Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui banyak
menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya
melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang
terinfeksi TB paru.9
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.10
2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyebab kematian kedua terbesar yang disebabkan oleh
satu jenis agen infeksi sesudah Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
Estimasi prevalensi semua kasus TB tahun 2014 di Indonesia adalah 1.600.000
(647 per 100.000 populasi), sedangkan estimasi insidensi semua kasus TB adalah
1.000.000 (399 per 100.000 populasi). Jumlah kematian akibat TB pada tahun
2014 diperkirakan mencapai 100.000 jiwa dengan rate 41 per 100.000 populasi.11
Pada case notification rate tahun 2014 di Indonesia, jumlah kasus TB dengan
BTA positif ada sekitar 193.321 dan BTA negatif sekitar 101.991. Total kasus
yang terdeteksi pada tahun 2014 adalah 324.539. Meskipun penemuan BTA
positif pada pemeriksaan dahak mikroskopik dijadikan sebagai diagnosis utama,
di Indonesia hanya tercatat 2,2 per 100.000 populasi yang melakukan pemeriksaan
tersebut. Kultur lebih jarang dilakukan dengan 0,4 per 5 juta populasi, dan uji
resistensi hanya 0,3 per 5 juta populasi.11
Indonesia juga termasuk negara dimana AIDS berkembang dengan pesat.
Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 5%.11
2.3 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi
kuman (basil) Mikobakterium tuberkulosis. Sebagian besar basil tuberkulosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain.12
6

Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan


genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies
diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada
manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang
agak melengkung, dengan ukuran panjang 2m-4m dan lebar 0,2m0,5m.
Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila
diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler. Kuman ini bersifat
obligat aerob dan pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk
mengganda dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu
6-8 minggu.13,14
Suhu optimal untuk untuk tumbuh pada 37oC dan pH 6,4 7,0. Jika
dipanaskan pada suhu 60o C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini
sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu
organisme ini agak resisten terhadap bahan-bahan kimia dan tahan terhadap
pengeringan, sehingga memungkinkan untuk tetap hidup dalam periode yang
panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur,
sputum. Dinding selnya 60% terdiri dari kompleks lemak seperti mycolic acid
yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam, cord factor merupakan mikosida
yang berhubungan dengan virulansi. Kuman yang virulen mempunyai bentuk khas
yang disebut serpentine cord, Wax D yang berperan dalam immunogenitas dan
phospatides yang berperan dalam proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit
untuk diwarnai tapi sekali diwarnai ia akan mengikat zat warna dengan kuat yang
tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol seperti perwarnaan Ziehl
Nielsen. Organisme seperti ini di sebut tahan asam. Basil tuberkulosis juga dapat
diwarnai dengan pewarnaan fluoresens seperti pewarnaan auramin rhodamin.15,16

2.4 Patogenesis
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune
response. Sel efektornya adalah makrofag, sedang limfosit (biasanya sel T)
merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga
basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding

bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel
kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli.17,18
Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru dalam 6 8 minggu akan
menimbulkan gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD 4 (cluster
diffrentiated) agar memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag
sehingga meningkatkan kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga
diproduksi TNF (tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag dimana
TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.17
Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan
masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk
memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit
berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer
atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat sembuh
dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau
berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening
menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah
bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadangkadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post
primer.19
TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada
segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB
post primer dapat terjadi melalui salah satu dari 3 mekanisme ini yaitu:20,21
1. Perkembangan langsung dari TB primer
2. Reaktivasi dari TB primer (endogenous)
3. Reinfeksi dari luar (exogenous reinfection).
Proliferasi dari basil tuberkulosis didalam nekrosis sentral diikuti dengan
perlunakan dan pencairan zat-zat kaseosa yang dapat pecah ke bronkus dan
membentuk kavitas. Perdarahan dapat terjadi jika proses kaseosa berlanjut ke
pembuluh darah pada dinding kavitas. Penyebaran kaseosa dan bahan-bahan cair
kedalam percabangan bronkus akan menyebarkan infeksi ke daerah paru yang

lainnya. Rupturnya fokus kaseosa kedalam pembuluh darah akan mengakibatkan


terjadinya TB milier.17,22
Pemberian vaksinasi BCG yang merupakan imunisasi aktif dimana vaksin
yang digunakan merupakan kuman yang dilemahkan sehingga tidak dapat
menyebabkan penyakit, melainkan masih dapat mengakibatkan imunitas. Individu
yang telah diberikan vaksin BCG secara lengkap maka didalam badannya telah
terbentuk suatu kekebalan yang dapat melawan infeksi tuberkulosis sehingga
walaupun tidak dapat menjamin individu tersebut dari penyakit ini tetapi jika ia
terserang tuberkulosis umumnya penyakit tidaklah berat. Infeksi tuberkulosis
berkaitan erat dengan imunitas seseorang. Meskipun penyakit tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi tetapi ternyata diperlukan juga suatu hereditas tubuh
untuk dapat menderitanya.15,17
2.5 Diagnosis
TB disebut juga The great immitator oleh karena gejalanya banyak mirip
dengan penyakit lain. Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala
klinis dan pemeriksaan fisik.23
2.5.1. Gejala klinis
Gejala klinis TB Paru dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu:
a.

Gejala respiratorik
Batuk merupakan gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk
timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang berlangsung 2

minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.24


Batuk darah yang dikeluarkan berupa garis-garis, bercak-bercak atau bahkan
dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan

tumor paru.24,25
Sesak napas dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan

paru yang cukup luas.


Nyeri dada dapat timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura

sudah terlibat.24,26
b. Gejala sistemik
Demam merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada
sore dan malam hari.24

10

Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan

menurun serta nafsu makan menurun.27,28


2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural
paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada
pemeriksaan fisik. Suara atau bising napas abnormal dapat berupa suara bronkial,
amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.29 Sedangkan limfadenitis yang disebabkan oleh
M.tuberculosis dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dalam beberapa
minggu atau bulan dan selalu disertai nyeri tekan pada nodul yang bersangkutan.
Lesi umumnya terletak di sekitar perjalanan vena jugularis, belakang leher
ataupun di daerah supra clavicula.30
2.5.3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti
foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran
bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologik yang ditemukan dapat
berupa:
a.Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah
b.
Bayangan berawan atau berbercak
c.Adanya kavitas tunggal atau ganda
d.
Bayangan bercak milier31
e.Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral
f. Destroyed lobe sampai destroyed lung
g.
Kalsifikasi
h.
Schwarte.32,33
Berdasarkan luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi
sebagai berikut:
a. Lesi minimal (minimal lesion). Bila proses tuberkulosis paru mengenai
sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan
volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V
dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi sedang (moderately advanced lesion). Bila proses penyakit lebih luas
dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas

11

proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses
yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses tuberkulosis tadi
mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak
boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat / tidak disertai
kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh
lebih dari 4 cm.
c.Lesi luas (far advanced). Kelainan lebih luas dari lesi sedang.34
2.5.4. Pemeriksaan mikroskopik dahak
Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya basil tahan asam. Dibutuhkan
paling sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk mendapatkan kepositifan.
Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen. Cara
pengambilan sputum tiga kali (3 x) dengan cara:
a. Sewaktu (sputum saat kunjungan pertama)
b. Pagi (keesokan harinya)
c. Sewaktu (pada saat mengantarkan sputum pagi pada hari kedua)
Untuk penilaian yaitu:35
a.
b.
c.
d.
e.
2.5.5.

Tidak dijumpai BTA/ 100 lapangan pandang = 0


Dijumpai 1-9 BTA / 100 lapangan pandang = catat jumlah yang ada
Dijumpai 10-99 BTA / 100 lapangan pandang = 1+
Dijumpai 1-10 BTA / lapangan pandang dalam 50 lapangan pandang = 2+
Dijumpai >10 BTA /lapangan pandang dalam 20 lapangan pandang = 3+
Kultur/biakan
Pada pemeriksaan kultur ini dibutuhkan paling sedikit 10 kuman

tuberkulosis yang hidup.Jenis-jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain:


a. Metode

konvensional

seperti

Lowenstein-Jensen,

Ogawa,

Kudoh,

Middlebrook 7H-10 dan 7H-11.


b. Metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang
dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi mikobakterium tuberkulosis
menjadi tiga minggu saja. Untuk test sensitifitas ditambah 5-7 hari lagi.35
2.5.6. Alur Diagnosis TB Paru Dewasa
a. Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan, dan tes cepat.

12

b. Apabila

pemeriksaan

secara

bakteriologis

hasilnya

negatif,

maka

penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil


pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
c. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spectrum luas (Non OAT dan Non kuinolon)
yang tidak memberikan perbaikan klinis.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
e. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin.
g. Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(Sewaktu Pagi Sewaktu).
h. Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan
contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif.

13

Gambar 2.1. Alur Diagnosis dan Tindak Lanjut TB Paru Pada Pasien Dewasa10
2.6 Pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan
ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan
obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan),

14

kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk
menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOTS=Direcly Observed Treatment Shortcourse) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).36
2.6.1. Jenis dan dosis OAT
a. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang, Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kgBB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.28
b. Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semidormant (persister) yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk
mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.36
c. Pirazinamid ( Z )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.36
d. Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama
penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk
berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.36
e. Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg/BB.36
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan:28

15

a. Tahap Intensif. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namum dalam jangka waktu yang lebih lama, pengawasan ketat
dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2.6.2. Panduan OAT Di Indonesia
WHO dan IUATLD (Internatioal Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) merekomendasikan panduan OAT Standar, yaitu:36
1. Kategori 1:
a. 2HRZE / 4 H3R3
b. 2HRZE / 4 HR
c. 2HRZE / 6 HE
2. Kategori 2:
a. 2HRZES / HRZE /5H3R3E3
b. 2HRZES / HRZE / 5HRE
3. Kategori 3:
a. 2HRZ / 4H3R3
b. 2 HRZ / 4 HR
c. 2HRZ / 6 HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan
OAT

untuk

kategori

1:

2HRZE/4H3R3,

untuk

kategori

2:

2HRZES/HRZE/5H3R3E3, dan untuk kategori 3: 2HRZ/4H3R3.


Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk FDC (Fixed Drug Combination) dengan
tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu (1) penderita
dalam satu (1) masa pengobatan.36
1. Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )

16

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z)
dan Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama
4 bulan (4H3R3).37
Obat ini diberikan untuk:36
a. Penderita baru TBC Paru BTA Positif
b. Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat
dan
c. Penderita TBC Ekstra Paru berat.
2. Kategori 2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z),dan Etambutol (E) setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan
streptomisin diberikan setelah pemderita selesai menelan obat.32 Obat ini
diberikan untuk:
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita Gagal (failure)
c. Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)
3. Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu (4H3R3 ).28 Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
b. Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis )
pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tb tulang ( kecuali tulang
belakang ) sendi dan kelenjar adrenal.
4. OAT sisipan ( HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan (
HRZE ) setiap hari selama 1 bulan.36
2.7 Program Penanggulangan Tuberkulosis

17

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5
komponen kunci, yaitu:10
a. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
b. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
c. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
d. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
e. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (costeffective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi
efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia
menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang
digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar
US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan
memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB
di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik
dalam upaya pencegahan penularan TB.
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak
negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership
strategi DOTS tersebut diperluas menjadi Strategi Stop TB, yaitu:10
a.Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
b. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
c.Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
d. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta.
e.Memberdayakan pasien dan masyarakat
f. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
2.7.1. Visi dan Misi

18

a. Visi
Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan
b. Misi
1. Meningkatkan

pemberdayaan

masyarakat,

termasuk

swasta

dan

masyarakat madani dalam pengendalian TB.


2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu
dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
2.7.2. Tujuan dan Target
a. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.10
b. Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per
100,000 penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA
positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB
paru (BTA positif) yang disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang
dicapai pada RPJMN 2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan
dengan target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global
TB Strategy pasca 2015 dan target SDGs (Sustainable Development Goals).
Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi
TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun menjadi 3-4% per tahun
dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun. Diharapkan pada tahun
2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar 20% dan angka
mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
2.7.3. Kegiatan10
a. Tatalaksana TB Paripurna

19

1.
2.
3.
4.
5.

Promosi Tuberkulosis
Pencegahan Tuberkulosis
Penemuan pasien Tuberkulosis
Pengobatan pasien Tuberkulosis
Rehabilitasi pasien Tuberkulosis

b. Manajemen Program TB
1.
2.
3.
4.
5.

Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis


Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
Promosi program pengendalian Tuberkulosis.

c. Pengendalian TB Komprehensif
1.
2.
3.

Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis


Public-Private Mix Tuberkulosis
Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi
buruk

4.
5.
6.
7.

Kolaborasi TB-HIV
TB Anak
Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung
Health = PAL)
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
Penelitian tuberkulosis.

8.
9.

2.8 Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB)


Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh
sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain10
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan
keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga
kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan.10
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna
akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus

20

merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di


masyarakat.10
Strategi penemuan kasus TB antara lain:10
a.

b.

c.

d.

e.

Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi


yang terdampak TB dan populasi rentan.
Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi
yang aktif sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan didukung
dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan..
Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap: 1) kelompok khusus yang
rentan TB seperti HIV, DM, dan malnutrisi, 2) kelompok rentan karena
berada di lingkungan yang berisiko tinggi terjadinya penularan TB seperti
lapas/rutan, daerah kumuh, asrama, panti, 3) Anak di bawah umur 5 tahun

yang kontak dengan pasien TB, dan 4) kontak erat dengan pasien TB
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagin pasien dengan gejala dan
tanda yang sama dengan gejala TB seperti Pendekatan praktis kesehatan
paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL), manajemen terpadu balita
sakit
g.

(MTBS),

manajemen

terpadu

dewasa

sakit

(MTDS)

akan

meningkatkan penemuan pasien TB.


Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki
gejala antara lain batuk berdahak 2 minggu atau lebih. batuk diikuti dengan
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malamhari,
demam meriang lebih dari satu hulan.

2.9 Sumber Daya Manusia dalam Penanggulangan Tuberkulosis


Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian
Tuberkulosis (P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program
yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata lain
kompeten) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah
yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga
mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin

21

ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan


SDM TB yang terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB
yang memadai, pola rekrutmen yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM
TB yang terlatih.10

2.9.1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan10


a. Puskesmas
1. Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri:
kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1
perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.
2. Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri
dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1. RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6
dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB,
dan 3 tenaga laboratorium
2. RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6
dokter (2 dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB,
dan 3 tenaga laboratorium
3. RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4
dokter (2 dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1
tenaga laboratorium RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan
minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan
atau SpP), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4. RS swasta: menyesuaikan.
c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.
2.9.2. Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan
keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas.
Salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan petugas P2TB adalah dengan
mengikuti pelatihan pemberantasan TB dengan strategi DOTS.10
Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari:10
a.Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
Dengan memasukkan materi program penanggulangan TB strategi DOTS

22

dalam pembelajaran/kurikulum di Institusi pendidikan tenaga kesehatan.


(Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Farmasi dan lain-lain)
b. Pelatihan dalam tugas (in service training) dapat berupa aspek klinis
maupun aspek manajemen program
1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS
implementation)
a) Pelatihan TB yang terkareditasi nasional dengan kurikulum standar.
b) Pelatihan di tempat tugas/refresher (On the job training) yaitu
pelatihan yang diberikan terhadap petugas yang telah mengikuti
pelatihan sebelumnya, tetapi masih ditemukan masalah dalam
kinerjanya pada waktu supervisi.
2) Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training): pelatihan
untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program yang lebih
tinggi dimana materi pelatihannya berbeda dengan pelatihan dasar.
Materi yang akan dipelajari dalam pelatihan harus disesuaikan dengan
kebutuhan program dan tugas peserta latih. Metode pembelajaran harus mampu
melibatkan partisipasi aktif peserta dan mampu membangkitkan motivasi peserta,
sehingga peserta mampu melaksanakan pelatihan dengan baik. Materi pelatihan
maupun metode pembelajaran tersebut dapat dikemas dalam bentuk modul.10
Evaluasi pelatihan harus dilakukan secara sistematis dalam setiap pelatihan
dengan tujuan untuk:10
a. Mengetahui apakah tujuan pelatihan telah tercapai atau tidak;
b. Mengetahui mutu pelatihan yang dilaksanakan; dan
c. Meningkatkan mutu pelatihan yang akan datang.
Demikian pentingnya evaluasi pelatihan maka pelaksanaannya harus
terintegrasi dengan proses pelatihan.
.
2.10 Keterlibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan dalam
Penanggulangan TB

23

Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan


sebagian besar kasus TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan
mereka sudah dalam tahap lanjut bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit
untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini bermakna karena menunjukkan lebih
banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.10
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah
penting, oleh sebab itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk
dapat menemukan sepertiga kasus TB yang hilang dan tidak terlaporkan serta
untuk menjangkau kasus TB pada kelompok rentan adalah dengan melibatkan
masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.10
Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional
Organisasi berbasis komunitas
Organisasi berbasis agama
Organisasi pasien dan mantan pasien
Organisasi profesi
dan lain-lain.
Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam
Program pengendalian TB, antara lain:10
a.Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi
kemasyarakatan lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain
yang belum terlibat untuk dapat membantu dalam program pengendalian
TB.
b.

Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat


dan lebih memahami situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan

masyarakat.
c.Organisasi kemasyarakatan

mempunyai

akses

untuk

menjangkau

masyarakat dengan populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex


komersial, pencandu narkoba, penduduk musiman dan masyarakat miskin
yang kurang mempunyai akses ke fasilitas layanan kesehatan.

24

d.

Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan


sarana layanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat secara

langsung
e.Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan
informasi tentang TB kepada masyarakat
f. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses
pelayanan TB dan membantu dalam sosial ekonomi
g.
Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi
kepada pemerintah daerah setempat.
h.
Dan lain-lain.
Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB
berbasis komunitas yaitu:10
a. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).
Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan
untuk terlibat dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas.
Mengajak organisasi lainnya yang selama ini terlibat dalam Program
kesehatan bukan TB, misalnya organisasi kemasyarakatan dalam
kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
b. Memperluas (Expand).
Melibatkan dan Mengembangkan

cakupan

program

organisasi

kemasyarakatan yang sudah terlibat dalam program pengendalian TB


untuk menjangkau populasi khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah,
asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja seksual serta meningkatkan dan
memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam program
pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan terduga
TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
c. Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan
terduga TB dan TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya.
Pemetaan peran, potensi dan fungsi dari masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan yang dilakukan tidak
tumpang

tindih

dan

kontribusi

kemasyarakatan dapat diidentifikasi.


d. Menghitung (Enumerate).

dari

masing-masing

organisasi

25

Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program


pengendalian TB berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan
evaluasi melalui sistem pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan
indikator-indikator yang telah ditetapkan.
2.11 Logistik dalam Penanggulangan Tuberkulosis
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen
yang penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat
dilaksanakan, baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Fasyankes). Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB
dengan baik sehingga ketersediaan dan kualitasnya terjamin.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB
mulai

dari

perencanaan,

pengadaan,

penyimpanan,

pendistribusian

dan

penggunaan bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari
proses

penegakan

diagnosis

sampai

dengan

pasien

menyelesaikan

pengobatannya.Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT


yang digunakan untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat. Logistik Non
OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang digunakan
untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.10
Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan
Non OAT.
a. Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)10
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB
(P2TB) di Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli
(KOMLI)

dengan

memperhatikan

beberapa

paduan

OAT

yang

direkomendasikan oleh WHO. Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB


adalah:
Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol
(E) dan Streptomisin (S).
Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),

26

Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino


Salicylic (PAS).
b. Logistik Non OAT10
Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis
logistic Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB
maupun pasien TB resistan obat. Logistik Non OAT yang digunakan P2TB
dibagi dalam dua kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis
pakai.
1.

Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:


Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak,
Kaca sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan,

2.

Lysol, Lidi, Kertas saring, Kertas lensa, dll.


Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13
Peralatan habis pakai untu TB MDR antara lain Cartridge

GeneXpert, Masker bedah, Respirator N95


Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose,
Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak

penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak


penyimpanan OAT, dll
Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan,
buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker,
dan lainlain.

2.12

Penganggaran dalam Penanggulangan Tuberkulosis


Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana

jangka pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang
yang telah ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan
atau kondisi tertentu yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.10
Pembiayaan kegiatan program TB, saati ini didapatkan dari berbagai sumber
antara lain:10

27

a.

APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)


Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan
kegiatan program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas
program di daerah, Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat
TB melimpahkan kewenangan untuk mengelola dana APBN dengan
melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme sebagai berikut:
1.
Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat
(APBN) yang diberikan kepada pemerintah daerah sebagai instansi
vertikal yang digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Dana
dekonsentrasi untuk program pengendalian TB digunakan untuk
memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan
lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program
pengendalian TB di kabupaten/kota melalui pembinaan teknis,
meningkatkan kompetensi petugas TB melalui pelatihan tatalaksana
program TB.
Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana

2.

perimbangan yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan


keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan kepada daerah
melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di
laboratorium dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di
kabupaten/kota termasuk gudang obat.
3.
Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas
pelayanan kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat
digunakan sebagai transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan
dalam rangka pelacakan kasus yang mangkir TB, pencarian kontak TB
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan
kegiatan program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,
berdasarkan tugas, pokok dan fungsi dari pemerintah daerah.
2.13

Indikator Program TB

28

Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan


beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu:38
a. Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif ( Case Detection Rate = CDR)
b. Angka keberhasilan Pengobatan ( Success Rate = SR)
2.13.1
a.

Cara Menghitung dan Analisa Indikator


Angka Penemuan Kasus ( Case Detection Rate = CDR )
Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.07

100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan
perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan
jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan
Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
b.

Angka Keberhasilan Pengobatan


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien
baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA
positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara perhitungan
untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1.
Rumus :

Jumlah pasien baru BTA positif ( sembuh + pengobatan lengkap) X 100%


Jumlah pasien baru TB BTA positif yang diobati
2.14

Evaluasi Program TB
Evaluasi terhadap program perlu dipersiapkan untuk melihat kemanfaatan dan

kemajuan program yang telah dibentuk terhadap sasaran yang diharapkan. Tujuan

29

dari evaluasi adalah meningkatkan sumber-sumber yang terkandung dalam bidang


kesehatan secara maksimal melalui pengembangan program yang efektif dan
efisien. Selain itu, tujuan evaluasi program dalam kesehatan masyarakat yaitu
untuk memastikan permasalahan penting dari kesehatan masyarakat sehingga
perlu adanya monitoring keefisienan dan keefektifan dari suatu program. Dalam
menilai program perlu mempertimbangkan indikator yang dapat digunakan untuk
menilai kinerja program yang meliputi indikator input, process, dan ouput yang
dikembangkan tersebut.
a. Input (Masukan)
Input menurut merupakan unsur-unsur program yang diperlukan yang
terdiri dari 4M (Man, Material, Method, Money). Rincian 4M dalam
program P2TB di puskesmas yang perlu dievaluasi menurut adalah
sebagai berikut:
1.
Sumber daya manusia (man), meliputi:
Jumlah tenaga P2TB puskesmas dengan jumlah minimal yang
disebutkan:
Puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas mandiri kebutuhan
minimal tenaga terlatih adalah 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan

1 petugas laboratorium
Puskesmas satelit kebutuhan minimal tenaga pelaksana adalah 1

dokter dan 1 perawat/petugas TB


Puskesmas pembantu kebutuhan minimal tenaga pelaksana adalah

1 perawat/petugas TB
Tenaga P2TB yang terlatih untuk sistem surveilans TB dengan

jumlah minimal untuk tiap puskesmas adalah 1 orang.


Kualifikasi tenaga surveilans, tenaga pengelola program terlatih di
kabupaten/kota, tenaga laboratorium yang terlatih dengan jumlah

minimal tiap puskesmas adalah 1 orang.


2. Sarana dan prasarana (material), meliputi:
Laboratorium puskesmas
Buku pedoman penanggulangan TB yang harus dimiliki oleh

semua petugas P2TB di puskesmas


Buku petunjuk prosedur pemeriksaan dahak

30

Formulir TB yang harus dikerjakan oleh puskesmas meliputi TB-

01, TB-02, TB-04, TB-05, TB-06, TB-09, dan TB-10


Perangkat surveilans yang meliputi perangkat lunak dan perangkat
keras yang berupa perangkat komputer dan alat komunikasi (HP,

telepon, layanan internet).


3. Dana (money), meliputi alokasi dana dan sumber dana program yang
berasal dari APBD, APBN, Block Grant, dan dana bantuan yang berasal
dari LSM/Swasta, Luar Negeri.
4. Metode (method), meliputi upaya penjaringan kasus, upaya promosi
kesehatan
b. Process (Proses)
Proses yaitu pengaplikasian fungsi-fungsi manajemen yang dimulai dari
perencanaan program sampai pada pelaksanaan program. Dalam sistem
surveilans proses dimulai dari pengumpulan data (formulir TB), mengolah
data,

mengkaji,

menganalisis

dan

menginterpretasi,

pengambilan

keputusan kemudian penyebaran atau disseminasi informasi.

c. Output (Keluaran)
Output yaitu hasil dari pelaksanaan suatu program atau sistem. Output
ini berupa buletin, informasi register TB, informasi register
laboratorium, informasi pemeriksaan dahak, informasi pasien suspek,
ataupun laporan bulanan atau triwulan bahkan tahunan, CDR TBcure
rate TB.
2.15

Focus Group Discussion (FGD)


Pendefinisian metode FGD berhubungan erat dengan alasan atau justifikasi

utama penggunaan FGD itu sendiri sebagai metode pengumpulan data dari suatu
penelitian. Definisi awal tentang metode FGD adalah melakukan eksplorasi suatu
isu/fenomena khusus dari diskusi suatu kelompok individu yang berfokus pada
aktivitas bersama diantara para individu yang terlibat didalamnya untuk
menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Aktivitas para individu/ partisipan
yang terlibat dalam kelompok diskusi tersebut antara lain saling berbicara dan
berinteraksi dalam memberikan pertanyaan, dan memberikan komentar satu

31

dengan lainnya tentang pengalaman atau pendapat diantara mereka terhadap


suatu permasalahan/isu sosial untuk didefinisikan atau diselesaikan dalam
kelompok diskusi tersebut.39
Hal senada tentang metode FGD yaitu metode FGD sebagai suatu metode
untuk memperoleh produk data/informasi melalui interaksi sosial sekelompok
individu yang dalam interaksi tersebut, sesama individu saling mempengaruhi
satu dengan lainnya.40,41 Interaksi sosial sekelompok individu tersebut dapat
saling mempengaruhi dan menghasilkan data/informasi jika memiliki kesamaan
dalam hal, antara lain memiliki kesamaan karakteristik individu secara umum,
kesamaan

status

sosial,

kesamaan

isu/permasalahan,

dan

kesamaan

relasi/hubungan secara sosial.40


Metode FGD banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengeksplorasi
suatu rentang fenomena pengalaman hidup sepanjang siklus hidup manusia
melalui interaksi sosial dirinya dalam kelompoknya.42,43,44
Tujuan utama metode FGD adalah untuk memperoleh interaksi data yang
dihasilkan dari suatu diskusi sekelompok partisipan/responden dalam hal
meningkatkan kedalaman informasi menyingkap berbagai aspek suatu fenomena
kehidupan, sehingga fenomena tersebut dapat didefinisikan dan diberi penjelasan.
Data dari hasil interaksi dalam diskusi kelompok tersebut dapat memfokuskan
atau memberi penekanan pada kesamaan dan perbedaan pengalaman dan
memberikan informasi/data yang padat tentang suatu perspektif yang dihasilkan
dari hasil diskusi kelompok tersebut.
Berbeda dengan metode pengumpul data lainnya, metode FGD memiliki
sejumlah karakteristik, diantaranya, merupakan metode pengumpul data untuk
jenis penelitian kualitatif dan data yang dihasilkan berasal dari eksplorasi
interaksi sosial yang terjadi ketika proses diskusi yang dilakukan para informan
yang terlibat.41
Karakteristik pelaksanaan kegiatan FGD dilakukan secara obyektif dan
bersifat eksternal. FGD membutuhkan fasilitator/moderator terlatih dan
terandalkan untuk memfasilitasi diskusi agar interaksi yang terjadi diantara
partisipan terfokus pada penyelesaian masalah. Karakteristik pelaksanaan metode

32

FGD yaitu menggunakan wawancara semi struktur kepada suatu kelompok


individu dengan seorang moderator yang memimpin diskusi dengan tatanan
informal dan bertujuan mengumpulkan data atau informasi tentang topik isu
tertentu. Metode FGD memiliki karakteristik jumlah individu yang cukup
bervariasi untuk satu kelompok diskusi.45 Satu kelompok diskusi dapat terdiri dari
4 sampai 8 individu atau 6 sampai 10 individu.39,46
Karakteristik permasalahan/isu yang dapat diperoleh datanya melalui metode
FGD adalah isu/ masalah untuk memperoleh pemahaman tentang berbagai cara
yang membentuk perilaku dan sikap sekelompok individu atau untuk mengetahui
persepsi, wawasan, dan penjelasan tentang isu sosial yang tidak bersifat personal,
umum, dan tidak mengancam kehidupan pribadi seseorang.41
Berbagai penelitian kualitatif banyak menggunakan metode FGD sebagai alat
pengumpulan data. Sebagai salah satu metode pengumpulan data, metode FGD
memiliki berbagai kekuatan dan keterbatasan dalam penyediaan data/informasi.
Sebagai contoh, metode FGD memberikan lebih banyak data dibanding dengan
menggunakan metode lainnya.41 Kekuatan utama metode FGD adalah
kemampuan menggunakan interaksi antar partisipan untuk memperoleh
kedalaman dan kekayaan data yang lebih padat yang tidak diperoleh dari hasil
wawancara mendalam. Informasi atau data yang diperoleh melalui FGD lebih
kaya atau lebih informatif dibanding dengan data yang diperoleh dengan metodemetode pengumpulan data lainnya. Hal ini dimungkinkan karena partisipasi
individu dalam memberikan data dapat meningkat jika mereka berada dalam
suatu kelompok diskusi.45 Namun, metode ini tidak terlepas dari berbagai
tantangan dan kesulitan dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan yang optimal dari
metode FGD masih seringkali menjadi bahan perdebatan para ahli penelitian dan
konsensus untuk menyepakati metode FGD sebagai metodologi yang ideal dalam
penelitian kualitatif masih belum dicapai.
Metode FGD berdasarkan segi kepraktisan dan biaya merupakan metode
pengumpulan data yang hemat biaya/tidak mahal, fleksibel, praktis, elaborasif
serta dapat mengumpulkan data yang lebih banyak dari responden dalam waktu
yang singkat. Selain itu, metode FGD memfasilitasi kebebasan berpendapat para

33

individu yang terlibat dan memungkinkan para peneliti meningkatkan jumlah


sampel penelitian mereka. Dari segi validitas, metode FGD merupakan metode
yang memiliki tingkat high face validity dan secara umum berorientasi pada
prosedur penelitian.41
2.16

Puskesmas
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama,


dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang:47
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat
b. mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
Prinsip penyelenggaraan puskesmas antara lain:47
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Paradigma sehat
Pertanggungjawaban wilayah
Kemandirian Masyarakat
Pemerataan
Teknologi tepat Guna
Keterpaduan dan kesinambungan

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk


mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Untuk itu puskesmas memiiki fungsi:
a. penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya. Puskesmas
berwenang untuk:47
1.
melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
2.
melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
3.
melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;

34

4.

menggerakkan

masyarakat

untuk

mengidentifikasi

dan

menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan


masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain terkait;
melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan

5.

upaya kesehatan berbasis masyarakat;


melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia

6.

Puskesmas;
7.
memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
8.
melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses,
mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan; dan
9.
memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat,
termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon
penanggulangan penyakit.
b. penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya. Puskesmas
berwenang untuk:47
1. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
2. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada

3.

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;


4. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan

yang

mengutamakan

keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;


5. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan
kerja sama inter dan antar profesi;
6. melaksanakan rekam medis;
7. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan
akses Pelayanan Kesehatan;
8. melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
9. mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
10. melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan
Sistem Rujukan.
Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama
dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama.Upaya kesehatan sebagaimana
tersebut dilaksanakan secara terintegrasidan berkesinambungan. meliputi upaya

35

kesehatan masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan.


Upaya kesehatan masyarakat esensial sebagaimana dimaksud pada meliputi:47
a.
b.
c.
d.
e.

pelayanan promosi kesehatan;


pelayanan kesehatan lingkungan;
pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
pelayanan gizi; dan
pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Upaya kesehatan masyarakat esensial tersebut harus diselenggarakan oleh


setiap Puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal
kabupaten/kota bidang kesehatan.
Sedangkan upaya kesehatan masyarakat merupakan upaya kesehatan
masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau
bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas
masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang
tersedia di masing-masing Puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih
dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni:47
a.
b.
b.
c.
d.
e.
f.

Upaya Kesehatan Remaja


Upaya Kesehatan Kerja dan Olahraga
Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
Upaya Kesehatan Jiwa
Upaya Kesehatan Indra
Upaya Kesehatan Usia Lanjut
Upaya Kesehatan Calon Pengantin Komprehensif

Anda mungkin juga menyukai