Pedoman Ppia2012 PDF
Pedoman Ppia2012 PDF
2
Ind
p
PEDOMAN NASIONAL
616.979.2
Ind
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
p Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Pedoman nasional pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak,-- jakarta : Kementerian
Kesehatan RI. 2011
ISBN : 978-602-9364-55-2
KATA PENGANTAR
Salah satu faktor risko penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
penularan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama kehamilan, persalinan
maupun selama menyusui. Hingga saat ini kejadian penularan dari ibu ke anak sudah
mencapai 2,6 persen dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan di Indonesia.
Upaya untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak adalah dengan
melaksanakan kegiatan 4 prong yang merujuk pada rekomendasi WHO tahun 2010,
dimana pada dasarnya semua ibu hamil ditawarkan tes HIV, pemberian antiretroviral
(ARV) pada ibu hamil HIV positif, pemilihan kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan
HIV positif, pemilihan persalinan aman untuk ibu hamil HIV positif, dan pemberian
makanan terbaik bagi bayi yang lahir dari ibu HIV positif.
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak ini merupakan revisi dari
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi tahun 2006. Pedoman
ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Kementerian Kesehatan dalam pengendalian
HIV-AIDS di Indonesia, khususnya dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak.
Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada semua pihak atas segala
bantuan yang telah diberikan, sehingga Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak ini dapat dimanfaatkan dengan baik.
ii
SAMBUTAN
tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dan peningkatan kemampuan klinis melalui TOT
fasilitator dan pelatihan bagi petugas kesehatan.
Dengan di terbitkannya Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak,
diharapkan menjadi acuan penyelenggaraan pelayanan PPIA bagi pengelola program
di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta petugas kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Semoga pedoman ini bermanfaat dalam mendukung upaya Pencegahan
Penularan HIV-AIDS dari Ibu ke Anak.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
SAMBUTAN ...............................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
v
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ............................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
A. Latar Belakang .........................................................................
B. Infeksi HIV, Sifilis dan Penyakit IMS lainnya ................................
C. Kebijakan dan Strategi Implementasi Kegiatan PPIA
Komprehensif ...........................................................................
D. Tujuan Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak ......
E. Sasaran ...................................................................................
1
1
4
9
9
9
10
11
13
15
33
37
37
37
39
41
5
7
8
15
18
19
30
LAMPIRAN ...............................................................................................
LAMPIRAN 1. KEGIATAN PPIA KOMPREHENSIF ..............................
LAMPIRAN 2. STADIUM INFEKSI HIV .............................................
43
45
48
51
vi
DAFTAR SINGKATAN
AFASS
AIDS
ART
ARV
ASI
AZT atau ZDV
CD4
EFV
ELISA
TDF/FTC
HIV
IBI
IDAI
IDI
IMS
IUD
KDS
Kemenkes
KIE
LSM
MDG
Menkokesra
MTCT
NAPZA
NNRTI
NRTI
NVP
ODHA
PAPDI
PCR
PDUI
PKK
PMTCT
POGI
POSYANDU
vii
PPIA
PUSKESMAS
RNA
RS
SC
UNAIDS
UNFPA
UNICEF
VCT
WHO
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta
orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan
dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat
kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Progres HIV-AIDS
WHO Regional SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV.
Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring
dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman,
yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya.
Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama kematian
perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan
ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak
terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau mother-tochild HIV transmission(MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Data estimasi
UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik
terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai
intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang dari
2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di negara
berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko penularan
masih berkisar antara 20% dan 50%.
Menurut laporan UNAIDS (2009), terdapat kemajuan signifikan dalam mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak. Pada tahun 2008 diperkirakan 21% ibu hamil yang
melahirkan di negara berpendapatan rendah dan menengah telah dites HIV, angka
ini meningkat dibandingkan tahun 2007 (15%). Sementara itu, 45% dari ibu hamil
yang terinfeksi HIV di negara berpendapatan rendah dan sedang, telah menerima
obat antiretroviral (ARV) untuk mencegah penularan HIV ke bayinya pada tahun yang
sama. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2007, yaitu 35%, dan tahun
2004 hanya 10% ibu hamil terinfeksi HIV yang menerima obat antiretroviral. Salah
satu alasan meningkatnya cakupan tes HIV dan terapi ARV pada ibu hamil adalah
meningkatnya tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas (KTIP/PITC) di layanan
antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah
satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak.Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan
tahun 1987.Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497
kabupaten/kota di 33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di dunia
dengan estimasi peningkatan insidens rate infeksi HIV lebih dari 25% (UNAIDS, 2012)
dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat
beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu, dan
prevalensi HIV 2,4% pada populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan
Papua Barat. Kementerian Kesehatan memperkirakan, pada tahun 2016 Indonesia
akan mempunyai hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS
dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang),
bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai
kurun waktu tersebut (Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia,
Kemkes, 2012).
450
400
350
300
250
SEAR
200
150
50
India
Thailand
100
Indonesia
Myanmar
Nepal
0
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008 2009
Gambar 1. Estimasi jumlah infeksi baru HIV di negara wilayah Asia Tenggara dan
Selatan 1990-2009
Data Kementerian Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang
menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan
Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi
HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia
12
25000
7.95
20000
15000
10000
10
19636
18872
17807
16735
15517
9.57
9.04
8.49
10.11
8
6
13189
14225
15136
15965
16691
5000
2
1048
2012
1208
2013
1368
2014
1528
2015
1688
2016
Gambar 2. Estimasi dan proyeksi jumlah ibu hamil yang membutuhkan Layanan PPIA
di Indonesia tahun 2012-2016
Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan
cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan
jarum suntik tidak steril pada penasun; dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada
kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus
HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi 44% (2011), selain itu juga
terdapat peningkatan HIV dan AIDS yang ditularkan dari ibu HIV positif ke bayinya.
Jumlah kasus HIV pada anak 0-4 tahun meningkat dari 1,8% (2010) menjadi 2,6%
(2011)
Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan penularan dari
ibu-ke-anak yang komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang komprehensif meliputi empat pilar
atau komponen, yang dikenal sebagai prong.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia
sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Namun,
hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemkes, 2011), yang baru
menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu yang memerlukan layanan PPIA.
Program PPIA juga telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga masyarakat khususnya
untuk penjangkauan dan perluasan akses layanan bagi masyarakat. Agar penularan
HIV dari ibu ke anak dapat dikendalikan, diperlukan peningkatan akses program dan
pelayanan PPIA yang diintegrasikan ke dalam kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), keluarga berencana (KB), serta kesehatan remaja (PKPR) di setiap jenjang
fasilitas layanan kesehatan dasar dan rujukan. Layanan PPIA terintegrasi merupakan
juga bagian dari Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS.
Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan
seks. Adanya IMS dalam bentuk ulserasi ataupun inflamasi akan meningkatkan risiko
masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seks tanpa pelindung antara seorang
yang sudah menderita IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Gejala IMS pada
wanita merupakan tanda untuk menawarkan tes HIV pada klien.
Pencegahan penularan HIV, penyakit IMS dan sifilis dari ibu ke bayi mempunyai
kelompok sasaran dan penyedia layanan yang sama, yaitu perempuan usia reproduksi,
ibu hamil dan layanan KIA/KB, kesehatan reproduksi dan kesehatan remaja. Untuk
itu upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis serta penyakit IMS lainnya dari ibu ke
anak akan dilaksanakan secara terintegrasi di layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi
dan remaja secara terpadu di pelayanan dasar dan rujukan menuju eliminasi penularan
HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
5. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga kesehatan
diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB secara inklusif pada pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan.
6. Untuk daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu atau
berwenang, pelayanan PPIA dapat dilakukan dengan cara:
a) Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai;
b) Pelimpahan wewenang (task shifting) kepada tenaga kesehatan yang terlatih.
Penetapan daerah yang memerlukan task shifting petugas dilakukan oleh
Kepala Dinas Kesehatan setempat.
7. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat ARV dan mendapatkan pelayanan
perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut (PDP).
8. Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik (obat dan pemeriksaan
tes HIV) berkoordinasi dengan Ditjen P2PL, Kemenkes.
9. Pelaksanaan pertolongan persalinan baik secara per vaginam atau per abdominam
harus memperhatikan indikasi obstetrik ibu dan bayinya serta harus menerapkan
kewaspadaan standar.
10. Sesuai dengan kebijakan program bahwa makanan terbaik untuk bayi adalah
pemberian ASI secara ekslusif selama 0-6 bulan, maka ibu dengan HIV perlu
mendapat konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal pertama. Namun
apabila ibu memilih lain (pengganti ASI) maka, ibu, pasangan, dan keluarganya
perlu mendapat konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan teknis.
E. Sasaran
Buku pedoman ini ditujukan untuk semua pihak yang berkepentingan dalam upaya
pengembangan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak di Indonesia, termasuk:
Tenaga kesehatan, yaitu dokter, dokter spesialis, bidan, perawat dan tenaga terkait
lainnya yang bertugas di layanan kesehatan dasar dan rujukan, fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta.
Pengelola program dan petugas pencatatan-pelaporan di layanan dasar dan rujukan,
terutama layanan HIV-AIDS dan IMS, layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi,
kesehatan remaja, baik di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun
swasta.
Pemangku kepentingan (stakeholder) baik Pemerintah maupun Non Pemerintah,
yang terkait dengan penyediaan layanan HIV-AIDS dan IMS.
Kelompok profesi dan kelompok seminat bidang kesehatan terkait layanan
kesehatan bagi ODHA, layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, kesehatan remaja,
IMS, dan layanan lainnya.
BAB II
secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya
sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas
tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40
tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi HIV. Penyakit
yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV,
misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia
(OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii
pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus (CMV), dan
Mycobacterium avium (MAC).
1000
900
CD4 + T cells
800
700
Acute HIV
Infection
Syndrome
600
500
400
HZV
Relative level of
Plasma HIV-RNA
Window
period
300
TB
Asymptomatic
OHL
OC
200
PPE
100
0
Antibody
0
11
Months .........
PCP
CM
CMV, MAC
1
10
10
ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko
tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang,
seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi
mulut atau pada alat genital.
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan
alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada
semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional
melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan
HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di
fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Penularan dari ibu-ke-anak
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan
dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan
menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang
terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
12
Tabel 1. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi
Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik
Kadar HIV (viral load)
Prematuritas dan berat Jenis persalinan
Kadar CD4
bayi saat lahir
Lama persalinan
Status gizi saat hamil
Lama menyusu
Adanya ketuban
Penyakit infeksi saat
Luka di mulut bayi
pecah dini
hamil
(jika bayi menyusu)
Tindakan episiotomi,
Masalah di payudara
ekstraksi vakum dan
(jika menyusui) forseps
5 10%
10 20%
5 20%
20 50%
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan
akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat
diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko
yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak
13
menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82).
Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi
kurang dari 2%.
Persalinan
Masa kehamilan
0-14 mg
14-36 mg
36 mg
kelahiran
Selama
persalinan
0-6 bulan
6-24 bulan
1%
4%
12%
8%
7%
3%
Gambar 4.
Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak saat hamil, bersalin dan menyusui
14
BAB III
15
Sebaiknya, pesan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga disampaikan
kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV.
Informasi tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga penting
disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu
dengan HIV dan keluarganya semakin kuat.
2. Mobilisasi masyarakat
a. Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, PLKB, atau
posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada
masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan
kesehatan
b. Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk
melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril
c. Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh
masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi
3. Layanan tes HIV
Konseling dan tes HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas
Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) dan Konseling dan Tes Sukarela (KTS), yang
merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah.
Prosedur pelaksanaan tes darah dilakukan dengan memperhatikan 3 C yaitu
Counselling, Confidentiality, dan informed consent.
16
Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan
strategi Layanan Komprehensif Berkesinambungan, agar:
a. Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket
pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIVAIDS;
b. Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu
hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih
awal dan sedini mungkin.
c. Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di
fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan
ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV-AIDS.
d. Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes
HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan melakukan pemeriksaan IMS,
termasuk tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal
pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil
(inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu).
e. Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil
yang dites (couple conselling);
f. Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam
paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling
dan tes HIV;
g. Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan
pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan,
menyusui dan seterusnya;
h. Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV
positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan
dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki;
i. Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika
mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin;
j. Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan
juga program HIV-AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin
untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi
tambahan, dan keluarga berencana;
k. Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai
bagian dari upaya pencegahan.
Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat
merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas
kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan
yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak
terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV
18
yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima
ARV seumur hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV
di tubuhnya menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV
dari ibu ke anak menjadi kecil, Artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki
anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau
setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan
walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus
tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada
pasangannya.
Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu
dengan HIV antara lain:
Mengadakan KIE tentang HIV-AIDS dan perilaku seks aman;
Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;
Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;
Melakukan promosi penggunaan kondom;
Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan
menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;
Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin
merencanakan kehamilan.
Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling
efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan, persalinan dan pasca
kelahiran.
19
Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi pelayanan pra-, persalinan dan pascapersalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk
upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian
informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan
kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan
HIV di antara mereka, termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak.
Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu
hamil sesuai kebijakan program.Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu maudites
dengan sukarela.
Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui pendekatan
Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP), yang merupakan komponen
penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Tujuan utama
kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan
medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang,
seperti pada saat pemberian ARV.Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan
dan menunjukan adanya gejala yang mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari
petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut
sebagai bagian dari tatalaksana klinis.
Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS
terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat meningkatkan status kesehatan
semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan HIV. Hendaknya klinik KIA juga
menjangkau dan melayani suami atau pasangannya, sehingga timbul keterlibatan aktif
para suami/ pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Upaya pencegahan IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian pelayanan
IMS dan HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA.
2. Diagnosis HIV
Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis (mendeteksi
antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen
darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya
adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA.
Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga
reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen,
20
A1
A1 positif
A1 negatif
A2
A1 pos, A2 pos
Laporan sebagai
Non-reaktif
A1 pos, A2 neg
Ulangi
A1 & A2
A1 pos, A2 pos
A1 neg, A2 neg
A1 pos, A2 neg
Laporan sebagai
Non-reaktif
A3
A1 pos
A2 pos
A3 pos
Laporan sebagai
Reaktif
Laporan sebagai
Indeterminate
Risiko
tinggi
Risiko
rendah
Laporan sebagai
Indeterminate
Laporan sebagai
Non-reaktif
Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai pengobatan
dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat
yang bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis
dan jadwal yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk
menghindari timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/
keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus
mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai.
Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman
Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan
(2011). Penentuan saat yang tepat untuk memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada
ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis WHO) atau hasil
pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien TB dan penderita Hepatitis B kronik
aktif yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun
atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan
untuk pemantauan pengobatan.
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko penularan
HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara
menurunkan kadar HIV serendah mungkin.
Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari
triple nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.
22
Tabel 4. Saat yang tepat untuk memulai pengobatan ARV pada ibu hamil
Populasi Target Pedoman Tatalaksana dan Pemberian ARV (2011)
Pasien naive HIV+
asimtomatik
Ibu hamil
ARV diberikan mulai pada umur kehamilan 14 minggu,
berapa pun stadium klinis dan nilai CD4-nya
Jika umur kehamilannya <14 minggu namun ada indikasi,
ARV dapat segera diberikan
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama hamil
dan dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang paling efektif untuk
kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi.
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan
Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian
ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 5) dan mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV.
Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum hamilan, dan pasien
sudah mendapatkan ART, maka saat hamil ART tetap diteruskan dengan regimen
yang sama seperti saat sebelum hamil.
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur kehamilannya
14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART. Namun jika tidak ada indikasi,
pemberian ART ditunggu hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART
yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan 14 minggu,
segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ART
yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan,
segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi regimen ART
sama dengan ibu hamil yang lain.
23
Tabel 5. Rekomendasi ART pada ibu hamil dengan HIV dan ARV profilaksis pada bayi
No. Situasi Klinis Rekomendasi pengobatan
(paduan untuk ibu)
1 ODHA sedang terapi ARV,
Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau
kemudian hamil golongan PI jika sedang menggunakan EFV
pada trimester I)
Lanjutkan dengan paduan ARV yang sama
selama dan sesudah persalinan
2 ODHA hamil dengan jumlah dalam Mulai ARV pada minggu ke-14 kehamilan
stadium klinis 1atau jumlah
Paduan sebagai berikut:
CD4 >350/mm3danbelum AZT + 3TC + NVP* atau
terapi ARV TDF + 3TC (atau FTC) + NVP*
AZT + 3TC + EFV** atau
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV**
3 ODHA hamil dengan jumlah
CD4 <350/mm3 atau stadium
klinis 2,3,4
Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil sebagai upaya untuk mengurangi risiko
penularan HIV dari ibu ke anak, termasuk untuk tujuan pengobatan jangka panjang.
24
Hamil
<14 minggu
Stadium klinis 1
atau jumlah
CD4 >350mm3
Terapi sesuai
kriteria ART
dewasa
>14 minggu
Stadium klinis
2,3,4 atau jumlah
CD4 <350mm3
4. Persalinan aman
Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling
lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian
dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per
abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea).
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang sekurangnya
dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan
yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000
kopi/L, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika
pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga
diperkirakan viral load > 1.000 kopi/L.
Tabel 6. Pilihan persalinan
Persalinan per vaginam
Syarat: Syarat:
Pemberian ARV mulai pada
Ada indikasi obstetrik; dan
< 14 minggu (ART > 6 bulan); atau
VL >1.000 kopi/L atau
VL <1.000 kopi/L
Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan > 36 minggu
25
Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang diminum.
Perlu dilakukan tes HIV ulangan pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP.
Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita hepatitis B maka PPP yang
digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare.
0%
Mixed feeding
24,1%
Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan informasi dan edukasi untuk membantu
mereka membuat keputusan apakah ingin memberikan ASI eksklusif atau susu
formula kepada bayinya. Mereka butuh bantuan untuk menilai dan menimbang risiko
penularan HIV ke bayinya. Mereka butuh dukungan agar merasa percaya diri dengan
keputusannya dan dibimbing bagaimana memberi makanan ke bayinya seaman
mungkin. Agar mampu melakukan hal itu, tenaga kesehatan perlu dibekali pelatihan
tentang informasi dasar HIV dan pemberian makanan untuk bayi.
Rekomendasi untuk pemberian informasi dan edukasi, baik tentang pemberian
makanan bayi dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak maupun pemeliharaan
kesehatan anak secara umum adalah sebagai berikut:
a. Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan
keputusannya untuk menyusui atau memberikan susu formula. Dengan adanya
komunikasi dengan si ibu, petugas dapat menggali informasi kondisi rumah ibu
dan situasi keluarganya, sehingga bisa membantu ibu untuk menentukan pilihan
pemberian makanan pada bayi yang paling tepat.
b. Petugas harus memberikan penjelasan tentang manfaat dan risiko menyusui untuk
kelangsungan hidup bayi/anak, serta pentingnya terapi ART sebagai kunci upaya
mencegah penularan HIV dari ibu ke anaknya. Bayi yang diberi ASI dari ibu yang
sudah dalam terapi ARV dan minum obatnya secara teratur, memiliki risiko sangat
kecil untuk menularkan HIV, karena jumlah virus dalam tubuhnya jauh berkurang.
Pemberian susu pengganti ASI yang tidak higienis berpotensi menimbulkan
penyakit infeksi lain yang mungkin mengancam kelangsungan hidup bayi.
c. Petugas harus dapat mendemonstrasikan bagaimana praktek pemberian makanan
pada bayi yang dipilih dan memberikan brosur atau materi KIE yang bisa dibawa
pulang.
d. Petugas perlu memberikan konseling dan dukungan lanjutan.
e. Saat kunjungan pasca persalinan, petugas kesehatan dapat melakukan:
Monitoring pengobatan ARV ibu dan profilaksis ARV bayi;
Monitoring tumbuh kembang bayi;
Memberikan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal imunisasi dasar, kecuali bila
ada tanda-tanda infeksi oportunistik;
Memberikan obat kotrimoksazol pada bayi untuk mencegah timbulnya infeksi
lain mulai pada usia 6 minggu;
Memeriksa tanda-tanda infeksi termasuk infeksi oportunistik;
Memeriksa praktik pemberian makanan pada bayi dan apakah ada perubahan
yang diinginkan;
Mendiskusikan pemberian makanan selanjutnya setelah ASI untuk bayi usia
6 12 bulan.
28
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat persalinan, dan
menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui plasenta selama
kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan. Penentuan status HIV
pada bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa. Pemeriksaan serologis anti-HIV dan
pemeriksaan virologis HIV RNA (PCR) dilakukan setelah usia 18 bulan atau dapat
dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasilnya positif, maka
harus diulang setelah usia 18 bulan.
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di Indonesia dan
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di bawah 18 bulan.
Pemeriksaan tersebut harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi
berusia 4-6 minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV DNA
(PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau partikel virus dalam
tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV
pada bayi (early infant diagnosis, EID).
29
Untuk pemeriksaan diagnosis dini HIV pada bayi ini, Kementerian Kesehatan sedang
mengembangkan laboratorium rujukan nasional (saat ini di Rumah Sakit Dharmais)
dan kedepannya beberapa laboratorium rujukan regional (termasuk di BLK Provinsi
Papua). Spesimen darah anak yang akan diperiksa dapat dikirimkan berupa tetes darah
kering (dry blood spot, DBS) ke laboratorium tersebut. Dengan pemeriksaan tersebut,
diagnosis HIV pada anak dapat ditegakkan sedini mungkin.
30
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA ini perlu diketahui
oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia reproduktif. Diharapkan informasi
ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti
konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka.
Ibu Hamil
Partisipasi Laki-laki
Mobilisasi Masyarakat
Bersedia
tes HIV
Konseling Pra-Tes
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Test
HIV negatif
Tes ulang pada ANC
berikutnya / sebelum
persalinan
Dokter
Bidan/ Perawat
LSM/ kader
Dokter
Bidan/ Perawat
Tak bersedia
menjalani tes
Pemerintah
Tenaga LSM
Kader
Petugas
Laboratorium
Konselor KTS
Relawan
ODHA (KDS)
Hasil Test
HIV positif
Hasil Test
HIV indeterminate
Konseling dan Pemberian
ART
Konseling dan Pemberian
Makanan Bayi
Konseling Persalinan aman
Dukungan Psikososial dan
Perawatan
bagi Ibu dengan HIV & bayinya
Dokter/Perawat
Konselor
Relawan/ Keluarga
ODHA (KDS)
Dokter/Bidan
Konselor
Relawan
Dokter
Bidan
Dokter
Bidan/Perawat
Relawan
ODHA (KDS)
Gambar 7. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan Prong 3 dan 4 dalam
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
31
32
BAB IV
JEJARING PPIA
Upaya pengendalikan HIV-AIDS dan IMS sangat memerlukan penguatan sistem
kesehatan. Beberapa aspek penting yang perlu dilakukan, antara lain penguatan layanan
IMS/kesehatan reproduksi dan pengintegrasian program HIV-AIDS dan IMS ke layanan
kesehatan yang sudah tersedia, termasuk layanan KIA/KB, kesehatan reproduksi
(PKRE), dan kesehatan remaja (PKPR). Kementerian Kesehatan menerapkan strategi
pengendalian penyakit melalui layanan pencegahan dan pengobatan HIV-AIDS yang
komprehensif dan berkesinambungan (disingkat LKB) dengan menerapkan keenam
pilar yang dikembangkan di tingkat kabupaten/kota. Keenam pilar tersebut terdiri
atas:
1. Koordinasi dan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan di setiap lini
2. Peran aktif komunitas termasuk ODHA dan keluarga
3. Layanan terintegrasi dan terdesentralisasi sesuai kondisi setempat
4. Akses layanan terjamin
5. Sistem rujukan dan jejaring kerja
6. Paket layanan HIV komprehensif yang berkesinambungan
KOMISI PENANGGULANGAN
AIDS
Fasyankes
Sekunder
RS Kab/Kota
KADER
Fasyankes
Primer
PUSKESMAS
MASYARAKAT
Fasyankes
Kelompok
Dukungan
Tersier
RS Provinsi
PBM:
LSM, Ormas,
Orsos, Relawan
PBR:
Keluarga
ODHA
COMMUNITY
ORGANIZER
33
Dalam jejaring PPIA setiap institusi memiliki peran tersendiri yang terintegrasi dan
saling berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana kesehatan, pelayanan PPIA
dijalankan oleh Puskesmas dan jajarannya, Rumah Sakit, serta bidan praktek swasta.
Di tingkat masyarakat, pelayanan PPIA dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) ataupun Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) ODHA.
Agar peran masing-masing institusi berjalan secara optimal, diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pelayanan PPIA yang memadai.
Untuk itu, diperlukan adanya pelatihan PPIA yang berorientasi terhadap kebutuhan
pelayanan di lapangan. Adanya Task Shifting dimungkinkan untuk menjalankan
kegiatan PPIA dengan disesuaikan pada kondisi setempat. Kegiatan pelatihan-pelatihan
tersebut memerlukan dukungan dari ikatan profesi, seperti IDI, IDAI, POGI, IBI, PAPDI,
PDUI, PPNI serta ikatan profesi lainnya. Ikatan profesi juga berperan meningkatkan
kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin pemberian pelayanan yang berkualitas, serta
menjalin koordinasi antar ikatan profesi dan bermitra dengan lainnya
Alur layanan kegiatan PPIA adalah sama dengan alur layanan komprehensif HIV untuk
ODHA, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini.
(Pusat/Provinsi)
Tatalaksana kasus rumit
Layanan dan dukungan spesialistik
RS Rujukan Strata II
Pemantauan
pasien
(Kabupaten/Kota) Layanan
komprehensif, koordinasi, Pembentukan
kelompok ODHA dan dukungan
Layanan Strata I
(Puskesmas, Klinik)
Layanan dasar, dukungan PDP
MASYARAKAT
35
Layanan HIV-AIDS khususnya PPIA dibagi dalam empat tingkatan (strata) pelayanan,
yaitu strata I, II, III dan layanan berbasis masyarakat. Strata III biasanya dilaksanakan di
tingkat Provinsi atau Nasional. Strata II atau tingkat menengah, biasanya dilaksanakan
di tingkat Kabupaten/Kota. Strata I atau layanan dasar dilaksanakan di tingkat
Puskesmas Kecamatan, Kelurahan maupun layanan yang berbasis masyarakat.
Mekanisme hubungan antar strata layanan terutama berupa rujukan yang merupakan
rujukan timbal balik antara layanan. Rujukan meliputi rujukan pasien, pembinaan dan
rujukan sampel laboratorium. Dalam melaksanakan rujukan, perlu dipertimbangkan
segi jarak, waktu, biaya dan efisiensi. Dengan demikian, diharapkan jaringan kerjasama
yang terjalin dapat member layanan yang lebih baik kepada ODHA.
36
BAB V
B. Pelaporan
Hasil kegiatan pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tiap bulan
dilaporkan secara berjenjang oleh Puskesmas, Layanan Swasta dan RSU ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi ke Kementerian Kesehatan
menggunakan format pelaporan dalam buku Pedoman Nasional Monitoring dan
Evaluasi Program Pengendalian HIV dan AIDS, Kementerian Kesehatan, 2010.
Laporan di setiap layanan atau Puskesmas atau RS dibuat mulai tanggal 26 bulan
sebelumnya sampai tanggal 25 bulan sekarang. Kemudian dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan merekapitulasi laporan semua
layanan di wilayahnya, kemudian melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan
melampirkan laporan dari layanan. Seterusnya, Dinas Kesehatan Provinsi melaporkan
ke Kementerian Kesehatan. Di Pusat, data akan diolah, disesuaikan dengan kebutuhan
dan indikator yang telah ditentukan.
37
KEMENKES
PER BULAN
DINKES PROVINSI
PER BULAN
DINKES
KABUPATEN
RS
PUSKESMAS
VCT/KTS
l ART
l PMTCT/PPIA
l METADON
l LJSS
l PITC/KTIP
l Dukungan ODHA
VCT/KTS
l ART
l PMTCT/PPIA
l METADON
l LJSS
l PITC/KTIP
l Dukungan ODHA
KLINIK
38
LSM
Penjangkauan
BAB VI
PENUTUP
Dengan adanya Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak diharapkan
akses layanan dan cakupan pelayanan PPIA sebagai salah satu upaya pengendalian
HIV-AIDS di Indonesia akan lebih luas dan lebih komprehensif, sehingga upaya untuk
mengeliminasi penularan HIV dari ibu ke anak dapat dicapai pada sesuai tujuan Menuju
Titik Nol (Getting to Zero). Disadari Pedoman ini perlu dilengkapi dengan pedoman
teknis lainnya yang secara rinci menjelaskan pelaksanaan di lapangan termasuk alur
pencatatan dan pelaporan secara berjenjang ke Pusat dari fasyankes.
39
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, 2006.
2. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal P2PL. Pedoman Nasional Terapi
Anti Retroviral pada Anak, 2008.
3. Kementerian kesehatan RI. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV,
2009.
4. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Pencegahan Penularan HIV-AIDS dari
Ibu Ke Bayi: Panduan Bagi Petugas Kesehatan, 2009.
5. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-1014, 2010.
6. Kementerian Kesehatan, Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi Program
Pengendalian HIV dan AIDS, 2010.
7. Pedoman Penerapan Tes dan Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan
(PITC), Kementerian Kesehatan, 2010.
8. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa, 2011.
9. Subdirektorat AIDS dan PMS, Kementerian Kesehatan RI. Laporan Triwulan IV
2011 Kasus HIV-AIDS Nasional, 2011.
10. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Hasil Pemodelan Matematika Epidemi HIV
(Draft), 2012
11. World Health Organization. Antiretroviral therapy of HIV infection in infants and
children: towards universal access: recommendations for a public health approach,
2010 revision.
12. World Health Organization. Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and
adolescents: recommendations for a public health approach, 2010 revision.
13. World Health Organization. Antiretroviral drugs for treating pregnant women and
preventing HIV infection in infants: recommendations for a public health approach,
2010 version.
14. World Health Organization. PMTCT Strategic Vision 20102015: Preventing motherto-child transmission of HIV to reach the UNGASS and Millennium Development
Goals, 2010.
15. UNAIDS. UNAIDS Global Report, 2012.
16. UNAIDS. TREATMENT 2.0, 2010.
17. Recommendation of The 8th Meeting of the Asia Pacific United Nations Task Force
for the Prevention of Parents-to-Child Transmission of HIV. Toward the elimination
of paediatric HIV and congenital syphilis in Asia Pacific, Vientiane, Lao PDR,
23 25 November 2010.
41
42
LAMPIRAN
43
44
Prong 1
Prong 2
Perempuan
15-49 th, Perempuan
termasuk
HIV dan
remaja dan pasangannya
populasi risti
Prong 3
Prong 4
Perempuan Perempuan
HIV yang
HIV, anak
hamil dan
dan
pasangannya keluarganya
1.
Peningkatan pengetahuan
komprehensif HIV-AIDS
bagi masyarakat
(15-49 tahun)
2.
3.
X
X
X
X
X
X
5.
6. Pencegahan kehamilan
tak diinginkan dan
perencanaan kehamilan
pada perempuan yang
terinfeksi HIV:
- Konseling dan
penyediaan kontrasepsi
yang aman dan efektif
- Perencanaan dan
persiapan kehamilan
45
Kegiatan:
Sasaran kegiatan:
7.
Prong 1
Prong 2
Prong 3
Prong 4
Perempuan
Perempuan Perempuan
15-49 th, Perempuan
HIV yang
HIV, anak
termasuk
HIV dan
hamil dan
dan
remaja dan pasangannya
pasangannya keluarganya
populasi risti
Pelayanan antenatal
terpadu, termasuk skrining/
diagnosis dan tatalaksana
IMS, HIV, TB, dan malaria
pada ibu hamil
8. Pemberian ARV
X
sesuai kriteria
eligible ARV
9. Perencanaan persalinan
aman
46
Kegiatan:
Sasaran kegiatan:
Prong 1
Prong 2
Prong 3
Prong 4
Perempuan
Perempuan Perempuan
15-49 th, Perempuan
HIV yang
HIV, anak
termasuk
HIV dan
hamil dan
dan
remaja dan pasangannya
pasangannya keluarganya
populasi risti
47
Stadium 2
Penurunan berat badan bersifat sedang Keilitis angularis
yang tak diketahui penyebabnya (<10% Ulkus mulut yang berulang
dari perkiraan berat badan atau berat
Ruam kulit berupa papel yang gatal
badan sebelumnya) (Papular pruritic eruption)
Infeksi saluran pernafasan yang berulang Dermatisis seboroik
(sinusitis, tonsillitis, otitis media,
Infeksi jamur pada kuku
faringitis)
Herpes zoster
Stadium 3
Penurunan berat badan bersifat berat Tuberkulosis paru
yang tak diketahui penyebabnya (lebih Infeksi bakteri yang berat (contoh:
dari 10% dari perkiraan berat badan pneumonia, empiema, meningitis,
atau berat badan sebelumnya) piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
Diare kronis yang tak diketahui
bakteraemia, penyakit inflamasi
penyebabnya selama lebih dari 1 bulan panggul yang berat)
Demam menetap yang tak diketahui
Stomatitis nekrotikans ulserative akut,
penyebabnya
gingivitis atau periodontitis
Kandidiasis pada mulut yang menetap Anemi yang tak diketahui
Oral hairy leukoplakia penyebabnya (<8 g/dl), netropeni
(<0.5 x 109/l) dan/atau
trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
48
Stadium 4
Sindrom wasting HIV
Pneumonia Kriptokokus
Pneumonia Pneumocystis jiroveci
ekstrapulmoner, termasuk meningitis
Pneumonia bacteri berat yang berulang Infeksi mycobacteria non tuberkulosis
Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, yang menyebar
genital, atau anorektal selama lebih dari Leukoencephalopathy multifocal
1 bulan atau viseral di bagian manapun) progresif
Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis Cyrptosporidiosis kronis
trakea, bronkus atau paru)
Isosporiasis kronis
Tuberkulosis ekstra paru
Mikosis diseminata (histoplasmosis,
Sarkoma Kaposi
coccidiomycosis)
Penyakit Cytomegalovirus (retinitis
Septikemi yang berulang (termasuk
atau infeksi organ lain, tidak termasuk Salmonella non-tifoid)
hati, limpa dan kelenjar getah bening) Limfoma (serebral atau Sel B
Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
non-Hodgkin)
Ensefalopati HIV
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
Nefropati atau kardiomiopati terkait
HIV yang simtomatis
49
50
TIM PENYUSUN
Pengarah:
51
52
1.
2.
3.
4.
ISBN 978-602-9364-55-2
9 78 6 0 2 9 3 6 4 5 5 2