi berjalan terus tanpa
terasa, atau punah.
Peradaban Paleolitik 500.000 SM - 8.000 SM

Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Geologic_time_scale

Civilization exists by geological consent, subject to change without notice kata ahli
filsafat dan sejarawan Will Durant, mengingatkan kita mengenai lingkungan yang
amat menarik yang membuat planet bumi dapat ramah terhadap kehidupan seperti yang
kita ketahui sekarang ini. Planet Bumi setidaknya merupakan tempat yang amat khas
bukan karena manusia mendiami planet itu. Lebih dari satu juta jenis kehidupan
telah hidup dan berkembang di tempat yang unik dalam sistem matahari. Homo sapiens,
merupakan spesies dengan kekuatan penalarannya, menghuni planet bumi pada waktu
yang paling akhir.

56

GEOMAGZ Desember
Desember2013
2013

Sejak kelahiran manusia pada kira-kira 1,8 juta


tahun yang lalu daya dukung planet bumi untuk
spesies manusia telah lebih dahulu bertambah,
yaitu dilengkapi dengan tersedianya organisme yang
dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan yaitu
tetumbuhan dan hewan. Sekitar 500.000 Sebelum
Masehi (SM) makhluk manusia ini, demi ketahanannya
untuk hidup, menemukan atau menciptakan alat
untuk berburu di hutan, di tepi sungai atau danau,
di lereng-lereng pegunungan. Mereka menggunakan
peralatan baru, yaitu peralatan yang terdiri dari batu
yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mampu
digunakan sebagai ujung tombak, anak panah
guna membunuh hewan buruan atau alat untuk
memotong kayu; alat-alat tersebut digunakan untuk
berburu binatang atau memotong dahan dan kayu.
Perubahan iklim yang terjadi pada 50.000 SM,
yaitu pada zaman kemunduran dari Zaman Es ke
empat atau zaman Es terakhir. Batas es di dunia
cenderung bergerak mundur ke Utara. Antara masa
itu dan 8000 tahun SM tampaknya terjadi penyebaran
manusia yang meluas, khususnya di Afrika, Asia, dan

Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Cenozoic

Eropa dan kemudian membentuk suku-suku Negroid,


Kankasoid, Mongoloid, dan Polinesia.
Dimana mereka berdiam kemudian menyesuaikan
kehidupan dan peradabannya dengan kondisi
geografi, geologi, dan iklim setempat. Tempat tinggal
dapat berupa rumah pohon, gua-gua, atau rumah dari
kayu atau batu; binatang perburuannya dapat berupa
marmut, bison, kijang, rusa, ikan, burung, ular, dsb.
sesuai dengan tetumbuhan dan hewan yang terdapat
di wilayah masing-masing. Di zaman ini, tenaga
yang dipakai untuk menggerakkan alat sepenuhnya
dari tenaga otot manusia. Pengembangan cara ini
merupakan penggunaan tenaga otot manusia secara
lebih efektif, yaitu dengan menggunakan pegangan
pada kapak batu, membuat busur untuk panah, atau
alat untuk menggurdi.

Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Megalith

57

Peradaban Neolitikum 8.000 - 4.000 SM


Revolusi Neolitikum mulai memperkenalkan aspek
penting antara manusia dengan lingkungannya,
yang semula kehidupannya berlandaskan kepada
cara berburu sekarang berkembang menjadi bertani.
Peralatannya dibentuk sedemikian rupa sehingga
mampu digunakan untuk membabat hutan,
menjinakkan dan memelihara hewan peliharaan
seperti sapi, kambing, babi, dan mulai menanam
padi, jagung, gandum, dan lain-lain tetumbuhan
yang semula ada di sekitarnya di rawa-rawa, di
tepian sungai, atau di hutan di sekelilingnya. Zaman
ini dapat disebut telah terjadi revolusi peradaban
karena untuk mengubah peradaban berburu menjadi
petani tentunya telah terjadi proses pemilihan lahan
yang subur, pemilihan jenis tanaman yang dapat
dibudidayakan, pengembangan jenis peralatan yang
sesuai, penyediaan sumber daya air, pemahaman
akan iklim dan cuaca yang mendasar, dan pemilihan
lahan yang bebas dari bencana alam.
Konsentrasi utama penduduk diduga ada di
sekitar lembah sungai dan dataran yang subur,
karena hanya tanah lanau yang dibawa sungai dan
banjirlah yang dapat membuat suatu wilayah dataran
yang subur seperti di Delta Eufrat dan Tigris di
Mesopotania; atau di dataran kaki gunung api yang
dapat berubah menjadi tanah laterit yang subur pula.
Di tempat yang demikian itu jumlah penduduk mulai
memadat roman muka bumi mulai berubah.
Keterkaitan dan ketergantungan hidupnya
kepada alam sekitarnya barangkali juga mulai
mengarah kepada pemikitan adanya kekuasaan yang
lebih tinggi dari manusia. Barangkali manusia pada
waktu itu mulai mempertanyakan mengenai asal-

muasal kejadian, anugrah (kesuburan) dan kesalahan


atau dosa (bencana, kurang subur, kebakaran, hama,
penyakit, kegagalan dalam bertani, beternak, dan
bencana alam), mulai memikirkan sebab-akibat
dalam gerak kehidupan dan alam sekitarnya.
Alam lingkungan hidup manusia di Indonesia di
Zaman Paleolitikum dan Neolitikum berada di wilayah
kaki pegunungan gunung api atau pegunungan
karst dengan gua-guanya, di dataran, di tepian
danau, dan tepi sungai. Beberapa lokasi lain di
Sangiran, di Gunung Pawon (Padalarang), Sumbawa,
Kalimantan Timur. Peralatan yang ditemukan berupa
ujung tombak dari batu rijang, anak panah dari
obsidian, manik-manik dari kalsedon dan gua-gua di
pegunungan gamping sebagai tempat tinggal atau
berlindung.
Sisa-sisa bangunan atau sisa-sisa kawasan
permukiman belum ditemukan mungkin karena
bahan bangunan-bangunannya cenderung dari
kayu yang mudah melapuk. Hanya pelataran dari
susunan batu pipih di permukaan tanah ditemukan
di beberapa tempat. Kesukaran menemukan jejak
lanskap zaman purba barangkali karena sering
terjadinya letusan gunung api yang dengan cepat
menutupi kawasan dengan abu dan pasir, aliran
lahar, atau oleh endapan banjir.
Peradaban Perunggu 4.000 - 2.000 SM
Karena perubahan iklim dan cuaca, hutan
yang ada waktu itu bergerak meluas ke arah
lahan pertanian mereka dan ini membuat konflik
serius kepada para petani. Sahara kehilangan
keseluruhannya, kekurangan air, dan menjadi gurun;
tetapi Mediterania menjadi tempat pilihan dalam
pengembangan budaya dan peradaban Barat.
Penemuan-penemuan dan eksploitasi metalurgi
sekarang memperkaya peradaban aman dan
perang, tetapi yang paling penting adalah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
industri di waktu itu, serta perubahan sosial. Logam
tidak dijumpai di kawasan pertanian yang subur tetapi
di wilayah terasing yang jauh dan tidak subur. Sistem
barter kemudian timbul, dan cara-cara komunikasi
lebih berkembang antara bagian hulu dengan hilir.
Banyak wilayah dengan logam (besi, emas, perak
atau permata) berubah menjadi kawasan tambang;
industri-industri dan manufaktur logam menjadi
menyebar di Eropa, Mesir, India, Mongolia, dan juga
Cina. Temuan-temuan berbagai logam dan permata
serta pengembangannya mempengaruhi timbulnya
peralatan baru untuk berbagai pemanfaatan seperti
alat-alat pertanian peternakan, bangunan, rumah
tangga, industri rumah tangga, dan transportasi.

Lukisan purbakala yang berumur antara 4.000-5000 tahun yang lalu,


ditemukan di Liang Kabori, Sulawesi Tenggara. Foto: H. Samodra.

58

GEOMAGZ

Desember 2013

Gerobak beroda empat yang ditarik oleh lembu


digunakan di Mesopotania sekitar tahun 3.300 SM,
dan di India sekitar tahun 3.000 SM; hal tersebut

Sumber: mesopotamia.mrdonn.org

telah mempengaruhi kepada kenaikan kemampuan


daya angkut dan percepatan gerak alat angkut.
Mereka telah mengenal irigasi karena banjir sering
melanda; tetumbuhan gandum pernah ditemukan
pula pada gambar hiasan pada sebuah bejana
keramik yang sangat indah dari Urug. Moenjo-Daro
merupakan sebuah kota besar yang indah, terbuat
dari bata merah dengan barang-barang temuan lain
yang mencerminkan kemakmuran, kecerdasan dan
disiplin suatu bangsa yang berkembang di lembah
Sungai Indus di India (2500 SM).
Piramida Gizeh dari Mesir yang dibangun sekitar
2500 SM dibuat dari batuan granit merupakan
bangunan dengan bentuk geometri yang sederhana
di tepi Sungai Nil. Banjir Sungai Nil di wilayah delta
memberi makna kepada ritme kehidupan di wilayah
itu. Bukit buatan yang didirikan manusia pada waktu
itu (2250 SM) di dataran Ur, berupa bukit buatan
berundak setinggi lebih kurang 30 meter, dibuat
dari batu bata di bagian luarnya dan lempung pada
intinya, bukit tersebut berfungsi sebagai tempat
upacara pemujaan.
Bangsa
Mesir
Kuno
tampaknya
telah
menggunakan tenaga air dengan menempatkan
sebuah alat beroda gigi di bawah air terjun. Gerakan
air terjun yang memutar roda gigi selanjutnya dipakai
untuk menggerakkan benda lain seperti menggiling
biji gandum, menumbuk biji jagung, dan sebagainya.
Orang Romawi kuno menggerakkan roda gigi dengan
menggunakan kuda, tenaga budak, dan mungkin
juga tenaga air.

Zaman Percepatan Perubahan 2.000 SM - 1.700


M
Temuan demi temuan sejak zaman Paleolitikum,
Mesolitikum, Neolitikum, dan Zaman Perunggu,
telah mengubah wajah bumi oleh tindakan-tindakan
dan peradaban manusia. Dari zaman berburu
hingga zaman pertanian peralatan demi peralatan
ditemukan yang makin lama makin bertambah
efisiensinya, bertambah pula penguasaan lingkungan
fisiknya, bertambah pula kecepatan gerak manusia,
bertambah tingkat kemudahan untuk memperoleh
kebutuhan materi dan hal ini mempengaruhi
pula pertambahan kesehatan dan umur manusia,
percepatan pada unsur non-teknologi dan perubahan
kebudayaan.
Babylonia kemudian muncul dengan indahnya
setelah Ur. Di Nippur, di dataran Sungai Eufrat dan
Sungai Tigris ditemukan pada lempengan keramik
tanah menggambarkan sebuah rencana kota
tertua (1500 SM). Perubahan-perubahan aliran
sungai Eufrat dilaksanakan, pembuatan bendugnan
di bagian hulu dikerjakan pada abad ke-7 SM.
Lanskap berubah oleh campur tangan manusia,
pembangunan Menara Babel yang terkenal dan juga
Taman Tergantung terjadi antara tahun 604 dan
562 SM. Percepatan perubahan budaya dipicu oleh
pesatnya perkembangan falsafah manusia terhadap
lingkungannya dan tumbuhnya ilmu pengetahuan
yang diprakarsai oleh Socrates dan kawan-kawan.
Perkembangan peradaban yang digambarkan
di atas yang bergerak dari masa berburu hingga

59

Zaman pengangkutan dengan tenaga manusia,


kuda, perahu layar, perbudakan dan air berjalan
antara tahun 3.000 SM sampai dengan kira-kira
tahun 1.800 Masehi, atau hampir 5.000 tahun.
Revolusi Industri dan Dampaknya
Dari waktu ke waktu sejak zaman Pra Sejarah
tampaknya terdapat permasalahan mengenai
energi. Revolusi Industri, yang dimulai dengan
penemuan energi uap dan mesin uap oleh James
Watt pada pertengahan abad ke-18 telah membuka
cakrawala baru buat perkembangan peradaban
dan budaya teknologi. Setelah itulah penggunaan
tenaga batubara mulai berkembang, kemudian
dilengkapi dengan bahan bakar minyak bumi dan
hidroelektrik. Dinamika pergerakan manusia dalam
memenuhi aneka kebutuhannya semakin bertambah
dengan lebih cepat: pemenuhan kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, peralatan, serta kebutuhan
transportasi. Daya jangkau manusia untuk melakukan
perjalanan bertambah dengan munculnya mobil,
kereta api dan kapal api; industri tumbuh di pelbagai
lokasi dan menghasilkan berbagai kebutuhan materi,
bahan dasar industri dan bahan energi di eksploitasi
secara luas.

Sumber: en.wikipedia.org/wiki/Mongol_Empire

pertanian, telah menutup masa silam manusia untuk


berpindah dari masa tenaga otot ke tenaga lain.
Selama perkembangan masa lalu itu telah terjadi
perubahan pada permukaan bumi oleh manusia.
Hutan dibabat, bukit dipapras, dan pemandangan
berubah dari pemandangan alam ke pemandangan
buatan manusia.
Manusia telah banyak belajar dari pengalamanpengalaman masa lalu, belajar dari alam, belajar
dari lingkungan dan lebih mampu memanfaatkan
alam bagi kenikmatan hidupnya. Kota-kota besar
dibangun, industri digelar, perdagangan diperiuas.
Kota yang indah dan sejahtera telah dibangun di
tahun 425 SM, di tepi pantai di Italia Selatan yaitu
Kota Pompeii. Di sebelah baratnya sejauh 40
kilometer tampak dengan anggunnya Gunung Api
Vesuvius. Beberapa kali kota Pompeii dilanda gempa,
dan ditahun 79 M terkubur total oleh abu dan lapilli
setebal lebih dari 6 meter akibat letusan Gunung
Vesuvius. Di tahun 1748 kota Pompeii digali kembali
dan mulai direkonstruksi, dan orang terkesima
dengan hebatnya peradaban masa lalu.
Untuk mencapai perkembangan seperti tersebut
di atas diperlukan waktu hampir satu juta tahun.

60

GEOMAGZ

Desember 2013

Kota-kota besar tumbuh cepat di setiap daerah,


jaringan jalan merambah kawasan perkotaan,
industri, pusat-pusat perkebunan dan simpul-simpul
kegiatan serta simpul distribusi. Akibatnya, sejak
Revolusi Industri sampai dengan tahun 1970-an
pemanfaatan bahan bakar batubara dan minyak
bumi naik secara nyata: batubara naik sekitar 3%
pertahun, dan minyak bumi naik sekitar 7% per
tahun sehingga kenaikan produksi penambangannya
naik secara eksponensial.
Pesatnya perkembangan industri, khususnya
di negara-negara maju, mempercepat pula
pertumbuhan kota-kota besar dan kegiatan tersier
baik di bidang pertanian maupun industri dan
selanjutnya mengubah penyebaran penduduk.
Semakin bekembangnya kegiatan berbagai industri,
membentuk pemusatan-pemusatan penduduk yang
lebih besar lagi ke dalam lokasi-lokasi pusat yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan kota.
Pengembangan pertanian, industri, dan perkotaan
didahului dan diikuti dengan pembabatan hutan,
alih fungsi lahan, penggarapan lahan, penambangan
sumber daya energi dan sumber daya mineral, serta
eksploitasi sumber-sumber bahan bangunan seperti
pasir, kerikil, batu, dan sumber air.
Perkembangan kota-kota lama terjadi di kelima
benua, di Eropa, Asia Tengah, Afrika, Asita Timur,
Amerika Selatan dan di Australia. Pembangunan kotakota tua didasari atas berbagai hal antara lain lokasi
yang strategis dipandang dari segi perdagangan,
pertahanan, adanya mineral bahan tambang dan

kegiatan penambangan, sumber, air yang melimpah,


tempat rekreasi atau kegiatan keagamaan, mata
air panas untuk penyembuhan. Kerusakan atau
kehancuran sebuah kota dapat pula terjadi karena
beberapa hal, di antaranya habisnya cadangan hasil
tambang, pelabuhan yang mendangkal, lahan kota
yang amblas terus-menerus, gempa bumi, letusan
gunung api, atau oleh peperangan, dan sebagainya.
Revolusi Industri selalu memicu negara-negara
industri untuk mencari lebih banyak lagi mencari
sumber energi fosil.
Pasca Perang Dunia II
Peperangan, khususnya Perang Dunia II, telah
mendorong timbulnya industri perang secara
besar-besaran dan simultan di negara-negara yang
aktif berperang, yaitu: Eropa, Rusia, Amerika, dan
Jepang; negara-negara kecil yang nota bene adalah
negara jajahan tetapi memiliki sumber daya alam,
sumber daya energi dan sumber daya mineral turut
serta menyediakan bahan dasar industri dan bahan
dasar energi secara besar-besaran pula. Tidak jarang
negara- negara kecil tersebut turut serta diperebutkan
selama perang dan turut menderita karenanya antara
lain Indonesia (Hindia Belanda).
Setelah Perang Dunia II usai maka tampaklah
bahwa negara-negara di dunia ini dapat pula
dikelompokkan ke dalam empat kelompok. Pertama,
negara-negara adidaya yang kaya akan sumber daya
alam, teknologi dan industri seperti Amerika Serikat,
Prancis, Jerman, Inggris. Kedua, negara-negara yang
tidak memiliki sumber daya alam tetapi berteknologi
dan industri seperti Jepang dan Italia. Ketiga, negaranegara yang kaya akan sumber daya alam tetapi tidak
berteknologi dan industri, dan cenderung berbudaya
tradisional seperti Indonesia dan Filipina. Terakhir,
negara-negara yang miskin sumber daya alam dan
tidak berteknologi dan industri dan cenderung
berbudaya tradisional seperti Banglades dan Tanzania.
Negara-negara yang kaya atau mempunyai
sumber daya alam tetapi tidak berteknologi dengan
kehidupan
berbudaya
tradisional
cenderung
membangun negaranya dengan mengexploitasi
kekayaan alamnya dan menjualnya ke negara maju.
Eksploitasi sumber daya alam tersebut mengakibatkan
rusaknya lingkungan secara besar-besaran dan
meliputi banyak wilayah. Eksploitasi bahan tambang
baik yang berupa mineral logam, mineral bahan
bakar, maupun bukan logam, atau rr ineral industri
meninggalkan pula luka-luka yang dalam seperti
lubang-lubang bekas galian, danau-danau, tebingtebing galian yang terjal dan sering longsor, timbunan
dari sisa-sisa pengolahan berupa batu-batu, pasir,
lumpur (tailing) di kawasan yang luas, gersang, erosi
tinggi, berdebu pada musim kemarau. Tidak jarang
pula bekas-bekas penambangan juga menyebabkan

pencemaran udara, tanah, pencemaran air tanah,


dan pencemaran lingkungan.
Setelah Perang Dunia II usai maka banyak
negara-negara jajahan memanfaatkan untuk
melepaskan diri dari penjajahnya dan kemudian
membangun negaranya masing-masing. Kota-kota
besar bermunculan demikian pula kawasan-kawasan
industri, jaringan transportasi baru, pembukaan
lahan untuk tanaman pangan, perkebunan,
peternakan
dan
perikanan,
pembangunan
sarana serta prasarana dan pariwisata. Semua
pembangunan tersebut memerlukan pendukung
seperti ketersediaan lahan, tanah/batu/mineral
untuk pembangunan, air untuk berbagai keperluan.
Eksploitasi sumber daya alam tersebut menambah
ramainya gangguan terhadap ekosistem yang
tidak mudah untuk mengatasinya karena berbagai
kendala-kendala tadi turut menambah terjadinya
bencana yaitu bencana teknologi seperti longsoran,
banjir, jebolnya bendungan, runtuhnya bangunan,
robohnya jembatan, meledaknya pabrik, dan lainlain. Pergerakan penduduk dari wilayah pedesaan ke
kota besar selalu bertambah dari waktu ke waktu. Di
tahun 1960-an persentase pergerakan penduduk ke
kota berkisar antara 40-70%, dan pertambahan kota
dari yang berpenduduk 5.000 orang hingga lebih
dari 1.000.000 juga selalu bertambah demikian pula
di Indonesia.
Ini berarti pembangunan sarana dan prasarana
untuk memenuhi kebutuhan hidup juga terus
bertambah seperti pembangunan sarana air bersih,
listrik, berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial,
transportasi, tempat pembuangan sampah, dan lainlain. Dan kesemuanya memerlukan lahan, bahan
bangunan, bahan dasar industri, air, dan bangunanbangunan pengendali berbagai bencana alam.
Manusia tidak henti-hentinya mengintervensi alam,
kadang-kadang disertai upaya reklamasi, preservasi,
maupun konservasi tetapi sering kali hal-hal tersebut
terabaikan.
Tulisan ini diringkas dari tulisan dengan judul yang sama pada
Seminar Purnabakti dari ITB penulisnya sendiri di tahun 2004
(red.).
Penulis adalah profesor emeritus Geologi ITB.

61

Saat Benda Langit


Mengukir Bumi
Oleh: Marufin Sudibjo
Komet ISON yang kian terang, diabadikan oleh Michael
Jager pada 16 November 2013 dari Turmkogel (Austria).
Nampak ekor gas (G) dan ekor debu (D), yang merentang
hingga jutaan kilometer dari kometnya sendiri. Sumber:
Jager, 2013.

SON, Encke, LINEAR dan Lovejoy. Itulah


empat nama yang sedang merajai langit fajar
November dan (sebagian) Desember 2013
sebelum Matahari terbit. Tak seperti Merkurius
atau Mars yang jauh lebih akrab di telinga kita,
empat nama itu sungguh eksotis. Ya, keempatnya
memang merepresentasikan benda langit anggota
tata surya yang menawan sehingga boleh dinamai
sesuai sosok penamaan dari orang/institusi yang
pertama kali melaporkan keterdeteksiannya, yakni
komet. Sepanjang November-Desember 2013 komet
ISON (kode: C/2012 S1), Encke (2/P), LINEAR (C/2012
X1) dan Lovejoy (C/2013 R3) cukup terang sehingga
mudah disaksikan lewat teleskop kecil/binokuler dan
mungkin dengan mata telanjang, sepanjang langit

62

GEOMAGZ

Desember 2013

cerah dan pengamat berada di lingkungan yang


betul-betul gelap.
Komet terus menarik perhatian manusia termasuk
dalam empat abad terakhir. Inilah benda langit berorbit
ekstrim yang menjadi representasi tergamblang kerja
hukum-hukum Kepler dan Newton. Inilah benda
langit unik yang terlihat memiliki ekor/rambut
sehingga mendapatkan nama lainnya nan megah,
yakni bintang berekor atau bintang berambut. Satelit
penyelidik komet jarak dekat seperti Giotto (1986),
Deep Space 1 (2001), Deep Impact (2005) maupun
Stardust/NeXT (2011) menunjukkan komet tersusun
oleh material primitif tata surya sebagai debu halus
bercampur bekuan air, karbon monoksida, sianogen
dan senyawa karbon sederhana lainnya. Semuanya

Perbandingan morfologi antara kawah Sedan di Gurun Nevada (atas) sebagai produk ujicoba senjata nuklir berkekuatan 104 kiloton TNT dengan titik
ledak bawah permukaan dangkal, dengan kawah Barringer di Arizona (bawah) sebagai produk tumbukan benda langit ~50.000 tahun silam.
Sumber: US Atomic Energy Commission, 1990; N.M. Short, 2009.

63

ke bawah paras air laut seperti dicatat Ephorus


dari Cymea dan Callisthenes dari Olynthus. Dari
sinilah sekitar setengah abad kemudian Aristoteles
melahirkan anggapannya, yang ternyata bertahan
hingga 1.900 tahun kemudian. Tewasnya Julius
Caesar, invasi Perancis ke Inggris (1066) dan runtuhnya
imperium Aztec di bawah telapak kaki penaklukan
Spanyol (1517) adalah beberapa peristiwa sejarah
yang dianggap terkait pemunculan komet di langit.
Astronomi modern menjadikan anggapan kuno
itu kontan meredup hingga setengah abad silam,
kala dunia seisinya secara bersamaan memasuki era
nuklir dan penjelajahan antariksa. Perkembangan
penelitian selanjutnya mengungkapkan satu rahasia
besar, bahwa ternyata komet (dan juga asteroid)
memang benar-benar mampu menimbulkan
bencana bagi Bumi kita, dan bukannya bencana yang
dikait-kaitkan dengan pemunculan benda langit itu
sendiri di angkasa. Bahkan, dalam skala tertentu,
tingkat kedahsyatannya sungguh tak terperi dan
jauh melampaui bencana alam lainnya. Musnahnya
dinosaurus dan 75% kelimpahan makhluk hidup
lainnya pada peristiwa Kapur-Paleosen (65 juta
tahun silam), pun lenyapnya 96% kelimpahan
makhluk hidup dalam peristiwa Perem-Trias (250 juta
tahun silam), diduga kuat terkait hantaman komet/
asteroid. Apalagi setelah dunia menyaksikan betapa
dramatisnya tumbukan 21 keping komet ShoemakerLevy 9 ke Jupiter pada 16-24 Juli 1994.
Metamorfosis
Perbandingan fotomikrograf batupasir dari dasar kawah Sedan (atas)
dan kawah Barringer (bawah). Terlihat garis-garis paralel yang adalah
representasi pola deformasi laminar (PDF), produk metamorfosis pada
tekanan minimal 10 GPa. Sumber : N.M. Short, 2009; B.M. French, 1998.

menyatu dalam sebentuk gumpalan besar berongga


mirip batuapung. Pemanasan dan tekanan angin
Matahari membuat kandungan bekuannya mulai
tersublimasi, khususnya yang berlokasi di dekat
permukaan inti komet. Maka terbentuklah gas-gas
terionisasi yang terhambur ke antariksa dengan arah
menjauhi posisi Matahari, yang disebut ekor gas.
Pada saat yang sama semburan gas menyeret debudebu halus disekelilingnya untuk ikut terhambur ke
antariksa dan tersebar di sepanjang orbit komet,
yang lantas dikenal sebagai ekor debu.
Tetapi sebelum abad ke-16, kehadiran komet di
langit lebih dipandang sebagai penanda bencana.
Biang keladi anggapan ini boleh jadi Aristoteles.
Sekitar 2.300 tahun silam sebuah komet sangat
terang dengan ekor sangat panjang meraja di
langit. Berselang beberapa waktu kemudian gempa
besar mengguncang Semenanjung Achaea dan
menenggelamkan kota-kota Helice dan Boura (Buris)

64

GEOMAGZ

Desember 2013

Dimensi komet/asteroid jauh lebih kecil dibanding


Bumi namun sebaliknya memiliki kecepatan relatif
jauh lebih tinggi, yakni dalam rentang 12 hingga 25
km/detik (bagi asteroid) atau 20 hingga 72 km/detik
(bagi komet). Karena itu, energi kinetiknya sangat
besar. Jika sebuah asteroid/komet memotong orbit
Bumi dan pada saat bersamaan asteroid/komet dan
Bumi berada di titik potong itu, maka tumbukan
pun tak terelakkan. Meski, semakin besar ukuran
komet/asteroid maka semakin jarang kekerapan
tumbukannya di Bumi.
Apa yang sesungguhnya terjadi dalam tumbukan
baru dipahami pada 1960-an berkat penyelidikan E.
Shoemaker dengan N. M. Short dan secara terpisah
juga oleh E. Chao, B.M. French dan W. Engelhardt.
Saat kawah produk ujicoba nuklir permukaan/bawah
permukaan dangkal di Gurun Nevada, misalnya
kawah Sedan (diameter 390 meter), dibandingkan
dengan kawah Barringer/Meteor (diameter 1.186
meter) di Arizona dijumpai sejumlah kesamaan.
Di dasar kedua kawah berbeda itu dijumpai koesit,
mineral yang hanya bisa terbentuk saat kristal kuarsa
mendapat tekanan melebihi 30 Gpa (Giga Pascal, 1
GPa setara dengan 9.869 tekanan atmosfer standar
atau 0,102 juta ton/m2). Tekanan ini jauh melampaui
apa yang sanggup dihasilkan aktivitas vulkanisme,

Dari kiri ke kanan: contoh kawah sederhana, kawah kompleks berkubah pusat dan kawah kompleks bercincin pusat majemuk di Bumi. Masing-masing
adalah kawah Wabar (diameter 110 m) di gurun ar-Rub al-Khali (Saudi Arabia), kawah Aorounga (diameter 17 km) di gurun Sahara (Chad) dan kawah
raksasa Chicxulub (diameter 180 km) di Semenanjung Yucatan (Meksiko). Sumber: N.M. Short, 2009 dengan citra visual (Wabar), radar (Aorounga)
dan peta gravitasi (Chicxulub).

yang takkan melebihi batas 3 GPa saja. Secara alamiah


tekanan sebesar itu hanya bisa dicapai saat komet/
asteroid jatuh menumbuk Bumi seiring kecepatan
yang sangat besar.
Metamorfosis oleh rejim tekanan sangat tinggi
adalah ciri khas tumbukan benda langit. Gelombang
kejut tumbukan bisa menghasilkan tekanan sampai
400 GPa di titik tumbuk atau 10 hingga 60 GPa pada
batuan disekelilingnya hingga radius terdampak.
Selain tekanan, tumbukan juga disertai suhu sangat
tinggi yang bisa mencapai 10.000 C di titik tumbuk
dan antara 500 hingga 3.000 C pada batuan di
sekelilingnya. Tingginya kecepatan gelombang
kejut membuat metamorfosis berlangsung sangat
singkat, dari beberapa milidetik hingga kurang dari
1 jam saja sehingga waktu reaksinya pun cepat.
Bergantung pada besar tekanan, maka terbentuk
sejumlah mineral/batuan yang berbeda. Pada
rejim 2 hingga 6 GPa terbentuk breksi tumbukan
(suevite) dan struktur megaskopik menyerupai ekor
kuda (shatter cones). Pada rejim 10 hingga 20 GPa,
kristal kuarsa tertekan hebat sehingga menghasilkan
struktur pola deformasi laminar mikroskopik atau
PDF (planar deformation feature). Di rejim ini kuarsa
juga mulai bermetamorfosis jadi stishovit sementara
grafit berubah menjadi intan. Pada rejim 20 hingga
35 GPa, kuarsa makin banyak memiliki PDF atau
bermetamorfosis membentuk koesit. Pada tekanan
lebih tinggi lagi bakal terbentuk kuarsa diaplektik
atau gelas felspar, atau bahkan menguapnya batuan
yang lantas mencair kembali sebagai lelehan mirip
lava (impact melt). Kuarsa yang menguap dan lantas
membeku kembali selama masih berada di udara
membentuk tektit. Batuan dan mineral khas inilah
kunci identifikasi bagi struktur produk peristiwa
tumbukan benda langit.

Hantaman benda langit ke daratan/perairan


dangkal akan mengukir muka Bumi dengan
cekungan sirkular yang dikelilingi timbunan produk
tumbukan (ejecta). Bila diameternya kurang dari 5
km maka cekungan itu menjadi kawah sederhana
yang tak terdeformasi lebih lanjut. Kawah Barringer
(AS) menjadi contoh terbaiknya. Sebaliknya bila
melebihi 5 km maka terbentuklah kawah kompleks.
Bergantung kepada diameter kawahnya, maka
deformasi yang dikontrol gravitasi bakal membentuk
kawah kompleks dengan kubah pusat (diameter
< 20 km), atau punggungan tunggal melingkar di
sekeliling pusat sebagai cincin pusat (diameter 20100 km), atau banyak punggungan melingkar sebagai
cincin pusat majemuk (diameter > 100 km). Kawah
Bosumtwi di Ghana (10 km), Charlevoix di Canada
(54 km) dan Chicxulub di Mexico (180 km) adalah
beberapa contoh kawah kompleks. Baik pada kawah
sederhana maupun kompleks, lantainya tersusun
oleh ejecta didominasi lensa-lensa suevite yang
bercampur aduk dengan batuan/mineral yang telah
termetamorfosis. Ciri khas lainnya adalah terjadinya
pembalikan stratigrafis oleh deformasi ekstrim dan
pengangkatan saat tepian kawah terbentuk, sehingga
lapisan sedimen yang lebih tua bakal menumpang di
atas lapisan lebih muda. Ini tersingkap dengan baik di
kawah Barringer sebagai kawah berusia sangat muda
(~50.000 tahun) yang belum banyak berubah oleh
erosi.
Meski mekanika dan dinamika yang mengontrolnya
sangat kompleks, terdapat aturan sederhana bagi
rasio diameter kawah tumbukan dengan benda
langit pembentuknya seperti dinyatakan Shoemaker.
Jika menumbuk batuan kompak, maka rasionya
berkisar 20 : 1. Sementara jika titik tumbukan berupa
pasir/dasar perairan dangkal maka rasionya merosot
menjadi 12 : 1.

65

Tektit
Eropa Tengah
(Chesapeake Bay)
Tektit
Amerika Utara
(Chesapeake Bay)
Tektit
Pantai Gading
(Bosumtwi)

Tektit
Australasia
(?)

Peta empat area sebaran tektit utama di Bumi dengan nama kawah tumbukan yang menjadi sumbernya tertera di dalam kurung, sementara tanda panah
menandakan proyeksi lintasan benda langit penumbuknya. Tektit Australasia mencakup area terluas dengan kawah sumbernya belum diketahui.

Musim Dingin
Masalah terpelik dari tumbukan benda langit
adalah dampak lingkungan yang menyertainya.
Tumbukan memang menciptakan gelombang kejut
yang menghempas di udara, gelombang seismik yang
merambati kerak Bumi, sinar termal yang membakar
dan tsunami ekstrim (jika terjadi di perairan). Namun
semuanya lebih berdampak lokal-regional semata.
Sebaliknya ejecta yang terlontar tinggi hingga
menjangkau lapisan stratosfer akan terdistribusi ke
segenap penjuru oleh sirkulasi atmosfer. Debu ejecta
di stratosfer akan berperan sebagai tabir surya yang
menghalangi pancaran sinar Matahari ke muka
Bumi. Tabir surya bakal lebih efektif jika Belerang
dalam komet/asteroid, berupa troilite dengan kadar
rata-rata 6,5%, terbebaskan dan bereaksi lebih lanjut
dengan udara dan uap air menjadi aerosol asam
sulfat. Kian efektif lagi bila titik tumbuk mengandung
gipsum berlimpah. Terhalanginya sinar Matahari
membuat suhu rata-rata muka Bumi menurun,
sehingga tutupan es meluas, tingkat penguapan
menurun dan cuaca pun kacau-balau. Inilah periode
pedih yang dikenal sebagai musim dingin tumbukan
(impact winter).
Karena melibatkan energi sangat tinggi, energi
tumbukan benda langit secara praktis kerap
dinyatakan dalam satuan kiloton atau megaton,

66

GEOMAGZ

Desember 2013

mengikuti praktik yang umum di dunia fisika energi


sangat tinggi. Dalam sejarahnya 1 kiloton adalah
energi produk detonasi 1.000 ton bahan peledak TNT
(trinitrotoluena), namun lantas disetarakan dengan
4.184 GJ. Sementara 1 megaton setara 1.000 kiloton.
Ledakan bom nuklir Hiroshima, yang sudah cukup
dahsyat untuk ukuran manusia, berenergi 20 kiloton.
Sementara Letusan Tambora 1815 melepaskan energi
hingga 27.000 megaton. Namun energi letusan
terdahsyat dalam sejarah itu, setidaknya pasca tahun
1257, ternyata hanya setara dengan tumbukan
asteroid yang diameternya 650 meter (massa jenis
2,5 gram/cm3, kecepatan tumbukan 21 km/detik),
atau komet 820 meter (massa jenis 0,5 gram/cm3,
kecepatan tumbukan 40 km/detik). Jika yang sekecil
itu saja sama dahsyatnya dengan letusan Tambora,
maka dapat dibayangkan bagaimana dengan rekanrekannya yang berdiameter > 1 km. Padahal jumlah
mereka banyak dan banyak pula bergentayangan di
sekitar orbit Bumi kita!
Dampak global tumbukan baru terjadi bila
energinya mencapai 1.000 megaton, berkorelasi
dengan asteroid berdiameter 220 m atau komet
290 m (bila parameternya sama dengan di atas). Jika
titik tumbukan mengandung 1% gipsum, maka tabir
surya produk tumbukan membuat impact winter
berlangsung ~4,5 tahun dengan penurunan suhu

maksimum mencapai 0,5 C. Bandingkan bila ukuran


asteroidnya membengkak menjadi 10 km seperti
yang terjadi pada peristiwa Kapur-Paleosen. Dengan
parameter serupa, maka tabir surya tumbukan akan
membuat Bumi nyaris gelap gulita selama ~20 tahun.
Sepanjang itu Bumi dicekam impact winter dahsyat
dengan penurunan suhu melebihi 5 C. Kegelapan
menghentikan proses fotosintesis sehingga tumbuhan
bertumbangan dan pada gilirannya hewan-hewan
pun bermatian akibat hilangnya bahan makanan.
Peristiwa Kapur-Paleosen yang dipicu kawah
Chicxulub (diameter 180 km) adalah contoh
terpopuler dampak global tumbukan benda langit.
Pun peristiwa Perem-Trias, yang mungkin dipicu oleh
kawah Wilkes Land (diameter 500 km) di Antartika
meski masih sekedar hipotesis. Namun tumbukan pun
bisa hanya berdampak lokal. Meski energinya jauh
lebih kecil ketimbang ambang batas 1.000 megaton,
kekerapannya jauh lebih besar sehingga lebih sering
terjadi termasuk dalam masa peradaban manusia. Di
suku Nordik (Eropa utara) terdapat legenda Kalevala
dan Edda yang ternyata berhubungan dengan
terbentuknya kawah Kali (diameter 110 m) di Estonia
pada 7.500 tahun silam. Kawah itu kini digenangi air
sebagai Danau Kaali. Demikian pula suku Aborigin
dengan legenda chindu chinna waru chingi yabu,
yang ternyata terkait erat dengan struktur Henbury di
Northern Territory (Australia) yang memiliki 14 kawah
(terbesar berdiameter 180 m) dan terbentuk pada
4.300 tahun silam. Pun suku Maya dengan legenda
Matahari jatuhnya, yang ternyata tak terpisahkan
dengan struktur Campo del Cielo (Argentina) yang
berisi 26 kawah (terbesar berdiameter 50 m) dan
terbentuk pada 4.000 tahun silam.
Asia Tenggara
Meski masih perawan seiring (nyaris) nihilnya
penemuan kawah terbukti, Asia Tenggara tetap
menempati posisi penting dalam khasanah keilmuan
tumbukan benda langit. Di sinilah terserak jejak-jejak
peristiwa tumbukan sangat besar dalam rupa tektit
Australasia. Tektit ini tersebar di sekujur Asia tenggara

dan bahkan melampar hingga Australia, India,


Madagaskar dan sebagian dasar Samudra Hindia,
yang secara keseluruhan mencakup sepertiga luas
permukaan Bumi. Di Indonesia ia antara lain dikenal
sebagai bilitonit (batu satam) di Pulau Belitung dan
javanit di Pulau Jawa. Semuanya diproduksi pada 0,8
juta tahun silam oleh komet berdiameter ~5 km, yang
seharusnya diiringi terbentuknya kawah seukuran
~100 km. Namun hingga kini kawah raksasa itu
belum dijumpai. Maka muncul hipotesis bahwa
komet itu mungkin tak sempat menumbuk Asia
tenggara karena keburu meledak di atmosfer pada
ketinggian ~100 km akibat kombinasi perlambatan
mendadak oleh molekul-molekul udara dan kecilnya
sudut yang dibentuk lintasan komet dengan proyeksi
daratan Asia tenggara.
Selain tektit Australasia, jejak tumbukan di Asia
tenggara juga dijumpai di lembah sungai Perak
(Malaysia) tepatnya di sekitar situs arkeologi Bukit
Bunuh. Terdapat banyak bongkahan suevite di
permukaan, sementara survei gravitasi regional
menyimpulkan eksistensi tiga struktur bawah
permukaan sirkular dengan diameter masing-masing
sekitar 2,5 km yang berciri kawah tumbukan benda
langit (Samsudin dkk, 2012). Sementara di Indonesia,
di sekitar kota Majalengka dijumpai lima struktur
sirkular yang sebagian besar saling tumpang-tindih.
Di salah satu struktur secara kasat mata dijumpai
tektit, batuan beku yang berantakan dengan pola
retakan tertentu, breksi dan batuan lainnya yang
sulit diterangkan keberadaannya berdasar proses
stratigrafi biasa (Abdurahman, 2013, komunikasi
pribadi). Meski harus diselidiki lebih lanjut, jejakjejak tersebut sekilas mengesankan sebagai produk
tumbukan benda langit.
Penulis adalah Astronom, bertugas di Badan Hisab dan Rukyat Daerah
Kebumen (Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah) dan Badan Hisab Rukyat
Kementerian Agama RI (Jakarta).

67

Langlang Bumi

Sinabung pada 2013 meletus lagi.


Berdasarkan laporan dari petugas resmi di
PVMBG, Badan Geologi, status Sinabung
dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga
pada 15 September 2013 yang sempat
diturunkan kembali menjadi Waspada
pada 29 September dan naik kembali
menjadi Siaga pada 3 November 2013.
Pada 24 November 2013 status Sinabung
dinaikkan lagi dari Siaga menjadi Awas
(level IV, tertinggi) hingga akhir Desember
2013. Beberapa letusan cukup besar yang
ditandai dengan lama letusan lebih dari
10 menit atau tinggi kolom abu mencapai
lebih dari 1000 meter, kadang disertai
lontaran awan panas pada periode Awas
ini terjadi pada 24, 25 dan 26 November
2013, dan 25, 30, dan 31 Desember 2013.
Tulisan langlang bumi ini merupakan
hasil liputan penulisnya pada 28 Oktober
hingga 1 November 2013 saat status
Sinabung masih Waspada. Selamat
membaca!.

Memburu
Letusan

Sinabung
Oleh: Ronald Agusta

Kepulan putih letusan Sinabung mengarah ke timur. Foto: Ronald Agusta.

68

GEOMAGZ Desember
Desember2013
2013

69

Peta Lintasan Langlang Bumi


Gunung Sinabung
Peta diolah dari data SRTM oleh: Hadianto

Selesai

MEDAN

Binjai

Simpanglayang

Tanjunglangkat

Pancurbatu

Sibolangit
G. Sibayak

Lau Kawar
Berastagi
G. Sinabung
Kabanjahe
Tigapanah

Tigabinanga

Laut Cina Selatan


Samudera Pasifik

Laut Jawa

Samudera Hindia

Petani menyaksikan letusan. Foto: Ronald Agusta.

unung Sinabung meletus lagi akhir


Oktober 2013. Inilah letusan kedua
gunung api di Tanah Karo itu setelah
letusan pertama pada tahun 2010 dan
mengubah statusnya dari gunung api
aktif tipe B menjadi tipe A. Tim Geomagz memburu
Sinabung antara Senin-Jumat, 28 Oktober-1
November 2013. Perburuan tersebut bermaksud
untuk menangkap momen letusan Sinabung
melalui kamera dan berdiskusi dengan petugas pos
Pengamatan Gunung Api (PGA) di seputar letusan
yang terjadi. Sekelumit hasil perjalanan itu disajikan
dalam Langlang Bumi kali ini.
Menuju Pos PGA Sinabung
Senin, 28 Oktober 2013, pukul tujuh malam yang
dingin, dengan menggunakan angkutan pedesaan,

70

GEOMAGZ

Desember 2013

saya dan ahli gunung api Syamsul Rizal Wittiri,


mengunjungi pos PGA Sinabung di Desa Ndokum
Siroga, Kecamatan Simpangempat, Kabupaten Karo.
Saat di perjalanan, pengemudi sempat bercanda
bahwa ingin rasanya Sinabung itu dibom, agar
meletus sekali saja. Tidak berulang-ulang, karena jika
berulang-ulang dapat merusak mata pencaharian,
ujarnya sambil tersenyum.

Esoknya, pukul delapan di pagi yang cerah,


kami meluncur kembali ke PGA Sinabung. Di tengah
perjalanan, kami sempat mengabadikan gunung
dengan kepulan putih yang mengarah ke timur
dengan latar depan kebun jeruk. Di pelataran lantai
tiga PGA, Sinabung diabadikan dari kejauhan. Langit
begitu biru saat itu. Petugas pos terlihat di depan
komputer dan seismograf.

rombongan anak sekolah yang diliburkan sedang


menyusuri Lau Kawar.

Kira-kira setelah dua puluh menit perjalanan


dari Berastagi, kami berhenti di Simpangempat, dan
selanjutnya dijemput menuju PGA. Hanya sekitar lima
menit berkendara dari Simpangempat, kami tiba di
pos PGA Sinabung. Di pos, selain tiga pengamat, ada
lima anggota Tim Tanggap Darurat Gunung Sinabung
yang dikirim PVMBG, Badan Geologi, dari Bandung.
Terhimpunlah data dan analisis tentang Sinabung
untuk liputan esok harinya.

Rekahan di Lau Kawar

Dari situ, kami menuju bukit di antara Lau Kawar


dan Gunung Sinabung, untuk mengabadikan rekahan
dan longsoran di lereng gunung. Tampak asap
mengepul-epul. Bila batuan dan tanah di lereng tak
kuasa lagi menahan semburan uap panas dari dalam
gunung, maka materialnya bisa menghambur ke arah
danau, ujar Armen.

Ditemani Armen Putra, pengamat Gunung api


Sinabung, Tim Geomagz meluncur ke Lau Kawar,
danau di sisi barat laut Gunung Sinabung di
Kecamatan Namanteran. Di sini ada rekahan yang
cukup panjang di sisi gunung yang berhadapan
langsung dengan Lau Kawar. Kawanan kerbau
berlatar belakang Sinabung terlihat. Demikian pula

Di bukit itu ada sebuah warung. Penunggu


warung dan Almada Sitepu (35) yang menggendong
anak terus memandang ke arah gunung. Almada,
guru bahasa Inggris dan Jepang SMP Satu Atap yang
sekolahnya diliburkan itu bertutur, Sabtu (26/10),
menjelang matahari terbenam, ketika Sinabung
meletus hingga mengepulkan abu sejauh lima

71

Danau Lau Kawar, sisi barat laut Gunung Sinabung. Foto: Ronald Agusta.

kilometer ke atas, ia sedang menggendong anaknya


di dalam rumah.
Tiba-tiba terasa gempa, lalu aku segera ke luar
rumah. Getarannya bukan main, gruduk-gruduk
suaranya besar sekali. Lalu aku turun ke halaman,
kujumpai nenek-nenek yang langsung memegang
tangan aku. Gemetar dia! ujarnya mengulang
pengalamannya.
Kata Almada, Menurutku, gara-gara gempa
belakangan ini, gempa Aceh, terus gempa Nias.
Gempa Nias itu, Pak, pas kami sedang duduk di kedai
kopi. Cangkir sampai melompat setinggi ini. Itulah
Pak, menurut kami yang memicu dia, bergeser lapisan
tanah itu, membuat gunung ini aktif kembali,
sambungnya sambil merekahkan jempol dan telunjuk
sekitar enam sentimeter, menceritakan mengapa
Sinabung meletus.
Meletus Lagi
Baru sekitar sepuluh menit meninggalkan bukit
di antara Lau Kawar dan Sinabung, di daerah
Sigaranggarang, tiba-tiba Armen yang duduk di
kursi belakang mengangkat ponselnya. Petugas pos
di ujung telepon mengatakan ada letusan baru, di
daerah barat. Kami menengok ke arah jendela kanan
kendaraan, tapi letusan itu tak terlihat.
Perjalanan dilanjutkan untuk mengejar letusan
sampai ke Sukanalu. Tetapi masih tak terlihat. Armen
menyarankan untuk berbelok ke kanan memotong
jalan ke Simacem. Mengikuti jalan desa di lereng
yang terdekat dengan puncak, dari arah utara ke
selatan mengitari gunung, kami mengikuti saran
Armen. Benar saja, sesampainya di daerah Bekrah,

72

GEOMAGZ

Desember 2013

kepulan abu letusan terlihat jelas. Tengah hari itu,


kami kemudian berhenti di depan sebuah gereja yang
berornamen adat Karo. Kengerian berkecamuk, saat
melihat letusan dari jarak yang cukup dekat.
Tim Geomagz kemudian mengitari lereng gunung
di daerah Bekrah, hingga bertemu bukaan lahan yang
cukup jelas untuk melihat letusan dari jarak yang
lebih dekat. Banyak batuan berserakan di sekitar itu.
Sekitar seratus meter dari situ, terlihat petani sedang
menyaksikan letusan Sinabung.
Perburuan terus berlanjut ke arah selatan hingga
menemui bekas longsoran lahar dingin, sisa letusan
Sabtu lalu, yang sudah dibersihkan dari badan jalan
di daerah Sukameriah, Kecamatan Payung. Tampak
truk pengangkut material yang dimuntahkan Gunung
Sinabung, masih bekerja di tengah letusan siang itu.
Sekitar pukul satu siang, letusan terlihat berhenti,
meninggalkan abu hitam di awan, yang tertiup angin
ke arah barat daya.
Setelah makan siang di daerah Sukameriah, kami
melanglang Desa Mardinding, yang terletak di barat
daya lereng Sinabung, Kecamatan Payung. Rumahrumah panggung berdinding papan ala adat Karo
terlihat banyak di desa ini. Di bawah dinding gunung,
ada pula danau kecil, yang dipakai sebagai sumber air
bagi warga desa. Desa ini begitu tenang, tak tampak
kepanikan, walaupun Sinabung baru saja meletus.
Rupanya debu letusan belum hinggap di sana.
Sejak di Mardinding, kami memutuskan untuk
melalui Tiga Pancur, yaitu ketinggian di perbukitan,
titik pandang yang jelas ke Sinabung. Dari ketinggian
inilah saya melihat betapa suburnya Tanah Karo. Di
puncak bukit itu ada sebuah warung di tepi lembah.

Menutup mulut dengan masker. Foto: Ronald Agusta.

73

Pemiliknya bernama Anto, berasal dari Pulau Jawa. Ia


menyajikan kopi khas tanah Karo.
Cukup lama kami bertiga di Tigapancur menikmati
hembusan angin pegunungan sambil menyaksikan
Sinabung yang berdiri kokoh. Sekitar pukul empat
sore, barulah Tim Geomagz beranjak meluncur ke
pos PGA Sinabung.
Menjelang matahari tenggelam, sekembali ke
penginapan di Berastagi, Anto pemilik warung di
Tigapancur, menelepon saya. Katanya, ada letusan
baru. Karena hari sudah gelap, kami memutuskan
kembali lagi ke sana esok pagi, untuk meliput desadesa yang yang dihujani abu vulkanik.
Reaksi Warga
Rabu, 30 Oktober 2013. Pagi-pagi benar, kami
langsung meluncur ke Tigapancur. Sekitar pukul
tujuh pagi, saya dan Syamsul telah berada di warung,
pinggir lembah yang berhadapan langsung dengan
Sinabung. Di puncak gunung tampak kepulan abu
berwarna putih masih membubung ke langit. Langit
cerah. Kata Anto, menjelang pukul empat dini hari,
terjadi letusan yang cukup lama dan besar, sehingga
abunya masih terlihat.
Anto melanjutkan, Akibatnya, Desa Batukarang,
di Kecamatan Payung, dihujani abu. Bila ingin ke sana,
Bapak tinggal mengikuti jalan ini menuruni lembah.
Saat ada persimpangan, ambil jalan yang ke kiri. Ikuti
jalan itu terus, nanti bakal tiba di Desa Batukarang.

Saya dan Syamsul memutuskan segera meluncur


ke sana. Jalanan menurun, meliuk-liuk tajam,
persimpangan jalan yang ditunjuk Anto terlihat.
Setelah berbelok ke kiri, tiba-tiba di depan banyak
orang berhamburan ke luar rumah, menghalangi
jalan. Seorang di antaranya menunjuk-nunjuk
ke langit. Kami pun mendongak, kepulan abu
membubung ke langit. Ya, pagi itu sekitar pukul
delapan lebih, Sinabung meletus lagi. Segera
kendaraan saya hentikan dan mencari lahan parkir di
jalanan yang sempit itu.
Dengan sedikit berlari untuk mendekat, kami
mengabadikan reaksi warga desa terhadap letusan
itu. Ada warga yang segera menutup mulutnya
dengan masker. Ada pula yang menutup rambutnya
dengan sarung. Sapi yang termangu seolah mencium
bau kepulan abu vulkanik. Petani yang terpaku
diam melihat kebunnya diselimuti abu. Seorang ibu
segera mengeluarkan kedua anaknya dari rumah
sambil mengacungkan lengan menunjuk langit. Dua
perempuan segera keluar dari gudang penyimpanan
hasil panen. Ada pula lelaki yang tetap mencuci
kendaraan dari abu dini hari seolah tak peduli pada
datangnya letusan baru.
Setelah itu, Geomagz kembali bergerak meluncur
lurus di jalanan berdebu ke Desa Batukarang. Di
sana pun beragam reaksi warga yang kami rekam,
seperti petani yang tetap membajak tanah yang
warnanya telah berubah bercampur abu vulkanik.

Petani yang menunjukkan pada kami, tanaman


cabai yang nyaris mati. Seorang ibu yang sedang
menjemur bawang merah di tempat yang lebih teduh
agar terlindungi dari abu. Seorang anak sedang
membantu ibunya menyiram cabai. Juga petani yang
tetap menyemprotkan antihama pada tanaman yang
sudah kecoklatan.
Sampai tengah hari kami berada di Desa
Batukarang, di barat daya Sinabung. Dari situ, kami
pun beranjak ke dataran tinggi Tigapancur. Di tengah
perjalanan ke selatan itu, terlihat pemandangan
kontras dengan Desa Batukarang, yaitu hamparan
huma dan kebun yang hijau bersih tergelar. Arah angin
memang tidak dapat diduga, kadang berhembus ke
barat daya, dan mungkin suatu ketika angin bisa
berhembus ke sini, ke selatan, mengantarkan abu
vulkanik.
Siang itu kami beristirahat di warung Anto dan
tetap waspada. Menjelang sore, Geomagz mampir
kembali ke PPGA. Di Desa Surbakti, kami melihat
jejeran petani sedang memanen bawang daun.
Mereka bersimpuh duduk di tanah, memilah-milah
daun bawang, sambil bernaung di bawah payungpayung yang berwarna-warni. Mereka bekerja seakan
berkejaran dengan waktu. Setelah mampir ke PPGA
Sinabung, menjelang mentari tenggelam, kami
kembali ke Berastagi.
Kembali ke Lau Kawar
Kamis pagi, 31 Oktober 2013, setelah dua
hari meliput Sinabung, kami memutuskan untuk
mengunjungi Gunung Sibayak, berjarak sekitar 20
kilometer ke arah timur Berastagi. Inginnya dapat
melihat Sinabung dari ketinggian Sibayak. Tapi apa
daya, kabut pagi itu cukup tebal sehingga pandangan
tidak jelas. Kawah Sibayak hanya terekam di sela-sela
kabut.
Dari Sibayak, kami mengunjungi Bukit Gundaling
di Berastagi. Konon dari atas bukit yang banyak
dihiasi bangunan bekas penjajah Belanda, dapat
melihat Sinabung dengan jelas. Ternyata di sana pun
kabut masih bersimaharajalela, sehingga Sinabung
tidak terekam jelas dari sana.

Mengabadikan letusan dari jarak dekat. Foto: Ronald Agusta.

74

GEOMAGZ

Desember 2013

Hari hampir sore. Kami beranjak lagi meninggalkan


Lau Kawar. Sekitar lima belas menit perjalanan, di
pinggir jalan di Desa Naman, Kecamatan Namanteran,
sekumpulan ibu-ibu berkerumun di depan kantor
koperasi. Mereka adalah para pengungsi dari Desa
Gurukenayan, Sukameriah, Bekrah, Simacem,
Sukanalu, Sigaranggarang, Kutagugung, dan Desa
Kutaraya.
Kami disuruh mengungsi oleh pemerintah
daerah, kadang malam kadang siang, karena kalau
hujan lebat bisa longsor, ujar seorang ibu di tempat
pengungsian. Jantung kami sudah lemah semua,
tadi siang kami lari dari ladang jam dua belas,
karena kami diberi kabar untuk waspada, untuk
mengosongkan kampung, sambungnya. Siang itu
padi, kentang, jagung, tomat, cabe, kopi, dan jeruk
milik mereka sudah rusak semua.
Pulang dan Harapan
Jumat, 1 November 2013, pukul enam pagi, kami
meninggalkan Sinabung untuk kembali ke Bandung.
Karena khawatir Sinabung meletus lagi lebih besar,
kami menyusuri jalan antara Berastagi-Medan.
Namun, hamparan tanah yang dipenuhi pepohonan
hijau dan pemandangan yang indah di sepanjang
perjalanan pulang ini kerap mengenyampingkan
kekhawatiran itu dan memunculkan harapan.
Ya, harapan agar bencana segera berlalu. Semoga
tidak terjadi letusan yang lebih hebat. Semoga
tidak ada korban bila terjadi longsor atau banjir
lahar dingin yang menerjang kampung dan ladang.
Semoga pula abu vulkanik yang menghambur itu
dapat lebih menyuburkan dataran tinggi yang indah
ini. Semua harapan itu beralasan. Betapa tidak, di
sebagian besar waktu yang kita alami, gunung api itu,
meski ada kalanya mendatangkan bahaya, bahkan
bencana, tetapi lebih banyak diam dan memberikan
begitu banyak manfaat kepada kita.
Penulis adalah fotografer dan trainer jurnalistik.

Menjelang tengah hari, kami meluncur ke PPGA


Sinabung. Di sana kami bertemu dengan ahli gunung
api Indyo Pratomo, yang menyempatkan diri dari
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IAGI di Medan
untuk mengunjungi pos pengamatan di Tanah Karo
ini. Setelah makan siang, ditemani Indyo, kami
mengunjungi Lau Kawar, untuk melihat lagi rekahan
Sinabung yang cukup panjang menganga dan
mengepulkan asap dari lerengnya. Namun, sayang,
kabut belum menghilang, sehingga lereng gunung
tak terlihat.

75

3 16' 00" LS
98 33' 30" BT

9819'00" BT

316'00" LS

PETA RELIEF
GUNUNG SINABUNG DAN SEKITARNYA,
KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA

U
Gunung Sibayak

3 km

Namanteran
Danau Kawar

Berastagi

Sigaranggarang

LEGENDA
Relief permukaan bumi
Lau/Danau

Gunung Sinabung

Bekerah

Jalan

Mardinding

Kota Kabupaten

Sukameriah

Ndokumsiroga
Surbakti

Payung

Kota Kecamatan

Simpangempat

Kota lain/lokasi yang dikunjungi

Tigapancur

Batukarang
Laut Cina Selatan

KABANJAHE

Medan

MALAY S IA

S
U
M
A

INDONESIA

e
ia

9833'30" BT

GEOMAGZ

in

76

9819'00" BT

ra

303'45" LS

Laut Jawa

303'45" LS

Desember 2013

77

oleh seismograf siang maupun malam hari. Dalam


gambar hasil seismograf bentuknya mirip kalong yang
mengepakkan sayapnya dengan kepala kecil menyembul.
Inilah asal mula penamaan gempa kalong.

Perilaku Baru

Sinabung

Dataran tinggi Tanah Karo dikenal sebagai sentra


buah-buahan di Sumatera Utara, utamanya jeruk manis
yang kemudian dikenal dengan Jeruk Medan. Tanah
Karo punya jeruk, Medan dapat nama. Itu kelakar
masyarakat Karo. Wilayah Tanah Karo yang berada pada
ketinggian rata-rata di atas 1000 m di atas permukaan
laut dilingkupi dua gunung api, Gunung Sinabung dan
Gunung Sibayak. Kedua gunung api inilah sumber
kesuburan tanah di wilayah itu. Salah satu lirik lagu dari
group Koes Plus, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,
yang menggambarkan kesuburan lahan di Nusantara,
disini seakan menjadi kenyataan.
Boleh jadi merupakan toponimi kedua gunung api
itu, menurut beberapa tetua yang saya temui, Si Nabung
berarti orang yang suka menabung atau menyimpan
sesuatu dalam tabung untuk masa depan, sedangkan
Si Bayak artinya orang yang kaya. Entah apa yang
ditabung oleh Sinabung, namun, kaya sudah jelas, yaitu
melimpahnya hasil pertanian yang mereka usahakan.
Kehidupan tenteram itu agak terganggu dengan
meletusnya Gunung Sinabung, gunung yang tertinggi
di Sumatera Utara, pada periode Agustus 2010. Gunung
api tipe B ini meletus setelah isritahat (dormand) yang

Gempa vulkanik ini terekam dengan amplituda


maksimal dengan nilai (S P) kecil, < 3 detik yang
mengindikasikannya bahwa terjadi karena pelepasan
energi yang maksimal dari kedalaman yang dangkal,
kurang dari 4 km di bawah kawah.

Letusan Gunung Sinabung 28 Oktober 2013. Penduduk sudah mulai


terbiasa dengan kondisi ini. Foto: SR. Wittiri.

Letusan Berlanjut

Istirahat selama tiga tahun, Sinabung meletus


kembali dimulai pada 15 September 2013. Menurut
hemat saya, aktivitas ini lanjutan dari letusan sebelumnya
yang belum tuntas melepaskan energi yang sudah
tersimpan sangat lama. Terbukti kemudian, letusan
priode ini terjadi berkali-kali. Hingga tulisan ini
dibuat, 5 November 2013, letusan masih berlangsung,
bahkan semakin membesar yang ditandai dengan telah
terjadinya letusan disertai awan panas pada 6 November
2013 sebagaimana disampaikan oleh Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Kejadian ini menandakan dimulainya babak baru
dalam letusan Sinabung, yakni magma sudah ikut
berperan langsung. Letusan sudah berubah menjadi
magmatis yang sebelumnya freatik berupa letusan gas
atau abu. Artinya, sebelumnya, magma seolah-olah
sebagai provokator di balik layar yang mendorong
terbentuknya uap air (steam) yang memicu letusan.
Setelah bukaan pipa kepundan semakin besar, magma
pun memanfaatkan peluang itu, bermigrasi ke atas dan
memotori langsung letusan.

Titik letusan berada di sisi selatan-tenggara puncak,


paling tidak terpantau ada dua lubang letusan yang juga
merupakan titik letusan tahun 2010 yang lalu.
Rekahan di Sisi Utara

Salah satu letusan Gunung Sinabung yang terjadi pada 29 Oktober 2013.
Foto: SR. Wittiri

sangat panjang, lebih dari 1000 tahun. Ini adalah gunung


api tipe B pertama yang meletus dan merupakan sejarah
baru bagi kegunungapian di Indonesia. Letusan 2010
berlanjut pada penghujung 2013.

78

GEOMAGZ

Desember 2013

Ada sesuatu yang sangat menarik perhatian dari


letusan periode yang terakhir ini. Menyusul letusan 15
Oktober 2013 terbentuk rekahan di sisi barat laut utara
puncak, relatif berseberangan dengan titik letusan yang
ada selama ini. Jauh sebelum Sinabung meletus memang
sudah ada rekahan serupa di sebelah utara rekahan yang
terbentuk sekarang. Rekahan tersebut menghasilkan
belerang dan pernah ditambang oleh penduduk setempat.
Rekahan di tubuh gunung api adalah sesuatu yang

Titik letusan Gunung Sinabung periode September November 2013


masih pada lokasi yang sama dengan periode sebelumnya. Tampak
ada dua titik letusan, tetapi yang aktif yang berada di bagian atas.
Foto: SR. Wittiri.

lumrah, akan tetapi apabila kejadian tersebut terbentuk


dalam masa peletusan, besar kemungkinan rekahan itu
berkaitan dengan besarnya tekanan yang tidak mampu
ditahan oleh batuan penutup di sisi lain dan mendesak
sisi yang relatif lebih rapuh.
Merekonsruksi Peta Topografi Puncak Sinabung
(Neuman van Padang, 1951), rekahan tersebut bisa
jadi perpanjangan dari posisi Kawah I yang mulai aktif
kembali atau terbentuk kawah baru seperti yang dilansir
oleh NASA. Apabila menarik garis hingga ke bagian
kaki, rekahan tersebut akan menuju ke arah Danau Lau
Kawar.
Gempa Kalong

Gempa ini tidak berkaitan dengan aktivitas kalong,


yaitu sebangsa kelelawar dengan ukuran tubuh yang
lebih besar. Gempa kalong sebenarnya adalah gempa
vulkanik tipe A (Minakami, 1969) yang dapat terekam

Beberapa fenomena dapat dicatat berkaitan dengan


munculnya gempa kalong. Pertama, beberapa letusan
diawali dengan terekamnya gempa ini beberapa jam
sebelumnya. Kedua, setiap gempa kalong mempunyai
gerakan awal gelombang P (first arrival time P wave)
yang datang dari arah Stasiun Lau Kawar. Catatan
terakhir adalah bawah episenter atau pusat gempa itu
sebagian besar berada pada sisi barat di bawah puncak.

Dari catatan tersebut di atas dapat diduga bahwa


sumber tekanan datang dari arah baratlaut (Lau Kawar)
berlanjut ke arah tenggara. Dengan energi yang besar
dan sesaat, gempa tersebut memotori naiknya fluida gas
yang memicu letusan yang terkesan mendadak. Disebut
mendadak karena memang tidak pernah terekam tremor
sebelum letusan. Artinya, laju gerak gas ke atas tidak
mampu membuat vibrasi pada dinding kepundang
(pipa kawah). Kalaupun ada getaran menerus (tremor),
rekamannya hampir menyamai background noice rekaman
seismograf dalam masa tenang. Penyebab fenomena ini
boleh jadi karena kawah sudah semakin terbuka.

Dalam diskusi kami di lapangan, seorang


geologiawan gunung api, Indiyo Pratomo, menduga
bahwa keberadaan Danau Lau Kawar bukan sebagai maar
(lubang letusan yang sudah tidak aktif kemudian terisi
air), tetapi terbentuk karena adanya longsoran sebagian
tubuh Sinabung yang membentuk pematang setengah
lingkaran. Proses selanjutnya terbentuk lekukan, karena
erosi dan sebagainya, terisi air dan menjadi danau, mirip
dengan kejadian Bukit Sapuluh Rebu di Galunggung,

G. SINABUNG
2460 m

Kawah I

Kawah IV

Kawah II
Kawah III
(Kw. Batu Sigala)

Gambar kiri adalah Peta Topogra puncak Gunung Sinabung berdasarkan Neumann van Padang, 1951, Gambar: Hadiyanto. Peta Topografi puncak
Gunung Sinabung (Sumber: Neumann van Padang, 1951). Foto kanan adalah rekahan yang terbentuk di sisi barat laut-utara puncak. Foto: SR. Wittiri.

79

Tasikmalaya. Ada pula pendapat yang menyatakan


bahwa berdasarkan foto satelit dibuktikan dan gempagempa yang dominan pada arah patahan tersebut,
cekungan Lau Kawar ini terbentuk akibat secondary
fault dari sesar Sumatra. Menurut penulis, data seismik
lebih menguatkan bahwa danau itu terbentuk melalui
longsoran sebagaian tubuh Sinabung.

Melihat kegempaan yang berkembang, saya


menduga peranan danau Lau Kawar itu adalah sebagai
pemasok air melalui celah batuan yang sangat porus.
Air ini menyusup ke dalam tubuh gunung Sinabung
untuk kemudian diubah menjadi uap air (steam) setelah
bertemu dengan heat front pada kedalaman > 4 km.
Elevasi permukaan danau berada pada 1.400 m dpl.,
sedangkan tinggi Sinabung mencapai 2.460 m, jadi
ada perbedaan ketinggian sekitar 1.060 m. Jika kita
menyimak kedalaman gempa vulkanik antara 1 - 3 km
dan sebagian besar sumber tekanan datang dari sisi
baratlaut (sama dengan posisi danau), maka keberadaan
gempa vulkanik patut dicurigai sebagai akibat tekanan
yang dibentuk oleh steam yang dibangun dari arah danau.
Dengan peluang menerima tekanan lebih awal dan besar,
maka konsekwensi logisnya adalah terjadi robekan pada
sisi baratlaut yang menyisakan rekahan.

Peta Stasiun Seismik yang memonitor kegempaan di Gunung Sinabung.


Sumber: Pos Pengamatan Gunung Sinabung, Badan Geologi.

Menunjuk letusan sekitar pukul delapan pagi. Foto: Ronald Agusta.

Antisipasi di Masa Depan

Gunung api meletus adalah kejadian alam yang


tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kita lakukan adalah
memantau dan memberikan arahan serta saran bagi
penduduk agar mereka tidak terlanda bencana yang
berkelanjutan. Peran tersebut sudah dilakukan dengan
baik oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG), Badan Geologi sebagai institusi
yang bertanggungjawab akan hal itu, termasuk di
Gunung Sinabung.

Ada hal yang patut mendapat perhatian secara


khusus berkaitan dengan aktivitas Gunung Sinabung
saat ini. Terbentuknya rekahan di sisi baratlaut-utara
merupakan fenomena baru yang tidak dapat diabaikan
begitu saja. Tidak ada yang dapat menduga seperti apa
perkembangan rekahan tersebut di masa datang. Apakah
rekahan itu akan memicu ancaman serius atau tidak?
Tidak ada yang dapat mengira. Terlepas dari hal itu,
keberadaan rekahan tersebut perlu mendapat prioritas
untuk dipantau perkembangannya. Selain itu, kondisi
ini perlu disosialisasikan kepada pemerintah daerah dan
segenap masyarakat sekitar secara bijak agar mereka
paham dan mafhum sehingga menjadi perhatian mereka
juga. Dengan cara tersebut masyarakat ikut dilibatkan
secara aktif dalam mitigasi bencana.

Proyeksi episenter gempa vulkanik Gunung Sinabung periode Oktober 2013.


Sumber : Pos Pengamatan Gunung Sinabung, PVMBG, Badan Geologi.

Penulis: SR. Wittiri.

Rekaman gempa vulkanik tipe A (Minakami, 1969). Di kalangan para


Pengamat Gunung api di Pos Gunung Sinabung gempa ini dikenal dengan
Gempa Kalong. Foto: SR. Wittiri.

80

GEOMAGZ

Desember 2013

Sekolah diliburkan, membantu ibu. Foto: Ronald Agusta.

81

Profil

Sampurno
Membangun Negeri
dengan Geologi
Geologi ternyata tidak melulu berurusan
dengan bebatuan yang nampak di
permukaan dan jauh di perut bumi.
Ilmu yang tertuju pada ihwal kebumian
ini di tangan Sampurno menjadi alat
bantu untuk membangun negeri.

Foto: Deni Sugandi

82

GEOMAGZ Desember
Desember2013
2013

83

elasa siang, menjelang tengah hari, 12


November 2013. Mobil hitam yang membawa
kami memasuki kompleks perumahan di
sekitar Dago, utara Kota Bandung. Mobil hitam
berjenis mini bus ini memasuki jalan kecil, berbelok,
dan berputar. Saat itu, kami tengah mencari rumah
ahli geologi Sampurno. Setelah tanya sana-sini,
akhirnya kami menemukan jalan yang benar. Ternyata
Sampurno tinggal di Jalan Bukit Dago Utara II No 8.

lain bebatuan dari Papua, Timor Leste, Tasikmalaya


Selatan, dan Cilegon. Juga koleksi benda-benda kuno
dari bebatuan dan barang-barang keperluan seharihari dari pedesaan.

Setelah tiba di depan gerbang dan memijit tombol


bel, Sampurno dan isterinya muncul dari balik pintu
yang tertutup. Mereka menemui kami, menjabat
tangan kami dengan hangat dan mempersilakan
masuk. Ruangan dipenuhi buku-buku dan bebatuan.
Kami diajak ke bagian belakang rumah, ke pelataran
yang juga difungsikan sebagai garasi.

Dari perbincangan sekian lama itu, kami mencatat


banyak hal yang dirasakan, dialami, dan dicitacitakan Sampurno setelah bergelut dan bergulat
di dunia geologi. Latar belakang masa kecilnya
serta awal mula ketertarikannya menggeluti dunia
kebumian terungkap. Terbayang kekagumannya
pada dosen-dosen geologi Belanda dan Eropa.
Perkaitan geologi dengan pembangunan sebagai
bentuk sumbangsihnya bagi perkembangan geologi
di Indonesia.

Di sana, ada dua set kursi. Di sana-sini kehijauan


tumbuhan terlihat, baik yang tumbuh di tanah
maupun di dalam pot. Bebatuan beraneka ukuran
dan warna terlihat. Perkakas sehari-hari dari daerah
pedesaan terlihat pula. Kami memilih salah satu
set kursi sebagai tempat kami berbincang dengan
Sampurno, atau akrab disapa Sam.
Ini koleksi pribadi dari Papua. Ini ada lobangnya,
kalau sudah begini bisa cerita dari mana asalnya,
ujar Sam sembari menunjukkan koleksi bebatuannya
yang dipernis mengkilat, ditata di meja-meja yang
ada di sekitar garasi itu. Sam menunjukkan antara

Perbincangan pun dimulai, dengan ditingkahi


suara kelotok yang tertiup angin dan sesekali
ditimpali suara tekukur yang merdu terdengar.
Dengan kenyamanan itu, tidak terasa perbincangan
telah berjalan tiga jam lebih.

Pandu ke Dunia Batuan


Sam lahir di Semarang, 2 Desember 1934.
Ayahnya M. Koetojo dan ibunya Moendijah. Sekolah
Rakyat, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah
Menengah Atas diselesaikan di tanah kelahirannya.
Sejak Sekolah Rakyat pada zaman penjajahan
Belanda dan berlangsung selama tiga tahun, tumbuh
rasa cintanya kepada cara guru-guru berpenampilan

Saat ekskursi Geomorfologi di atas Gunung Batu, Lembang, 1985. Foto: Agus Laesanpura.

dan mengajar. Waktu kecil, zaman SD Belanda


sampai 3 tahun, saya itu suka mengamati guru-guru.
Guru laki-laki suka pakai jas dan dasi, sementara guru
perempuan suka pake kain kebaya. Sandalnya tinggi.
Mereka sangat rapi dan disiplin terhadap waktu,
ujarnya mengenang.
Demikian pula ketika SMP dan SMA, Sam sangat
mengagumi keluasan ilmu dan keterampilan cara
menerangkan guru-gurunya. Katanya, Guru SMP
saya di Semarang, orang Cina, namanya Pak The.
Waktu dia menjelaskan gunung dan segala macam
itu kok dia tahu ya. Ada lagi yang memicu saya, guru
sejarah di SMA Semarang. Terpikatnya karena cara
mengajarnya yang serba tahu sampai rinci, misalnya
mengenai Kerajaan Majapahit dan peran besar Gajah
Mada.
Saat itu pula, Sam bergiat dalam Pandu Rakyat
Indonesia, atau Pramuka sekarang, yang digelutinya
hingga tahun 1953. Dalam kepanduan itu, Sam dan
kawan-kawannya sering mengadakan perjalanan
ke luar daerah Semarang. Misalnya, ke Yogya atau
Solo. Sering kali dalam kegiatan itu, Sam dan kawankawan hanya memakai sepeda, ikut truk angkutan,
bahkan berjalan kaki.
Setelah lulus SMA, sebenarnya Sam belum tahu
mau belajar apa dan ke mana. Namun, suatu saat ia
membaca pengumuman BPM (Bataafsche Petroleum
Maatschappij) yang mengundang untuk belajar
geologi. Kemudian, kata Sam, Saya mendengar
bahwa UI di Bandung (ITB) itu ada bagian sains
yang dikembangkan Klompe menjelang tahun 1940an. Lalu saya mendaftar, padahal waktu itu sudah

84

GEOMAGZ Desember
Desember2013
2013

terlambat. Namun, diterima saja. Karena masih


jarang mahasiswa.
Jadilah sejak tahun 1954, Sam tercatat sebagai
warga kampus Ganesha pada Jurusan Geologi,
Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA), Universitas
Indonesia (UI) Bandung. Selama kuliah, ia tinggal di
Jalan Westhoff, dekat Rancabadak, Bandung. Saat itu
pun ia sangat terpikat dan mengagumi dosen-dosen
yang umumnya orang Eropa, terutama mengidolakan
Th. H. F. Klompe (1903-1963).
Saya terkesima dengan Klompe. Dia di Indonesia
tapi kalau geologi itu orientasinya ke Prancis dan
Jerman. Dia menceritakan stratigrafi, struktur, dan
tektonik. Setiap kata-katanya menarik. Selain itu,
dia sering membawa ekskursi, kadang-kadang naik
kereta api sampai ke Yogya atau Situbondo. Jadi, pada
Klompe, motif saya itu ilmu yang dikemukakan oleh
dia mengenai dunia. Bagaimana orang ini sampai
mengerti begitu, bagaimana caranya, kenang Sam
yang selama kuliahnya sangat menyenangi renang,
bahkan pernah menjadi ketua Unit Renang ITB.
Menurut pikirannya, seorang ahli geologi perlu
dapat berenang karena tempat kerjanya tidak hanya
di gunung tetapi sering pula di sepanjang sungai,
danau, atau bahkan di laut.
Selain Klompe, Sam mengagumi D. de Waard.
Dosen bersuara dan bertulisan kecil ini meskipun
ditakuti mahasiswa, tapi mau menjelaskan. Oleh
karena itu, selama masa kuliah hingga kini, Sam
berpegang pada pedoman bahwa, Kita itu
bagaimana caranya menyenangi ilmu dengan jalan

85

kita mula-mula mengupasnya sendiri. Meskipun


itu salah. Jadi dulu, ilmu geologi kita itu kita asah
dengan menilai dosen. Dengan demikian, saya tahu
bahwa untuk mencari ilmu kita harus mendekati
sumber ilmu.
Menjelang akhir perkuliahan, tidak ada ujian tulis,
melainkan ujian lisan dalam bahasa Inggris. Saat itu,
kata Sam, mahasiswa harus mengetuk pintu pintu
ruangan Klompe bila hendak diuji secara lisan. Tentu,
saat mengetuk si mahasiswa harus sudah menguasai
betul materi perkuliahan, karena bisa saja Klompe
meminta ujiannya hari itu juga. Selain itu, kata Sam,
Klompe melihat dulu sepatu dan cara berpakaian
si mahasiswa. Kalau tidak rapi, pasti ditangguhkan
ujiannya.
Setelah lulus dari ITB sebagai sarjana muda, Sam
ingin melanjutkan studi. Ia membayangkan hendak
mempelajari Alpen seperti yang sering ia dengar dari
uraian Klompe. Dosen saya itu memberikan jalan
yang harus saya ikuti, membukakan pintu. Pada saat
saya meneruskan studi, Prof Klompe sudah pindah ke
Thailand dan Malaysia, ungkap penggemar musik
keroncong ini.
Sam yang bertekad kalau ada tawaran ke
Amerika tidak akan diambilnya itu, akhirnya memilih
melanjutkan studi ke Italia atas beasiswa dari
pemerintah Italia. Seminggu di negeri Leonardo
da Vinci itu barulah Sam belajar bahasa Italia.
Selanjutnya, ia memilih dan memilah universitas yang
cocok dengan keinginan belajarnya.
Saya mencoba-coba universitas di Italia Utara.
Mula-mula, saya tanya konteks masing-masing
geologi pada universitas yang bersangkutan. Mana
daerah penelitiannya. Saya menemukan di Milan,
aliran geologinya meyakini bahwa everything is
sedimentation. Granit pun katanya dari sedimentasi

dan ultra metamorfosis. Wah, jauh dari saya, terang


penyayang binatang ini.
Selanjutnya, Sam pergi ke selatan Italia. Ia
menuju universitas yang ada di Kota Florence.
Ia menemukan bahwa pengkajian geologinya
mirip dengan studi geologi di Indonesia, karena
samasama tidak menyebutkan bahwa batuan beku
itu dari sedimen. Tapi letak Florence agak di selatan.
Akhirnya, Sam memilih Padova yang ada di utara. . Di
sana geologinya ada petrologi, mineralogi, geologi,
dan paleontologi dengan ketua bidangnya masingmasing.
Antara tahun 1959 hingga 1962, Sam menjadi
mahasiswa geologi pada Faculta di Scienze, Universitas
Degli Studi, di Padova. Dari sana ia menggondol gelar
Dottore in Scienze Geologiche (doktor ilmu geologi)
dengan disertasi berjudul Studio Petrografico della
zona di Contatto di Val San Valentino, Adamello.
Saat studi di Italia itu, Sampurno merasa
kagum melihat karya Gb. Dal Piaz. Ahli geologi
dan paleontologi Italia berkarya di bidang geologi
teknik (engineering geology) dalam pembangunan
bendungan, jalan raya, geologi perminyakan,
persediaan air, dan panas bumi. Kiprah Dal Piaz ini
menjadi dorongan tersendiri bagi Sam untuk kian
mendalami ihwal geologi teknik.
Setelah lulus, ia tidak segera kembali ke
Indonesia. Sam diminta bekerja di sebuah perusahaan
pertambangan yang ada di sana selama tiga bulan.
Pekerjaannya menganalisa mineral logam dari
pertambangan Ylojarvi dengan sinar pantul.
Batu untuk Membangun
Sepulang ke Indonesia pada tahun 1962,
Universitas Indonesia (UI) Bandung telah berubah
menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak

Sampurno menjelaskan tentang karakteristik gerakan tanah di Cipeles, Sumedang, 1986, saat Ekskursi Geologi Teknik bersama mahasiswa Teknik
Geologi, ITB. Foto: Budi Brahmantyo

2 Maret 1959. Sam yang sebelumnya menjadi


asisten dosen petrologi, kemudian mengajar di
almamaternya itu. Mula-mula ia mengampu mata
kuliah geologi ekonomi yang diajarkan oleh McDivitt
dari Kanada. Setahun kemudian, pada tahun 1963,
bersama rekan-rekan sejawatnya ia mulai merintis
geologi teknik yang dikenal sebagai Kelompok Bidang
Keahlian (KBK) Geologi Teknik dan Lingkungan dan
memimpin Laboratorium Geologi Teknik ITB.
Pada tahun 1963 pula, Sam mulai terlibat dalam
penelitian untuk kegiatan pemugaran Candi Borobudur
yang mulai dikampanyekan penyelamatannya pada
tahun tersebut. Sesuai dengan keahliannya, Sam
memfokuskan pengamatannya pada Candi Borobudur
dari tiga hal penting. Pertama, keadaan tanah tempat
berdirinya Borobudur yang meliputi struktur tanah,
jenis, porositas, dan sebagainya. Kedua, bahan baku
batuan untuk keperluan pemugaran. Ketiga, masalah
penyediaan air untuk keperluan pemugaran serta
proses pelapukan batuan candi.

Sampurno saat menjadi


narasumber dalam Sarasehan
Geologi Populer, 2013.
Foto: Deni Sugandi.

86

GEOMAGZ

Desember 2013

Menurutnya, Borobudur merupakan lambang


kebesaran dinasti Syailendra dan keagungan agama
Budha. Borobudur terletak pada suatu lingkungan
yang sangat serasi antara alam yang keras seperti
letusan Gunung Merapi dan kekerasan pegunungan
Menoreh dengan alam yang indah dan subur, dan
lingkungan binaan spiritual yang megah. Adapun

masalah utama yang dijumpai sebelum Borobudur


direstorasi adalah kemiringan dan melesaknya
dinding candi di tingkat rupadatu, rembesan air dari
dalam tubuh candi, dan pelapukan batu relief.
Untuk bahan baku batuan untuk keperluan
pemugaran Borobudur, Sam mencari-cari lokasinya.
Mula-mula ia mendatangi Karangsambung dan
menguji batuannya, tapi tidak cocok. Akhirnya, ia
menemukan batuan berjenis andesit dari Gunung
Mergi, di daerah timur Ungaran, Semarang.
Penemuan itu dia buatkan laporannya dan kemudian
dia usulkan ke Lembaga Purbakala dan Peninggalan
Nasonal yang berkedudukan di Jakarta.
Melalui pertautannya dengan arkeologi itu pula,
Sam bertemu dengan Dra. Sri Wuryani, ahli arkeologi
jebolan Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Sri yang
juga ikut meneliti Borobudur akhirnya menjalin kasih
dengan Sam melalui tali pernikahan pada tahun 1964.
Mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Vedy, Niya,
dan Ista. Dari ketiga anak itu pasangan Sampurno-Sri
Wuryani dianugerahi empat cucu laki-laki.
Atas dedikasinya untuk meneliti Borobudur antara
1962-1973, Sampurno menerima penghargaan dari
Menteri P dan K Daoed Joesoef atas keterlibatannya
dalam pemugaran Candi Borobudur. Bersama 27
orang lainnya, Sam menerima penghargaan itu pada
22 Februari 1983 di Yogyakarta.

87

Keterlibatannya dalam pemugaran Candi


Borobudur itu bisa dikatakan sebagai titik balik dalam
pemikiran dan karya Sampurno ke arah geologi
teknik dan terapan. Ia menyatakan, Kan dulu
Indonesia dijajah Belanda yang dalam keilmuannya
sangat teoritis. Kemudian ketika memasuki Pelita
I, pola pikir semua orang Indonesia digiring ke
arah pembangunan. Pola pikir tersebut juga
mempengaruhi ilmuwan. Pertanyaan saya waktu
itu, bagaimana dengan geologi? Waktu itu kan saya
masuknya ke geologi umum, lalu ke petrologi. What
next? Kalau hanya mengurusi teori batuan, tentu
Indonesia tak jadi membangun. Jadi, saya harus tahu
program pembangunan.
Dengan demikian, Sam kemudian mengaitkan
antara geologi dengan pembangunan. Untuk sampai
ke sana, Sam mempelajarinya dan menganalisanya
sendiri. Menurutnya, Next-nya itu aplikasi dari
batu, tanah, dan segala macam. Saya sampai harus
mengajar di Jurusan Pertanian Unpad, mengusulkan
pemetaan daerah transmigrasi, dan lain-lain.
Pokoknya, menurut saya, kalau meneliti ruang untuk
manusia itu haruslah applied.
Karena ia yakin ilmu itu harus berkembang.
Setelah mempelajari geologi umum, menurutnya,
ahli geologi tertuju untuk mempelajari sektor-sektor
geologi umum, misalnya struktur dan paleontologi,
disertai aplikasinya. Nah, saya tampilkan petrologi,
yaitu menguasai batuan untuk engineering. Untuk
bahan bangunan, jalan, pabrik semen, keramik,
bahkan membuat pipa dari lava basal Gunung
Tangkubanparahu, ujarnya.
Sejak tahun 1970, ia turut menerapkan ilmu
geologi dalam berbagai bidang pembangunan.

Seperti geologi untuk bendungan, jalan raya,


longsoran, pengadaan air bersih, pengembangan
wilayah dan kota, serta lokasi pembuangan sampah
padat. Apalagi di Jurusan Geologi ITB, Sam dipercayai
untuk mengetuai Laboratorium Geologi Teknik dan
Lingkungan atau dikenal sebagai Kelompok Bidang
Keahlian (KBK) Geologi Tata Lingkungan, pada tahun
1974.
Dalam kelompok yang kemudian berubah
menjadi Kelompok Keilmuan Geologi Terapan (KKGT)
sejak tahun 2005 itu Sam mengajak mahasiswamahasiswa dan sejawatnya, antara lain Deny Juanda
dan Bandono untuk mengedepankan applied
geology. Sam mengakui, Saya meminta kawankawan untuk memfokuskan diri pada geologi teknik,
kepada pariwisata yang ada kaitannya dengan
geologi, kepada kesuburan tanah, bencana alam, air
tanah.
Hal ini dapat dilihat dari rangkaian penelitiannya
yang dilakukan dengan tema tersebut. Pada bulan
November 1973 secara pribadi ia meneliti daerah
longsor di Jawa Barat. Penyelidikan tersebut
mendapat tanggapan positif dari Dinas Pekerjaan
Umum Jawa Barat. Sejak bulan Mei 1975, ia meneliti
secara intensif delapan daerah longsor di Jawa Barat.
Penelitian tersebut bekerja sama dengan PU Jawa
Barat.
Pada tahun 1976, Sam mencoba meneliti daerah
Padalarang, Jawa Barat. Di sana ia melakukan
penelitian untuk menerapkan metode pemetaan
geologi untuk lingkungan dengan unit, yang
disebutnya sebagai Unit Geologi dengan Karakteristik
Lingkungan Keteknikan (UGT). Metode ini kemudian
dicobakan kembali pada 1979 di Kota Semarang.

Hasil penelitiannya disampaikan ke instansi-instansi


terkait dan dipublikasikan pada Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) IAGI.
Mengenai pertautan geologi dengan sejarah pun
ia teliti. Pada PIT-IAGI tahun 1980, ia mengajukan
makalah yang berisi keruntuhan Kerajaan Majapahit
ditinjau dari sisi geologi. Menurutnya, Selama ini para
ahli purbakala menyebutkan hancurnya Majapahit
akibat datangnya agama Islam serta peperangan.
Saya menyangsikan kesimpulan tersebut. Karena saya
lebih cenderung baranggapan bahwa hancurnya
Majapahit akibat banjir besar yang membawa lahar
dari kompleks gunung api Arjuna-Anjasmoro ke
dataran Delta Brantas dengan membawa lumpur,
pasir, dan batu-batu.
Tidak mungkin, kata Sam, Sebuah pusat
kerajaan besar lenyap tanpa meninggalkan relik.
Namun, untuk Majapahit, seolah lenyap begitu saja,
ditinggalkan penghuninya. Ini tidak mungkin, kecuali
bahwa kerajaan ini memang dihancurkan bencana
alam. Dengan demikian, ia menyatakan bahwa
pusat kerajaan Majapahit itu terlanda aliran pasir dan
kerikil pendangkalan muara Kali Brantas.
Perkembangan daerah Bandung Raya sebagai
salah satu pusat pertumbuhan dan pembangunan
di Jawa Barat tak luput Sam teliti (PIT-IAGI 1981).
Menurutnya, Strategi pengembangan Bandung
Raya, dipandang dari segi daya dukung alamnya
barangkali perlu memenuhi kriteria bahwa tata
air permukaan dan air tanah tetap lestari, udara
lingkungan tetap bersih dan suhu lingkungan tetap
sejuk, serta perkembangan lingkungan tersebut tidak
mengundang longsoran dan erosi yang lebih besar
lagi.
Menjelajahi Bumi, Menyebarkan Informasi
Sebagai dosen, yang sangat mengagumi guru dan
dosennya, pada praktiknya Sam meniru kinerja yang
dikaguminya itu. Bagi Sam, dosen memiliki profesi
rangkap. Dosen, menurutnya, adalah seorang ahli
cabang ilmu tertentu, sekaligus juga seorang guru
yang harus mendidik. Sebagai ahli geologi sekaligus
pendidik, Sam selalu mengedepankan ekskursi atau
penjelajahan bumi, penelitian, dan menuliskan hasil
penelitian baik dalam bentuk ilmiah maupun populer.
Hal-hal tersebut dianggapnya sebagai sebentuk
tanggung jawab seorang dosen.

Saat ekskursi Geologi Teknik


bersama mahasiswa Geologi
ITB ke calon lokasi Bendungan
Jatigede, 1986.
Foto: Budi Brahmantyo

88

GEOMAGZ

Desember 2013

Kalau kita belajar geologi itu harus dari logika.


Kita harus menyimak uraian dosen, mengikuti
ekskursi, dan membaca penelitian dosen-dosen dari
luar. Sumber-sumber tersebut harus betul-betul
diikuti. Dari logika itu tentu masuk ke hati kita. Kalau
kita berpikir dan senang berpikir, akhirnya akan ada
jawaban menancap. Saya tidak mau ditipu asal
dari buku saja. Kita harus melihatnya ke lapangan,
terang Sam.

Sampurno saat ekspedisi Gletser Carstensz tahun 1992.


Foto: Dok. pribadi.

Untuk menjelajahi bumi, Sam memaksudkannya


sebagai bagian dari perkuliahan, yaitu kuliah
lapangan. Dalam pandangan Sam, Kuliah lapangan
diberikan secara komprehensif, yang terdiri atas
teori-teori berupa metode pemetaan dengan alat,
selama dua minggu. Kemudian satu bulan sisanya,
mahasiswa diberi suatu daerah tertentu di sekitar
Karangsambung yang harus dipetakan, kata Sam
saat membimbing mahasiswa geologi ITB berkuliah
lapangan di Karangsambung (Berkala ITB, 16 Agustus
1980).
Dalam hal ini, bersama KBK Geologi Tata
Lingkungan, Sam menekankan visi mengenal
geologi di lapangan. Bersama kelompok tersebut
Sam sering ke lapangan, kadang-kadang dengan
naik sepeda, naik kereta api, bahkan berjalan kaki.
Upamanya mencari patahan di Purwakarta atau
mendaki Gunung Ungaran di Semarang. Dengan
jalan tersebut, ia mengakui, Kita mencoba belajar
sendiri. Kita mengikuti intuisi kita meskipun keliru.
Kita mengeluarkan teori sendiri. Dari situ kita sadar
bahwa ekskursi itu penting. Di bawah bimbingan
seseorang yang lebih tahu, kita akan lebih faham
geologi di lapangan.
Dengan sering berekskursi ke lapangan,
maka terbukalah kesempatan untuk mengamati,
menemukan masalah, dan mencari solusinya. Itulah

89

Dalam bidang wisata, terutama


pada pengembangan model
geowisata, Sam dan Budi
Brahmantyo menulis Geologi
dalam Pariwisata (1989).

jalan ilmiah, penelitian. Sam menjalani jalan ilmiah


ini sering kali mula-mulanya dikerjakannya sendiri. Di
sini, ia mengakui, To be geologist is quite interesting.
Saya yang mencari, saya yang menemukan. Saya
bahagia dengan pilihan saya. Jadi, bukan melulu
berurusan dengan uang. Kita kan hidup meniru alam
dan geologi itu tidak hanya batu, morfologi, tapi
the whole nature. Bahkan interaksi antar nature itu
sendiri.
Untuk menyebarkan hasil penelitiannya, Sam
menempuh jalan tulisan agar khalayak menjadi tahu
dan memahami dengan apa yang terjadi dengan
bumi ini. Untuk khalayak terbatas, misalnya kalangan
ilmuwan, Sam menuliskan laporan hasil penelitiannya
dan menyajikannya dalam bentuk ceramah atau
diskusi. Pada KBK Geologi Tata Lingkungan ITB, Sam
mengadakan program ceramah rutin para ahli geologi
untuk menyampaikan hasil penelitian mereka.
Sam sendiri maupun bersama rekan sejawatnya
sering menuliskan hasil penelitian dalam bentuk
laporan. Saat ikut terlibat meneliti keadaan Candi
Borobudur antara 1963-1973, Sam menuliskan
laporannya yang berjudul Penelitian Geologi terhadap
Candi Borobudur dan Sekitarnya (1973). Demikian
pula saat terlibat kerja sama antara Departemen
Geologi ITB dengan Proyek Survey Listrik Negara
(Perusahaan Umum Listrik Negara), Sam dan kawankawan menuliskan hasil penelitiannya dengan judul
Geologi Daerah Calon Bendungan Saguling dan
Sekitarnya Citarum Hulu, Jawa Barat (1973). Laporan
Geologi Gerakan Tanah di Jawa Barat (1975) ditulis
Sam dan kawan-kawan setelah mengikuti penelitian
kerja sama Departemen Geologi ITB dengan Pemda
Jawa Barat dan Jawatan PU Jawa Barat.
Dalam
bidang
wisata,
terutama
pada
pengembangan model geowisata, Sam dan Budi
Brahmantyo menulis Geologi dalam Pariwisata
(1989). Untuk kegiatan di luar negeri, misalnya, Sam
dan kawan-kawan menyampaikan dan memuatkan
kertas kerja Geological Problems Sanitary Landfill

90

GEOMAGZ

Desember 2013

Waste disposal site of Bandung City, Indonesia.


Tulisan tersebut disajikan pada kongres ke-6
International Association of Engineering Geology
pada tahun 1990 dan dimuatkan dalam prosiding
perhelatan tersebut. Selain itu, tentu saja banyak lagi
tulisan ilmiah yang ditulis sendiri oleh Sam maupun
bersama sejawatnya, mengingat Sam adalah anggota
aktif Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang selalu
mengikuti Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan
berkontribusi dengan menulis dan menyampaikan
makalah.
Sebagai jembatan dengan masyarakat awam,
Sam banyak menulis dalam bentuk tulisan ilmiah
populer. Pada Harian Umum Pikiran Rakyat, tulisannya
muncul untuk pertama kali pada tahun 1981, yaitu
Geologi Bandung Utara dan Peranannya. Di Harian
Umum Kompas, Sam mulai menulis pada 1982, yakni
dengan tulisan Gunung Galunggung. Di Republika,
tulisannya Amankah Muria untuk PLTN? dimuat
pada 1994. Selain memuatkan tulisannya, Pikiran
Rakyat, Kompas, Suara Pembaruan, Republika,
majalah Tempo, dan lain-lain sering memuatkan pula
pendapat-pendapat Sam terkait hasil penelitiannya,
bencana alam yang sedang berlangsung, dan hal-hal
yang berkaitan dengan kebumian lainnya.
Di Masa Purnabakti
Sejak Desember 2004, Sam memasuki masa
purnabakti. Untuk memberikan penghargaan atas
kinerjanya, Departemen Teknik Geologi, Fakultas
Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, ITB,
menyelenggarakan acara mengantar purnabakti Sam
pada hari Sabtu, 18 Desember 2004, di Aula Barat
ITB.
Pada acara itu diselenggarakan seminar
purnabakti bertema Lanskap Peradaban Manusia
Sejak Zaman Purba Hingga Kini yang menampilkan
pemakalah Sampurno, Amwazi Idrus, A. Djumarma
Wirakusumah, dan Deny Juanda Puradimaja. Selain
itu, saat itu diluncurkan pula buku kumpulan tulisan
Sam, Jejak Langkah Geologi, Dari Borobudur hingga
Punclut dan kumpulan kliping Sam bertajuk Kilas Balik
Pelangi Kehidupan Sampurno: Kumpulan Kliping
Artikel Koran dan Majalah, 1976-2002.
Selama berkarier di ITB, Sampurno pernah
memegang
beberapa
jabatan,
antara
lain
Sekretaris Departemen Geologi ITB (1968-1970),
Ketua Departemen Geologi (1970-1972), Ketua
Laboratorium Geologi Teknik dan Lingkungan,
Jurusan Geologi (Sejak 1974), anggota Peneliti Pusat
Studi Lingkungan Hidup (PSLH) ITB (sejak 1980), dan
lain-lain.
Di luar ITB, sejak tahun 1963, dia terlibat sebagai
tenaga ahli di Badan Perencana Pembangunan
Daerah (Bappeda) Jawa Barat. Ia juga pernah dan
masih menjadi pengajar di Universitas Padjadjaran

Sampurno dan keluarga besarnya. Foto: Dok. pribadi.

(sejak 1965), Universitas Pembangunan Nasional,


Yogyakarta (sejak 1964), Universitas Pakuan (Unpak),
Bogor (sejak 1980), Universitas Parahyangan (Sejak
1981), dan Itenas. Kini Sam masih bertahan sebagai
pengajar. Di Univeritas Parahyangan, sekarang Sam
mengajar mata kuliah geologi teknik dan mekanika
batuan. Sementara di Unikom, dia mengajar mata
kuliah geologi lingkungan yang berasosiasi dengan
planologi.
Dalam kesehariannya kini, ia tetap memperlihatkan
semangat belajar yang tinggi. Buktinya saat kami
wawancarai, dia merampungkan makalah berisi
tentang peristiwa letusan Gunung Vesuvius yang
mengubur kota Pompeii dengan abu, pasir, dan
kerikil setebal 8-7 meter. Gunung api yang berada
di Italia itu meletus pada tahun 79 Masehi. Makalah
tersebut dia sajikan di Yogyakarta dan di Bandung,
dalam bentuk ceramah.
Di situ ada hal-hal menarik yang saya temukan
waktu ekskursi ke sana. Saya ingin membagikan
pengalaman itu. Ingin mengetengahkan perilaku
para ahli geologi di situ ke sini. Karena dari peristiwa

Pompeii yang terletak di dekat Napoli, Italia, itu


banyak korban berjatuhan. Kan terkubur 7 meter,
sehingga semuanya habis, rata dengan tanah. Sekian
ratus tahun kemudian, orang mencari dan menggali
untuk jalan dan terowongan, dan menemukan
ampiteater. Akhirnya ketahuan sedang menggali kota
yang terkubur. Selanjutnya peneliti arkeologi, geologi,
arsitek mempunyai ide untuk merekonstruksi. Setelah
jadi sangat menyerupai waktu terkena letusan,
terang Sam mengenai yang dipelajarinya itu.
Namun, di balik itu terbersit semacam kredo
yang tertanam di benak dan hati Sampurno terkait
dengan peran ilmu geologi. Secara menyakinkan ia
menyebutkan bahwa, geology is everything. Urusan
sandang, pangan, dan papan, juga transportasi,
dan energi. Semuanya tercakup dalam geologi. Dan
jangan lupa: ada falsafah di dalamnya.
Penulis: Atep Kurnia
Pewawancara: T. Bachtiar, Atep Kurnia, Budi Kurnia
Fotografer: Deni Sugandi

91

Lombok dan Sumbawa. Di Lombok, daerah yang bisa


dijadikan wisata bumi antara lain, kawasan Taman
Nasional Gunung Rinjani, Pantai Selatan Kute-Tanjung Aan, pegunungan kars di pantai selatan Tanjung
Ringgit dan sekitar Kute, dan Gili matra. Sementara
untuk Sumbawa, antara lain, kawasan Lingkar Tambang Batu Hijau, Gunung Tambora dan Pulau Satonda.

Resensi Buku

Geowisata
di Bumi

Wisata bumi di Pulau Lombok lebih diperinci


pada bab 3, Geotourism of Lombok Island. Dari
sisi morfologi pantai dan fenomena bumi lainnya,
Heryadi membagi objek wisata bumi di Lombok
menjadi tiga kawasan pantai. Pertama, kawasan
pantai selatan yang terdiri dari kawasan Teluk Makaki;
Pengantap-Belongas; Mawun-Kuta-Tanjung AanTeluk Grupuk-Bumbung; dan Ekas-Tanjung Ringgit.
Kedua, pantai barat yang terdiri dari Teluk Lembar,
Pantai Senggigi, gili matra yaitu Gili Meno, Gili Air,
dan Gili Terawangan, dan Sekotong. Ketiga, pantai
timur yang terdiri dari Gili Lawang dan Gili Sulat serta
Labuhan Lombok-Labuhan Haji.

Sejuta Sapi
Oleh: Atep Kurnia

ejak 2009, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)


memiliki gelar baru, yaitu Bumi Sejuta Sapi,
menggantikan gelar sebelumnya, Bumi Gora,
yang khusus untuk Pulau Lombok. Gelar baru itu
diluncurkan untuk mengoptimalkan peternakan sapi
yang telah berakar di tengah masyarakat Provinsi
NTB. Ini seakan-akan melanjutkan tradisi berternak di
sana yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Namun, sesungguhnya sejak ratusan tahun yang
lalu kawasan NTB dikenal pula sebagai Kepulauan
Wisata karena keindahannya. Kini, perkembangan
wisata di wilayah NTB ini berpeluang untuk lebih
meningkat lagi dengan telah dikenalinya sejumlah
potensi wisata bumi atau geowisata (geotourism)
di sana. Perpaduan antara geowisata dengan wisata
peternakan, juga-tentu saja-dengan wisata budaya,
tak pelak lagi merupakan potensi besar untuk
pengembangan geopark di Bumi Sejuta Sapi itu.
Bumi NTB sarat dengan keragaman geologi.
Mengidentifikasi keragaman ini bisa bertemali
dengan tumbuh-kembangnya wisata bumi di sana.
Salah seorang yang mengidentifikasi dan mengaitkan
keragaman bumi NTB dengan pariwisata itu adalah
ahli geologi Heryadi Rachmat melalui bukunya, West
Nusa Tenggara Geotourism.

Buku ini diterbitkan oleh Museum Geologi


pada Agustus 2013. Mulanya terbit dalam bahasa
Indonesia, dengan judul Geowisata Nusa Tenggara
Barat dan diterbitkan oleh IAGI Pengda Nusa Tenggara
pada Oktober 2011. Edisi berbahasa Inggris kali ini
hasil penerjemahan Nenen Adriyani dan suntingan
Hermes Panggabean.
Buku setebal 118 halaman ini dibagi menjadi lima
bab. Bab pertama Geotourism towards the Tourism
Vision of West Nusa Tenggara membahas potensi
wisata bumi yang dipertautkan dengan visi pariwisata
NTB. Ya, karena bumi NTB kaya keragaman geologi

92

GEOMAGZ

Desember 2013

DATA BUKU
Judul Buku

West Nusa Tenggara Geotourism

Penulis

Heryadi Rachmat

Tebal

vi+118 halaman

Penerbit

Museum Geologi

Tahun Terbit

Agustus 2013

sehingga banyak dikenal sebagai daerah tujuan


wisata bumi. Dengan demikian, Heryadi menyatakan
upaya inventarisasi dan identifikasi daerah tujuan
wisata bumi NTB mutlak diperlukan.
Bab kedua, West Nusa Tenggara Geology and
Tourism. Bab ini menjelaskan hubungan antara
kebumian NTB beserta identifikasi pemanfaatannya
melalui wisata bumi. Di situ dikatakan, Provinsi NTB
terdiri dari Pulau Lombok dan Sumbawa sebagai pulau
utama ditambah kurang lebih 332 pulau kecil. Dari
sisi geologi, NTB terletak pada pertemuan Lempeng
Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Kedua lempeng
tersebut berinteraksi dan bertubrukan. Batas kedua
lempeng ini merupakan daerah yang sangat stabil.
Heryadi juga memberi batasan mengenai
geotourism atau wisata bumi. Katanya, wisata bumi
adalah perjalanan seseorang atau sekelompok orang
ke tujuan wisata objek-objek wisata kebumian,
sehingga memperoleh keuntungan dari perjalanan
itu. Objek-objek wisata yang dimaksud adalah wisata
kars dan gua, wisata gunung api, wisata sungai dan
danau, serta wisata pantai.
Selanjutnya, Heryadi menyebutkan keanekaragaman geologi yang bisa dikembangkan di Pulau

Selain kawasan pantai, Gunung Rinjani menjadi


primadona wisata bumi di Lombok. Di kawasan
Rinjani banyak ditemukan air terjun, antara lain Otak
Kokok Gading, Jerukmanis, Tiu Kelep, Sindanggile,
dan Mayung Putih. Ada juga mata air panas Sebau
dan Torean. Ditambah pula kegiatan geotrek yang
telah disediakan lintasannya (geotrail), yaitu lintasan
Aik Berik, dari arah selatan; Timbenuh, dari arah
tenggara; Sembalun, dari arah timur; Torean, dari
utara; Senaru, dari utara; dan Santong, dari baratlaut.
Semua lintasan tersebut menuju puncak Rinjani.
Sementara bab 4, Geotourism of Sumbawa
Island, secara khusus menggambarkan objek
wisata bumi di Sumbawa. Dari yang telah dilakukan
penelitiannya, di sini ada Kawasan Pantai Selatan,
Pegunungan Barat, Kawasan Teluk Saleh, Gunung
Tambora, Gunung Sangeangapi, dan Pegunungan
Bagian Tengah. Di Kawasan Pantai Selatan, para
wisatawan dapat mengunjungi Pantai Huu, Pantai
Sape, Pantai Lunyuk, dan Teluk Senunu tempatnya
pembuangan tailing Newmont.
Di Pegunungan Bagian Barat dapat dikunjungi
Tambang Batu Hijau, Pantai Jelengga, Pantai Maluk,
Pantai Sengkongkang, Pantai Mangkung, dan Pantai
Pesin. Sementara di Teluk Saleh, pengunjung dapat
menelusuri Pulau Moyo yang menyajikan Pantai
Tanjung Pasir, Air Terjun Matajitu, Gua Air Manis,
Gua Liang Petang. Pegunungan Tambora pun tak
ketinggalan. Di sini wisatawan dapat menikmati
keindahan bentang alam, geomorfologi, sejarah
pembentukan, geoarkeologi, padang pasir di
bibir kawah, Pulau Satonda, dan Pantai Sopanda
(Nangamiro).

Gunung
Sangeangapi
memberi
atraksi
geomorfologi, geovulkanologi, dan geoarkeologi.
Di sini wisatawan dapat pula menikmati keindahan
pantai dan sumber mata air panas Oi Pana Manangga
dan Oi Kalo. Sementara itu, di Pegunungan Bagian
Tengah dijumpai perbukitan karst Jereweh, Brang
Rea, dan Sekongkang Bawah.
Pada bab ke-5, The Utilization of Geodiversity and
Geoheritage for Geopark, Heryadi meningkatkan
pemanfaatan keragaman bumi NTB dengan konsep
taman bumi (geopark). Dari beberapa acuan yang
dibacanya, Heryadi memberi definisi geodiversity,
geoheritage, dan geopark.
Ketiga
istilah
tersebut
menunjukkan
derajat pentingnya keragaman geologi berikut
pengelolaannya. Bila geodiversity diartikan sebagai
keberadaan alamiah fenomena geologi, maka
geoheritage adalah fenomena geologi yang sangat
tinggi nilainya karena menjadi bagian penting dari
dinamika bumi. Dan, geopark adalah pemanfaatan
geoheritage yang dipadukan dengan keragaman
hayati dan budaya.
Dalam konteks NTB, untuk mewujudkan Geopark
Gunung Rinjani, Heryadi mengajukan beberapa
geoheritage sebagai pendukungnya. Warisan
bumi yang diajukannya adalah Puncak Rinjani;
Danau Segara Anak; Air terjun Otak Kokok Gading,
Jerukmanis, Tiu Kelep, dan Sindanggile; Mata air
panas Sebau dan Torean; lintasan geologi dan
pendakian ke puncak Rinjani; Tambora dan Satonda;
dan Lingkar Tambang Batu Hijau.
Dari buku ini kita jadi sadar bahwa setiap
daerah, setiap provinsi, yang ada di Indonesia
seharusnya melakukan hal sama. Kita harus samasama mengidentifikasi semua potensi kebumian
yang ada di daerah kita masing-masing. Bila telah
teridentifikasi, tentu bisa dikembangkan menjadi
wisata kebumian. Ujungnya pasti bisa bertaut dengan
realisasi pemanfaatannya sebagai taman bumi yang
mengintegrasikan keragaman geologi, hayati, dan
budaya demi membangkitkan ekonomi masyarakat
agar selalu sinambung.
Dan yang lebih penting, dengan jalan identifikasi
tersebut, kita disadarkan pada kenyataan bahwa
eksplorasi bukanlah jalan satu-satunya untuk
memanfaatkan keragaman bumi yang ada di sekitar
kita.n
Peresensi adalah penulis, peneliti literasi, bergiat di Pusat Studi
Sunda (PSS).

93

Esai Foto

Garut

Pangirutan
yang Kini Kakarut
Oleh:
Oman Abdurahman dan Ronald Agusta

Garut itu memang intan. Salah satu permata di Jawa Barat. Keindahan
alamnya berkilap, mulai dari pesisirnya di Samudra Indonesia di selatan hingga
dataran tinggi dan gunung-gunung di jantung Parahyangan. Pantas kiranya
semboyannya Garut Kota Intan dan Garut Pangirutan.

Foto: Deni Sugandi.

94

GEOMAGZ Desember
Desember2013
2013

95

Gunung Papandayan. Foto: T. Bachtiar.

Talaga Bodas. Foto: T. Bachtiar.


Situ Cangkuang dihiasi hamparan bunga teratai di suatu pagi. Foto: Ronald Agusta

Pantai Sancang. Foto: Oman Abdurahman.

arut juga berjuluk Swiss van Java, konon


berasal dari Charlie Chaplin (18891977) aktor film bisu termasyhur yang
mengunjungi Garut pada 1927. Garut juga
disebut Mooi Garoet, Garut yang Elok. Kesemuanya
menunjukkan kemolekan alam Garut, sehingga,
tak heran, julukan lainnya adalah Pangirutan, yaitu
tempat yang memikat atau menggoda untuk
dikunjungi.
Ya betapa tidak, susur saja, misalnya, mulai dari
pesisirnya. Ada pantai Sancang di Cibalong; Cijeruk,
Karangparanje, dan Sayangheulang di Pameungpeuk;
Santolo dan Taman Manalusu di Cikelet, Cijayana di
Bungbulang, dan Rancabuaya di Caringin. Agak ke
pedalaman, terdapat air terjun (curug) Neglasari di
Cisompet, Curug Orok di Cikajang, Curug Sanghyang
Taraje di Pamulihan, serta Curug Cihanyawar di
Cilawu. Di dataran tinggi, selatan hingga tengah,
ada Gunung Papandayan yang terkenal letusannya
pada 1982, Kawah Darajat penghasil panas bumi,

96

GEOMAGZ

Desember 2013

Berpapasan menyebrangi sungai Ci Damar, Garut Selatan.


Foto: Ronald Agusta.

Hamparan sawah berteras yang menghijau dengan latar belakang gunung


membiru di Malangbong, Garut Utara. Foto: Ronald Agusta.

Ci Manuk. Foto: Deni Sugandi.

dan Gunung Guntur yang anggun. Di kaki Guntur


terletak Taman Wisata Cipanas. Tak jauh dari mata air
dan kolam pemandian air panas ini, ke arah utara,
terdapat Curug Citiis.

Di timur bertengger Gunung Karacak yang


memiliki morfologi berundak dan gunung yang
paling tinggi di wilayah Garut, Cikuray. Puncak Cikuray
dapat dilihat dari kawasan kawah Tangkubanparahu
jika hari sedang cerah. Nama Cikuray agaknya berasal
dari nama sejenis pohon, yaitu Kuray di Sunda, atau
Anggerung di Jawa, atau Lenggung di Bali (Trema
orientalis atau Celtis orientalis). Boleh jadi dahulu
Kuray banyak dijumpai di kawasan gunung ini. Di
kaki selatan Cikuray inilah terletak kabuyutan
Cikuray, tempat ditemukannya sebanyak 27 naskah
Sunda kuna, dua diantaranya setelah ditransliterasi
- berjudul Amanah Galunggung dan Sanghiyang
Siksa Kandang Karesian.

dalam tubuhnya melalui sejumlah anak sungainya.


Selain itu, penambangan batu-khususnya di kawasan
Bayongbong-memicu terjadinya pelumpuran di
Ci Manuk. Sungai besar yang menjadi sumber air
kawasan Pantura ini tak lagi mengkilat sejernih salah
satu sumber mata airnya, Situ Cibeureum, yang
tergelar di dalam hutan Legok Pulus, Samarang, di
Lereng Gunung Guntur.

Di arah utara-timur dijumpai Curug Cimandiracun


di Kadungora dan Situ Cangkuang di Leles. Tak
lupa, Gunung Haruman, Gunung Kaledong, dan
Leuweungtiis menghiasi panorama disana. Ke
arah selatan sedikit akan dijumpai Situ Bagendit di
Banyuresmi yang terkenal dengan legendanya dan
selalu ramai dikunjungi wisatawan
Ke arah timur dari Bagendit setelah melalui
Wanaraja, dijumpai Gunung Sadahurip menjulang
megah. Dari simpang tiga jalan Karaha-TalagabodasWanaraja, gunung yang hingga saat ini ramai jadi
bahan pembicaraan masyarakat ini nampak begitu
nyata, mengesankan, dan indah. Mendaki sedikit
lagi ke arah kanan dari pertigaan itu, akan dijumpai
Talaga Bodas, sebuah kawah yang tepiannya dapat
dihampiri dengan kendaraan roda empat.

Seluruh perhiasan alam cekungan Garut berupa


deretan gunung yang mengitarinya itu seakan
direnda di bagian tengahnya oleh aliran Ci Manuk
yang mengular melewati tigabelas kecamatan. Tapi
sayang, di kawasan Sukaregang, Garut kota, Ci Manuk
menerima limbah penyamakan kulit yang dibuang ke

Keindahan Garut juga tersayat oleh tambang


liar pasir dan batu (sirtu) di Taman Lava Gunung
Guntur. Taman itu adalah sebuah potensi dari area
yang melampar mulai dari lereng Gunung Guntur
di dekat Curug Citiis hingga batas utara kompleks
Taman Wisata Cipanas yang dihiasi bongkah lava dan
lahar yang berserakan hasil letusan Gunung Guntur.
Para penggali sirtu selalu membongkar bongkahan
lava itu untuk mencari sirtu yang banyak dijumpai di
bawahnya.
Taman lava ini sesungguhnya merupakan situs
keragaman geologi yang berpotensi menjadi warisan

97

Penggalian material vulkanik di lereng timur Gunung Guntur. Foto: Deni Sugandi.

geologi. Sebaran lava di sini menyeruak di antara


tanaman kaso yang menguning. Selain indah, juga
mengagumkan, karena disana kita bisa melihat
jelas bukti-bukti gelegar letusan Guntur di tahun
1843. Di sini, dapat dibayangkan aliran lava yang
menggelontor dari puncak Guntur hingga beberapa
ratus meter ke bawah.

Kontak lava lama (bawah) dan lava baru (atas).


Foto: Deni Sugandi.

Taman ini layak menjadi tujuan wisata pendidikan


tentang gunung api masa kini. Layak pula disebut
surga bagi penghobi fotografi untuk berburu foto
eksotis. Pagi hari, jalurnya nyaman untuk bersepeda
gunung. Lokasi ini ideal pula untuk dijelajahi beragam
peminat dan komunitas. Bila dilatih, aparat Pemda,
pemangku kepentingan dan warga lokalpun dapat
menjadi pengelola dan pemandu wisata di sana.
Kesemuanya berpotensi menumbuhkan ekonomi
yang berkelanjutan bagi warganya.
Pencemaran di Ci Manuk, penambangan bebatuan
di Bayongbong, dan penggalian sirtu di Taman Lava
Guntur Guntur menjadikan keindahan Garut seolah
kakarut atau tergores. Ini mengingatkan kembali
akan toponimi Garut yang konon berasal dari kata
gagarut, sebuah pengucapan kata yang salah oleh
lidah Eropa terhadap kata kakarut, yang muncul saat
seorang anggota panitia pembalakan bakal ibu kota
Kabupaten Limbangan tergores oleh duri dari semak

98

GEOMAGZ

Desember 2013

belukar yang sedang dibersihkannya. Dari peristiwa


itulah lahirnya nama Kabupaten Garut menggantikan
nama Kabupaten Limbangan.

Anak sungai Ci Manuk. Foto: Ronald Agusta.

Kini, jangan sampai pesona keindahan Pangirutan


itu kakarut oleh dampak kerusakan lingkungan.
Kita tak ingin daerah yang berpotensi tinggi untuk
pendidikan dan pengembangan ekonomi masyarakat
setempat melalui geowisata ini tercoreng. Kita tak
berharap potensi geopark permata Jawa Barat ini
rusak akibat eksploitasi sumber daya alam yang
berlebihan. Agar Garut tetap menjadi pangirutan,

lestari dan memberikan keuntungan bagi masyarakat


banyak, kiranya konsep pembangunan yang
berbasiskan konservasi seperti geopark lebih layak
menjadi pilihan untuk diterapkan. Bila ini mewujud,
maka intan parahyangan itu akan lebih bersinar ke
seantero Nusantara, bahkan dunia.n
Oman Abdurahman adalah Pemimpin Redaksi Geomagz, Kepala
Bagian Rencana dan Laporan, Sekretariat Badan Geologi.
Ronald Agusta adalah fotografer dan trainer jurnalistik.

99

Perkebunan rakyat di Kamojang (atas, foto:


Deni Sugandi, bawah, foto: Ronald Agusta.)

Fosil Gajah dari Rancamalang


Penemuan tidak sengaja, fosil geraham gajah purba pada saat menggali kembali sumur yang kering oleh
bapak dan anak Ishak Surjana (55), anaknya Imam Rismansyah (31) di kedalaman 6 meter, warga di
Rancamalang Cijerah, Bandung. Dari hasil penelitian Prof. Fachroel Aziz, dari Paleontologi Museum Geologi,
Badan Geologi, menyatakan bahwa geraham gajah Asia (Elephas maximus) ini dianggap fosil yang paling
utuh di dunia. Temuan membuktikan bahwa 30.000 tahun yang lalu, terdapat populasi mamalia ini di
kawasan barat Bandung, sehingga penyebutan beberapa kawasan dinamai Leuwigajah di Cimahi, Kampung
Gajah, Gajahcipari, Gajahheretan, Gajahmekar, dan Gajahkantor di Kabupaten Bandung Barat. Fosil gajah
geraham ini kini berada di Museum Geologi, Badan Geologi.
Situ Cibeureum yang asri di kawasan Kamojang. Foto: Ronald Agusta.

100 GEOMAGZ Desember 2013

Foto: Deni Sugandi


Teks: T. Bachtiar

101

Melambung

Abu Letusan

Sinabung

Sinabung 2013. Letusanmu berlangsung sampai


di penghujung tahun. Abumu melambung ke
angkasa hingga ribuan meter, sesekali disertai
luncuran awan panas atau landaan lahar hujan
sejauh beberapa kilometer. Belasan ribu warga di
sekitarmu sudah mengungsi. Aktivitasmu seakan
melanjutkan letusan pertamamu setelah istirahat
selama lebih dari 400 tahun di tahun 2010.
Posisimu sebagai gunung api aktif tipe A semakin
kuat. Kami tidak tahu pasti apakah letusanmu
akan berlanjut di 2014? Apa yang kami sadari
bahwa masyarakat di sana harus mampu
membiasakan diri hidup aman dari perilakumi
yang sesekali meletus, letusan kecil atau pun
besar, dengan mengungsi atau menghindari
dampak letusanmu.
Letusan Gunung Sinabung
pada 11 November 2013.
Foto: Cahya Patria, PVMBG,
Badan Geologi
Teks: Oman Abdurahman

102 GEOMAGZ Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai