Anda di halaman 1dari 181

Presentasi Kasus

ANESTESI INHALASI

Disusun oleh:
Steven Jonathan, 0706259910
Toto Suryo Efar, 0706259942

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


2010
BAB I
PENDAHULUAN
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum pertama
yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan kemudian menyusul,
dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu karena induksinya yang singkat dan
pemulihannya yang cepat tanpa disertai delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen
anestetik yang telah disebutkan tadi telah ditarik dari pasaran.
Sebagai contoh, eter sudah tidak digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan
berisiko mengakibatkan kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa
kerugian yang tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan
sekresi bronkus berlebih. Kloroform juga kini dihindari karena toksik terhadap jantung dan
hepar. Etil klorida, etilen, dan siklopropan pun tidak lagi digunakan sebagai anestetik, baik
karena toksik ataupun mudah terbakar.
Metoksifluran dan enfluran termasuk agen anestetik generasi baru yang sempat
digunakan bertahun-tahun tetapi jarang digunakan lagi karena toksisitas dan efikasinya.
Metoksifluran adalah anestetik inhalasi yang paling poten, tetapi induksi dan pemulihannya
relatif lambat. Lebih lanjut, sebagian metoksifluran dimetabolisme oleh sitokrom P-450
menghasilkan florida bebas (F), asam oksalat, dan bebrapa komponen lain yang bersifat
nefrotoksik. Sementara itu, enfluran mengurangi kontraksi myokardial dan meningkatkan
sekresi likuor serebrospinal (CSF). Selama anestesia, enfluran menginduksi perubahan
elektroensefalograf yang dapat berprogresi pada pola spike-and-wave yang biasa ditemukan
pada kejang tonik-klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik metoksifluran maupun
enfluran penggunaannya telah dibatasi.
Dengan ditariknya berbagai zat anestetik dari peredaran seperti yang dikemukakan di
atas, kini terdapat lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam praktik anestesi yakni
nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestetik inhalasi paling

banyak dipakai untuk induksi pada pediatri yang mana sulit dimulai dengan jalur intravena.
Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat
dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan
untuk pasien dewasa, mengingat baunya tidak menyengat dan onsetnya segera. Selain
induksi, agen inhalasi juga sering digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan.
Studi mengenai kaitan antara dosis obat, konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat
disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi
mengenai mekanisme aksi obat, termasuk respons toksik, disebut farmakodinamik
(bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah penjelasan secara umum tentang
farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi, akan dibahas farmakologi klinis dari
masing-masing agen.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suddarth Brunner, Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit EGC, Jakarta :
2002.
2. Corwin, Elizabeth J, Patofisiologi, Penerbit EGC, Jakarta : 2000.
3. Doengoes, Marilynn, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC, Jakarta :
1999.

BAB II
ISI
A. Farmakokinetik Anestesi Inhalasi
Meskipun mekanisme aksi anestetik inhalasi masih belum diketahui secara pasti,
para ahli mengasumsikan bahwa efek anestesia diperoleh dari konsentrasi terapetik di
sistem saraf pusat. Sesuai dengan gambar berikut, terdapat beberapa langkah yang
diperlukan zat anestetik inhalasi mulai dari vaporisasi di mesin anestesi hingga
terdeposisi di jaringan otak.

Gambar 1. Perjalanan gas anestetik inhalasi dari mesin anestesia


ke otak

Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Inspiratori (FI)


Gas segar yang keluar dari mesin anestesia bercampur dengan gas di sirkuit
pernapasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh karena itu, pasien tidak serta-merta
mendapatkan konsentrasi yang sesuai dengan pengaturan di vaporiser. Komposisi

aktual campuran gas yang diinspirasi dipengaruhi oleh laju aliran gas segar, volume
dalam sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin anestesia. Agen inhalasi yang terhirup
akan semakin dekat dengan konsentrasi yang keluar dari mesin anestesia apabila laju
aliran gas segar tinggi, volume sirkuit napas sedikit, dan absorpsi mesin rendah. Secara
klinis, atribut-atribut demikian ditampilkan sebagai kecepatan induksi dan pemulihan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Alveolar (FA)
Terdapat tiga faktor yang menentukan konsentrasi alveolar, yakni ambilan,
ventilasi, dan konsentrasi.
Ambilan. Jika tidak ada ambilan (uptake) zat anestetik oleh tubuh, konsentrasi
alveolar (FA) akan segera mencapai konsentrasi inspiratori (FI). Karena agen inhalasi
diambil oleh sirkulasi pulmoner selama induksi, konsentrasi alveolar berkisar di bawah
konsentrasi inspiratori (FA/FI < 1). Semakin besar ambilan, semakin lambat
peningkatan konsentrasi alveolar dan semakin rendah pula rasio FA:FI.
Karena konsentrasi suatu gas sebanding dengan tekanan parsialnya, maka
tekanan parsial gas anestetik di alveolus juga lambat peningkatannya. Tekanan parsial
alveolar ini penting karena turut menentukan tekanan parsial agen anestetik tersebut di
darah dan lebih lanjut di otak. Kembali lagi, tekanan parsial gas anestetik di otak secara
langsung memengaruhi konsentrasi zat di jaringan otak, yang menentukan efek klinis
pada pasien. Jadi, semakin besar ambilan agen anestetik, semakin besar pula perbedaan
antara konsentrasi alveolar dengan konsentrasi inspiratori, dan semakin lambat
kecepatan induksi.
Terdapat tiga hal yang dapat memengaruhi ambilan anestetik: solubilitas dalam
darah, aliran darah alveolar, dan perbedaan tekanan parsial antara udara alveolar dan
darah vena.
Zat yang insolubel seperti nitrous oksida diambil oleh darah lebih lambat
daripada zat yang solubel seperti halotan. Akibatnya, konsentrasi alveolar nitrous
oksida meningkat lebih cepat daripada halotan, dan induksinya lebih cepat. Solubilitas
relatif dari anestetik dalam udara, darah, dan jaringan diekspresikan dalam koefisien
partisi, seperti tampak pada tabel di atas. Masing-masing koefisien adalah rasio
konsentrasi gas anestetik di dua medium saat terjadi kesetimbangan.

Tabel 1. Koefisien parsial anestetik inhalasi pada 37C


Anestetik

Darah/Ud Otak/Dara Otot/Darah Lemak/Dar


ara
h
ah

Nitrous
oksida

0.47

1.1

1.2

2.3

Halotan

2.4

2.9

3.5

60

Isofluran

1.4

2.6

4.0

45

Desfluran

0.42

1.3

2.0

27

Sevofluran

0.65

1.7

3.1

48

Faktor lain yang ikut memengaruhi ambilan adalah aliran darah alveolar, yang
kurang lebih sama dengan curah jantung. Seiring dengan meningkatnya curah jantung,
ambilan anestetik turut meningkat, dan peningkatan tekanan parsial alveolar semakin
melambat, dan induksi menjadi lebih lambat. Pengaruh mengubah curah jantung
kurang bermakna untuk anestetik insolubel, mengingat yang dapat terdifusi ke darah
alveolar memang sedikit, baik aliran darah di sana lebih deras ataupun lebih tenang.
Keadaan curah jantung yang sedikit merupakan berisiko mengakibatkan overdosis
dengan anestetik sobulel, karena peningkatan konsentrasi alveolar yang terlalu cepat.
Bahkan halotan, yang mempunyai efek depresi myokardial, apabila kadar alveolarnya
lebih dari yang diharapkan akan semakin menurunkan curah jantung dan menciptakan
umpan balik positif yang membahayakan pasien.
Satu faktor lagi yang memengaruhi ambilan anestetik oleh sirkulasi pulmoner
adalah perbedaan tekanan parsial antara gas alveolar dan darah vena. Gradien ini
bergantung pada ambilan oleh jaringan. Transfer anestetik dari darah ke jaringan
ditentukan oleh tiga faktor yang analog dengan ambilan sistemik, yakni solubilitas
agen di jaringan (koefisien partisi jaringan/darah seperti pada tabel halaman
sebelumnya), aliran darah jaringan, dan perbedaan tekanan parsial antara darah arterial
dengan jaringan.

Jaringan dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan perfusi dan solubilitasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak, jantung, liver, ginjal, dan organ endokrin)
adalah yang pertama mengambil anestetik dalam jumlah yang signifikan. Grup otot
(kulit dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup yang pertama, sehingga
ambilannya lebih pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan oleh grup kedua ini
berlangsung dalam beberapa jam. Berlanjut ke grup berikutnya, perfusi di grup lemak
kurang lebih sama dengan grup otot; tetapi solubilitas anestetik pada grup lemak yang
luar biasa sekaligus volume jaringan yang relatif besar menghasilkan kapasitas total
yang memerlukan beberapa hari untuk diisi. Grup terakhir beranggotakan jaringan
perfusi minimal dengan vaskularisasi rendah (tulang, ligamen, gigi, rambut, dan
kartilago) hampir tidak memberi kontribusi terhadap ambilan anestetik.
Tabel 2. Klasifikasi jaringan berdasarkan perfusi dan solubilitas
Karakteristik

Vessel
Rich

Otot

Lemak

Vessel
Poor

Persentase berat badan

10

50

20

20

Persentase curah
jantung

75

19

Perfusi (mL/min/100 g)

75

20

Solubilitas relatif

Ambilan anestesi meng-hasilkan kurva konsentrasi alveolar per waktu yang khas
untuk masing-masing anestetik (diagram 1). Bentuk dari setiap grafik tersebut
ditentukan oleh ambilan jaringan sesuai dengan grupnya (diagram 2). Mula-mula
konsentrasi alveolar meningkat tajam oleh karena pengisian alveolar melalui ventilasi.
Peningkatan tersebut kemudian melambat seiring dengan ambilan jaringan, terutama
oleh grup kaya vaskuler dan grup otot, hingga mencapai kapasitas totalnya.

Diagram 1. Laju peningkatan


konsentrasi alveolar anestetik
inhalasi

Diagram 2. Pengaruh
ambilan jaringan
terhadap peningkatan
tekanan parsial alveolar

Ventilasi. Penurunan tekanan parsial alveolar oleh ambilan jaringan, seperti


tampak pada diagram 2, dapat kembali ditingkatkan dengan ventilasi. Dengan kata lain,
memberikan anestetik secara konstan dapat menstabilisasi konsentrasi alveolar.
Meningkatkan ventilasi secara langsung akan meningkatkan rasio F A:FI untuk anestetik
solubel. Berlawanan dengan agen inhalasi yang mendepresi curah jantung, anestetik
yang mendepresi ventilasi (misalnya halotan) akan menurunkan laju peningkatan
konsentrasi alveolar dan justru menghasilkan umpan balik negatif.
Konsentrasi. Efek ambilan juga dapat dikurangi dengan peningkatan konsentrasi
inspirasi (FI). Menariknya, meningkatkan konsentrasi inspirasi tidak hanya
meningkatkan konsentrasi alveolar, tetapi juga laju peningkatan tersebut (dengan kata
lain meningkatkan FA:FI). Secara khusus, konsentrasi membawa dua fenomena yang
disebut efek konsentrasi (concentration effect). Mungkin agak membingungkan,
fenomena yang pertama adalah efek pengonsentrasian (concentrating effect). Misalkan
50% dari gas anestetik diambil oleh sirkulasi pulmoner, maka konsentrasi inspiratori
sebesar 20% (20 bagian anestetik per 100 bagian gas) akan menghasilkan konsentrasi
alveolar sebesar 11% (10 bagian anestetik tersisa dari total 90 bagian gas). Di sisi lain,

jika konsentrasi inspirasi ditingkatkan menjadi 80% (80 bagian anestetik per 100
bagian gas), konsentrasi alveolar menjadi 67% (40 bagian anestetik tersisa dari volume
60 bagian gas). Melihat dua sampel tersebut, konsentrasi inspiratori yang lebih tinggi
akan menghasilkan konsentrasi alveolar yang lebih tinggi secara disproporsional. Di
contoh tadi, peningkatan 4 kali konsentrasi inspiratori akan menghasilkan 6 kali
konsentrasi alveolar.
Fenomena yang kedua adalah efek aliran teraugmentasi (augmented inflow
effect). Meneruskan contoh di atas, untuk mencegah kolapsnya alveoli, 10 bagian
anestetik yang diabsorpsi oleh sirkulasi pulmoner harus digantikan oleh gas campuran
dengan konsentrasi inspirasi 20%. Dengan demikian, konsentrasi alveolar menjadi
12% (10+2 bagian anestetik dari total 100 bagian gas). Lebih kontras, setelah absorpsi
50% anestetik dari gas 80% yang diinspirasi, perlu penggantian sebanyak 40 bagian
menggunakan gas 80% pula. Dalam kasus ini akan diperoleh konsentrasi alveolar
meningkat dari 67% menjadi 72% (40+32 bagian anestetik dari total volume 100
bagian gas).
Kedua fenomena yang termasuk efek konsentrasi di atas lebih dirasakan pada
penggunaan nitrous oksida daripada agen inhalasi lainnya, karena anestetik tersebut
dapat digunakan dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi. Sebagai tambahan,
konsentrasi nitrous oksida yang tinggi akan teraugmentasi tidak hanya dipengaruhi
oleh ambilan agen itu sendiri, melainkan juga oleh konsentrasi anestetik inhalasi
lainnya. Fenomena yang satu ini disebut efek gas kedua (second gas effect) yang secara
klinis tidak terlalu bermakna.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Arterial (Fa)
Hanya terdapat satu faktor yang memengaruhi konsentrasi arterial secara
bermakna, yakni ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial
anestetik di alveoli diasumsikan sama dengan darah arteri. Akan tetapi kenyataannya
tekanan parsial arterial secara konstan kurang dari yang diperkirakan. Alasan di balik
kejanggalan ini adalah pencampuran di darah vena, ruang rugi alveolar, dan distribusi
gas di alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut, adanya ketidakseimbangan ventilasiperfusi akan semakin meningkatkan perbedaan konsentrasi alveolar dengan arterial.

Ketidakseimbangan ini dapat diasumsikan sebagai restriksi: meningkatkan tekanan di


depan restriksi, menurunkan tekanan di belakang restriksi, dan mengurangi aliran di
restriksi itu sendiri.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Eleminasi
Pemulihan pascaanestesia bergantung pada penurunan konsentrasi anestetik di
jaringan otak. Anestetik dapat dieleminasi dengan biotransformasi, kehilangan
transkutaneus, atau ekshalasi. Biotransformasi biasanya tidak terlalu berkontribusi
terhadap penurunan tekanan parsial alveolar. Pengaruh terbesar metode ini adalah pada
eleminasi

anestetik

solubel

yang

mengalami

metabolisme

ekstensif

seperti

metoksifluran. Biotransformasi halotan yang lebih tinggi daripada isofluran


mengakibatkan eleminasi halotan lebih cepat daripada isofluran. Beberapa isoenzim
sitokrom P-450 terutama CYP 2EI tampak memegang peran penting dalam eleminasi
beberapa agen anestetik inhalasi. Sementara itu, difusi transkutaneus juga terhitung
tidak terlalu signifikan.
Rute terpenting dalam eleminasi anestetik inhalasi adalah ekshalasi melalui
alveolus. Banyak faktor yang mempercepat induksi rupanya juga mempercepat
eleminasi: rebreathing, tingginya aliran gas segar, rendahnya volume sirkuit,
rendahnya absorpsi oleh sirkuit dan mesin anestesia, rendahnya solubilitas, tingginya
aliran darah serebral, dan besarnya ventilasi. Eleminasi nitrous oksida sangat cepat
sedemikian sehingga oksigen dan CO2 alveolar menjadi terdilusi; akibatnya terjadi
hipoksia difusi. Risiko demikian dicegah dengan administrasi oksigen 100% selama 5
10 menit setelah menghentikan nitrous oksida. Laju pemulihan biasanya lebih cepat
daripada induksi karena jaringan yang belum mencapai kesetimbangan akan terus
mengambil anestetik dari darah hingga tekanan parsial alveolar menjadi lebih rendah
daripada tekanan parsial jaringan. Lebih konkret, jaringan lemak akan terus mengambil
anestetik dan mempercepat pemulihan hingga tekanan parsial di sana sama atau lebih
tinggi daripada di alveoli. Redistribusi demikian tidak terjadi setelah anestesia yang
sudah berlangsung lama; jadi kecepatan pemulihan juga dipengaruhi oleh durasi
anestesia.

B. Farmakodinamik Anestesi Inhalasi


Teori-teori mengenai Mekanisme Kerja Anestetik Inhalasi
Anestesia umum adalah keadaan fisiologis yang sengaja disimpangkan, ditandai
dengan kehilangan kesadaran secara reversibel, analgesia seluruh tubuh, amnesia, dan
sedikit relaksasi otot. Zat-zat yang dapat menghasilkan keadaan anestesia umum sangat
beragam mulai dari elemen inert (xenon), substansi organik sederhana (nitrous oksida),
hidrokarbon terhalogenasi (halotan), dan struktur irganik kompleks (barbiturat). Teori
yang dapat menyatukan mekanisme kerja anestetik harus dapat mengakomodasi
diversitas struktur yang telah tergambarkan tadi. Pada kenyataannya, berbagai agen
mungkin menghasilkan anestesia melalui metodenya masing-masing.
Diduga kuat tidak terdapat satu situs aksi makroskopik bersama antara semua
agen inhalasi. Area spesifik otak dipengaruhi oleh berbagai macam anestetik termasuk
reticular activating system (RAS), korteks serebral, nukleus kaudatus, korteks
olfaktorius, dan hipokampus. Anestetik juga menekan transmisi eksitatori pada medula
spinalis, terutama di interneuron kornu dorsalis yang berperan dalam menyampaikan
impuls nyeri. Aspek anestesia yang berbeda mungkin dilatarbelakangi oleh mekanisme
yang berbeda pula. Misalnya, ketidaksadaran dan amnesia mungkin dimediasi oleh aksi
anestetik di korteks, sementara supresi nyeri mungkin berkaitan dengan struktur
subkortikal seperti medula spinalis atau batang otak. Suatu studi mencit bahkan
menunjukkan bahwa pengangkatan korteks serebral tidak mengubah potensi anestetik!
Pada level mikroskopik, transmisi sinaptik lebih sensitif terhadap anestesia
umum daripada konduksi aksonal. Hipotesis ini beranggapan bahwa semua agen
inhalasi mempunyai suatu mekanisme yang sama di tingkat molekuler. Hal ini
didukung oleh observasi di mana potensi agen-agen inhalasi berkorelasi secara
langsung dengan solubilitasnya dalam lemak (aturan MeyerOverton). Implikasinya,
anestesia dihasilkan oleh kinerja molekul anestetik di suatu situs lipofilik tertentu.
Relasi antara potensi anestetik dan solubilitasnya dalam lemak secara kasar dapat
dilihat pada diagram 3.

Diagram 3. Relasi potensi anestetik inhalasi dengan solubilitasnya


dalam lemak

Membran neuron mengandung situs hidrofobik beragam di bilayer fosfolipidnya.


Ikatan anestetik di situs tersebut dapat memperluas bilayer melebihi jumlah kritisnya
dan mengganggu fungsi membran; hal ini tertuang sebagai hipotesis volume kritis.
Meskipun tampaknya terlalu disimplifikasikan, teori ini dapat menjelaskan fenomena
reversal anestesia akibat peningkatan tekanan: laboratorium mencit yang terekspos
tekanan hidrostatik yang meningkat ternyata resisten terhadap anestetik. Kemungkinan
tekanan tersebut menggantikan sejumlah molekul di membran neuron, sehingga
meningkatkan jumlah anestetik yang diperlukan untuk memberikan efek. Anestesia
umum dapat muncul akibat alterasi satu atau beberapa sistem seluler seperti kanal ion,
fungsi perantau kedua, atau reseptor neurotransmiter terutama GABA.

Konsentrasi Alveolar Minimum


Konsentrasi alveolar minimum atau minimum
alveolar concentration (MAC) anestetik inhalasi adalah

Agen

MAC%

Nitrous oksida

105

Halotan

0.75

insisi bedah. MAC merupakan ukuran yang berguna

Isofluran

1.2

karena merefleksikan tekanan parsial anestetik di otak,

Desfluran

6.0

sehingga dapat membandingkan secara langsung

Sevofluran

2.0

konsentrasi alveolar yang dapat menghambat gerakan


pada 50% pasien terhadap stimulus standar seperti

potensi setiap anestetik sekaligus memberikan standar baku untuk penelitian. Meskipun
demikian, nilai MAC tetap saja hanya merupakan angka statistikal belaka pada saat
menangani pasien; masing-masing pasien merupakan individu yang unik dan oleh karena
itu memerlukan pendekatan yang bersifat individual pula, misalnya pada saat menentukan
dosis induksi.
C. Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari
udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan
zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk
cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi
lain.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular dapat dijelaskan melalui tendensinya dalam
menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini mendepresikan
kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah jantung,
serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit peningkatan
karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga peredaran darah tidak terganggu
(kecuali pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau hipovolemik berat).

Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan
penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N 2O dapat
menyebabkan berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya diberikan
dalam jumlah kecil, sehingga dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi
lebih lama dalam keadaan tidak sadar).
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat pada
sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi
oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen anestetik inhalasi
lain, di mana N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi
tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas otot skeletal.
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan meningkatkan
resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju filtrasi glomerulus dan
jumlah urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam
jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap
gastrointestinal adalah adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat
aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini dapat
muncul pada anestesi yang lama.
Biotransformasi dan Toksisitas
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat
sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain
karena kesukarlarutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial sehingga
induksi dapat lebih cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk
mempertahankan anestesia). Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat
dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah
dengan pemberian O2 100% setelah N2O dihentikan). Efek relaksasi otot yang
dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan
dalam bentuk utuh melalui paru-[aru dan sebagian kecil melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada vitamin B 12, N2O
menginhibisi enzim yang tergantung pada vitamin B 12, seperti metionin sintetase yang
penting untuk pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting untuk

sintesis DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi sumsum
tulang (anemia megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati perifer). Oleh
karena efek teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang sedang hamil
(terbukti pada hewan coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Interaksi Obat
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen
inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau
enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.
Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat
tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk
cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol
berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan
anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia
dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan.
Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena keamanannya
hingga kini tetap digunakan di dunia.
Efek terhadap Sistem Organ
2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah
jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos
pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah
terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor
terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan
(sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan pembedahan tetap memicu respons
simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah
jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas
vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan diperkuat oleh pemberian
agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung. Efek vasodilatasi

yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran
darah.
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju
napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi
alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan
disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di
mana dapat mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi
mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah
dilakukan), namun dapat mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek
bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol.
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi
vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun
aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O 2 yang
berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan
meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu
hipertermia malignan.
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi
glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah
arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik,
bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan
klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam
tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol,
dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit
utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian
disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan
status mental pascaanestesi. Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh:
hepatitis viral, perfusi hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia
hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan

nekrosis hati sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan
pada kulit disertai eosinofilia.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah
mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan massa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek
depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik
(seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion kalsium (seperti verapamil).
Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan inhibitor monoamin oksidase
(MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah dan aritmia. Kombinasi halotan
dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.
Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia
yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran.
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan
pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang
dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat
induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah,
volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Efek terhadap Sistem Organ
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah jantung
dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik meningkatkan aliran
darah otot, menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan menurunkan tekanan darah
arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada pembuluh darah koroner
sehingga dipandang lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung (dibanding
halotan atau enfluran), namun ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat
coronary steal (pemindahan aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang
perfusinya baik).

Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain, yakni
depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu juga
berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas yang
menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat dibanding
enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan anestesi lama
dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran napas.
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran
dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek terhadap
neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh otot
depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap
ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin.
Efek terhadap hati adalah menurunkan aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan
vena porta), fungsi hati tidak terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida
serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel. Belum pernah
dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran.
Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena dapat merelaksasi otot
polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam
sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual muntah pascaoperasi.
Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja atom klorin
pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih
rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan
induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah
obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih
digunakan untuk prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat

iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen
anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan isofluran, hanya saja tidak
seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan aliran darah arteri koroner. Efek
terhadap respirasi adalah penurunan volume tidak dan peningkatan laju napas. Secara
keseluruhan terdapat penurunan ventilasi alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO2.
Efek terhadap SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi
peningkatan TIK, serta penurunan konsumsi oksigen oleh otak. Tidak ada laporan
nefrotoksik akibat desfluran, begitu juga dengan fungsi hati.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat, hipertermia
malignan, dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat meningkatkan kerja obat
pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya seperti isofluran.
Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi
inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam
1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan.
Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami
penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada
laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat
mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah
peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah
serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap

neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya


intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan
aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran
menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga
menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Biotransformasi dan Toksisitas
Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi
sevofluran menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak
menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli
tidak menyarankan pemberian sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal.
Sevofluran juga dapat didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh logam pada
peralatan pabrik, proses pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di
mana hidrogen fluorida ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak
dengan mukosa respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam
proses pengolahan sevofluran dan pemaketannya menggunakan kontainer plastik
khusus.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna,
dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi
lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.

EFEK AGENT ANESTESI TERHADAP SISTIM SARAF PUSAT


Obat anestesi memiliki kemampuan sbg vasomotor secara langsung baik yg
menyebabkan vasodilatasi (agent inhalasi) atau vasokonstriksi (barbiturat,
narkotik). Perpaduan antara metabolisme dan blood flow bisa terpelihara
(barbiturat) atau terganggu (agent inhalasi berhalogen). Peningkatan ICP bisa
disebabkan oleh intubasi, bucking, kekakuan dinding dada (setelah pemberian
narkotik), atau depresi pernapasan (meyebabkan hiperkapne).
Cara kerja yang pasti dari agent anestesi pada CNS masih belum jelas.
Efeknya bisa dose-dependen, atau oleh faktor lain seperti temperatur, PH, atau
peny. Neurologi yg telah ada sebelumnya. Optimum anestetik care dicapai
melalui penggunaan obat dengan tepat berdasar pada pengertian akan efek

fisiologi obat terhadap dinamika intrakranial di gabungkan dengan manipulasi dari


variabel lain.
Agent Anestetik untuk Neurosurgery
Lebih dari 100 thn, tehnik anestesi yg mempertahankan fungsi cerebral
terbaik merupakan kontroversi. 1887, Sir Victor Horsley menggunakan tehnik
balanced kloroform dan morfin; Fedor Krause di Jerman, memilih Kloroform saja.
Di United States, Dr.Harvey Cushings memilih infiltrasi cocain. Ether yang yg
populer karena dapat mempertahankan napas spontan. Seperti electrocautery
menjadi pelengkap pada neurosurgery, agent berhalogen yg tidak meledak
dikembangkan. Methoxyflurane, sebagai non-explosive ether memberikan napas
spontan, tapi karena kelarutan fat/darah yg tinggi menyebabkan kembalinya
kesadaran lambat, nefrotoxicity, 50% metabolik in vivo rusak, dukungan mjd
terbatas. Keamanan penggunaan N2O pd pasien dg kerusakan neurologi-seperti
agent carrier atau bgn
utuh dari tehnik balance- msh termasuk dalam
pertimbangan kontroversi.
Halotan, di lain pihak, meskipun aksi kerja lebih pendek, meningkatkan CBF
dan ICP, terutama bila komplains otak telah menurun,Studi beberapa tahun
kemudian menyarankan bahwa enflurane berefek labih kecil pada dinamika
intrakranial, terutama jika inisial ICP < 20 mmHg. Lebih daripada itu, terjadinya
disritmia pd enflurane lebih sedikit dibandingkan dg halotan saat di injeksikan
epinefrin. Namun observasi awal ttg enflurane menunjukkan adanya aktifitas motor
involunter atau kejang tonik-klonik atau keduanya. Pemeriksaan pd pola EEG
menunjukan peningkatan kedalaman anestesi di karakteristik dg high-voltages
spikes dan berikutnya spike waves dan burst supresi. Hipokapne meningkatkan
insiden kepekaan cerebral. Laporan kasus menyarankan kejang umum
postoperatif yg tertunda mungkin karena enfluran. Isofluran, isomer enfluran,
memberikan tawaran yg lebih menguntungkan pada neuroanestesi karena kurang
mempengaruhi dinamika intrakranial dan tidak memiliki kecenderungan memicu
aktifias kejang.
Beberapa agent telah digunakan secara intravena untuk memberi anestesi
pada kasus2 neurologic. Beberapa msh bertahan.Generasi terakhir dari shortacting opioid sintetik-fentanil (100x lebih poten dari morfin), sufentanil (10x lebih
poten dari fentanil), dan alfentanil- melengkapi dimensi baru pada anestesi
intravena. Agent ini memiliki batas keamanan yg luas dan sedikit mendepresi
jantung atau toksisitas pd organ lain. Karena pemakaian pada intubasi rutin dan
kontrol ventilasi, penggunaan kontinyu dari opioid intravena dipercaya.Penentuan
pilihan terbaik untuk neuroanestesi memerlukan evaluasi thd efek obat dalam
keadaan yg berbeda.
ISOFLURANE
Agent anestesi inhalasi berhalogen yg poten, isomer enflurane, memberikan
beberapa keuntungan bagi pasien neurosurgical. Pengaruhnya thd CNS telah
dipelajari secara luas.
Dinamika Intrakranial

Dalam keadaan normotensi, normokapne pada org coba, 1 MAC halotan


atau 1 MAC enflurane meningkatkan CBF di mana pada kadar yg sama hal tsb tdk
terjadi pada isoflurane. Keamanan isoflurane dalam memelihara autoregulasi pada
konsentrasi end-tidal 1,4% tedapat pada gb 5.1. Autoregulasi hilang dg isofluran
2,8%- konsentrasinya jauh lebih tinggi daripada yg secara normal diberikan dalam
neuroanestesi.
Bagaimanapun,CBF secara regional sama atau secara temporal bersifat homogen.
Halotan dan isoflurane memiliki efek regional yg spesifik. Sebagai contoh, CBF di
kortikal yg lebih tinggi dg halotan dibanding dg isoflurane. Sama seperti halotan yg
dipertimbangkan lebih poten vasodilatornya dibanding isoflurane, penemuan ini
memperkirakan bahwa ketidaksesuaian antara berbagai studi mungkin
berhubungan dengan tempat sampling. CBF menurun seiring dengan waktu
selama anestesi inhalasi. Meski CPP konstan, PaCO2 dan O2 arterial konstan
pada 1 dan 2 MAC isoflurane, CBF menunjukkan penurunan sekitar 40% di atas
periode 6 jam. Kerusakan pada aliran lebih memanjang pada konsentrasi yg lebih
tinggi. Penurunan aliran sama pada semua area kecuali white matter, tidak ada
perubahan. Seperti kecepatan metabolik yg tidak berubah, data menyarankan
pada kecenderungan intrinsik obat.
Vasodilatasi dg isoflurane dapat diimbangi dg hiperventilasi. Secara klinis,
hiperventilasi biasanya dilakukan setelah pemberian sodium tiopental dan
relaksasi otot yg adekuat telah tercapai.
Bagaimanapun, hipokapne sebelum pemberian isoflurane tidak
diperlukan.Hiperventilasi yg diberikan secara simultan dan pemberian isoflurane,
mungkin cukup untuk menghasilkan tekanan intrakranial yg stabil. Kombinasi ini
memberikan hasil yg baik pada anak kecil yg tidak selalu dimungkinkan untuk
dilakukan induksi secara intravena.
Menurunkan PaCO2 secara cepat dan sangat nyata hasilnya dalam
mengatasi hipertensi intrakranial. Beberapa faktor, termasuk anestesi umum, bisa
menurunkan reaktifitas vaskulatur cerebral terhadap perubahan karbondioksida.
Bagaimanapun, bahkan setelah beberapa jam pemberian isoflurane 1-1,5 %,
tekanan intrakranial masih berespon segera terhadap variasi PaCO2.Isoflurane
2,8% , vasokonstriksi terhadap hipokapne masih berlangsung tapi vasodilatasi
terhadap hiperkapne berakhir. Data pada hewan menyarankan bahwa 2,8%
isoflurane dan normokapne menghasilkan vasodilatasi maximum.
Mungkin saja faktor terpenting dalam memprediksi efek isoflurane adalah
patologi yg mendasari. Mengikuti bedah beku pada hewan, ICP meningkat
bermakna dalam beberapa jam setelah penggunaan anestesi inhalasi
Bagaimanapun, percobaan untuk mencocokkan penemuan ini pada model
kelinci dg cryogenic injury yg diberi halotan, isoflurane dan pentobarbital tidak
terlihat perubahan pada ICP dalam 10 jam setelah lesi.Studi ini menunjukkan
adanya agent-related eksaserbasi dari formasi edema cerebral. Hewan yg di beri
halotan memiliki edema yg lebih kecil. Sampai saat ini tidak ada penjelasan
tentang besarnya perbedaan dari studi ini. Bagaimanapun, penggunaan
phenylephine pd studi terdahulu mungkin mempengaruhi hasil. Pasien dg tumor
otak yg secara neurologi intak atau memiliki efek yg kecil pd CBF. Bagaimanapun,

pasien dg glioblastoma dan midline shift dg perbedaan abnormalitas intrakranial yg


besar, isofluran bisa menyebabkan peningkatan yg bermakana pada ICP.
Kecepatan produksi dan absorbsi CSF merupakan faktor yg akan
menentukan terjaganya stabilitas dinamik. Enflurane meningkatkan produksi CSF
(Vf) untuk beberapa jam; mungkin ada hubungannya dg peningkatan metabolisme
glukosa di plexus choroid. Absorbsi CBF (Va) juga menurun bermakna selama dan
setelah pemberian enflurane. Pada model anjing, yg menggunakan metode perfusi
ventriculocisternal terbuka, isofluran tidak menyebabkan perubahan yg bermakna
pada Vf atau Va. Tidak terjadi peningkatan volume CSF selama penggunaan
anestesi isofluran yg lama.
Efek pada Metabolisme Cerebral
Beberapa efek dari isoflurane pada metabolisme cerebral menguntungkan
bagi pasien yg berisiko kerusakan neurologi. Dose-related menurun pada Cerebral
oxygen consumption (CMRO2) sampai fungsi neuronal berhenti yg tercermin oleh
isoelectric electroencephalographic pada konsentrasi 3% dimana tidak
menyebabkan gangguan pada hemodinamik sistemik. Walaupun halotan
merupakan vasodilator yg lebih poten, daerah kritis CBF ( kadar aliran rendah
dimana terjadi tanda iskemia cerebral) lebih rendah selama anestesi dg isofluran,
menunjukkan efek protektif yg lebih ketika fungsi neuronal berisiko dari iskemia.
Tidak ada bukti iskemia pada EEG ketika daerah CBF menurun sampai 8-10
ml/100g jaringan/menit selama anestesia. Halotan, bagaimanapun dihubungkan dg
tanda iskemia dari EEG pada 18-20ml/100g/menit. Penemuan ini dipertimbangkan
sebagai kemungkinan bahwa isoflurane memiliki efek proteksi terhadap cerebrum.
Studi pada anjing, konsentrasi isoflurane yg tinggi pada isoelectric
electroencephalogram tidak terjadi penurunan yg lebih lanjut pada cerebral
oxygen consumption. Bahkan pada konsentrasi isoflurane yg tinggi (6%), pada
biopsi menunjukkan ATP dg konsentrasi normal, ADP, AMP, Phosphocreatine
noomal, beban energi normal. Perubahan yg di observasi hanya ringan, doserelated cerebral lactic asidosis yg menyertai asidosis sistemik yg ringan. Pada
model hewan yg hipoxia (tikus), kadar isoflurane di bawah 2,8% meningkatkan
survival time sampai mendekati 100%. Pada model iskemik (anjing), isoflurane 2
MAC menunjukkan proteksi yg setara dg thiopental.
Bagaimanapun, pada studi lain, tidak terdapat efek proteksi pada babboon
dg oklusi arteri cerebral media selama 6 jam. Enam dari tujuh hewan yg diberi
isoflurane mengalami hemiplegi dan ketujuhnya terbukti terjadi infark pada
pemeriksaan histologi 7 hari kemudian. Hasil yg di dapatkan pada 6 yg mendapat
N2O/fentanyl adalah intermediate.
Studi diulangi, dg meminimalisasi variabel dan dan tidak ada perbedaan hasil di
antara kedua grup.
Pecobaan pada 2200 pasien yg datang dg carotid endarterectomy di Mayo
clinic dari tahun 1972-1985 menunjukkan CBF yg kritis selama pemberian
isoflurane 10 ml/100 g/ menit; jumlah yg sama pada enflurane 15 ml/100 g/menit
dan halotan 20 ml/100 g/ menit. Insidens terjadinya iskemik pada EEG secara
bermakna lebih rendah pada isoflurane (18%) dibandingkan dg enflurane (26%)

atau halotan (25%). Tidak ada perbedaan pada pemeriksaan neurologi yg


ditemukan pada ketiganya. Bagaimanapun, ketika iskemik terlihat pada EEG
berarti telah terdapat bypass shunt. Pada studi klinis clipping aneurysma selama
terjadi hipotensi karena isoflurane, CMRO2 menurun bermakna dari kadar
prehipotensi ( 2.32 + 0.16 -1.73 0.16 ml / 100 g/ menit ) tapi untuk CBF tidak
berubah. Setelah clipping aneurysma, saat konsentrasi isoflurane diturunkan,
CMRO2 kembali pada kadar prehipotensi , namun CBF meningkat sampai diatas
jumlah yg ditentukan sebelum terjadi hipotensi. Penurunan CMRO2 tanpa
perubahan pada CBF selama hipotensi menunjukkan bahwa perubahan ini bisa
memberikan proteksi pada jaringan otak selama periode hipotensi.
Electrophysiologic effects
Kejang terjadi pada kira-kira 14% pasien neurosurgical yg tidak pernah
terjadi serangan sebelumnya, dalam 24 jam pertama setelah operasi. Jika kejang
telah ada sebelumnya, kejang bisa terjadi lagi pada 35% pasien. Sebagaimana
peningkatan aktifitas cerebral dan hipoksi yg merusak otak, adalah penting
mencegah faktor lain yg bisa menambah terjadinya kejang.
Electroencephalographic, abnormalitas mirip kejang yg terjadi pada
manusia telah dilaporkan selama dan setelah anestesi dg enflurane, terutama
hubungannya dg peningkatan kedalaman anestesia dan alkalosis respiratorik.
Meskipun isoflurane, isomer enflurane, memberikan berbagai keuntungan, efeknya
pada EEG adalah secara dose-related menurun dalam hal aktifitas.
Pada konsentrasi MAC yg rendah, frekuensi electroencephalographic
isoflurane meningkat dari 8-12 Hz hingga lebih dari 15 Hz. Tegangan meningkat
seiring dg meningkatnya konsentrasi anestesi, terdapat penurunan frekuensi dan
tegangan yg progresif sampai terjadi supresi yg besar. Tidak terdapat aktifitas
kejang yg terlihat secara klinis selama atau setelah anestesi dg isoflurane. Tidak
ada pola epileptik atau spiking, juga tidak menimbulkan hipokapne, dg
meningkatkan kedalaman anestesi, atau dg stimulus auditori / visual. Laporan
terbaru memberi kesan bahwa aktifitas mioklonik dan mirip kejang bisa terjadi
selama anestesi umum dg isoflurane. Meskipun, pasien juga mendapat dua injeksi
fentanyl, 100 mg, sbg bagian dari anestesi. Tidak terdapat pembacaan EEG yg
dilaporkan. Di pihak lain, keefektifan penggunaan isoflurane sebaliknya dapat
menyebabkan refrakter status epilepticus.
Studi tentang efek halotan, enflurane dan isoflurane pada somatosensory
evoked potentials (SEPs) menunjukkan bahwa enflurane dan isoflurane
menghasilkan sedikit perubahan pada SEPs dibandingkan dg halotan.
Penggunaan bersama dg N2O 60%, sampai 0.75 dari konsentrasi maximum
(MAC) dari halotan yg diperkenankan dan 1 MAC isoflurane dan enflurane adalah
sesuai dg naiknya gelombang yg adekuat untuk evaluasi. Walaupun semua agent
inhalasi menyebabkan penurunan amplitudo yg dose related dan peningkatan
latency, halotan memberikan efek yg jauh lebih besar. Halotan pada 0.75 MAC
meningkatkan peak dari kompleks negatif primer (N1) lebih dari enflurane dan
isoflurane, dan enflurane pada 1 MAC meningkatkan N1 latency lebih dari
isoflurane. Sampai hari ini tidak ada penjelasan tentang perbedaan ini. Jika

memungkinkan, konsentrasi end-tidal dari volatil agent harus tetap konstan selama
pengawasan periode kritis. Bagaimanapun, bila hal ini tidak tercapai, perubahan
pada latency dan amplitudo harus diantisipasi dan dipertimbangkan dalam
menginterpretasi data, dimana lebih mudah berbicara daripada melakukan jika
peningkatan kedalaman anestesi disebabkan oleh critical surgery dissection.
Bagaimanapun, penemuan ini sama dg studi terdahulu yg menunjukkan bahwa
konsentrasi end-tidal 1 MAC halotan dan 0.5 MAC enflurane atau isoflurane
masing-masing dalam 60% N2O sesuai dg monitoring SEP yg efektif. Studi
terakhir menunjukkan bahwa konsentrasi anestesi volatil yg konsisten dg beberapa
data yg terpercaya dapat meningkat dg mengeliminasi N2O. Analisis dari power
spectrum data dan asal mula rasio dari power L dan B terhadap power S dapat
digunakan untuk menentukan waktu yg mengancam kesadaran dibawah anestesi
dg isoflurane. Konsentrasi end-tidal rata-rata pada isoflurane yg disontinyu adalah
0.46 + 0.09 vol % dan 0.4 + 0.01 vol % saat pasien membuka mata. Waktu antara
membuka mata dan delta shift poin kira-kira 3.2 menit dan keseluruhan waktu
untuk bangun adalah 8.3 menit.
Metabolisme Isoflurane
Pada manusia, metabolisme isoflurane adalah 1/10 sampai 1/100 dari
anestesi berhalogen lain yg tersedia. Kira-kira 0.17% dari isoflurane yg diambil
dapat menjadi metabolit. Kadar yg rendah ini terpelihara pada hewan bahkan
setelah pretreatment dg obat seperti fenobarbital dan fenitoin yg secara rutin
digunakan dalam neurosurgical dan memicu kemampuan respon enzim hati
terhadap metabolisme isoflurane. Minimal biodegradasi isofluran merupakan
modal yg bermakna sejak toksisitas organ bisa disebabkan oleh hasil
metabolisme. Lebih daripada itu, farmakokinetik dan metabolisme isoflurane tidak
dipengaruhi oleh durasi pemberian anestesi.
NARKOTIK
Untuk beberapa prosedur neurosurgical opioid short acting ( fentanyl,
sulfentanil, dan alfentanil ) telah dianjurkan baik sendiri atau kombinasi dg N2O
sebagai alternatif yg aman untuk isoflurane. Bagaimanapun, beberapa studi
memberi hasil yg bertentangan; dimana agent ini dipertimbangkan untuk
digunakan sama, efek cerebral ringan, yg kenyataanya bukan sebagai kasus.
Dinamika Intrakranial
Secara umum, PaCO2 dan temperatur yg konstan, dosis premed dari
narkotik short acting mempunyai efek yg kecil terhadap CBF atau CMRO2.
Fentanyl intravena menunjukkan hasil penurunan dose-related pada CBF dan
CMRO2 tikus. Depresi maksimal terjadi pada 100mg/kg, dimana CMRO2 dan
CBF menurun hingga 35% dan 50% berturut-turut. Fentanyl dg dosis yg lebih kecil
( 5mg/kg atau kurang) mungkin tidak berefek pada CMRO2. Pada anjing yg
dianestesi dg pentobarbital ( 30 mg/kg), fentanyl ( 25 mg/kg) secara signifikan tidak
merubah CBF atau CMRO2 atau merubah respon cerebrovaskular terhadap
hipoksia atau hiperkapne atau merubah batas autoregulasi. Sufentanil dosis tinggi

juga menurunkan CBF dan CMRO2, dg penurunan maksimum 53% dan 40%,
berturut-turut, terjadi pada dosis 80 mg/kg. Dosis yg lebih tinggi tidak memberi
perubahan lebih lanjut. Bagaimanapun, studi canine terbaru menunjukkan bahwa
sufentanil menghasilkan peningkatan CBF yg sangat besar tanpa peningkatan
sedikitpun pada CMRO2. Studi klinis membandingkan infus dari fentanyl,
sufentanil, atau alfentanil dg N2O 60% dalam O2 pada pasien dg supratentorial
tumor. Tidak ada perubahan pada tekanan CSF lumbar. CPP menurun 14%.
Perubahan terjadi sangat dramatis setelah pemberian sufentanil ( tekanan CSF
meningkat 89%; CPP menurun 25%) dan alfentanil ( tekanan CSF meningkat 22%;
CPP menurun 37%). Peningkatan tekanan dapat dicegah dg hiperventilasi.
Bagaimanapun, pasien dg perkembangan lesi massa intrakranial yg cepat
memberi dampak yg kurang baik oleh sufentanil.
Pasien dg edema jaringan otak dihubungkan dg tumor, respon
cerebrovaskuler terhadap CO2 muncul untuk menjaga dg lebih baik selama
anestesi dg fentanyl-suplemented N2O-O2 dibandingkan dg selama anestesi dg
isoflurane.
Efek pada Metabolisme Cerebral
Telah dijelaskan sebelumnya, fentanyl digunakan untuk mejaga gabungan
dan menyebabkan reduksi dose-dependen dari CBF dan CMRO2. Model tikus
hipoksia, Fentanyl diberikan sebelumnya pada insult tidak mempertahankan
adenosin cortical, trifosfat, atau fosfokreatin atau mencegah perkembangan laktat
asidosis. Lebih dari itu, fentanyl tidak memiliki efek pada metabolit energi cerebral.
Efek Electrophysiologic
Sejumlah laporan anekdot menganjurkan bahwa induksi anestesi dg
fentanyl atau sufentanil dapat menyebabkan aktifitas kejang. Penilaian EEG dari
20 pasien yg diberi fentanyl, 20 dg sufentanil dan 87 dg alfentanil tidak
menunjukan bukti adanya aktifitas kejang yg sesungguhnya. Juga tidak terdapat
bukti dari postictal state pada pasien manapun, seperti yg timbul setelah kejang yg
dipicu oleh anestesi inhalasi atau lokal. Bagaimanapun, rigiditas dinding dada
sangat umum dihubungkan dg pemberian opiat baru (khususnya alfentanil) adalah
berhubungan dg peningkatan ICP yg lebih besar, mungkin karena obstruksi dari
cerebral venous return.
Tidak ada perubahan secara statistik pada SEPs nervus tibial posterior yg
ditemukan setelah sufentanil 0.5 mg/kg/jam atau alfentanil 0.5 mg/kg/jam.
Kegunaan fentanyl dosis tinggi ( 10 mg/kg ) dalam menjaga visual evoked respon
yg adekuat pada 12 pasien yg akan menjalani coronary artery bypass telah
diterima.
Metabolisme Narkotik
Metabolit opioid secara esensial tidak aktif dan tidak menyebabkan
kerusakan organ. Degradasi hepar adalah penting. Pertimbangan interaksi obat
antara tranquilizers, antidepresan, dan narkotik- faktor yg mungkin penting pada

pasien dg penyakit cerebrovaskuler dan multiorgan failure yg menerima banyak


obat. Narkotik yg baru memiliki margin safety yg sangat tinggi. Bagaimanapun,
terdapat peningkatan yg nyata dalam pemberian narkotik selama perawatan
pasien pada terapi antikonvulsan jangka panjang, khususnya jika antikonvulsan yg
digunakan lebih dari satu. Efek ini mungkin disebabkan peningkatan metabolisme
narkotik karena induksi enzim mikrosomal.
Barbiturat
Tiopental merupakan agent pilihan untuk induksi pada hampir semua center.
Penyediaan dosis telah dimodifikasi, khususnya pasien dg hipovolemik setelah
kehilangan darah atau infus manitol, induksinya cepat dg cardiovaskular yg stabil
dan adekuat CPP yg terjaga.
Dinamika Intrakranial
Meski CBF dan metabolisme terpelihara, keduanya menurunkan doserelated selama terapi dg barbiturat, terjadi efek anestesi yg memanjang dan tidak
menguntungkan bagi dinamik intrakranial.
Meskipun kontrol memuaskan di lain pihak hipertensi intrakranial yg
refrakter bisa tercapai pada 25% pasien dg severe head injury, hasilnya tidak
terbukti. Terdapat pertimbangan variabilitas pasien pada klirens pentobarbital,
terutama setelah brain injury. Studi pada 6 pasien yg diberi 25-34 mg/kg loading
dose intravena diikuti 1-3 mg/kg per jam selama 61-190 jam dg volume distribusi
1.03 kg dan terminal waktu paruh 19.1 jam. Klirens meningkat setelah paparan yg
kontinyu, megharuskan untuk monitoring kadar barbiturat setiap hari.
Efek pada Metabolisme Cerebral
Sebagai catatan, CMRO2 menurun oleh barbiturat. Penggunaan barbiturat
dalam proteksi dan resusitasi otak telah dipelajari luas. Penggunaan sekarang
adalah tidak memakai barbiturat pada global brain damage. Beberapa janji masih
dipegang untuk efek yg menguntungkan setelah regional defek.
Efek Electrophysiologic
Penurunan dose-dependen pada EEG terlihat hingga electrophysiologic
menghilang.
Setelah pemberian pentobarbital dosis tinggi (19 mg/kg lebih dari 33 menit), pada
pasien yg akan di lakukan eksisi dari malformasi arteriovenous, menghasilkan
supresi yg besar pada isoelectricity EEG.
FISIOLOGI PERNAFASAN DAN ANESTESI
FISIOLOGI PERNAPASAN :
EFEK ANESTESIA

Fisiologi pernapasan sangat penting dalam praktek anestesi


karena anestetik yang
paling sering digunakan inhalation agents bergantung pada
kerja paru-paru untuk diuptake dan dieliminasi.
Lebih lanjut nanti, paralisis otot, posisi yang tidak biasa
selama operasi dan teknik seperti anestesia dengan satu paru
- paru serta cardiopulmonary by pass juga mempengaruhi
fisiologis pulmonal.

Respirasi Seluler

Fungsi Utama Paru: Pertukaran gas antara darah & udara


inspirasi hasil langsung dari metabolisme aerob sel yg
menghasilkan kebutuhan konstan uptake O2 & eliminasi
CO2Metabolisme Aerob

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + Energi

Energi yg dihasilkan disimpan dalam bentuk ATP dan


digunakan u/ pompa ion, kontraksi otot, sintesa protein,
sekresi sel

Dihasilkan 38 ATP

Metabolisme Anaerob

Menghasilkan ATP yg lebih terbatas

ATP diproduksi dari konversi glukosa dari pyruvat ke


asam laktat

Tiap molekul glukosa menghasilkan 2 ATP

Efek Anestesia Pada Metabolisme Sel

GA menurunkan produksi CO2 & konsumsi O2 sampai 15%

Reduksi terbesar pada konsumsi O2 di otak dan jantung

Rongga Thorax & Otot2 Respirasi

Terdiri atas 2 paru-paru yg dilapisi pleura. Apex dada


kecil, entry dari trakea, esophagus dan pembuluh darah,
dasar dibentuk diafragma.

Kontraksi diafragma dasar thorax turun 1,5-7 cm, paru2


mengembang

Inspirasi diapragma dan otot-otot intercostal


eksternal

expirasi pasif

Tracheobronchial
Fungsi membawa aliran gas dari dan ke alveoli
Pembagian dikotom dimulai dari trakea dan berakhir pada
kantung alveolar, diperkirakan melibatkan 23 divisi atau
generasi. Tiap kantung alveolar terdiri atas 17 alveoli.
Kira2 300 juta alveoli luas permukaan membran u/ pertukaran
gas pd org dewasa.
Peredaran Darah Paru-paru & Limfatik

Paru2 terdiri dari 2 sirkulasi pulmonal & bronkial


sirkulasi bronkial berasal dari jantung dan
mempertahankan kebutuhan-kebutuhan metabolik
trakeobronkial sampai bronkiplus pulmonal

Sirkulasi pulmonal menerima darah dari jantung kanan


melalui arteri pulmonal terbagi menjadi cabang kiri &
kanan melalui arteri pulmonal

Darah teroksigenasi melalui kapiler pulmonal dimana O2


diambil & CO2 dibuang

Inervasi

Diafragma di inervasi saraf phrenic yg berasal dari


cabang saraf C3-C5

Nervus vagus mempersarafi sensoris pd trakeobrokial

Aktivitas vagal bronkokontriksi & peringatan sekresi


bronkial
Aktivitas simpatetik bronkodilatasi & menurunkan sekresi B2
reseptor
FUNCTIONAL RESPIRATORY ANATOMY

Rib Cage & Otot Pernapasan


o Rib Cage terdiri dari paru-paru, dan masing-masing
dikelilingi pleura.
o Konstraksi diafragma prinsip otot pernapasan
mengakibatkan rongga dada mengecil dan paru-paru
membesar.

Pulmonary Circulation & Lymphatics


o Suplai paru didapatkan dari sirkulasi pulmonar dan
brochial.
o Total aliran lymph pulmonar = 20mL/h

Tracheobronchial Tree

o Berfungsi untuk menyalurkan udara ke dan dari


alveoli.

Innervation
o Saraf-saraf vagus menyediakan sensor innervation
untuk tracheobronchial tree.

BASIC MECHANISM OF BREATHING

Spontaneous Ventilation.

Tekanan didalam alveoli selalu lebih besar dibanding


sekelilingnya (intrathoracic) kecuali alveoli tidak
berfungsi.

Mechanical Ventilation.

Kebanyakan mechanical ventilation menerapkan positive airway


pressure secara intermittent pada upper airway. Efek
anesthesi pada pola pernapasan sangatlah kompleks dan
berkaitan erat dengan perubahan posisi dan agen anesthesi
yang digunakan.

Mekanisme Dasar Pernafasan

Perubahan periodik gas alveolar dgn gas segar dari jalan


nafas atas mereoksigenasi darah dan membuang CO2.

Ventilasi Spontan

Tekanan dlm alveoli selalu lebih besar dr sekitarnya


kecuali bila alveoli kolapas

Tekanan alveolar adalah pd akhir inspirasi & ekspirasi.

Sesuai dengan fisiologi pulmonal, tekanan pleural


digunakan sbg alat pengukuran tekanan intrathoracic,
dirumuskan sbg brkt:
P transpulmonal = P alveolar - P intrapleural

Pada Akhir ekspirasi tekanan intrapleural kira 2 -5cm


H2O

Dan karena tekanan aveolar 0, tekanan transpulmonal


adalah + 5cm H2O

Aktivitas otot diagframa dan intercostal selama


inspirasi memperluar rongga torak & menurunkan tekanan
intraplueral dari -5cm H2O menjadi -8 cm H2O, hasilnya
tekanan alveolar menurun (-3 dan -4cm H2O)

Dan gradien jalan nafas atas alveolar terbentuk, gas


mengalir dari jalan nafas atas ke alveoli. Pada akhir
inspirasi tekanan alveolar kembali ke 0. Tekanan
transpulmonal yg baru mempertahankan pengembangan paru.

Selama ekspirasi relaksasi diagframa mengembalikan


tekanan intapleural menjadi -5cm H2O, gas mengalir
keluar dr alveoli volume paru diisi kembali

Ventilasi Mekanik

Kebanyakan ventilasi mekanik intermiten menerpkan


tekanan jln nafas positif pd jln nafas atas

Selama inspirasi gas mengalir ke alveoli sampai tekanan


alveolar mencapai jln nafas atas

Selama fase ekspirasi tekanan jln nafas positif


diturunkan; gradien dibalikan gas mengalir keluar
alveoli.

Efek Anastesi pada Pola Respirasi

Efek anastesi pada pernafasan berkaitan degan posisi &


bahan anastesi

Bila pasien posisi terlentang dari posisi berdiri /


duduk proporsi nafas dari rongga torak berkurang, lebih
dominan pernafasan abdomen.

Berkaitan dgn bahan yang digunakan, anastesi ringan


sering menyebabkan pola nafas ireguler paling sering
menahan nafas.

Nafas menjadi reguler dgn level anastesi yg lebih dalam.

Induksi pd anastesi sering mengaktifkan otot ekspirator.

Pada anastesi yang lebih dalam aktifitas otot


diturunkan.

MEKANISME VENTILASI
Elastic Resistance
The elastic recoil dari paru-paru selain berkaitan dengan
tingginya serabut elastin, juga kekuatan tekanan permukaan
yang mempengaruhi interface dari udara-cairan di alveoli.
Volume Paru-paru
Kemampuan maksimal untuk dapat memompa
Nonelastic Resistance

Mencakup :
1. Airway Resistance to Gas Flow
2. Tissue Resistance
ELASTIC RESISTANCE
Surface Tension Forces
Memiliki kecenderungan mengurangi area interface dan
mengempisnya alveolar.
Hukum Laplace dapat digunakan untuk mengukur kekuatan ini :

Compliance
Elastic recoil dapat pula diukur dengan compliance, yang
didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dibagi perubahan
dalam tekanan distensi.

PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi
darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat
disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997 )
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran
oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung Harapan Kita, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam parub-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam
sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)

PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang bebrbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk
secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya.
Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi
bantuan ventilator karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.
Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala,
stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena
terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan
efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke
gagal nafas akut.
ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan
menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor
pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru.
Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau
trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan
yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut

dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk
memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan
oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma
bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyababkan gagal nafas.
PATHWAYS

TANDA

DAN

GEJALA

TANDA
Gagal
1.

Napas

Aliran

udara

di

mulut,

Total

hidung

tidak

dapat

didengar/dirasakan.

2. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada
pengembangan
3.

Adanya

dada

kesulitasn

inflasi

pada

parudalam

Gagal

usaha

inspirasi

memberikan

ventilasi

nafas

buatan
parsial

1. Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.


2.

Ada

retraksi

dada

GEJALA
*

Hiperkapnia

yaitu

penurunan

kesadaran

(PCO2)

* Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)


PEMERIKSAAN

PENUNJANG

Pemerikasan

gas-gas

darah

arteri

Hipoksemia
Ringan

PaO2

<

80

mmHg

Sedang

PaO2

<

60

mmHg

40

mmHg

Berat

PaO2

Pemeriksaan

<
rontgen

dada

Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

Hemodinamik

Tipe

peningkatan

PCWP

Mungkin

EKG
memperlihatkan

bukti-bukti

regangan

jantung

di

sisi

kanan

Disritmia
PENGKAJIAN
Pengkajian

Primer

1.

Airway

Peningkatan

sekresi

pernapasan

Bunyi

nafas

krekels,

ronki

dan

mengi

2.

Breathing

Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.

Menggunakan

Kesulitan

otot

bernafas

aksesori

lapar

udara,

pernapasan
diaforesis,

sianosis

3.

Circulation

Penurunan

curah

jantung

gelisah,

letargi,

takikardia

Sakit
Gangguan

tingkat

kesadaran

kepala

ansietas,

gelisah,

kacau

mental,

mengantuk
Papiledema

Penurunan

haluaran

urine

PENTALAKSANAAN

MEDIS

Terapi

Pemberian

oksigen

kecepatan

rendah

oksigen
:

masker

Venturi

atau

nasal

prong

Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP

Inhalasi

nebuliser

Fisioterapi

dada

Pemantauan

hemodinamik/jantung

Pengobatan

a).

Brokodilator

b).

Steroid

Dukungan

nutrisi

sesuai

DIAGNOSA
1.

Pola

kebutuhan
KEPERAWATAN

nafas

tidak

efektif

b.d.

penurunan

ekspansi

Tujuan

paru
:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan


yang

efektif

Kriteria

Hasil

Pasien

menunjukkan
Frekuensi,

irama

dan

kedalaman

pernapasan

normal

Adanya

Gas-gas

penurunan
darah

dispneu

dalam

batas

normal

Intervensi

Kaji frekuensi,

kedalaman

vital

Kaji

tanda

dan kualitas

dan

tingkat

pernapasan

kesasdaran

serta

setaiap

pola

pernapasan.

jam

dan

prn

Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg


Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan
Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau
kecendurungan

penurunan

Auskultasi

dada

untuk

mendengarkan

PaO2

bunyi

nafas

setiap

jam

Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat
untuk

mengoptimalkan

pernapasan

Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama
batuk

Instruksikan

pasien

untuk

melakukan

pernapasan

diagpragma

atau

bibir

Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat
dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih,
atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk
diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi
sekunder

terhadap

hipoventilasi

Tujuan

Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat
Kriteria

Hasil

Pasien

mampu

:
menunjukkan

Bunyi

paru

bersih

Warna

kulit

normal

Gas-gas

Intervensi

darah

dalam

batas

normal

untuk

usia

yang

diperkirakan
:

Kaji

terhadap

tanda

dan

gejala

hipoksia

dan

hiperkapnia

Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat

kesadaran

pada

dokter.

Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam
PaCO2

atau

penurunan

dalam

PaO2

Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau
PEEP.

Auskultasi

dada

untuk

mendengarkan

bunyi

nafas

setiap

jam

Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau


penyimpangan

Pantau

Berikan

cairan

Berikan

obat-obatan

Evaluasi

AKS

3.

irama

Kelebihan

parenteral

sesuai

dalam

jantung

pesanan

hubungannya

volume

sesuai

bronkodilator,

dengan

penurunan

cairan

b.d.

pesanan

antibiotik,

steroid.

kebutuhan

oksigen.

edema

pulmo

Tujuan

Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan
Kriteria

Hasil

Pasien

mampu

menunjukkan:

TTV

normal

Balance

cairan

dalam

Tidak

batas

normal

terjadi

edema

Intervensi

Timbang

Monitor

Kaji

Kaji

tanda
tanda-tanda

4.

input

BB
dan
dan

output
gejala

kelebihan

Monitor
Kolaburasi
Gangguan

pasien

tiap

penurunan

volume

hari

jaringan

pemberian
b.d.

jam

curah

edema,

jantung

BB

parameter
untuk

perfusi

tiap

CVP

hemodinamik
cairandan

penurunan

curah

elektrolit
jantung

Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.


Kriteria

Hasil

Pasien

mampu
Status

hemodinamik

menunjukkan
dalam

bata

TTV

normal

Intervensi

normal

Kaji

tingkat

Kaji

kesadaran

penurunan
Kaji

perfusi
status

Kaji
Kaji

jaringan
hemodinamik

irama
sistem

EKG
gastrointestinal

Daftar

pustaka

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott
company,

Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien,
EGC,

Jakarta.

Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB
Lippincott

Company,

Philadelphia.

http://akperppnisolojateng.blogspot.com
Proses keperawatan pasca operatif pada praktiknya akan dilaksanakan secara berkelanjutan
baik di ruang pemulihan, ruang intensif, dan ruang rawat inap bedah. Untuk di ruang
pemulihan akan dilaksanakan secara mandiri oleh penata anestesi. Keahlian perawat
pascaoperatif dibentuk dari pengetahuan keperawatan professional dan keterampilan
psikomotor, yang kemudian dibaurkan ke dalam tindakan keperawatan yang harmonis,
kemampuan dalam pengenalan masalah pasien yang resiko atau actual yang akan
didapatkan pada setiap fase perioperatif didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman
keperawatan perioperatif akan mengarahkan perencanaan intervensi keperawatan untuk
membantu penanganan atau pencegahan masalah. Rencana keperawatan disusun sesuai

dengan respons pasien dan dievaluasi keefektifan nya dalam memenuhi tujuan pasien dan
keperawatan.
Fase pascaoperatifadalah suatu kondisi dimana pasien sudah masuk di ruang pulih sadar
sampai pasien dalam kondisi sadar betul untuk dibawa ke ruang rawat inap.
PROSES KEPERAWATAN DI RUANG PULIH SADAR
Ruang pulih sadar (recovery room) atau unit perawatan pascaanestesi (PACU) merupakan
suatu ruangan untuk pemulihan fisiologis pasien pascaoperatif. PACU biasanya terletak
berdekatan dengan ruang operasi. Pasien yang masih di bawah pengaruh anestesi atau yang
pulih dari anestesi ditempatkan di unit ini untuk kemudahan akses ke : 1 ) perawat yang
disiapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera; 2) ahli anestestesi dan ahli bedah; 3)
alat pemantau dan peralatan khusus, medikasi, dan penggantian cairan, dalam lingkungan
ini, pasien diberikan perawatan spesialis yang disediakan oleh mereka yang sangat
berkualifikasi untuk memberikannya.
Ruangan dijaga agar tenang , bersih, dan bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan.
Ruangan juga harus dicat dengan warna yang lembut, menyenangkan, dan mempunyai : 1)
pencahayaan tidak lansung ; 2) plafon kedap suara ; 3) peralatan yang mengontrol atau
menghilangkan suara ; dan 4) ruang terisolasi (kotak berkaca) untuk pasien yang
terganggu . gambaran ini juga memberikan nilai psikologis bagi pasien untuk menurunkan
ansietas.
Alat pemantau tersedia untuk memberikan penilaian yang akurat dan cepat tentang kondisi
pasien . peralatan khusus termasuk tipe alat bantu pernapasan, yaitu oksigen, laringoskop,
set traekostomi, peralatan bronchial, kateter, ventilator mekanis, dan peralatan suction.
Peralatan lain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi, seperti apparatus, tekanan
darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, nampan berisi set intravena, set pembuka
jahitan, peralatan henti jantung, defibrillator, keteter vena, dan tourniquet. Bahan-bahan
balutan bedah, narkotik,medikasi kedaruratan, set kateterisasi, dan peralatan drainase,
tempat tidur pemulihan memberikan akses mudah dan cepat ditempatkan dalam posisi
syok, dan mempunyai kelengkapan yang memudahkan perawatan, seperti tiang intravena,
pagar tempat tidur brankar beroda , dan rak penyimpan kertas catatan.

Pengkajian
Pengkajian dan intervensi pada saat pemindahan
Pengkajian pascaanastesi dilakukan sejak pasien mulai dipindahkan dari kamar operasi ke
ruang pemulihan. Pengkajian dilakukan saat memindahkan pasien yang berada di atas
brankar, perawat, mengkaji dan melakukan intervensi tentang kondisi jalan napas, tingkat
kesadaran, status vascular, sirkulasi, pendarahan, suhu tubuh, dan saturasi, oksigen.
Pengaturan posisi kepala pada saat pemindahan sangat penting dilakukan dengan tetap
menjaga kepatenan jalan nafas.
Saat pasein masuk ke PACU, perawat dan anggota tim bedah menyerahkan status pasien.
Laporan tim bedah mencakup laporan tentang obat anestesi yang diberikan, sehingga
perawat PACU dapat mengantisipasi dengan mudah pasien mana yang seharusnya sudah
sadar. Laporan pemberian cairan IV atau transfusi darah selama pembedahan berlansung
mengingatkan perawat pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Dokter bedah sering
melaporkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus (misalnya pasien yang
beresiko mengalamai pendarahan atau infeksi) . perawat menerima laporan adanya
komplikasi yang terjadi selama pembedahan berlansung, laporan ini diberikan saat petugas
PACU menerima kedatangan pasien. Perawat akan memasang berbagai jenis peralatan
monitor, seperti alat monitor tekanan darah noninvasif, alat monitor EKG, dan oksimeter
nadi, pada periode pemulihan ini, sebagian besar pasien menerima oksigen melalui
beberapa cara.
Pada saat pasien siap dipindahkan dari PACU, petugas memberitahu divisi keperawatan
tentang kedatangan pasien. Hal ini akan memudahkan petugas keperawatan untuk member
informasi kepada anggota keluarga pasien tentang tindakan pembedahan yang telah
dijalani. Perawat biasanya menganjurkan anggota keluarga untuk tetap berada di ruang
tunggu sehingga mereka dapat dengan mudah ditemukan jika dokter bedah datang untuk
menjelaskan kondisi pasien. Dokter bedah akan memberi gambaran tentang status pasien.
Dokter bedah akan memberi gambaran tentang status pasien, hasil pembedahan,dan adanya
komplikasi.

Pasofisiologi masalah keperawatan di ruang pemulihan


Pasien pascaoperasi akan mengalami perubahan fisiologis sebagai efek dari anestesi dan
intervensi bedah. Efek dari anestesi umum terlihat pada system respirasi, dimana akan
terjadi respons depresi pernapasan sekunder dari sisa anestesi inhalasi, penurunan
kemampuan terhadap control kepatenan jalan nafas karena kemampuan memposisi kan
lidah secara fisiologis masih belum optimal . kondisi ini menyebabkan adanya masalah
keperawatan jalan nafas tidak efektif dan resiko tinggi pola nafas tidak efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8,
EGC, Jakarta
2. Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa
Indonesia, EGC, Jakarta

3. Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA


Davis, Philadelphia
4. Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK
Angkatan I.Universitas Surabaya
5. Smeltzer, S.C . (2002) . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Vol. 2 . Jakarta : EGC

Efek anestesi akan mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal sehingga


mempunyai resiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke
volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah jantung . efek intervensi bedah
dengan adanya cedera vascular dan banyaknya jumlah volume darah yang keluar dari
vascular adalah terjadinya penurunan perfusi perifer, perubahan elektrolit , dan metabolism
karena terjadi mekanisme kompensasi pe ngaliran suplai hanya untuk organ vital. Efek
anestesi juga mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh sehingga kondisi pascabedah
cenderung mengalami hipotermi.

Efek anestesi pada system saraf pusat akan mempengaruhi penurunan control kesadaran
dan kemampuan dalam orientasi pada lingkungan sehingga pasien yang mulai sadar
biasanya gelisah. Kondisi penurunan reaksi anestesi akan bermanifestasi pada munculnya
keluhan nyeri akibat kerusakan neuromuscular pascaoperasi. Pasien pascaoperasi
cenderung mengalami kecemasan pascaoperasi sehubungan dengan penurunan kemampuan
adaptasi normal.
Secara umum, efek anestesi juga mempengaruhi terhambatnya jaras aferen dan eferen
terhadap control miksi, sehingga berimplikasi pada masalah gangguan pemenuhan
eliminasi urine. Efek anestesi akan menimbulkan penurunan peristaltic usus dan
berimplikasi pada peningkatan resiko paralisis usus dengan distensi otot-otot abdomen dan
timbulnya gejala obstruksi gastrointestinal. Efek anestesi juga mempengaruhi penurunan
kemampuan pengosongan lambung. Sehingga cenderung terjadinya refluks esophagus dan
makanan keluar ke kerongkongan yang memicu terjadinya aspirasi makanan ke saluran
nafas.
Respons pengaturan posisi bedah akan menimbulkan peningkatan resiko terjadinya
tromboemboli, parastesia, dan cedera tekan pada beberapa penonjolan tulang. Efek
intervensi bedah akan meninggalkan adanya kerusakan integritas jaringan dengan adanya
luka pasca bedah dan adanya system drainase pada sisi luka bedah. Efek anestesi akan
mempengaruhi penurunan control otot dan keseimbangan secara sadar sehingga pasien
beresiko tinggi cedera.

Pengkajian Di Ruang Pemulihan


Pengkajian di ruang pemulihan berfokus pada keselamatan jiwa pasien. Fokus pengkajian
meliputi : pengkajian resprasi, sirkulasi, status neurologi, suhu tubuh, kondisi luka dan
drainase, nyeri, gastrointestinal, genitourinary, cairan dan elektrolit, psikologi dan kemanan
peralatan.
Table 5-1 membantu perawat untuk memfokuskan sistematika pengkajian pada pasien
pascaoperatif di ruang pulih sadar.
Table 5-1 pedoman pengkajian pascaoperatif
Pengkajian
Implikasi dan hasil pengkajian
Pengkajian awal
Pengkajian awal pascaoperatif adalah sebagai berikut:
Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan nafas, tanda-tanda
vital

Anestesi
dan
medikasi
lain
yang
digunakan
(misalnya:narkotik,relaksan otot,antibiotic).

Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin


mempengaruhi perawatan pascaoperatif (misalnya: hemoragi
berlebihan, syok,dan henti jantung).

Patologi yang dihadapi (jika malignansi, apakah pasien atau


keluarga sudah diberitahukan).
Cairan yang diberikan, kehilangan darah, dan penggantian.
Segala selang, drain, kateter, atau alat bantu pendukung lainnya.
Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anestesi yang

System pernafasan

akan diberitahu.
Control pernafasan
Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan .
sehingga, perawat perlu mewaspadai pernafasan yang dangkal dan
lambat serta batuk yang lemah.
Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan,
kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas, dan warna
membrane mukosa. Apabila pernafasan dangkal, letakkan tangan
perawat di atas muka atau mulut pasien shingga perawat dapat
merasakan udara yang keluar.
Kepatenan jalan nafas
Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai tercapai pernafasan
yang nyaman dengan kecepatan normal. Apabila fungsi pernafasan
sudah kembali normal . maka perawat mengajarkan pasien cara
membersihkan jalan nafas dengan cara meludah. Kemampuan
melakukan hal tersebut menandakan kembalinya reflex muntah
normal.
Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan
nafas akibat aspirasi muntah, akumulasi sekresi, mukosa di faring
atau spasme farin

Anestesi dan Masalah Paru


ASMA
William

R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan
reversible.Diantaraepisodeepisodeitu,fungsiparupasiennormal(atauagaknormal).
Diketahuipencetusdarireaksisalurannafaspadapasienadalahallergen,prosesinfeksi
atau stimulus fisik. Gejala padapasien sangatbervariasitetapi umumnya terjadibatuk,
wheezing,nafasyangpendekdanexercionaldyspnea.

Evaluasiklinisdimulaidenganmenilaifungsijalannafasdiantaraepisodeepisode
asma.Menentukanadatidaknyagejalagejaladanmenentukanregimenpengobatan
dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejalagejala,
pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau
adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik).
Spirometerpredanpostpenggunaanbronkodilatordapatdilakukanjikatersedia.

Putuskan,berdasarkanriwayatdanpemeriksaanfisikapakahpasienberadadalam
keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan
apakahkeadaannyabaikataudapatberubahdenganfarmakoterapiyangagresif.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan
dilakukanevaluasisertaterapi.

Pertamadigunakanbetaadrenergicagonisdankortikosteroidsistemik.Jikapasien
tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral
selama35haridengandosisberangsurangsurdikurangi.PenggunaanTheophyllin
masihkontroversidansekarangtidaklagidigunakanuntukasmaakut.Ipratropium
bromidamerupakanbahaninhalasipilihankeduayangkadangkadangditambahkan
pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya
Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada
penanganan asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan
antibiotika.

Jikaprosedurmendesakdangawat,albuterolsecaranebulationdenganatautanpa
ipratropiummerupakanpilihanterbaikuntukmemperbaikimekanismepernapasan
danpertukaranudara.Pengobatandimulaidenganpenggunaansteroidintravena
sedinimungkin.

Bahaninduksiyangpalingdisenangiuntukanstesiumumadalahpropofol,ketamin
intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan
analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot
hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile mengurangi
bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada
anestesi umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida
dihindaripemakaiannya(ataudigunakandengankonsentrasilebihkurang50%)jika
diperkirakanterdapatobstruksididaerahparuparu.Jikadiperlukanrelaksanotot,
pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat
menyebabkanbronkospasme.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang


inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan
pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin,
inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat
anestesiyangdalam.Bahanlainadalahpenggunaanlidokainspraytopikalsebelum
intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan
hiperventilasipadapasien;haltersebuttidakdiperlukankarenadapatmenyebabkan
barotrauma. Hipokarbia dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi
merupakanpilihantetapihalinibiasanyatidakdibutuhkan.

Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum


denganmaskataudenganlaryngealmaskairway(LMA),anestesilokaldananesetsi
regionalperludipertimbangkan.Pemberiansedativamanpadapasienasma,cocok
digunakansecaraIVdanneuraxialnarcotikuntukmengobatinyeri.

PERIOPERATIV
PADA
WHEEZING
Deborah

K.

Rasch,

M.d.
Ellen

B.

Duncan,

M.D.
Wheezing(diambildarikataOldNorseyangberartibunyimendesis)merupakantanda
yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi
bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat
padapasienyangdiintubasi).Meskipunpredominanterjadipadasaatekspirasi,mungkin
jugaterdapatbunyinafasyangpendekselamainspirasi.Bisingpernafasanmiripdengan
wheezingdandapatdihubungkandengangangguanlain.

Wheezingpadasaatpreoperative,mengindikasikansatuataulebihhalhaldibawah
ini : penyakitpenyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit
jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease dengan
pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus utama,
vascularringdisekitartrachea);aspirasi;penyakitinflamasiatauinfeksi(bronchitis
kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa terjadi pada pasien
denganedemalaringataubagianlainpadabronkusdanjarangpadaemboliparu.
Lakukananamnesisdanpemeriksaanfisis(gejalapenekanansalurannafas,toleransi
terhadapexercise,responterhadapbronkodilator,iramacardiacgallop,penggunaan
diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan.
Optimalkanfungsikardiopulmonal,bronkodilatordanperbaikannpulmonarytoilet
padapenyakitbronkospastik;penatalaksanaanmedikasidandiureticpadaCHF;
dan penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum
pembedahanelektif.

Pengelolaananestesipadapasienasmatermasukintubasi(danekstubasi)sampai
terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan
bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena
menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun halothane
lebihdisenangiolehbeberapaahlianestesi,semuabahaninhalasisecarakasarsama
denganbronkodilator.Bronkodilatorketaminsangatmembantu.

Pengelolaanindividualpadapasienjantungsesuaidenganlesi.Wheezing,walaupun
pengelolaanhemodinamiktepat,dapatterjadibronkospasme.

Padapasiendimanatidakmendapatkanpreoperativewheezingdankemudianterjadi
fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah
diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan atau tube
endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat dihilangkan
dengansuction.

Bronkospasmeintraoperativdapatdisebabkanolehpelepasanhistaminkarenaobat
(thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi
parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan operasi), aspirasi,
anafilaksis aktivitas obat betabloker. Anafilaksis menyebabkan hipotensi,
vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat
tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan g/kg IV; dan
methylprednisolondipenhydramin,2mg/kg;epinefrin,3512mg/kgIV.

Tebutaline0,01mg/kgsubkutan;albuterol0,1mg/kginhalasi;terbutaline0,1mg/kg
inhalasiataumetaproterenol5mcg/kginhalasitelahdigunakandanmemberikan
hasilyangmemuaskan.Jikaterjadibronkospasme,dapatdiberikanaminofilin56
mg/kgIV,2030menit,dandimulaidenganinfusaminofilin0,40,9mg/kg/jam
(lihattable1).Perhatikandisritmiaventricular.Jikapasientidakresponterhadap
pengobatanawal,dapatdiberikanepinefrinIV.
Tabel1.Penggunaanobatpadabronkospasmeintraoperativ

CHRONIC
OBSTRUCTION
PULMONARY
DISEASE
(COPD)
Michael

A.

Lyew,

M.D.
Diane

M.

PetersKoren,

M.D.
COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan
meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah :
hipoksemia,hiperkarbia,bronkospasmedanpeningkataninsidenPostoperativePulmonary
Complication(PPC),termasukatelektasis,pneumoniadangagalnafas.

MerokokadalahfaktorpredisposisiyangbesaryangmenyebabkanCOPD,dimana
sebagianbesardiklasifikasikandalambronchitiskronisdanemfisema.Gabungan
dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi
homozygot a1 antitripsin, dimana hal tersebut juga berperan sebagai penyebab
sirhosis.Merokoklebihdari20pak/tahun,usialanjut,obesitas,statusASAyang
tinggi,sertaoperasithoraxdanupperabdominalmerupakancofaktorCOPDuntuk
PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak
diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat),
batukdanproduksisputummenandakanperlunyapersiapanyangintensif,termasuk
PFTsdasardanpengukurangasdaraharteri.

PerbandinganFEV1/FVCmenunjukkanberatnyaCOPD.ResikoPPCmeningkat
setelahpembedahanupperabdominal,jikapadapreoperativenilaidariFEV1/FVC
<70%,FEV2575%/FVC<50%,FVC<75%,danMVV<50%.Gagalnafas
seringterjadijikaFEV1/FVC<50%danPaCO2>50mmHg.RetensiCO2sering
terjadijikaFEV1/FVC<35%.PerbaikannilaialiranekspirasidanPaCO2setelah
pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan
elektrolitperludiperhatikankarenakeduanyamenyebabkanpenurunanfungsiotot
pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan
adanyapolisitemia,hipertensipulmonaldancorpulmonal.PadaCOPDdini,foto
thorax normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood
diversionpadalobusatassertakardiomegalipadabronchitiskronik.

Sebelumoperasielektif,fungsiparuharusoptimal.Merokokharusdihentikanpada
yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 1218 jam.
Pengobatanpenuhpadainfeksisalurannafasakutdandilanjutkandenganinhalasi
bronkodilatorsertaobatanticholinergik.Jagaatautingkatkanterapisteroid.Koreksi
hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan
nafas.Sediakancadanganoksigen(O2)untukmemperbaikihipertensipulmonal.
Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator.
Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi
meningkatkanresikoPPCdanmerupakanoperasiyangemergensi.

Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat
monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume
cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan
sedativedibatasikarenaefeknyaterhadapdepresipernafasan.Bronkospasmesaat
dilakukananestesiumumpadapasiendapatdisebabkanolehintubasiendotrakheal,
rangsangnyeridanpelepasanhistaminkarenaobat.Nitrogenoksidadihindarijika
terdapatbullaatauhipertensipulmonal.JagapHnormalarteri,tetapitidakPaCO2,
padapasiendenganretensiCO2preoperativeuntukmenjagakompensasimetabolik.
GradienantaraCO2tidaldanCO2arteribisameningkat.CVPmenggambarkan

fungsi ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat
hipertensipulmonal.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi dalam


keadaantidaksadaratausadarsetelahprofilaksisdenganlidokainIVatauinhalasi
bronkodilator. Pasienpasien seperti ini memiliki level PaCO2 yang rendah dan
desaturasioksigenpadaanalgesiaepiduralkemudiankontrolnyeridenganopioid
parenteral.PengaturanFiO2tergantungventilasipadahipoksia.Mobilisasidinidan
manuverventilatormerupakananjuran.Hindarihidrasiyangberlebihan.CO2yang
berlebihanpadasepsisatauintakekaloriyangberlebihanmembutuhkanbantuan
ventilasi.Kontrolventilasijugadiperlukanpadatindakndidaerahthoraxdanupper
abdominalsampaifungsiparudiperbaiki.

CIGARETTE
SMOKING
James

Gilbert,

M.D.
Kathryn

R.

Hamilton,

M.D.
Diketahui,riwayatmerokokmeningkatkaninsidenkomplikasipernapasanpostoperative.
Efekmerokokadalahrusaknyamukosiliar,hipersekresimucous,danobstruksijalannafas.
Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan
peningkatanresistensijalannafasdanpengurangandinamik.Efekakutdarimengisapasam
rokokadalahpeningkatanlevelkarbonmonoksidadandisosiasikurvaoxyhemoglobinpada
leftwardshift.Carboxyhemoglobin(CoHb)dapatmeningkatsampai810%padaperokok
berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis
adrenergikyangmeningkatkanheartrate,BPdanresistensivaskulerperifer.

Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan


peningkatanresikoterhadapkomplikasipulmonal.Adanyabeberapafaktorresiko
atau kemungkinan adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative dapat
mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan herniorrhaphy)
memerlukanevaluasiyanglebihsebelumpembedahan.

Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan
peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa
bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative pada
pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila beberapa tes
hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 jam atau jika
lokasioperasipadadaerahupperabdominalatauthorax,pertimbangkanpenundaan
tindakanelektifuntukpersiapanakanadanyaefekpadaparuyangluas.

Merokokharusdihentikanminimal68minggusebelumoperasiuntukmengurangi
angkakesakitanpadapostoperativepulmonaldanmemperbaikifungsiimunserta

penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam sebelum operasi


berdampakpulmonarytoiletyangagresif,meskipundemikian,berhentimerokok
lebihcepatsebelumoperasimasihkontroversi.Namun,walaupunhanyabeberapa
haritidakmerokok,terjadiaktivitasperbaikanciliadan12minggutidakmerokok
secarasignifikanmenurunkanvolumesputumdanreaktivitassalurannafas.Waktu
paruhyangsingkatdariCoHbmenurunsetelah12jamtidakmerokok.

Infiltasilokal sebagai syaratuntuk sedativIV atau anestesi regional diperlukan,


tetapiuntukanestesiumumtidakdigunakan,halinipentinguntukmempertahankan
kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada
anestesiyangdalamuntukmengurangireaktivitasjalannafas.Preoperativdengan
menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang aktif,
termasukperkusidanvibrasi,diperlukansetelahextubasi,diikutidengantindakan
suctionpadajalannafasselamatindakanoperasi.PenguranganFRCterjadipada
semua pasien yang dianestesi tetapi lebih banyak pada perokok. Walaupun
penurunanSaO2padaperokokmemperlihatkangejalayangasimptomatik,selama
periodepostoperativesuplemenO2harusditransportasikandandipertahankan.

Siapkananalgetikpostoperativedengancarabloksarafatauanalgetikepiduraljika
memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk
dilakukan,dosisanalgetikIVsecaratitrasiyangberulangkaliakanmemberikanefek
yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja lama atau
fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive
(misalnyaobatnonsteroidantiinflamasi).Terapipreoperativepulmonaldilanjutkan
sampai periode postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat.
Spirometeratauterapifisikpadathorax(jikaterjadiatelektasisatauinfiltratpada
daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi
komplikasipostoperativepulmonal.

INFEKSI
SALURAN
NAFAS
ATAS
Alan

R.

Tait,

Ph.D.
Paul

R.

Knight,

M.D.,

Ph.D.
Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih
kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa
studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA memiliki resiko
terjadinyalaringospasme,bronkospasmedandesaturasipadapostoperative,pendapatlain
mengatakanbahwapasienISPAakutdancarriesISPAtanpakomplikasi,tidakmenurunkan
angkakesakitan.

Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien
sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya

demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala
tersebutterjadisecaraakutataumusiman.Shreinerdankawankawanmengatakan
bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi.
Thoraxfotoharusdipertimbangkanjikadipikirkanbahwasalurannafasbawahikut
terlibat.

Perkiraanpembedahanyangurgency.Pembedahanyangnonurgencydenganadanya
asmatelahdinyatakansebagaifaktoryangpalingseringmempengaruhikeputusan
paraahlianestesiuntukmenundaoperasielektifpadapasiendenganISPA.Jika
pembedahanurgent,pertimbangantekhnikregionaluntukmenghindarimanipulasi
jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada anestesi
umumdenganmempertimbangkanlamanyapasienpuasa.Kelembabandanhidrasi
dapatmenolongmobilisasisekresi.

Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu yang


singkat,halinitidaklahmudah;walaupundemikian,informasibisadidapatkandari
datatentangriwayatdanpemeriksaanfisikpasien.Walaupun95%pasiendengan
gejalaISPA mendapatkaninfeksivirus,beberapapasienmemperlihatkansekresi
atausputumyangmukopurulen,demam,atausepsis.Jikadidugainfeksibakteri,
pasienharusdiberikanantibiotikdanpembedahanharusditundapalingkurang4
minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat, wheezing, demam lebih dari 38oC,
batuk yang produktif atau flu atau gejala batuk yang disertai sesak nafas harus
dijadwalulang.Pasientanpainfeksi,alergi,rhinitisvasomotorkronisataupenyakit
penyakittingkatansedang,tidakberkomplikasi,gejalacoldakutdimanatidak
terdapat sekresi dapat dilakukan pembedahan. Jika pasien pasien ini akan
dioperasi,pertimbangkanresikodankeuntungantindakoperasi(misalnyaoperasi
yang telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya pembedahan yang
menambahresikokomplikasipadapasiendenganISPA).Jikaperbandinganresiko
dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika tidak baik atau raguragu,
operasiditundapalingkurang4minggu.

Jikatekhnikregionalcocok,operasidapatdilakukan.Jikadilakukananestesiumum,
gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask
Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan yang normalnya
memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat digunakan pada anakanak
untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse
oxymetripadasemuapasien.

Jikapasientelahdiintubasi,suctiontracheasebelumdilakukanextubasi.Lanjutkan
pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien
dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar selama masa pemulihan.
Diperlukanpenggunaanoksigendenganmenggunakanfacemask.


TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS
Susan

M.

Ryan,

Ph.D.,

M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat
perhatianbesardalamkesehatanmasyarakat.TBmenyebarmelaluiinhalasidropletnuclei;
aerosolpartikelkering,sisasisayangadadiudara.Konsultasikandenganspesialispenyakit
infeksiuntukmembantudiagnosa,pengobatandanwaktuoperasi.PegawaiRumahSakit
DepartemenKesehatan,NationalInstituteforOccupationalSafetyandHealth(NIOSH),
dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber
informasi.

TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat


pengobatandangejalapadaparuparu,sertaketerlibatanekstrapulmonal(limfatik,
CNS,ginjaldansumsumtulang).TByangdinibiasanyaasimptomatikatautimbul
dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia, fatique, kehilangan beratbadan,
berkeringat pada malam hari). Selanjutnya dapat terjadi batuk yang produktif,
hemoptisis dan nyeri pada dada. Takipnu, ronkhi, dan melemahnya bunyi
pernafasanbisaterjadi.Jikaekstrapulmonalterlibatmakagejalayangpalingsering
terlihatadalahlimfadenopati.Penemuanpadafotothoraxtergantungpadatingkat
dankronisitaspenyakitJikafotothoraxabnormalmakadilihatfotosebelumnya.
Pada TB primer terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang
multiple.Limfadenopatuihilaratauefusipleurabisaterjadi.PadaTBkronik,bisa
terdapat bintik atau nodul pada apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB
dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan adanya
peningkatanleukositdananemianormositiknormokrom.PadaTBpulmonaldapat
terjadihiponatremiadanmeningitisTBdisebabkanolehsyndromeofinappropriate
secretiononantidiuretichormone(SIADH).

Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak.


ObservasipenyebabTBjikaadadugaanadanyaTBaktif.Jikafotothoraxnormal
atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada tes yang
direkomendasikan.JikapadafotothoraxdidugaadanyaTBaktifatausecaraklinik
didugakuatpengobatantidakadekuat,ambiltigacontohsputumuntuksmearbasil
tahanasam(BTA)dankulturTB.Satusmearpositifmembantudiagnosa.Apabila
BTA negatif, tindakan pencegahan dan pembedahan tergantung pada tingkatan
penyakitdankecurigaanTByangtidakdiobati.JikaBTAnegatif,TBaktiftidak
dapat disingkirkan (pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan
gejala)dandilakukanpengobatansertapenundaantindakanpembedahan.PPDyang
positif(tespenyaringanyangbaiktetapitidakpasti)dapatdicurigaiadanyaTB,
tetapiPPDnegatif(walaupundengankontrol)tidakdapatmenyingkirkanadanya
TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV
positifcenderungmendapatkanpenyakitparuaktifdanmelibatkanekstrapulmonal.

Pada pasienpasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien
denganHIVpositifyangberat,fotothoraxbisanegatifuntukbeberapaharisaat
pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh
beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur
didapatkan.

PasiendenganHIVpositifdandidugaTBadalahpendudukatauimigrandaridaerah
denganprevalensitinggi,penyalahgunaobat,kontakTB,tunawisma,malnutrisi.
PikirkandiagnosaTBjikaterjadipneumoniapadapasiendenganresikotinggiatau
pasienyangtidakresponterhadapantibiotikatauadanyakontakpadakasusyang
aktif.

Observasipernafasansebagaipencegahantermasukpasienyangdiintubasi.Ruang
khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 610 kali/jam perubahan udara,
pencegahangejalapadasalurannafasyangmembahayakandanmaskerataualat
bantunafasuntuksetiaporangyangmasukdalamruangan.Tipemaskerberguna
untukkesehatankerja(HCW)danalatbantupernafasanyangdiakuiolehNIOSH:
fittedairfilteringmask,poweredairpurifyingrespirators(PAPR),ataurespirator
tekananpositifdengantambahanudara.Selamapemindahanpasienketempatlain,
gunakan masker pada pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi,
gunakanmaskerselamapemindahanpasien.

JikapasiendenganBTApositif,dilakukanpenundaanuntukpembedahanelektif
dantindakpengobatanselama2minggudantigakalisputumnegatif.Jikapasien
BTAnegatiftetapikulturpositifataupasiendenganresikotinggi,pasiendengan
gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai terjadi
perubahanpadakondisipasien.Kasusyanggawatmemerlukankeputusanklinik,
pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan tindak
pencegahandiruanganoperasi.

TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih.
Masalahyangbesaradalahterjadinyaresistensi,danterapiobatharusdilakukan
secarahatihatidandisesuaikandengansensitivitas.Responterhadapterapiditandai
denganberkurangnyabakteri,sputumdenganBTAnegatifdanperubahansecara
klinik.Pasiendiperkirakanmasihinfeksiusselama23minggusetelahpengobatan.

Ventilasiyangadekuatdiruangoperasisangatpenting.Dapatdigunakanventilator
dengantekanannegatif.Peralatananestesi:gunakanalatalatsekalipakai.Letakkan
penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan menggunakan tube
endotrakheal(ET)untukmencegahkontaminasi.AturtubeETdankatetersuction
dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan
tuberkulosidaldansterilkanjikamemungkinkan.Ahlianestesidanyanglainnya:

menggunakan maskersepertibiasanya, lindungi daerah steril. Sebagaitambahan


perhatikan dan gunakan alat pelindung pernafasan untuk mencegah infeksi dari
droplet.Satumaskerdapatdisiapkan.Respiratordengankatupekshalasi,PAPR,
respirator tekanan positif tidak melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan
prosedurnya : terdapat resiko tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan
tindakandimanacairantubuhyangterinfeksikeluar(trakheostomi,thorakotomi,
bipsoparuterbuka,bronkoskopi,kauterisasijaringanyangterinfeksi)danselama
perawatantubeET.HindariatauminimalkantindakansuctionpadaET.Pemulihan:
PACUharustersendiridanterdapatstandarpencegahanTB.Jikatidak,pemulihan
pasiendilakukandiruangoperasiatauICU.Tenagakesehatanharusmenggunakan
pelindungpernafasan.

RESTRICTIVE
LUNG
DISEASE
A.

Sue

Carlisle,

M.D.,

Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kumpulangejalafisiologisyangditandaidenganmenurunnyakapasitatstotaldariparu
paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacammacam sebab intrinsik dimana daya
pengembanganparenkhimparumenurunatauolehfaktorekstrinsikyangberdampakpada
dindingdada,pleuradanabdomen.Keadaaninidapatdisebabkansecarasendirisendiri
atau bersamaan menghasilkanrestrictive fisiologis.Perubahan instrinsik bisapermanen,
seperti terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau
pneumonia. Perubahan ekstrinsik dapat terjadi secara sekunder pada bermacammacam
keadaantermasukkelemahanototpernafasan,penebalanpleura,kiposkoliosis,chestwall
scarringdankegemukan.Sebagaitambahanbeberapatindakansepertilaparoskopikdimana
dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat
menyebabkanrestrictivefisiologis.RLDjugaseringterjadiobstructivelungdisease(OLD)
dankombinasikeduanyadapatmempersulitdiagnosadanpengobatan.

Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan
menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan
penyakittulangtermasukkiphoskoliosis,infeksiparudancongestiveheartfailure.
Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk atau
kesukaranbernafasdalam.EvaluasidinipadapasienRLDadalahobservasipola
pernafasan. Pasienpasien ini cenderung memiliki penurunan tidak volum dan
peningkatanrespiratoryratekarenapolabernafasyangkurangbaiksertaperluasan
system noncompliant. Pasien dengan deformitas skeletal, weaknesss, rales dan
ronkhiharusditindakisecarahatihati.Obesitasadalahhalyangpalingpentingyang
dapatmenyebabkanRLDyangberat.Besarnyagejaladantingkattoleransiterhatap
latihandapatmenjadiacuanuntukevaluasipreoperativeyanglebihlanjut.

Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang
dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia interstisial.
Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi penurunan
volumeparudanadanyaobstruksisertarestriktiffisiologis.Padabeberapakasus,
dalambeberapastuditentangfungsiparu,kurvavolumealiranudaradiperlukan
untukmenilaiberattidaknyaRLD(lihatbagan).Totallungcapacitydandiffusing
capacity juga diperlukan. Padabeberapa kasus,nilai ABG preoperative berguna
untuk prognosis postoperative apakah dibutuhkan tambahan ventilator setelah
operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi jantung kanan
preoperative berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan
ventrikel.Komponenreversibleharusdiobatisebelumtindakanpembedahanelektif.

Jikamemungkinkan,pilihlahtekhnikanestesiyangtidakmemerlukansedasiyang
luasatauventilasimekanik.Tekhnikregionaldapatdigunakanjikaototpernafasan
tidakdapatdijamin.Padabeberapakasus,diperlukananestesiumumdanventilasi
mekanis.Monitoringintraoperativedilakukandenganpulseoximeterdanarterial
lineuntukmonitoringtekanandarahdancontohgasdarah.Padakasuskasusyang
berat, adanya hipertensi pulmonal dan ventricular failure dilakukan pemasangan
kateterpadaarteripulmonal(PA)atautransesopharingealecho(TEE)untukmelihat
perubahan pada tekanan arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada
beberapa ruang operasi tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran
ventilasiyangadekuatbagipasiendengancomplianceyangkurang.Jenisventilator
ICUdibutuhkan.Aturventilatoruntukmenurunkantidalvolumedanmeningkatkan
frekwensicompliancepadapasiendengandayacomplianceyangrendah.Tindakan
ini atau tindakan dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol
dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan
hemodinamikyangmembahayakan.Hemodinamikyangmembahayakanbisaterjadi
karenacardiacoutputdantekanandarahmenurunataumenurunnyaventilasi.

Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang
adekuatuntukmempertahankankemampuantubuh.Jikadilakukanintubasitrachea,
perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat
pernafasan(mekanismekompensasipadapasien)danlebihmenguntungkan.Jika
pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal, serta
pulmonarytoiletdannutrisiyangbaik,lakukanventilasinoninfasifsepertitekanan
udarapositifbilevel.

SUMBER

Decision Making in Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. Third edition; By


Louis L. Bready Rhonda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R. Brain Smith; Mosby
Inc. 2000, page 86 105

Obat bius yang digunakan dalam praktik medis memiliki banyak jenis dan
sediaan. Ada yang membuat bagian tubuh matirasa hingga membuat tak
sadar.

Mengapa

obat

bius

dibuat

beraneka

ragam?More...

Ketika mendengar kata obat bius, seringkali pikiran melayang ke tindakan


operasi. Seolah-olah obat bius hanya digunakan ketika seseorang akan
menghadapi vonis operasi. Padahal, obat bius memiliki fungsi lebih luas.
Tak hanya berfungsi untuk membuat orang tak sadar saat dioperasi, pada
tindakan medis lain pun obat bius amat diperlukan. Misalnya saja untuk
mencabut gigi, dimana obat bius digunakan untuk mematirasa area yang akan
dilakukan

pencabutan.

Lalu apa sih sebetulnya obat bius? Menurut dr. Roys A. Pangayoman SpB
FinaCS, spesialis bedah Rumah Sakit Immanuel, Bandung, bius adalah sebuah
tindakan yang diambil dokter untuk meredakan rasa nyeri. Baik yang bersifat
lokal atau hanya mematikan rasa pada area tertentu, hingga yang menidurkan
atau

menghilangkan

kesadaran

seseorang.

Oleh karena kebutuhan untuk meredakan rasa nyeri ini sangat subyektif pada
masing-masing orang, maka obat bius pun diciptakan dengan berbagai cara
kerja

dan

penggunaannya.

Berdasarkan

Sifat

Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun,
secara awam obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi
tiga
A.

golongan

yaitu

anestesi
Anestesi

lokal,

regional,

dan

umum.
Lokal

Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya,
perawatan kecantikan seperti sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan
sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi geraham terakhir atau gigi

berlubang, mengangkat mata ikan, hingga merawat luka terbuka yang disertai
tindakan

penjahitan.

Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara


kerjanya hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan
tindakan.
Caranya, menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan
dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja
memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak
mengirimkan

impuls

nyeri

ke

otak.

Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya
mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila
lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan

tanpa

B.

rasa

nyeri.

Anestesi

Regional

Anestesi jenis ini biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang
lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus
Caranya

buntu,

operasi

dengan

menginjeksikan

pada

lengan

obat-obatan

bius

dan
pada

tungkai.

bagian

utama

pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam
tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf
di

area

itu.

Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada

kasus

bedah,

bisa

membuat

mati

rasa

dari

perut

ke

bawah.

Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau
otak, maka pasien yang sudah di anestesi lokal masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walau tak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
C.

Anestesi

Umum

Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaan lebih panjang. Misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan
batu

empedu,

bedah

rekonstruksi

tulang,

dan

lainnya.

Caranya, memasukkan obat-obatan bius baik secara inhalasi (pernafasan)


maupun intravena (pembuluh darah vena) beberapa menit sebelum pasien
dioperasi. Obat-obatan ini akan bekerja menghambat hantaran listrik ke otak
sehingga sel otak tak bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di
area tubuh manapun, dan membuat pasien dalam kondisi tak sadar (loss of
consciousness).
Cara kerjanya, selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran,
dan

membuat

amnesia,

juga

merelaksasi

seluruh

otot.

Maka,

selama

penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung
untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi

dilakukan.

Sesuai

Cara

Penggunaan

Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara
penggunaan yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan
saja, tetapi juga dihirup melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan
anestesi
A.

ini

di
Melalui

antaranya:
Pernafasan

Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat

dimasukkan

melalui

pernafasan

atau

secara

inhalasi.

Gas-gas

ini

mempengaruhi kerja susunan saraf pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru
sehingga

bersama-sama

menciptakan

kondisi

tak

sadar

pada

pasien.

Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar
yang belum diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga,
perlu dipastikan pasien tetap dalam kondisi tak sadar selama operasi
dilakukan.
B.

Iinjeksi

Intravena

Sedangkan obat ketamine, thiopetal, opioids (fentanyl, sufentanil) dan propofol


adalah obat-obatan yang biasanya dimasukkan ke aliran vena. Obat-obatan ini
menimbulkan efek menghilangkan nyeri, mematikan rasa secara menyeluruh,
dan membuat depresi pernafasan sehingga membuat pasien tak sadarkan diri.
Masa bekerjanya cukup lama dan akan ditambahkan bila ternyata lamanya
operasi

perlu

C.

Injeksi

ditambah.

Pada

Spinal/

Epidural

Obat-obatan jenis iodocaine dan bupivacaine yang sifatnya lokal dapat


diinjeksikan dalam ruang spinal (rongga tulang belakang) maupun epidural
untuk menghasilkan efek mati rasa pada paruh tubuh tertentu. Misalnya, dari
pusat

ke

bawah.

Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural,
injeksi

dapat

dipertahankan

dengan

meninggalkan

selang

kecil

untuk

menambah obat anestesi jika diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedang


pada spinal membutuhkan jarum lebih panjang dan hanya bisa dilakukan
dalam
D.

sekali

injeksi

untuk

sekitar

Injeksi

jam

ke

depan.
Lokal

Iodocaine dan bupivacaine juga dapat di injeksi di bawah lapisan kulit untuk
menghasilkan efek mati rasa di area lokal. Dengan cara kerja memblokade

impuls saraf dan sensasi nyeri dari saraf tepi sehingga kulit akan terasa kebas
dan

mati

Risiko

&

Efek

rasa.
Samping

Obat

Bius

Menggunakan obat bius memang sudah merupakan kebutuhan untuk tindakan


medis tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, anestesi juga memiliki
risiko tersendiri. Bius lokal, efek samping biasanya merupakan reaksi alergi.
Namun, pada anestesi regional dan umum, Roys menggolongkan efek samping
berdasarkan

tingkat

1.

kejadian.

Cukup

Sering

Dengan angka kejadian 1 : 100 pasien, prosedur anestesi dapat menyebabkan


risiko efek samping berupa mual, muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan,
pusing, penglihatan kabur, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, nyeri
kepala, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan
sementara.
2.

Jarang

Pada angka kejadian 1 : 1000 pasien, anestesi dapat berisiko menyebabkan


infeksi dada, beser atau sulit kencing, nyeri otot, cedera pada gigi, bibir, dan
lidah,

perubahan

3.

mood

atau

perilaku,

dan

Sangat

mimpi

buruk.
Jarang

Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 10.000/ 200.000
pasien, diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius,
cedera

saraf,

kelumpuhan,

dan

kematian.

Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti
cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan. Atau, pada kasus infeksi dada
disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung
lebih
Resistensi

serius.
Bius

Ketika dilakukan anestesi, terkadang dapat terjadi seseorang tak mendapatkan


efek bius seperti yang diharapkan. Atau, yang kerap disebut resisten terhadap
obat bius. Beberapa kondisi yang bisa menyebabkan seseorang resisten

terhadap

obat

1.
2.

bius

di

antaranya:

Pecandu
Pengguna

obat

3.

psikotropika

alkohol

seperti

Pengguna

morfin,

ekstasi

obat

dan

lainnya
anelgesik

Pada orang-orang tadi telah terjadi peningkatan ambang rangsang terhadap


obat bius yang disebabkan efek bahan yang dikonsumsi dan masih beredar
dalam
Agar

tubuhnya.
Obat

Bius

Optimal

&

Aman

Untuk menghindari terjadinya efek samping dan resistensi terhadap obat bius,
sebaiknya pasien benar-benar memastikan kondisi tubuhnya cukup baik untuk
menerima

anestesi.

1. Menghentikan penggunaan obat anelgetik, paling tidak 1-2 hari sebelum


dilakukan

prosedur

anestesi.

2. Menghentikan konsumsi obat-obatan yang berefek pada saraf pusat seperti


morfin, barbiturat, amfetamin dan lainnya, paling tidak 1-3 hari sebelum
anestesi

dilakukan.

3. Berhenti mengonsumsi alkohol paling tidak 2 minggu sebelum penggunaan


anestesi,
4. Berhenti merokok setidaknya 2 minggu sebelum anestesi dilakukan.
sumber : www.tabloidnova.com
Anesthesi merupakan penurunan mekanisme neurology yang membawa
informasi sensori. Disebut local anesthesia jika terjadi penurunan sensasi dari
sebagian tubuh saja. Jika menurun semua sensasi disebut sebagai general.
General anesthesi adalah induksi yang menyebabkan hilangnya kesadaran,
dengan hilangnya sensasi nyeri di seluruh tubuh dengan pemberian obat-obat
anesthesia. Anesthesia digunakan pada orang-orang yang akan dilakukan
pembedahan dengan menghilangkan atau tanpa rasa nyeri yang hebat. Kata
anesthesia di cetuskan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes Sr. tahun
1846.

General

Anesthesia

1.
2.

mempunyai

pain
blocking

tujuan

termasuk

relief
memory

3.

(analgesia)

procedure

(amnesia

producing

unconsciousness

4. inhibiting normal body reflexes to make surgery safe and easier to perform.
5.

relaxing

the

muscle

of

body.

Agent yang digunakan untuk general anesthesia dapat berupa gas atau cairan
volatile yang disebut sebagai vaporizer, dan inhalasi dengan oksigen atau
pemberian

obat-obatan

intravena..

Kombinasi

pemberian

gas

anesthesi

inhalasi dengan obat-obat intravena yang biasanya digunakan selama general


anesthesia biasa disebut dengan balance anesthesia dan ini digunakan karena
memberikan

keuntungan

anesthesia

untuk

yang

mencapai

efeknya

bermanfaat

anesthesia

pada

selama

setiap

agent

pembedahan.

Pada tahun 1874 oleh Claude Bernard mengatakan bahwa terjadinya nyeri atau
ketidaknyamanan
menggabungkan

akibat
bahwa

anesthesia

yang

digunakannya

kurang

muscle

dalam.

relaxan

Penelitian

sebagai

ini

balance

anesthesia. Claude Bernard menemukan bahwa neuromuscular junction


merupakan

tempat

aksi

dari

curare

atau

site

of

action

dan

juga

memperkenalakna tehnik anesthesia dengan menggunakan lebih dari 1 agen


anesthesia. Claude Bernard menyatakan bahwa tehnik ini disebut dengan
mixed anesthesia, dan penelitiannya juga Claude Bernard meleporkan bahwa
morphin menurunkan jumlah dan durasi kloroform yang diperlukan selama
anesthesia.

Balance anesthesia digunakan juga untuk meminimalkan risiko pasien dan


memaksimalkan keamanan dan kenyamanan pasien. Secara umum balance
anesthesia

memberikan

ketenangan

pada

pasien

dengan

mengurangi

nyeri,dan mengurangi efek potensial yang merugikan yang berhubungan


dengan analgesic dan agent anesthesia. Ketenangan pasien sangat penting
untuk memudahkan memegang pasien dan mengurangi jumlah stress yang
terjadi pada pasien. Kita tahu bahwa stress dapat menyebabkan terjadinya :
tachicardi, tachipnoe, hipertensi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

releasenya katekolamin. Hal ini dapat menyebabkan pasien mengalami hal-hal


yang tidak diinginkan pada saat dilakukan anesthesia. Stress dan kecemasan
menambah terjadinya proses noiceptif pain. Beberapa contoh obat-obatan
yang digunakan untuk menenangkan pasien seperti: acepromazine, diazepam
atau midazolam, dan medetomidine. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
elektif dan terjadinya trauma. Pada semua orang khususnya anak-anak nyeri
dapat

diperlihatkan

dengan

terjadinya

keterlambatan

penyembuhan,penurunan nafsu makan dan mencetuskan kematian. Jalan


terbaik menghentikan nyeri adalah dengan menghentikan sebelum nyeri itu
dimulai. Pemberian analgesic secara tepat dapat membantu memberikan
kenyamanan dan dapat menurunkan dosis yang besar yang diperlukan dengan
inhalasi anesthesia. Sebagai contohnya pemberian opioid (seperti morphin,
buprenorphin,
(

seperti

caprofen,meloxicam,

bupivacain);
Semua

butherphenol
dan

obat-obatan

dan

fentanyl);

ketoprofen);

NDMA

receptor

mempengaruhi

pasien.

local

NSAID

anesthesia

antagonis
Beberapa

(lidocain,
(ketamin).

memberikan

efek

negative yang besar seperti agen inhalasi pada anesthesia. Jalan terbaiknya
adalah dengan protocol balanced yang diputuskan secara individual pada
pasien

dan

prosedur

yang

digunakan

dengan

merencanakan

tindakan

anesthesia yang akan digunakan. Hampir semua pasien membutuhkan


premedikasi dengan analgesic transquiliser. Pemilihan agen induksi secara
tepat yang digunakan untuk induksi anesthesia secara cepat dan intubasi
secara cepat. Kemudian maintenance dapat diberikan dengan inhalasi agent.
Maintenace juga dapat diberikan dengan obat lain CRIs seperti propofol. 3
Balance anesthesia adalah proses dinamis yang mengabungkan berbagai agen
anesthesia dalam proporsi yang optimal untuk menghasilkan 6 tujuan
anesthesia
1.
2.
3.
4.

yaitu

anesthesia-hypnosis,

loss

analgesia

amnesia
areflexia

of

consciousness

pain
loss
muscle

control
of

recall

relaxasi

5. autonomic arefleksia- dengan menurunkan fungsi system saraf simpatik

6.

anxiolisis-

pre

op

dan

intraoperatif

Pada saat ini belum ada satupun agen anesthesia yang secara tunggal mampu
menghasilkan

ke

tujuan

tersebut.

Balanced anesthesia adalah penggunaan kombinasi obat dengan efek spesifik


masing-masing untuk mencapai analgesia, relaksasi otot, unconsciousness,
amnesia. Balanced anesthesia biasanya menggunakan agen berikut ini:
1. Preoperative medication, memakai anticholinergik yang menurunkan sekresi
untuk mempermudah intubasi dan mencegah bradikardi karena depresi neural.
2. Sedative-hypnotics untuk merelaksikan pasien, memfasilitasi amnesia, dan
mengurangi
3.

stimulasi

Antihistamine

4.

Narkotik

untuk

mengurangi

untuk

menghasilkan

simpatis
reaksi

alergi

analgesia

dan
dan

sekresi
sedasi

5. Antiemetik untuk mengurangi nausea dan vomiting karena depresi GI


Obat tersebut diberikan sebelum anestesi untuk memfasilitasi proses, dan
beberapa obat diberikan selama pembedahan untuk efek terapi dengan doses
lebih rendah. Misalnya, pasien bisa diberi pelumpuh otot dan anestesi
intravena kerja cepat untuk menginduksi anestesia dan diberikan gas anestesi
untuk membalance selama prosedur pembedahan dan untuk menghasilkan
recovery

yang

cepat.2

Pada tahun 1926 John S. Lundy memperkenalkan terminologi balanced


anestesia yang merupakan kombinasi regional analgesia dan anestesi umum
dengan beberapa agent anestesi sehingga nyeri bisa dihilangkan dengan
balance beberapa agent atau teknik. Sebelumnya konsep balanced anestesi
telah diperkenalkan oleh George Washington Crile yang menyatakan bahwa
stimulasi

fisik

dapat

dihilangkan

dengan

light

general

anaesthesia.5

Kerugian balanced anaesthesia adalah resiko PONV yang meningkat. Walaupun


faktor

lain

misalnya

faktor

pembedahan

dan

penggunaan

opioid

bisa

menyebabkan PONV, agen anestesi inhalasi juga berkontribusi terhadap


kejadian PONV. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa biaya intraoperative
balanced anesthesia lebih murah dibanding dengan TIVA, tapi perbedaan ini
sangat sulit diukur karena banyak faktor yang bisa mempengaruhi biaya
misalnya variasi obat yang digunakan, waktu recovery dan efek sampingnya.6

Dari hasil studi dikatakan bahwa hanya ada defisit postoperative minor pada
fungsi psikomotor pada pasien geriatri 2 jam setelah general anesthesia selesai
dengan

TIVA

( remifentanyl dan propofol) atau balanced anesthesia (fentanyl dan isoflurane)


pada operasi katarak dan tidak ada disfungsi psikomotor yang ditemukan 1 hari
setelah general anesthesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rekoveri
fungsi

psikomotor

lebih

cepat

TIVA

dengan

remifentanil

dan

propofol

dibandingkan dengan balanced anesthesia dengan fentanyl dan isoflurane.7


Pembedahan

pada

Pasien

Obstetri

Pembedahan yang dilakukan pada saat kehamilan sekitar 2,2% (angka ini
mungkin masih kurang karena terdapat sejumlah wanita yang menjalani
pembedahan dan belum terdeteksi kehamilan) seharusnya memberikan
jaminan keamanan secara simultan pada ibu dan janinnya, secara personal
penatalaksanaan anestesi yang dilakukan harus selalu memahami perubahan
anatomis dan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan dan tahap
perkembangan

janinnya,

serta

sensitivitas

obat

anestesi

terhadap

perkembangan fetus 6. Pembedahan yang dilakukan biasanya bersifat darurat


seperti torsi, rupture, perdarahan kista ovarium, appendicitis akut, trauma,
kholesistektom dan lain-lain atau apabila diperlukan demi kelangsungan
kehamilan
inkompeten

atau

kelancaran
(Shirodkar

persalinan
and

seperti

pembedahan

Mc.Donald

serviks,
procedur).

Terdapat beberapa faktor yang merupakan masalah yang harus dipahami oleh
ahli anestesi dalam melakukan penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil 7 :
1. Adanya perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil yang akan
berpengaruh

terhadap

obat

dan

teknik

anestesi.

2. Pengaruh langsung dan tidak langsung pada janin dan kelangsungan


kehamilan.
3. Upaya pencegahan kelahiran bayi premature atau abortus spontan

PERUBAHAN

FISIOLOGIS

SELAMA

KEHAMILAN

7,8,9

Perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil sebagai akibat adanya
peningkatan aktivitas hormonal (progesteron, estrogen, dan beta-endorphin),
metabolic (pertumbuhan hasil konsepsi) dan mekanik (rahim gravid, perubahan
vaskuler

dan

mammae).

Perubahan
1.

Respiratorik
Edema

mukosa

jalan

napas

Akumulasi cairan ekstraseluler menghasilkan edema jaringan lunak selama


kehamilan terutama pada jalan napas atas. Edema laryng dapat mengurangi
ukuran aperture glottis, menyebabkan sulit intubasi. Ukuran pipa endotrakheal
yang
2.

lebih

kecil

Penurunan

Functional

harus

di

sediakan.

Residual

Capacity

(FRC)

FRC menurun 40% pada saat aterm . Closing Capacity (CC) tidak berubah. Pada
posisi supine, FRC semakin turun, CC bias melebihi FRC sehingga terjadi
penutupan saluran nafas lebih kecil, yang akan meningkatkan shunt dan akan
meningkatkan desaturasi arteri. Selain itu karena FRC merupakan cadangan
oksigen selama periode apneu, maka penurunan FRC dapat menyebabkan
hipoksemia yang lebih cepat, seperti pada saat induksi anestesi. Konsumsi 02
menigkat 20% maka pada saat intubasi rentan terjadi desaturasi. Hal ini dapat
diatasi dengan preoksigenasi pada wanita hamil minimal 4 menit dan
denitrogenisasi

dengan

Facemask

yang

ketat

3.

selama

induksi.
Ventilasi

Peningkatan volume semenit muncul paa akhir trimester 1. Pada saat aterm
volume semenit muncul pada akhir trimester 1. Pada saat aterm volume
semenit meningkat 50%, karena peningkatan tidal volume (40%) dan frekuensi
napas 15%. Hal ini diduga akibat pengaruh progesterone yang meningkatkan
respon ventilasi terhadap CO2. PCO2 biasanya menurun sekitar 32 mmHg
akibat peningkatan ventilasi dibanding produksi CO2. Ekskresi bikarbonat di
ginjal akan meningkat dalam usaha mengkompensasi hipokarbia dan pH
meningkat
Implikasi

sedikit

sekitar

7,42-7,44.
Anestesi

- Pasien cenderung mudah sekali mengalami hipoksemia terutama bila timbul

apneu.
-

Pre

oksigenasi

Induksi

atau

mutlak

diperlukan

pemulihan

pada

saat
ibu

mulai

hamil

induksi

anestesi.

berlangsung

cepat.

- Gunakan pipa (ET) 0,5 1 kali nomor lebih kecil dan intubasi jangan lewat
nasal.
Perubahan

Karchovaskuler

1. Volume darah meningkat, volume plasma lebih meningkat dibandingkan sel


darah

sehingga

terjadi

anemia

delusional

relative.

2. Volume sekuncup meningkat sekitar 30% dan denyut nadi sekitar 15%
menyebabkan 40% peningkatan curah jantung. Curah jantung meningkat
mendadak pada masa post partum mencapai 80-100% diatas angka sebelum
melahirkan.
3. Mendekati aterm, uterus membesar akan membendung aorta dan vena cava
pada saat pasien tidur terlentang, menimbulkan suatu sindroma aortocaval.
4. Faktor pembekuan terutama factor VII,VIII, X, dan fibrinogen meningkat
setelah

trimester

pertama.

Implikasi

Anestesi:

- Curah jantung dan status volume harus dipertahankan agar UBF berada
dalam

batas

normal.

- Untuk menghindari/mencegah hipotensi maka posisi pasien sebaiknya miring


lateral
Perubahan

kiri

(left
Sistem

lateral

decubitus)

Saraf

Pusat

1. Minimal Alveolar Concentration (MAC) untuk anestesi inhalasi menurun


diatas 40% selama kehamilan. Penyebabnya tidak jelas tetapi mungkin
berhubungan dengan hormone atau perubahan opioid endogen selama
kehamilan.
2. Adanya peningkatan tekanan intraabdominal menyebabkan stasis pada vena
epidural, sehingga mudah terjadi bloody tap pada pemasangan kateter
epidural
Perubahan

Sistem

Gastrointestinal

Uterus Gravid menyebabkan pergeseran posisi perut, menyebabkan gastric


reflux dan heartburn pada 45-70% pasien. Pengosongan lambung dan

penurunan tonus sphincter akan menjadi lambat sehingga resiko aspirasi lebih
tinggi

dikarenakan

perubahan

system

hormonal

dan

faktor

mekanik.

Peningkatan progesterone berdampak terjadi penurunan tonus sfingter bawah


esophagus sehingga mudah terjadi regurgitasi dan heart bum dan motilitas
usus menurun bersamaan dengan menurunnya motilin (hormone peptide yang
dapat menstimuli otot usus halus). pH asam lambung 50% dibawah 2,5
produksi asam lambung gastrin suatu hormone yang diproduksi oleh fetus dan
plasenta sehingga akan meningkat pula pada trimester kedua dan tiga. Terjadi
penurunan cholinesterase

plasma (yang diproduksi

oleh hepar) secara

bermakna pada trimester 1 dan berlanjut pada saat melahirkan. Aktifitas


cholinesterase

terendah

pada

saat

24

jam

setelah

Implikasi

melahirkan.
anestesi:

- Menekan resiko muntah dan aspirasi sebaiknya 1 jam sebelum induksi


diberikan

antasida,

H2

bloker

dan

atau

metoklopramide.

- Induksi dan intubasi dilakukan cepat dan halus (smooth) dan dilakukan
penekanan
-

Premedikasi

pada

os

cricoid

dengan

atropine

untuk

(Sellick's

meningkatkan

tonus

cardioesofageal
-

otot

polos

junction.

Menghindari
Mecegah

maneuver).

tekanan

fasikulasi

dengan

positif

pelumpuh

otot

berlebihan.
non

Perubahan

depolarisasi
Ginjal

Laju filtrasi glomerulus akan meningkat sampai 50% menyebabkan kreatinin


klirens meningkat dan selanjutnya menurunkan BUN serta kadar kreatinin
darah.
Ureter mengalami kompresi sehingga menyebabkan stasis aliran urine
Implikasi

anestesi:

- Kadar kreatinin, asam urat, dan urea-N lebih rendah dari kadar pada wanita
normal.
- Tubuh cenderung menahan air dibanding natrium pada trimester ketiga
sehingga
PENGARUH
Efek

menyebabkan

timbulnya

ANESTESI
Teratogenik

udema
PADA

diakhir

kehamilan.
KEHAMIILAN
(Langsung)

Beberapa

faktor

yang

menyebabkan

1. Suatu obat atau alat anestesi menimbulkan efek teratogenik ditentukan


oleh:
a.

saat

b.
c.

tepat

(timing)

kepekaan
ambang

d.

dari

individu
dan

jumlah

kelaziman

pemberian
terhadap

obat

yang

diberikan

obat

kejadian

obat

cacat

bawaan

2. Kesulitan dalam merancang model penelitian karena seringkali yang


dilakukan dalam klinis berbeda dengan metode yang biasa dilakukan pada
percobaan

binatang.

3. Faktor social dan medis seringkali merupakan variabel yang sulit diukur
4. Pada percobaan binatang ternyata hasilnya sering berbeda diantara spesiesspesies

dan

juga

didalam

spesies

itu

sendiri.

5. Hasil yang didapat pada percobaan binatang belum tentu sama seperti pada
manusia.
Meskipun demikian terdapat beberapa hal hasil penelitian yang patut
diperhatikan sebagai pertimbangan dalam pemberian anestesi antara lain
6,7,9.
Proses Organogenesis pada manusia berlangsung pada usia kehamilan 15-56
hari (sejak konsepsi) dan lengkap pada minggu ke 13. Periode ini merupakan
periode

kritis

untuk

timbulnya

cacat

kehamilan.

1. Penelitian MAZZE dkk tahun 1986 menyimpulkan bahwa halothan, isofluran


dan enfluran tidak terbukti dapat menimbulkan malformasi congenital pada
tikus. Demikian pula penelitian Friedman tahun 1988 menyebutkan bahwa
opioid

(morfin,

fentanyl,

sufentanyl,alfentanyl),

obat

induksi

(penthotal,

metoheksital,etomidat dan ketamin ) dan obat anestesi inhalasi dosis MAC


0,75% (halothane, isofluran, enfluran) tidak menimbulkan efek teratogenik.
Namun ada laporan bahwa kokain dapat menyebabkan abortus sponatan,
kelambatan pertumbuhan, mikrosefali, gangguan tingkah laku, cacat urogenital
dan

gastroschisis.

2. Dalam suatu penelitian restrospektif telah ditemukan bahwa kelainankelainan berat terjadi pada 12% bayi dan ibu yang terpapar meprobamat dan

11% yang terpapar chlordiazepoksid dibanding 2,6% pada control. Demikian


pula penelitian terhadap diazepam telah menunjukkan peningkatan sampai 4
kali

lipat

kasus

bibir

sumbing

dengan

atau

tanpa

palatoschisis.

3. Agen-agen hipertensi yang menghambat enzim pengubah angiotensin (ACEINH) menimbulkan keterlambatan pertumbuhan, disfungsi ginjal, kematian
janin dan oligihidramnion. Aspirin juga cukup berbahaya terhadap janin yang
sedang

berkembang

bila

diminum

dalam

dosis

besar.

4. Percobaan telah berulang kali memperlihatkan bahwa kortison yang


disuntikan kepada mencit dan kelinci pada tingkat kehamilan tertentu dapat
menyebabkan

palatoschisis.

5. N2O dapat menimbulkan efek teratogenik pada binatang lebih disebabkan


karena mempunyai efek menurunkan aliran darah ke rahim (UBF) daripada
sebagai akibat penekanan aktivitas vitamin B12 suatu koenzim dari mehionin
synthetase'

yang

berperan

dalam

pembentukan

DNA.

Beberapa pakar menyarankan untuk tidak menggunakan N2O pada anestesi


ibu hamil trimester pertama dan kedua; namun penelitian lainnya menemukan
hasil bahwa pemberian N2O 60-70% selama lebih dari empat jam tidak
mempengaruhi kadar Methionin dalam plasma sehingga menguatkan kesan
bahwa pemberian N2O pada ibu hamil muda tidak akan menimbulkan efek
buruk pada janin. Jadi walaupun N2O menyebabkan efek teratogenik pada
binatang (untuk suatu keadaan tertentu) ternyata efek teratogenik pada
manusia sulit untuk dibuktikan . Demikian pula pemberian asam folat sebagai
upaya pencegahan pada pasien yang akan diberikan N2O tidak jelas
manfaatnya

7.

Tabel 7.1 FDA kategori Resiko janin pada pemakaian agent therapeutic6.
Kategori A: dengan penelitian Studi kontrol menunjukkan tidak ada resiko untuk
fetus selama trimester pertama dan trimester selanjutnya. Resiko terkontrol
(Contohnya:

air)

Kategori B : dengan penelitian pada binatang menunjukkan tidak ada resiko


pada fetus, namun belum ada control studi pada manusia. Tidak terdapat bukti
kejadian

setelah

trimester

1.

Kategori C: Terjadi resiko fetus pada binatang (terattogenik dan embriocydal)

namun belum terdapat control studi pada manusia, atau belum terdapat data
pada

hewan

atau

manusia

untuk

agent

tersebut.

Kategori D : Terdapat bukti terjadinya resiko fetus pada manusia. Namun


keuntungan pemakaian obat ini sudah diterima meski terdapat resiko. (contoh:
Diazepam)
Kategori X : Agent dalam klas ini dikontraindikasi pada ibu hamil oleh karena
berdasar penelitian pada hewan mupun manusia menunjukan efek teratogenik
atau

terdapat

resiko

pada

fetus.

(Contoh

Thalidomide)

Obat-Obatan anestesi telah diklasifikasikan berdasarkan kategori diatas; agent


induksi yang masuk golongan B adalah methohexital dan propofol, sementara
ketamin, thiopental, dan etomidate masuk kategori C. Untuk golongan agent
inhalasi yang poten Enflurane, Desflurane, sevoflurane masuk kategori B
sementara halothane dan isoflurane masuk kategori C. Pada Pemakaian
Halothane penelitian tikus dengan pemakaian 1 MAC dalam 25% oksigen
selama 12 jam tahap organogenesis maka akan berakibat terjadi kelainan
skeletal, eksposure lebih pendek (1 Jam) pada kelinci hanya sedikit efek
terhadap

outcome

kehamilannya.

Eksposure

lama

dengan

konsentrasi

subanestetik akan berakibat pertumbuhan retardasi tanpa anomaly. Belum ada


penelitian

adekuat

pada

manusia

Lokal

6.
Anestesi6

1. Local anestesi mungkin dapat berefek langsung neurotoksis, namun


sebagian besar data menganjurkan oleh karena pemakaian agent ini sedikit
sekali pengaruhnya terhadap embryo maupun aksi toksis pada fetus.
2. Prokaine, lidocaine, dan tetracaine dapat berpengaruh pada embryo awal
ayam dan lidocaine dapat mempengaruhi penutupan neural tube pada embrio
tikus.
3.

Bagaimanapun

teratogenik

pada

juga

tidak

ada

pemakaian

data

local

ditemukan
anestesi

yang

pada

menimbulkan
hewan

intak.

4. 2 chlorprocaine dan tetracaine (categori C) : tidak didapatkan pada hewan


intak

dan

data

pada

manusia

sangat

sedikit.

5. Bupivacaine (masuk kategori C) Terdapat data : pemakaian 5-9 kali maksimal


klinikal dose akan meningkatkan hilangnya fetus dan embryo pada tikus dan
kelinci, tidak terdapat bukti teratogenik. Data pada manusia sangat sedikit.
6. Informasi terkini dengan adanya ropivakaine yang memiliki sedikit efek
teratogenik pada tikus dan kelinci meski pemakaiannya digunakan 5 kali dosis
maksimal

yang

direkomendasikan.

Ropivacaine

ini

dikategorikan

FETAL

OXYGEN

Fetal Oksigen Delivery (FOD) tergantung kandungan oksigen arteri uterine,


PaO2 ibu, Hb, vdan saturasi dan uterine blood flow (UBF). Peningkatan kecil
PaO2 karena hiperventilasi tidak begitu berpengaruh pada kandungan oksigen
karena saturasi Hb ibu hanya sedikit berubah. Pada ibu yang anemis akan
mengurangi kandungan oksigen secara bermakna, maka pada wanita hamil
yang sakit kritis akan lebih bergantung pada curah jantung untuk menjaga
FOD.
Haemoglobin janin mempunyai afinitas besar terhadap oksigen dibandingkan
hemoglobin maternal, memungkinkan metabolisme aerobic dalam kondisi
relative hipoksik. Redistribusi laju aliran darah janin ke organ vital, penurunan
konsumsi oksigen sebagai respon terhadap stress hipoksia, dan kemampuan
beberapa jaringan tertentu pada metabolisme anaerob merupakan upaya
menjaga

kandungan

TRANSPORT

oksigen

OBAT

fetus

MELALUI

6.
PLASENTA

Transport obat anestesi terjadi secara pasif sebagaimanan telah digambarkan


oleh hukum difusi Fick. Beberapa factor yang meningkatkan difusi cepat
adalah:
1. Berat Molekul rendah (BM<600 Dalton). 2. Tingginya solubilitas lemak 3.
Derajat ionisasi yang rendah (lebih banyak bentuk non-ion pada pH fisiologis
akan lebih mudah berdifusi) 4. ikatan dengan protein rendah Obat sedasi,
analgesia atau anestesi banyak yang berat molekulnya rendah, mudah larut
lemak,

relative

tak

terionisasi,

dan

sedikit

ikatan

dengan

protein,

mempermudah masuknya obat lewat plasenta. Obat pelumpuh otot relative

larut dalam air dan terionisasi, berat molekulnya tinggi sehingga cenderung
tidak melewati plasenta. Selama trimester pertama kehamilan obat anestesi
dapat mengakibatkan teratogenesis (malformasi congenital), resiko tertinggi
pada usia kehamilan pada minggu ke -3 sampai dengan minggu ke -11. Pada
trimester

kedua

dan

ketiga

masa

kehamilan

obat

anestesi

dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungsional janin, disamping


itu juga dapat bersifat toksis terhadap jaringan janin yang akan mengakibatkan
abortus atau kelahiran premature. Obat anestesi yang digunakan sebelum
ataupun selama kehamilan dapat menimbulkan efek samping bagi bayi
maupun proses persalinannya sendiri 6. Sampai dengan awal th 1940 dugaan
penyebab cacat congenital terutama disebabkan karena faktor keturunan.
Selanjutnya didapatkan adanya pengaruh penyakit campak jerman pada
kehamilan oleh Gregg, hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lingkungan yang
mempengaruhinya.

Lenz

mendapatkan

kelainan

cacat

tungkai

karena

pengaruh obat thalidomide pada th 1961. Sejak saat itu mulai diketahui bahwa
beberapa obat dapat berpengaruh buruk pada kehamilan yang dikenal dengan
teratogen. Kerentanaan terhadap teratogen berbeda-beda menurut stadium
perkembangan saat paparan. Masa yang paling sensitive timbulnya cacat lahir
adalah masa kehamilan minggu ke 38 yaitu pada saat embryogenesis.
Palatoschisis dapat terbentuk pada tingkat blastokista ( hari ke 6), masa
gastrulasi (hari ke 14), pada tingkat tunas tungkai dini (minggu 5) atau ketika
bilah palatum sedang terbentuk (minggu 7). Meski banyak kelainan dapat
terjadi pada saat embryogenesis namun cacat dapat terjadi sebelum atau
setelah waktu ini, tidak ada satu waktu yang lebih aman sehingga perlu
pembatasan pemberian obat-obatan anestesi baik jenis, maupun dosisnya
karena manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis, saat
pemberian dan lama paparan terhadap suatu obat teratogen 6 Pengaruh (tidak
langsung) terhadap kehamilan Kehidupan janin di dalam rahim sangat
bergantung ke pada kelancaran dan kecukupan perfusi rahim atau sirkulasi
uteroplasenta dan pasento fetal. Sirkulasi uteroplasental dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya tekanan darah (ibu), hiperventilasi hebat, rasa sakit,
dan lain-lain. Tekanan darah ibu hamil dapat akibat kompressi aortocaval,

perdarahan atau tindakan anestesi regional (sepinal, epidural) keadaan


hipoksia, hiperkarbia, dan kontraksi rahim hebat dapat menurunkan perfusi
rahim. Keadaan demikian cenderung merangsang timbulnya malformasi janin
bahkan kematian janin inutero. Pembedahan atau anestesi pada ibu dengan
kehamilan muda cenderung menimbulkan resiko abrotus spontan 11. UAP:
Uterine Artery Pressure UVP: Uterine Venous Pressure UVR: Uterine Vascular
Resistance UBF berkisar 10% dari Cardiac output (600-700 cc/mnt) pada orang
dewasa

tidak

hamil

sekitar

1%,

maka

terdapat

hal

utama

yang

mempengaruhi UBF yaitu hypotensi, vasokonstriksi, dan kontraksi uterus 7.


Pada penatalaksanaan general anestesi, biasanya dilakukan hiperventilasi
sebelum induksi pada saat ini terjadilah peningkatan tekanan intrathorakal
dengan

konsekuensinya

terjadi

penurunan

tekanan

darah,

terjadi

pula

peningkatan afinitas Hb ibu terhadap oksigen yang akan mengakibatkan


hipoksemia fetus. Thiopental 4 mg/kgBB tidak mempengaruhi otak fetus, pada
dosis 5 mg/kgBB terjadi penurunan tekanan darah akibat depresi miokard
sebesar 10-20%, namun cukup terkompensasi oleh heart rate, sehingga
uertoplasenta tak terganggu. Pada injeksi propofol akan menurunkan stroke
volume dan SVR, sehingga penggunaan pada dosis besar tidak dianjurkan.
Peningkatan tekanan darah pada pemberian ketamine pada dosis <1 mg/kgBB
iv tidak menunjukkan deperesi pada fetus. Pada Regional Anestesi potensial
terjadi hipotensi blok simpatis. Banyak penelitian menunjukkan hipotensi tidak
terjadi pada tehnik epidural tidak mengganggu UBF, gangguan DJJ, maupun
status gas darah fetus. Bahkan terdapat bukti nyata menyebutkan aliran darah
uterus akan meningkat dan memungkinkan terjadinya perbaikan gas darah
fetus pada penatalaksanaan tehnik epidural, lebih ditekankan pada pasienpasien dengan hipertensi. Faktor yang mendasarinya adalah terjadinya efek
penghilangan vasa spasme pada sirkulasi uteroplasenta dan hiperaktifitas
simpatis dengan penurunan kadar k atekolamin plasma 9. Hasil survey
epidemiologis baru-baru ini menunjukkan antara lain 7 : - Pembedahan
abdominal dan ginekologis dengan anestesi umum pada ibu hamil dapat
menggangu kelangsungan kehamilan. - Pasien yang mengalami pembedahan
saat hamil cenderung melahirkan bayi dengan berat badan rendah karena

prematuritas atau gangguan pertumbuhan in utero. Penatalaksanan Anestesi A.


Algoritma 9. 1. Prinsip penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil dibawah 16-20
minggu a. Bila mungkin pembedahan ditangguhkan sampai minimal trimester
kedua. b. Penilaian prabedah agar dilakukan pula oleh dokter specialis
kebidanan. c. Penjelasan(informed consent) prabedah pada pasien dan
keluarganya. d. Berikan antasida untuk pencegahan aspirasi. e. Monitoring dan
pertahankan oksigenasi, normokarbia, normotensi, dan euglikemia. f. Pilih
anestesia regional bila cocok. g. Hindari pemberian N2O konsentrasi tinggi
( konsentrasi ) pada anestesia umum. h. Catat bunyi jantung janin sebelum dan
setelah tindakan. 2. Prinsip penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil diatas 16
minggu a. Penjelasan (informed consent) pra bedah b. Diskusikan pemberian
tokolitik sebagai pencegahan dengan dokter spesialis kebidanan. c. Berikan
obat pencegah aspirasi. d. Pertahankan posisi pasien miring kiri sebelum,
selama dan sesudah pembedahan. e. Monitoring dan pertahankan oksigenasi,
normokorbia, normotensi dan euglikimia. f Gunakan monitoring janin selama
pembedahan (bila mungkin) dan upayakan lingkungan intra uterin secara
optimal . g. Monitor kontraksi rahim paska bedah B. Petunjuk Pelaksanaan
Praktis 1. Tenangkan pasien saat kunjungan prabedah dan berikan sedasi/
premedikasi yang memadai. 2. Hilangkan rasa sakit bila ada. 3. Berikan
antasida 15-30 m1 0,5-1 jam sebelum induksi anestesi. Bila perlu berikan juga
ranitidit dan metoklopramit. 4. Pasien dengan kehamilan lewat trimester
pertama upayakan posisinya agar rahim tidak menekan aortocaval. 5. Hindari
hipotensi pada teknik anestesi regional (sepinal/epidural) dengan memberikan
cairan atau loading secara cepat dan bila perlu segera berikan efedrin. 6.
Lakukan pre-oksigenasi dan denitogenasi saat akan dilakukan induksi anestasi
umum. 7. Antisipasi dan hindari kemungkinan aspirasi saat indusi anestesi
dengan melakukan intubasi cepat sambil os cricoit ditekan. 8. Untuk
mengurangi bahaya pada janin terutama pada kehamilan trimester pertama
sebaiknya dipilih obat-obat yang sudah lama dikenal aman termasuk pentotal,
morfin, petidin, pelemas otot dan N2O dosis rendah. 9. Hindari melakukan
hiperventilasai dan pantau endtidal CO2 atau analisa darah. 10. Denyut
jantung janin harus dimonitor secara berkesinambungan sebelum, selama dan

setelah pembedahan. Demikian juga tonus uterus dimonitor dengan meter


external tocodynamo. 11. Monitoring kontraksi rahim diteruskan sampai
setelah pembedahan dan bila perlu diberikan obat tooklitik (tocolytic agent). C.
Teknis Penatalaksanaan Anestesi 1. Persiapan dan penilaian pra bedah Bila
mungkin pembedahan elektif ditangguhkan sampai trimester kedua atau ketiga
untuk menghindari pengaruh obat anestesi terhadap proses organogenesis.
Saat dilakukan kunjungan prabedah sebaiknya dokter spesialis anestesi dan
pada umumnya sebagian besar pasien mengalami kecemasan dokter spesialis
bedah

memberikan

kemungkinan

penjelasan

terjadinya

pada

gangguan

pasien
pada

dan
janin

keluarganya
atau

tentang

kelangsungan

kehamilannya. Pada umumnya sebagian besar pasien mengalami kecemasan


atau ketakutan, maka selayaknya pasien diberikan pengertian agar tenang dan
tidak takut/cemas. Berikan sedasi dan premedikasi yang memadai, misalnya
opiat atau barbiturat dan anti sialogo (glikopirolat atau sulfas atrpin ). Atasi
segera bila ada keluhan rasa sakit dengan analgetik atau opiat karena rasa
sakit dapat menurunkan perfusi rahim. Untuk mencegah atau menghindari
aspirasi, sekitar 0,5-1 jam sebelum induksi anestesi pasien diberikan 15-30cc
antasida,

histamine-2

receptor

blocking

agent

(ranitidin)

dan

atau

metoklopramid. induksi anestesi dan intubasi dilakukan dengan cepat dan


halus, os cricoid ditekan (sellick's manuvre) dan digunakan pipa endotrakhea
0,5-1 nomor lebih kecil. Pemberian tokolitik sebagai pencegahan atas saran
dari

dokter

spesialis

kebidanan.

Yang

paling

sering

digunakan

adalah

indomethacin suppositoria dibanding dengan magnesium sulfat. Bila usia


kehamilan sudah lewat 24 minggu pasien diinstrusikan tidur miring selama
transportasi

dari

ruagan.

kekamar

bedah

dan

juga

sebaliknya

untuk

menghindari supine hypotensive syndrome akibat penekanan rahim pada vena


cava inferior dan aorta. 2. Selama Pembedahan Pemantauan (monitoring )
pada ibu berupa tekanan darah, oksigenasi (FiO2 dan pulseoksimeter),
pernafasan (sebaiknya dilengkapi dengan end --tidal CO2) dan suhu tubuh.
Hindari hipoglikimia dengan memeriksa secara teratur kadar gula darah
perioperatif. Denyut jantung janin dipantau dengan menggunakan External
Doppler device. Kontraksi uterus dipantau dengan memasang alat yang disebut

tocodynamometer

terutama

pada

kehamilan

muda

(16-20minggu).

3.

Perawatan Pascabedah Di ruang pulih pemantauan fungsi-fungsi organ vital


(hemodinamik, pernafasan, diuresia, suhu dan kesadaran ) terus di lanjutkan.
Demikian juga kontraksi rahim dan denyut jantung janin dipantau dengan ketat
sampai lebih dari 24 jam. Sebaiknya disertakan bidan terlatih untuk memantau
kemungkinan terjadinya abortus spontan portus prematur. Untuk mengatasi
rasa sakit paskabedah dapat diberikan narkotik intra tekal atau Epidural, cara
ini yang paling ideal. Hindari pemakaian obat analgetik golongan NSAID (Non
steroid anti inflammatory ) terutama pada ibu dengan kehamilan di atas 32
minggu karena kekhawatiran duktus menutup. D. Pilihan Jenis /Teknik Anestesi
Tidak ada obat ataupun teknik anestesi khusus yang dianggap paling aman
untuk pembedahan pada ibu hamil daripada sekedar mempertahankan perfusi
jaringan (tekanan darah dan curah jantung) dan oksigenisasi dalam batasbatas normal. Aliran darah ke plasenta menurun pada hipotensi, penggunaan
ventilasi mekanik yang berlebihan, keadaan cemas dan sakit, aktivitas rahim
yang meningkat dan pemberian obat-obat vasokonstriktor. Pilihan Teknik
Anestesi 1. Anetesi Umum (intubasi ) - Semua obat-obat induksi, narkotik,
pelemas otot dan inhalasi diaggap cukup aman, kecuali N2O yang masih
kontroversi. - Induksi dan intubasi harus berlangsung cepat, lancar dan halus
(smooth). - Pertahankan perfusi jaringan dan oksigenasi. 2. Anestesi Regional
(Spinal/Epidural) Bila cocok / mungkin merupakan pilihan yang lebih baik
karena jumlah obat yang digunakan lebih sedikit terutama anestesi spinal.
Cegah hipotensi dengan pemberian cairan cepat (bolus) sebelum tindakan dan
bila perlu berikan eferin. Keuntungan epidural anestesi, sakit paska bedah
mudah ditanggulangi. Balanced Anesthesia pada Obstetri Istilah balanced
anesthesia dicetuskan oleh Lundy pada tahun 1926 dengan memberikan istilah
pemakaian dua atau lebih tehnik anestesi atau obat anestesi yang akan
menghasilkan efek yang spesifik untuk mencapai analgesia, amnesia, relaksasi
otot dan menekan reflek otonomik dengan tetap memelihara mekanisme faal
homeostasis.

Pemakaian

obat

tunggal

dalam

penatalaksanaan

anestesi

memungkinkan diperlukan dosis besar yang dapat mengganggu keseimbangan


hemodinamik. Dengan multimodal, mengkombinasikan dua atau lebih tehnik

anestesia dapat diperoleh trias anestesi dengan terpelihara keseimbangan


hemodinamik, stabilitas otonom dan faal homeostasis 17 . Berdasarkan
Decision Making pelaksanaan anestesi pada ibu hamil ditampilkan dalam
bagan sebagai berikut 18: Perubahan Fisologis Ibu hamil akan lebih beresiko
terjadi aspirasi, hipoksemia, dan hipotensi. Fetus bergantung pada oksigenasi
maternal dan kestabilan kardiovaskuler kehamilannya. Bila akan dilakukan
tindakan operasi pada saat trimester pertama kehamilan maka akan mungkin
terjadi teratogenik oleh karena obat ataupun kelahiran premature . a. Resiko
aspirasi meningkat setelah usia kehamilan 14-15 minggu, maka perlu ET Cuf
digunakan untuk General Endo Tracheal Anesthesia (GETA). Aortocaval
kompresi mungkin dapat berakibat hipotensi dan menurunkan Uteroplacenta
perfusi pertimbangkan posisi miring kiri 15 (Left Uterine Displacement). Lokal
anestesi untuk RA dikurangi 30-40% karena penekanan pembuluh darah
epidural. Agent inhalasi dikurangi 40% MAC karena perubahan respirasi. Hatihati pada obstruksi airway ataupun kesulitan intubasi karena mudah terjadi
hipoksemia, karena kebutuhan O2 meningkat sementara cadangan O2
menurun. b. Cegah terjadinya hipoksia, hipotensi, dan hipovolumia, lebih
penting dibanding tehnik anestesinya. Pelihara PaCO2 pada 33-35torr darn HMT
> 30. Suplai oksigen adekuat. Memonitor Fetus dengan Doppler Fetal Heart
Rate (FHR). Utero Placenta Presure (UPP) akan menurun pada maternal
hipotensi, kompresi aortocaval, hipertonus uterus, obat alfa adrenergic, dan
vasokonstriksi uterus oleh karena katekolamin endogen maupun eksogen.
c. Kerusakan (hipoksia, toksin) selama 14 hari pertama kehamilan akan
membunuh janin. Selama organogenesis (15-60 hari) banyak obat untuk
anestesi dan premedikasi mengakibatkan teratogenik pada hewan. Agent
inhalasi dan N2O menyebabkan kelainan skeletal dan palatal pada tikus.
Pemakaian diazepam dapat mengakibatkan cleft palate pada manusia. Efek
sitotoksik

local

anestesi.

Stress

maternal,

hipoksia,

hiperkarbia,

dan

hipoglikemia mempengaruhi morbiditas fetus. Barbiturate dan narkotik cukup


aman

untuk

janin.

d. Gunakan obat yang terbukti aman (thiopental, muscle relaksan, morphine


dan

meperidine)

dan

dengan

konsentrasi

N2O

rendah

untuk

GETA.

e. Gunakan Regional anestesi pada prosedur pembedahan dan kondisi pasien


yang sesuai. Lakukan pemberian cairan prabeban 1 2 liter dengan larutan
garam seimbang. Hati-hati pada kondisi Full Stomach, LUD, monitor FHR,
Maternal BP, PaO2, dan PCO2. Berikan sodium citrate 0,3 M, 15-30 ml PO dalam
45 menit sebelum induksi. SAB akan memberikan anestesi yang maksimal
dengan

pembatasan

Tehnik

jumlah

obat.

Epidural

Atasi

hipotensi

Anesthesia

dengan

dan

efedrin.
Analgesia

Tehnik epidural digunakan secara luas untuk anestesi dan analgesia pada
pembedahan didaerah thorakal dan abdomen bagian atas dengan hasil
memuaskan. Anestesi epidural thorakal mampu mencegah terjadinya respon
stress akibat stimulasi simpatis dan memberikan kualitas analgesia yang lebih
baik

dibanding

analgesia

Beberapa

keuntungan

Epidural

secara

Thorakal

adalah

intravena
blockade

12.
segmental

(membatasi area blockade, bila dengan pendekatan lumbal untuk operasi


daerah perut atas akan membutuhkan daerah blockade yang cukup luas
dengan segala konsekuensinya), blockade optimal daerah operasi dengan
kebutuhan obat lokal anestesi dapat ditekan. Pemakaian obat local anestesi
guna mendapatkan daerah blockade yang optimal diperlukan 3-5 cc untuk 2
4 segmen V Th. Penyebaran obat local anestesi berdasarkan 12,13,16:
1.
2.

Penyebaran
Melewati

foramen

longitudinal

keatas

dan

kebawah.

intervertebrale

mernblokade

saraf

paravertebral

3. Obat berdifusi melintasi duramater, ruang subarachnoid dan memblokade


akar

saraf

4.

berdifusi

Obat

spinal
melalui

atau
dural

cuf

dorsal
di

sekeliling

root
akar

ganglion.
serabut

saraf

spinal,berdifusi sentripetal ke neuroaksis seanjutnya memblokade saraf spinal


5. Karena daerah epidural kaya pembuluh darah, sebagian obat akan tersebar
secara

sistemik

Perubahan bentuk tulang punggung menyebabkan pilihan anestesi regional


membutuhkan persiapan dan ketrampilan khusus. Keuntungan pemilihan
anestesi dan analgesi epidural pada orang hamil bila dibandingkan anestesi
umum disamping memberikan perdarahan yang lebih sedikit juga memperkecil

pengaruh obat-obatan terhadap bayi, khususnya penghindaran dari pemakaian


N2O sehingga mengurangi terjadinya gangguan terhadap hidup dan kehidupan
janin. Bahkan dengan epidural kontinyu mampu memberikan kontrol nyeri yang
efektif untuk mencegah gangguan pernafasan maupun stimulasi simpatis yang
berpengaruh pada perfusi uteroplasenta. Dibanding dengan blok spinal,
anestesi dan analgesi epidural mempunyai keuntungan pada pengaturan
ketinggian analgesi, resiko terjadinya spinal headache, dan hipotensi lebih
rendah. Adapun kelebihan blok spinal terletak pada kecepatan onset dan
reliabilitasnya

PEMBAHASAN
Penatalaksanaan anestesi untuk pembedahan non obstetric pada ibu hamil
lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan ibu dan janin. Meskipun
penelitian yang sudah ada belum dapat menyatakan efek teratogenik
penggunaan agent anestesi pada manusia namun idealnya bila prosedur
operasi elektif dilakukan setelah 6 minggu post partum, seiring dengan
perubahan fisiologis telah berlalu dan kesehatan janin tidak menjadi masalah.
Bila

memungkinkan

operasi

diundurkan

hingga

trimester

kedua

untuk

mengurangi resiko teratogenik dan aborsi spontan. Sebelum dilakukan operasi


besar dalam kehamilan trimester satu ini seharusnya terjalin kerjasama dengan
perinatologist dan obstetric dalam perawatan perioperatif, diagnosis dan
pengelolaan kemungkinan persalinan premature. Informed consent kepada
keluarga dan pasien perlu dilakukan. Pemberian obat tokolitik sejenis inhibitor
prostlagandin satu jam sebelum operasi, obat anti prostlagandin ini memiliki

efek menekan inisiasi kontraksi myometrium, sementara efek sampingnya


dapat

mempengaruhi

renal

blood

flow

turun,

dan

oligihidramnion.

Tehnik balance anestesi menggunakan regional anestesi : Epidural dan General


Anestesi : Intubasi untuk mendapatkan tujuan trias anestesi dengan tetap
terpelihara kestabilan hemodinamik, stabilitas otonom dan faal homeostasis.
Analgesia yang adekuat tanpa menggunakan agen inhalasi N2O dari epidural
kontinyu

dan

relaksasi

dari

GA.

Pemilihan Tehnik anestesi Epidural diharapkan dapat mengurangi pemakaian


obat sistemik yang mampu melewati sawar plasenta dan kondusif bagi perfusi
uteroplasenta. Pemilihan agent local anestesi yang dinyatakan paling aman
saat

ini

adalah

ropivacaine

masuk

kategori

menurut

FDA.

Pemakaian agent pemeliharaan menggunakan halothane (kategori C) dalam


konsentrasi rendah kurang dari 1 % bukan merupakan pilihan yang ideal, lebih
baik menggunakan enflurane ataupun sevoflurane ataupun prepofol kontinyu
yang sudah masuk kategori B. Kontrol nyeri paska operasi menggunakan
katether epidural sangat efektif, karena penderita dapat nyaman, tidak ada
keterbatasan

dalam

gerak

nafas.

Seharusnya dilakukan monitoring Fetus dan kontraksi uterus saat di ruang


pemulihan untuk mengetahui apakah resiko pajanan agent anestesi telah
mempengaruhi

kehamilan

dan

kondisi

janin

penderita

ini.

KESIMPULAN
1. Dasar penatalaksanaan anestesi ibu hamil pada pembedahan non obstetric
lebih

mengutamakan

keselamatan

ibu

dan

janin

secara

simultan.

2. Berdasarkan hasil penelitian hampir semua cukup aman untuk janin, kecuali
penggunaan N2O yang masih kontroversi, tidak ada obat ataupun tehnik
anestesi spesifik, seharusnya mengusahakan perfusi jaringan dan oksigenasi
dalam
3.

Pemakaian

batas
tehnik

regional

anestesi

normal.
akan

menberikan

keuntungan

pembatasan pemakaian obat secara sistemik sehingga mengurangi pajanan


pada

proses

kehamilan.

4. Komunikasi antar sejawat Obsgyn, Bedah, perinatologist dan anestesi mutlak

diperlukan. Sekaligus Informed Conzent terhadap keluarga dan penderita


mutlak diberikan sehubungan dengan resiko teratogenik dan abortus spontan
yang

mungkin

terjadi.

DAFTAR

PUSTAKA

1. Mainzer, Jacob, JR, Awareness, Muscle Relaxants And Balanced Anaesthesia,


Canadian Anaesthesia Society Journal, vol. 26. No. 5, September 1979.
2. Braden, H, Dr, Anesthesia And Resucsitation, MCCQE 2000 Review Notes and
Lecture Series Dyer, Angela Dr, Balanced Anesthesia, Principious de la
Anestesia

Balanceada,

2003

3. Atkin son R, Rushman G.B, Alfred Lee, A Synopsis of Anaesthesia Book I, 10th
edition,

Asian

Economy,

1988.

4. Joshi,G.P, Barinholth, Which Anesthesia Regimen is Best, 2002, Department


of Anesthesia and Pain Management Unyversity of Texas, Dallas, Texas.

5. Kubitz, J et all, Psychomotor Recovery in Very Old Patients After Total


Intravenous or Balanced Anaesthesia for Cataract Surgery, British Journal of
Anaesthesia,

2001,

Vol.

86,

No.

6. Norris MC, 2000, Handbook of obstetric anesthesia, Philadephia: Lippincott


Williams
7.

&

Kaswiyan,2002,

Willkins,

Penatalaksanaan

p:

Anestesi

pada

153-71.
Ibu

Hamil

untuk

Pembedahan Non Obstetri, dalam ; 4th Indonesian Symposium and Workshop


on Neuroanesthesia,1 th Indonesian Symposium on Obstetric Anesthesia,
Bandung,

2002

8. Wahyuningsih. S., 2002, Anesthesi regional untuk pembedahan Caesar,


dalam; 4th Indonesian Symposium and Workshop on Neuroanesthesia,1 th
Indonesian

Symposium

on

Obstetric

Anesthesia,

Bandung,

2002

9. Bonica J, 1995, Maternal anatomic and physiologic alteration during


pregnancy and parturian, in: Principles and practice of obstetrics analgesia and
anesthesia, edited by Bonica and Mc. Donald, 2nd edition, Pensylvania: William
and

Wilkins,

p.

45-80.

10. Depkes RI, 2000, Informatorium obat nasional Indonesia. Jakarta: PT Fajar
Interpratama,

2001,

hal.

511-30.

11. Morgan GE,Mikhail MS,2002, Clinical Anesthesiology,3rd edition. Lange


Medical

Book.

p.804-818

12. Sadler TW, 1995, Embriologi kedokteran Langman. Alih bahasa: Joko
Suyono,

penyunting:

Suyono,

Jakarta:

EGC,

1997,

hal.

122-43.

13.Heyman HJ, 1996, Anesthesic implications of maternal physiologic changes


during

pregnancy.

In:

Physiologic

and

pharmacologic

changes

during

pregnancy. In :physiologic and pramatologic bases of anesthesia , 3rd edition.


Edited

by

Vincent

Collins.

Willams

and

Willkins,

p:

744-50.

14. Covino BG, Scott DB, Lambert DH, 1985, Handbook of Epidural anesthesia

and

analgesia,

WB

Saunders

15.Covino BG, Scott DB, Lambert DH, 1994, Handbook of spinal anesthesia and
analgesia,

WB

Saunders.

16.Carpenter RL,Liu S, Neal Jm,1995, Epidural Anesthesia and Analgesia : Their


Role in Post Operative Outcome.Review Article.Anesthesiology 82:1474-1506
17. Bailey PL, Egan TD, Stanley TH, 2000, Intravenous opioid anesthetics,
Anesthesia,

4thedition.

Edited

by:

Miller

RD.

New

York:

Churchill

18. Husain FJ, 1987, Nonobstetric surgery in pregnancy, in: Decision making in
anesthesiology, edited by: Breafy LL, Smith RB. Philadepphia: BC Deker Inc,
p:114-5

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-tidak, tanpa dan aesthtos,
persepsi, kemampuan untuk merasa), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes
Sr pada tahun 1846.
Dua kelompok anestesi
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan
anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.
seseorang yang mengonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak
selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri.
Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya
hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Tipe anestesi
Beberapa tipe anestesi adalah:

Pembiusan total hilangnya kesadaran total

Pembiusan lokal hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan


(pada sebagian kecil daerah tubuh).

Pembiusan regional hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari
tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya

Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah
selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.
Anestesiologis dengan empat rangkaian kegiatan
Anestesi dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis
anestesiologi selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien karena
sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya.
Empat rangkaian kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter anestesi adalah:

Mempertahankan jalan napas

Memberi napas bantu

Membantu kompresi jantung bila berhenti

Membantu peredaran darah

Mempertahankan kerja otak pasien.

Sejarah anestesi
Eter ([CH3CH2]2O) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai anestesi dalam
dunia kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang ahli kimia berkebangsaan
Spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275. Lullius menamai eter sweet vitriol. Eter
pertama kali disintesis Valerius Cordus, ilmuwan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian
seorang ilmuwan bernama W.G. Frobenius mengubah nama sweet vitriol menjadi eter
pada tahun 1730. Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-oksida pada
tahun 1777, dan berselang dua tahun dari temuannya itu, Davy menjelaskan kegunaan gas
nitrogen-oksida dalam menghilangkan rasa sakit.
Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen-oksida banyak digunakan untuk pesta
mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut gas tertawa, karena efek dari menghirup
gas ini membuat orang tertawa dan lupa segalanya.
Penggunaan eter atau gas nitrogen-oksida sebagai penghilang sakit dalam dunia kedokteran
sebenarnya sudah dimulai Horace Wells sejak tahun 1844. Sebagai dokter gigi, ia
bereksperimen dengan nitrogen-oksida sebagai penghilang rasa sakit kepada pasiennya saat
dicabut giginya. Sayangnya usahanya mempertontonkan di depan mahasiswa kedokteran
John C. Warren di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Boston gagal, bahkan mendapat
cemoohan. Usahanya diteruskan William Thomas Green Morton.

Morton adalah sesama dokter gigi yang sempat buka praktik bersama Horace Wells pada
tahun 1842. Ia lahir di Charlton, Massachusetts, Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus
1819. Pada usia 17 tahun, ia sudah merantau ke Boston untuk berwirausaha. Beberapa
tahun kemudian mengambil kuliah kedokteran gigi di Baltimore College of Dental Surgery.
Morton meneruskan kuliah di Harvard pada tahun 1844 untuk memperoleh gelar dokter.
Namun karena kesulitan biaya, tidak ia teruskan. Pada tahun yang sama, ia menikah dengan
Elizabeth Whitman dan kembali membuka praktik giginya. Ia berkonsentrasi dalam
membuat dan memasang gigi palsu serta cabut gigi. Suatu pekerjaan yang membutuhkan
cara menghilangkan rasa sakit.
Morton berpikir untuk menggunakan gas nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana
yang dilakukan Wells. Kemudian ia meminta gas nitrogen-oksida kepada Charles Jackson,
seorang ahli kimia ternama di sekolah kedokteran Harvard. Namun Jackson justru
menyarankan eter sebagai pengganti gas nitrogen-oksida.
Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-oksida. Bahkan pada
tahun 1846 Morton mendemonstrasikan penggunaan eter dalam pembedahan di rumah sakit
umum Massachusetts. Saat pasien dokter Warren telah siap, Morton mengeluarkan gas eter
(atau disebutnya gas letheon) yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang
suatu alat seperti masker. Sesaat pasien yang mengidap tumor tersebut hilang kesadaran
dan tertidur. Dokter Warren dengan sigap mengoperasi tumor dan mengeluarkannya dari
leher pasien hingga operasi selesai tanpa hambatan berarti.
Tanggal 16 Oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia kedokteran. Demonstrasi
Morton berhasil dengan baik dan memicu penggunaan eter sebagai anestesi secara besarbesaran. Revolusi pembedahan dimulai dan eter sebagai anestesi dipakai hingga saat ini. Ia
bukanlah yang pertama kali menggunakan anestesia, namun berkat usahanyalah anestesia
diakui dunia kedokteran. Wajar jika Morton masuk dalam 100 orang paling berpengaruh
dalam sejarah dunia dalam buku yang ditulis William H. Hart beberapa tahun yang lalu.
Di balik kesuksesan zat anestesi dalam membius pasien, para penemu dan penggagas zat
anestesi telah terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan mendapatkan penghasilan dari
paten anestesi yang telah digunakan seluruh dokter di seluruh bagian dunia.
Terjadilah perseteruan di antara Morton, Wells, dan Jackson. Masing-masing mengklaim
zat anestesi adalah hasil penemuannya. Di tempat berbeda, seorang dokter bernama
Crawford W. Long telah menggunakan eter sebagai zat anestesi sejak tahun 1842, empat
tahun sebelum Morton memublikasikan ke masyarakat luas. Ia telah menggunakan eter di
setiap operasi bedahnya. Sayang, ia tidak memublikasikannya, hanya mempraktikkan untuk
pasien-pasiennya. Sementara ketiga dokter dan ilmuwan yang awalnya adalah tiga sahabat
itu mulai besar kepala, dokter Long tetap menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis
bedah.

Wells, Morton, dan Jackson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari dunia bahwa zat
anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh tahun menghabiskan waktu
dan uangnya untuk mempromosikan hasil temuannya. Ia mengalami masalah meskipun ia
telah mendaftarkan hak patennya di lembaga paten Amerika Serikat (U.S. Patent No. 4848,
November 12, 1846). Ketika tahun 1847 dunia kedokteran mengetahui, zat yang digunakan
adalah eter yang telah digunakan sejak abad 16, Morton tidak memiliki dasar hukum yang
kuat untuk mendapat keuntungan dari patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga
berhak atas penemuan tersebut.
Ketika Akademi Kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan Monthyon yang
bernilai 5.000 frank di tahun 1846, Morton menolak untuk membaginya dengan Jackson. Ia
mengklaim, penemuan tersebut adalah miliknya pribadi. Sementara itu, Wells mencoba
eksperimen dengan zat lain (kloroform) sebagai bahan anestesi.
Selama bertahun-tahun Morton menghabiskan waktu dan materi untuk mengklaim
patennya. Ia mulai stres dan tidak memedulikan lagi klinik giginya. Morton meninggal
tanggal 15 Juli 1868 di usia 49 tahun di Rumah Sakit St. Lukes, New York. Begitu juga
dengan Jackson yang meninggal dalam keadaan gila dan Wells yang meninggal secara
mengenaskan dengan cara bunuh diri.(Dewi Marthaningtyas:Terbius Memburu Paten Gas
Tertawa, Cakrawala, 2005).
Penggunaan obat-obatan dalam anestesi
Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun
lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan
membuat tenang (paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi.
Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:

Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934)

Benzodiazepine Intravena

Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)

Etomidate (suatu derifat imidazole)

Ketamine (suatu derifat piperidine, dikenal juga sebagai Debu


Malaikat/PCP (phencyclidine)

Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos)

Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane,


sevoflurane

Opioid-opioid sintetik baru fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil,


sufentanil (1981), remifentanil, meperidine

Neurosteroid

Gejala siuman (awareness)


Sering terjadi pasien ternyata dapat merasa dan sadar dari pengaruh bius akibat obat
pembius yang tidak bekerja dengan efektif. Secara statistik, Dr. Peter Sebel, ahli anestesi
dari Universitas Emory yang dikutip Time terbitan 3 November 1997 mengungkapkan
bahwa dari 20 juta pasien yang dioperasi setiap tahunnya di Amerika Serikat, 40.000 orang
mengalami gejala siuman tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, dalam pertemuan tahunan
sekitar bulan Oktober 1997, Persatuan Dokter Ahli Anestesi Amerika ditawari suatu alat
yang disebut Bispectral Index Monitor yang akan memberi peringatan bahwa pasien yang
sedang dioperasi mengalami gejala siuman atau menjelang bangun dari tidurnya.Penemu
alat tersebut adalah Dr. Nassib Chamoun, seorang dokter ahli saraf (neurologist) asal
Yordania. Dengan menggunakan prinsip kerja dari alat yang sudah ada, yaitu piranti yang
disebut EEG (Electroencephalography). Alat yang ditemukan Dr. Chamoun itu mampu
memonitor potensi listrik yang ditimbulkan oleh aktivitas jaringan otak manusia.
Alat ini dapat menunjukkan derajat kondisi siuman pasien yang sedang menjalani suatu
pembedahan. Angka 100 menunjukkan pasien dalam keadaan siuman sepenuhnya. Bila
jarum menunjukkan angka 60 berarti pasien dalam kondisi siap untuk dioperasi. Angka
0 menandakan pasien mengalami koma yang dalam.
Dengan mengamati derajat siuman dari alat ini, dokter anestesi dapat menambahkan obat
pembiusan apabila diperlukan, atau memberikan dosis perawatan kepada pasien yang telah
mengalami kondisi ideal untuk dilakukan operasi. Di samping itu, dokter bedah dapat
dengan tenang menyelesaikan operasinya sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Pemilihan teknik anestesi
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan
pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor pembedahan. Dalam beberapa
kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan
total.Blokade neuraksial bisa mengurangi risiko thrombosis vena, emboli paru, transfusi,
pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial dan kegagalan ginjal.
JENIS ANESTESI

Obat bius yang digunakan dalam praktik medis memiliki banyak jenis dan sediaan. Ada
yang membuat bagian tubuh mati rasa hingga membuat tak sadar. Mengapa obat bius

dibuat beraneka ragam ? Tak hanya berfungsi untuk membuat orang tak sadar saat
dioperasi, pada tindakan medis lain pun obat bius amat diperlukan.
Misalnya saja untuk mencabut gigi, dimana obat bius digunakan untuk mematirasa area
yang akan dilakukan pencabutan. Obat bius adalah sebuah tindakan yang diambil dokter
untuk meredakan rasa nyeri. Baik yang bersifat lokal atau hanya mematikan rasa pada area
tertentu, hingga yang menidurkan atau menghilangkan kesadaran seseorang.Oleh karena
kebutuhan untuk meredakan rasa nyeri ini sangat subyektif pada masing-masing orang,
maka obat bius pun diciptakan dengan berbagai cara kerja dan penggunaannya.
Berdasarkan Sifat Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara awam obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga
golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum.
A. Anestesi Lokal
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, perawatan
kecantikan seperti sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti
sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi geraham terakhir atau gigi berlubang, mengangkat
mata ikan, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya hanya
menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya,
menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau
jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang
ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak.
Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu
waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan
selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan
diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri.
B. Anestesi Regional
Anestesi jenis ini biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam
kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak
sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan
tungkai.
Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register
rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat
anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan
tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan
lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak
mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi
lokal masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walau tak merasakan nyeri di daerah
yang sedang dioperasi.

C. Anestesi Umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang biasanya dimanfaatkan untuk tindakan
operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang.
Misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lainnya.
Caranya, memasukkan obat-obatan bius baik secara inhalasi (pernafasan) maupun
intravena (pembuluh darah vena) beberapa menit sebelum pasien dioperasi. Obat-obatan ini
akan bekerja menghambat hantaran listrik ke otak sehingga sel otak tak bisa menyimpan
memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh manapun, dan membuat pasien dalam
kondisi tak sadar (loss of consciousness).
Cara kerjanya, selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat
amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan
alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital
melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.
Sesuai Cara Penggunaan
Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara penggunaan
yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan saja, tetapi juga dihirup
melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan
anestesi ini di antaranya:
A. Melalui Pernafasan
Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat dimasukkan
melalui pernafasan atau secara inhalasi. Gas-gas ini mempengaruhi kerja susunan saraf
pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru sehingga bersama-sama menciptakan kondisi tak
sadar pada pasien.
Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar yang belum
diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga, perlu dipastikan pasien tetap
dalam kondisi tak sadar selama operasi dilakukan.
B. Iinjeksi Intravena
Sedangkan obat ketamine, thiopetal, opioids (fentanyl, sufentanil) dan propofol adalah
obat-obatan yang biasanya dimasukkan ke aliran vena. Obat-obatan ini menimbulkan efek
menghilangkan nyeri, mematikan rasa secara menyeluruh, dan membuat depresi pernafasan
sehingga membuat pasien tak sadarkan diri. Masa bekerjanya cukup lama dan akan
ditambahkan bila ternyata lamanya operasi perlu ditambah.
C. Injeksi Pada Spinal/ Epidural
Obat-obatan jenis iodocaine dan bupivacaine yang sifatnya lokal dapat diinjeksikan dalam
ruang spinal (rongga tulang belakang) maupun epidural untuk menghasilkan efek mati rasa
pada paruh tubuh tertentu. Misalnya, dari pusat ke
bawah.
Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural, injeksi
dapat dipertahankan dengan meninggalkan selang kecil untuk menambah obat anestesi jika

diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedang pada spinal membutuhkan jarum lebih
panjang dan hanya bisa dilakukan dalam sekali injeksi untuk sekitar 2 jam ke depan.
D. Injeksi Lokal
Iodocaine dan bupivacaine juga dapat di injeksi di bawah lapisan kulit untuk menghasilkan
efek mati rasa di area lokal. Dengan cara kerja memblokade impuls saraf dan sensasi nyeri
dari saraf tepi sehingga kulit akan terasa kebas dan mati rasa.
Risiko Dan Efek Samping Obat Bius
Menggunakan obat bius memang sudah merupakan kebutuhan untuk tindakan medis
tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, anestesi juga memiliki risiko tersendiri.
Bius lokal, efek samping biasanya merupakan reaksi alergi. Namun, pada anestesi regional
dan umum, Roys menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
1. Cukup Sering
Dengan angka kejadian 1 : 100 pasien, prosedur anestesi dapat menyebabkan risiko efek
samping berupa mual,muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, penglihatan kabur,
nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur,nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi,
dan hilang ingatan sementara.
2. Jarang
Pada angka kejadian 1 : 1000 pasien, anestesi dapat berisiko menyebabkan infeksi dada,
beser atau sulit kencing, nyeri
otot, cedera pada gigi, bibir, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi buruk.
3. Sangat Jarang
Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 10.000/ 200.000 pasien,
diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf,
kelumpuhan, dan kematian.
Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf
yang menyebabkan kelumpuhan. Atau, pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung,
memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung.
Resistensi Bius
Ketika dilakukan anestesi, terkadang dapat terjadi seseorang tak mendapatkan efek bius
seperti yang diharapkan. Atau, yang kerap disebut resisten terhadap obat bius. Beberapa
kondisi yang bisa menyebabkan seseorang resisten terhadap obat bius di antaranya:
1. Pecandu alkohol
2. Pengguna obat psikotropika seperti morfin, ekstasi dan lainnya
3. Pengguna obat anelgesik
Pada orang-orang tadi telah terjadi peningkatan ambang rangsang terhadap obat bius yang
disebabkan efek bahan yang dikonsumsi dan masih beredar dalam tubuhnya.
Agar Obat Bius Optimal Dan Aman
Untuk menghindari terjadinya efek samping dan resistensi terhadap obat bius, sebaiknya
pasien benar-benar memastikan kondisi tubuhnya cukup baik untuk menerima anestesi.

1. Menghentikan penggunaan obat anelgetik, paling tidak 1-2 hari sebelum dilakukan
prosedur anestesi.
2. Menghentikan konsumsi obat-obatan yang berefek pada saraf pusat seperti morfin,
barbiturat, amfetamin dan lainnya, paling tidak 1-3 hari sebelum anestesi dilakukan.
3. Berhenti mengonsumsi alkohol paling tidak 2 minggu sebelum penggunaan anestesi,
4. Berhenti merokok setidaknya 2 minggu sebelum anestesi dilakukan
Anestesi
1.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan aesthesos, persepsi,
kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell
Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk
meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai dalam
waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon.
Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat
kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang
pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika
Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika
Universitas Sumatera Utara

Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena
Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada
tahun 1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang banyak
mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu
persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak
bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka
bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit
adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu.
Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat
melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan
oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum
tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin
diperhitungkan (Ismunandar, 2006).
1.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara
umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1.3.1 Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh
Universitas Sumatera Utara

yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan
dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan
dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat
setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya,
sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut
gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu
dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka
akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
1.3.2 Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila
pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan
tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar
register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat
anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek
mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Universitas Sumatera Utara

Anestesi Laparaskopi
EFEK FISIOLOGI
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan
juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang
menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:
Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular
sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama sama dengan
penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi
denyut jantung (HR).
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan
terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO 2 intra peritoneum
dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan
yang signifikan dari cardiac index (30 40%) setelah induksi anestesi dan

kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya


penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum.
Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR.
Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan
kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada
interaksi beberapa faktor 2,4 :
1. Faktor penderita

2,4,16

Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah


ststus kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum
dimulainya prosedur laparoskopi.
Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum
menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya
SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac
output yang lebih besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi difusi,
dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac
output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan
peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga
akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang
tinggi serta tekanan arteri rata rata (MAP) yang tinggi. Dengan
pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac
output yang lebih besar.
2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum)

1,2,4,14

Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO 2 menghasilkan


pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO 2 dan peningkatan refleks
tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat
diikuti secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah
arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan
peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan ini
sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang
akan menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan menggunakan
Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun maksimal
yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara
pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan
terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 30% selama insuflasi
peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk.

merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO 2


dengan efek hemodinamik yang minimal adalah 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan
vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan.
Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah
cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH 2O/18 mmHg) cenderung
membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang
akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat
preload dan cardiac output pada beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum.
Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau
memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan
mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau
dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri
tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen
meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan
pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis 2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan
obat penghambat mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat
anestesi secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara
komplit bisa mencegah perubahan hemodinamik.
3. Efek dari posisi pasien

1,2,4,7,11,14-16

Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO 2 pada laparoskopi kolesistektomi


dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 20 trendelenburg.
Posisi pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head
up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus
kandung empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi
pada pasien dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan
hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran
darah balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan
arteri rata rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat.
Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit
jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara
kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan
intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena
femoralis, stasis pada vena vena tungkai bawah, diperburuk dengan posisi
litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya
tromboemboli.

Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload),


namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini
merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis
dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih
besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang
disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara
potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi
trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada
pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan
peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada
pasien dengan glaucoma akut.
4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO2

1,2,4,14,16

Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO 2.


Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan
menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap
hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang
dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran
katekolamin.
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan
resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume
tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya
menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata rata arteri
pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif
paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.
5. Respon neurohumoral

1,2,4,16

Mediator mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama


pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan
adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris
dkk. menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah
insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua
dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga
mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.
Efek Respirasi

1-4,15

1. Efek Mekanik

Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada


laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat
menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO 2, pneumothoraks,
intubasi endobronkial, dan emboli gas.
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume
paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas
(peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 50% pada pasien sehat,
obesitas, dan ASA III IV. Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan
koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang dan induksi anestesi
yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO 2 dan perpindahan ke sefalad
diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan
perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway
pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang
selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan
penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan
intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau
pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma.
FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa
berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi
dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan
pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi
trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga
pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus
utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.
2. Efek Pertukaran Gas Absorbsi CO2

2,4

CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak
mudah terbakar seperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk
diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan
ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO 2juga
mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam
ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi
dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya,
luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi.
Karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar
kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO 2. Absorbsi gas CO2
lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi
intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO 2 tidak dapat diprediksi,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti
terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan PaCO 2 pada pasien ASA III
selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit

yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO 2 tidak
berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO 2
masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO 2 merupakan nilai yang
tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO 2 selama insuflasi CO2 pada
pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh
darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena
rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO 2 arteri dan
penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 30 menit
setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik
selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi
kolesistektomi pada posisi head up. Peningkatan PaCO 2 tergantung pada
tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO 2 tetap
tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum
dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk
menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan
peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian
torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 30 menit untuk
mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan
harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan
intraabdomen yang rendah.
Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial
yaitu :
1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.
2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor faktor mekanik seperti
distensi abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik,
penurunan cardiac output.
3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat obat premedikasi dan
anestesi yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan.
4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).
5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO 2 subkutis atau
dalam ruang tubuh, kapnothorak, emboli CO 2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek
ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada
pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung
jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang
fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi

khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan
mudah dicapai dengan peningkatan 10 25% ventilasi alveolar.
Efek Pada Sistem Lain1,2,4,14
Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi
untuk terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster
akibat peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun,
selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat
daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi
insidensi regurgitasi.
Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya
pembuluh darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia,
kompresi mekanis organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan
pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan
menurunnya sirkulasi mesenterik.
Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran
balik pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin,
angiotensin, dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin
meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan
penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20
mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga
mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode
postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua
organ, kecuali glandula adrenal.
Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada
curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran
darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan
ADH plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan
meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan
tekanan filtrasi dan produksi urine.
Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler
Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan
spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga
meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan
refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal ini juga turut
meningkatkan tekanan intrakranial.

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI

1-3,5

Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi


harus mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan
fisologis yang terjadi selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan
untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek
residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur laparoskopi
berubah menjadi laparotomi.
Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi

1,2,5,8,16

Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan


laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan,
wanita hamil, dan obesitas morbid.
Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia,
ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum
dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan
klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan
intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi
tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus
ini.
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi
ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk
mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari
penggunaan obat obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi,
laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi
respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan
dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko
ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi
perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital
dan tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan
mengalami hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi kolesistektomi.
Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan
insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan
ke prosedur terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama
laparoskopi, profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan
memberikan tromboprofilaksis low-molecular-weight heparin (LMWH) seperti
fragmin heparin sodium 2500 5000 IU atau Clexane enoxaparin sodium 20
40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated
compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten
pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari
sebelum pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.

Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk


pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat
bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan
deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan
mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik
(benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat
terjadi perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum
dan posisi pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel.
Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang
terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak daripada pasien
denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini
keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko
intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.
Teknik Anestesi

1,2,4-6,15

Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi


lokal dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi
umum. Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome
pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik
lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik
yang paling aman untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi
tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya
motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak
enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ organ intraabdomen yang
tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini
untuk laparoskopi kolesistektomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural
dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi
tunggal karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi,
perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa
menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok
pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk
mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi
pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh
otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa
alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah
hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena

tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik,


mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama
ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi
trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk
meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan
mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien
obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan
teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya
pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk
mempertahankan PETCO2 kira kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak
lebih dari 15 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema
subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan
volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak
spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar
dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat obatan vasodilator
seperti nikardipin, agonis 2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak
hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen
anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin
untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih
dari 20 mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan
menjaga kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks
peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk
injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen
dan ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur
pendek seperti sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot
tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas.
Manajemen jalan nafas

2,4,16

Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi


mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan
ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi.
Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara
luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada
prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC). Pemantauan kontinyu
terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk esophageal
pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA.
Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan
dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa
diperkirakan dan meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung.

Penggunaan ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung


karena refluk isi lambung.
Pelumpuh otot

2,17

Pemilihan obat obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan
profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh
otot dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi
(PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan,
dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain
menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan
neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang
direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak
meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh
otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari.
Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan
dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.
Nitrous Oxide (N2O)

2,3,4

Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena


kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan
distensi, gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah
pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan
sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N 2), ruang udara
tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk.
mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah
4 jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama
laparoskopi kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N 2O
berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level
seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam
studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi
dari 49% menjadi 17% bila tidak menggunakan N2O.
Obat Induksi

Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan


pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi
yang lebih kecil.
Obat Anestesi Inhalasi

Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya


bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat obat
inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang
mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik.

Analgesia

2,3,4

Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi


umum untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl,
alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah
stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi
intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi karena
penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme
spinkter oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat
seperti glucagon dan nalokson.
Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang
minimal, namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri
insisional, dan nyeri bahu setelah operasi. Obat obat analgesia multimodal
kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif
mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat
anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak
melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan.
Pemberian obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 200mg dalam volume 10
100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda
tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur intraperitoneum ini
belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa
tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang dengan
pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.
Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)

1,2,3,5

PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga
merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40
75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan
lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid
intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial.
Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid
dengan obat obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV.
Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif
sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang
lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin
50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan.
Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai
antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi.
Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan
menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 1 mg, antagonis 5 HT3
(ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 5 mg), dan deksamethason 4 8 mg,
disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.
Monitoring

1,2,4,16

Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang


menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang

digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2),
Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway
pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III IV
untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum,
perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri
merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya
pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO 2 dan a-ETCO2
meningkat lebih besar pada pasien ASA II III daripada pasien ASA I. Hal ini
juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan
pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas
arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada
pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi
paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO 2 dalam menilai
dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk
mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi
paru terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan
inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi
trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen
menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan
meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan
pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini
menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih
cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan
kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada
pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi.
Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting
untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO 2 juga bermanfaat untuk deteksi
dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO 2 dan PaCO2 setelah Insuflasi
CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner
PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO 2 dan hal ini tidak
mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu
mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah
pergerakan pasien tiba tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan
trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.
KOMPLIKASI INTRAOPERASI YANG SPESIFIK

1,2,4

Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan


pneumoperitoneum CO2 meliputi :
1. Trauma vaskular

2,3,4,8,16

Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat alat pembedahan
terutama veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama

laparoskopi abdomen atas 0,03 0,06% dan menurun dengan meningkatnya


pengalaman pembedahan. Perdarahan bisa terjadi oleh karena insersi veress
needle atau trokar mengenai pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma
pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena cava inferior,
pembuluh darah iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya merupakan
trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena terbatasnya
visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa
diterangkan.
2. Trauma Gastrointestinal

2,3,4,8

Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan
trokar meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus
yang bisa menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi
mesenterium. Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi
distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen
sebelumnya.
3. Aritmia jantung

2,3,4,6

Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab


meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO 2 intraperitoneum dan
peningkatan reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan
peritoneum, dan manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang
dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah
bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus
(pengurangan insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas
atropine)
4. Emfisema Subkutis

1,2,3,4,5,12,14,15

Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO 2 ekstraperitoneum yang


disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi
pelvis) dan insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang
peritoneum pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle
melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO 2 ekstraperitoneum bisa terjadi jika
ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau
retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari komplikasi insuflasi
ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 2%. Emfisema subkutan yang luas
bisa mengenai abdomen,dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai
ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan
absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba tiba ETCO 2 dan hiperkapnea,
dan asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena
insuflasi ekstraperitoneum. Kehati hatian teknik pembedahan saat insersi
veress needle dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi
mengurangi insiden komplikasi ini.

5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium

1-6,12,14-16

Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau


ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang
mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional,
defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla
emfisematus. Pada laparoskopi kolesistektomi, pneumothorak dapat terjadi
saat insersi veress needle dan trokar, CO 2 insuflasi, dan diseksi kandung
empedu. Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO 2
sekitar aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum
yang selanjutnya terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek
anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada hiatus
pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak
pernah ditemukan selama laparoskopi kolesistektomi, dan berhubungan
dengan defek diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat
menyebabkan tension pneumothorak terpisah dari pneumoperitoneum.
Pneumothorak bisa tidak terdeteksi intraoperasi, atau keberadaannya bisa
dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa
dijelaskan, hipoksemia hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension
pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang
berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara
klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan
abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya
penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil,
abdomen bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan.
Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan
gangguan hemodinamik dapat diterapi secara konservatif. CO 2 dalam ruang
pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan tidak
memerlukan pemasangan WSD.
Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat
prosedur laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi
memegang peranan terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung
pada tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan
pneumoperitoneum dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan
komplikasi ini.
6. Emboli Gas CO2

1-6,12,14-16

Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur


laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan
asistol setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli
gas meliputi penempatan veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran
CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh darah
peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan
hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli CO 2
meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi
pulmoner, edema paru, deteksi dari mill wheel murmur, tidak seperti emboli

udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu
baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli
paradoksikal yang melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium
bisa menyebabkan emboli CO2 serebral.
Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi
transesofageal sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi,
tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak
menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi
ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan
meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan
mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO 2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :

Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum

Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini
sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal
berkurang karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan
kaudal outflow ventrikel kanan.

Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk


memperbaiki hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan
dampak emboli gas.

Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO 2 dan dilakukan


seperlunya dengan memperbesar ruang rugi fisiologis.

Jika cara cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan


kateter vena sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi
udara.

Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar


mungkin bermanfaat untuk memecah emboli CO 2 menjadi gelembung
yang kecil.

PEMULIHAN DAN PEMANTAUAN PASCA OPERASI 1,2,5


Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma
pembedahan, ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi
paru, penyembuhan lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek.
Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh
karena tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi
abdomen bagian atas. Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma
otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan dengan pembedahan
terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling tidak
dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi kolesistektomi sehingga PaO 2 masih

rendah setelah laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen


terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca
operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini adalah peregangan
diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh karena aferen
yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal dari
dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada
pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV 1 dan kapasitas vital
parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 38%. Force vital
capacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48%
setelah pembedahan terbuka.
Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO 2
dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi
terbuka.
Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan
stasis vena yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden
emboli paru yang fatal setelah laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih
rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu 0,8%. Penggunaan graduated
elastic compression stocking dalam periode perioperasi dapat mengurangi
stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang minimal bisa
memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT.
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin
dilakukan pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk
ini perlu dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.
Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan
dengan kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca
operasi sering terjadi nyeri dan ikterus.

REFERENSI
1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 40
2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 39.
3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal
Anesthesia 2002;49;6;1 5
4. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures.
Clinical Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28
5. Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 2003 17.
6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 1 9.

7. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third


Edition 2002;23;522 24
8. Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for
Laparoscopy. Canadian Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378 87
9. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The efect of Intraperitoneal Lokal
Anaesthesia in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and
Meta Analysis. International Anesthesia Research Society
2006;103;3;682 87
10.Weingram J. laparoscopic Surgery. Anesthesiology Problem Oriented
Patient Management, fourth Edition 1998; 39; 732 59
11.Stolzenburg JU., et al. Anaesthetic consideration for endoscopic
extrapritoneal and laparoscopic transperitoneal radical prostatectomy.
Journal Compilation 2006; 508 13.
12.Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery.
Longnecker Anesthesiology 2008; 55; 1317 19
13.Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy)
available at mehlerst@cvm.msu.edu. pp. 1 8
14.Michaels IK. Laparoscopy. Clinical Cases in Anesthesia Third Edition 2005;
40; 217 23.
15.Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies.Handbook
of Anesthesiology 2005; 167 8.
16.Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in
Laparoscopic Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 6.
17.Fourie PJHL., et al. Comparison between atracurium and alcuronium for
muscle relaxation during laparoscopy. South Africa Medical Journal 1986;
69; 553 55

18. Usaha menekan rasa nyeri dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman
dahulu termasuk pemberian alkohol dan opium secara oral. Tahun 1846, William
Morton, di Boston, pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk
menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, James Simpson, di Skotlandia,
menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan
nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790-an. Anastetik
modern mulai dikenal tahun 1930-an , dengan pemberian barbiturate thiopental
secara intravena. Beberapa puluh tahun lalu kurare pun pernah diperkenalkan

sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung.
Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal
sebagai obat anestesi inhalasi dan menjadikannya standar pembanding untuk obatobat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.
19. Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran,
terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk
menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung
pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis.
20. Anastetik yang ideal akan bekerja secara cepat baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas keamanan
pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang minimal. Tidak satupun
obat anestesik dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa disertai efek samping,
bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestesi dalam bentuk
kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak diharapkan.
21. Sejumlah obat anestesi protokol yang digunakan bergantung pada jenis operasi yang
akan dilaksanakan. Untuk operasi kecil, obat-obat conscious sedation dapat
digunakan, termasuk termasuk benzodiazepine bersama-sama dengan obat lokal
anestesi. Anestesi yang seimbang yang meliputi penggunaan kerja barbiturate, N2O,
dan opium secara intravena, telah dipakai secara luas. Pada operasi besar, prosedur
anestesi selalu meliputi pemberian medikasi preoperative seperti obat-obat
penenang dan penghilang nyeri, penggunaan thiopental atau obat-obat anestetik
intravena lainnya, serta penggunaan anestetik inhalasi secara sendiri-sendiri ataupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik intravena. Pada kebanyakan kasus,
penggunaan obat relaksasi otot juga dimasukkan dalam prosedur untuk anestesi
umum.
22. BAB II
23. DASAR TEORI
24.
25. 2.1 Definisi dan Jenis Obat Anestesi
26. Dilihat dari sifatnya, obat anestesi terbagi atas anestesi lokal, regional, dan umum.
27. a. Anestesi lokal
28. Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya
hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya,
menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan
sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade
saraf-saraf tepi yang ada di sekitar area injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls
nyeri ke otak.
29. Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya memerlukan waktu singkat. Oleh karena itu, efek mati rasa yang didapat
hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi,

bila lebih dari itu maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri.
30. b. Anestesi spinal
31. Anestesi jenis ini biasaanya dimanfaatkan pada kasus bedah yang pasiennya perlu
dalam keadaan sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar,
bila pasien tidak sadar. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada
bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak, yaitu sumsum tulang belakang,
sehingga obat anestesi mampu menghentikan impuls di area saraf itu.
32. Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sumsum tulang belakang akan
terhambat dan tidak dapat diteruskan ke otak sebagai sensasi nyeri. Sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibandingkan anestesi lokal. Pada
kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari abdomen ke bawah.
33. c. Anestesi umum
34. Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang bisanya dimanfaatkan utnuk
tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaannya panjang. Caranya dengan memasukkan obat-obat bius baik secara
inhalasi maupun intravena beberapa menit sebelum pasien di operasi. Obat-obatan
ini akan bekerja menghambat hantaran aliran listrik ke otak, sehingga sel otak tidak
bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh tertentu dan
membuat pasien dalam kondisi tidak sadar (loss of consciousness). Cara kerjanya
selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia,
juga merelaksasi otot. Maka selama penggunaan anestesi juga dibutuhkan alat bantu
nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital
melakukan fungsinya selama operasi dilakukan. (Damayanti, 2010)
35. Sedangkan berdasarkan cara pemberiannya, obat anastesi dibagi atas anestesi
inhalasi dan anestesi intravena.
36. a. Anestesi inhalasi
37. Nitrogen oksida yang stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu
anestetik gas yang sering dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan metoksifluran
merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan zat anestetik
terbaru tetapi belum diizinkan beredar di USA. Anestetik inhalasi konvesional
seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi karena eter
dan siklopropan mudak terbakar, sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
38. b. Anestesi intravena
39. Beberapa obat anestesi diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam
bentuk kombinasi dengan anastetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium
anestesi ataupun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang
mendapat pernapasan buatan untuk waktu yang lama. Termasuk disini adalah: 1)
barbiturat (thiopental, metoheksital), 2) benzodiazepine (midazolam, diazepam), 3)

opioid analgesic dan neuroleptik, 4) obat-obat lain (profopol, etomidat), dan 5)


ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik. (Katzung,
1998)
40.
41. 2.2 Tanda dan Stadium Anestesi
42. Sejak obat anestesi diperkenalkan, telah diusahakan mengkorelasikan efek dan
tandanya untuk mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran tradisional tanda dan
stadium anestesi (tanda Guidel) berasal terutama dari penelitian efek dietil eter,
yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang tinggi di
dalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat pada penggunaan
anestesi inhalasi modern dan anestesi intravena yang bekerja cepat. Karenanya,
pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk kombinasi antara anestetik inhalasi
dengan anestesi intravena. Namun, tanda-tanda dietil eter masih menunjukkan dasar
untuk menilai efek anestetik untuk semua anestetik umum.
43. Banyak tanda-tanda anestesi ini menunjuk pada efek obat anestetik pernafasan,
aktivitas reflex, dan tonus otot. Secara tradisional, efek anestesi dapat dibagi ke
dalam empat stadium peningkatan dalamnya depresi susunan sraf pusat.
44. I. Stadium analgesi
45. Pada stadium awal ini pasien mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan
kesadaran. Pada tahap akhir stadium I baru didapatkan amnesia dan analgesi.
46. II. Stadium terangsang
47. Pada stadium ini penderita tampak delirium dan gelisah, tetapi kehilangan
kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual dan
muntah. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu harus membatasi
lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan secara
teratur.
48. III. Stadium operasi
49. Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur dan berlanjut sampai
berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium ini yang
digambarkan dengan perubahan pergerakan mata, reflex mata, dan ukuran pupil,
yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda peningkatan dalamnya
anestesi.
50. IV. Stadium depresi medulla oblongata
51. Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk ke dalam stadium IV. Pada
stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan di medulla oblongata dan
pusat vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat
meninggal.
52. Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering
tidak jelas. Hal ini karena mulai obat anestesi modern relative lebbih cepat
dibanding dietil eter dsamping peralatan penunjang yang dapat mengontrol ventilasi
paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan sebelum

dan selama operasi juga berpengaruh terhadap tanda-tanda anestesi. Atropine


digunakan untuk mengurangi sekresi dan mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti
tubokurarin dan suksisinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat
analgetik narkoti yang dapat menyebabkan depesan pada pernapasan. Tanda yang
dapat diandalakan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya reflek kelopak
mata dan adanya pernafasan yang dalam dan teratur. Dalamnya anestesi yang
dicapai untuk masing-masing jenis operasi yang dilakukan terutama dinilai dari
perubahan terhadap respons pernafasan dan kardiovaskular. (Katzung, 1998)
53.
54. 2.3 Efek Anestesi
55. Menggunakan obat bius sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu.
Sebagaimana penggunaan obat-obatan, obat anestesi juga memiliki risiko tersendiri.
Pada bius lokal, efek samping bisanya merupakan reaksi alergi. Namun pada
anestesi regional dan umum, dr. Roys A. Pangayoman, Sp.B., FinaCS
menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
56. 1. Cukup sering
57. Dengan angka kejadian 1:100 pasien, prosedur anestesi bisa menyebabkan risiko
efek samping berupa mual, muntah, batuk kering, mata kabur, nyeri kepala, nyeri
punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara.
58. 2. Jarang
59. Pada angka kejadian 1:1.000 pasien, anestesi dapat menyebabkan infeksi dada,
inkontinensia urin, nyeri otot, cedera pada bibir, gigi, dan lidah, perubahan mood
atau perilaku, dan mimpi buruk.
60.
61. 3. Sangat jarang
62. Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1:10.000 pasien
diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf,
kelumpuhan, dan kematian. Efek samping ini bisa permanen jika sampai
menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan, atau
pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi
penyakit jantung yang lebih serius. (Damayanti, 2010)
63. Kerusakan saraf dapat disebabkan anestesi lokal, regional, maupun umum. Pada
kebanyakan kasus, kerusakan bersifat sementara dan rasa ketidaknyamanan
berkurang beberapa minggu setelah pembiusan. Tetapi, beberapa persen pasien tidak
menunjukkan gangguan persarafan. Selama peemberian anestetik lokal atau umum,
kerusakan dapat terjadi saat obat mengenai jaringan saraf. Kerusakan juga dapat
terjadi di spinal epidural pada penggunaan anestetik umum, jika saat penyuntikan
melukai sumsum tulang belakang (spinal cord). Kerusakan saraf juga dapat terjadi
selama pemberian anestetik umum, jika posisi pasien selama operasi berlangsung
menyebabkan terhalangnya atau berkurangnya aliran darah menuju otak.

64. Selama ansetesi umum, obat-obatan menyebabkan paralisis muskulus yang bekerja
di banyak area tubuh. Pada beberapa pasien juga terjadi paralisis otot kandung
kemih, sehingga menyebabkan pasien tidak dapat berkemih. Ketidakmampuan BAK
ini dapat terjadi dalam 24 jam, tetapi selama waktu itu kandung kemih akan terus
terisi dan penuh, sehingga dibutuhkan kateter. (Heisler, 2011)
65. Meskipun komplikasi dari pemberian anestesi umum rendah, tetapi beberapa yang
dapat terjadi adalah serangan jantung, stroke, brain damage, dan kematian.
Komplikasi tersebut bergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, alergisitas,
kesehetan secara umum, dan riwayat pemakaian obat-obatan terlarang, alkohol,
serta rokok. Resiko kematian dari anestetik umum sulit dievaluasi karena banyak
faktor yang mempengaruhi, mulai dari keadaan pasien, prosedur operasi, sampai
skill operator anestesi. Perbandingan terjadinya resiko tersebut berkisar 1:1.000 dan
1:100.000, dengan anak-anak dan pasien lebih dari 70 tahun lebih beresiko.
(Uretsky dan Hilton, 2011)
66. Resiko pemberian anestetik pada lansia lebih berat dibandingkan pada dewasa
muda. Para manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam
anestesi dan pembedahan kaerna terdapat kemunduran sistem fisiologis dan
farmakologis sejalan dengan penambahan usia yang mulai jelas terlihat setalah 40
tahun. Setelah usia tersebut terjadi penurunan kekuatan otot pernafasan dan
komplaien dinding dada, kemampuan kardiovaskular, kemampuan cadangan ginjal
yang menyebabkan menurunnya toleransi terhadap kekurangan cairan dan kelebihan
beban zat terlarut, serta perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris, dan otonom,
juga berkurangnya perfusi darah ke otak menyebabkan manula lebih rentan dan
lebih besar berkemungkinan mengalami efek buruk anestesi.
67. Diasumsikan kesulitan untuk bernafas pascabedah dini lebih sering terjadi pada
manula. Bila memungkinkan, sebaiknya diberikan analgesik regional nonsistemik,
sehingga petugas lebih mudah dan cepat mengenal serangan angina atau perubahan
serebral akut. Dosis obat obat anestetik umum atau lokal pada lansia harus
dikurangi dan diberikan sesuai kebutuhan, secara titrasi dengan mengingat bahwa
waktu sirkulasi memanjang dan kemungkinan terjadinya interaksi dengan obat-obat
yang sudah diminum oleh pasien praanastesi.(Hartono, dkk, 2011)
68. 2.3.1 Efek Anestesi Lokal
69. Obat anstesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga untuk
setiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat
bersifat lokal atau sistemik.
70. Komplikasi lokal:
71. a. terjadi di tempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis, dan gangrene
72. b. komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis

73. c. iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang


disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu.
74. Komplikasi sistemik dapat dilihat manifestasi klinis, yang umumnya berupa reaksi
neurologis dan kardivaskular. Pengaruh pada korteks srebri dan pusat yang lebih
tinggi adalah berupa perangsangan pada pons dan batang otak berupa depresi.
Pengaruh kardivaskular adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi
miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung. (Mc. Intyre dalam buku
Complications of Regional Anesthesia oleh Finucane, 2007)
75. Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat
dalam darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem
organ.
76. 1. Sistem saraf pusat
77. Efek SSP yang kuat dapat diperoleh setelah menyedot bubuk kokain dan mengisap
rokok basanya. Kokain kini telah menjadi salah satu penyalahgunaaan yang paling
tinggi digunakan. Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euphoria seperti
kokain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa pecandu kokain tidak
dapat membedakan antara pemberian kokain intranasal dengan lodokain intranasal.
78. Efek SSP lainnya termasuk mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan
pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi dapat timbul nistagmus
dan menggigil. Akhirnya kejang tonik klonik yang terus menerus diikuti oleh
depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi lokal termasuk kokain.
Anestesi lokal nampaknya menimbulkan depresi jalur penghambatan kortikal,
sehingga komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul. Tingkat transisi eksitasi tak
seimbang ini akan diikuti oleh depresi SSP, umumnya bila kadar anestesi lokal
dalam darah lebih tinggi lagi.
79. Reaksi toksik pada anestesi lokal yang paling serius yaitu timbulnya kejang karena
kadar obat dalam darah berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah hanya dengan
memberikan anestesi lokal dalam dosis yang kecil sesuai dengan kebutuhan.
80. 2. Sistem saraf perifer (neurotoksisitas)
81. Bila diberikan dalam dosis yang sngat berlebihan, semua anestesi lokal akan
menjadi toksik terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan timbulnya
kasus deficit sensoris dan motoris yang berlanjut setelah cedera anestesi spinal
dengan kloroprokain bervolume besar.
82. 3. Sistem kardiovaskular
83. Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung terhadap
jantung dan membrane otot polos, serta efek secara tidak langsung melalui saraf
otonomanestesi lokal menghambat saluran natrium jantung sehingga meningkatkan
aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi abnormal.
Dengan pengecualian kokain, obat anestesi lokal juga menekan kontraksi jantung,
sehingga terjadi dilatasi arteriol, dimana kedua efek ini dapat menyebabkan

hipotensi. Walaupun kolaps vascular dan kematian biasanya timbul setelah


memberikan dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi pada
pemberian dosis kecil secara infiltrasi anestesi.
84. Seperti telah disebutkan, kokain memiliki efek berbeda terhadap kardiovaskular.
Hambatan ambilan kembali norepinefrin menimbulkan vasokonstriksi dan
hipertensi. Kokain dapat pula menyebabkan aritmiajantung. Efek vasokonstriksi
kokain dapat menimbulkan iskemia pada mukosa hdung, dan pada pemakai jangka
panjang bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan kerusakan septum hidung.
Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara klinis untuk mengurangi
perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.
85. Bupivakain lebih kardiotoksik dibandingkan anestesi lokal lainnya. Beberapa kasus
menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena tidak saja
menyebabkan kejang, tetapi juga kolaps kardiovaskular, dimana tindakan resusitasi
sangat sulit dilakukan dan tidak akan berhasil.
86. 4. Darah
87. Pemberian prilokain dosis berat selama anestesi regional akan menimbulkan
penumpukan metabolit o-toluidin, suatu zat oksidasi yang dapat mengubah
haemoglobin menjadi methemoglobin. Bila kadarnya cukup besar, maka pasien
tampak sianosis dan darah berwarna coklat. Kadar 3-5 mg/dL masih dapat ditolerir
pada individu sehat, tetapi mungkin menimbulkan dekompensasi pada pasien
dengan penyakit jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera.
88. 5. Reaksi alergi
89. Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p-aminobenzoat yang
dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil orang. Amida tidak
dimetabolisir menjadi p-aminobenzoat, sehingga reaksi alergi pada amida ini jarang
sekali terjadi. (Katzung, 1998)
90. 2.3.2 Efek Anestesi Spinal
91. Penggunaan anestetik spinal juga menyebabkan beberapa komplikasi, yaitu yang
bersifat akut, hipotensi karena dilatasi pembuluh darah maksimal; bradikardi karena
blok terlalu tinggi; hipoventilasi yang perlu dilakukan pemberian O2; mual muntah
karena hipotensi yang terlalu tajam, serta total spinal akibat obat anestesi naik ke
atas, dan komplikasi pasca tindakan, nyeri di tempat suntuikan, nyeri punggung,
nyeri kepala, serta retensi urin.
92. Komplikasi dini spinal anestesi dapat berupa:
93. 1. Hipotensi
94. Hipotensi seringkali terjadi dengan derajat yang bervariasi dan bersifat individual.
Ini dapat menjadi lebih berat pada pasien dengan hipovolemik. Biasanya terjadi
pada menit ke 20 setelah injeksi obat anestesi lokal. Derajat hipotensi berhubungan
dengan kecepatan masuknya obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid dan
meluasnya blok simpatis.

95. Pada pasien dengan penggunaan anestesi spinal juga dapat terjadi kehilangan
penglihatan pasca operasi (POVL).
96. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler selama
spinal anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan
peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer.
97. Merupakan kontraindikasi relatif spinal anestesi, tetapi jika normovolemi dapat
dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bisa dikerjakan.
98. Pasien hamil sensitif terhadap blokade simpatis dan hipotensi, hal ini karena
obstruksi mekanis venous return, sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada
posisi miring lateral segera setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena
cava.
99. Pasien tua dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi
dibanding dengan pasien muda.
100.
Obat lokal anestesi juga berpengaruh terhadap derajat hipotensi.
101.
Tetrakain menyebabkan hipotensi lebih berat dibanding bupivakain. Hal
ini mungkin disebabkan karena blokade simpatis tetrakain lebih besar dibanding
bupivakain.
102.
2. Blokade spinal tinggi/total
103.
Blokade spinal total jarang terjadi jika dosis obat yang digunakan sesuai
dengan yang disarankan. Gejala yang dialami pasien dapat berupa:
104.
Sesak nafas dan sukar bernafas sebagai gejala utama.
105.
Apabila blok semakin tinggi, penderita menjadi apnea, kesadaran menurun
disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung.
106.
Sering disertai dengan mual, muntah, precordial discomfort, dan
gelisah.
107.
3. Mual dan muntah
108.
Hal ini terjadi karena hipotensi, disamping itu juga adanya aktifitas
parasimpatik yang menyebabkan peningkatan peristaltik usus, juga karena tarikan
nervus dan pleksus, khususnya N. Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh
karena relaksasi pilorus dan sphincter duktus biliverus, faktor psikologis, dan
terakhir hipoksia.
109.
4. Penurunan panas tubuh
110.
Hipotermia terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi
panas oleh metabolisme berkurang. Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah
merupakan predisposisi terjadinya hipotermi.
111.
Sedangkan komplikasi lanjut dari spinal anestesi adalah sebagai berikut:
112.
1. Post Dural Puncture Headache (PDPH)
113.
PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan
diplopia, mual dan penurunan tekanan darah. Onset terjadinya adalah 12-48 jam
setelah prosedur spinal anestesi. PDPH terjadi karena adanya kebocoran cairan

cerebrospinalis (LCS) akibat tindakan penusukan jaringan spinal yang


menyebabkan penurunan tekanan LCS, akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada
volume LCS. Kondisi ini akan menyebabkan tarian pada struktur intrakranial yang
sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh darah, saraf, falk serebri dan meninges,
dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan
meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring.
114.
2. Nyeri Punggung (Backache)
115.
Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot dan ligamentum dapat
menyebabkan nyeri punggung, tetapi jarang terjadi pada spinal anestesi. Nyeri ini
tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasanya bersifat ringan,
sehingga analgetik post operatif biasanya bisa menutup nyeri ini. Rasa sakit
punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Relaksasi otot yang
berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal
selama spinal anestesi. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab.
116.
3. Cauda Equina Sindrom
117.
Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma
dan toksisitas. Tanda-tandanya meliputi disfungsi otonomis, perubahan
pengosongan kandung kemih dan usus besar, pengeluaran keringat yang abnormal,
kontrol temperatur yang tidak normal, dan kelemahan motorik. Ketika tidak terjadi
injeksi yang traumatik intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah
memasuki LCS, bahan-bahan ini bisa menjadi kontaminan seperti detergen atau
antiseptik atau bahan pengawet yang berlebihan.
118.
4. Meningitis
119.
Munculnya bakteri pada ruang subarachnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptik mungkin berhubungan
dengan injeksi iritan kimiawi, tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan
jumlah larutan anestesi murni lokal yang memadai.
120.
5. Retensi Urine
121.
Blokade sakral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin di
vesika urinaria jadi lebih banyak. Blokade simpatik eferen (T5-L1) menyebabkan
kenaikan tonus sfinkter yang menghasilkan retensi urine. Spinal anestesi
menurunkan 5-10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien
hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang
karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonomik kecil dan paralisisnya lebih lama
daripada serabut-serabut yang lebih besar.
122.
6. Spinal hematoma
123.
Meski angka kejadiannya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar
bagi klinisi karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologis yang
membahayakan. Hal ini terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di

medula spinalis yang dapat terjadi secara spontan atau ada hubungannya dengan
kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat
menyebabkan penekanan medula spinalis yang menyebabkan iskemik neurologis
dan paraplegi.
124.
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi:
mati rasa, kelemahan otot, kelainan BAB, kelainan sfinkter kandung kemih dan
jarang terjadi adalah sakit pinggang yang berat. Faktor resiko abnormalitas medula
spinalis berupa kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya,
kelainan vesiculer, penusukan yang berulang-ulang. (Fettes dan Wildsmith, 2002)
125.
2.3.3 Efek Anestesi Umum
126.
a. Efek anestetik inhalasi
127.
1. Efek terhadap kardivaskular
128.
Halotan, desfluran, enfluran, dan isofluran menurunkan tekanan arteri ratarata yang berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan
enfluran, penurunan tekanan arteri tampaknya disebabkan penurunan curah jantung
karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya
peningkatan darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek
depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular sistemik;
mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.
129.
Anestetik inhalasi mengubah denyut jantung dengan mengubah depolarisasi
nodus sinus secara langsung atau dengan mengubah keseimbangan saraf ototnom.
Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi langsung
atas kecepatan atrium. Sebaliknya, metoksifluran dan ensifluran meningkatkan
denyut jantung. Semua perubahan dalam denyut jantung tersebut telah ditentukan
pada orang normal yang menjalani operasi. Pada penderita prabedah atau trauma
operasi selama operasi berlangsung sering mengubah respon jantung terhadap
anestetik inhalasi.
130.
Semua obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium
kanan yang bergantung pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi
miokardium. Anestetik inhalasi mengurangi konsumsi oksigen jantung, terutama
dengan menurunkan variable yang menegontrol kebutuhan oksigen, seperti tekanan
darah arteri dan kekuatan kontraktilitas.
131.
Banyak faktor yang mempengaruhi efek kardiovaskular pada pemberian
anestetik inhalasi. Perangsangan selama operasi, hiperkapnia, dan lamanya operasi
berlangsung akan menurunkan efek depresi obat anestetik inhalasi. Hiperkapnia
akan membebaskan katekolamin yang melemahkan penurunan tekanan darah.
Tekanan darah menurun lebih sedikit 5 jam pemberian anestesi dibandingkan
setelah pemberian 1 jam. Halotan dapat mensensitasi otot jantung terhadap
katekolamin dan dapat terjadi aritmia ventrikel pada penderita dengan penyakit
jantung yang diberikan obat simpatomimetik yang bekerja langsung atau tidak

langsung yang tinggi dalam darah. Obat inhalasi modern lainnya sudah jarang
menimbulkan aritmia. (Katzung, 1998)
132.
Salah satu studi klinis dilakukan oleh Sedic F.,
2.3

Tinjauan Umum Anestesi

2.3.1

Definisi

Anestesi berasal dari bahasa Yunani an yang berarti tidak dan esthesia
yang berarti rasa, sehingga dapat berarti hilangnya rasa atau sensasi. Kata
anesthesia diperkenlakan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian obat, dengan
tujuan untuk menghilangkan sensasi rasa nyeri pada saat pembedahan.
Sedangkan analgesi ialah pemberian obat untuk menghilangkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran pasien.6

2.3.2

Klasifikasi Anestesi

2.3.2.1 General Anestesi


Anestesi umum atau general anestesi adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri atau sakit secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan
dapat putih kembali.2 Hilangnya segala sensasi perasaan panas, dingin,
rabaan, kedudukan tubuh (posture), nyeri dan disertai hilangnya kesadaran. 7
Anestesi umumnya terdiri dari tiga komponen yaitu : Hipnotik, analgesi dan
relaksasi. Cara pemberian obat untuk anestesi umum dapat melalui; pertama,

Parentetal (Intramuskural / Intravena), pemberian ini digunakan untuk tindakan


yang singkat atau induksi anestesi.
Yang kedua bisa melalui Perrectal (peranus), diberikan pada anak untuk
induksi anestesi atau tindakan singkat/ diagnostik pada pemeriksaan mata,
telinga, penyinaran, rontgen foto. Ketiga, dapat melalui inhalasi/ anestesi
inhalasi (valatile agent), yaitu menggunakan gas/cairan anestesi sebagai zat
anestetik yang mudah menguap melalui udara pernafasan. 3
Teknik

ini

digunakan

untuk

pembedahan

abdomen

yang

luas,

intraperitoneum, toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama,


dan

operasi

dengan

posisi

tertentu

yang

memerluakn

pengendalian

pernafasan.3

2.3.2.2 Regional Anestesi


Regional anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau sakit
secara regional tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian anestesi
regional dapat dengan cara, pertama yaitu blok sentral (blok neuroksial), yang
meliputi blok spinal dan epidural dan tindakan ini sering dikerjakan. Pengertian
blok spinal adalah penyuntikan obat anestesi lokal kedalam ruang subaraknoid.
Sedangkan blok epidural adalah penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam
ruang epidural. Yang kedua yaitu blok perifer (blok saraf), misalnya blok
pleksus brakialis, aksiler, dll.6

BAB III
PEMBAHASAN

3.1

Penatalaksaan Perioperatif

3.1.1

Manajemen Perioperatif

Pada tahap ini petugas anestesi melakukan kunjungan kepada penderita


untuk berinteraksi dengan penderita dan keluarganya, tahap ini juga
diperlukan untuk mengurangi tingkat kecemasan serta menanamkan rasa
kepercayaan penderita kepada petugas. Evaluasi dan persiapan penderita
dilakukan pada saat kunjungan.
3.1.1.1 Anamnesa
Yang pertama adalah melakukan anamnesa untuk mengetahui identifikasi
penderita yang terdiri dari nama, umur, alamat, pekerjaan, agama, status
perkawinan, dll. Menanyakan juga keluhan saat ini dan tindakan operasi yang
akan dihadapi. Adakah riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang
dapat menjadi penyulit anestesi seperti, diabetes melitus, penyakit paru-paru
kronis, (asma bronkial, pneumnia, dan bronkitis), penyakit jantung (infark
miokard, angina pektoris dan gagal jantung), hipertensi, penyakit hati dan
penyakit ginjal.

Riwayat obat-obatan yag meliputi alergi obat, obat yang sedang


digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestesi seperti,
korsikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, golongan aminoglikosida,
digitalis, dieuretikal, obat anti alergi, obat penenang dan bronkodilator. Adakah
riwayat

anestesi/

operasi

sebelumnya

yang

terdiri

dari

tanggal,

jenis

pembedahan dan anestesi, komplikasi, dan perawatan intensif pascaoperatif


untuk menjadi acuhan dalam pertimbangan anestesi. 3 Ditanyakan juga riwayat
kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi, seperti
merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, riwayat keluarga yang
mendrita kelainan seperti hipertermia maligna. Ditanyakan pula berdasarkan
sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernapasan, kardiovaskular, ginjal,
gastrointensinal, hematologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi, dan dermatologi. 3
Pada anak-anak yang belum bisa bicara dilakukan alloanemnesa, yaitu
komunikasi dilakukan dengan orang tua, atau keluarga yang mengantarnya.
Apabila perlu, konsultasikan dengan pediatri. Bila anak ditemukan demam,
batuk-batuk,

kelainan

hidung

(rhinitis),

atau

gastroenteritis

(diare),

pembedahan sebaiknya diundurkan.3


3.1.1.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang kedua adalah melakukan pemeriksaan fisik, yang dapat
dilakukan dengan pengukuran tinggi badan, menimbang berat badan, yang
diperlukan untuk menghitung dosis obat, terapi pemberian cairan, serta jumlah
urin selama dan sesudah pembedahan. Menghitung frekuensi nadi, tekanan
darah, pola dan frekuensi pernapasan, serta suhu tubuh karena dengan

kenaikkan maupun penurunan suhu tubuh dapat mempengaruhi pola dan


frekuensi napas serta nadi.
Pemeriksaan jalan napas (airway), diperiksa juga pada daerah kepala dan
leher untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, apakah ada gigi
palsu, atau gangguan fleksi, ekstensi leher, devisiasi trakea, dan massa untuk
menilai apakah ada kesulitan intubasi. 3 Lakukan pemeriksaan jantung, untuk
mengevaluasi kondisi jantung, apakah ada kelainan jantung yang didapat pada
orang dewasa dan pada anak-anak sebagai penyakit bawaan (congenital).
Pemeriksaan pada Paru-paru, untuk mengetahui adanya dispnu, ronki, dan
mengi yang dapat menggangu frekuensi dan pola pernapasan. Pada abdomen
lakukan palpasi untuk mengetahui adanya distensi, massa, asites, atau hernia.
Pemeriksaan daerah ekstremitas terutama untuk melihat perpusi distal,
adanya jari tumbuh, sianosis, atau infeksi kulit, dan juga untuk melihat tempattempat fungsi vena atau daerah blok saraf regional. Daerah punggung juga
diperiksa bila ditemukan adanya deformitas, memar atau infeksi terutama
dengan pemilihan anestesi regional. Neurologis, misalnya status mental, fungsi
saraf kranial, kesadaran dan fungsi sensasi motorik, yang diperlukan untuk
menentukan status fisik pasien.3
3.1.1.3 Pemeriksaan laboratium
Pemeriksaan Laboratium, ada yang dilakukan pemeriksaan rutin seperti,
darah (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, golongan darah, masa
perdarahan,dan masa pembekuan), urin (protein, reduksi, dan sedimen), foto
dada terutama (untuk bedah mayor), elektrokardiografi (untuk pasien berusia

diatas 40 tahun). Ada juga yang dilakukan secara khusus, yang dilakukan bila
terdapat riwayat atau indikasi, Elektrokardiohrafi pada anak, bronkospirometri
pada pasien tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fungsi ginjal pada
pasien hipertensi atau pasien yang mengalami gangguan miksi. 3

3.1.1.4 Konsultasi dengan bagian medis lain


Lakukan konsultasi kepada bagian medis lain bila di temukan adanya
kelainan atau gangguan dari sistem tubuh, selain penyakit bedah yang dapat
mempengaruhi keselamatan penderita. Misalnya, penyakit dalam, neurologi,
psikiatri, dll.
3.1.1.5 Klasifikasi Status Fisik (ASA)
Berdasarkan hasil pemeriksaan kita dapat menentukan status fisik pasien,
American Society Of Anestesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien menjadi
kelas-kelas :
a.

Kelas / ASA I Pasien normal sehat fisik dan mental

b.

Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada
keterbatasan fungsional.

c.

Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi.

d.

Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup
dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.

e.

Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24 jam dengan
atau tanpa operasi.

f.

Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat diambil.

g.

E, Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA


di ikuti huruf E (misalnya I E atau 2 E). 3

3.1.2

Pemilihan tehnik anestesi

Pemilihan anestesi berdasarkan atas usia penderita, status fisik penderita


(adakah penyakit sistemik yang diderita, bentuk fisik penderita), jenis
pemnedahan (kecil atau besar, terncana atau darurat, lokasi pembedahan
serta posisi penderita), keterampilan dan pengalaman ahli bedah serta
keterampilan dan pengalaman dokter dan perawat anestesi. 6
3.1.2.1 Indikasi anestesi umum
Anestesi umum digunakan untuk bayi dan anak-anak, dewasa yang ingin
dianestesi umum, prosedur operasi yang lama dan rumit seperti, pembedahan
abdomen yang luas, intraperitoneum, toraks, intrakranial, pembedahan yang
berlangsung lama, dan operasi dengan posisi tertentu yang memerlukan
pengendalian pernafasan, serta penderita dengan gangguan mental. 6
Bila pemilihan anestesi umum dengan tindakan langoskopi dan intubasi
trakea, maka dapat menimbulkan komplikasi. Laringoskopi adalah alat yang

digunakan

untuk

melihat

laring

secara

langsung

supaya

kita

dapat

memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Intubasi trakea adalah
tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glotis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita
suara dan bifurkasio trakea. Komplikasi yang timbul selama intubasi antara
lain, trauma gigi-geligi, laserasi pada bibir, gusi, laring, dapat merangsang
saraf simpatis sehingga terjadi hipertensi atau takikardi, aspirasi, dan spasme
bronkus. Komplikasi yang timbul setelah ekstubasi adalah, spasme laring,
aspirasi, gangguan fonasi, edema gotis-subglotis, dapat juga menimbulkan
infeksi pada laring, faring dan trakea.6
3.1.2.2 Indikasi anestesi regional
Anestesi regional digunakan untuk orang dewasa, dengan indikasi bedah
ekstremitas bawah, operasi kebidanan, bedah urologi, tindakan sekitar rektum
perineum. Kontra indikasi

absolut regional anestesi yaitu tidak boleh

diberikan apabila pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan, hipovolema


berat, syok, koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, fasilitas resusitasi
yang minim, kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anestesia. 6

3.1.3

Persiapan alat dan obat anestesi

3.1.3.1 Persiapan alat

Alat-alat harus dipersiapkan lebih dulu sebelum tindakan anestesi


dilakukan, hal ini untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan
selama anestesi berlangsung. Persiapan alat-alat ini meliputi :
1.

Persiapan mesin anestesi antara lain, Canester yang berisi sodalime


berfungsi

sebagai

absorber

untuk

mengikat

karbondioksida

yang

dikeluarkan oleh pasien waktu ekspirasi, cairan volatil seperti isofluran,


halotan, enfluran, atau secofluran, nitorus oksida, dan oksigen.
Pastikan flow meter berfungsi dengan baik, vaporiser tidak bocor dan terisi
dengan baik oleh cairan volatil halotan, enfluran, isofluran, atau sevofluran,
pastikan sirkuit aliran oksigen dan nitrous oksida berfungsi dan tidak bocor. 3

2.

Persiapan alat-alat intubasi antara lain, Scope yang terdiri dari Stetoskop,
untuk mendengarkan suara paru dan jantung dan laringo-scope untuk
melihat laring. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Blade lurus (Manchintos) untuk bayi atau anak-anak dan blade lengkung
(Miller, Magill) untuk anak besar dan orang dewasa, serta lampunya harus
cukup terang. Tubes atau pipa trakea, pilih nomor sesuai usia yaitu usia < 5
tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed). Menjaga agar
airway atau jalan nafas tetap bebas dengan menggunakan pipa mulutfaring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal
airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar sehingga lidah
tidak menyumbat jalan napas, dan juga agar pipa trakea tidak tergigit.

Diperlukan juga tape atau plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut. Introducer yaitu dipakai mandrin atau stilet dari
kawat dibungkus plastik (kabel), yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan ke dalam trakea. Connector sebagai
penyambung antara pipa dan peralatan anestesi. Suction untuk penyedot
lendir, ludah dan lain-lain. Spuit 10 cc untuk pengisian udara pada caf pipa
trakea.
Face mask atau sungkup muka untuk mengantar udara / gas anestesi
dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien dengan napas
spontan atau dengan tekanan positif, tidak bocor sehingga gas masuk semua
ke trakea lewat mulut atau hidung. Ukuran untuk anak 1,2, dan 3, sedangkan
pada orang dewasa no 4 dan 5. Sungkup laring atau LMA (laringeal mask
airway) adalah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang

dengan

ujung

menyerupai

sendok,

yang

pinggirnya

dapat

dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Ukuran untuk anak no


1,dan 2. pada orang dewasa no 3, 4, dan 5. 6
3.

Alat-alat intravena line yang terdiri dari abocath dengan ukuran yang sesuai
dengan jenis operasi. Umumnya pada anak-anak digunakan no besar yaitu
22 dan 24, tetapi untuk terapi cairan intravena jangka lama dipasang

no

kanul

besar no 18 atau 20. Sedangkan orang dewasa dapat menggunakan no 14, 16,
18 dan 20. Untuk terapi cairan intravena jangka lama sebaiknya dipasang
kanul 18 atau 16.

Untuk tranfusi darah atau dalam keadaan syok sebaiknya dipakai

kanul

besar No. 14 atau 16 agar dapat memasukkan cairan yang banyak dan cepat.
Selang tranfusi set / infusion set yang digunakan untuk mengalirkan cairan
ataupun darah dari flabotnya ke tubuh pasien. Cairan infus berupa cairan
kristaloid dan cairan koloid serta darah bila diperlukan.

3.1.3.2 Persiapan Obat


3.1.3.2.1 Obat Anestesi Intravena
Natrium tiopental (tiopental, pentotal). Tiopental adalah Tiopental
berupa bubuk kuning, yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air menjadi
larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian tiopental adalah induksi anestesi
umum., operasi/tindakan yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka,
dilatasi serviks, dan kuretase), sedasi pada anestesi regional, dan untuk
mengatasi kejang eklamsia atau epilepsi.
Kontraindikasinya adalah status asmatikus, syok, anemia, disfungsi hepar,
dispnu berat, asma bronkial, miastenia gravis, dan riwayat alergi terhadap
tiopental. Keuntungan penggunaan tiopental adalah induksi mudah dan cepat,
tidak ada delirium, tidak ada iritasi mukosa jalan napas, masa pemulihan
cepat,

sedangkan

kerugiannya

adalah

dapat

menyebabkan

depresi

pernapasan, depresi kardiovaskuler, cenderung menyebabkan spasme laring,


relaksasi otot perut kurang, dan bukan analgetik. Dosis induksi tiopental adalah
3-6 mg/kgBB intravena, dosis sedasi 0,5-1,5 mg/kgBB. 3

Propofol

(diprivan

1%,

fresofol

1%,

recofol).

Propofol adalah

campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai, 2,25%
gliserol, dan lesitin telur. Propofol sebagai obat anestesi umum yang bekerja
cepat, efek obatnya dicapai dalam waktu 30 detik. 3 Secara umum, propofol
dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan sedikit perubahan frekuensi
denyut jantung pada saat induksi maupun maintenance.
Akan tetapi gangguan hemodinamik yang serius jarang terjadi. Depresi
pernapasan dapat terjadi, tetapi bila dosis dan cara penberian sesuai dengan
yang dianjurkan maka hal ini masih dalam batas yang bisa di kendalikan.
Propofol dapat menurunkan tekanan intrakranial. Pemulihan cepat, tanpa rasa
pusing atau sakit kepala dan tanpa rasa mual dan muntah. Indikasi adalah
untuk penberian induksi dan maintenance anestesi umum, juga untuk sedasi
pada pasien dewasa yang mendapat perawatan intensive dengan bantuan
ventilasi. Propofol tidak dianjurkan untuk anak-anak-anak dibawah umur 3
tahun.8 Sebaikknya pemberian obat ini pada vena besar karena dapat
menimbulkan nyeri. Dosis induksi 1-2,5 mg/kgBB. Dosis sedasi 25-100
mg/kgBB/menit infus.Dosis maintenance 4-12 mg/kgBB/jam. 3
Ketamin (ketalar, anesject). Ketamin adalah obat anestesi umum yang
bekerja cepat, bukan barbiturat. Menyebabkan Perubahan kesadaran yang
disertai analgesik kuat yang disebut anestesi disosiatif. Ketamin menimbulkan
produksi saliva meningkat, sehingga bahaya aspirasi dapat terjadi. Indikasi
pemakaian adalah prosedur diagnostik, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi,
untuk analgesi dan anestesi pada obstetric, dan pasien asam. 8 Kontraindikasi
adalah tekanan sistolik 160 mmHg dan diastolik 100 mmHg, riwayat penyakit

serebrovaskular, gagal jantung, penderita alkoholisme, dan pada kasus-kasus


dengan tekanan intrakranial yang tinggi. Ketamin menimbulkan efek halusinasi
dan bila penggunaan yang lama pada pasien epilepsi, dapat meningkatkan
frekuensi serangan.
Diperingatkan

untuk

pemberian

secara

intravena

dilakukan

secara

perlahan-lahan karena dapat menimbulkan depresi pernafasan atau apnoe,


ketamin dan barbiturat tidak boleh bergabung karena akan menimbulkan
gumpalan dan dapat memperpanjang masa pemulihan. 8 Dosis induksi 1-4
mg/kgBB intravena, rata-rata 2 mg/kgBB, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai
kebutuhan. Dosis pemberian intramuskular 6-13 mg/kgBB, rata-rata 10
mg/kgBB.3

Midazolam (dormikum). Midazolam adalah golongan benzodiazepine


obat

induksi

tidur

jangkah

pendek

untuk

premedeksi,

induksi,

dan

pemeliharaan anestesi. Midazolam bekerja kuat menimbulkan sedasi dan juga


ada efek ansiolitik, antikonvulsan, serta relaksasi otot. Midazolma dapat
menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin, menyebabkan setelah
persalinan denyut jantung janin tidak teratur, susah menghisap susu serta
hypotermia, sehingga midazolam tidak dianjurkan untuk ibu hamil, juga
penderita

insufisiensi

paru-paru

akut,

dan

depresi

pernafasan.

Dosis

premedikasi 0,07-0,10 mg/kgBB. Dosis sedasi 2,5 mg diberikan 5-10 menit


sebelum tindakan, selanjutnya 1 mg dapat diberikan jika diperlukan. 8

Diazepam (valium). Diazepam adalah golongan obat benzodiazepine


yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi dan amnesia.
Diazepam diindikasikan untuk sedasi sebelum melakukan tindakan pengobatan
utama atau intervensi seperti kardioversi, kateterisasi jantung, endoscopi,
prosedur radiologi, bedah minor. Dikontrainidikasikan pada pasien depresi
pernapasan, psikosis kronis, serta glaukoma.
Diazepam dapat menimbulkan reaksi withdrawal pada pasien yang
ketergantugan obat-obat dan alkohol. Tanda-tanda withdrawal bervariasi antara
beberapa jam hingga satu minggu atau lebih. Pada kasus ringan biasanya
tremor, gelisah, insomnia, ansietas, sakit kepala, dan ketidakmampuan
konsentrasi. Bila sudah berat dapat terjadi spasme otot dan abdomen,
berkeringat, perubahan persepsi, delirium, dan konvulsi. Dosis premedikasi 1020 mg intramuskukar, anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB diberikan 1 jam sebelum
induksi anestesi.8
3.1.3.2.2 Obat anestesi Inhalasi
Obat anestesi dihirup bersama udara pernapasan kedalam paru-paru,
masuk kedalam darah dan sampai di jaringan otak dan mengakibatkan
anestesia.
Obat anestesi yang dipakai dengan cara ini, berupa gas yaitu N20 dan
cyclopropane (tidak dipergunakan lagi karena toksisitas terlalu besar). Dan
berupa cairan yang menguap yaitu ether (chloraethyl, trilene, sekarang sudah
tidak digunakan), halotan, enfluran, isofluran, cevofluran, dan defluran (jarang
digunakan karena strukturnya menyerupai isofluran).

Gas anestesi (N2O gas gelak)


N2O merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak dan tidak
bereaksi dengan soda lime absorber (Pengikat CO2). Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dengan kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% :
30%, dan 50% : 50%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan
dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% :20%, dan pemeliharaan
70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumotoraks,
pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara, dan timpanoplasti. Dosis normal
104-105 volume %.3

Obat Anestesi Inhalasi (volatile)


Halotan
Halotan merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, mudah
menguap, tidak mudah terbakar/meledak, tidak bereaksi dengan soda lime.
Induksi cepat dan lancar, tidak mengiritasi jalan nafas, bronkodilatasi,
pemulihan cepat, proteksi terhadap shock, jarang menyebabkan mual/muntah.
Harus dikombinasi dengan obat analgetik dan relaksan. Dapat menimbulkan
hipotensi, aritmia, meningkatkan tekanan intrakranial, menggigil pascaanestesi
dan hepatotoksik. Dosis, 0,72 volume %
Enfluran

Enfluran merupakan obat anestesik eter berhalogen berbentuk cairan,


mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan soda lime.
Induksi dengan enfluran cepat dan lancar. Obat ini jarang menimbulkan mual
dan muntah serta masa pemulihan cepat. Dosis : 1,7 volume %
Isofluran
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau
subanestetik merupakan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Efek terhadap depresi
jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari untuk anestesi pada
pasien dengan gangguan koroner. Dosis : 1,2 volume %. 3
Desfulran
Desfluran (suprane) merupakan halogensi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan
anestetik volatil lain, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC 6).
Titik didihnya mendekati suhu ruang (23,5 0C). Potensi rendah (MAC 6,0%)
bersifat simpatmimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depresi
nafasnya seperti isofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan nafas atas,
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. Dosis : 6 volume %
Sevofluran
Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dan pasien pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya enak,tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan nafas sehingga digemari untuk induksi

anestesi

inhalasi.

Efek

terhadap

kardiovaskuler

cukup

stabil,

jarang

menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem syaraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime,
baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap manusia. Dosis :
2 volume %.3

3.1.3.2.3 Obat pelumpuh otot


Obat

golongan

ini

menghambat

transmisi

neromuskular

sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Mekanisme kerja obat ini dibagi
menjadi dua golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten
(misalnya suksinil kolin), dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi
(misalnya kurarin). Pada anestesi umum obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakes, serta memberi relaksasi otot
yang dibutuhkan dalam pembedahan dab ventilasi kendali. 3
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Pavulon (pankuronium bromida). Pavulon merupakan obat relaksan
yang tidak pernah menimbulkan reaksi anafilaktik yang berat, sedikit
menembus sawar plasenta sehingga sangat bermanfaat pada bedah obstetrik.
Obat ini sebagian dikeluarkan melalui ginjal dan sebagian masuk kedalam
cairan empedu, sehingga obat ini jangan diberikan kepada pasien gagal ginjal
dan pasien dengan obstruksi total cairan empedu. Sebagian obat ini

dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hepatik, untuk itu pemberian pada


pasien cirrosis hepatis perlu dosis yang lebih besar tetapi dengan resiko apnoe
yang memanjang sampai pascaoperatif.8 Mula kerja obat ini pada menit keduaketiga selama 20-40 menit. Dosis dewasa 0,06-0,1 mg/kgBB. Dosis bayi 0,13
mg/kgBB. Kemasan ampul 2 ml berisi pavulon. 3
Vekuronium

(norkuron).

Vekuronium

merupakan

hormolog

pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat.
Zat anestetik ini tidak memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Di
metabolisme dalam liver dan dikeluarkan melalui ginjal. Mula kerja pada menit
kedua-ketiga dengan masa kerja selama 30 menit. Dosis 0,1-0,2 mg/kgBB.
Kemasan berupa ampul berisi 4 mg bubuk vekuronium. Pelarutnya dapat
berupa akuades, garam fisiologik, ringer laktat, atau dekstrose 5% sebanyak 2
ml.3
Rokuronium (esmeron). Zat rocuronium merupakan analog vekuronium
dengan awal kerja lebih cepat dan efek kerjanya lebih lama. Dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi hati, tetapi tidak mengganggu fungsi
ginjal. Obat ini dapat menembus sawar plasenta tetapi tidak menimbulkan efek
yang bermakna. Pada anestesi dengan tehnik hipotermi dapat memperpanjang
efek obat. Mula kerja obat 60-90 detik dan masa kerja 40-50 menit. Dosis 0,6-1
mg/kgBB. Kemasan berupa flakon, tiap ml mengandung 10 mg rokuronium
bromide.8

Trakrium (atrakurium besilat). Atrakurium tidak mempunyai efek


akumulasi pasa pemberian berulang, dan tidak menyebabkan perubahan
fungsi kardiovaskular yang bermakna. Keunggulan obat ini metabolisme terjadi
di dalam darah, sehingga tidak tergantung fungsi hati dan ginjal. Mula kerja
obat ini menit kedua-ketiga dan lama kerja 15-30 menit. Dosis 0,3-0,6
mg/kgBB. Kemasan dalam ampul 5 ml berisi 50 mg trakurium. 3
Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Suksametonium mempengaruhi sistem
kardiovaskuler yang dapat menyebabkan bradikardi dan cardiac arrest pada
pemberian ulangan ataupun pada suntikan pertama. Hal ini dapat dicegah
dengan pembetian atropin sebelumnya. Cardiac arrest akibat hiperkalemi
setelah pemberian suksametonium dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya
telah ada hiperkalemi, seperti pasca luka bakar, tetanus, dan juga multiple
trauma.
Setelah pemberian obat ini terjadi fasikulasi yang diperkuat dengan
isoflurance,

anticholinesterase,

dan

magnesium.

Fasikulasi

yang

terjadi

menyebabkan rasa sakit pada otot 3-4 hari pascaoperatif. 8 Mula kerja obat ini
30-60 detik dan lama kerja 3-5 menit. Dosis 1-1,5 mg/kgBB intravena. Kemasan
dalam flakon 20, 50 atau 100 mg/ml.3

3.1.3.2.4

Obat Analgetik Narkotik

Morfin. Morfin dapat digunakan sebagai untuk mengurangi kecemasan


dan

ketegangan

pasien

menjelang

operasi,

menghindari

takipnu

pada

pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi dapat berjalan dengan tenang dan
dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul
spasme serta kadang-kadang terjadi konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan
depresi napas, ini dapat dilawan dengan pemberian atropin secara intravena. 3
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB). Diberikan 90 menit
sebelum anestesi dimulai. Pada orang tua dan anak-anak dosisnya dikurangi
dan tidak boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun karena membahayakan. 8

Pethidin. Daya kerja Pethidin menyerupai morfin tetapi efek yang


ditimbulkan lebih rendah dari morfin. Tujuan dari pemberian Pethidin dapat
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Selain
itu, efek samping yang dapat timbul antara lain berkeringat, hipotensi, vertigo
dan lengan terasa kesemutan. Dapat juga menimbulkan mual-muntah pada
masa pascaoperatif sama seperti morfin. 8 Dosis untuk premedikasi 25 100
mg/kgBB. Dosis analgesik pascaoperatif 50 100 mg intramuskuler atau per
infus. Kemasan dalam ampul 2 ml / 100 mg.3

Fentanyl. Fentanyl adalah obat analgesik yang kuat berupa cairan


isotonik steril. Dapat dipakai sebagai suplemen narkotik-analgesik dalam
anestesi

umum

atau

regional.

Efek

yang

ditimbulkan

adalah

depresi

pernapasan yang dapat berlanjut sampai masa pascaoperatif, dimana efek ini

dapat dinetralkan dengan antagonis narkotik yaitu naloxone, dosisnya 0.1 0.4
mg/ intravena. Untuk menjaga terjadinya bradikardi dianjurkan memberikan
obat anticholinergis dosis rendah secara intravena sebelum induksi anestesi.
Dosis 1 5 g/kgBB. Kemasan dalam bentuk ampul 2 ml/ 100 g. 8
Analgetik nonnarkotik
Ketorolak (Toradol, Remopain). Obat ini dapat mengatasi nyeri ringan
sampai berat pada kasus-kasus emergensi, muskuloskeletal, pascabedah minor
dan mayor, kolik ginjal dan nyeri pada kanker. Obat ini baik untuk pemberian
pascaoperatif dengan dosis tunggal intravena 30 mg dan dapat diulangi tiap
enam jam, maksimum 120 mg atau tidak boleh lebih dari lima hari. 8
Obat Anestesi Regional
Penggolongan Obat Anestesi Reegional diantaranya yaitu Bupivacaine
0,5% ( Marcaine 0,5% ), Dosis sampai 4 ml dan pada usia lanut dosisnya
dikurangi. Lignocaine HCL, BP 5%, obat ini dicampur dengan dextrose 3% dan
7%. Dosis

: 1,5 ml dapat memberikan analgesia kira-kira 2 jam, blockade

sampai umbilicus. Prilocaine 5% dalam larutan 5% durasi efeknya sama


dengan lignocaine. Amethocaine HCl, BP dalam bentuk puder isinya 20 mg
dalam ampul, dan dalam bentuk cair 1% berisi 10 mg/ml. dosis maksimum 20
mg. Procaine HCl, BP 5% atau kurang durasi efek : 40 80 menit. Mepivacaine
HCl 4% durasi efek kira kira 1 jam.6
Obat Resuitasi

Obat Anticholinergik yaitu sulfas atropine ,


mg/kgBB,

anak-anak

dosis

0,015

mg/kgBB

dan

dosis umumnya 0,1

hyoscine

buytlbromide

(buscopan), dosis 10 20 mg. Vaso Pressor / Vaso dilator yaitu adrenalin, untuk
cardiac arres dosis 0,5mg (0,5 ml dari larutan 1/1000); untuk anafilaktik shock
0,1 mg dan ephedrine, Bp, Dosis 15-30 mg. Oksitosin, metergin dan
magnesium dipersiapkan untuk pasien obsertik. Untuk pasien hipoglikemia
dapat diberikan dekstrose 40%. Dan untuk pasien gangguan respiratorik dapat
diberikan aminofilin. Bila pasien mengalami alergi maka dapat diberikan
kortikosteroid antara lain deksametason, dosis 4-100 mg, Prednisone, dosisnya
20 mg, Hydrocotisone hemisuccitane, dosisnya 100 mg.
Obat furosemid/Lasix; Mannitol, dosisnya 0,5-1mg/ kgBB secara infus
digunakan

larutan

10%

dan

20%

digunakan

untuk

dieuretik.

Oba

anticholinesterase yaitu neostigmine (Prostigmen), dosisnya 2,5 mg memiliki


efek antagonis terhadap relaksan nondepolarizing. Naloxone, dosis dewasa 0,10,4 mg/intravena; Neonatus, dosis 0,01 mg/kgBB sebagai narkotik antagonis. 8

3.1.4

Persiapan pasien Sebelum hari operasi

Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah


aspirasi isi lambung, karena regurgitasi/muntah. Pada operasi elektif, pasien
dewasa puasa 6-8 jam, pada anak cukup 3-5 jam. Dan gigi palsu, bulu mata
palsu, perhiasan (cincin, gelang, kalung) dilepas serta bahan kosmetik (lipstik,
cat kuku), di bersihkan sehingga tidak mengganggu pemeriksaan.

Kosongkan juga kandung kemih dan bila peelu lakukan katerisasi,


bersihkan lendir dari saluran napas. Jangan lupa memberikan informed consent
kepada keluarga dan membuat izin pembedahan/anestesi secara tertulis.
Sebelum pasien masuk kamar operasi harus mengenakan pakaian khusus
(diberi tanda dan label, terutama pada bayi). Pemeriksaan tentang fisik pasien
dapat diulangi di ruang operasi.3

3.1.4.1 Premedikasi
Premedikasi adalah penberian obat-obatan 1 atau 2 jam sebelum induksi
secara oral, intramuskular, intravena maupun perrektal. Adapun tujuan dari
pemberian premedikasi adalah, menimbulkan rasa nyaman pada pasien
(menghilangkan kekuatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia dan
memberikan

analgesi),

juga

untuk

memudahkan/memperlancar

induksi,

rumatan dan sadar dari anestesi serta mengurangi jumlah obat-obatan


anestesi. Dapat mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan
muntah pascaoperatif, stress fisiologis (takikardi, napas cepat) dan keasaman
lambung.
Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain :
Sulfas atropin, 0,1 mg/kgBB dipakai untuk pengobatan bradikardi dan
sebagai therapi tambahan pada pengobatan bronkhospasme serta tukak
lambung. Atropin secara kompetisi mengantagonisir aksi asetil kolin pada

reseptor muskarinik, menurunkan sekresi saliva, bronkhus dan lambung serta


merelaksasi otot polos.8
Diazepam per oral 10-15 mg untuk pereda kecemasan.
Pethidin

50

mg

untuk

mengurangi

nyeri

atau

kesakitan.

Simethidin/ranithidin 150 mg untuk mengurangi ph asam cairan lambung,


Ondacetron, 2-4 mg untuk mengurangi mual-muntah pascabedah.

3.1.5

Penatalaksanaan Tindakan Anestesi Terhadap Pasien yang Menjalani


Operasi Hernioraphy pada HIL Inkarserata.
Berikan pre-oksigenisasi dengan oksigen 100% 2-3 liter selama 3-5
menit sebelum induksi. Untuk Induksi dan intubasi di lakukan bila operator
yaitu dokter bedah sudah siap. Setelah induksi dan intubasi maka operasi
dilakukan. Induksi dilakukan dengan menggunakan penthotal 4 6 mg / kgBB
atau propofol 2 2,5 mg / kgBB. Untuk inhalasi diberikan nitrous oksida:
oksigen dipakai 50:50 dengan konsentrasi volatile yang rendah. Berikan
pelumouh otot nondepolarisasi yaitu, atrakurium 0,3-0,6 mg/kgBB atau
esmerron 0,6 mg/kgBB, bila pasien sudah rileks maka dapat lakukan intubasi.
Pada operasi darurat dilakukan induksi cepat (crush induction) untuk
mencegah aspirasi selama tindakan intubasi. Diindikasikan terutama pada
pasien dengan lambung penuh. Selain peralatan intubasi dipersiapkan pula alat
pengisap lendir dan pipa lambung. Pasien dipersiapkan dalam posisi setengah
duduk atau telentang dengan posisi kepala lebih rendah. Awali dengan

penberian 02 100% (praoksigenisasi) selama tiga sampai lima menit kemudian


berikan obat pelumpuh otot nondepolarisasi dosis (prekurarisasi). Suntikan
obat induksi cepat diberikan sampai refleks bulu mata hilang. Tulang krikoid
ditekan ke arah posterior (sellick manouver) dan kemudian obat pelumpuh otot
depolarisasi diberikan. Setelah itu dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Bila pipa endotrakeal telah masuk, balon pipa (cuff) segera dikembangkan.7

3.1.6

Monitoring Intraoperatif
Kontrol tekanan darah systole dan diastole tidak boleh naik diatas 20%

baseline

atau

turun

20%

dibawah

baseline,

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan alat monitor automatik atau dengan tensimeter manual.


Monitoring pada nadi dapat dilakukan dengan, tehnik palpasi (merasakan
dengan tangan) dan dibantu dengan alat elektronika / pulse oximetri dan juga
stethoscope untuk mendengarkan detak jantung. Pernapasan dapat dilihat
pada monitor,bila ada gangguan dapat di pantau dengan pemasangan saturasi,
dapat dilakukan melalui suatu monitor dengan alat sensor yang dipasang pada
jari utuk melihat nadi dan saturasi oksigen. Monitoring Diuresis dilakukan untuk
mengetahui adanya kekurangan cairan atau gangguan pada ginjal. Monitoring
pemberian

cairan

infus

perlu

dilakukan

agar

pasien

tidak

mengalami

kekurangan cairan akibat puasa maupun pembedahan. 7Monitoring suhu badan


dengan menggunakan thermometer secara manual atau dengan monitor
outomatik.

3.1.7

Ekstubasi

Setelah operasi selesai, obat anestesi dihentikan pemberiannya. Berikan


oksigen 4-6 liter dalam waktu 5-15menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut
dari lendir. Bila perlu berikan obat anticholinesterase (prostigmin 0,04
mg/kgbb) dan atropin 0,02 mg/kgbb. Jika masih ada depresi nafas oleh
narkotik-analgesik berikan Narkotik Antagonis (Nalolxone) 0,1-0,4 mg secara
intravena. Ekstubasi dilakuakan saat pasien masih teranastesi/tidur dalam,
untuk mengurangi traumatis dan mencegah batuk. Dikerjakan bila nafas
spontannya adekuat, keadaan umumnya baik serta tidak ada resiko aspirasi
pulmonal dan tidak memerlukan intubasi awake atau rapid sequence induction.

3.1.8

Penatalaksanaan Pascaanestesi di recovery room.

Ruang pemulihan atau Recovery room (RR) disebut juga unit perawatan
pascaanestesi atau postanesthesia caru unit ( PACU ). Setelah operasi selesai
pasien dibawa ke ruang pemuluhan atau ke ruang rawat intensif bila ada
indikasi. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan atau monitor sampai
pasien sadar betul. Yang harus di monitor antara lain, keadaan umum,
kesadaran,

tekanan

darah,

nadi,

pernapasan,

suhu,

sensibilitas

nyeri,

perdarahan dari drain, dll.9


Awasi keadaan vital penderita secara saksama, periksa tekanan darah,
frekuensi nadi dan frekuensi pernapsan dilakukan paling tidak setiap 5 menit
dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15
menit.

Perbaiki

defisit

yang

masih

ada

(cairan,

darah,

nyeri,

mual

muntah,menggigil karena hipotermia,dll). Seluruh pasien yang sedang dalam


pemulihan dari anestesi umum harus mendapat oksigen 30-40% selama
pemulihan.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi postoperatif menilai
keadaan umum sebelum pasien dipindahkan ke ruang perawatan, dapat
dipakai aldrete score untuk orang dewasa dan steward Score untuk anak
dengan berbagai kriteria penilaian. Nilai score yang normal 8 -10, pasien dapat
di

pindahkan ke ruang perawatan ataupun pulang bila pasien rawat

jalan, tetapi atas ijin dokter anestesi yang bertugas. 9 Score tersebut dapat
dilihat pada tabel 3.1 dan 3.2

Tabel Aldrete Score, 3.1.


Parameter

Kriteria
- Merah muda

Warna

- Sianosis

- Mampu bernafas dalam dan batuk

2
1

- Apnoe atau ada sumbatan jalan nafas

- Tekanan darah menyimpang<20% pre op

- Tekanan darah menyimpang<20-50% pre op

- Tekanan darah menyimpang<50% pre op

- Bangun, sadar penuh dan orientasi baik

Kesadaran - Beraksi bila dipanggil namun cepat tertidur

Aktivitas

- Pucat

Pernapasan - Dangkal namun pertukaran udara adekuat

Sirkulasi

Score

- Tidak berespon

- Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

- Dapat menggerakkan 2 ekstremitas

- Tidak begerak

Tabel Steward Score, 3.2


Kesadaran Pasien
Kesadaran

Kriteria
- Bangun

Skor
2

Jalan Nafas

Gerakan tubuh

- Bereaksi bila dirangsang

- Tidak ada rekasi terhadap rangsang

- Batuk atas perintah atau menangis

- Jalan nafas terpelihara baik

- Perlu rumatan jalan nafas

- Mampu menggerkkan lengan dan tungkai

- Gerakkan lengan dan tungkai tak terarah

- Tidak ada gerakkan tubuh

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

3.1

SIMPULAN
Hernia terjadi pada semua usia mulai dari bayi sampai orang dewasa.
Hernia merupakan penonjolan isi suatu rongga karena adanya kelemahan pada
dinding organ yang bersangkutan, yang terjadi karena faktor bawaan ataupun
didapat. Bagian hernia terdiri dari cincin, kantong dan isi hernia itu sendiri,
dimana pilihan terapi untuk hernia ireponible yaitu melalui operasi.
Pembedahan dapat dilakukan terencana, tidak harus segera yang meliputi
tahap,

praoperatif,

intraoperatif

dan

postoperatif.

Khusus

untuk

hernia

inkarserata penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi nyeri penderita dan


mencegah terjadinya strangulata, sehingga tindakan operasi harus segera
dilakuakan. Bila tidak, bagian isi yang terjepit akan membusuk dan bisa
menjadi sumber infeksi ke seluruh dinding usus, yang dapat berakibat buruk
yaitu kematian bagi penderita tersebut.
Tindakan pembedahan membutuhkan pemberian anestesi. Anestesi
adalah keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian obat,
ataupun tidak disertai dengan hilangnya kesadaran, dengan tujuan untuk
menghilangkan sensasi rasa nyeri pada saat pembedahan. Penatalaksanaan
anestesi terhadap pasien yang menjalani operasi herniorafi pada hernia inginal

lateralis incarserata yaitu operasinya bersifat segera, oleh karena itu anestesi
disesuaikan dengan kondisi umum penderita, maka anamnesa, pameriksaan
fisik serta analisis penunjang (laboratorium) mutlak dilakukan dengan teliti, hal
ini menuntut pengetahuan dan keterampilan dari tenaga anestesi untuk
menghasilkan suatu kondisi anestesi yang aman dan efektif.

4.2

Saran
Berdasarkan pengalaman kesulitan penyusun dalam menyusun makalah
ini, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penyusun tentang
obyek penyusunan karya tulis ini, serta jumlah literatur yang tersedia
membatasi pendalaman materi karya tulis tentang penatalaksanaan anestesi
terhadap penderita yang menjalani operasi herniorafi pada hernia inguinal
lateralis inkarserata, karenanya penyusun mengharapkan kiranya penyusunan
karya tulis lainnya akan memberikan analisa yang lebih aktual demi
peningkatan kualitas pelayanan anestesi di masa yang akan datang. Maka
pada kesempatan ini penyusun kiranya dapat memberikan saran kepada :

4.2.1

Pihak akademik untuk senantiasa menambah koleksi literatur-literatur yang


menunjang program pendidikan, khususnya program studi anestesi.

4.2.2

Kepada tim bedah dan anestesi agar cepat, tepat dan teliti dalam
menganalisa serta mendiagnosa agar penangan khususnya pada penderita
hernia inkarserata dapat dilaksanakan dengan tepat dan efisien sehingga
berbagai kendala dan resiko dapat diminimalisir.

4.2.3

Rekan-rekan

untuk

senantiasa

meningkatkan

pengetahuan

serta

keterampilan, agar dapat menjadi tenaga anestesi yang handal dan dapat
diandalkan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Anoname, 2008 , hernia, www.Ashared.com

2.

R.Sjamsuhidayat, Wim de jong, buku ajar ilmu bedah, edisi ke-2, jakarta 2004

3.

Arif Mansjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-3. 2000.

4.

David C.sabiston, Jr,Md, buku ajar bedah

5.

Made

kusmala,

dkk,

hernia

inguinalis

pada

anak,

FKU

Hasannudin,

www.kalbe.com
6.
7.

Said A Latif, dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Ed. 2, FKUI Jakarta 2002
Wargahadibrata, A. Himendra, Anestesiologi Untuk Mahasiswa Kedokteran
SAGA, Bandung, 2008

8.

Yuswana, farmokologi obat-obat anestesi dan obat-obat bantuan dalam


anestesi, Bandung 2005

9.

Morgan G Edward, Mikhail, Maged S.Clinical Anesthesiologi. Edisi ke4. 2007.

System pernafasan
Control pernafasan
Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan . sehingga, perawat perlu
mewaspadai pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan
dinding dada, bunyi nafas, dan warna membrane mukosa. Apabila pernafasan dangkal,
letakkan tangan perawat di atas muka atau mulut pasien shingga perawat dapat merasakan
udara yang keluar.
Kepatenan jalan nafas

Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk mempertahankan kepatenan jalan
nafas sampai tercapai pernafasan yang nyaman dengan kecepatan normal. Apabila fungsi
pernafasan sudah kembali normal . maka perawat mengajarkan pasien cara membersihkan
jalan nafas dengan cara meludah. Kemampuan melakukan hal tersebut menandakan
kembalinya reflex muntah normal.
Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi
muntah, akumulasi sekresi, mukosa di faring atau spasme faring.
FISIOLOGI PERNAFASAN DAN ANESTESI
FISIOLOGI PERNAPASAN :
EFEK ANESTESIA
Fisiologi pernapasan sangat penting dalam praktek anestesi karena
anestetik yang
paling sering digunakan inhalation agents bergantung pada kerja
paru-paru untuk diuptake dan dieliminasi.
Lebih lanjut nanti, paralisis otot, posisi yang tidak biasa selama
operasi dan teknik seperti anestesia dengan satu paru - paru serta
cardiopulmonary by pass juga mempengaruhi fisiologis pulmonal.

Respirasi Seluler

Fungsi Utama Paru: Pertukaran gas antara darah & udara


inspirasi hasil langsung dari metabolisme aerob sel yg
menghasilkan kebutuhan konstan uptake O2 & eliminasi
CO2Metabolisme Aerob

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + Energi

Energi yg dihasilkan disimpan dalam bentuk ATP dan digunakan


u/ pompa ion, kontraksi otot, sintesa protein, sekresi sel

Dihasilkan 38 ATP
Metabolisme Anaerob

Menghasilkan ATP yg lebih terbatas

ATP diproduksi dari konversi glukosa dari pyruvat ke asam


laktat

Tiap molekul glukosa menghasilkan 2 ATP


Efek Anestesia Pada Metabolisme Sel

GA menurunkan produksi CO2 & konsumsi O2 sampai 15%

Reduksi terbesar pada konsumsi O2 di otak dan jantung


Rongga Thorax & Otot2 Respirasi

Terdiri atas 2 paru-paru yg dilapisi pleura. Apex dada kecil,


entry dari trakea, esophagus dan pembuluh darah, dasar
dibentuk diafragma.

Kontraksi diafragma dasar thorax turun 1,5-7 cm, paru2


mengembang

Inspirasi diapragma dan otot-otot intercostal eksternal

expirasi pasif
Tracheobronchial
Fungsi membawa aliran gas dari dan ke alveoli

Pembagian dikotom dimulai dari trakea dan berakhir pada kantung


alveolar, diperkirakan melibatkan 23 divisi atau generasi. Tiap
kantung alveolar terdiri atas 17 alveoli. Kira2 300 juta alveoli
luas permukaan membran u/ pertukaran gas pd org dewasa.
Peredaran Darah Paru-paru & Limfatik

Paru2 terdiri dari 2 sirkulasi pulmonal & bronkial sirkulasi


bronkial berasal dari jantung dan mempertahankan kebutuhankebutuhan metabolik trakeobronkial sampai bronkiplus pulmonal

Sirkulasi pulmonal menerima darah dari jantung kanan melalui


arteri pulmonal terbagi menjadi cabang kiri & kanan melalui
arteri pulmonal

Darah teroksigenasi melalui kapiler pulmonal dimana O2


diambil & CO2 dibuang
Inervasi

Diafragma di inervasi saraf phrenic yg berasal dari cabang


saraf C3-C5

Nervus vagus mempersarafi sensoris pd trakeobrokial

Aktivitas vagal bronkokontriksi & peringatan sekresi bronkial


Aktivitas simpatetik bronkodilatasi & menurunkan sekresi B2
reseptor
FUNCTIONAL RESPIRATORY ANATOMY

Rib Cage & Otot Pernapasan

Rib Cage terdiri dari paru-paru, dan masing-masing


dikelilingi pleura.

Konstraksi diafragma prinsip otot pernapasan


mengakibatkan rongga dada mengecil dan paru-paru
membesar.

Pulmonary Circulation & Lymphatics

Suplai paru didapatkan dari sirkulasi pulmonar dan


brochial.

Tracheobronchial Tree

Total aliran lymph pulmonar = 20mL/h

Berfungsi untuk menyalurkan udara ke dan dari alveoli.

Innervation

Saraf-saraf vagus menyediakan sensor innervation untuk


tracheobronchial tree.
BASIC MECHANISM OF BREATHING

Spontaneous Ventilation.

Tekanan didalam alveoli selalu lebih besar dibanding sekelilingnya


(intrathoracic) kecuali alveoli tidak berfungsi.

Mechanical Ventilation.
Kebanyakan mechanical ventilation menerapkan positive airway

pressure secara intermittent pada upper airway. Efek anesthesi


pada pola pernapasan sangatlah kompleks dan berkaitan erat dengan
perubahan posisi dan agen anesthesi yang digunakan.

Mekanisme Dasar Pernafasan


Perubahan periodik gas alveolar dgn gas segar dari jalan nafas
atas mereoksigenasi darah dan membuang CO2.

Ventilasi Spontan

Tekanan dlm alveoli selalu lebih besar dr sekitarnya kecuali


bila alveoli kolapas

Tekanan alveolar adalah pd akhir inspirasi & ekspirasi.

Sesuai dengan fisiologi pulmonal, tekanan pleural digunakan


sbg alat pengukuran tekanan intrathoracic, dirumuskan sbg
brkt:
P transpulmonal = P alveolar - P intrapleural

Pada Akhir ekspirasi tekanan intrapleural kira 2 -5cm H2O

Dan karena tekanan aveolar 0, tekanan transpulmonal adalah +


5cm H2O

Aktivitas otot diagframa dan intercostal selama inspirasi


memperluar rongga torak & menurunkan tekanan intraplueral
dari -5cm H2O menjadi -8 cm H2O, hasilnya tekanan alveolar
menurun (-3 dan -4cm H2O)

Dan gradien jalan nafas atas alveolar terbentuk, gas mengalir


dari jalan nafas atas ke alveoli. Pada akhir inspirasi
tekanan alveolar kembali ke 0. Tekanan transpulmonal yg baru
mempertahankan pengembangan paru.

Selama ekspirasi relaksasi diagframa mengembalikan tekanan


intapleural menjadi -5cm H2O, gas mengalir keluar dr alveoli
volume paru diisi kembali
Ventilasi Mekanik

Kebanyakan ventilasi mekanik intermiten menerpkan tekanan jln


nafas positif pd jln nafas atas

Selama inspirasi gas mengalir ke alveoli sampai tekanan


alveolar mencapai jln nafas atas

Selama fase ekspirasi tekanan jln nafas positif diturunkan;


gradien dibalikan gas mengalir keluar alveoli.
Efek Anastesi pada Pola Respirasi

Efek anastesi pada pernafasan berkaitan degan posisi & bahan


anastesi

Bila pasien posisi terlentang dari posisi berdiri / duduk


proporsi nafas dari rongga torak berkurang, lebih dominan
pernafasan abdomen.

Berkaitan dgn bahan yang digunakan, anastesi ringan sering


menyebabkan pola nafas ireguler paling sering menahan nafas.

Nafas menjadi reguler dgn level anastesi yg lebih dalam.

Induksi pd anastesi sering mengaktifkan otot ekspirator.

Pada anastesi yang lebih dalam aktifitas otot diturunkan.


MEKANISME VENTILASI
Elastic Resistance

The elastic recoil dari paru-paru selain berkaitan dengan


tingginya serabut elastin, juga kekuatan tekanan permukaan yang
mempengaruhi interface dari udara-cairan di alveoli.
Volume Paru-paru
Kemampuan maksimal untuk dapat memompa
Nonelastic Resistance
Mencakup :
1. Airway Resistance to Gas Flow
2. Tissue Resistance
ELASTIC RESISTANCE
Surface Tension Forces
Memiliki kecenderungan mengurangi area interface dan mengempisnya
alveolar.
Hukum Laplace dapat digunakan untuk mengukur kekuatan ini :

Compliance
Elastic recoil dapat pula diukur dengan compliance, yang
didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dibagi perubahan
dalam tekanan distensi.
Diposkan oleh Faisal Ibrahim di 3/17/2014 02:35:00 AM Tidak ada komentar:

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan


ke Pinterest

Jumat, 14 Maret 2014

Diposkan oleh Faisal Ibrahim di 3/14/2014 12:01:00 PM Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan
ke Pinterest

Pengaruh Penggunaan Minyak Angin Aromaterapi Terhadap Penurunan Respon


Mual Muntah Pada Pasien Pasca Operasi Dengan Tindakan General Anestesi Di
RSUD Dr. Chasan Boesoirie Ternate.
Faisal A.T Ibrahim1, Wahyu Ratna2, Nunuk Sri Purwanti2

Abstract
Background : The problem of PONV (Post Operative Nausea And Vomiting) is common in post
operative patients with general anesthesia in the General Hospital Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate,
the problem was caused because there was no kind of drug that can effectively fully control the
PONV, combination therapies are needed to reduce the incidence of PONV.
Objective : This study aimed to determine the efect of aromatherapy to decrease PONV response in
postoperative patients with general anesthesia action in the central surgical installation General
Hospital Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.
Methods : This study used quasi experimental method with one pre post design. Subject were all
patients PONV was surgery with general anesthetic action, that is a total of 37 people consisting of
8 male patients and 29 female patients, aromatherapy is given by way of as much as 1.5 ml dripped
on a piece of gauze and the inhaled for 60 minute at patients PONV after surgery. The study carried

out in December 2013 till January 2014. Tecniques data collection using observation checklist sheet
and data analysis with wilcoxon.
Results : Most respondents didnt experience nausea and vomiting thats 30 people (81,1%). Based
on the results of the statistical test wilcoxon p value : 0.000 significant meaning.
Conclusion : There is influence of the use of wind aromatherapy oils to decrease respon of PONV in
patients after surgery with general anesthesia in the General Hospital Dr. H. Chasan Boesoirie
Ternate.
Keywords : Aromatherapy , postoperative nausea, vomiting , general anesthesia

Abstrak
Latar belakang : Permasalahan mual muntah masih sering terjadi pada pasien pasca operasi
dengan general anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate,
permasalahan itu disebabkan karena tidak ada jenis obat yang secara efektif dapat sepenuhnya
mengontrol mual dan muntah, dibutuhkan terapi kombinasi untuk menekan insiden mual dan
muntah.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aromaterapi terhadap penurunan
respon mual dan muntah pada pasien pasca operasi dengan tindakan general anestesi di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.
Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan rancangan one
pre post design. Subjek penelitian adalah seluruh pasien mual muntah pasca operasi dengan
tindakan general anestesi yaitu sebanyak 37 orang terdiri dari 8 pasien laki laki dan 29 pasien
perempuan, aromaterapi diberikan dengan cara diteteskan sebanyak 1,5 ml pada selembar kassa
kemudian dihirupkan selama 60 menit pada pasien yang mengalami PONV pasca operasi,
penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2013 antara bulan Desember s.d Januari 2014. Tehnik
pengumpulan data menggunakan lembar check list observasi dan analisa datanya dengan
wilcoxon.
Hasil penelitian : Setelah dilakukan pemberian minyak angin aromaterapi, sebagian besar
responden tidak mengalami mual dan muntah yaitu 30 orang (81,1%). Berdasarkan uji statistik hasil
wilcoxon didapatkan nilai p Value : 0,000 yang berarti signifikan.
Kesimpulan : Ada pengaruh penggunaan minyak angin aromaterapi terhadap penurunan respon
mual muntah pada pasien pasca operasi dengan tindakan general anestesi di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.

Kata

kunci

Aromaterapi, mual muntah pasca operasi, general anestesi.


1

Student Of Nurse Anesthesia Department of Health Polytecnic of Ministry of Health In Yogyakarta, Tatabumi St, No3, Banyuraden, Gamping,
Sleman, DIY 55293, Telp/Fax 0274617885, Email reanimasi2012@gmail.com.
Lecture of Nursing Departmen of Health Polytecnic of Ministry of Health In Yogyakarta,Tatabumi St, No3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY
55293, Telp/Fax 0274617885, 55293

Diposkan oleh Faisal Ibrahim di 3/14/2014 11:54:00 AM Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan
ke Pinterest

Sabtu, 09 November 2013

OBAT OBAT PREMEDIKASI

A.

PENDAHULUAN
Dengan kemajuan teknik anestesi sekarang, tujuan utama pemberian
premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah
obat-obat yang digunakan, akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesia.

Kini obat premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pulih setelah
pembedahan singkat. Selain itu ditekankan agae obat-obat yang digunakan
sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien oleh karena kebutuhan tiaptiap pasien berbeda.

B.

MAKSUD DAN TUJUAN PREMEDIKASI


1.Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a. menghilangkan rasa khawatir

Kunjungan pra anestesi dan pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam
masalah yang dihadapi pasien seringkali membantu pasien dalam mengatasi
rasa sakit dan khawatir dalam menghadapi operasi.

b.memberikan ketenangan

Sedatif menyebabkan penurunan aktifitas mental, sehingga imajinasi menjadi


tumpul dan reaksi terhadap rangsangan berkurang.
Rasa kantuk
membebaskan rasa takut dan ketegangan emosi.

c. membuat amnesia

Banyak pasien dalam keadaan sadar pada akhir operasi, aklan tetapi tidak
dapat mengingat kejadian yang baru terjadi. Ada pasien dapat menerima
kejadian sebelum dan sesudah pembedahan tanpa gelisah emosional yang
berat. Banyak obat premedikasi menyebabkan amnesia. Obat yang
menyebabkan amnesia yang kuat ialah hiosin dan diazepam, lebih-lebih bila
diberikan bersama-sama atau dengan opiat.

d. memberikan analgesia

Umumnya pasien menunggu operasi bebas dari rasa nyeri dan banyak pasien
mengeluh nyeri pasca bedah. Eckenhof dan Herlich (1958) membuktikan
pasien dengan premedikasi narkotika kurang mengeluh nyeri pada masa pulih,
akan tetaqpi masa pulih lebih lama.

2.Memudahkan induksi

Pada saat ini kebutuhan pemberian obat-obatan khusus untuk membuat


induksi
anestesi menjadi lebih mudah sudah berkurang. Hal ini karena
banyak dipakai induksi intra vena dan penggunaan pelemas otot yang
mengurangi kesulitan khususnya pernafasan serta karena pemakaian uap yang
tidak merangsang seperti halothan. Sebelum induksi inhalasi lebih-lebih pada
pasien yang kekar dan emosional pemberian morfin atau pethidin banyak
menguntungkan. Selain itu disebutkan bahwa narkotika dapat mengurangi
takipnu yang sering terjadi selama anestesi dengan halothan.

3. Mengurangi dosis dan obat anestesi.

Tujuan premedikasi untuk mengurangi metabolisme basal (Goedel 1937)


sehingga
induksi dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan
diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga pasien akan sadar lebih cepat.

4. Menekan refleks yang tidak diinginkan.

Trauma bedah dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak
memadai. Obat-obat analgetika dapat diberikan sebelum pembedahan,
sehingga anestetika lemah seperti N2O memerlukan sedikit penambahan obatobat lain selama anestesi. Misalnya dilatasi sfingter anus dan penarikan
testikulus merupakan penyebab crowing selama anestesi yang dangkal.
Trauma pada kulit dapat menyebabkan perubahan denyut jantung dan tekanan
darah.

5. Mengurangi sekresi jalan nafas

Atropin dan hiosin mengurangi sekresi saluran nafas. Hal ini tampak
menguntungkan pada pemakaian eter. Sekresi berlangsung selama anestesi
dan dapat dirangsang oleh tindakan seperti pengisapan atau pemasangan pipa
jalan nafas trakea. Antikolinergik ini digunakan untuk mengurangi sekresi
bronkus sebelum anestesi.

C.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DOSIS OBAT


1.Usia

Merupakan variabel yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40 tahun
efek narkotika dan sedativa meninggi, karena rasa nyeri berkurang dengan
peningkatan usia. Fenomena ini disebabkan oleh karena penurunan kepekaan
terhadap rangsang sensorik dengan pertambahan usia tidak hanya penurunan
persepsi nyeri, tetapi juga penurunan aktifitas refleks jalan nafas.

2.Suhu

Setiap kenaikan suhu 1 derajat F, laju metabolisme basal naik sebesar 7 %.

3.Emosi

Merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju


metabolisme basal pra
anestesia. Takut dan ketegangan merupakan faktor utama dan keduanya
meninggikan kepekaan terhadap rasa nyeri.

4.Nyeri

Laju metabolisme basal meningkat, oleh karena rasa nyeri yang sebanding
dengan intensitas rasa nyeri.

5.Penyakit

Harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien dengan
penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek morfin lebih mudah
toksik, karena hati tidak dapat mengolah morfin dosis besar. Pada pasien
anemia pemakaian opiat atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.

D.

WAKTU DAN CARA PEMBERIAN OBAT


Tergantung kepada cara pemberian obat. Pemberian obat secara subcutan
tidak akan efektif dalam 1 jam, secara IM minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang
tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara IV. Obat akan segera efektif
sebelum induksi. Bila pembedahan belum akan dimulai dalam waktu 1 jam
dianjurkan pemberian premedikasi IM, cara subcutan tidak dianjurkan. Harus
diingat semua obat premedikasi bila diberikan secara IV dapat menyebabkan
sedikit hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara berlahan-lahan dan diencerkan.untuk

E.

OBAT-OBATAN YANG SERING DIGUNAKAN UNTUK PREMEDIKASI


1. SULFAS ATROPINE
(Parasympatholytic Agent)
Pharmakology

Obat ini mempunyai efek blokade pada organ-organ yang disarafi oleh
saraf cholinergic post ganglion seperti otot polos, glandula sekresi. Obat ini
adalah parasympatholitic depresant, parasympatewtic anticholinergic.
Pada mata menimbulkan paralise dari sphincter iris yang mengakibatkan
pupil melebar, walaupun demikian jika dosis hanya 0,6 mg tidak akan
mempengaruhi daya akomodasi. Kelenjar ludah, bronchial dan keringat
dilumpuhkan oleh obat ini, sedangkan otot-otot bronchial menjadi relax, yang
menyebabkan dead space anatomis dan physiologis sedikit bertambah. Pada
penderita dengan temperatur tinggi, obat ini harus diberikan dengan hati-hati
terutama anak-anak.
Pada sistem sirkulasi, kecepatan denyut jantung pada mulanya kadangkadang menjadi lebih lambat, akibat rangsangan meduler (vagal), tetapi efek
ini tidak tampak pada pemberian secara IV dengan dosis klinis. Atropine 1,3 mg
yang diberikan secara subcutan akan menaikkan denyutan nadi sebanyak 20
30 kali/menit dan berlangsung sampai 2 jam. Jika dosis 0,6 mg secara IV
diberikan, maka denyut nadi akan naik sampai 20 kali/menit. Atropine dapat
mencegah te3rjadinya reflex-[reflex yang menimbulkan vagal stimulation,
syscope, bradycardi. Dalam kasus-kasus tachycardia yang hebat, misal pada
thyrotoxicosis, hyperpyrexia atau penyakit jantung, penggunaan atropine
sebaiknya dihindari.
Suatu kenyataan telah membuktikan bahwa:
-

Jika sebelumnya tidak mendapat pre medikasi atropine, maka jika diberikan
atropine IV dengan dosis 0,5 mg akan terjadi bradicardia. Jika dosis lebih dari
0,5 mg akan terjadi tachycardia.
Jika penderita telah mendapat premedikasi atropine, maka jika diberikan lagi
dosis secara IV, maka akan terjadi tachycardia walau bagaimanapun kecepatan
penyuntikannya.
Obat ini dikeluarkan melalui ginjal dan sebagian dihancurkan dalam tubuh.
Dosis dewasa 0,4 0,6 mg.
2. Derivat fenothiazin
Derivat fenothiazin yang banyak di gunakan untuk premidikasi adalah
prometazin. Obat ini pada mulanya di gunakan sebagai anti histamin.
Kasiat farmakologi
Terhadap saraf
Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasioretikularis dan
hypothalamus
Menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat
sedative lainnya.

Ini berpotensi dengan

Terhadap respirasi
Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi
kelenjar.
Terhadap kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat memperbaiki perfusi jaringan
Terhadap saluran cerna efek lainnya
Menurunkan peristaltic usus, mencegah spasme dan mengurangi sekresi
kelenjar. Efek lainnya adalah menekan dekresi katekolamin dan sebagai
antikholinergik.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa kasiat promethazin sebagai obat
premedikasi adalah sebagai sedative, antiemetic, antikhonergik, antihistamin,
bronkodilator dan anti pretika.
Cara pemberian dan dosis
1. Intramuskular dosis 1 mg/ kgbb di berikan 30- 45 mnt sebelum induksi
2. Intravena, dengan dosis 0.5 mg/kg bb di berikan 5- 10 menit sebelum
induksi
Kemasan dan sifat
Di kemas dalam ampul 2 ml mengandung 50 mg tidak berwarna dan larut
dalam air.

3. MORPHINE
Berasal dari bahasa Gerika dari kata mopheus yang artinya dewa mimpi.
Pharmakologi
Obat yang mendepresi metabolisme secara langsun, efeknya yang
terutama adalah
pada susunan saraf pusat, sistem pernafasan dan pada usus.

Pada sistem saraf pusat :


Obat ini menyebabkan tidur dan analgesia. Lebih efektif untuk mengatasi rasa
sakit yang terus menerus dan tidak tajam dibandingkan dengan rasa sakit
yang tajam dan selang seling. Analgesia lebih efisien jika obat ini diberikan
sebelum terjadinya serangan rasa sakit dari pada jika sudah terjadi serangan

rasa sakit. Analgesia itu kadang-kadang disertai dengan euphoria. Obat ini
mendepresi pusat pernafasan. Tonus parasimpatis meninggi mungkin karena
efek anticholinestrasi dari morphine. Tekanan cerebrospinalis meninggi karena
bertambahnya aliran darah ke otak akibat kenaikan PCO2.

Pada sistem pernafasan :


Sensitifitas pusat pernafasan menurun.kecepatan dan dalamnya pernafasan
berkurang. PCO2 dalam arteri dan alveolus meninggi. Pernafasan dapat
menjadi periodik (chyne stokes) atau irregular (biot). Dapat pula terjadi
bronchoconstrictie oleh karena efek anticholinesterase. Depresi pernafasan
yang maksimum terjadi 30 menit setelah penyuntikan secara IM.
Faktor-faktor yang menambah depresi pernapasan setelah seseorang
mendapat morphine adalah tidur, umur yang lanjut, pemberian obat-obat lain
termasuk barbiturate anestesi umum alkohol phenothiazine.
Faktor-faktor yang melawan depresi pernafasan tersebut adalah rasa kasit,
keadaan emosi, tolerasi addictie, obat-obat tertentu sebagai antagonis seperti
nalorphine naloxone.

Pada gastrointestinalis :
Morphine menyebabkan spincter usus menyempit, gerakan lambung menurun,
pylorus berkontraksi. Tonus otot pada usus halus dan usus besar meninggi tapi
peristaltiknya menurun. Maka akibatnya terjadi konstipasi karena usus yang
spasme dan diam. Pengaruh morphine pada saluran makanan ini adalah secara
lokal (tidak central).
Atropine dan propantheline bromide 15 30 mg dapat melawan pengaruh ini,
sedangkan neostigmin akan memperkuat pengaruh morphine. Enek-enek dan
muntah-muntah terjadi karena rangsangan pada chemoreceptor medller bukan
rangsangan langsung dari muntah. Muntah-muntah yang terjadi dipengaruhi
oleh gerakan tubuh dan posisi penderita, karena morphine membuat pusat
muntah menjadi sensitive terhadap gerakan vestibulum. Perphenazine
(fentazine) adalah antidotum yang baik terhadap nausea dan muntah-muntah
akibat morphine. Obat ini dapat diberikan peroral, rectum atau injeksi.

Morphine menyebabkan spincter oddi (pada ductus choledoctus)


berkontraksi sehingga tekanan cairan empedu meninggikarena terhalang
pengosongannya. Atropine mempunyai sedikit antagonis dalam hal ini.
Tapinitroglycerine mempunyai antagonis yang kuat dalam hal ini.

Pada sistem cardiovasculer :


Pada dosis klinis pengaruhnya tidak begitu besar, kadang-kadang terjadi sedikit
menurun nadi dan tekanan darah terutama jika pemberian IV. Pada penderita
morphinis dapat diikuti dengan collaps vasculer jika ia secara mendadak
disuruh berdiri. Terjadi vasodilatasi terutama dikepala dan leher, pengeluaran
keringat meningkat. Morphine kadang-kadang menimbulkan rasa gatal
terutama pada hidung. Kadang menimbulkan reaksi alergi. Morphine dapat
meninggikan kadar gula darah.

Exkresi
Sebagian didetoxifikasi dalam liver, sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal.
Obat ini bisa ditemukan dalam kelenjar susu, ludah dan keringat. Pemberian
opium itu dapat menambah aktivitas SGOT pada beberapa penderita.

Keuntungan (sebagai premedikasi)


1. Menghilangkan ketakutan dan menimbulkan tenang.
2. Mengurangi jumlah obat anestesi yang diperlukan.
3. Mencegah terjadinya tachipnoe
4. Menciptakan analgesia.

Kerugian
1. Dapat menimbulkan konstipasi post-operasi, muntah-muntah dan ileus.
2. Menimbulkan depresi pernapasan, sehingga dapat menyebabkan respirasi
try
arrest jika diikuti dengan pemberian halothane atau cyclopropane.
3. Mempengaruhi ukuran pupil sebagai tanda dalamnya stadium anestesi.
4. Menimbulkan rasa ketagihan
5. Menghambat resumpsi dari respirasi spontan.

Perhatian
1. Pada bayi < dari 6 bulan, orang tua, lemah

2. Pada penderita dengan PCO2 meninggi, addison disease, hypothiroidism,


asthma,TIK meninggi.
3. Pada penderita yang mendapat MAO inhibitor.
4. Penderita yang akan diberikan halothane atau cyclopropane dan dengan
Respirasi spontan.

Dosis
Harus didasarkan pada usia, fisiologis dan faktor-faktor yang
mempengaqruhi kecepatan metabolisme3. Dosis sebaiknya tidak melebihi 0,2
mg/kg bb. pemberian morphine sebelum nyeri muncul lebih efektif
dibandingkan bila nyeri tersebut sudah muncul. Jika diperlukan dosis lebih
besar dari 15 mg, sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi. Anak-anak lebih
sensitif terhadap morphine, hal ini karena permeabilitas otak anak lebih besar
dibanding orang dewasa. Aturan umum untuk pemberian morphine pada anak
adalah untuk 20 lb pertama atau tahun pertama usianya diberikan 1 mg, untuk
setiap penambahan 10 lb dosisnya ditambah 1 mg. Secara umum dosis 0,1
mg / kg bb IM/SC.

KEPUSTAKAAN

1.

The Oxford Handbooks for Medical Auxiliaries Anaesthetics


By : A,B Vaughan M.B, F.F.A.R.C.S

2.

A. Synopsis of Anaesthesia, Sixth Edition

By : J.Alfred Lee. M.R.C.S., L.RPC.P. and R.S. Atkinson. M.A., M.B, B.Chir.,

3.

Recent Advances in Anaesthesia and Analgesia, Tenth Aditiopn.


By : J.D Robertson

4.

Medical Pharmacology. Principles and Concepts. Second Edition


By : Andres Goth.M.D

5. Buku ajar ilmu Anestesia dan Reanimasi dr. Gde Mangku, Sp.An.KIC, dkk

Anda mungkin juga menyukai