Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KEPERAWATAN HIV

PREVENTION MOTHER TO CHILD TRANSMISSION OF


HIV (PMTCT)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan HIV

Oleh :
Kelompok 6 (B12 – A)
1. I Gusti Ayu Indah Masriadewi 193223060
2. I Wayan Noviarta 193223071
3. Made Hendra Wirawan 193223076
4. Ni Luh Dikananda Pradnyanri 193223087
5. Ni Made Erawati 193223093
6. Ni Luh Putu Juliani 193223089
7. Ni Luh Sri Rahmawati 193223090
8. I G A Ayu Vera Aryanti 193223058
9. Ni Made Dewi Wistiani 193223092

PROGRAM ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN


STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
DENPASAR
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah

memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat

pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk

memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan HIV.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai

perbaikan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis

harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

dan semua pihak.

Denpasar, 7 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3

C. Tujuan ..................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Prevention Of Mother To Child Transmisson (PMTCT)..... 4

B. Tujuan, Strategi, dan Sasaran Program PMTCT .................................... 6

C. Bentuk-bentuk Intervensi PMTCT......................................................... 7

D. Kebijakan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi ....................... 10

E. Jalinan Kerjasama Kegiatan PMTCT antara sarana Kesehatan dan Organisasi

Masyarakat ............................................................................................. 23

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................. 27

B. Saran ......................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 29


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran epidemic HIV secara nyata

melalui perkerja seks komersial, tetapi ada fenomena baru penyebaran HIV/AIDS

melalui pengguna narkoba suntuk. Tahun 2002 HIV sudah menyebar ke rumah

tangga. Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan

tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada

tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan

dan itu terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006 diperkirakan 4.360 anak terkena HIV

dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak terkena

HIV.

Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus diri

sendiri, sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh

keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan

perawatan mencakup penyuluhan yang memaai tentang penyakitnya, perawatan,

pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya. Penularan

HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman, pemakaian narkoba

injeksi dengan jumlah bergantian bersama pengidap HIV, tertular melalui darah

dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril serta alat untuk

menoreh kulit. Penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari

yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita

heteroseksual 34%, transfuse darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 70%.

1
Penularan HIV ke bayi dan anak bisA dari ibu ke anak, penularan melalui darah,

penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak). Penularan dari

ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar

(85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi

yang bias terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan dari ibu ke bayi dalah

0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,

kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS

sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%.

Tingkat transmisi AIDS dapat dikurangi dari 25% - 30% menjadi kurang dari

2% (berkurang > 90%) kalau pakai obat antiretoviris (ARV) pada Trismester

terakhir kehamilan, selama persalinan, dan kelahiran dan bayi diobati

pascapersalinan selama 6 minggu dan tidak disusui. Aturan/resiman yang sangat

efektif ini belum ada di Negara-negara sedang berkembang.

Menurut Depkes RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission

(PMTCT) atau Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), merupakan

program pemerintah untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu ke bayi

yang dikandungnya. Program tersebut mencegah terjadinya penularan pada

perempuan usia produktif, kehamilan dengan HIV positif, penularan dari ibu

hamil ke bayi yang dikandungnya. Prevalensi kasus AIDS lebih besar karena

merupakan kewajiban untuk melaporkan kasus kematian karena AIDS, tetapi

kasus HIV cenderung untuk tidak dilaporkan.

Kecenderungan tidak melaporkan ini secara tidak langsung menunjukkan

masih besarnya stigma terhadap HIV/AIDS di masyarakat. Seperti fenomena

gunung es, kasus HIV yang ada di masyarakat kemungkinan jauh lebih besar

2
daripada yang dilaporkan. Menurut WHO (2009), kecenderungan infeksi HIV

pada perempuan dan anak meningkat, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk

mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi antara lain dengan program

PMTCT. Program PMTCT dapat dilaksanakan pada perempuan usia produktif,

melibatkan para remaja pranikah dengan jalan menyebarkan informasi tentang

HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara

menghindari penularan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS),

menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV/AIDS secara sukarela,

melibatkan kelompok yang beresiko, petugas lapangan, kader PKK, dan bidan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Prevention Of Mother To Child Transmisson

(PMTCT) ?

2. Bagaimana tujuan, strategi dan sasaran program PMTCT ?

3. Bagaimana bentuk-bentuk intervensi dari program PMTCT ?

4. Apa saja kebijakan pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi ?

5. Bagaimanakah jalinan kerjasama kegiatan PMTCT antara sarana

kesehatan dan organisasi masyarakat ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Prevention Of Mother To Child

Transmisson (PMTCT)

2. Untuk mengetahui tujuan, strategi dan sasaran program PMTCT

3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk intervensi dari program PMTCT

4. Untuk mengtahui kebijakan pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

3
5. Untuk menetahui alur jalinan kerjasama kegiatan PMTCT antara sarana

kesehatan dan organisasi masyarakat.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Prevention Of Mother To Child Transmisson (PMTCT)

Pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak Prevention of Mother

to Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan bagian dari pelayanan

perawatan, dukungan dan Pengobatan/CST bagi pasien HIV/AIDS. Pelayanan

PMCT menjadi perhatian karena epidemic HIV/AIDS di Indonesia meningkat

dengan cepat, dimana penularan HIV dari ibu ke anak terus meningkat seiring

bertambahnya jumlah perempuan pengidap HIV , dari data pada tahun 2008 dari

jumlah ibu hamil yang mengikuti test HIV sebanyak 5.167 orang dimana 1.306

(25%) diantaranya positive HIV. Meningkatnya jumlah perempuan hamil yang

positif, akan meningkat pula kebutuhan untuk layanan PMTCT berdasarkan hasil

proyeksi dan pemodelan epidemic HIV, jumlah ibu hamil yang positif

memerlukan pelayanan PMTCT akan meningkat dari 5.730 orang pada tahun

2010 menjadi 8170 pada tahun 2014. Dengan mempertimbangkan keadaan

geografis wilayah Indonesia yang luas serta terdiri dari kepulauan dengan jumlah

penduduk yang besar dan tersebar di seluruh wilayah sehingga akan mengalami

kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan terutama di daerah terpencil atau

pelosok, sedangkan terus terjadi peningkatan penularan HIV/AIDS dari Ibu ke

Anak, untuk mengoptimalkan pelayanan PMTCT perlu adanya pemanfaatan

teknologi komunikasi sebagai alternative dalam pelaksanaan program PMTCT

yang memberikan layanan kesehatan jarak jauh.

5
B. Tujuan, Strategi dan Sasaran Program PMTCT

a. Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk:

1. Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi.

Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu.

Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan

anak. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu

laksana guna menekan proses penularan tersebut.

2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi.

Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan

produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung

oleh Odha dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena

morbiditas dan mortalitas terhadap Ibu dan Bayi. Epidemi HIV

terutama terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu diperhatikan, dipikirkan

dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari terjadinya dampak akhir

tersebut.

b. Srategi yang dilakukan dalam kegiatan PMTCT, yaitu:

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.

2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncananakan pada ibu dengan

status pisitif HIV.

3. Pencegahan terjadinya penularan HIV, dari ibu yang Positif HIV

kepada bayi yang dikandungnya.

4. Merujuk ibu dengan HIV positif ke sarana pelayanan kesehatan tingkat

Kabupaten atau Provinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut.

c. Sasaran Program PMTCT, antara lain:

6
1. Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT.

2. Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT.

3. Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan

nifas.

4. Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan

(Care, Support dan Treatment) bagi ibu dan bayi.

C. Bentuk-bentuk Intervensi PMTCT

Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan

intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 –

45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap

tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia.

Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi

dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi tersebut meliputi

4 konsep dasar,yaitu:

1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, berarti penularan

infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan intrapartum

(persalinan). Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi

selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu yakni

Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/

Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi Kronis

(Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat adanya kemungkinan transmisi

vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada

dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil.

7
Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan

keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan

pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain:

apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral

load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan

menggunakan ARV secara teratur.

2. Menurunkan viral load serendah-rendahnya, obat antiretroviral (ARV)

yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi

virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh

Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya

pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus.

3. Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu

positif HIV persalinan secarea berencana sebelum saat persalinan tiba

merupakan pilihan pada ODHA. Pada saat persalinan pervaginam, bayi

terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi

karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja

pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa

seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi

sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka

dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan

perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi

forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). Telah

dicatat adanya penularan melalui ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan

HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain, jarang dijumpai transmisi melalui

8
ASI. HIV teridentifikasi ada dalamkolustrum dan ASI, menyebabkan

infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak . Oleh karenanya ibu hamil

HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya

untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk

mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu

formula kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5

persyaratan, yaitu AFASS dari WHO (Acceptable = mudah

diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga

terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe = aman penggunaannya).

Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi

persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan untuk

memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3 bulan, atau lebih pendek

jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS sebelum 3 bulan tersebut.

Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula

dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan pemberian

makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu

formula/ PASI lainnya. Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/

PASI akan mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang

inflamasi tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan

memberikan kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus. Risiko

penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat

permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu).

Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui

yang baik.

9
4. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif, melalui pemeriksaan

ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin.

Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan

mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat,

cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu

diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari

kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah

penularan bila pasangan bukan ODHA.

D. Kebijakan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Data Epidemiologi dalam publikasi rekomendasi WHO maupun UNAIDS

tahun 2010, dikatakan bahwa terdapat 33,4 juta orang dengan HIV/AIDS di

seluruh dunia. Sebanyak 15,7 juta (47%) diantaranya adalah perempuan dan

2,1 juta anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Secara global, HIV

merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi. Selama

tahun 2008 terdapat 1,4 juta perempuan dengan HIV positif melahirkan di

negara berkembang dan terjadi 430,000 bayi terinfeksi HIV. Di Indonesia,

hingga akhir tahun 2010 dilaporkan sekitar 24,000 kasus AIDS dan 62.000

kasus HIV. Sekitar 62,7% berjenis kelamin laki-laki dan 37,7% berjenis

kelamin perempuan. Menurut golongan umur, proporsi terbesar terdapat pada

kelompok usia muda, yaitu 20–29 tahun sebanyak47,4%. Estimasi kasus

HIV/AIDS usia 15-49 tahun di seluruh Indonesia diperkirakan 186,257

(132.089-287.357). Meskipun secara umum prevalensi HIV di Indonesia

tergolong rendah (kurang dari 0,2%), tetapi sejak tahun 2005 Indonesia telah

10
dikategorikan sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena

terdapat daerah-daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada populasi

tertentu, kecuali Papua (sudah termasuk populasi umum yaitu 2,4%).

Penularan HIV dari ibu ke bayi ini dapat dicegah dengan program

PMTCT. Di negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar

< 2%, hal ini karena tersedianya layanan optimal untuk pencegahanpenularan

HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang atau negara miskin,

dengan minimnya akses intervensi, risikonya penularan meningkat menjadi

antara 25%–45%. Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan selama

beberapa tahun, ternyata cakupan PMTCT masih rendah, yaitu 10% di tahun

2004,kemudian meningkat menjadi 35% pada tahun 2007 dan 45% di

tahun2008 sesuai dengan laporan Universal Akses 2009. Bahkan pada

laporan Universal Akses 2010, cakupan layanan PMTCT di Indonesia masih

sangat rendah, yaitu sebesar 6%, sehingga upaya peningkatan cakupan sejalan

dengan program pencegahan perlu ditingkatkan.

Kebijakan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014 dari

Menkokesra dan Rencana Aksi Kegiatan Pengendalian AIDS dari Kemenkes,

menegaskan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi atau dikenal dengan

Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT) merupakan bagian

dari rangkaian upaya pengendalian HIV/AIDS. Dalam rangka meningkatkan

cakupan Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi di Indonesia

perlu adanya kerja sama antara berbagai sektor terkait, organisasi profesi,

organisasi masyarakat sipil termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kebijakan umum Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi sejalan dengan

11
kebijakan umum kesehatan ibu dan anak serta kebijakan pengendalian

HIV/AIDS di Indonesia. Tes HIV merupakan pemeriksaan rutin yang

ditawarkan kepada ibu hamil. Pada ibu hamil dengan hasil pemeriksaan HIV

reaktif, ditawari pemeriksaan infeksi menular seksual lainnya terutama sifilis.

Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi diintegrasikan dengan

paket pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta layanan KeluargaBerencana di

tiap jenjang pelayanan kesehatan. Semua perempuan yang datang ke

pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan layanan Keluarga Berencana di tiap

jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan informasi pencegahan penularan

HIV selama masa kehamilan dan menyusui. Untuk mencegah terjadinya

penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan

menggunakan empat prong, yaitu:

1. Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi.

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan

HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi untuk

tertular HIV. Strategi ini bisa juga dinamakan pencegahan primer (primary

prevention). Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah

penularan HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya

hubungan seksual. Artinya, mencegah perempuan muda di usia

reproduksi, ibu hamil dan pasangannya agar tidak terinfeksi HIV. Dengan

mencegah infeksi HIV pada perempuan usia reproduksi atau ibu hamil,

maka bisa dijamin pencegahan penularan HIV ke bayi. Untuk menghindari

penularan HIV, pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat

menggunakan konsep “ABCD”, yang artinya :

12
 A (Abstinence), artinya Absen seks ataupun tidak melakukan hubungan

seks bagi orang yang belum menikah.

 B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks

(tidak berganti-ganti).

 C (Condom), artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seksual

dengan menggunakan Kondom.

 D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.

Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan pada Prong (pencegahan primer)

antara lain:

a) Menyebarluaskan informasi tentang HIV/AIDS baik secara individu

maupun secarakelompok, yaitudengan cara: meningkatkan kesadaran

perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan HIV dan

IMS, menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV, meningkatkan

pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan ODHA

perempuan.

b) Mobilisasi masyarakat dengan melibatkan petugas lapangan (kader

PKK) untuk memberikan informasi pencegahan HIV dan IMS kepada

masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan

kesehatan, menjelaskan tentang pengurangan risiko penularan HIV dan

IMS (termasuk penggunaan kondom dan alat suntik steril), melibatkan

tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menghilangkan stigmatisasi

dan diskriminasi.

c) Konseling untuk perempuan HIV negative, ibu hamil yang hasilnya

tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya tetap HIV

13
negative, menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV,

membuat pelayanan kesehatan ibu dan anak yang bersahabat untuk

pria sehingga mudah diakses oleh suami/pasangan ibu hamil.

d) Mengadakan kegiatan „kunjungan pasangan‟ pada kunjungan ke

pelayanan kesehatan ibu dan anak dan memberikan informasi kepada

suami bahwa jika ia melakukan seks tak aman akan bisa membawa

kematian bagi calon bayinya, termasuk istrinya dan dirinya sendiri.

Para suami biasanya memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi

keluarganya. Informasi ini akan lebih efektif diterima suami jika

disampaikan oleh petugas kesehatan di klinik kesehatan ibu dan anak

ketika ia mengantarkan istrinya. Ketika ibu melahirkan bayinya di

rumah sakit ataupun klinik, biasanya ibu diantar oleh suaminya. Pada

saat itu, perasaan suami sangat bangga dan mencintai istri dan

anaknya. Saat tersebut akan efektif untuk menyampaikan informasi

kepada suami untuk menghindari perilaku seks tak aman dan informasi

tentang pemakaian kondom. Peningkatan pemahaman tentang dampak

HIV pada ibu hamil, akan membuat adanya dialog yang lebih terbuka

antara suami dan istri/pasangannya tentang seks aman dan perilaku

seksual. Sebaiknya, materi penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi

bagian dari pelatihan keterampilan hidup (life skill training) bagi

remaja sehinggasejak dini mereka belajar tentang cara melindungi

keluarga merekakelak dari ancaman penularan HIV. Informasi tentang

pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi juga penting disampaikan

kepada masyarakat luas untuk memperkuat dukungan kepada

14
perempuanyang mengalami masalah seputar penularan HIV dari ibu ke

bayi. Upaya mencegah penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

menjadi sangat penting dilakukan pada saat selama kehamilan, selama

persalinan dan selama masa menyusui. Hal ini dikarenakan kadar HIV

tertinggi di tubuh ODHA berada pada minggu-minggu pertama setelah

seseorang terinfeksi. Jumlah kadar HIV yang tinggi akan

meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Oleh karenanya,

risiko penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi lebih besar jika ibu

terinfeksi HIV selama kehamilan ataupun masa menyusui.

2. Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada

Perempuan HIV Positif.

Salah satu cara efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu

ke bayi adalah dengan mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada

perempuan HIV positif usia reproduksi. Hal yang dibutuhkan adalah

layanan konseling dan tes HIV dan sarana kontrasepsi yang aman dan

efektif untuk pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan. Penggunaan

alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling yang berkualitas

akan membantu perempuan HIV positif dalam melakukan seks yang aman,

mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta menghindari

lahirnya anak-anak yang terinfeksi HIV. Ibu HIV positif mungkin cukup

yakin untuk tidak ingin menambah jumlah anaknya karena khawatir

bayinya tertular HIV dan menjadi yatim piatu di usia muda. Namun

dengan adanya kemajuan intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke

bayi, ibu HIV positif dapat merencanakan kehamilannya. Sebagian dari

15
mereka yakin untuk bisa punya anak yang tidak terinfeksi HIV. Konselor

hanya bisa memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai

kemungkinan, baik tentang kemungkinan terjadinya penularan, maupun

peluang bayi untuk tidak terinfeksi HIV.

Ibu HIV positif berhak menentukan keputusannya sendiri. Ibu HIVpositif

sebaiknya tidak dipaksa untuk tidak hamil ataupun menghentikan

kehamilannya (aborsi). Mereka harus mendapatkan informasi yang akurat

tentang risiko penularan HIV ke bayi, sehingga mereka dapat membuat

pemikiran sendiri setelah berkonsultasi dengan suami dan keluarganya. Di

Indonesia, umumnya keinginan ibu untuk memiliki anak amat kuat, dan

ibu akan kehilangan status sosialnya jika tidak mampu menjadi seorang

ibu yang melahirkan anak. Jika kondisi fisik ibu HIVpositif cukup baik,

risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebenarnya menjadi kecil. Artinya,

ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif. Tetapi, ibu

HIV positif yang memiliki banyak tanda penyakit dan gejala HIV akan

lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya,sehingga ibu tersebut perlu

mendapatkan pelayanan konseling secara cermat untuk memastikan bahwa

mereka benar-benar paham akan risiko tersebut dan telah berpikir

bagaimana merawat si bayi jika mereka telah meninggal karena AIDS.

Jika ibu HIV positif tetap ingin memiliki anak, WHO menganjurkan jarak

antar kelahiran minimal dua tahun. Untuk menunda kehamilan, alat

kontrasepsi yang dianjurkan adalah kontrasepsi mantap (IUD maupun

kontrasepsi hormonal) dengan didampingi penggunaan kondom untuk

mencegah terjadinya penularan infeksi HIV dan IMS. Jika memutuskan

16
tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang palingtepat adalah sterilisasi

(tubektomi atau vasektomi). Apapun cara kontrasepsi yang dipilih untuk

mencegah penularaninfeksi HIV maupun IMS, setiap berhubungan seks

dengan pasangannya harus menggunakan kondom. Beberapa aktivitas

untuk mencegah kehamilan yang tidakdirencanakan pada ibu HIV positif

antara lain: Mengadakan KIE tentang HIV/AIDS dan perilaku seks aman,

menjalankan konseling dan tes HIV sukarela untuk pasangan, melakukan

upaya pencegahan dan pengobatan IMS melakukan promosi penggunaan

kondom, menganjurkan perempuan HIV positif mengikuti keluarga

berencana dengan cara yang tepat, senantiasa menerapkan kewaspadaan

standar, membentuk dan menjalankan layanan rujukan bagi perempuan

HIV positif yang merencanakan kehamilan.

3. Prong 3: Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil HIV Positif ke Bayi

Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi

HIV ini merupakan inti dari intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu

ke bayi. Bentuk-bentuk intervensi tersebut adalah :

a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif meliputi layanan

pra persalinan, pasca persalinan serta kesehatan anak. Pelayanan

kesehatan ibu dan anak bisa menjadi awal atau pintu masuk upaya

pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi bagi seorang ibu hamil.

Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke

klinik kesehatan ibu dan anak akan meningkatkan kesadaran dan

kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan

HIV diantara mereka, termasuk juga risiko lanjutan berupa penularan

17
HIV dari ibu ke bayi. Harapannya, dengan kesadarannya sendiri

mereka akan sukarela melakukan konseling dan tes HIV. Berbagai

bentuk layanan yang diberikan klinik kesehatan ibu dan anak, seperti :

imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS terutama siifilis, pemberian

suplemen zat besi, dapat meningkatkan status kesehatan semua ibu

hamil, termasuk ibu hamil HIV positif. Hendaknya klinik kesehatan

ibu dan anak juga menjangkau dan melayani suami atau pasangannya

sehingga terdapat keterlibatan aktif para suami atau pasangannya

dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.

b. Layanan konseling dan tes HIV

Layanan Konseling dan Tes Sukarela Layanan konseling dan tes HIV

sukarela atau Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan

salah satu komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV

dari ibu ke bayi. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah

melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah didahului dengan

konseling sebelum dan sesudah tes, menjaga kerahasiaan serta adanya

persetujuan tertulis (informed consent). Jika status HIV sudah

diketahui, untuk ibu dengan status HIV positif dilakukan intervensi

agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Untuk yang HIV negatif sekalipun masih dapat berkontribusi dalam

upaya mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, karena dengan

adanya konseling perempuan tersebut akan semakin paham tentang

bagaimana menjaga perilakunya agar tetap berstatus HIV negatif.

Layanan konseling dan tes HIV tersebut dijalankan di layanan

18
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang

pelayanan kesehatan. Layanan konseling dan tes HIV akan sangat baik

jika diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan

layanan keluarga berencana, dengan alasan menjadikan konseling dan

tes HIV sukarela sebagai sebuah layanan rutin di layanan kesehatan

ibu dan anak dan layanan keluarga berencana (ditawarkan kepada

semua pengunjung) akan mengurangi stigma terhadap HIV/AIDS,

layanan rutin konseling dan tes HIV sukarela di pelayanan kesehatan

ibu dan anak akan menjangkau banyak ibu hamil, menjalankan

konseling dan tes HIV sukarela di klinik kesehatan ibu dan anak akan

mengintegrasikan program HIV/AIDS dengan layanan kesehatan

lainnya, seperti pengobatan IMS dan infeksi lainnya, pemberian gizi,

dan keluarga berencana. Konseling HIV menjadi salah satu komponen

standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan Keluarga

Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan. Pelaksanaan konseling

dan tes HIV untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi

mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV. Tes HIV

merupakan pemeriksaan rutin yang ditawarkan kepada ibu hamil. Ibu

hamil menjalani konseling dan diberikan kesempatan untuk

menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak.

Layanan tes HIV untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu

ke bayi dipromosikan dan dimungkinkan tidak hanya untuk

perempuan, namun juga diperuntukan bagi pasangan laki-lakinya. Pada

tiap jenjang pelayanan kesehatan yang memberikan konseling dan tes

19
HIV dalam paket pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan

keluarga berencana, harus ada petugas yang mampu memberikan

konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Pada pelayanan kesehatan ibu

dan anak dan layanan Keluarga Berencana yang memberikan layanan

konseling dan tes HIV, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi

perempuan HIV negatif diberikan informasi dan bimbingan untuk tetap

HIV negatif selama kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada tiap

jenjang pelayanan kesehatan tersebut harus terjamin aspek kerahasiaan

ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes

HIV. Tes Diagnostik HIV Prosedur pemeriksaan diagnostik HIV

menggunakan metode strategi 3 yaitu pemeriksaan tes HIV secara

serial dengan menggunakan tiga reagen yang berbeda. Test HIV yang

disediakan oleh Kementerian Kesehatan adalah pemeriksaan dengan

tiga reagen rapid HIV. Namun untuk sarana kesehatan yang memiliki

fasilitas yang lebih baik, test HIV bisa dikonfirmasi dengan

pemeriksaan ELISA. Pemilihan jenis reagen yang digunakan

berdasarkan sensitifitas dan spesifisitasnya, yang merujuk pada standar

nasional.

c. Pemberian obat antiretroviral

Pada ODHA dewasa, penentuan saat yang tepat memulai terapi obat

antiretroviral (ARV) selain dengan menggunakan stadium klinis,

diperlukan pemeriksaan CD4. Namun pada kebijakan PMTCT 2011,

ARV diberikan kepada semua perempuan hamil HIV positif tanpa

harus memeriksakan kondisi CD4-nya lebih dahulu. Penentuan

20
stadium HIV/AIDS pada ibu hamil dapat dilakukan berdasarkan

kondisi klinis pasien dan dengan atau tanpa pemeriksaan CD4. CD4

untuk ibu hamil positif HIV digunakan untuk memantau pengobatan.

Waktu yang tepat untuk Pemberian ARV Populasi Target Pedoman

pemberian ARV tahun 2010 Pasien naive dengan CD4 ≤350

sel/mm3HIV+ asimtomatikPasien naive HIV+ Stadium 2 dengan CD4

≤350 sel/mm3dengan gejala atau Stadium 3 atau 4 tanpa memandang

nilai CD4nya Ibu Hamil. Semua ibu hamil diberi ARV tanpa

memandang nilai CD4nya. tanpa indikasi: ARV pada umur kehamilan

≥ 14 minggu, dengan indikasi: segera berikan ARV Pemberian ARV

pada ibu hamil HIV positif selain dapatmengurangi risiko penularan

HIV dari ibu ke bayinnya,untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan

ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pemberian

ARV sebaiknya disesuaikan dengan kondisi klinis yang sedang dialami

oleh ibu. Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV

kepada ibu selama kehamilan dan dilanjutkan selama menyusui adalah

intervensi yang paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampu

mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi pada kelompok

wanita dengan risiko tinggi.

4. Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada

Ibu HIV Positif Beserta Bayi dan Keluarganya

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi tidak terhenti setelah

ibu melahirkan. Ibu tersebut akan terus menjalani hidup dengan HIV di

tubuhnya, ia membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan

21
sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah

stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Sangat penting

dijaga faktor kerahasiaan status HIV si ibu. Dukungan juga harus

diberikan kepada bayi dan keluarganya. Beberapa hal yang mungkin

dibutuhkan oleh ibu HIV positif antara lain: pengobatan ARV jangka

panjang, pengobatan gejala penyakitnya, pemeriksaan kondisi kesehatan

dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 ataupun viral load ),

informasi dan edukasi pemberian makanan bayi, pencegahan dan

pengobatan infeksi oportunistik untuk dirinya dan bayinya, penyuluhan

kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya,

layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat, kunjungan ke rumah

(home visit), dukungan teman-teman sesama HIV positif (terlebih sesama

ibu HIV positif), didampingi jika sedang dirawat dan dukungan dari

pasangan. Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu HIV positif akan

bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia

akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri

dan anaknya dan berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari

dirinya ke orang lain. Informasi tentang adanya layanan dukungan

psikososial untuk ODHA ini perlu diketahui oleh masyarakat luas,

termasuk para perempuan usia reproduktif. Diharapkan informasi ini bisa

meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk

mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka.

22
E. Jalinan Kerjasama Kegiatan PMTCT antara Sarana Kesehatan dan

Organisasi Masyarakat

Jalinan kerjasama kegiatan PMTCT antara sarana Kesehatan dan

organisasi masyarakat merupakan faktor penting dalam kegiatan PMTCT

komprehensif yang meliputi 4 Prong. Jalinan kerjasama tersebut akan

mengatasi kendala medis yang menyangkut tes HIV, ARV, CD4, viral load,

persalinan aman, serta kendala psikososial seperti kebutuhan dampingan

,kunjungan rumah, bimbingan perubahan perilaku dan kesulitan ekonomi

keluarga ODHA. Dengan adanya jejaring (networking) PMTCT yang baik

disebuah daerah, diharapkan akan terbentuk layanan PMTCT berkualitas

yang dibutuhkan oleh perempuan usia reproduktif, ibu hamil, perempuanHIV

positif, ibu hamil HIV positif beserta pasangan dan keluarganya.Bentuk

jalinan kerjasama yang perlu dikembangkan antara lain memperkuat sistem

rujukan klien, memperlancar hubungan komunikasi untuk saling berbagi

informasi tentang situasi dan jenis layanan yangdiberikan dan membentuk

sistem penanganan kasus secara bersama.

Uraian Tugas dan Ruang Lingkup Dalam jejaring PMTCT, setiap institusi

memiliki peran tersendiri yang terintegrasi dan saling berhubungan dengan

institusi lainnya. Di sarana kesehatan, pelayanan PMTCT dijalankan oleh

Puskesmas dan rumah sakit, serta bidan praktek swasta. Sedangkan di tingkat

masyarakat, pelayanan PMTCT dijalankan oleh Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) ataupun Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) ODHA.

Pelayanan PMTCT di Puskesmas dan jajarannya (puskesmas pembantu dan

puskesmas keliling) meliputi pelayanan konseling sebelum dan sesudah tes

23
HIV, pelayanan tes HIV, rujukan ke rumah sakit rujukan AIDS serta

dukungan yang terintegrasi dengan pelayanan KIA (meliputi pelayanan

antenatal, persalinan, nifas bayi baru lahir) dan pelayanan KB (konseling

pilihan alat kontrasepsi bagi perempuan HIVpositif), termasuk menerima

rujukan dari pelayanan PMTCT berbasis masyarakat yang dijalankan oleh

LSM ataupun KDS. Dengan demikian,Puskesmas menjalankan Prong 1, 2,

dan 3 dari kegiatan PMTCT komprehensif. Pelayanan PMTCT di rumah sakit

dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelayanan asuhan antenatal,

persalinan dan pasca persalinan kepada ibu, pasangan dan bayinya. Pelayanan

tersebut meliputi konseling sebelum dan sesudah tes HIV, pemeriksaan

laboratorium darah HIV, IMS, TB-HIV, KB, ARV profilaksis, tes CD4, VL

dan pengobatan jangka panjang, kemoprofilaksis, persalinan yang aman,

penatalaksanaan perawatan bayi termasuk dukungan dan perawatan. Dengan

demikian, rumah sakit secara khusus menjalankan Prong 3 dari kegiatan

PMTCT komprehensif. Selain Puskesmas dan rumah sakit, pelayanan

PMTCT bisa pula dijalankan oleh bidan praktek swasta. Bidan terlatih

diharapkan mamp umelakukan penilaian (assesment) perilaku terhadap ibu

hamil yang berkunjung ke kliniknya. Jika perilakunya dinilai berisiko tertular

HIV,maka ibu hamil tersebut dirujuk oleh bidan ke Puskesmas ataupun rumah

sakit untuk menjalani VCT dan mendapatkan layanan lanjutan jika hasil

tesnya HIV positif. Bidan diharapkan mampu pula melakukan konseling

terhadap kehamilan ibu HIV positif, konseling pilihan persalinan, serta

melakukan persalinan pervaginam terhadap ibu HIV positif. Untuk persalinan

seksio sesarea, bidan merujuk ibu hamil kerumah sakit. Bidan praktek swasta

24
menjalankan Prong 1,2, 3 dari kegiatan PMTCT komprehensif. Peran LSM

dalam memberikan pelayanan PMTCT antara lain melakukan penyuluhan

PMTCT kepada perempuan usia reproduktif, ibu hamil, perempuan HIV

positif, ibu hamil HIV positif beserta pasangan dan keluarganya,

memobilisasi ibu hamil untuk menjalani VCT di Puskesmas, rumah sakit,

ataupun mobile-VCT LSM bekerjasama dengan kader masyarakat

(PKK/posyandu), mengajak laki-laki/pasangan ibu hamil untuk terlibat aktif

selama masa kehamilan, persalinan dan nifas, memberikan konseling dan

bimbingan kepada ibu hamil HIV positif(pilihan persalinan dan makanan

bayi), memberikan konseling perencanaan kehamilan kepada perempuan HIV

positif, memberikan dampingan terhadap ibu HIV positif (kunjungan

rumah,bantuan/dukungan ekonomi keluarga), membentuk dan mengaktifkan

kegiatan support group perempuan HIV positif, serta layanan rujukan ke

Puskesmas ataupun rumah sakit.

Melihat bentuk aktivitas yang dijalankan, maka LSM menjalankan Prong

1, 2, dan 4 dari kegiatanPMTCT. Seiring dengan keterlibatan yang makin

aktif dari orang yangterinfeksi HIV, KDS memiliki peran dalam pelayanan

PMTCT dengan menjalankan kegiatan penyuluhan PMTCT bagi perempuan

HIV positif dan ibu hamil HIV positif, memberikan dukungan sebaya dalam

kegiatan support group, mendampingi anggota KDS yang sedang menjalani

terapi pengobatan, melakukan advokasi kepada pembuat kebijakan dan sarana

kesehatan terhadap pelayanan PMTCT yang dibutuhkan perempuan HIV

positif serta layanan rujukan ke Puskesmas ataupun rumah sakit. Seperti

LSM, KDS menjalankan Prong 1, 2, dan 4 dari kegiatan PMTCT. Agar peran

25
masing-masing institusi berjalan secara optimal, diperlukan sumber daya

manusia yang memiliki pengetahuan danketerampilan pelayanan PMTCT

yang memadai. Untuk itu, diperlukanadanya pelatihan-pelatihan PMTCT

yang berorientasi terhadap kebutuhan pelayanan di lapangan. Kegiatan

pelatihan-pelatihan tersebut memerlukan dukungan dari ikatan profesi, seperti

IDI, IDAI, POGI, IBI,PAPDI, PDUI, PPNI serta ikatan profesi lainnya.

Ikatan profesi juga berperan memantau kinerja tenaga kesehatan untuk

menjamin pemberian pelayanan yang berkualitas, serta menjalin koordinasi

antar ikatan profesi dan bermitra dengan stackholders lainnya. Alur Rujukan

Jejaring pelayanan PMTCT komprehensif seperti di atas perlu dibentuk dan

diaktifkan oleh Dinas Kesehatan pada masing-masing Provinsi dengan

koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Depkes RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission

(PMTCT) atau Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), merupakan

program pemerintah untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu ke bayi

yang dikandungnya. Menurut WHO (2009), kecenderungan infeksi HIV pada

perempuan dan anak meningkat, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk

mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi antara lain dengan program

PMTCT. Program PMTCT dapat dilaksanakan pada perempuan usia produktif,

melibatkan para remaja pranikah dengan jalan menyebarkan informasi tentang

HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara

menghindari penularan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS),

menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV/AIDS secara sukarela,

melibatkan kelompok yang beresiko, petugas lapangan, kader PKK, dan bidan.

Untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan

dengan menggunakan empat prong, yaitu: Prong 1: Pencegahan Penularan HIV

pada Perempuan Usia Reproduksi, Prong 2: Pencegahan Kehamilan yang Tidak

Direncanakan pada Perempuan HIV Positif, Prong 3: Pencegahan Penularan HIV

dari Ibu Hamil HIV Positif ke Bayi, Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis,

Sosial dan Perawatan kepada Ibu HIV Positif Beserta Bayi dan Keluarganya.

27
B. Saran

Kita harus benar-benar mengerti dan memahami mengenai pentingnya program

PMTCT untuk mencegah peningkatan penularan HIV baik dari ibu yang positif

HIV kepada bayi yang sedang dikandungnya dan memberikan pendidikan

konseling serta informasi kepada para remaja, ibu hamil dan semua kalangan

masyarakat tentang bahaya dan penularan HIV untuk menekan peningkatan

penularan kasus ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

WHO. 2010. PMTCT Strategic Vission 2010-2015: Prevention of Mother to child


Transmission of HIV To Reach The UNGASS And Millenium
Development Goals;

WHO. 2009. Priority Interventions; HIV/AIDS Prevention, Treatment and Care in


The Health Sector; Depkes RI. 2008.

Modul Pelatihan. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (Prevention Mother
to Child Transmission; Philippe, M. 2009.

Improving mother‟s acces to PMTCT program in West Africa: a public health


perspective. Social Science and Medicine.

29

Anda mungkin juga menyukai