Anda di halaman 1dari 5

Jacqueline Christian

Yuda Putri
Bahasa Indonesia
30 September 2010

Hegemoni Patriarki Dalam Budaya Bali


Bali sangatlah terkenal akan budayanya yang selalu membuat kagum turis lokal maupun
mancanegara. Tetapi apakah anda tahu bahwa ada sebuah realita yang terselip dibalik kemegahan
itu semua? Budaya yang dimaksud disini adalah norma dan perilaku dalam masyarakat Bali pada
umumnya yang sangat dikenal dengan sistem patrilinial. Hal ini menyebabkan adanya peluang
untuk budaya patriarki berkembang di dalam masyarakat. Berbagai macam penindasan dialami oleh
perempuan Bali. Ketidakadilan, rendahnya harga diri dan keterbatasan hak-hak wanita
mencerminkan adanya hegemoni patriarki dalam budaya Bali.
Hukum adat Bali pada umumnya dilandasi oleh ajaran Hindu yang mengajarkan bahwa lakilaki dan perempuan setara. Namun realitanya sangatlah bertolak belakang dengan ajaran tersebut.
Suatu sumber mengutip perkataan dari Kitab Suci Manawa Dharmacastra dan menuturkan bahwa,

Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya, baik yang
berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu
mereka keduanya lahir dari badan yang sama Manu Smerti mengumpamakan perempuan
diumpamakan seperti bumi/ pertiwi/ tanah dan laki-laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan
bibit mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam menciptakan kehidupan (Utari, 2)

Hukum adat Bali menganut sistem kekeluargaan berdasarkan garis keturunan. Sesungguhnya alih
waris tidak selalu harus laki-laki, karena tidak menutup kemungkinan jika satu keluarga tidak
memiliki anak laki-laki. Namun jika ada anak laki-laki dan perempuan dalam satu keluarga,
otomatis anak laki-laki akan menjadi alih waris. Disinilah bentuk ketidakadilan dan jarak yang
membedakan anak laki-laki dengan perempuan atau yang biasa disebut bias jender. Didalam buku
Tarian Bumi karangan Oka Rusmini juga menceritakan akan ketidakadilan yang dialami oleh

wanita Bali. Luh Kenten mengeluh kepada ibunya tentang perilaku para pria yang hanya bersantaisantai. Ia mengatakan, ...Aku hanya tidak senang gunjingan laki-laki yang duduk santai di kedai
kopi setiap pagi. Sementara aku harus kerja keras... (31).
Dalam realita kehidupan, saya sebagai perempuan tidak jarang diperintah untuk membantu
ibu saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, terutama ketika libur Lebaran. Ibu saya selalu
mengatakan bahwa perempuan harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena itulah
kewajiban utama seorang perempuan. Sesibuk apapun kita ketika sudah dewasa, ada saatnya
dimana kita harus melakukan pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu, beliau mengharuskan saya untuk
bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun, hal ini berbeda dengan adik laki-laki saya. Adik
saya tidak harus melakukan pekerjaan rumah tangga. Ini menunjukkan adanya hegemoni patriarki
dan bias jender dalam keluarga saya. Sebenarnya, yang membedakan antara wanita dan pria
hanyalah kodrat mereka, bukan pekerjaan. Wanita dapat mengerjakan pekerjaan pria dan juga
sebaliknya. Bukan menjadi suatu alasan yang tepat jika adik saya tidak harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga semata-mata karena ia seorang laki-laki, dimana pekerjaan rumah tangga
dianggap sebagai pekerjaan sekaligus tanggung jawab seorang perempuan. Sayangnya, banyak
budaya yang menganut sistem hegemoni patriarki dan menyebabkan perempuan untuk diperlakukan
secara tidak adil.
Pelecehan seksual terhadap perempuan di kalangan masyarakat Bali juga sering terjadi.
Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban
(Pelecehan seksual). Ditulis di buku Tarian Bumi tentang pelecehan seksual yang dialami Luh
Sekar.
Laki-laki itu juga memiliki tangan yang luar biasa nakalnya. Sering sekali tangannya meremas
pantat Sekar. Atau dengan gerak yang sangat cepat, tangan itu sudah berada di antara kepind
dadanya, dan menarik putingnya begitu cepat. Sekar tidak bisa berbuat apa pun... (Rusmini, 24).

Dapat disimpulkan bahwa harga diri perempuan sering dianggap rendah oleh lakilaki. Ini disebabkan karena laki-laki menganggap dirinya lebih berkuasa dari perempuan dari segi
status.

Saya pernah merasa dilecehkan ketika saya sedang bersepeda dalam perumahan yang
saya tinggali. Ketika itu saya sedang bersepeda dan kemudian ada beberapa laki-laki yang mulai
menggoda dengan siulan nakal. Perlakuan itu membuat saya jengkel, marah dan juga tersinggung.
Saya sangat tidak suka diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya saya mepembalas tetapi saya
khawatir bahwa mereka akan berbuat lebih. Seharusnya, laki-laki itu tahu bagaimana menghormati
wanita. Tidak sepantasnya mereka berbuat sedemikian rupa karena perbuatan tersebut melanggar
hak asasi manusia yang melarang segala bentuk pelecehan seksual. Adanya hegemoni patriarki
dalam budaya Bali membuat laki-laki merasa bahwa dirinya lebih berkuasa karena status mereka
yang dipandang lebih tinggi daripada wanita. Hal ini membuat laki-laki berani merendahkan harga
diri perempuan seperti melakukan pelecehan seksual.
Hukum adat Bali yang menganut budaya patriarki meleluasakan pria untuk
mendominasi dan lebih berkuasa daripada wanita. Oleh karena itu, wanita diharuskan untuk tunduk,
hormat dan tidak boleh menuntut apapun dari pasangannya. Hal ini juga menyebabkan pria untuk
merendahkan istrinya. Tertulis di buku Tarian Bumi bahwa,
Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa
makmur, bisa tenag. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta
dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka.
Lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika
berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu
perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta (Rusmini, 32)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa laki-laki Bali sangat merendahkan status perempuan. Dalam
buku Tarian Bumi juga diceritakan beberapa karakter yang menderita secara batin karena ulah
suami yang dinikahinya. Ida Ayu Sagra Pidada sangat mencintai suaminya dan telah berusaha
menempatkan suaminya sederajat dengan dirinya dan laki-laki lain di griya. Tetapi ketika suaminya
sudah menjadi orang sukses, dia lupa kalau sudah beristri dan berselingkuh dengan seorang penari
dari kalangan sudra. Jero Kenangga juga menderita karena kelakuan suaminya sangat tidak terpuji,
yaitu: sering adu ayam, minum minuman keras dan pergi ketempat pelacuran. Kelakuan sang suami
membuat Jero Kenangga tak henti-hentinya dimaki oleh mertuanya.

Dalam lingkungan sekolah, saya tentunya pernah diejek oleh teman saya, baik perempuan
maupun laki-laki. Suatu hari, beberapa laki-laki berkata pada saya bahwa wanita itu mudah ditipu
dan dirayu hanya dengan kata-kata manis dan janji-janji palsu. Tentu, saya tidak terima dengan
perkataan ini karena tidak semua wanita dapat ditipu dan dirayu semudah itu, apalagi jika mereka
memiliki pendidikan tinggi. Ejekan ini sangat tidak sesuai dan melanggar hak asasi manusia yang
mengatakan bahwa wanita berhak untuk diperlakukan secara adil dan dihargai. Budaya patriarki
yang tertanam didalam budaya Bali membatasi hak-hak wanita untuk lebih dihargai.
Wanita Bali sering mengalami ketidakadilan, direndahkan harga dirinya dan dibatasi hakhaknya. Mereka tidak diperlakukan dengan adil karena adanya bias jender yang membedakan antara
wanita dengan laki-laki, terutama dalam hal warisan dan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga
sering direndahkan harga dirinya karena mendapat pelecehan seksual. Ini disebabkan oleh
kekuasaan lebih yang dimiliki laki-laki dibanding wanita. Perempuan juga dibatasi hak-haknya
karena derajatnya dianggap lebih rendah daripada pria yang menyebabkan adanya peluang untuk
laki-laki untuk mendominasi dan mengatur perempuan. Sistem hegemoni patriarki dalam budaya
Bali menyiksa wanita.
Dapat disimpulkan bahwa hukum adat Bali membawa unsur-unsur bias jender yang
menyebabkan adanya peluang untuk budaya patriarki berkembang di dalam masyarakat. Hal ini
merupakan suatu penindasan terhadap perempuan Bali. Ketidakadilan, rendahnya harga diri dan
keterbatasan hak-hak wanita mencerminkan adanya hegemoni patriarki dalam budaya Bali.

Daftar Pustaka:
Pelecehan Seksual. 24 Desember 2007. 24 September 2010 <http://www.kesrepro.info/?
q=node/279>.
Rusmini, Oka. Tarian Bumi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Utari, Ni Ketut Sri. "Semangat Moral Dalam Hukum Adat Bali." 2-4. Web. 24 Sept. 2010.
<http://http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:_jv7kDRk4gJ:ejournal.unud.ac.id/abstrak/mengikis%2520ktdkad%2520gender
%2520ad.pdf+ketidakadilan+wanita+bali&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShxRx9itxs
Xbx7DWK1XIoNFfMldmo0zqeC5Ufgi6mXQINadFGf9ALjvSZOhBL7se2rUbp6QTyCD9
ZgJKDqqD2wXi9JSu

Komentar:
Pembahasan yang kamu berikan cukup baik, namun perhatikan kedalaman pembahasan inti permasalahan.

Anda mungkin juga menyukai