Anda di halaman 1dari 19

CHAPTER 7

ASSET
Dalam akuntansi, cara mengklasifikasikan instrumen keuangan menjadi aset, liabilitas, dan
ekuitas sangat krusial. Kesalahan klasifikasi transaksi bisa saja menghasilkan salah saji yang
material dalam proses interpretasi laporan keuangan, sehingga menyulitkan pengambilan
keputusan. Contohnya, tanah bisa diklasifikasikan sebagai aset, tapi ketika tanah terkontaminasi
sehingga tidak bisa digunakan dan sedang diperkarakan di pengadilan, maka bukankah itu
termasuk provisi (liabilitas yang belum pasti jumlah dan waktunya)? Maka, proses klasifikasi
akan mempengaruhi persepsi terhadap risiko dan solvabilitas dari suatu perusahaan. Berikut akan
dijelaskan bagaimana proses pengklasifikasian aset, proses pengakuan dan pengukuran, serta
berbagai isu terkait perspektif atas pengukuran dan pengakuan aset.

LO 1: ASSETS DEFINED
Aset belum menjadi subjek standar akuntansi, sebelum dibuat conceptual framework pada tahun
1980-an mengenai definisi utama tentang term aset. Menurut IASB (para 49), aset
didefinisikan sebagai :
Aset adalah manfaat ekonomi di masa mendatang yang cukup pasti diperoleh atau
dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu
Maka, definisi aset berkaitan erat dengan karakteristik berikut:
- Manfaat ekonomi di masa mendatang (Future economic benefits)
- Dikuasai/dikendalikan entitas (Control by an entity)
- Akibat transaksi/kejadian masa lalu (Past events)
- Exchangeability (masih menjadi perdebatan)
Berikut akan dijelaskan satu per satu:
Future Economic Benefits

IASB framework memaparkan esensi aset sebagai future economic benefits. Yaitu, yang
berpotensi (secara langsung/tidak langsung) memberi kontribusi bagi aliran kas perusahaan. Jika
dikaitkan dengan perusahaan profit dan non-profit, agar bisa dikualifikasikan sebagai aset, maka
future economic benefit ini harus dapat membantu perusahaan mencapai tujuannya, apapun itu.
Bagi perusahan pencari profit, misalnya berbentuk penghematan biaya produksi, atau aktivitas
operasional yang menghasilkan tambahan revenue perusahaan.
Future economic benefits berkaitan dengan economic resources. Ada dua karateristik economic
resources : Kelangkaan (scarcity) dan utilitas (utility). Apabila resource tidak langka, maka
resource tidak economic. Karateristik kedua yaitu utilitas, berhubungan dengan future benefits
yang dibahas sebelumnya, yaitu kemampuan komoditas memenuhi kebutuhan manusia. Jadi,
suatu resource disebut memiliki nilai ekonomis apabila tidak cukup tersedia dan ternyata diminta
atau dibutuhkan manusia.
Peirson kemudian memberi contoh terkait konsep aset yang memberikan future service.
Misalnya, motor yang dimiliki perusahaan disebut aset, bukan karena berbentuk objek fisik,
namun karena menyediakan jasa di masa depan berupa transportasi. Jasa ini timbul dari
pemakaian barang atau akibat penjualan. Mesin disebut aset karena menyediakan jasa di masa
depan dari hasil pemakaiannya. Inventory juga aset karena menghasilkan manfaat ekonomi di
masa depan dari penjualannya, yaitu revenue tambahan.
Berdasarkan pendapat di atas, perlu diingat bahwa aset adalah yang bentuknya eksis saat ini dan
mampu menghasilkan manfaat atau jasa, baik sekarang atau kelak. Bentuk eksis misalnya
sebagai properti, atau hak atas properti. Definisi framework tidak menekankan pada keberadaan
sesuatu yang riil saat ini ketika aset disetarakan dengan future benefit.
Tidak semua objek disebut dengan aset. Gedung disebut aset karena bisa memberikan space
service, sedangkan mesin rusak yang tidak bisa dipakai, tidak memberikan future economic
benefit sehingga bukan termasuk aset. Material gedung seperti batu bata dan semen juga tidak
termasuk aset, tetapi setelah digabung menjadi sebuah gedung, maka baru bisa dikategorikan
sebagai aset.
Jadi, inti dari suatu aset adalah yang bisa menghasilkan future economic benefit.

Control by An Entity
Agar dapat dikualifikasikan sebagai aset, manfaat ekonomi harus bisa dikontrol oleh entitas,
yaitu membatasi akses pihak lain untuk memperoleh manfaat ekonomis itu. Ijiro menyatakan:
Akuntansi memandang aset sebagai sumber ekonomi yang berada di bawah penguasaan /
pengendalian unit tertentu
Pertanyaannya, apakah aset harus berstatus dimiliki sebelum bisa dikategorikan sebagai aset?
Menurut Sprague, kepemilikian dari suatu benda tidak lebih dari hak untuk menggunakan dan
mengontrolnya. Artinya, konsep ownership yang dimaksud ialah sebatas memiliki hak untuk
memakai atau mengontrol. Kontrol entitas terhadap terhadap suatu properti tidak absolute,
melainkan terbatas. Paton menjelaskan bahwa cakupan kepentingan pribadi juga dipengaruhi
oleh hak negara dan undang-undang. Misalnya, suatu area tanah bisa saja dipakai milik pribadi,
seperti membangun rumah, tapi pemerintah berhak menggusurnya untuk kepentingan bersama
seperti pelebaran jalan. Jadi, hak menggunakan tanah itu tidak absolute akan selalu dimiliki
secara pribadi.
Kepemilikan seringkali sejalan dengan kontrol, namun bukan karakteristik yang penting bagi
aset. Misalnya, toko Abadi menjual barang konsinyasi dari Pak Rudi. Barang tersebut bukan aset
toko Abadi, tetapi toko itu memiliki possesion dan kontrol. Contoh lainnya ialah rental lease
agreement, yaitu perusahaan (lessee) bisa mendapatkan benefit atas mobil sewaan dari lessor,
tetapi status kepemilikan mobil tersebut masih ada di lessor. Jadi, tidak harus memiliki untuk
bisa mengontrol suatu aset.
Istilah title juga bisa membingungkan. Misalnya, perusahaan transport membeli truk seharga
$300,000 secara cicilan. Walaupun perusahaan tidak memiliki dokumen kepemilikan legal yang
disebut title sampai truk tersebut dibayar sepenuhnya, perusahaan memiliki hak legal untuk
menggunakannya. Maka, dalam akuntansi, truk tersebut aset perusahaan. Secara teknis, aset
riilnya adalah hak guna atas truk tersebut, bukan truk secara fisik. Jadi, perusahaan berhak untuk
mendapatkan kegunaan dari truk dan kontrol atas truk tersebut.

Akuntansi lebih memusatkan pada substansi ekonomi suatu transaksi yang mempengaruhi posisi
keuangan perusahaan, daripada status legal. Dapat disimpulkan, definisi control by an entity
yang dimaksud adalah bukan memiliki suatu aset riil secara fisik secara absolute, tetapi hak guna
atas aset tersebut sehingga perusahaan berhak mendapatkan kegunaan dan kontrol dari aset itu.
Past Events
Kualifikasi aset selanjutnya ialah berdasarkan hasil transaksi lalu, sehingga entitas memiliki hak
atau pengendalian terhadap manfaat aset itu. Maka, mesin yang masih rencana dibeli bukan
termasuk aset, karena belum terjadi event yaitu transaksi pembeliannya.
Namun, interpretasi event ini bisa berbeda. Apakah perusahaan menandatangani kontrak
dengan perusahaan konstruksi untuk membangun gedung kantor dengan harga tertentu baru
dikualifikasikan sebagai event? Hal ini biasanya disebut dengan wholly executor contract,
yaitu kontrak dimana masing-masing pihak harus melakukan persentase kewajiban sesuai
kesepakatan.
Kontrak eksekutori (executory contract) ialah kontrak yang telah dipenuhi oleh suatu pihak,
tetapi belum dipenuhi oleh pihak lain yang terlibat. Menurut AASB, kontrak eksekutori seperti
forward exchange contract, akan meningkatkan aset dan liabilitas dan harus dilaporkan. Namun,
ada yang berpendapat bahwa pelaporan kontrak ini hanya menambah leverage, tetapi secara
nyata, tidak ada perubahan pada status hutang perusahaan. Akhirnya Ijiri menyimpulkan bahwa
setelah hak kontrak memenuhi definisi aset (first test), maka harus memenuhi juga beberapa
kriteria pengakuan, seperti usefulness dan firmness, sebelum bisa dilaporkan.
Saat ini executory contracts diakui sebagai aset, tergantung persyaratan standar akuntansi.
Contohnya, berdasarkan IAS 17/AASB 117 finance lease memberikan peningkatan terhadap aset
dan kewajiban. Perbedaan antara finance dan operating lease tidak didasarkan prinsip teoretis,
melainkan pada kondisi apakah lease mentransfer risiko secara substansial dan reward dari
kepemilikan atas suatu aset.
Exchangeability

Saat ini, ada perdebatan bahwa apakah kualifikasi aset harus juga memenuhi kriteria dapat
ditukarkan atau diperjualbelikan (exchangeability). Konsep ini berarti item keuangan bisa
dipisahkan dari suatu entitas dan nilai sisanya terpisah dari nilai entitas.
Pada tahun 1979, MacNeal menyatakan:
Barang yang tingkat exchangeability nya rendah, pasti economic value nya juga rendah karena
tidak mungkin terjadi proses jual-beli, maka dari itu tidak akan pernah ada harga pasar untuk
barang tersebut.
Bagaimana dengan goodwill, apakah termasuk aset? Goodwill ialah bentuk intangible yang
mencerminkan kelebihan penilaian perusahaan atas aset dibandingkan harga pasar. Karena itu,
goodwill tidak bisa dipisahkan atau dijual.
Maka Chambers berpendapat bahwa goodwill tidak bisa termasuk aset berdasarkan karateristik
exchangeability. Menurutnya, nilai goodwill hanya berdasarkan evaluasi, bukan pengukuran.
Keseluruhan pembanding saat evaluasi goodwill hanya berdasarkan hipotesis, bukan memang
kebenaran. Maksudnya, perusahaan menerka harga beli aset berdasarkan hipotesa dan performa
lalu, dan ketika ternyata harga beli lebih tinggi daripada harga pasar, maka selisihnya
dikategorikan sebagai nilai goodwill.
Kritik lain terkait konsep ini ialah nilai ekonomis suatu aset bergantung pada karateristik
kelangkaan dan utilitas, bukan exchangeability. Selain itu, goodwill dikategorikan sebagai aset
karena bukan untuk menilai bisnis secara keseluruhan, tetapi sebagai identifikasi dan menilai
secara ekonomis sumber daya tertentu, sehingga memenuhi kualifikasi aset.
Exchangeability ialah karateristik yang mendukung keberadaan suatu aset, tetapi bukan yang
utama. Contohnya goodwill, meskipun tidak bisa dipertukarkan secara terpisah, goodwill tetap
disebut sebagai aset karena memenuhi kriteria utama aset yang lain.

LO 2: ASSET RECOGNITION

Pengakuan suatu aset dalam neraca keuangan biasanya melibatkan recognition rules atau
peraturan pengakuan. Peraturan ini dibuat untuk memastikan bahwa aset yang bersangkutan
benar-benar ada dan pencatatan yang dilakukan pada balance sheet menghasilkan informasi yang
relevan dan terpercaya. Recognition Rules dapat dinyatakan secara informal melalui konvensi
(hukum tidak tertulis). Contohnya, piutang akan dicatat sebagai aset apabila penjualan secara
kredit terjadi. Dapat pula dinyatakan secara formal yang ditunjukkan melalui pernyataan
otoritatif, contohnya panduan dalam pengakuan finance lease sebagai aset seperti yang tercantum
dalam paragraf 10 IAS17/AASB 117.
Recognition rules yang digunakan untuk mengidentifikasi aset tertentu dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kriteria. Terdapat perbedaan antara recognition rules dengan recognition
criteria. Recognition rules merupakan peraturan spesifik untuk mengidentifikasi suatu aset,
sedangkan recognition criteria merupakan panduan umum dalam membuat suatu recognation
rules serta panduan dalam pengakuan aset yang menyediakan bantuan dibandingkan dengan
peraturan spesifik.
Kerangka kriteria pengakuan menggabungkan pertimbangan antara kemungkinan manfaat
ekonomi yang akan datang serta untuk memenuhi syarat pengakuan, suatu aset harus dapat
diukur secara andal. Tidak semua kriteria ini terdapat dalam framework, dan beberapa hanya
memiliki sedikit dasar teoritis. Berikut ialah kriteria yang tidak ditujukan untuk diselesaikan dan
tidak mutually exclusive:
Reliance on the Law
Pengakuan aset banyak yang bergantung pada konsep hukum aset tersebut. Contohnya,
pencatatan piutang karena terjadinya penjualan persediaan. Ini berhubungan dengan kriteria
relevance dan reliability. Sedangkan kontrol digunakan untuk menentukan keberadaan dari suatu
aset. Meskipun hak kepemilikan secara hukum dan kontrol atas manfaat properti sering

digunakan sebagai kriteria recognition, namun yang lebih utama ialah substansi ekonomi dari
aset tersebut.
Berdasarkan framework paragraf 35, hak secara legal merupakan sebuah indikator namun bukan
merupakan suatu kriteria bagi asset recognition.
Determination of the economic substance of the transaction or event
Memastikan substansi ekonomi transaksi berhubungan dengan objective pelaporan yang relevan
dan reliable. Material juga merupakan salah satu faktor, jika suatu kejadian sangat signifikan
secara ekonomi maka penting untuk dicatat dan dilaporkan.
Terkadang, kriteria economic substance berlawanan dengan hukum. Contohnya, finance lease
diakui oleh peminjam pada saat peminjam telah memperoleh, secara substansial, hak dan
kewajiban dari kepemilikan serta memiliki kontrol terhadap aset yang dipinjam. Terdapat
perbedaan manfaat substansial antara finance dan operating lease. Finance lease membawa
kepemilikan in-substance (jenis hak serta kewajiban) sedangkan pada operating lease hanya
berupa peminjaman jangka pendek sehingga tidak disertai hak dan kewajiban. Framework tidak
memberlakukan finance lease berbeda dengan operating lease pada asset definition namun
standar memberlakukannya secara berbeda untuk tujuan asset recognition.
Use of the conservatism (prudence principle)
Berdasarkan framework par 37, Prinsip prudence (kehati-hatian) ketika membuat laporan
keuangan bertujuan agar aset/income tidak overstated dan liabilities/expense tidak understated.
Conservatism menunjukkan bahwa kewajiban dapat dicatat lebih dahulu, namun aset tidak.
Prinsipnya, agar expense tidak understated, kemungkinan kerugian harus segera diakui. Namun,
pendapatan baru diakui sampai benar-benar terealisasi. Contohnya konstruksi proyek jangka
panjang, kerugian telah diantisipasi dan dilakukan pencatatan bahkan sebelum proyek tersebut
selesai, namun apabila diekspektasi menghasilkan profit maka tidak ada keuntungan yang dicatat
hingga proyek tersebut selesai.

Pendekatan ini tidak sesuai dengan konsep neutrality, yaitu informasi bebas dari bias dan tidak
dipilih dalam keadaan yang mempengaruhi penilaian untuk mencapai hasil yang telah
ditentukan. Standar IAS 38/AASB 138 juga melarang adanya pengakuan asset yang dihasilkan
secara internal berdasarkan research serta goodwill karena bukan sumber daya yang dapat
diidentifikasi. Pengakuan juga dilarang karena terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi apakah
aset tidak berwujud tersebut akan menghasilkan manfaat ekonomi di masa depan.

LO 3: ASSET MEASUREMENT

Setelah mengetahui kriteria kapan suatu aset diakui, langkah selanjutnya ialah cara mengukur
nilai aset tersebut. Framework di IASB telah mencantumkan karateristik kualitatif informasi
finansial. Namun, masih diperdebatkan conceptual guidance pengukuran aset yang sebaiknya
digunakan, agar karateristik tersebut dapat dipenuhi. Jika aset diukur sesuai acquisition cost,
maka lebih objektif dan bisa menyediakan informasi yang verifiable dan reliable. Tapi,
menggunakan pengukuran secara fair value (nilai wajar) dapat memberikan informasi yang lebih
relevan dengan keadaan sekarang.
Cara pengukuran aset saat ini bervariasi, serta merefleksikan insentif manager dan praktik
akuntansi masa sebelumnya. Namun, kita dapat mempelajari pemilihan metode pengukuran,
dengan mempertimbangkan pengukuran yang berlaku bagi tangible, intangible, serta financial
instrument asset. Metode pengukuran yang terkait ialah ketika akuisisi aset dan periode
selanjutnya saat aset telah dimiliki. Setelah diukur, informasi tentang nilai aset bisa diakui di
laporan keuangan, atau bisa juga dicantumkan di notes disclosure.
Tangible Asset
Pendekatan tradisional telah digunakan untuk mengukur aset pada biaya historis (historical cost).
Biaya historis telah tertanam dalam US GAAP melalui posisi SEC. Zeff mengomentari bahwa
Sejak ditemukan, SEC menolak berbagai deviasi dari akuntansi yang berdasarkan historical cost
dalam tubuh laporan keuangan.
SEC memegang posisi ini sampai dengan tahun 1978, sampai ketika dicanangkan cadangan
minyak dan gas harus direvaluasi secara periodik, serta perubahan value tersebut untuk
dimasukkan ke dalam Laporan Laba Rugi. Sama halnya dengan US GAAP, Standar IASB juga
dibangun dengan asumsi pendekatan pengukuran utamanya adalah model biaya atau modifikasi
biaya. Contohnya IAS 16 dan IAS 40 yang mengharuskan property, plant and equipment serta

properti investasi untuk diukur berdasarkan biayanya, termasuk juga di dalamnya biaya
transaksi.
Beberapa GAAP suatu negara seperti Perancis dan Jerman menyukai penggunaan biaya historis.
Model biaya ,merefleksikan pendekatan konservatif dalam pengukuran aset. Pengukuran
berdasarkan biaya historis berarti aset yang diukur pada biaya akuisisi dikurangi akumulasi
depresiasi serta penurunan biaya. Pendukung model ini mengargumentasikan bahwa biaya
akuisisi menyediakan objektif dan bukti yang dapat diverifikasi atas biaya aset serta aplikasi
depresiasi dan penurunan yang meyakinkan bahwa nilai sebenarnya merefleksikan laporan posisi
keuangan. Konsisten dengan pendekatan konservatif untuk pengukuran, kerugian dalam nilai
aset dimunculkan dalam laporan keuangan tetapi kelebihannya (gain) tidak.
Namun Standar IASB membolehkan pengukuran kembali (remeasurement) atas tangible assets.
Opsinya dicakup dalam IAS 16 Property, Plant dan Equipment serta IAS 40 Investment Property
yang merefleksikan praktik yang telah lama berdiri di UK GAAP yang diadopsi dalam standar
IASC atau IASB. Standar tersebut mengizinkan tetapi tidak mengharuskan penggunaan model
pengukuran current value. terkait dengan IAS 16, manajer dibolehkan untuk meggunakan model
revaluasi dalam pengukuran (para 31). Pengukuran bisa didasarkan pada market value yang
disediakan oleh appraisal yang memiliki kualifikasi profesional (para 32) atau dengan
mengestimasi entitas berdasarkan pada income or depreciated replacement cost (para 34). Sama
halnya dengan IAS 40 di mana manajer dapat memilih menggunakan model biaya atau model
nilai wajar (fair value) untuk pengukuran setelah pengakuan.
Pertanyaannya, Mengapa pembuat laporan keuangan (preparers) dapat memilih antara 1 model
pengukuran atau yang lainnya?
Model revaluasi aset dianggap memberikan informasi relevan pada pengguna laporan keuangan.
Revaluasi dapat menyediakan informasi mengenai nilai saat ini dibanding historical cost.
Namun, argumen ini kurang persuasif apabila asetnya baru saja dibeli atau tidak tunduk pada
harga pasar yang fluktuatif.

Manajer dapat menilai kembali tanah ketika sedang adanya

kenaikan harga, untuk meyakinkan bahwa aset tersebut tidak understated dalam laporan posisi
keuangan. Current value dalam laporan posisi keuangan cukup relevan dalam pengambilan

keputusan, lebih disenangi untuk menghitung rasio keuangan atau mencegah perusahaan dari
target pengambilalihan.
Di UK atau di Australia, sejak beberapa tahun silam, telah menggunakan nilai daripada biaya
historis untuk tangible asset. Aboody, Barth dan Kasznik menunjukkan bahwa di UK, 43%
perusahaan mencatat cadangan revaluasi aset sejak tahun 1983-1995 sedangkan di Australia,
Barth dan Clinch melaporkan 45% dari perusahaan Australia merevaluasi property, plant dan
equipment sejak tahun 1991-1995. Penggunaan revaluasi aset di Australia telah dijelaskan dalam
rangka contracting theory dan biaya politik. Lin dan Peasnell menemukan penjelasan yang sama
yang relevan dengan yang diterapkan di UK, namun lebih spesifik lagi karena faktor nasional
yaitu deplesi ekuitas yang dihasilkan dari penghapusan goodwill yang mempengaruhi keputusan
revaluasi. Motivasi lain dari revaluasi aset adalah untuk mengkomunikasikan ekspektasi manajer
atas perusahaannya.
Sebelum adaptasi IAS/IFRS di tahun 2005, perusahaan-perusahaan baik di UK atau di Australia
telah diobservasi untuk menggunakan sedikit model revaluasi dibandingkan dengan periodeperiode sebelumnya. Alasan yang memungkinkan adalah lingkungan inflasi yang rendah yang
mengurangi permintaan informasi nilai saat ini serta pengenalan standar akuntansi baru di akhir
tahun 1990 yang mengharuskan nilai dari aset yang direvaluasi tidak berbeda secara material
terhadap carrying amount pada balance date. Contoh tersebut menunjukkan banyak faktor dapat
mempengaruhi pilihan perusahaan atas model pengukuran. Perbedaan dalam praktik dapat
mempersulit IASB untuk mempromosikan suatu model pengukuran meskipun dewan dapat
menyetujui suatu model preferen.
Salah satu argumen atas model pengukuran saat ini (current measurement model) adalah
pengukuran tersebut tidak dapat dihandalkan dan subjektif. Pihak yang berlawanan menganggap
tidak dapat dihandalkan karena fair value diestimasi bukan diobservasi. Contohnya saat fair
value stock options ditentukan dengan menggunakan suatu model, bukan dengan harga pasar.
Sedangkan pengukuran menjadi subjektif ketika menyangkut valuasi input yang diperoleh
manajemen. Manajemen bisa saja bersikap egois atas pilihan model valuasi input. Pandangan
Zeff setelah mengamati perilaku perusahaan menyatakan:

Perusahaan

tidak

dapat

dipercaya

untuk

menggunakan

kebijaksanaannya

membuat

pertimbangan yang seimbang atau dengan pemikiran yang adil dalam memperlakukan akuntansi
ketika diberikan fleksibilitas untuk melakukannya.
Selain kebijaksanaan manajeman dalam pengukuran aset, Barth dan Clinch melaporkan juga
bahwa revaluasi aset adalah nilai yang relevan. Hal tersebut membuat investor untuk
menggunakan informasi manajer mengenai nilai aset. Horton juga melaporkan bahwa NonGAAP mengukur nilai aset dan kewajiban perusahaan asuransi UK Life Insurance relevan
terhadap pasar. Hasil pembelajaran ini membuktikan bahwa fair value mengukur aset dapat
dengan potensial menyediakan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan keuangan.
Hal tersebut mendukung pembuat standar ingin memperkenalkan pengukuran fair value dalam
standar akuntansi.
Penambahan (gain) atas pengukuran aset kembali dihasilkan dari penggunaan model revaluasi
(IAS 16 para 31) secara tradisional dicakup secara langsung dalam ekuitas. Aset meningkat
(debit aset) yang kemudian meningkatkan aset dalam laporan posisi keuangan dan
mengkreditkan secara langsung revaluasi aset pada cadangan ekuitas (kredit cadangan revaluasi
aset). Sehingga kenaikan nilai aset ditunjukkan tanpa adanya dampak pada laba atau rugi.
Namun surplus pada pendapatan telah dilanggar (di mana pendapatan harus mencakup seluruh
item pendapatan, beban, gain dan loss) dan kenaikan aset yang tidak disadari ketika
mengkomunikasikan pada pengguna laporan keuangan tidak mempengaruhi pendapatan
sehingga figur pendapatan konservatif disampaikan. Penambahan dalam aset disadari ketika
dijual. Perlakuan dari unrealized gain dan losses muncul dari model pengukuran current value
adalah satu isu yang paling kontroversial dalam akuntansi hari ini.
Intangible Asset
Saat ini, banyak aset perusahaan yang bernilai tinggi berbentuk intangible, yaitu yang secara
fisik tidak berbentuk. Contohnya, brand Coca Cola, serta lambang Louis Vuitonn. Karena masih
tergolong sebagai aset, maka harus dilakukan measurement. Lalu bagaimana cara mengukur nilai
intangible asset? Apakah bisa juga menggunakan metode cost dan fair value (revaluation) yang
sebelumnya telah diterapkan pada tangible asset?

Kenyataannya, standar akuntansi terkait intangible asset tergolong konservatif. Menurut standar
IAS 38, intangible asset harus diukur berdasarkan biaya akuisisi saat itu. Sebenarnya, model
revaluasi boleh digunakan, tetapi fair value aset ditentukan berdasarkan referensi dari pasar aktif,
yaitu yang sering diperdagangkan. Sedangkan, hampir seluruh intangible asset tidak terlalu
banyak diperjualbelikan secara aktif. Maka itulah, metode pengukuran nilai intangible asset
dilakukan berdasarkan biaya akuisisi (setelah dikurangi akumulasi amortisasi dan impairment).
IAS

38 juga melarang diakuinya intangible asset yang dihasilkan internal perusahaan.

Contohnya ialah biaya research and development (R&D) saat merancang suatu aset. Walaupun
pengeluaran tersebut dapat meningkatkan manfaat mendatang, tetapi tidak bisa menghasilkan
asset terpisah yang bisa teridentifikasi. Sehingga, sulit diklasifikasikan termasuk jenis aset apa.
Cara satu-satunya agar biaya tersebut bisa tercantum di balance sheet ialah dikapitalisasi sebagai
biaya development.
Valuasi intangible asset sering diperdebatkan karena ada estimasi yang subjektif terkait Fair
value aset.
Financial Instruments
Jenis aset yang lain ialah instrumen finansial, seperti instrumen derivatif dan saham. IAS 39
membuat kategori terpisah financial instrument atas aset dan liabilitas, serta cara pengukuran
terkait. Namun, apakah cara pengukuran tangible dan intangible asset bisa juga diterapkan pada
financial instruments?
Model pengukuran yang dominan digunakan selama ini ialah historical cost. Tetapi untuk
financial instrument, model tersebut tidak cocok digunakan. Sebab, nilai financial instrument
bisa berubah dramatis sewaktu-waktu, sedangkan sesuai cost model, perubahan ini tidak dapat
dicantumkan di laporan keuangan. Sehingga, kerugian atas perubahan nilai tersebut tidak bisa
diketahui. Apakah perubahan ini harus dimasukkan ke balance sheet untuk merefleksikan nilai
entitas? Apakah gain/loss bisa dimasukkan sebagai income periode tersebut? Dan jika tidak
diakui, bagaimana investor dapat menilai resiko financial instrument tersebut?

FASB dan IASB menyimpulkan bahwa derivatif harus diukur sesuai fair value (nilai wajar),
bukan cost.
Sesuai PSAK 10, nilai wajar ialah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran
aktiva atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan
untuk melakukan transaksi wajar.
Menurut para penyusun standar tersebut, cara pengukuran dengan nilai wajar dapat menyediakan
informasi yang lebih relevan. Nilai wajar dapat ditentukan melalui quoted market price (sesuai
harga pasar jika diperdagangkan bebas), serta sesuai estimasi manajemen (berdasarkan harga
pasar atau PV cash flow aset). Meski begitu, banyak yang berpendapat bahwa kriteria reliability
laporan keuangan jadi berkurang, sebab tidak jelasnya metode measurement nilai wajar yang
seharusnya digunakan. Laporan juga kurang understandable dan comparable, misalnya aset
mesin di perusahaan A dinilai berdasarkan estimasi sekitar 500 juta, sedangkan mesin yang sama
diestimasi oleh perusahan B sekitar 450 juta. Para pembuat standar juga masih berargumen
tentang gain and losses financial instruments, menurut mereka sebaiknya diakui agar laporan
keuangan lebih transparan serta mengurangi kompleksitas aturan akuntansi yang berlaku.
Pengukuran financial instruments memang kompleks, terlihat dari ada beberapa metode
pengukuran berbeda yang digunakan sesuai jenis instrumen. Ketika pengakuan awal, semua
financial instrument diukur sesuai acquisition cost, yang pada saat itu sama dengan fair valuenya. Untuk pengakuan selanjutnya, perusahaan dapat memilih pengukuran sesuai fair value,
dengan perubahannya diakui sebagai income (fair value through profit and loss). Alternatif lain,
perusahaan dapat mengklasifikasikan aset menjadi kategori lainnya, dan melakukan metode
pengukuran yang sesuai. Berikut contoh kategori klasifikasi financial instrument dan
pengukurannya :

CLASIFICATION AND MEASUREMENT of

MEASUREMENT METHOD

FINANCIALINSTRUMENTS

Originated loans and receivables

Amortised cost. Aset tidak terpengaruh oleh

keinginan menjual atau hold to maturity

Held-to-maturity investments

Amortised cost, subject to review for impairment


in value

Available-for-sale securities

Fair value, with gain/losses from remeasurement


recognised in equity

Financial assets held for trading (FVTPL)

Fair

value,

with

gain/losses

arising

remeasurement taken to profit and loss

on

LO 4: CHALLENGES FOR STANDARD SETTERS

a. Model pengukuran yang mana?


FASB dan IASB membahas isu mengenai pengukuran pada Phase C dalam proyek

conceptual framework, yaitu:


Past entry atau exit prices
Modified past amount
Current Entry
Exit atau equilibrium price
Value in use atau future entry atau exit price
Selain itu, mereka juga mempertimbangkan konsep, prinsip, dan terms pengukuran.
Mereka akan mengevaluasi dan mengurutkan metode pengukuran berdasarkan sejauh mana
masing-masing metode memenuhi karakteristik kualitatif informasi keuangan yang disyaratkan.
Proyek conceptual framework mengindikasi bahwa para pengatur standar terbuka untuk
mempertimbangkan berbagai model pengukuran. Beberapa pendapat menyatakan bahwa
standard IASB memperkenalkan pengukuran fair value dengan penggunaan yang luas, walaupun
hal ini ditentang secara kuat oleh Cairns.
Ia menyatakan bahwa IFRS telah memperkenalkan pengukuran fair value untuk derivatif
pada setiap balance date serta untuk beberapa asset dan liabilitas finansial lainnya (pada IAS 39),
begitu pula dengan persyaratan untuk mengukur share-based payments kepada karyawan pada
fair value ( IFRS 2).
Kemudian, Cairns juga berpendapat bahwa ada ketidakjelasan yang perlu diperhatikan
mengenai sejauh mana penggunaan fair value berdasarkan IFRS. Fair value digunakan untuk
mengukur asset pada initial recognition, contohnya pada

IAS 16 mengenai Property, Plant and Equipment


IAS 17 mengenai Leases
IAS 39 mengenai Financial Insrtuments: Recognition and Measurement

Dia berpendapat bahwa pengukuran fair value lebih lanjut atau selain yang disebutkan
diatas jarang terjadi. Hal ini mungkin wajib untuk beberapa asset finansial seperti yang
disebutkan pada IAS 39 (derivative, held-for-trading financial assets and liabilities, dan yang
diklasifisikan sebagai fair value melalui profit dan loss). Begitu pula dengan pension assets and
liabilities pada IAS 19. Namun dalam beberapa standar lain, pengukuran fair value tidaklah
wajib namun merupakan sebuah pilihan, seperti yang terlah dijelaskan diatas terkait IAS 16 dan
IAS 40.
Cairns berpendapat bahwa penggunaan pengukuran fair value secara luas berdasarkan
IFRS lebih berupa persepsi daripada kenyataan. Walaupun begitu, dukungan dari IASB dan
FASB untuk penggunaan pengukuran fair value yang lebih baik, contohnya untuk semua
instrument keuangan, adalah focus dari concern yang dikonsiderasikan dalam beberapa bagian
komunitas keuangan.
b. Bagaimana cara menghitung pengukuran fair value?
Pengatur standar telah memberikan panduan untuk mengukur fair value. Pada SFAS 157
mengenai fair value measurement, FASB memberikan contoh teknik valuasi untuk
mengestimasi fair value, mencakup:

Market approach: penggunaan observable prices dan informasi dari transaksi

actual untuk aset/liabilitas yang identic, mirip, atau dapat diperbandingkan.


Income approach: konversi jumlah di masa depan (seperti cash flow atau

earnings) menjadi single discounted present amount


Cost approach: jumlah yang saat ini diperlukan untuk mengganti kapasitas
jasanya
Walaupun begitu FASB menyatakan bahwa terlepas dari pendekatan mana yang

digunakan, valuasi harus menekankan market inputs, yaitu asumsi dan data yang
digunakan oleh partisipan pasar dalam mengukur fair value.

Pernyataan FASB juga diikuti dengan fair value hierarchy. Hierarki ini
menominasikan 3 kategori/tingkat input yang digunakan untuk mengestimasikan fair
value. Tingkatannya sebagai berikut:

Level 1: menggunakan quoted prices untuk asset dan liabilitas yang identik di
referensi pasar aktif kapanpun informasinya tersedia. Quoted prices tidak boleh

disesuaikan.
Level 2: jika quoted prices untuk asset dan liabilitas yang identik di referensi
pasar aktif tidak tersedia, fair value diestimasi berdasarkan quoted prices untuk
asset dan liabilitas yang serupa di pasar aktif, disesuaikan berdasarkan perbedaan

yang ada.
Level 3: jika quoted prices untuk asset dan liabilitas yang identic atau serupa di
referensi pasar aktif tidak tersedia, atau jika perbedaan antara asset dan liabilitas
yang serupa tidak dapat ditentukan secara objektif, maka fair value diestimasi
menggunakan teknik multiple valuation yang konsisten dengan market, income,
dan cost approach.

LO 5: ISSUES FOR AUDITORS

Audit nilai wajar cukup meyulitkan auditor karena harus menggunakan suatu model valuasi yang
seringkali membutuhkan ahli valuasi dari luar. CEO dari kantor audit Grant Thornton LLP
menyebutkan bahwa pengauditan nilai wajar merupakan salah satu dari 10 topik yang harus
diteliti lebih lanjut. Ia mengatakan bahwa kerja auditor sedari dulu selalu berdasarkan pada bukti
sebanyak-banyak yang dapat terverifikasi. Dalam penilaian nilai wajar pun, auditor harus dapat
mengumpulkan bukti-bukti untuk penilaian tersebut. Namun jangkauan bukti untuk penetapan
nilai wajar sangat luas, sehingga auditor butuh bantuan ahli penetapan nilai wajar agar seluruh
bukti yang ada dapat dikonsiderasi.
Martin, Rich, dan Wilks berpendapat bahwa walaupun menggunakan tenaga ahli dalam
penetapan nilai wajar, tetap saja auditor perlu mengetahui model valuasi dan proses manajemen

yang menentukan apa saja input yang dipakai. Agar pendekatan audit efektif, auditor harus
mengerti proses dan kontrol-kontrol terkait pemberian nilai wajar aset-aset perusahaan klien.
Barulah setelah auditor mengetahui hal tersebut, ia bisa menilai apakah penilaian wajar aset
perusahaan tersebut sudah sesuai atau belum.
Martin et al. juga mengatakan bahwa auditor harus tahu bahwa selalu ada potensi manajemen
perusahaan menetapkan nilai wajar asetnya dengan bias dan eror dalam memvaluasinya. Apabila
manajer mendapatkan insentif dalam meng-overstate nilai suatu aset, maka auditor harus
waspada dengan komponen-komponen yang gampang untuk diubah-ubah nilainya.
Menggunakan nilai wajar dalam penetapan nilai aset menjadi sangat atraktif untuk manajemen
dan lebih tidak berisiko untuk auditor pada periode dimana nilai aset sedang naik tinggi. Namun
hal ini juga dapat menjadi berlebihan dan berujung pada bubble. Pada tahun 2008-2009 ketika
krisis ekonomi di Amerika Serikat merebak, dikatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah
penilaian nilai wajar yang naik terlalu berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai