BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan
membutuhkan terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium
yang seksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi.
Masalah paru adalah penyebab umum morbiditas dan
mortalitas selama
BAB II
ISI
DEFINISI ASMA
Penyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan
inflamasi
saluran
pernafasan
yang
dihubungkan
dengan
hiperesponsif,
dengan
pengobatan.
Inflamasi
ini
juga
berhubungan
dengan
CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama
memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan
IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi
hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama
terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang
dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul
MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan
MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen
presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk
perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya
saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut
bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin
yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik
menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik
juga mendorong polarisasi selT nave-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi
sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster kromosom 5q31-33 (IL-4
genecluster). 8
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan
bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak
faktor, saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang
tidak kompeten, dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional
terdapat hambatan partial pada reseptor adrenergik pada penderita asma yang
khas ini. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang
termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4
dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf
postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik diperkuat oleh penebalan
dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel
sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu
hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,
kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang
keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada
manusia. Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga
tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang
dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang
terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang
lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas
yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian
baru perifer. Laju ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital
capacity) tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya
pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal
ini sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus
dan gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis
kanan, dan RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2
Etiologi Asma
Herediter
Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
Obat : obat nyeri seperti NSAID
Gejala dan tanda asma
Mengi saat ekspirasi
Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas
tersengal-sengal.
Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.
Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan
Klasifikasi Asma
Berdasarkan etiologi :
Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit
DERAJAT
GEJALA
ASMA
INTERMITEN Gejala < 1x/minggu
Mingguan
Tanpa gejala di luar serangan
Serangan singkat
Fungsi paru asimtomatik dan
1x/hari
Serangan dapat mengganggu
> 2 kali
seminggu
Gejala harian
Menggunakan obat setiap hari
Serangan mengganggu
> sekali
seminggu
PERSISTEN
BERAT
Kontinu
Sering
80% normal
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan
untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa
yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO 2 91%, PEFR 80
liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas
berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal,
pulsus paradoskus 20 mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan
mengi ekspirasi yang jelas.
Terapi :
Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
Farmakologi dengan menggunakan obat
o Short acting 2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
o Antiklinergik
o Kortikosteroid
PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF
Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat
penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik
intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru,
dan analisa gas darah, foto rontgen thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obatobatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. 4 Bila
baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan
maka operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas
jalan napas.3
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis,
10
sampai
berat
yang
menjalani
operasi
yang
berdampak
pada
sistem
% FEV/FVC
Normal
80-100
Asma Ringan
75-79
Asma Sedang
50-74
Asma Berat
35-49
Status Asmatikus
<35
11
12
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim
yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih
komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan
stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien
dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang
sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20 g/ml. level yang lebih rendah
mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara
intravena.
d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran
mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya
membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.
Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8
jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis
lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan
efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah
reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada
asma. Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan
pelesan akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut
bronkospasme.
f. Mukolitik
reflek
13
a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma
yang dipicu oleh emosional.
b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.2
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara
teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang
tanpa
hambatan
dengan
blokade
H2
dapat
menimbulkan
bronkokonstriksi.2
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80
mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai
proses
pembedahan selesai,
pasien yang
mendapatkan terapi
lama
14
15
16
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadangkadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas
vagal (biasanya karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif.
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui
penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,
walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi,
ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol. 16 Propofol dengan dosis 2,5
mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang
cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan
pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva
dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue
seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian
tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen
volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2
mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika
dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg
atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.
Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan
histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya
sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien
17
dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus
pelepasan histamin.
3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran
ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan
sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah
dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate
0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat
digunakan
muscle
relaxan
short
acting.
Meskipun
suksinilkolin
dapat
menghambat
antikolinesterase
yang
akan
mengakibatkan
bronkospasme.
dapat
berinterferensi
dengan
pembacaan
massa
spectrometer).
18
matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian
bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena,
terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima aminopillin
preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20
menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan
asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2
dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit)
volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus
dilakukan :
Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10g=0,1
19
6.
paru-paru
7.
Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi,
bronkodilator bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paruparu dan ini perlu untuk memberikan dosis yang benar
8.
Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok
neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan
brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang
teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif,
dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post
20
21
1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang
penyempitan
DAFTAR PUSTAKA
1.
22
2.
23
16.
Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M,
Vignola
AM,
Asthma.
From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit
Care
Med,
2000
; 161:1720-45.
17.
Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With
Pulmonary
Disaeae
in
Clinical
Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6
ed,
LippinCott
Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.
18.
Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide
for
the
Management
of
Asthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.
19.
Allman KG., Wilson IH., 2003 Asthma in Respiratory
desease Oxford Handbook of Anesthesia: 57-60