ANESTESI INHALASI
Disusun oleh:
Steven Jonathan, 0706259910
Toto Suryo Efar, 0706259942
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
banyak dipakai untuk induksi pada pediatri yang mana sulit dimulai dengan jalur intravena.
Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat
dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan
untuk pasien dewasa, mengingat baunya tidak menyengat dan onsetnya segera. Selain
induksi, agen inhalasi juga sering digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan.
Studi mengenai kaitan antara dosis obat, konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat
disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi
mengenai mekanisme aksi obat, termasuk respons toksik, disebut farmakodinamik
(bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah penjelasan secara umum tentang
farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi, akan dibahas farmakologi klinis dari
masing-masing agen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suddarth Brunner, Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit EGC, Jakarta :
2002.
2. Corwin, Elizabeth J, Patofisiologi, Penerbit EGC, Jakarta : 2000.
3. Doengoes, Marilynn, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC, Jakarta :
1999.
BAB II
ISI
A. Farmakokinetik Anestesi Inhalasi
Meskipun mekanisme aksi anestetik inhalasi masih belum diketahui secara pasti,
para ahli mengasumsikan bahwa efek anestesia diperoleh dari konsentrasi terapetik di
sistem saraf pusat. Sesuai dengan gambar berikut, terdapat beberapa langkah yang
diperlukan zat anestetik inhalasi mulai dari vaporisasi di mesin anestesi hingga
terdeposisi di jaringan otak.
aktual campuran gas yang diinspirasi dipengaruhi oleh laju aliran gas segar, volume
dalam sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin anestesia. Agen inhalasi yang terhirup
akan semakin dekat dengan konsentrasi yang keluar dari mesin anestesia apabila laju
aliran gas segar tinggi, volume sirkuit napas sedikit, dan absorpsi mesin rendah. Secara
klinis, atribut-atribut demikian ditampilkan sebagai kecepatan induksi dan pemulihan.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Alveolar (FA)
Terdapat tiga faktor yang menentukan konsentrasi alveolar, yakni ambilan,
ventilasi, dan konsentrasi.
Ambilan. Jika tidak ada ambilan (uptake) zat anestetik oleh tubuh, konsentrasi
alveolar (FA) akan segera mencapai konsentrasi inspiratori (FI). Karena agen inhalasi
diambil oleh sirkulasi pulmoner selama induksi, konsentrasi alveolar berkisar di bawah
konsentrasi inspiratori (FA/FI < 1). Semakin besar ambilan, semakin lambat
peningkatan konsentrasi alveolar dan semakin rendah pula rasio FA:FI.
Karena konsentrasi suatu gas sebanding dengan tekanan parsialnya, maka
tekanan parsial gas anestetik di alveolus juga lambat peningkatannya. Tekanan parsial
alveolar ini penting karena turut menentukan tekanan parsial agen anestetik tersebut di
darah dan lebih lanjut di otak. Kembali lagi, tekanan parsial gas anestetik di otak secara
langsung memengaruhi konsentrasi zat di jaringan otak, yang menentukan efek klinis
pada pasien. Jadi, semakin besar ambilan agen anestetik, semakin besar pula perbedaan
antara konsentrasi alveolar dengan konsentrasi inspiratori, dan semakin lambat
kecepatan induksi.
Terdapat tiga hal yang dapat memengaruhi ambilan anestetik: solubilitas dalam
darah, aliran darah alveolar, dan perbedaan tekanan parsial antara udara alveolar dan
darah vena.
Zat yang insolubel seperti nitrous oksida diambil oleh darah lebih lambat
daripada zat yang solubel seperti halotan. Akibatnya, konsentrasi alveolar nitrous
oksida meningkat lebih cepat daripada halotan, dan induksinya lebih cepat. Solubilitas
relatif dari anestetik dalam udara, darah, dan jaringan diekspresikan dalam koefisien
partisi, seperti tampak pada tabel di atas. Masing-masing koefisien adalah rasio
konsentrasi gas anestetik di dua medium saat terjadi kesetimbangan.
Nitrous
oksida
0.47
1.1
1.2
2.3
Halotan
2.4
2.9
3.5
60
Isofluran
1.4
2.6
4.0
45
Desfluran
0.42
1.3
2.0
27
Sevofluran
0.65
1.7
3.1
48
Faktor lain yang ikut memengaruhi ambilan adalah aliran darah alveolar, yang
kurang lebih sama dengan curah jantung. Seiring dengan meningkatnya curah jantung,
ambilan anestetik turut meningkat, dan peningkatan tekanan parsial alveolar semakin
melambat, dan induksi menjadi lebih lambat. Pengaruh mengubah curah jantung
kurang bermakna untuk anestetik insolubel, mengingat yang dapat terdifusi ke darah
alveolar memang sedikit, baik aliran darah di sana lebih deras ataupun lebih tenang.
Keadaan curah jantung yang sedikit merupakan berisiko mengakibatkan overdosis
dengan anestetik sobulel, karena peningkatan konsentrasi alveolar yang terlalu cepat.
Bahkan halotan, yang mempunyai efek depresi myokardial, apabila kadar alveolarnya
lebih dari yang diharapkan akan semakin menurunkan curah jantung dan menciptakan
umpan balik positif yang membahayakan pasien.
Satu faktor lagi yang memengaruhi ambilan anestetik oleh sirkulasi pulmoner
adalah perbedaan tekanan parsial antara gas alveolar dan darah vena. Gradien ini
bergantung pada ambilan oleh jaringan. Transfer anestetik dari darah ke jaringan
ditentukan oleh tiga faktor yang analog dengan ambilan sistemik, yakni solubilitas
agen di jaringan (koefisien partisi jaringan/darah seperti pada tabel halaman
sebelumnya), aliran darah jaringan, dan perbedaan tekanan parsial antara darah arterial
dengan jaringan.
Jaringan dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan perfusi dan solubilitasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak, jantung, liver, ginjal, dan organ endokrin)
adalah yang pertama mengambil anestetik dalam jumlah yang signifikan. Grup otot
(kulit dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup yang pertama, sehingga
ambilannya lebih pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan oleh grup kedua ini
berlangsung dalam beberapa jam. Berlanjut ke grup berikutnya, perfusi di grup lemak
kurang lebih sama dengan grup otot; tetapi solubilitas anestetik pada grup lemak yang
luar biasa sekaligus volume jaringan yang relatif besar menghasilkan kapasitas total
yang memerlukan beberapa hari untuk diisi. Grup terakhir beranggotakan jaringan
perfusi minimal dengan vaskularisasi rendah (tulang, ligamen, gigi, rambut, dan
kartilago) hampir tidak memberi kontribusi terhadap ambilan anestetik.
Tabel 2. Klasifikasi jaringan berdasarkan perfusi dan solubilitas
Karakteristik
Vessel
Rich
Otot
Lemak
Vessel
Poor
10
50
20
20
Persentase curah
jantung
75
19
Perfusi (mL/min/100 g)
75
20
Solubilitas relatif
Ambilan anestesi meng-hasilkan kurva konsentrasi alveolar per waktu yang khas
untuk masing-masing anestetik (diagram 1). Bentuk dari setiap grafik tersebut
ditentukan oleh ambilan jaringan sesuai dengan grupnya (diagram 2). Mula-mula
konsentrasi alveolar meningkat tajam oleh karena pengisian alveolar melalui ventilasi.
Peningkatan tersebut kemudian melambat seiring dengan ambilan jaringan, terutama
oleh grup kaya vaskuler dan grup otot, hingga mencapai kapasitas totalnya.
Diagram 2. Pengaruh
ambilan jaringan
terhadap peningkatan
tekanan parsial alveolar
jika konsentrasi inspirasi ditingkatkan menjadi 80% (80 bagian anestetik per 100
bagian gas), konsentrasi alveolar menjadi 67% (40 bagian anestetik tersisa dari volume
60 bagian gas). Melihat dua sampel tersebut, konsentrasi inspiratori yang lebih tinggi
akan menghasilkan konsentrasi alveolar yang lebih tinggi secara disproporsional. Di
contoh tadi, peningkatan 4 kali konsentrasi inspiratori akan menghasilkan 6 kali
konsentrasi alveolar.
Fenomena yang kedua adalah efek aliran teraugmentasi (augmented inflow
effect). Meneruskan contoh di atas, untuk mencegah kolapsnya alveoli, 10 bagian
anestetik yang diabsorpsi oleh sirkulasi pulmoner harus digantikan oleh gas campuran
dengan konsentrasi inspirasi 20%. Dengan demikian, konsentrasi alveolar menjadi
12% (10+2 bagian anestetik dari total 100 bagian gas). Lebih kontras, setelah absorpsi
50% anestetik dari gas 80% yang diinspirasi, perlu penggantian sebanyak 40 bagian
menggunakan gas 80% pula. Dalam kasus ini akan diperoleh konsentrasi alveolar
meningkat dari 67% menjadi 72% (40+32 bagian anestetik dari total volume 100
bagian gas).
Kedua fenomena yang termasuk efek konsentrasi di atas lebih dirasakan pada
penggunaan nitrous oksida daripada agen inhalasi lainnya, karena anestetik tersebut
dapat digunakan dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi. Sebagai tambahan,
konsentrasi nitrous oksida yang tinggi akan teraugmentasi tidak hanya dipengaruhi
oleh ambilan agen itu sendiri, melainkan juga oleh konsentrasi anestetik inhalasi
lainnya. Fenomena yang satu ini disebut efek gas kedua (second gas effect) yang secara
klinis tidak terlalu bermakna.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsentrasi Arterial (Fa)
Hanya terdapat satu faktor yang memengaruhi konsentrasi arterial secara
bermakna, yakni ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Normalnya, tekanan parsial
anestetik di alveoli diasumsikan sama dengan darah arteri. Akan tetapi kenyataannya
tekanan parsial arterial secara konstan kurang dari yang diperkirakan. Alasan di balik
kejanggalan ini adalah pencampuran di darah vena, ruang rugi alveolar, dan distribusi
gas di alveoli yang tidak merata. Lebih lanjut, adanya ketidakseimbangan ventilasiperfusi akan semakin meningkatkan perbedaan konsentrasi alveolar dengan arterial.
anestetik
solubel
yang
mengalami
metabolisme
ekstensif
seperti
Agen
MAC%
Nitrous oksida
105
Halotan
0.75
Isofluran
1.2
Desfluran
6.0
Sevofluran
2.0
potensi setiap anestetik sekaligus memberikan standar baku untuk penelitian. Meskipun
demikian, nilai MAC tetap saja hanya merupakan angka statistikal belaka pada saat
menangani pasien; masing-masing pasien merupakan individu yang unik dan oleh karena
itu memerlukan pendekatan yang bersifat individual pula, misalnya pada saat menentukan
dosis induksi.
C. Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari
udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan
zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk
cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi
lain.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular dapat dijelaskan melalui tendensinya dalam
menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini mendepresikan
kontraktilitas otot jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah jantung,
serta frekuensi nadi tidak mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit peningkatan
karena adanya stimulasi katekolamin, sehingga peredaran darah tidak terganggu
(kecuali pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau hipovolemik berat).
Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan
penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N 2O dapat
menyebabkan berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya diberikan
dalam jumlah kecil, sehingga dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi
lebih lama dalam keadaan tidak sadar).
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat pada
sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi
oksigen serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen anestetik inhalasi
lain, di mana N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi
tinggi pada ruangan hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas otot skeletal.
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan meningkatkan
resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju filtrasi glomerulus dan
jumlah urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam
jumlah yang lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap
gastrointestinal adalah adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat
aktivasi dari chemoreceptor trigger zone dan pusat muntah di medula. Efek ini dapat
muncul pada anestesi yang lama.
Biotransformasi dan Toksisitas
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat
sehingga kini hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain
karena kesukarlarutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial sehingga
induksi dapat lebih cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk
mempertahankan anestesia). Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat
dicapai tapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah
dengan pemberian O2 100% setelah N2O dihentikan). Efek relaksasi otot yang
dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat pelumpuh otot. N2O dieksresikan
dalam bentuk utuh melalui paru-[aru dan sebagian kecil melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada vitamin B 12, N2O
menginhibisi enzim yang tergantung pada vitamin B 12, seperti metionin sintetase yang
penting untuk pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting untuk
sintesis DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi sumsum
tulang (anemia megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati perifer). Oleh
karena efek teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang sedang hamil
(terbukti pada hewan coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Interaksi Obat
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen
inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau
enfluran dari 1,68% menjadi 0,6%.
Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat
tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk
cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol
berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan
anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia
dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan.
Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena keamanannya
hingga kini tetap digunakan di dunia.
Efek terhadap Sistem Organ
2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah
jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos
pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah
terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor
terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan
(sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan pembedahan tetap memicu respons
simpatis). Makin dalam anestesia, makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah
jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek bradikardi disebabkan aktivitas
vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan diperkuat oleh pemberian
agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung. Efek vasodilatasi
yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran
darah.
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju
napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi
alveolar turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan
disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di
mana dapat mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi
mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah
dilakukan), namun dapat mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek
bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol.
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi
vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun
aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O 2 yang
berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan
meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu
hipertermia malignan.
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi
glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah
arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik,
bahkan dapat menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan
klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam
tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol,
dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit
utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian
disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan
status mental pascaanestesi. Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh:
hepatitis viral, perfusi hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia
hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan
nekrosis hati sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan
pada kulit disertai eosinofilia.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah
mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan massa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek
depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik
(seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion kalsium (seperti verapamil).
Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan inhibitor monoamin oksidase
(MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah dan aritmia. Kombinasi halotan
dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.
Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia
yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran.
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan
pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang
dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat
induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah,
volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Efek terhadap Sistem Organ
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah jantung
dijaga dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik meningkatkan aliran
darah otot, menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan menurunkan tekanan darah
arteri (karena vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada pembuluh darah koroner
sehingga dipandang lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung (dibanding
halotan atau enfluran), namun ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat
coronary steal (pemindahan aliran darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang
perfusinya baik).
Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain, yakni
depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu juga
berperan sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas yang
menyebabkan hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat dibanding
enfluran. Isofluran juga mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan anestesi lama
dapat menyebabkan penumpukan mukus di saluran napas.
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran
dapat meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek terhadap
neuromuskular adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh otot
depolarisasi maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap
ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin.
Efek terhadap hati adalah menurunkan aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan
vena porta), fungsi hati tidak terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida
serum meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel. Belum pernah
dilaporkan adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran.
Penggunaannya tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena dapat merelaksasi otot
polos uterus (perdarahan persalinan). Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam
sesudah anestesia, tapi tidak terjadi mual muntah pascaoperasi.
Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja atom klorin
pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih
rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan
induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah
obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih
digunakan untuk prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat
iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen
anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan isofluran, hanya saja tidak
seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan aliran darah arteri koroner. Efek
terhadap respirasi adalah penurunan volume tidak dan peningkatan laju napas. Secara
keseluruhan terdapat penurunan ventilasi alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO2.
Efek terhadap SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi
peningkatan TIK, serta penurunan konsumsi oksigen oleh otak. Tidak ada laporan
nefrotoksik akibat desfluran, begitu juga dengan fungsi hati.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat, hipertermia
malignan, dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat meningkatkan kerja obat
pelumpuh otot nondepolarisasi sama halnya seperti isofluran.
Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi
inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam
1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan.
Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami
penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada
laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat
mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah
peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah
serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap
memungkinkan, konsentrasi end-tidal dari volatil agent harus tetap konstan selama
pengawasan periode kritis. Bagaimanapun, bila hal ini tidak tercapai, perubahan
pada latency dan amplitudo harus diantisipasi dan dipertimbangkan dalam
menginterpretasi data, dimana lebih mudah berbicara daripada melakukan jika
peningkatan kedalaman anestesi disebabkan oleh critical surgery dissection.
Bagaimanapun, penemuan ini sama dg studi terdahulu yg menunjukkan bahwa
konsentrasi end-tidal 1 MAC halotan dan 0.5 MAC enflurane atau isoflurane
masing-masing dalam 60% N2O sesuai dg monitoring SEP yg efektif. Studi
terakhir menunjukkan bahwa konsentrasi anestesi volatil yg konsisten dg beberapa
data yg terpercaya dapat meningkat dg mengeliminasi N2O. Analisis dari power
spectrum data dan asal mula rasio dari power L dan B terhadap power S dapat
digunakan untuk menentukan waktu yg mengancam kesadaran dibawah anestesi
dg isoflurane. Konsentrasi end-tidal rata-rata pada isoflurane yg disontinyu adalah
0.46 + 0.09 vol % dan 0.4 + 0.01 vol % saat pasien membuka mata. Waktu antara
membuka mata dan delta shift poin kira-kira 3.2 menit dan keseluruhan waktu
untuk bangun adalah 8.3 menit.
Metabolisme Isoflurane
Pada manusia, metabolisme isoflurane adalah 1/10 sampai 1/100 dari
anestesi berhalogen lain yg tersedia. Kira-kira 0.17% dari isoflurane yg diambil
dapat menjadi metabolit. Kadar yg rendah ini terpelihara pada hewan bahkan
setelah pretreatment dg obat seperti fenobarbital dan fenitoin yg secara rutin
digunakan dalam neurosurgical dan memicu kemampuan respon enzim hati
terhadap metabolisme isoflurane. Minimal biodegradasi isofluran merupakan
modal yg bermakna sejak toksisitas organ bisa disebabkan oleh hasil
metabolisme. Lebih daripada itu, farmakokinetik dan metabolisme isoflurane tidak
dipengaruhi oleh durasi pemberian anestesi.
NARKOTIK
Untuk beberapa prosedur neurosurgical opioid short acting ( fentanyl,
sulfentanil, dan alfentanil ) telah dianjurkan baik sendiri atau kombinasi dg N2O
sebagai alternatif yg aman untuk isoflurane. Bagaimanapun, beberapa studi
memberi hasil yg bertentangan; dimana agent ini dipertimbangkan untuk
digunakan sama, efek cerebral ringan, yg kenyataanya bukan sebagai kasus.
Dinamika Intrakranial
Secara umum, PaCO2 dan temperatur yg konstan, dosis premed dari
narkotik short acting mempunyai efek yg kecil terhadap CBF atau CMRO2.
Fentanyl intravena menunjukkan hasil penurunan dose-related pada CBF dan
CMRO2 tikus. Depresi maksimal terjadi pada 100mg/kg, dimana CMRO2 dan
CBF menurun hingga 35% dan 50% berturut-turut. Fentanyl dg dosis yg lebih kecil
( 5mg/kg atau kurang) mungkin tidak berefek pada CMRO2. Pada anjing yg
dianestesi dg pentobarbital ( 30 mg/kg), fentanyl ( 25 mg/kg) secara signifikan tidak
merubah CBF atau CMRO2 atau merubah respon cerebrovaskular terhadap
hipoksia atau hiperkapne atau merubah batas autoregulasi. Sufentanil dosis tinggi
juga menurunkan CBF dan CMRO2, dg penurunan maksimum 53% dan 40%,
berturut-turut, terjadi pada dosis 80 mg/kg. Dosis yg lebih tinggi tidak memberi
perubahan lebih lanjut. Bagaimanapun, studi canine terbaru menunjukkan bahwa
sufentanil menghasilkan peningkatan CBF yg sangat besar tanpa peningkatan
sedikitpun pada CMRO2. Studi klinis membandingkan infus dari fentanyl,
sufentanil, atau alfentanil dg N2O 60% dalam O2 pada pasien dg supratentorial
tumor. Tidak ada perubahan pada tekanan CSF lumbar. CPP menurun 14%.
Perubahan terjadi sangat dramatis setelah pemberian sufentanil ( tekanan CSF
meningkat 89%; CPP menurun 25%) dan alfentanil ( tekanan CSF meningkat 22%;
CPP menurun 37%). Peningkatan tekanan dapat dicegah dg hiperventilasi.
Bagaimanapun, pasien dg perkembangan lesi massa intrakranial yg cepat
memberi dampak yg kurang baik oleh sufentanil.
Pasien dg edema jaringan otak dihubungkan dg tumor, respon
cerebrovaskuler terhadap CO2 muncul untuk menjaga dg lebih baik selama
anestesi dg fentanyl-suplemented N2O-O2 dibandingkan dg selama anestesi dg
isoflurane.
Efek pada Metabolisme Cerebral
Telah dijelaskan sebelumnya, fentanyl digunakan untuk mejaga gabungan
dan menyebabkan reduksi dose-dependen dari CBF dan CMRO2. Model tikus
hipoksia, Fentanyl diberikan sebelumnya pada insult tidak mempertahankan
adenosin cortical, trifosfat, atau fosfokreatin atau mencegah perkembangan laktat
asidosis. Lebih dari itu, fentanyl tidak memiliki efek pada metabolit energi cerebral.
Efek Electrophysiologic
Sejumlah laporan anekdot menganjurkan bahwa induksi anestesi dg
fentanyl atau sufentanil dapat menyebabkan aktifitas kejang. Penilaian EEG dari
20 pasien yg diberi fentanyl, 20 dg sufentanil dan 87 dg alfentanil tidak
menunjukan bukti adanya aktifitas kejang yg sesungguhnya. Juga tidak terdapat
bukti dari postictal state pada pasien manapun, seperti yg timbul setelah kejang yg
dipicu oleh anestesi inhalasi atau lokal. Bagaimanapun, rigiditas dinding dada
sangat umum dihubungkan dg pemberian opiat baru (khususnya alfentanil) adalah
berhubungan dg peningkatan ICP yg lebih besar, mungkin karena obstruksi dari
cerebral venous return.
Tidak ada perubahan secara statistik pada SEPs nervus tibial posterior yg
ditemukan setelah sufentanil 0.5 mg/kg/jam atau alfentanil 0.5 mg/kg/jam.
Kegunaan fentanyl dosis tinggi ( 10 mg/kg ) dalam menjaga visual evoked respon
yg adekuat pada 12 pasien yg akan menjalani coronary artery bypass telah
diterima.
Metabolisme Narkotik
Metabolit opioid secara esensial tidak aktif dan tidak menyebabkan
kerusakan organ. Degradasi hepar adalah penting. Pertimbangan interaksi obat
antara tranquilizers, antidepresan, dan narkotik- faktor yg mungkin penting pada
Respirasi Seluler
Dihasilkan 38 ATP
Metabolisme Anaerob
expirasi pasif
Tracheobronchial
Fungsi membawa aliran gas dari dan ke alveoli
Pembagian dikotom dimulai dari trakea dan berakhir pada
kantung alveolar, diperkirakan melibatkan 23 divisi atau
generasi. Tiap kantung alveolar terdiri atas 17 alveoli.
Kira2 300 juta alveoli luas permukaan membran u/ pertukaran
gas pd org dewasa.
Peredaran Darah Paru-paru & Limfatik
Inervasi
Tracheobronchial Tree
Innervation
o Saraf-saraf vagus menyediakan sensor innervation
untuk tracheobronchial tree.
Spontaneous Ventilation.
Mechanical Ventilation.
Ventilasi Spontan
Ventilasi Mekanik
MEKANISME VENTILASI
Elastic Resistance
The elastic recoil dari paru-paru selain berkaitan dengan
tingginya serabut elastin, juga kekuatan tekanan permukaan
yang mempengaruhi interface dari udara-cairan di alveoli.
Volume Paru-paru
Kemampuan maksimal untuk dapat memompa
Nonelastic Resistance
Mencakup :
1. Airway Resistance to Gas Flow
2. Tissue Resistance
ELASTIC RESISTANCE
Surface Tension Forces
Memiliki kecenderungan mengurangi area interface dan
mengempisnya alveolar.
Hukum Laplace dapat digunakan untuk mengukur kekuatan ini :
Compliance
Elastic recoil dapat pula diukur dengan compliance, yang
didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dibagi perubahan
dalam tekanan distensi.
PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi
darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat
disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997 )
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran
oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung Harapan Kita, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam parub-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam
sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang bebrbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk
secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya.
Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi
bantuan ventilator karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.
Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala,
stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena
terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan
efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke
gagal nafas akut.
ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan
menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor
pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru.
Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau
trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan
yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut
dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk
memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan
oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma
bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyababkan gagal nafas.
PATHWAYS
TANDA
DAN
GEJALA
TANDA
Gagal
1.
Napas
Aliran
udara
di
mulut,
Total
hidung
tidak
dapat
didengar/dirasakan.
2. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada
pengembangan
3.
Adanya
dada
kesulitasn
inflasi
pada
parudalam
Gagal
usaha
inspirasi
memberikan
ventilasi
nafas
buatan
parsial
Ada
retraksi
dada
GEJALA
*
Hiperkapnia
yaitu
penurunan
kesadaran
(PCO2)
PENUNJANG
Pemerikasan
gas-gas
darah
arteri
Hipoksemia
Ringan
PaO2
<
80
mmHg
Sedang
PaO2
<
60
mmHg
40
mmHg
Berat
PaO2
Pemeriksaan
<
rontgen
dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui
Hemodinamik
Tipe
peningkatan
PCWP
Mungkin
EKG
memperlihatkan
bukti-bukti
regangan
jantung
di
sisi
kanan
Disritmia
PENGKAJIAN
Pengkajian
Primer
1.
Airway
Peningkatan
sekresi
pernapasan
Bunyi
nafas
krekels,
ronki
dan
mengi
2.
Breathing
Menggunakan
Kesulitan
otot
bernafas
aksesori
lapar
udara,
pernapasan
diaforesis,
sianosis
3.
Circulation
Penurunan
curah
jantung
gelisah,
letargi,
takikardia
Sakit
Gangguan
tingkat
kesadaran
kepala
ansietas,
gelisah,
kacau
mental,
mengantuk
Papiledema
Penurunan
haluaran
urine
PENTALAKSANAAN
MEDIS
Terapi
Pemberian
oksigen
kecepatan
rendah
oksigen
:
masker
Venturi
atau
nasal
prong
Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
Inhalasi
nebuliser
Fisioterapi
dada
Pemantauan
hemodinamik/jantung
Pengobatan
a).
Brokodilator
b).
Steroid
Dukungan
nutrisi
sesuai
DIAGNOSA
1.
Pola
kebutuhan
KEPERAWATAN
nafas
tidak
efektif
b.d.
penurunan
ekspansi
Tujuan
paru
:
efektif
Kriteria
Hasil
Pasien
menunjukkan
Frekuensi,
irama
dan
kedalaman
pernapasan
normal
Adanya
Gas-gas
penurunan
darah
dispneu
dalam
batas
normal
Intervensi
Kaji frekuensi,
kedalaman
vital
Kaji
tanda
dan kualitas
dan
tingkat
pernapasan
kesasdaran
serta
setaiap
pola
pernapasan.
jam
dan
prn
penurunan
Auskultasi
dada
untuk
mendengarkan
PaO2
bunyi
nafas
setiap
jam
Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat
untuk
mengoptimalkan
pernapasan
Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama
batuk
Instruksikan
pasien
untuk
melakukan
pernapasan
diagpragma
atau
bibir
Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat
dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih,
atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk
diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi
sekunder
terhadap
hipoventilasi
Tujuan
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat
Kriteria
Hasil
Pasien
mampu
:
menunjukkan
Bunyi
paru
bersih
Warna
kulit
normal
Gas-gas
Intervensi
darah
dalam
batas
normal
untuk
usia
yang
diperkirakan
:
Kaji
terhadap
tanda
dan
gejala
hipoksia
dan
hiperkapnia
Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat
kesadaran
pada
dokter.
Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam
PaCO2
atau
penurunan
dalam
PaO2
Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau
PEEP.
Auskultasi
dada
untuk
mendengarkan
bunyi
nafas
setiap
jam
Pantau
Berikan
cairan
Berikan
obat-obatan
Evaluasi
AKS
3.
irama
Kelebihan
parenteral
sesuai
dalam
jantung
pesanan
hubungannya
volume
sesuai
bronkodilator,
dengan
penurunan
cairan
b.d.
pesanan
antibiotik,
steroid.
kebutuhan
oksigen.
edema
pulmo
Tujuan
Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan
Kriteria
Hasil
Pasien
mampu
menunjukkan:
TTV
normal
Balance
cairan
dalam
Tidak
batas
normal
terjadi
edema
Intervensi
Timbang
Monitor
Kaji
Kaji
tanda
tanda-tanda
4.
input
BB
dan
dan
output
gejala
kelebihan
Monitor
Kolaburasi
Gangguan
pasien
tiap
penurunan
volume
hari
jaringan
pemberian
b.d.
jam
curah
edema,
jantung
BB
parameter
untuk
perfusi
tiap
CVP
hemodinamik
cairandan
penurunan
curah
elektrolit
jantung
Tujuan
Hasil
Pasien
mampu
Status
hemodinamik
menunjukkan
dalam
bata
TTV
normal
Intervensi
normal
Kaji
tingkat
Kaji
kesadaran
penurunan
Kaji
perfusi
status
Kaji
Kaji
jaringan
hemodinamik
irama
sistem
EKG
gastrointestinal
Daftar
pustaka
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott
company,
Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien,
EGC,
Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB
Lippincott
Company,
Philadelphia.
http://akperppnisolojateng.blogspot.com
Proses keperawatan pasca operatif pada praktiknya akan dilaksanakan secara berkelanjutan
baik di ruang pemulihan, ruang intensif, dan ruang rawat inap bedah. Untuk di ruang
pemulihan akan dilaksanakan secara mandiri oleh penata anestesi. Keahlian perawat
pascaoperatif dibentuk dari pengetahuan keperawatan professional dan keterampilan
psikomotor, yang kemudian dibaurkan ke dalam tindakan keperawatan yang harmonis,
kemampuan dalam pengenalan masalah pasien yang resiko atau actual yang akan
didapatkan pada setiap fase perioperatif didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman
keperawatan perioperatif akan mengarahkan perencanaan intervensi keperawatan untuk
membantu penanganan atau pencegahan masalah. Rencana keperawatan disusun sesuai
dengan respons pasien dan dievaluasi keefektifan nya dalam memenuhi tujuan pasien dan
keperawatan.
Fase pascaoperatifadalah suatu kondisi dimana pasien sudah masuk di ruang pulih sadar
sampai pasien dalam kondisi sadar betul untuk dibawa ke ruang rawat inap.
PROSES KEPERAWATAN DI RUANG PULIH SADAR
Ruang pulih sadar (recovery room) atau unit perawatan pascaanestesi (PACU) merupakan
suatu ruangan untuk pemulihan fisiologis pasien pascaoperatif. PACU biasanya terletak
berdekatan dengan ruang operasi. Pasien yang masih di bawah pengaruh anestesi atau yang
pulih dari anestesi ditempatkan di unit ini untuk kemudahan akses ke : 1 ) perawat yang
disiapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera; 2) ahli anestestesi dan ahli bedah; 3)
alat pemantau dan peralatan khusus, medikasi, dan penggantian cairan, dalam lingkungan
ini, pasien diberikan perawatan spesialis yang disediakan oleh mereka yang sangat
berkualifikasi untuk memberikannya.
Ruangan dijaga agar tenang , bersih, dan bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan.
Ruangan juga harus dicat dengan warna yang lembut, menyenangkan, dan mempunyai : 1)
pencahayaan tidak lansung ; 2) plafon kedap suara ; 3) peralatan yang mengontrol atau
menghilangkan suara ; dan 4) ruang terisolasi (kotak berkaca) untuk pasien yang
terganggu . gambaran ini juga memberikan nilai psikologis bagi pasien untuk menurunkan
ansietas.
Alat pemantau tersedia untuk memberikan penilaian yang akurat dan cepat tentang kondisi
pasien . peralatan khusus termasuk tipe alat bantu pernapasan, yaitu oksigen, laringoskop,
set traekostomi, peralatan bronchial, kateter, ventilator mekanis, dan peralatan suction.
Peralatan lain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi, seperti apparatus, tekanan
darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, nampan berisi set intravena, set pembuka
jahitan, peralatan henti jantung, defibrillator, keteter vena, dan tourniquet. Bahan-bahan
balutan bedah, narkotik,medikasi kedaruratan, set kateterisasi, dan peralatan drainase,
tempat tidur pemulihan memberikan akses mudah dan cepat ditempatkan dalam posisi
syok, dan mempunyai kelengkapan yang memudahkan perawatan, seperti tiang intravena,
pagar tempat tidur brankar beroda , dan rak penyimpan kertas catatan.
Pengkajian
Pengkajian dan intervensi pada saat pemindahan
Pengkajian pascaanastesi dilakukan sejak pasien mulai dipindahkan dari kamar operasi ke
ruang pemulihan. Pengkajian dilakukan saat memindahkan pasien yang berada di atas
brankar, perawat, mengkaji dan melakukan intervensi tentang kondisi jalan napas, tingkat
kesadaran, status vascular, sirkulasi, pendarahan, suhu tubuh, dan saturasi, oksigen.
Pengaturan posisi kepala pada saat pemindahan sangat penting dilakukan dengan tetap
menjaga kepatenan jalan nafas.
Saat pasein masuk ke PACU, perawat dan anggota tim bedah menyerahkan status pasien.
Laporan tim bedah mencakup laporan tentang obat anestesi yang diberikan, sehingga
perawat PACU dapat mengantisipasi dengan mudah pasien mana yang seharusnya sudah
sadar. Laporan pemberian cairan IV atau transfusi darah selama pembedahan berlansung
mengingatkan perawat pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Dokter bedah sering
melaporkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus (misalnya pasien yang
beresiko mengalamai pendarahan atau infeksi) . perawat menerima laporan adanya
komplikasi yang terjadi selama pembedahan berlansung, laporan ini diberikan saat petugas
PACU menerima kedatangan pasien. Perawat akan memasang berbagai jenis peralatan
monitor, seperti alat monitor tekanan darah noninvasif, alat monitor EKG, dan oksimeter
nadi, pada periode pemulihan ini, sebagian besar pasien menerima oksigen melalui
beberapa cara.
Pada saat pasien siap dipindahkan dari PACU, petugas memberitahu divisi keperawatan
tentang kedatangan pasien. Hal ini akan memudahkan petugas keperawatan untuk member
informasi kepada anggota keluarga pasien tentang tindakan pembedahan yang telah
dijalani. Perawat biasanya menganjurkan anggota keluarga untuk tetap berada di ruang
tunggu sehingga mereka dapat dengan mudah ditemukan jika dokter bedah datang untuk
menjelaskan kondisi pasien. Dokter bedah akan memberi gambaran tentang status pasien.
Dokter bedah akan memberi gambaran tentang status pasien, hasil pembedahan,dan adanya
komplikasi.
Efek anestesi pada system saraf pusat akan mempengaruhi penurunan control kesadaran
dan kemampuan dalam orientasi pada lingkungan sehingga pasien yang mulai sadar
biasanya gelisah. Kondisi penurunan reaksi anestesi akan bermanifestasi pada munculnya
keluhan nyeri akibat kerusakan neuromuscular pascaoperasi. Pasien pascaoperasi
cenderung mengalami kecemasan pascaoperasi sehubungan dengan penurunan kemampuan
adaptasi normal.
Secara umum, efek anestesi juga mempengaruhi terhambatnya jaras aferen dan eferen
terhadap control miksi, sehingga berimplikasi pada masalah gangguan pemenuhan
eliminasi urine. Efek anestesi akan menimbulkan penurunan peristaltic usus dan
berimplikasi pada peningkatan resiko paralisis usus dengan distensi otot-otot abdomen dan
timbulnya gejala obstruksi gastrointestinal. Efek anestesi juga mempengaruhi penurunan
kemampuan pengosongan lambung. Sehingga cenderung terjadinya refluks esophagus dan
makanan keluar ke kerongkongan yang memicu terjadinya aspirasi makanan ke saluran
nafas.
Respons pengaturan posisi bedah akan menimbulkan peningkatan resiko terjadinya
tromboemboli, parastesia, dan cedera tekan pada beberapa penonjolan tulang. Efek
intervensi bedah akan meninggalkan adanya kerusakan integritas jaringan dengan adanya
luka pasca bedah dan adanya system drainase pada sisi luka bedah. Efek anestesi akan
mempengaruhi penurunan control otot dan keseimbangan secara sadar sehingga pasien
beresiko tinggi cedera.
Anestesi
dan
medikasi
lain
yang
digunakan
(misalnya:narkotik,relaksan otot,antibiotic).
System pernafasan
akan diberitahu.
Control pernafasan
Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan .
sehingga, perawat perlu mewaspadai pernafasan yang dangkal dan
lambat serta batuk yang lemah.
Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan,
kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas, dan warna
membrane mukosa. Apabila pernafasan dangkal, letakkan tangan
perawat di atas muka atau mulut pasien shingga perawat dapat
merasakan udara yang keluar.
Kepatenan jalan nafas
Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai tercapai pernafasan
yang nyaman dengan kecepatan normal. Apabila fungsi pernafasan
sudah kembali normal . maka perawat mengajarkan pasien cara
membersihkan jalan nafas dengan cara meludah. Kemampuan
melakukan hal tersebut menandakan kembalinya reflex muntah
normal.
Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan
nafas akibat aspirasi muntah, akumulasi sekresi, mukosa di faring
atau spasme farin
R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan
reversible.Diantaraepisodeepisodeitu,fungsiparupasiennormal(atauagaknormal).
Diketahuipencetusdarireaksisalurannafaspadapasienadalahallergen,prosesinfeksi
atau stimulus fisik. Gejala padapasien sangatbervariasitetapi umumnya terjadibatuk,
wheezing,nafasyangpendekdanexercionaldyspnea.
Evaluasiklinisdimulaidenganmenilaifungsijalannafasdiantaraepisodeepisode
asma.Menentukanadatidaknyagejalagejaladanmenentukanregimenpengobatan
dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejalagejala,
pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau
adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik).
Spirometerpredanpostpenggunaanbronkodilatordapatdilakukanjikatersedia.
Putuskan,berdasarkanriwayatdanpemeriksaanfisikapakahpasienberadadalam
keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan
apakahkeadaannyabaikataudapatberubahdenganfarmakoterapiyangagresif.
Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan
dilakukanevaluasisertaterapi.
Pertamadigunakanbetaadrenergicagonisdankortikosteroidsistemik.Jikapasien
tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral
selama35haridengandosisberangsurangsurdikurangi.PenggunaanTheophyllin
masihkontroversidansekarangtidaklagidigunakanuntukasmaakut.Ipratropium
bromidamerupakanbahaninhalasipilihankeduayangkadangkadangditambahkan
pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya
Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada
penanganan asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan
antibiotika.
Jikaprosedurmendesakdangawat,albuterolsecaranebulationdenganatautanpa
ipratropiummerupakanpilihanterbaikuntukmemperbaikimekanismepernapasan
danpertukaranudara.Pengobatandimulaidenganpenggunaansteroidintravena
sedinimungkin.
Bahaninduksiyangpalingdisenangiuntukanstesiumumadalahpropofol,ketamin
intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan
analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot
hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile mengurangi
bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada
anestesi umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida
dihindaripemakaiannya(ataudigunakandengankonsentrasilebihkurang50%)jika
diperkirakanterdapatobstruksididaerahparuparu.Jikadiperlukanrelaksanotot,
pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat
menyebabkanbronkospasme.
PERIOPERATIV
PADA
WHEEZING
Deborah
K.
Rasch,
M.d.
Ellen
B.
Duncan,
M.D.
Wheezing(diambildarikataOldNorseyangberartibunyimendesis)merupakantanda
yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien perioperatif. Saat terjadi
bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya konstriksi bronkus (dan meningkat
padapasienyangdiintubasi).Meskipunpredominanterjadipadasaatekspirasi,mungkin
jugaterdapatbunyinafasyangpendekselamainspirasi.Bisingpernafasanmiripdengan
wheezingdandapatdihubungkandengangangguanlain.
Wheezingpadasaatpreoperative,mengindikasikansatuataulebihhalhaldibawah
ini : penyakitpenyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis), penyakit
jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease dengan
pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus utama,
vascularringdisekitartrachea);aspirasi;penyakitinflamasiatauinfeksi(bronchitis
kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing bisa terjadi pada pasien
denganedemalaringataubagianlainpadabronkusdanjarangpadaemboliparu.
Lakukananamnesisdanpemeriksaanfisis(gejalapenekanansalurannafas,toleransi
terhadapexercise,responterhadapbronkodilator,iramacardiacgallop,penggunaan
diuretic guna penggolongan penyakit. Studi diagnostik masih diperlukan.
Optimalkanfungsikardiopulmonal,bronkodilatordanperbaikannpulmonarytoilet
padapenyakitbronkospastik;penatalaksanaanmedikasidandiureticpadaCHF;
dan penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum
pembedahanelektif.
Pengelolaananestesipadapasienasmatermasukintubasi(danekstubasi)sampai
terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan
bronkokonstriksi). Pada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena
menyebabkan pelepasan histamin dibandingkan barbiturat.Meskipun halothane
lebihdisenangiolehbeberapaahlianestesi,semuabahaninhalasisecarakasarsama
denganbronkodilator.Bronkodilatorketaminsangatmembantu.
Pengelolaanindividualpadapasienjantungsesuaidenganlesi.Wheezing,walaupun
pengelolaanhemodinamiktepat,dapatterjadibronkospasme.
Padapasiendimanatidakmendapatkanpreoperativewheezingdankemudianterjadi
fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan masalah
diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan atau tube
endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat dihilangkan
dengansuction.
Bronkospasmeintraoperativdapatdisebabkanolehpelepasanhistaminkarenaobat
(thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan, stimulasi
parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan operasi), aspirasi,
anafilaksis aktivitas obat betabloker. Anafilaksis menyebabkan hipotensi,
vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat disebabkan oleh beberapa obat
tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan g/kg IV; dan
methylprednisolondipenhydramin,2mg/kg;epinefrin,3512mg/kgIV.
Tebutaline0,01mg/kgsubkutan;albuterol0,1mg/kginhalasi;terbutaline0,1mg/kg
inhalasiataumetaproterenol5mcg/kginhalasitelahdigunakandanmemberikan
hasilyangmemuaskan.Jikaterjadibronkospasme,dapatdiberikanaminofilin56
mg/kgIV,2030menit,dandimulaidenganinfusaminofilin0,40,9mg/kg/jam
(lihattable1).Perhatikandisritmiaventricular.Jikapasientidakresponterhadap
pengobatanawal,dapatdiberikanepinefrinIV.
Tabel1.Penggunaanobatpadabronkospasmeintraoperativ
CHRONIC
OBSTRUCTION
PULMONARY
DISEASE
(COPD)
Michael
A.
Lyew,
M.D.
Diane
M.
PetersKoren,
M.D.
COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten dengan
meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi adalah :
hipoksemia,hiperkarbia,bronkospasmedanpeningkataninsidenPostoperativePulmonary
Complication(PPC),termasukatelektasis,pneumoniadangagalnafas.
MerokokadalahfaktorpredisposisiyangbesaryangmenyebabkanCOPD,dimana
sebagianbesardiklasifikasikandalambronchitiskronisdanemfisema.Gabungan
dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah defisiensi
homozygot a1 antitripsin, dimana hal tersebut juga berperan sebagai penyebab
sirhosis.Merokoklebihdari20pak/tahun,usialanjut,obesitas,statusASAyang
tinggi,sertaoperasithoraxdanupperabdominalmerupakancofaktorCOPDuntuk
PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala, tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak
diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru. Dispnu (terutama pada saat istirahat),
batukdanproduksisputummenandakanperlunyapersiapanyangintensif,termasuk
PFTsdasardanpengukurangasdaraharteri.
PerbandinganFEV1/FVCmenunjukkanberatnyaCOPD.ResikoPPCmeningkat
setelahpembedahanupperabdominal,jikapadapreoperativenilaidariFEV1/FVC
<70%,FEV2575%/FVC<50%,FVC<75%,danMVV<50%.Gagalnafas
seringterjadijikaFEV1/FVC<50%danPaCO2>50mmHg.RetensiCO2sering
terjadijikaFEV1/FVC<35%.PerbaikannilaialiranekspirasidanPaCO2setelah
pemberian bronkodilator menurunkan resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan
elektrolitperludiperhatikankarenakeduanyamenyebabkanpenurunanfungsiotot
pernapasan. Selanjutnya dapat terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan
adanyapolisitemia,hipertensipulmonaldancorpulmonal.PadaCOPDdini,foto
thorax normal, tetapi dapat terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood
diversionpadalobusatassertakardiomegalipadabronchitiskronik.
Sebelumoperasielektif,fungsiparuharusoptimal.Merokokharusdihentikanpada
yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 1218 jam.
Pengobatanpenuhpadainfeksisalurannafasakutdandilanjutkandenganinhalasi
bronkodilatorsertaobatanticholinergik.Jagaatautingkatkanterapisteroid.Koreksi
hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk meningkatkan cadangan
nafas.Sediakancadanganoksigen(O2)untukmemperbaikihipertensipulmonal.
Pengobatan right ventricular failure dengan digoksin, diuretik dan vasodilator.
Waktu yang inadekuat untuk mengoptimalkan keadaan sebelum operasi
meningkatkanresikoPPCdanmerupakanoperasiyangemergensi.
Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat
monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume
cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi. Penggunaan
sedativedibatasikarenaefeknyaterhadapdepresipernafasan.Bronkospasmesaat
dilakukananestesiumumpadapasiendapatdisebabkanolehintubasiendotrakheal,
rangsangnyeridanpelepasanhistaminkarenaobat.Nitrogenoksidadihindarijika
terdapatbullaatauhipertensipulmonal.JagapHnormalarteri,tetapitidakPaCO2,
padapasiendenganretensiCO2preoperativeuntukmenjagakompensasimetabolik.
GradienantaraCO2tidaldanCO2arteribisameningkat.CVPmenggambarkan
fungsi ventrikel kanan lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat
hipertensipulmonal.
CIGARETTE
SMOKING
James
Gilbert,
M.D.
Kathryn
R.
Hamilton,
M.D.
Diketahui,riwayatmerokokmeningkatkaninsidenkomplikasipernapasanpostoperative.
Efekmerokokadalahrusaknyamukosiliar,hipersekresimucous,danobstruksijalannafas.
Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan
peningkatanresistensijalannafasdanpengurangandinamik.Efekakutdarimengisapasam
rokokadalahpeningkatanlevelkarbonmonoksidadandisosiasikurvaoxyhemoglobinpada
leftwardshift.Carboxyhemoglobin(CoHb)dapatmeningkatsampai810%padaperokok
berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis
adrenergikyangmeningkatkanheartrate,BPdanresistensivaskulerperifer.
Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan
peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa
bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative pada
pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila beberapa tes
hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 jam atau jika
lokasioperasipadadaerahupperabdominalatauthorax,pertimbangkanpenundaan
tindakanelektifuntukpersiapanakanadanyaefekpadaparuyangluas.
Merokokharusdihentikanminimal68minggusebelumoperasiuntukmengurangi
angkakesakitanpadapostoperativepulmonaldanmemperbaikifungsiimunserta
Siapkananalgetikpostoperativedengancarabloksarafatauanalgetikepiduraljika
memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk
dilakukan,dosisanalgetikIVsecaratitrasiyangberulangkaliakanmemberikanefek
yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja lama atau
fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive
(misalnyaobatnonsteroidantiinflamasi).Terapipreoperativepulmonaldilanjutkan
sampai periode postoperative. Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat.
Spirometeratauterapifisikpadathorax(jikaterjadiatelektasisatauinfiltratpada
daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi
komplikasipostoperativepulmonal.
INFEKSI
SALURAN
NAFAS
ATAS
Alan
R.
Tait,
Ph.D.
Paul
R.
Knight,
M.D.,
Ph.D.
Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA) masih
kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun beberapa
studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA memiliki resiko
terjadinyalaringospasme,bronkospasmedandesaturasipadapostoperative,pendapatlain
mengatakanbahwapasienISPAakutdancarriesISPAtanpakomplikasi,tidakmenurunkan
angkakesakitan.
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah pasien
sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan adanya
demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah gejala
tersebutterjadisecaraakutataumusiman.Shreinerdankawankawanmengatakan
bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi.
Thoraxfotoharusdipertimbangkanjikadipikirkanbahwasalurannafasbawahikut
terlibat.
Perkiraanpembedahanyangurgency.Pembedahanyangnonurgencydenganadanya
asmatelahdinyatakansebagaifaktoryangpalingseringmempengaruhikeputusan
paraahlianestesiuntukmenundaoperasielektifpadapasiendenganISPA.Jika
pembedahanurgent,pertimbangantekhnikregionaluntukmenghindarimanipulasi
jalan nafas. Jika hal ini gagal atau tidak dapat dilakukan, alihkan pada anestesi
umumdenganmempertimbangkanlamanyapasienpuasa.Kelembabandanhidrasi
dapatmenolongmobilisasisekresi.
Jikatekhnikregionalcocok,operasidapatdilakukan.Jikadilakukananestesiumum,
gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan Laryngeal Mask
Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk tindakan yang normalnya
memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat digunakan pada anakanak
untuk mengurangi stimulasi vagal pada manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse
oxymetripadasemuapasien.
Jikapasientelahdiintubasi,suctiontracheasebelumdilakukanextubasi.Lanjutkan
pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang pemulihan. Pasien
dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar selama masa pemulihan.
Diperlukanpenggunaanoksigendenganmenggunakanfacemask.
TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS
Susan
M.
Ryan,
Ph.D.,
M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik mendapat
perhatianbesardalamkesehatanmasyarakat.TBmenyebarmelaluiinhalasidropletnuclei;
aerosolpartikelkering,sisasisayangadadiudara.Konsultasikandenganspesialispenyakit
infeksiuntukmembantudiagnosa,pengobatandanwaktuoperasi.PegawaiRumahSakit
DepartemenKesehatan,NationalInstituteforOccupationalSafetyandHealth(NIOSH),
dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber
informasi.
Pada pasienpasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5 mm. Pada pasien
denganHIVpositifyangberat,fotothoraxbisanegatifuntukbeberapaharisaat
pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA positif dihasilkan oleh
beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai TB sampai hasil kultur
didapatkan.
PasiendenganHIVpositifdandidugaTBadalahpendudukatauimigrandaridaerah
denganprevalensitinggi,penyalahgunaobat,kontakTB,tunawisma,malnutrisi.
PikirkandiagnosaTBjikaterjadipneumoniapadapasiendenganresikotinggiatau
pasienyangtidakresponterhadapantibiotikatauadanyakontakpadakasusyang
aktif.
Observasipernafasansebagaipencegahantermasukpasienyangdiintubasi.Ruang
khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 610 kali/jam perubahan udara,
pencegahangejalapadasalurannafasyangmembahayakandanmaskerataualat
bantunafasuntuksetiaporangyangmasukdalamruangan.Tipemaskerberguna
untukkesehatankerja(HCW)danalatbantupernafasanyangdiakuiolehNIOSH:
fittedairfilteringmask,poweredairpurifyingrespirators(PAPR),ataurespirator
tekananpositifdengantambahanudara.Selamapemindahanpasienketempatlain,
gunakan masker pada pasien. Jika pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi,
gunakanmaskerselamapemindahanpasien.
JikapasiendenganBTApositif,dilakukanpenundaanuntukpembedahanelektif
dantindakpengobatanselama2minggudantigakalisputumnegatif.Jikapasien
BTAnegatiftetapikulturpositifataupasiendenganresikotinggi,pasiendengan
gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu sampai terjadi
perubahanpadakondisipasien.Kasusyanggawatmemerlukankeputusanklinik,
pengobatan yang memungkinkan selama sebelum pembedahan, dan tindak
pencegahandiruanganoperasi.
TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih.
Masalahyangbesaradalahterjadinyaresistensi,danterapiobatharusdilakukan
secarahatihatidandisesuaikandengansensitivitas.Responterhadapterapiditandai
denganberkurangnyabakteri,sputumdenganBTAnegatifdanperubahansecara
klinik.Pasiendiperkirakanmasihinfeksiusselama23minggusetelahpengobatan.
Ventilasiyangadekuatdiruangoperasisangatpenting.Dapatdigunakanventilator
dengantekanannegatif.Peralatananestesi:gunakanalatalatsekalipakai.Letakkan
penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan menggunakan tube
endotrakheal(ET)untukmencegahkontaminasi.AturtubeETdankatetersuction
dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi menggunakan larutan
tuberkulosidaldansterilkanjikamemungkinkan.Ahlianestesidanyanglainnya:
RESTRICTIVE
LUNG
DISEASE
A.
Sue
Carlisle,
M.D.,
Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kumpulangejalafisiologisyangditandaidenganmenurunnyakapasitatstotaldariparu
paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacammacam sebab intrinsik dimana daya
pengembanganparenkhimparumenurunatauolehfaktorekstrinsikyangberdampakpada
dindingdada,pleuradanabdomen.Keadaaninidapatdisebabkansecarasendirisendiri
atau bersamaan menghasilkanrestrictive fisiologis.Perubahan instrinsik bisapermanen,
seperti terjadinya fibrosis paru atau reversible seperti terjadinya edema paru atau
pneumonia. Perubahan ekstrinsik dapat terjadi secara sekunder pada bermacammacam
keadaantermasukkelemahanototpernafasan,penebalanpleura,kiposkoliosis,chestwall
scarringdankegemukan.Sebagaitambahanbeberapatindakansepertilaparoskopikdimana
dibutuhkan penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat
menyebabkanrestrictivefisiologis.RLDjugaseringterjadiobstructivelungdisease(OLD)
dankombinasikeduanyadapatmempersulitdiagnosadanpengobatan.
Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan
menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan
penyakittulangtermasukkiphoskoliosis,infeksiparudancongestiveheartfailure.
Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk atau
kesukaranbernafasdalam.EvaluasidinipadapasienRLDadalahobservasipola
pernafasan. Pasienpasien ini cenderung memiliki penurunan tidak volum dan
peningkatanrespiratoryratekarenapolabernafasyangkurangbaiksertaperluasan
system noncompliant. Pasien dengan deformitas skeletal, weaknesss, rales dan
ronkhiharusditindakisecarahatihati.Obesitasadalahhalyangpalingpentingyang
dapatmenyebabkanRLDyangberat.Besarnyagejaladantingkattoleransiterhatap
latihandapatmenjadiacuanuntukevaluasipreoperativeyanglebihlanjut.
Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD yang
dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia interstisial.
Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi penurunan
volumeparudanadanyaobstruksisertarestriktiffisiologis.Padabeberapakasus,
dalambeberapastuditentangfungsiparu,kurvavolumealiranudaradiperlukan
untukmenilaiberattidaknyaRLD(lihatbagan).Totallungcapacitydandiffusing
capacity juga diperlukan. Padabeberapa kasus,nilai ABG preoperative berguna
untuk prognosis postoperative apakah dibutuhkan tambahan ventilator setelah
operasi. Pada kasus yang berat echo jantung atau kateterisasi jantung kanan
preoperative berguna untuk mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan
ventrikel.Komponenreversibleharusdiobatisebelumtindakanpembedahanelektif.
Jikamemungkinkan,pilihlahtekhnikanestesiyangtidakmemerlukansedasiyang
luasatauventilasimekanik.Tekhnikregionaldapatdigunakanjikaototpernafasan
tidakdapatdijamin.Padabeberapakasus,diperlukananestesiumumdanventilasi
mekanis.Monitoringintraoperativedilakukandenganpulseoximeterdanarterial
lineuntukmonitoringtekanandarahdancontohgasdarah.Padakasuskasusyang
berat, adanya hipertensi pulmonal dan ventricular failure dilakukan pemasangan
kateterpadaarteripulmonal(PA)atautransesopharingealecho(TEE)untukmelihat
perubahan pada tekanan arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada
beberapa ruang operasi tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran
ventilasiyangadekuatbagipasiendengancomplianceyangkurang.Jenisventilator
ICUdibutuhkan.Aturventilatoruntukmenurunkantidalvolumedanmeningkatkan
frekwensicompliancepadapasiendengandayacomplianceyangrendah.Tindakan
ini atau tindakan dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol
dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan
hemodinamikyangmembahayakan.Hemodinamikyangmembahayakanbisaterjadi
karenacardiacoutputdantekanandarahmenurunataumenurunnyaventilasi.
Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang
adekuatuntukmempertahankankemampuantubuh.Jikadilakukanintubasitrachea,
perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal terhadap alat
pernafasan(mekanismekompensasipadapasien)danlebihmenguntungkan.Jika
pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi, volume yang optimal, serta
pulmonarytoiletdannutrisiyangbaik,lakukanventilasinoninfasifsepertitekanan
udarapositifbilevel.
SUMBER
Obat bius yang digunakan dalam praktik medis memiliki banyak jenis dan
sediaan. Ada yang membuat bagian tubuh matirasa hingga membuat tak
sadar.
Mengapa
obat
bius
dibuat
beraneka
ragam?More...
pencabutan.
Lalu apa sih sebetulnya obat bius? Menurut dr. Roys A. Pangayoman SpB
FinaCS, spesialis bedah Rumah Sakit Immanuel, Bandung, bius adalah sebuah
tindakan yang diambil dokter untuk meredakan rasa nyeri. Baik yang bersifat
lokal atau hanya mematikan rasa pada area tertentu, hingga yang menidurkan
atau
menghilangkan
kesadaran
seseorang.
Oleh karena kebutuhan untuk meredakan rasa nyeri ini sangat subyektif pada
masing-masing orang, maka obat bius pun diciptakan dengan berbagai cara
kerja
dan
penggunaannya.
Berdasarkan
Sifat
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun,
secara awam obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi
tiga
A.
golongan
yaitu
anestesi
Anestesi
lokal,
regional,
dan
umum.
Lokal
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya,
perawatan kecantikan seperti sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan
sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi geraham terakhir atau gigi
berlubang, mengangkat mata ikan, hingga merawat luka terbuka yang disertai
tindakan
penjahitan.
impuls
nyeri
ke
otak.
Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya
mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila
lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan
tanpa
B.
rasa
nyeri.
Anestesi
Regional
Anestesi jenis ini biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang
lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus
Caranya
buntu,
operasi
dengan
menginjeksikan
pada
lengan
obat-obatan
bius
dan
pada
tungkai.
bagian
utama
pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam
tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf
di
area
itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada
kasus
bedah,
bisa
membuat
mati
rasa
dari
perut
ke
bawah.
Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau
otak, maka pasien yang sudah di anestesi lokal masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walau tak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
C.
Anestesi
Umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaan lebih panjang. Misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan
batu
empedu,
bedah
rekonstruksi
tulang,
dan
lainnya.
membuat
amnesia,
juga
merelaksasi
seluruh
otot.
Maka,
selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung
untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi
dilakukan.
Sesuai
Cara
Penggunaan
Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara
penggunaan yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan
saja, tetapi juga dihirup melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan
anestesi
A.
ini
di
Melalui
antaranya:
Pernafasan
Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat
dimasukkan
melalui
pernafasan
atau
secara
inhalasi.
Gas-gas
ini
mempengaruhi kerja susunan saraf pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru
sehingga
bersama-sama
menciptakan
kondisi
tak
sadar
pada
pasien.
Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar
yang belum diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga,
perlu dipastikan pasien tetap dalam kondisi tak sadar selama operasi
dilakukan.
B.
Iinjeksi
Intravena
perlu
C.
Injeksi
ditambah.
Pada
Spinal/
Epidural
ke
bawah.
Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural,
injeksi
dapat
dipertahankan
dengan
meninggalkan
selang
kecil
untuk
sekali
injeksi
untuk
sekitar
Injeksi
jam
ke
depan.
Lokal
Iodocaine dan bupivacaine juga dapat di injeksi di bawah lapisan kulit untuk
menghasilkan efek mati rasa di area lokal. Dengan cara kerja memblokade
impuls saraf dan sensasi nyeri dari saraf tepi sehingga kulit akan terasa kebas
dan
mati
Risiko
&
Efek
rasa.
Samping
Obat
Bius
tingkat
1.
kejadian.
Cukup
Sering
Jarang
perubahan
3.
mood
atau
perilaku,
dan
Sangat
mimpi
buruk.
Jarang
Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 10.000/ 200.000
pasien, diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius,
cedera
saraf,
kelumpuhan,
dan
kematian.
Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti
cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan. Atau, pada kasus infeksi dada
disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung
lebih
Resistensi
serius.
Bius
terhadap
obat
1.
2.
bius
di
antaranya:
Pecandu
Pengguna
obat
3.
psikotropika
alkohol
seperti
Pengguna
morfin,
ekstasi
obat
dan
lainnya
anelgesik
tubuhnya.
Obat
Bius
Optimal
&
Aman
Untuk menghindari terjadinya efek samping dan resistensi terhadap obat bius,
sebaiknya pasien benar-benar memastikan kondisi tubuhnya cukup baik untuk
menerima
anestesi.
prosedur
anestesi.
dilakukan.
General
Anesthesia
1.
2.
mempunyai
pain
blocking
tujuan
termasuk
relief
memory
3.
(analgesia)
procedure
(amnesia
producing
unconsciousness
4. inhibiting normal body reflexes to make surgery safe and easier to perform.
5.
relaxing
the
muscle
of
body.
Agent yang digunakan untuk general anesthesia dapat berupa gas atau cairan
volatile yang disebut sebagai vaporizer, dan inhalasi dengan oksigen atau
pemberian
obat-obatan
intravena..
Kombinasi
pemberian
gas
anesthesi
keuntungan
anesthesia
untuk
yang
mencapai
efeknya
bermanfaat
anesthesia
pada
selama
setiap
agent
pembedahan.
Pada tahun 1874 oleh Claude Bernard mengatakan bahwa terjadinya nyeri atau
ketidaknyamanan
menggabungkan
akibat
bahwa
anesthesia
yang
digunakannya
kurang
muscle
dalam.
relaxan
Penelitian
sebagai
ini
balance
tempat
aksi
dari
curare
atau
site
of
action
dan
juga
memberikan
ketenangan
pada
pasien
dengan
mengurangi
diperlihatkan
dengan
terjadinya
keterlambatan
seperti
caprofen,meloxicam,
bupivacain);
Semua
butherphenol
dan
obat-obatan
dan
fentanyl);
ketoprofen);
NDMA
receptor
mempengaruhi
pasien.
local
NSAID
anesthesia
antagonis
Beberapa
(lidocain,
(ketamin).
memberikan
efek
negative yang besar seperti agen inhalasi pada anesthesia. Jalan terbaiknya
adalah dengan protocol balanced yang diputuskan secara individual pada
pasien
dan
prosedur
yang
digunakan
dengan
merencanakan
tindakan
yaitu
anesthesia-hypnosis,
loss
analgesia
amnesia
areflexia
of
consciousness
pain
loss
muscle
control
of
recall
relaxasi
6.
anxiolisis-
pre
op
dan
intraoperatif
Pada saat ini belum ada satupun agen anesthesia yang secara tunggal mampu
menghasilkan
ke
tujuan
tersebut.
stimulasi
Antihistamine
4.
Narkotik
untuk
mengurangi
untuk
menghasilkan
simpatis
reaksi
alergi
analgesia
dan
dan
sekresi
sedasi
yang
cepat.2
fisik
dapat
dihilangkan
dengan
light
general
anaesthesia.5
lain
misalnya
faktor
pembedahan
dan
penggunaan
opioid
bisa
Dari hasil studi dikatakan bahwa hanya ada defisit postoperative minor pada
fungsi psikomotor pada pasien geriatri 2 jam setelah general anesthesia selesai
dengan
TIVA
psikomotor
lebih
cepat
TIVA
dengan
remifentanil
dan
propofol
pada
Pasien
Obstetri
Pembedahan yang dilakukan pada saat kehamilan sekitar 2,2% (angka ini
mungkin masih kurang karena terdapat sejumlah wanita yang menjalani
pembedahan dan belum terdeteksi kehamilan) seharusnya memberikan
jaminan keamanan secara simultan pada ibu dan janinnya, secara personal
penatalaksanaan anestesi yang dilakukan harus selalu memahami perubahan
anatomis dan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan dan tahap
perkembangan
janinnya,
serta
sensitivitas
obat
anestesi
terhadap
atau
kelancaran
(Shirodkar
persalinan
and
seperti
pembedahan
Mc.Donald
serviks,
procedur).
Terdapat beberapa faktor yang merupakan masalah yang harus dipahami oleh
ahli anestesi dalam melakukan penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil 7 :
1. Adanya perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil yang akan
berpengaruh
terhadap
obat
dan
teknik
anestesi.
PERUBAHAN
FISIOLOGIS
SELAMA
KEHAMILAN
7,8,9
Perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil sebagai akibat adanya
peningkatan aktivitas hormonal (progesteron, estrogen, dan beta-endorphin),
metabolic (pertumbuhan hasil konsepsi) dan mekanik (rahim gravid, perubahan
vaskuler
dan
mammae).
Perubahan
1.
Respiratorik
Edema
mukosa
jalan
napas
lebih
kecil
Penurunan
Functional
harus
di
sediakan.
Residual
Capacity
(FRC)
FRC menurun 40% pada saat aterm . Closing Capacity (CC) tidak berubah. Pada
posisi supine, FRC semakin turun, CC bias melebihi FRC sehingga terjadi
penutupan saluran nafas lebih kecil, yang akan meningkatkan shunt dan akan
meningkatkan desaturasi arteri. Selain itu karena FRC merupakan cadangan
oksigen selama periode apneu, maka penurunan FRC dapat menyebabkan
hipoksemia yang lebih cepat, seperti pada saat induksi anestesi. Konsumsi 02
menigkat 20% maka pada saat intubasi rentan terjadi desaturasi. Hal ini dapat
diatasi dengan preoksigenasi pada wanita hamil minimal 4 menit dan
denitrogenisasi
dengan
Facemask
yang
ketat
3.
selama
induksi.
Ventilasi
Peningkatan volume semenit muncul paa akhir trimester 1. Pada saat aterm
volume semenit muncul pada akhir trimester 1. Pada saat aterm volume
semenit meningkat 50%, karena peningkatan tidal volume (40%) dan frekuensi
napas 15%. Hal ini diduga akibat pengaruh progesterone yang meningkatkan
respon ventilasi terhadap CO2. PCO2 biasanya menurun sekitar 32 mmHg
akibat peningkatan ventilasi dibanding produksi CO2. Ekskresi bikarbonat di
ginjal akan meningkat dalam usaha mengkompensasi hipokarbia dan pH
meningkat
Implikasi
sedikit
sekitar
7,42-7,44.
Anestesi
apneu.
-
Pre
oksigenasi
Induksi
atau
mutlak
diperlukan
pemulihan
pada
saat
ibu
mulai
hamil
induksi
anestesi.
berlangsung
cepat.
- Gunakan pipa (ET) 0,5 1 kali nomor lebih kecil dan intubasi jangan lewat
nasal.
Perubahan
Karchovaskuler
sehingga
terjadi
anemia
delusional
relative.
2. Volume sekuncup meningkat sekitar 30% dan denyut nadi sekitar 15%
menyebabkan 40% peningkatan curah jantung. Curah jantung meningkat
mendadak pada masa post partum mencapai 80-100% diatas angka sebelum
melahirkan.
3. Mendekati aterm, uterus membesar akan membendung aorta dan vena cava
pada saat pasien tidur terlentang, menimbulkan suatu sindroma aortocaval.
4. Faktor pembekuan terutama factor VII,VIII, X, dan fibrinogen meningkat
setelah
trimester
pertama.
Implikasi
Anestesi:
- Curah jantung dan status volume harus dipertahankan agar UBF berada
dalam
batas
normal.
kiri
(left
Sistem
lateral
decubitus)
Saraf
Pusat
Sistem
Gastrointestinal
penurunan tonus sphincter akan menjadi lambat sehingga resiko aspirasi lebih
tinggi
dikarenakan
perubahan
system
hormonal
dan
faktor
mekanik.
terendah
pada
saat
24
jam
setelah
Implikasi
melahirkan.
anestesi:
antasida,
H2
bloker
dan
atau
metoklopramide.
- Induksi dan intubasi dilakukan cepat dan halus (smooth) dan dilakukan
penekanan
-
Premedikasi
pada
os
cricoid
dengan
atropine
untuk
(Sellick's
meningkatkan
tonus
cardioesofageal
-
otot
polos
junction.
Menghindari
Mecegah
maneuver).
tekanan
fasikulasi
dengan
positif
pelumpuh
otot
berlebihan.
non
Perubahan
depolarisasi
Ginjal
anestesi:
- Kadar kreatinin, asam urat, dan urea-N lebih rendah dari kadar pada wanita
normal.
- Tubuh cenderung menahan air dibanding natrium pada trimester ketiga
sehingga
PENGARUH
Efek
menyebabkan
timbulnya
ANESTESI
Teratogenik
udema
PADA
diakhir
kehamilan.
KEHAMIILAN
(Langsung)
Beberapa
faktor
yang
menyebabkan
saat
b.
c.
tepat
(timing)
kepekaan
ambang
d.
dari
individu
dan
jumlah
kelaziman
pemberian
terhadap
obat
yang
diberikan
obat
kejadian
obat
cacat
bawaan
binatang.
3. Faktor social dan medis seringkali merupakan variabel yang sulit diukur
4. Pada percobaan binatang ternyata hasilnya sering berbeda diantara spesiesspesies
dan
juga
didalam
spesies
itu
sendiri.
5. Hasil yang didapat pada percobaan binatang belum tentu sama seperti pada
manusia.
Meskipun demikian terdapat beberapa hal hasil penelitian yang patut
diperhatikan sebagai pertimbangan dalam pemberian anestesi antara lain
6,7,9.
Proses Organogenesis pada manusia berlangsung pada usia kehamilan 15-56
hari (sejak konsepsi) dan lengkap pada minggu ke 13. Periode ini merupakan
periode
kritis
untuk
timbulnya
cacat
kehamilan.
(morfin,
fentanyl,
sufentanyl,alfentanyl),
obat
induksi
(penthotal,
gastroschisis.
2. Dalam suatu penelitian restrospektif telah ditemukan bahwa kelainankelainan berat terjadi pada 12% bayi dan ibu yang terpapar meprobamat dan
lipat
kasus
bibir
sumbing
dengan
atau
tanpa
palatoschisis.
3. Agen-agen hipertensi yang menghambat enzim pengubah angiotensin (ACEINH) menimbulkan keterlambatan pertumbuhan, disfungsi ginjal, kematian
janin dan oligihidramnion. Aspirin juga cukup berbahaya terhadap janin yang
sedang
berkembang
bila
diminum
dalam
dosis
besar.
palatoschisis.
yang
berperan
dalam
pembentukan
DNA.
7.
Tabel 7.1 FDA kategori Resiko janin pada pemakaian agent therapeutic6.
Kategori A: dengan penelitian Studi kontrol menunjukkan tidak ada resiko untuk
fetus selama trimester pertama dan trimester selanjutnya. Resiko terkontrol
(Contohnya:
air)
setelah
trimester
1.
namun belum terdapat control studi pada manusia, atau belum terdapat data
pada
hewan
atau
manusia
untuk
agent
tersebut.
terdapat
resiko
pada
fetus.
(Contoh
Thalidomide)
outcome
kehamilannya.
Eksposure
lama
dengan
konsentrasi
adekuat
pada
manusia
Lokal
6.
Anestesi6
Bagaimanapun
teratogenik
pada
juga
tidak
ada
pemakaian
data
local
ditemukan
anestesi
yang
pada
menimbulkan
hewan
intak.
dan
data
pada
manusia
sangat
sedikit.
yang
direkomendasikan.
Ropivacaine
ini
dikategorikan
FETAL
OXYGEN
kandungan
TRANSPORT
oksigen
OBAT
fetus
MELALUI
6.
PLASENTA
relative
tak
terionisasi,
dan
sedikit
ikatan
dengan
protein,
larut dalam air dan terionisasi, berat molekulnya tinggi sehingga cenderung
tidak melewati plasenta. Selama trimester pertama kehamilan obat anestesi
dapat mengakibatkan teratogenesis (malformasi congenital), resiko tertinggi
pada usia kehamilan pada minggu ke -3 sampai dengan minggu ke -11. Pada
trimester
kedua
dan
ketiga
masa
kehamilan
obat
anestesi
dapat
Lenz
mendapatkan
kelainan
cacat
tungkai
karena
pengaruh obat thalidomide pada th 1961. Sejak saat itu mulai diketahui bahwa
beberapa obat dapat berpengaruh buruk pada kehamilan yang dikenal dengan
teratogen. Kerentanaan terhadap teratogen berbeda-beda menurut stadium
perkembangan saat paparan. Masa yang paling sensitive timbulnya cacat lahir
adalah masa kehamilan minggu ke 38 yaitu pada saat embryogenesis.
Palatoschisis dapat terbentuk pada tingkat blastokista ( hari ke 6), masa
gastrulasi (hari ke 14), pada tingkat tunas tungkai dini (minggu 5) atau ketika
bilah palatum sedang terbentuk (minggu 7). Meski banyak kelainan dapat
terjadi pada saat embryogenesis namun cacat dapat terjadi sebelum atau
setelah waktu ini, tidak ada satu waktu yang lebih aman sehingga perlu
pembatasan pemberian obat-obatan anestesi baik jenis, maupun dosisnya
karena manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis, saat
pemberian dan lama paparan terhadap suatu obat teratogen 6 Pengaruh (tidak
langsung) terhadap kehamilan Kehidupan janin di dalam rahim sangat
bergantung ke pada kelancaran dan kecukupan perfusi rahim atau sirkulasi
uteroplasenta dan pasento fetal. Sirkulasi uteroplasental dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya tekanan darah (ibu), hiperventilasi hebat, rasa sakit,
dan lain-lain. Tekanan darah ibu hamil dapat akibat kompressi aortocaval,
tidak
hamil
sekitar
1%,
maka
terdapat
hal
utama
yang
konsekuensinya
terjadi
penurunan
tekanan
darah,
terjadi
pula
memberikan
kemungkinan
penjelasan
terjadinya
pada
gangguan
pasien
pada
dan
janin
keluarganya
atau
tentang
kelangsungan
histamine-2
receptor
blocking
agent
(ranitidin)
dan
atau
dokter
spesialis
kebidanan.
Yang
paling
sering
digunakan
adalah
dari
ruagan.
kekamar
bedah
dan
juga
sebaliknya
untuk
tocodynamometer
terutama
pada
kehamilan
muda
(16-20minggu).
3.
Pemakaian
obat
tunggal
dalam
penatalaksanaan
anestesi
local
anestesi.
Stress
maternal,
hipoksia,
hiperkarbia,
dan
untuk
janin.
meperidine)
dan
dengan
konsentrasi
N2O
rendah
untuk
GETA.
pembatasan
Tehnik
jumlah
obat.
Epidural
Atasi
hipotensi
Anesthesia
dengan
dan
efedrin.
Analgesia
Tehnik epidural digunakan secara luas untuk anestesi dan analgesia pada
pembedahan didaerah thorakal dan abdomen bagian atas dengan hasil
memuaskan. Anestesi epidural thorakal mampu mencegah terjadinya respon
stress akibat stimulasi simpatis dan memberikan kualitas analgesia yang lebih
baik
dibanding
analgesia
Beberapa
keuntungan
Epidural
secara
Thorakal
adalah
intravena
blockade
12.
segmental
Penyebaran
Melewati
foramen
longitudinal
keatas
dan
kebawah.
intervertebrale
mernblokade
saraf
paravertebral
saraf
4.
berdifusi
Obat
spinal
melalui
atau
dural
cuf
dorsal
di
sekeliling
root
akar
ganglion.
serabut
saraf
sistemik
PEMBAHASAN
Penatalaksanaan anestesi untuk pembedahan non obstetric pada ibu hamil
lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan ibu dan janin. Meskipun
penelitian yang sudah ada belum dapat menyatakan efek teratogenik
penggunaan agent anestesi pada manusia namun idealnya bila prosedur
operasi elektif dilakukan setelah 6 minggu post partum, seiring dengan
perubahan fisiologis telah berlalu dan kesehatan janin tidak menjadi masalah.
Bila
memungkinkan
operasi
diundurkan
hingga
trimester
kedua
untuk
mempengaruhi
renal
blood
flow
turun,
dan
oligihidramnion.
dan
relaksasi
dari
GA.
ini
adalah
ropivacaine
masuk
kategori
menurut
FDA.
dalam
gerak
nafas.
kehamilan
dan
kondisi
janin
penderita
ini.
KESIMPULAN
1. Dasar penatalaksanaan anestesi ibu hamil pada pembedahan non obstetric
lebih
mengutamakan
keselamatan
ibu
dan
janin
secara
simultan.
2. Berdasarkan hasil penelitian hampir semua cukup aman untuk janin, kecuali
penggunaan N2O yang masih kontroversi, tidak ada obat ataupun tehnik
anestesi spesifik, seharusnya mengusahakan perfusi jaringan dan oksigenasi
dalam
3.
Pemakaian
batas
tehnik
regional
anestesi
normal.
akan
menberikan
keuntungan
proses
kehamilan.
mungkin
terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Balanceada,
2003
3. Atkin son R, Rushman G.B, Alfred Lee, A Synopsis of Anaesthesia Book I, 10th
edition,
Asian
Economy,
1988.
2001,
Vol.
86,
No.
&
Kaswiyan,2002,
Willkins,
Penatalaksanaan
p:
Anestesi
pada
153-71.
Ibu
Hamil
untuk
2002
Symposium
on
Obstetric
Anesthesia,
Bandung,
2002
Wilkins,
p.
45-80.
10. Depkes RI, 2000, Informatorium obat nasional Indonesia. Jakarta: PT Fajar
Interpratama,
2001,
hal.
511-30.
Book.
p.804-818
12. Sadler TW, 1995, Embriologi kedokteran Langman. Alih bahasa: Joko
Suyono,
penyunting:
Suyono,
Jakarta:
EGC,
1997,
hal.
122-43.
pregnancy.
In:
Physiologic
and
pharmacologic
changes
during
by
Vincent
Collins.
Willams
and
Willkins,
p:
744-50.
14. Covino BG, Scott DB, Lambert DH, 1985, Handbook of Epidural anesthesia
and
analgesia,
WB
Saunders
15.Covino BG, Scott DB, Lambert DH, 1994, Handbook of spinal anesthesia and
analgesia,
WB
Saunders.
4thedition.
Edited
by:
Miller
RD.
New
York:
Churchill
18. Husain FJ, 1987, Nonobstetric surgery in pregnancy, in: Decision making in
anesthesiology, edited by: Breafy LL, Smith RB. Philadepphia: BC Deker Inc,
p:114-5
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-tidak, tanpa dan aesthtos,
persepsi, kemampuan untuk merasa), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes
Sr pada tahun 1846.
Dua kelompok anestesi
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan
anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.
seseorang yang mengonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak
selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri.
Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya
hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Tipe anestesi
Beberapa tipe anestesi adalah:
Pembiusan regional hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari
tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah
selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.
Anestesiologis dengan empat rangkaian kegiatan
Anestesi dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis
anestesiologi selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien karena
sewaktu-waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya.
Empat rangkaian kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter anestesi adalah:
Sejarah anestesi
Eter ([CH3CH2]2O) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai anestesi dalam
dunia kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang ahli kimia berkebangsaan
Spanyol, Raymundus Lullius pada tahun 1275. Lullius menamai eter sweet vitriol. Eter
pertama kali disintesis Valerius Cordus, ilmuwan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian
seorang ilmuwan bernama W.G. Frobenius mengubah nama sweet vitriol menjadi eter
pada tahun 1730. Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-oksida pada
tahun 1777, dan berselang dua tahun dari temuannya itu, Davy menjelaskan kegunaan gas
nitrogen-oksida dalam menghilangkan rasa sakit.
Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen-oksida banyak digunakan untuk pesta
mabuk-mabukan. Mereka menamai zat tersebut gas tertawa, karena efek dari menghirup
gas ini membuat orang tertawa dan lupa segalanya.
Penggunaan eter atau gas nitrogen-oksida sebagai penghilang sakit dalam dunia kedokteran
sebenarnya sudah dimulai Horace Wells sejak tahun 1844. Sebagai dokter gigi, ia
bereksperimen dengan nitrogen-oksida sebagai penghilang rasa sakit kepada pasiennya saat
dicabut giginya. Sayangnya usahanya mempertontonkan di depan mahasiswa kedokteran
John C. Warren di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Boston gagal, bahkan mendapat
cemoohan. Usahanya diteruskan William Thomas Green Morton.
Morton adalah sesama dokter gigi yang sempat buka praktik bersama Horace Wells pada
tahun 1842. Ia lahir di Charlton, Massachusetts, Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus
1819. Pada usia 17 tahun, ia sudah merantau ke Boston untuk berwirausaha. Beberapa
tahun kemudian mengambil kuliah kedokteran gigi di Baltimore College of Dental Surgery.
Morton meneruskan kuliah di Harvard pada tahun 1844 untuk memperoleh gelar dokter.
Namun karena kesulitan biaya, tidak ia teruskan. Pada tahun yang sama, ia menikah dengan
Elizabeth Whitman dan kembali membuka praktik giginya. Ia berkonsentrasi dalam
membuat dan memasang gigi palsu serta cabut gigi. Suatu pekerjaan yang membutuhkan
cara menghilangkan rasa sakit.
Morton berpikir untuk menggunakan gas nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana
yang dilakukan Wells. Kemudian ia meminta gas nitrogen-oksida kepada Charles Jackson,
seorang ahli kimia ternama di sekolah kedokteran Harvard. Namun Jackson justru
menyarankan eter sebagai pengganti gas nitrogen-oksida.
Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-oksida. Bahkan pada
tahun 1846 Morton mendemonstrasikan penggunaan eter dalam pembedahan di rumah sakit
umum Massachusetts. Saat pasien dokter Warren telah siap, Morton mengeluarkan gas eter
(atau disebutnya gas letheon) yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang
suatu alat seperti masker. Sesaat pasien yang mengidap tumor tersebut hilang kesadaran
dan tertidur. Dokter Warren dengan sigap mengoperasi tumor dan mengeluarkannya dari
leher pasien hingga operasi selesai tanpa hambatan berarti.
Tanggal 16 Oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia kedokteran. Demonstrasi
Morton berhasil dengan baik dan memicu penggunaan eter sebagai anestesi secara besarbesaran. Revolusi pembedahan dimulai dan eter sebagai anestesi dipakai hingga saat ini. Ia
bukanlah yang pertama kali menggunakan anestesia, namun berkat usahanyalah anestesia
diakui dunia kedokteran. Wajar jika Morton masuk dalam 100 orang paling berpengaruh
dalam sejarah dunia dalam buku yang ditulis William H. Hart beberapa tahun yang lalu.
Di balik kesuksesan zat anestesi dalam membius pasien, para penemu dan penggagas zat
anestesi telah terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan mendapatkan penghasilan dari
paten anestesi yang telah digunakan seluruh dokter di seluruh bagian dunia.
Terjadilah perseteruan di antara Morton, Wells, dan Jackson. Masing-masing mengklaim
zat anestesi adalah hasil penemuannya. Di tempat berbeda, seorang dokter bernama
Crawford W. Long telah menggunakan eter sebagai zat anestesi sejak tahun 1842, empat
tahun sebelum Morton memublikasikan ke masyarakat luas. Ia telah menggunakan eter di
setiap operasi bedahnya. Sayang, ia tidak memublikasikannya, hanya mempraktikkan untuk
pasien-pasiennya. Sementara ketiga dokter dan ilmuwan yang awalnya adalah tiga sahabat
itu mulai besar kepala, dokter Long tetap menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis
bedah.
Wells, Morton, dan Jackson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari dunia bahwa zat
anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh tahun menghabiskan waktu
dan uangnya untuk mempromosikan hasil temuannya. Ia mengalami masalah meskipun ia
telah mendaftarkan hak patennya di lembaga paten Amerika Serikat (U.S. Patent No. 4848,
November 12, 1846). Ketika tahun 1847 dunia kedokteran mengetahui, zat yang digunakan
adalah eter yang telah digunakan sejak abad 16, Morton tidak memiliki dasar hukum yang
kuat untuk mendapat keuntungan dari patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga
berhak atas penemuan tersebut.
Ketika Akademi Kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan Monthyon yang
bernilai 5.000 frank di tahun 1846, Morton menolak untuk membaginya dengan Jackson. Ia
mengklaim, penemuan tersebut adalah miliknya pribadi. Sementara itu, Wells mencoba
eksperimen dengan zat lain (kloroform) sebagai bahan anestesi.
Selama bertahun-tahun Morton menghabiskan waktu dan materi untuk mengklaim
patennya. Ia mulai stres dan tidak memedulikan lagi klinik giginya. Morton meninggal
tanggal 15 Juli 1868 di usia 49 tahun di Rumah Sakit St. Lukes, New York. Begitu juga
dengan Jackson yang meninggal dalam keadaan gila dan Wells yang meninggal secara
mengenaskan dengan cara bunuh diri.(Dewi Marthaningtyas:Terbius Memburu Paten Gas
Tertawa, Cakrawala, 2005).
Penggunaan obat-obatan dalam anestesi
Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun
lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan
membuat tenang (paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi.
Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:
Benzodiazepine Intravena
Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)
Neurosteroid
Obat bius yang digunakan dalam praktik medis memiliki banyak jenis dan sediaan. Ada
yang membuat bagian tubuh mati rasa hingga membuat tak sadar. Mengapa obat bius
dibuat beraneka ragam ? Tak hanya berfungsi untuk membuat orang tak sadar saat
dioperasi, pada tindakan medis lain pun obat bius amat diperlukan.
Misalnya saja untuk mencabut gigi, dimana obat bius digunakan untuk mematirasa area
yang akan dilakukan pencabutan. Obat bius adalah sebuah tindakan yang diambil dokter
untuk meredakan rasa nyeri. Baik yang bersifat lokal atau hanya mematikan rasa pada area
tertentu, hingga yang menidurkan atau menghilangkan kesadaran seseorang.Oleh karena
kebutuhan untuk meredakan rasa nyeri ini sangat subyektif pada masing-masing orang,
maka obat bius pun diciptakan dengan berbagai cara kerja dan penggunaannya.
Berdasarkan Sifat Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara awam obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga
golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum.
A. Anestesi Lokal
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, perawatan
kecantikan seperti sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti
sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi geraham terakhir atau gigi berlubang, mengangkat
mata ikan, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya hanya
menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya,
menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau
jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang
ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak.
Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu
waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan
selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan
diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri.
B. Anestesi Regional
Anestesi jenis ini biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam
kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak
sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan
tungkai.
Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register
rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat
anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan
tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa akan
lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak
mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi
lokal masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walau tak merasakan nyeri di daerah
yang sedang dioperasi.
C. Anestesi Umum
Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang biasanya dimanfaatkan untuk tindakan
operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang.
Misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lainnya.
Caranya, memasukkan obat-obatan bius baik secara inhalasi (pernafasan) maupun
intravena (pembuluh darah vena) beberapa menit sebelum pasien dioperasi. Obat-obatan ini
akan bekerja menghambat hantaran listrik ke otak sehingga sel otak tak bisa menyimpan
memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh manapun, dan membuat pasien dalam
kondisi tak sadar (loss of consciousness).
Cara kerjanya, selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat
amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan
alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital
melakukan fungsinya selama operasi dilakukan.
Sesuai Cara Penggunaan
Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara penggunaan
yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan saja, tetapi juga dihirup
melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan
anestesi ini di antaranya:
A. Melalui Pernafasan
Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat dimasukkan
melalui pernafasan atau secara inhalasi. Gas-gas ini mempengaruhi kerja susunan saraf
pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru sehingga bersama-sama menciptakan kondisi tak
sadar pada pasien.
Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar yang belum
diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga, perlu dipastikan pasien tetap
dalam kondisi tak sadar selama operasi dilakukan.
B. Iinjeksi Intravena
Sedangkan obat ketamine, thiopetal, opioids (fentanyl, sufentanil) dan propofol adalah
obat-obatan yang biasanya dimasukkan ke aliran vena. Obat-obatan ini menimbulkan efek
menghilangkan nyeri, mematikan rasa secara menyeluruh, dan membuat depresi pernafasan
sehingga membuat pasien tak sadarkan diri. Masa bekerjanya cukup lama dan akan
ditambahkan bila ternyata lamanya operasi perlu ditambah.
C. Injeksi Pada Spinal/ Epidural
Obat-obatan jenis iodocaine dan bupivacaine yang sifatnya lokal dapat diinjeksikan dalam
ruang spinal (rongga tulang belakang) maupun epidural untuk menghasilkan efek mati rasa
pada paruh tubuh tertentu. Misalnya, dari pusat ke
bawah.
Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural, injeksi
dapat dipertahankan dengan meninggalkan selang kecil untuk menambah obat anestesi jika
diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedang pada spinal membutuhkan jarum lebih
panjang dan hanya bisa dilakukan dalam sekali injeksi untuk sekitar 2 jam ke depan.
D. Injeksi Lokal
Iodocaine dan bupivacaine juga dapat di injeksi di bawah lapisan kulit untuk menghasilkan
efek mati rasa di area lokal. Dengan cara kerja memblokade impuls saraf dan sensasi nyeri
dari saraf tepi sehingga kulit akan terasa kebas dan mati rasa.
Risiko Dan Efek Samping Obat Bius
Menggunakan obat bius memang sudah merupakan kebutuhan untuk tindakan medis
tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, anestesi juga memiliki risiko tersendiri.
Bius lokal, efek samping biasanya merupakan reaksi alergi. Namun, pada anestesi regional
dan umum, Roys menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.
1. Cukup Sering
Dengan angka kejadian 1 : 100 pasien, prosedur anestesi dapat menyebabkan risiko efek
samping berupa mual,muntah, batuk kering, nyeri tenggorokan, pusing, penglihatan kabur,
nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur,nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi,
dan hilang ingatan sementara.
2. Jarang
Pada angka kejadian 1 : 1000 pasien, anestesi dapat berisiko menyebabkan infeksi dada,
beser atau sulit kencing, nyeri
otot, cedera pada gigi, bibir, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi buruk.
3. Sangat Jarang
Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 10.000/ 200.000 pasien,
diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf,
kelumpuhan, dan kematian.
Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf
yang menyebabkan kelumpuhan. Atau, pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung,
memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung.
Resistensi Bius
Ketika dilakukan anestesi, terkadang dapat terjadi seseorang tak mendapatkan efek bius
seperti yang diharapkan. Atau, yang kerap disebut resisten terhadap obat bius. Beberapa
kondisi yang bisa menyebabkan seseorang resisten terhadap obat bius di antaranya:
1. Pecandu alkohol
2. Pengguna obat psikotropika seperti morfin, ekstasi dan lainnya
3. Pengguna obat anelgesik
Pada orang-orang tadi telah terjadi peningkatan ambang rangsang terhadap obat bius yang
disebabkan efek bahan yang dikonsumsi dan masih beredar dalam tubuhnya.
Agar Obat Bius Optimal Dan Aman
Untuk menghindari terjadinya efek samping dan resistensi terhadap obat bius, sebaiknya
pasien benar-benar memastikan kondisi tubuhnya cukup baik untuk menerima anestesi.
1. Menghentikan penggunaan obat anelgetik, paling tidak 1-2 hari sebelum dilakukan
prosedur anestesi.
2. Menghentikan konsumsi obat-obatan yang berefek pada saraf pusat seperti morfin,
barbiturat, amfetamin dan lainnya, paling tidak 1-3 hari sebelum anestesi dilakukan.
3. Berhenti mengonsumsi alkohol paling tidak 2 minggu sebelum penggunaan anestesi,
4. Berhenti merokok setidaknya 2 minggu sebelum anestesi dilakukan
Anestesi
1.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan aesthesos, persepsi,
kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell
Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk
meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai dalam
waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon.
Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat
kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang
pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika
Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika
Universitas Sumatera Utara
Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena
Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada
tahun 1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang banyak
mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu
persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak
bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka
bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit
adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu.
Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat
melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan
oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum
tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin
diperhitungkan (Ismunandar, 2006).
1.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara
umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1.3.1 Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh
Universitas Sumatera Utara
yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan
dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan
dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat
setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya,
sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut
gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu
dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka
akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
1.3.2 Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila
pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan
tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar
register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat
anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek
mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Universitas Sumatera Utara
Anestesi Laparaskopi
EFEK FISIOLOGI
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan
juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang
menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:
Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular
sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama sama dengan
penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi
denyut jantung (HR).
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan
terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO 2 intra peritoneum
dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan
yang signifikan dari cardiac index (30 40%) setelah induksi anestesi dan
2,4,16
1,2,4,14
1,2,4,7,11,14-16
1,2,4,14,16
1,2,4,16
1-4,15
1. Efek Mekanik
2,4
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak
mudah terbakar seperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk
diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan
ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO 2juga
mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam
ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi
dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya,
luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi.
Karena difusi CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar
kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO 2. Absorbsi gas CO2
lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi
intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO 2 tidak dapat diprediksi,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti
terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan PaCO 2 pada pasien ASA III
selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit
yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai ETCO 2 tidak
berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient PETCO 2
masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO 2 merupakan nilai yang
tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO 2 selama insuflasi CO2 pada
pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh
darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena
rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO 2 arteri dan
penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 30 menit
setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik
selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi
kolesistektomi pada posisi head up. Peningkatan PaCO 2 tergantung pada
tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO 2 tetap
tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum
dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk
menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan
peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian
torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 30 menit untuk
mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan
harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan
intraabdomen yang rendah.
Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial
yaitu :
1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum.
2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor faktor mekanik seperti
distensi abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik,
penurunan cardiac output.
3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat obat premedikasi dan
anestesi yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan.
4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).
5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO 2 subkutis atau
dalam ruang tubuh, kapnothorak, emboli CO 2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek
ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada
pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung
jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang
fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi
khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan
mudah dicapai dengan peningkatan 10 25% ventilasi alveolar.
Efek Pada Sistem Lain1,2,4,14
Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi
untuk terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster
akibat peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun,
selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat
daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi
insidensi regurgitasi.
Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya
pembuluh darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia,
kompresi mekanis organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan
pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan
menurunnya sirkulasi mesenterik.
Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran
balik pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin,
angiotensin, dan vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin
meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan
penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20
mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga
mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode
postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua
organ, kecuali glandula adrenal.
Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada
curah jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran
darah vena renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan
ADH plasma dan peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan
meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan
tekanan filtrasi dan produksi urine.
Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler
Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan
spinal lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga
meningkatkan tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan
refleks vasodilatasi pada sistem saraf pusat dan hal ini juga turut
meningkatkan tekanan intrakranial.
1-3,5
1,2,5,8,16
1,2,4-6,15
2,4,16
2,17
Pemilihan obat obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan
profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh
otot dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi
(PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan,
dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain
menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan
neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang
direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak
meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh
otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari.
Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan
dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.
Nitrous Oxide (N2O)
2,3,4
Analgesia
2,3,4
1,2,3,5
PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga
merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40
75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan
lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid
intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial.
Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid
dengan obat obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV.
Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif
sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang
lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin
50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan.
Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai
antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi.
Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan
menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 1 mg, antagonis 5 HT3
(ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 5 mg), dan deksamethason 4 8 mg,
disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.
Monitoring
1,2,4,16
digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2),
Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway
pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III IV
untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum,
perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri
merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya
pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO 2 dan a-ETCO2
meningkat lebih besar pada pasien ASA II III daripada pasien ASA I. Hal ini
juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan
pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas
arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada
pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi
paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO 2 dalam menilai
dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk
mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi
paru terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan
inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi
trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen
menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan
meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan
pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini
menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih
cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan
kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada
pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi.
Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting
untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO 2 juga bermanfaat untuk deteksi
dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO 2 dan PaCO2 setelah Insuflasi
CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner
PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO 2 dan hal ini tidak
mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu
mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah
pergerakan pasien tiba tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan
trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.
KOMPLIKASI INTRAOPERASI YANG SPESIFIK
1,2,4
2,3,4,8,16
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat alat pembedahan
terutama veress needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama
2,3,4,8
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan
trokar meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus
yang bisa menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi
mesenterium. Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi
distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen
sebelumnya.
3. Aritmia jantung
2,3,4,6
1,2,3,4,5,12,14,15
1-6,12,14-16
1-6,12,14-16
udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu
baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli
paradoksikal yang melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium
bisa menyebabkan emboli CO2 serebral.
Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi
transesofageal sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi,
tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak
menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi
ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan
meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan
mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO 2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini
sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal
berkurang karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan
kaudal outflow ventrikel kanan.
REFERENSI
1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 40
2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 39.
3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal
Anesthesia 2002;49;6;1 5
4. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures.
Clinical Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28
5. Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 2003 17.
6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 1 9.
18. Usaha menekan rasa nyeri dengan menggunakan obat telah dilakukan sejak zaman
dahulu termasuk pemberian alkohol dan opium secara oral. Tahun 1846, William
Morton, di Boston, pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk
menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, James Simpson, di Skotlandia,
menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan
nitrogen oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790-an. Anastetik
modern mulai dikenal tahun 1930-an , dengan pemberian barbiturate thiopental
secara intravena. Beberapa puluh tahun lalu kurare pun pernah diperkenalkan
sebagai anestesi umum untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung.
Tahun 1956, hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal
sebagai obat anestesi inhalasi dan menjadikannya standar pembanding untuk obatobat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.
19. Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran,
terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk
menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung
pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis.
20. Anastetik yang ideal akan bekerja secara cepat baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas keamanan
pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang minimal. Tidak satupun
obat anestesik dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa disertai efek samping,
bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestesi dalam bentuk
kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak diharapkan.
21. Sejumlah obat anestesi protokol yang digunakan bergantung pada jenis operasi yang
akan dilaksanakan. Untuk operasi kecil, obat-obat conscious sedation dapat
digunakan, termasuk termasuk benzodiazepine bersama-sama dengan obat lokal
anestesi. Anestesi yang seimbang yang meliputi penggunaan kerja barbiturate, N2O,
dan opium secara intravena, telah dipakai secara luas. Pada operasi besar, prosedur
anestesi selalu meliputi pemberian medikasi preoperative seperti obat-obat
penenang dan penghilang nyeri, penggunaan thiopental atau obat-obat anestetik
intravena lainnya, serta penggunaan anestetik inhalasi secara sendiri-sendiri ataupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik intravena. Pada kebanyakan kasus,
penggunaan obat relaksasi otot juga dimasukkan dalam prosedur untuk anestesi
umum.
22. BAB II
23. DASAR TEORI
24.
25. 2.1 Definisi dan Jenis Obat Anestesi
26. Dilihat dari sifatnya, obat anestesi terbagi atas anestesi lokal, regional, dan umum.
27. a. Anestesi lokal
28. Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara kerjanya
hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Caranya,
menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan
sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade
saraf-saraf tepi yang ada di sekitar area injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls
nyeri ke otak.
29. Anestesi lokal ini bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya memerlukan waktu singkat. Oleh karena itu, efek mati rasa yang didapat
hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi,
bila lebih dari itu maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri.
30. b. Anestesi spinal
31. Anestesi jenis ini biasaanya dimanfaatkan pada kasus bedah yang pasiennya perlu
dalam keadaan sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar,
bila pasien tidak sadar. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada
bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak, yaitu sumsum tulang belakang,
sehingga obat anestesi mampu menghentikan impuls di area saraf itu.
32. Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sumsum tulang belakang akan
terhambat dan tidak dapat diteruskan ke otak sebagai sensasi nyeri. Sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibandingkan anestesi lokal. Pada
kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari abdomen ke bawah.
33. c. Anestesi umum
34. Anestesi umum atau bius total adalah anestesi yang bisanya dimanfaatkan utnuk
tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu
pengerjaannya panjang. Caranya dengan memasukkan obat-obat bius baik secara
inhalasi maupun intravena beberapa menit sebelum pasien di operasi. Obat-obatan
ini akan bekerja menghambat hantaran aliran listrik ke otak, sehingga sel otak tidak
bisa menyimpan memori atau mengenali impuls nyeri di area tubuh tertentu dan
membuat pasien dalam kondisi tidak sadar (loss of consciousness). Cara kerjanya
selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia,
juga merelaksasi otot. Maka selama penggunaan anestesi juga dibutuhkan alat bantu
nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital
melakukan fungsinya selama operasi dilakukan. (Damayanti, 2010)
35. Sedangkan berdasarkan cara pemberiannya, obat anastesi dibagi atas anestesi
inhalasi dan anestesi intravena.
36. a. Anestesi inhalasi
37. Nitrogen oksida yang stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu
anestetik gas yang sering dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan metoksifluran
merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan zat anestetik
terbaru tetapi belum diizinkan beredar di USA. Anestetik inhalasi konvesional
seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi karena eter
dan siklopropan mudak terbakar, sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
38. b. Anestesi intravena
39. Beberapa obat anestesi diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam
bentuk kombinasi dengan anastetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium
anestesi ataupun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang
mendapat pernapasan buatan untuk waktu yang lama. Termasuk disini adalah: 1)
barbiturat (thiopental, metoheksital), 2) benzodiazepine (midazolam, diazepam), 3)
64. Selama ansetesi umum, obat-obatan menyebabkan paralisis muskulus yang bekerja
di banyak area tubuh. Pada beberapa pasien juga terjadi paralisis otot kandung
kemih, sehingga menyebabkan pasien tidak dapat berkemih. Ketidakmampuan BAK
ini dapat terjadi dalam 24 jam, tetapi selama waktu itu kandung kemih akan terus
terisi dan penuh, sehingga dibutuhkan kateter. (Heisler, 2011)
65. Meskipun komplikasi dari pemberian anestesi umum rendah, tetapi beberapa yang
dapat terjadi adalah serangan jantung, stroke, brain damage, dan kematian.
Komplikasi tersebut bergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, alergisitas,
kesehetan secara umum, dan riwayat pemakaian obat-obatan terlarang, alkohol,
serta rokok. Resiko kematian dari anestetik umum sulit dievaluasi karena banyak
faktor yang mempengaruhi, mulai dari keadaan pasien, prosedur operasi, sampai
skill operator anestesi. Perbandingan terjadinya resiko tersebut berkisar 1:1.000 dan
1:100.000, dengan anak-anak dan pasien lebih dari 70 tahun lebih beresiko.
(Uretsky dan Hilton, 2011)
66. Resiko pemberian anestetik pada lansia lebih berat dibandingkan pada dewasa
muda. Para manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam
anestesi dan pembedahan kaerna terdapat kemunduran sistem fisiologis dan
farmakologis sejalan dengan penambahan usia yang mulai jelas terlihat setalah 40
tahun. Setelah usia tersebut terjadi penurunan kekuatan otot pernafasan dan
komplaien dinding dada, kemampuan kardiovaskular, kemampuan cadangan ginjal
yang menyebabkan menurunnya toleransi terhadap kekurangan cairan dan kelebihan
beban zat terlarut, serta perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris, dan otonom,
juga berkurangnya perfusi darah ke otak menyebabkan manula lebih rentan dan
lebih besar berkemungkinan mengalami efek buruk anestesi.
67. Diasumsikan kesulitan untuk bernafas pascabedah dini lebih sering terjadi pada
manula. Bila memungkinkan, sebaiknya diberikan analgesik regional nonsistemik,
sehingga petugas lebih mudah dan cepat mengenal serangan angina atau perubahan
serebral akut. Dosis obat obat anestetik umum atau lokal pada lansia harus
dikurangi dan diberikan sesuai kebutuhan, secara titrasi dengan mengingat bahwa
waktu sirkulasi memanjang dan kemungkinan terjadinya interaksi dengan obat-obat
yang sudah diminum oleh pasien praanastesi.(Hartono, dkk, 2011)
68. 2.3.1 Efek Anestesi Lokal
69. Obat anstesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga untuk
setiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat
bersifat lokal atau sistemik.
70. Komplikasi lokal:
71. a. terjadi di tempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis, dan gangrene
72. b. komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis
95. Pada pasien dengan penggunaan anestesi spinal juga dapat terjadi kehilangan
penglihatan pasca operasi (POVL).
96. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler selama
spinal anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan
peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer.
97. Merupakan kontraindikasi relatif spinal anestesi, tetapi jika normovolemi dapat
dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bisa dikerjakan.
98. Pasien hamil sensitif terhadap blokade simpatis dan hipotensi, hal ini karena
obstruksi mekanis venous return, sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada
posisi miring lateral segera setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena
cava.
99. Pasien tua dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi
dibanding dengan pasien muda.
100.
Obat lokal anestesi juga berpengaruh terhadap derajat hipotensi.
101.
Tetrakain menyebabkan hipotensi lebih berat dibanding bupivakain. Hal
ini mungkin disebabkan karena blokade simpatis tetrakain lebih besar dibanding
bupivakain.
102.
2. Blokade spinal tinggi/total
103.
Blokade spinal total jarang terjadi jika dosis obat yang digunakan sesuai
dengan yang disarankan. Gejala yang dialami pasien dapat berupa:
104.
Sesak nafas dan sukar bernafas sebagai gejala utama.
105.
Apabila blok semakin tinggi, penderita menjadi apnea, kesadaran menurun
disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung.
106.
Sering disertai dengan mual, muntah, precordial discomfort, dan
gelisah.
107.
3. Mual dan muntah
108.
Hal ini terjadi karena hipotensi, disamping itu juga adanya aktifitas
parasimpatik yang menyebabkan peningkatan peristaltik usus, juga karena tarikan
nervus dan pleksus, khususnya N. Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh
karena relaksasi pilorus dan sphincter duktus biliverus, faktor psikologis, dan
terakhir hipoksia.
109.
4. Penurunan panas tubuh
110.
Hipotermia terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi
panas oleh metabolisme berkurang. Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah
merupakan predisposisi terjadinya hipotermi.
111.
Sedangkan komplikasi lanjut dari spinal anestesi adalah sebagai berikut:
112.
1. Post Dural Puncture Headache (PDPH)
113.
PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan
diplopia, mual dan penurunan tekanan darah. Onset terjadinya adalah 12-48 jam
setelah prosedur spinal anestesi. PDPH terjadi karena adanya kebocoran cairan
medula spinalis yang dapat terjadi secara spontan atau ada hubungannya dengan
kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat
menyebabkan penekanan medula spinalis yang menyebabkan iskemik neurologis
dan paraplegi.
124.
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi:
mati rasa, kelemahan otot, kelainan BAB, kelainan sfinkter kandung kemih dan
jarang terjadi adalah sakit pinggang yang berat. Faktor resiko abnormalitas medula
spinalis berupa kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya,
kelainan vesiculer, penusukan yang berulang-ulang. (Fettes dan Wildsmith, 2002)
125.
2.3.3 Efek Anestesi Umum
126.
a. Efek anestetik inhalasi
127.
1. Efek terhadap kardivaskular
128.
Halotan, desfluran, enfluran, dan isofluran menurunkan tekanan arteri ratarata yang berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan
enfluran, penurunan tekanan arteri tampaknya disebabkan penurunan curah jantung
karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya
peningkatan darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek
depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular sistemik;
mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.
129.
Anestetik inhalasi mengubah denyut jantung dengan mengubah depolarisasi
nodus sinus secara langsung atau dengan mengubah keseimbangan saraf ototnom.
Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi langsung
atas kecepatan atrium. Sebaliknya, metoksifluran dan ensifluran meningkatkan
denyut jantung. Semua perubahan dalam denyut jantung tersebut telah ditentukan
pada orang normal yang menjalani operasi. Pada penderita prabedah atau trauma
operasi selama operasi berlangsung sering mengubah respon jantung terhadap
anestetik inhalasi.
130.
Semua obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium
kanan yang bergantung pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi
miokardium. Anestetik inhalasi mengurangi konsumsi oksigen jantung, terutama
dengan menurunkan variable yang menegontrol kebutuhan oksigen, seperti tekanan
darah arteri dan kekuatan kontraktilitas.
131.
Banyak faktor yang mempengaruhi efek kardiovaskular pada pemberian
anestetik inhalasi. Perangsangan selama operasi, hiperkapnia, dan lamanya operasi
berlangsung akan menurunkan efek depresi obat anestetik inhalasi. Hiperkapnia
akan membebaskan katekolamin yang melemahkan penurunan tekanan darah.
Tekanan darah menurun lebih sedikit 5 jam pemberian anestesi dibandingkan
setelah pemberian 1 jam. Halotan dapat mensensitasi otot jantung terhadap
katekolamin dan dapat terjadi aritmia ventrikel pada penderita dengan penyakit
jantung yang diberikan obat simpatomimetik yang bekerja langsung atau tidak
langsung yang tinggi dalam darah. Obat inhalasi modern lainnya sudah jarang
menimbulkan aritmia. (Katzung, 1998)
132.
Salah satu studi klinis dilakukan oleh Sedic F.,
2.3
2.3.1
Definisi
Anestesi berasal dari bahasa Yunani an yang berarti tidak dan esthesia
yang berarti rasa, sehingga dapat berarti hilangnya rasa atau sensasi. Kata
anesthesia diperkenlakan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian obat, dengan
tujuan untuk menghilangkan sensasi rasa nyeri pada saat pembedahan.
Sedangkan analgesi ialah pemberian obat untuk menghilangkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran pasien.6
2.3.2
Klasifikasi Anestesi
ini
digunakan
untuk
pembedahan
abdomen
yang
luas,
operasi
dengan
posisi
tertentu
yang
memerluakn
pengendalian
pernafasan.3
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Penatalaksaan Perioperatif
3.1.1
Manajemen Perioperatif
anestesi/
operasi
sebelumnya
yang
terdiri
dari
tanggal,
jenis
kelainan
hidung
(rhinitis),
atau
gastroenteritis
(diare),
diatas 40 tahun). Ada juga yang dilakukan secara khusus, yang dilakukan bila
terdapat riwayat atau indikasi, Elektrokardiohrafi pada anak, bronkospirometri
pada pasien tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fungsi ginjal pada
pasien hipertensi atau pasien yang mengalami gangguan miksi. 3
b.
Kelas / ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada
keterbatasan fungsional.
c.
Kelas / ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi.
d.
Kelas / ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup
dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
e.
Kelas / ASA V Pasien yang tidak dapat hidup / bertahan dalam 24 jam dengan
atau tanpa operasi.
f.
Kelas / ASA VI Pasien mati batang otak yang organ tubuhnya dapat diambil.
g.
3.1.2
digunakan
untuk
melihat
laring
secara
langsung
supaya
kita
dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Intubasi trakea adalah
tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glotis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita
suara dan bifurkasio trakea. Komplikasi yang timbul selama intubasi antara
lain, trauma gigi-geligi, laserasi pada bibir, gusi, laring, dapat merangsang
saraf simpatis sehingga terjadi hipertensi atau takikardi, aspirasi, dan spasme
bronkus. Komplikasi yang timbul setelah ekstubasi adalah, spasme laring,
aspirasi, gangguan fonasi, edema gotis-subglotis, dapat juga menimbulkan
infeksi pada laring, faring dan trakea.6
3.1.2.2 Indikasi anestesi regional
Anestesi regional digunakan untuk orang dewasa, dengan indikasi bedah
ekstremitas bawah, operasi kebidanan, bedah urologi, tindakan sekitar rektum
perineum. Kontra indikasi
3.1.3
sebagai
absorber
untuk
mengikat
karbondioksida
yang
2.
Persiapan alat-alat intubasi antara lain, Scope yang terdiri dari Stetoskop,
untuk mendengarkan suara paru dan jantung dan laringo-scope untuk
melihat laring. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Blade lurus (Manchintos) untuk bayi atau anak-anak dan blade lengkung
(Miller, Magill) untuk anak besar dan orang dewasa, serta lampunya harus
cukup terang. Tubes atau pipa trakea, pilih nomor sesuai usia yaitu usia < 5
tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed). Menjaga agar
airway atau jalan nafas tetap bebas dengan menggunakan pipa mulutfaring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal
airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar sehingga lidah
tidak menyumbat jalan napas, dan juga agar pipa trakea tidak tergigit.
Diperlukan juga tape atau plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut. Introducer yaitu dipakai mandrin atau stilet dari
kawat dibungkus plastik (kabel), yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan ke dalam trakea. Connector sebagai
penyambung antara pipa dan peralatan anestesi. Suction untuk penyedot
lendir, ludah dan lain-lain. Spuit 10 cc untuk pengisian udara pada caf pipa
trakea.
Face mask atau sungkup muka untuk mengantar udara / gas anestesi
dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien dengan napas
spontan atau dengan tekanan positif, tidak bocor sehingga gas masuk semua
ke trakea lewat mulut atau hidung. Ukuran untuk anak 1,2, dan 3, sedangkan
pada orang dewasa no 4 dan 5. Sungkup laring atau LMA (laringeal mask
airway) adalah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang
dengan
ujung
menyerupai
sendok,
yang
pinggirnya
dapat
Alat-alat intravena line yang terdiri dari abocath dengan ukuran yang sesuai
dengan jenis operasi. Umumnya pada anak-anak digunakan no besar yaitu
22 dan 24, tetapi untuk terapi cairan intravena jangka lama dipasang
no
kanul
besar no 18 atau 20. Sedangkan orang dewasa dapat menggunakan no 14, 16,
18 dan 20. Untuk terapi cairan intravena jangka lama sebaiknya dipasang
kanul 18 atau 16.
kanul
besar No. 14 atau 16 agar dapat memasukkan cairan yang banyak dan cepat.
Selang tranfusi set / infusion set yang digunakan untuk mengalirkan cairan
ataupun darah dari flabotnya ke tubuh pasien. Cairan infus berupa cairan
kristaloid dan cairan koloid serta darah bila diperlukan.
sedangkan
kerugiannya
adalah
dapat
menyebabkan
depresi
Propofol
(diprivan
1%,
fresofol
1%,
recofol).
Propofol adalah
campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai, 2,25%
gliserol, dan lesitin telur. Propofol sebagai obat anestesi umum yang bekerja
cepat, efek obatnya dicapai dalam waktu 30 detik. 3 Secara umum, propofol
dapat menimbulkan penurunan tekanan darah dan sedikit perubahan frekuensi
denyut jantung pada saat induksi maupun maintenance.
Akan tetapi gangguan hemodinamik yang serius jarang terjadi. Depresi
pernapasan dapat terjadi, tetapi bila dosis dan cara penberian sesuai dengan
yang dianjurkan maka hal ini masih dalam batas yang bisa di kendalikan.
Propofol dapat menurunkan tekanan intrakranial. Pemulihan cepat, tanpa rasa
pusing atau sakit kepala dan tanpa rasa mual dan muntah. Indikasi adalah
untuk penberian induksi dan maintenance anestesi umum, juga untuk sedasi
pada pasien dewasa yang mendapat perawatan intensive dengan bantuan
ventilasi. Propofol tidak dianjurkan untuk anak-anak-anak dibawah umur 3
tahun.8 Sebaikknya pemberian obat ini pada vena besar karena dapat
menimbulkan nyeri. Dosis induksi 1-2,5 mg/kgBB. Dosis sedasi 25-100
mg/kgBB/menit infus.Dosis maintenance 4-12 mg/kgBB/jam. 3
Ketamin (ketalar, anesject). Ketamin adalah obat anestesi umum yang
bekerja cepat, bukan barbiturat. Menyebabkan Perubahan kesadaran yang
disertai analgesik kuat yang disebut anestesi disosiatif. Ketamin menimbulkan
produksi saliva meningkat, sehingga bahaya aspirasi dapat terjadi. Indikasi
pemakaian adalah prosedur diagnostik, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi,
untuk analgesi dan anestesi pada obstetric, dan pasien asam. 8 Kontraindikasi
adalah tekanan sistolik 160 mmHg dan diastolik 100 mmHg, riwayat penyakit
untuk
pemberian
secara
intravena
dilakukan
secara
induksi
tidur
jangkah
pendek
untuk
premedeksi,
induksi,
dan
insufisiensi
paru-paru
akut,
dan
depresi
pernafasan.
Dosis
anestesi
inhalasi.
Efek
terhadap
kardiovaskuler
cukup
stabil,
jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem syaraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime,
baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap manusia. Dosis :
2 volume %.3
golongan
ini
menghambat
transmisi
neromuskular
sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Mekanisme kerja obat ini dibagi
menjadi dua golongan, yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten
(misalnya suksinil kolin), dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi
(misalnya kurarin). Pada anestesi umum obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakes, serta memberi relaksasi otot
yang dibutuhkan dalam pembedahan dab ventilasi kendali. 3
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Pavulon (pankuronium bromida). Pavulon merupakan obat relaksan
yang tidak pernah menimbulkan reaksi anafilaktik yang berat, sedikit
menembus sawar plasenta sehingga sangat bermanfaat pada bedah obstetrik.
Obat ini sebagian dikeluarkan melalui ginjal dan sebagian masuk kedalam
cairan empedu, sehingga obat ini jangan diberikan kepada pasien gagal ginjal
dan pasien dengan obstruksi total cairan empedu. Sebagian obat ini
(norkuron).
Vekuronium
merupakan
hormolog
pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat.
Zat anestetik ini tidak memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Di
metabolisme dalam liver dan dikeluarkan melalui ginjal. Mula kerja pada menit
kedua-ketiga dengan masa kerja selama 30 menit. Dosis 0,1-0,2 mg/kgBB.
Kemasan berupa ampul berisi 4 mg bubuk vekuronium. Pelarutnya dapat
berupa akuades, garam fisiologik, ringer laktat, atau dekstrose 5% sebanyak 2
ml.3
Rokuronium (esmeron). Zat rocuronium merupakan analog vekuronium
dengan awal kerja lebih cepat dan efek kerjanya lebih lama. Dapat
menyebabkan gangguan pada fungsi hati, tetapi tidak mengganggu fungsi
ginjal. Obat ini dapat menembus sawar plasenta tetapi tidak menimbulkan efek
yang bermakna. Pada anestesi dengan tehnik hipotermi dapat memperpanjang
efek obat. Mula kerja obat 60-90 detik dan masa kerja 40-50 menit. Dosis 0,6-1
mg/kgBB. Kemasan berupa flakon, tiap ml mengandung 10 mg rokuronium
bromide.8
anticholinesterase,
dan
magnesium.
Fasikulasi
yang
terjadi
menyebabkan rasa sakit pada otot 3-4 hari pascaoperatif. 8 Mula kerja obat ini
30-60 detik dan lama kerja 3-5 menit. Dosis 1-1,5 mg/kgBB intravena. Kemasan
dalam flakon 20, 50 atau 100 mg/ml.3
3.1.3.2.4
ketegangan
pasien
menjelang
operasi,
menghindari
takipnu
pada
pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi dapat berjalan dengan tenang dan
dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul
spasme serta kadang-kadang terjadi konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan
depresi napas, ini dapat dilawan dengan pemberian atropin secara intravena. 3
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB). Diberikan 90 menit
sebelum anestesi dimulai. Pada orang tua dan anak-anak dosisnya dikurangi
dan tidak boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun karena membahayakan. 8
umum
atau
regional.
Efek
yang
ditimbulkan
adalah
depresi
pernapasan yang dapat berlanjut sampai masa pascaoperatif, dimana efek ini
dapat dinetralkan dengan antagonis narkotik yaitu naloxone, dosisnya 0.1 0.4
mg/ intravena. Untuk menjaga terjadinya bradikardi dianjurkan memberikan
obat anticholinergis dosis rendah secara intravena sebelum induksi anestesi.
Dosis 1 5 g/kgBB. Kemasan dalam bentuk ampul 2 ml/ 100 g. 8
Analgetik nonnarkotik
Ketorolak (Toradol, Remopain). Obat ini dapat mengatasi nyeri ringan
sampai berat pada kasus-kasus emergensi, muskuloskeletal, pascabedah minor
dan mayor, kolik ginjal dan nyeri pada kanker. Obat ini baik untuk pemberian
pascaoperatif dengan dosis tunggal intravena 30 mg dan dapat diulangi tiap
enam jam, maksimum 120 mg atau tidak boleh lebih dari lima hari. 8
Obat Anestesi Regional
Penggolongan Obat Anestesi Reegional diantaranya yaitu Bupivacaine
0,5% ( Marcaine 0,5% ), Dosis sampai 4 ml dan pada usia lanut dosisnya
dikurangi. Lignocaine HCL, BP 5%, obat ini dicampur dengan dextrose 3% dan
7%. Dosis
anak-anak
dosis
0,015
mg/kgBB
dan
hyoscine
buytlbromide
(buscopan), dosis 10 20 mg. Vaso Pressor / Vaso dilator yaitu adrenalin, untuk
cardiac arres dosis 0,5mg (0,5 ml dari larutan 1/1000); untuk anafilaktik shock
0,1 mg dan ephedrine, Bp, Dosis 15-30 mg. Oksitosin, metergin dan
magnesium dipersiapkan untuk pasien obsertik. Untuk pasien hipoglikemia
dapat diberikan dekstrose 40%. Dan untuk pasien gangguan respiratorik dapat
diberikan aminofilin. Bila pasien mengalami alergi maka dapat diberikan
kortikosteroid antara lain deksametason, dosis 4-100 mg, Prednisone, dosisnya
20 mg, Hydrocotisone hemisuccitane, dosisnya 100 mg.
Obat furosemid/Lasix; Mannitol, dosisnya 0,5-1mg/ kgBB secara infus
digunakan
larutan
10%
dan
20%
digunakan
untuk
dieuretik.
Oba
3.1.4
3.1.4.1 Premedikasi
Premedikasi adalah penberian obat-obatan 1 atau 2 jam sebelum induksi
secara oral, intramuskular, intravena maupun perrektal. Adapun tujuan dari
pemberian premedikasi adalah, menimbulkan rasa nyaman pada pasien
(menghilangkan kekuatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia dan
memberikan
analgesi),
juga
untuk
memudahkan/memperlancar
induksi,
50
mg
untuk
mengurangi
nyeri
atau
kesakitan.
3.1.5
3.1.6
Monitoring Intraoperatif
Kontrol tekanan darah systole dan diastole tidak boleh naik diatas 20%
baseline
atau
turun
20%
dibawah
baseline,
dapat
dilakukan
dengan
cairan
infus
perlu
dilakukan
agar
pasien
tidak
mengalami
3.1.7
Ekstubasi
3.1.8
Ruang pemulihan atau Recovery room (RR) disebut juga unit perawatan
pascaanestesi atau postanesthesia caru unit ( PACU ). Setelah operasi selesai
pasien dibawa ke ruang pemuluhan atau ke ruang rawat intensif bila ada
indikasi. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan atau monitor sampai
pasien sadar betul. Yang harus di monitor antara lain, keadaan umum,
kesadaran,
tekanan
darah,
nadi,
pernapasan,
suhu,
sensibilitas
nyeri,
Perbaiki
defisit
yang
masih
ada
(cairan,
darah,
nyeri,
mual
jalan, tetapi atas ijin dokter anestesi yang bertugas. 9 Score tersebut dapat
dilihat pada tabel 3.1 dan 3.2
Kriteria
- Merah muda
Warna
- Sianosis
2
1
Aktivitas
- Pucat
Sirkulasi
Score
- Tidak berespon
- Tidak begerak
Kriteria
- Bangun
Skor
2
Jalan Nafas
Gerakan tubuh
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
3.1
SIMPULAN
Hernia terjadi pada semua usia mulai dari bayi sampai orang dewasa.
Hernia merupakan penonjolan isi suatu rongga karena adanya kelemahan pada
dinding organ yang bersangkutan, yang terjadi karena faktor bawaan ataupun
didapat. Bagian hernia terdiri dari cincin, kantong dan isi hernia itu sendiri,
dimana pilihan terapi untuk hernia ireponible yaitu melalui operasi.
Pembedahan dapat dilakukan terencana, tidak harus segera yang meliputi
tahap,
praoperatif,
intraoperatif
dan
postoperatif.
Khusus
untuk
hernia
lateralis incarserata yaitu operasinya bersifat segera, oleh karena itu anestesi
disesuaikan dengan kondisi umum penderita, maka anamnesa, pameriksaan
fisik serta analisis penunjang (laboratorium) mutlak dilakukan dengan teliti, hal
ini menuntut pengetahuan dan keterampilan dari tenaga anestesi untuk
menghasilkan suatu kondisi anestesi yang aman dan efektif.
4.2
Saran
Berdasarkan pengalaman kesulitan penyusun dalam menyusun makalah
ini, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penyusun tentang
obyek penyusunan karya tulis ini, serta jumlah literatur yang tersedia
membatasi pendalaman materi karya tulis tentang penatalaksanaan anestesi
terhadap penderita yang menjalani operasi herniorafi pada hernia inguinal
lateralis inkarserata, karenanya penyusun mengharapkan kiranya penyusunan
karya tulis lainnya akan memberikan analisa yang lebih aktual demi
peningkatan kualitas pelayanan anestesi di masa yang akan datang. Maka
pada kesempatan ini penyusun kiranya dapat memberikan saran kepada :
4.2.1
4.2.2
Kepada tim bedah dan anestesi agar cepat, tepat dan teliti dalam
menganalisa serta mendiagnosa agar penangan khususnya pada penderita
hernia inkarserata dapat dilaksanakan dengan tepat dan efisien sehingga
berbagai kendala dan resiko dapat diminimalisir.
4.2.3
Rekan-rekan
untuk
senantiasa
meningkatkan
pengetahuan
serta
keterampilan, agar dapat menjadi tenaga anestesi yang handal dan dapat
diandalkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
R.Sjamsuhidayat, Wim de jong, buku ajar ilmu bedah, edisi ke-2, jakarta 2004
3.
4.
5.
Made
kusmala,
dkk,
hernia
inguinalis
pada
anak,
FKU
Hasannudin,
www.kalbe.com
6.
7.
Said A Latif, dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Ed. 2, FKUI Jakarta 2002
Wargahadibrata, A. Himendra, Anestesiologi Untuk Mahasiswa Kedokteran
SAGA, Bandung, 2008
8.
9.
System pernafasan
Control pernafasan
Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan . sehingga, perawat perlu
mewaspadai pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan
dinding dada, bunyi nafas, dan warna membrane mukosa. Apabila pernafasan dangkal,
letakkan tangan perawat di atas muka atau mulut pasien shingga perawat dapat merasakan
udara yang keluar.
Kepatenan jalan nafas
Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk mempertahankan kepatenan jalan
nafas sampai tercapai pernafasan yang nyaman dengan kecepatan normal. Apabila fungsi
pernafasan sudah kembali normal . maka perawat mengajarkan pasien cara membersihkan
jalan nafas dengan cara meludah. Kemampuan melakukan hal tersebut menandakan
kembalinya reflex muntah normal.
Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi
muntah, akumulasi sekresi, mukosa di faring atau spasme faring.
FISIOLOGI PERNAFASAN DAN ANESTESI
FISIOLOGI PERNAPASAN :
EFEK ANESTESIA
Fisiologi pernapasan sangat penting dalam praktek anestesi karena
anestetik yang
paling sering digunakan inhalation agents bergantung pada kerja
paru-paru untuk diuptake dan dieliminasi.
Lebih lanjut nanti, paralisis otot, posisi yang tidak biasa selama
operasi dan teknik seperti anestesia dengan satu paru - paru serta
cardiopulmonary by pass juga mempengaruhi fisiologis pulmonal.
Respirasi Seluler
Dihasilkan 38 ATP
Metabolisme Anaerob
expirasi pasif
Tracheobronchial
Fungsi membawa aliran gas dari dan ke alveoli
Tracheobronchial Tree
Innervation
Spontaneous Ventilation.
Mechanical Ventilation.
Kebanyakan mechanical ventilation menerapkan positive airway
Ventilasi Spontan
Compliance
Elastic recoil dapat pula diukur dengan compliance, yang
didefinisikan sebagai perubahan dalam volume dibagi perubahan
dalam tekanan distensi.
Diposkan oleh Faisal Ibrahim di 3/17/2014 02:35:00 AM Tidak ada komentar:
Abstract
Background : The problem of PONV (Post Operative Nausea And Vomiting) is common in post
operative patients with general anesthesia in the General Hospital Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate,
the problem was caused because there was no kind of drug that can effectively fully control the
PONV, combination therapies are needed to reduce the incidence of PONV.
Objective : This study aimed to determine the efect of aromatherapy to decrease PONV response in
postoperative patients with general anesthesia action in the central surgical installation General
Hospital Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.
Methods : This study used quasi experimental method with one pre post design. Subject were all
patients PONV was surgery with general anesthetic action, that is a total of 37 people consisting of
8 male patients and 29 female patients, aromatherapy is given by way of as much as 1.5 ml dripped
on a piece of gauze and the inhaled for 60 minute at patients PONV after surgery. The study carried
out in December 2013 till January 2014. Tecniques data collection using observation checklist sheet
and data analysis with wilcoxon.
Results : Most respondents didnt experience nausea and vomiting thats 30 people (81,1%). Based
on the results of the statistical test wilcoxon p value : 0.000 significant meaning.
Conclusion : There is influence of the use of wind aromatherapy oils to decrease respon of PONV in
patients after surgery with general anesthesia in the General Hospital Dr. H. Chasan Boesoirie
Ternate.
Keywords : Aromatherapy , postoperative nausea, vomiting , general anesthesia
Abstrak
Latar belakang : Permasalahan mual muntah masih sering terjadi pada pasien pasca operasi
dengan general anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate,
permasalahan itu disebabkan karena tidak ada jenis obat yang secara efektif dapat sepenuhnya
mengontrol mual dan muntah, dibutuhkan terapi kombinasi untuk menekan insiden mual dan
muntah.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aromaterapi terhadap penurunan
respon mual dan muntah pada pasien pasca operasi dengan tindakan general anestesi di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.
Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan rancangan one
pre post design. Subjek penelitian adalah seluruh pasien mual muntah pasca operasi dengan
tindakan general anestesi yaitu sebanyak 37 orang terdiri dari 8 pasien laki laki dan 29 pasien
perempuan, aromaterapi diberikan dengan cara diteteskan sebanyak 1,5 ml pada selembar kassa
kemudian dihirupkan selama 60 menit pada pasien yang mengalami PONV pasca operasi,
penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2013 antara bulan Desember s.d Januari 2014. Tehnik
pengumpulan data menggunakan lembar check list observasi dan analisa datanya dengan
wilcoxon.
Hasil penelitian : Setelah dilakukan pemberian minyak angin aromaterapi, sebagian besar
responden tidak mengalami mual dan muntah yaitu 30 orang (81,1%). Berdasarkan uji statistik hasil
wilcoxon didapatkan nilai p Value : 0,000 yang berarti signifikan.
Kesimpulan : Ada pengaruh penggunaan minyak angin aromaterapi terhadap penurunan respon
mual muntah pada pasien pasca operasi dengan tindakan general anestesi di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.
Kata
kunci
Student Of Nurse Anesthesia Department of Health Polytecnic of Ministry of Health In Yogyakarta, Tatabumi St, No3, Banyuraden, Gamping,
Sleman, DIY 55293, Telp/Fax 0274617885, Email reanimasi2012@gmail.com.
Lecture of Nursing Departmen of Health Polytecnic of Ministry of Health In Yogyakarta,Tatabumi St, No3, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY
55293, Telp/Fax 0274617885, 55293
A.
PENDAHULUAN
Dengan kemajuan teknik anestesi sekarang, tujuan utama pemberian
premedikasi tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah
obat-obat yang digunakan, akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesia.
Kini obat premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pulih setelah
pembedahan singkat. Selain itu ditekankan agae obat-obat yang digunakan
sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien oleh karena kebutuhan tiaptiap pasien berbeda.
B.
Kunjungan pra anestesi dan pemberian simpati serta sedikit pengertian dalam
masalah yang dihadapi pasien seringkali membantu pasien dalam mengatasi
rasa sakit dan khawatir dalam menghadapi operasi.
b.memberikan ketenangan
c. membuat amnesia
Banyak pasien dalam keadaan sadar pada akhir operasi, aklan tetapi tidak
dapat mengingat kejadian yang baru terjadi. Ada pasien dapat menerima
kejadian sebelum dan sesudah pembedahan tanpa gelisah emosional yang
berat. Banyak obat premedikasi menyebabkan amnesia. Obat yang
menyebabkan amnesia yang kuat ialah hiosin dan diazepam, lebih-lebih bila
diberikan bersama-sama atau dengan opiat.
d. memberikan analgesia
Umumnya pasien menunggu operasi bebas dari rasa nyeri dan banyak pasien
mengeluh nyeri pasca bedah. Eckenhof dan Herlich (1958) membuktikan
pasien dengan premedikasi narkotika kurang mengeluh nyeri pada masa pulih,
akan tetaqpi masa pulih lebih lama.
2.Memudahkan induksi
Trauma bedah dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila anestesi tidak
memadai. Obat-obat analgetika dapat diberikan sebelum pembedahan,
sehingga anestetika lemah seperti N2O memerlukan sedikit penambahan obatobat lain selama anestesi. Misalnya dilatasi sfingter anus dan penarikan
testikulus merupakan penyebab crowing selama anestesi yang dangkal.
Trauma pada kulit dapat menyebabkan perubahan denyut jantung dan tekanan
darah.
Atropin dan hiosin mengurangi sekresi saluran nafas. Hal ini tampak
menguntungkan pada pemakaian eter. Sekresi berlangsung selama anestesi
dan dapat dirangsang oleh tindakan seperti pengisapan atau pemasangan pipa
jalan nafas trakea. Antikolinergik ini digunakan untuk mengurangi sekresi
bronkus sebelum anestesi.
C.
Merupakan variabel yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40 tahun
efek narkotika dan sedativa meninggi, karena rasa nyeri berkurang dengan
peningkatan usia. Fenomena ini disebabkan oleh karena penurunan kepekaan
terhadap rangsang sensorik dengan pertambahan usia tidak hanya penurunan
persepsi nyeri, tetapi juga penurunan aktifitas refleks jalan nafas.
2.Suhu
3.Emosi
4.Nyeri
Laju metabolisme basal meningkat, oleh karena rasa nyeri yang sebanding
dengan intensitas rasa nyeri.
5.Penyakit
Harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien dengan
penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek morfin lebih mudah
toksik, karena hati tidak dapat mengolah morfin dosis besar. Pada pasien
anemia pemakaian opiat atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.
D.
E.
Obat ini mempunyai efek blokade pada organ-organ yang disarafi oleh
saraf cholinergic post ganglion seperti otot polos, glandula sekresi. Obat ini
adalah parasympatholitic depresant, parasympatewtic anticholinergic.
Pada mata menimbulkan paralise dari sphincter iris yang mengakibatkan
pupil melebar, walaupun demikian jika dosis hanya 0,6 mg tidak akan
mempengaruhi daya akomodasi. Kelenjar ludah, bronchial dan keringat
dilumpuhkan oleh obat ini, sedangkan otot-otot bronchial menjadi relax, yang
menyebabkan dead space anatomis dan physiologis sedikit bertambah. Pada
penderita dengan temperatur tinggi, obat ini harus diberikan dengan hati-hati
terutama anak-anak.
Pada sistem sirkulasi, kecepatan denyut jantung pada mulanya kadangkadang menjadi lebih lambat, akibat rangsangan meduler (vagal), tetapi efek
ini tidak tampak pada pemberian secara IV dengan dosis klinis. Atropine 1,3 mg
yang diberikan secara subcutan akan menaikkan denyutan nadi sebanyak 20
30 kali/menit dan berlangsung sampai 2 jam. Jika dosis 0,6 mg secara IV
diberikan, maka denyut nadi akan naik sampai 20 kali/menit. Atropine dapat
mencegah te3rjadinya reflex-[reflex yang menimbulkan vagal stimulation,
syscope, bradycardi. Dalam kasus-kasus tachycardia yang hebat, misal pada
thyrotoxicosis, hyperpyrexia atau penyakit jantung, penggunaan atropine
sebaiknya dihindari.
Suatu kenyataan telah membuktikan bahwa:
-
Jika sebelumnya tidak mendapat pre medikasi atropine, maka jika diberikan
atropine IV dengan dosis 0,5 mg akan terjadi bradicardia. Jika dosis lebih dari
0,5 mg akan terjadi tachycardia.
Jika penderita telah mendapat premedikasi atropine, maka jika diberikan lagi
dosis secara IV, maka akan terjadi tachycardia walau bagaimanapun kecepatan
penyuntikannya.
Obat ini dikeluarkan melalui ginjal dan sebagian dihancurkan dalam tubuh.
Dosis dewasa 0,4 0,6 mg.
2. Derivat fenothiazin
Derivat fenothiazin yang banyak di gunakan untuk premidikasi adalah
prometazin. Obat ini pada mulanya di gunakan sebagai anti histamin.
Kasiat farmakologi
Terhadap saraf
Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasioretikularis dan
hypothalamus
Menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat
sedative lainnya.
Terhadap respirasi
Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi
kelenjar.
Terhadap kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat memperbaiki perfusi jaringan
Terhadap saluran cerna efek lainnya
Menurunkan peristaltic usus, mencegah spasme dan mengurangi sekresi
kelenjar. Efek lainnya adalah menekan dekresi katekolamin dan sebagai
antikholinergik.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa kasiat promethazin sebagai obat
premedikasi adalah sebagai sedative, antiemetic, antikhonergik, antihistamin,
bronkodilator dan anti pretika.
Cara pemberian dan dosis
1. Intramuskular dosis 1 mg/ kgbb di berikan 30- 45 mnt sebelum induksi
2. Intravena, dengan dosis 0.5 mg/kg bb di berikan 5- 10 menit sebelum
induksi
Kemasan dan sifat
Di kemas dalam ampul 2 ml mengandung 50 mg tidak berwarna dan larut
dalam air.
3. MORPHINE
Berasal dari bahasa Gerika dari kata mopheus yang artinya dewa mimpi.
Pharmakologi
Obat yang mendepresi metabolisme secara langsun, efeknya yang
terutama adalah
pada susunan saraf pusat, sistem pernafasan dan pada usus.
rasa sakit. Analgesia itu kadang-kadang disertai dengan euphoria. Obat ini
mendepresi pusat pernafasan. Tonus parasimpatis meninggi mungkin karena
efek anticholinestrasi dari morphine. Tekanan cerebrospinalis meninggi karena
bertambahnya aliran darah ke otak akibat kenaikan PCO2.
Pada gastrointestinalis :
Morphine menyebabkan spincter usus menyempit, gerakan lambung menurun,
pylorus berkontraksi. Tonus otot pada usus halus dan usus besar meninggi tapi
peristaltiknya menurun. Maka akibatnya terjadi konstipasi karena usus yang
spasme dan diam. Pengaruh morphine pada saluran makanan ini adalah secara
lokal (tidak central).
Atropine dan propantheline bromide 15 30 mg dapat melawan pengaruh ini,
sedangkan neostigmin akan memperkuat pengaruh morphine. Enek-enek dan
muntah-muntah terjadi karena rangsangan pada chemoreceptor medller bukan
rangsangan langsung dari muntah. Muntah-muntah yang terjadi dipengaruhi
oleh gerakan tubuh dan posisi penderita, karena morphine membuat pusat
muntah menjadi sensitive terhadap gerakan vestibulum. Perphenazine
(fentazine) adalah antidotum yang baik terhadap nausea dan muntah-muntah
akibat morphine. Obat ini dapat diberikan peroral, rectum atau injeksi.
Exkresi
Sebagian didetoxifikasi dalam liver, sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal.
Obat ini bisa ditemukan dalam kelenjar susu, ludah dan keringat. Pemberian
opium itu dapat menambah aktivitas SGOT pada beberapa penderita.
Kerugian
1. Dapat menimbulkan konstipasi post-operasi, muntah-muntah dan ileus.
2. Menimbulkan depresi pernapasan, sehingga dapat menyebabkan respirasi
try
arrest jika diikuti dengan pemberian halothane atau cyclopropane.
3. Mempengaruhi ukuran pupil sebagai tanda dalamnya stadium anestesi.
4. Menimbulkan rasa ketagihan
5. Menghambat resumpsi dari respirasi spontan.
Perhatian
1. Pada bayi < dari 6 bulan, orang tua, lemah
Dosis
Harus didasarkan pada usia, fisiologis dan faktor-faktor yang
mempengaqruhi kecepatan metabolisme3. Dosis sebaiknya tidak melebihi 0,2
mg/kg bb. pemberian morphine sebelum nyeri muncul lebih efektif
dibandingkan bila nyeri tersebut sudah muncul. Jika diperlukan dosis lebih
besar dari 15 mg, sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi. Anak-anak lebih
sensitif terhadap morphine, hal ini karena permeabilitas otak anak lebih besar
dibanding orang dewasa. Aturan umum untuk pemberian morphine pada anak
adalah untuk 20 lb pertama atau tahun pertama usianya diberikan 1 mg, untuk
setiap penambahan 10 lb dosisnya ditambah 1 mg. Secara umum dosis 0,1
mg / kg bb IM/SC.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
By : J.Alfred Lee. M.R.C.S., L.RPC.P. and R.S. Atkinson. M.A., M.B, B.Chir.,
3.
4.
5. Buku ajar ilmu Anestesia dan Reanimasi dr. Gde Mangku, Sp.An.KIC, dkk