Anda di halaman 1dari 29

CONTOH TUGAS LAPORAN PENELITIAN "STUDY LAPANGAN"

11.12

No comments

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan
segala karunia dan hidayah-Nya dan tak lupa Sholawat serta salam penulis haturkan kepada
baginda Rasulullah Muhammmad S.A.W. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian kualitatif yang berjudul STRATEGI

RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus


Nelayan Desa Teluk Setibul Kecamatan Meral Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan
Riau.)

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................

ii

BAB I PENDAHULAN..............................................................................

1.1 Latar Belakang Masalah ...............................................................

1.2 Perumusan Masalah ......................................................................

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.....................................

1.3.1 Tujuan Penelitian.................................................................

1.3.2 Manfaat Penelitian..............................................................

1.4 Kerangka Teoretis.........................................................................

1.5 Metode Penelitian.........................................................................

24

1.5.1 Lokasi Penelitian ................................................................

24

1.5.2 Subyek Penelitian................................................................

25

1.5.3 Jenis dan Sumber Data........................................................

25

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data..................................................

26

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN.......................

27

BAB III HASIL PENELITIAN.................................................................

29

BAB IV PENUTUP.....................................................................................

32

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

35

LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas
laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan
beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari
berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai
ekonomi berdasarkan harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $
15 Miliar (Dahuri, 1996).
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta
rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sector perikanan. Dengan asumsi tiap
rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang
menggantungkan hidupnya seharihari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada
umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran
sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap
ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan

antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan,
penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan
dengan laut dan pesisir.
Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat
kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling
miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah
Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat
nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin.
Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup
yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang
menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola),
rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang
jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat
tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang
banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.
Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara
turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif
kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap
maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan
mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka
mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga
produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh

kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan
yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian.
Rumahtangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan
lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam
kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan
untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap
ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat
dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat
membantu secara penuh.
Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke
permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong terjadinya
kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin (Hermanto, 1995). Problem
kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa.
Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk
menciptakannya (Dahuri, 1994).
Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihakpihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, pemerintah telah
membuat peraturan yang tercantum dalam perundangan yang ada, seperti UU No.9 Tahun 1985,
Keputusan Menteri Pertanian No.185, Kepres 23 Tahun 1982, peraturan-peraturan tersebut pada
dasarnya mengatur tentang pembatasan alat-alat tangkap yang merusak sumberdaya laut,
pembatasan dan pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan skala usaha dan alat tangkap
yang digunakan, pengaturan izin usaha kepada nelayan-nelayan asing, izin pembudidayaan laut,
dan pengaturan system pemasaran ikan (Hermanto, 1995). Selain itu, pemerintah telah

membentuk Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah
dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah kemiskinan
nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan
perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini menjadi korban pembangunan. Namun
dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu
menciptakan nelayannelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang
menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi,
LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya
bersifat proyek jangka pendek (Solihin, 2005).
Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini
adalah Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin?.
Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan
pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam
mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah


Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah yang akan ditelaah
lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai kemiskinan pada masyarakat nelayan dan
strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab
kemiskinan tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan?
2. Bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi factor-faktor penyebab
kemiskinan tersebut?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi
usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktorfaktor penyebab kemiskinan tersebut.

1.3.2 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak akademisi yang tertarik pada masalahmasalah yang berkaitan dengan strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Bagi
penulis, kegunaan penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
kondisi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dan usaha-usaha untuk
memberdayakannya. Selain itu, bagi pembuat kebijakan (pemerintah, khususnya pemerintah
daerah) penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mempertimbangkan
pendekatan yang tepat dalam usaha penanggulangan kemiskinan nelayan, sehingga
programprogram atau proyek-proyek yang ditawarkan bagi masyarakat nelayan benarbenar
efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan bagi masyarakat nelayan sendiri,
hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam usaha memperbaiki kesejahteraan hidup
para nelayan.

1.4 Kerangka Teoretis


1.4.1 Pendekatan Teoritis
1.4.1.1Karakteristik Umum Masyarakat Nelayan

Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari
menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang
yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai
dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi
dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan
sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal
ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di
samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di
tambak dan keramba-keramba di pantai.

1.4.1.2 Stratifikasi Masyarakat Nelayan


Menurut Soekanto (2002), setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu
terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi
terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari halhal lainnya. Kalau masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya,
maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang

lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihakpihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan
masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam
kedudukan yang berbeda secara vertikal.
Menurut Kusnadi (2000), dengan mengamati pola-pola penguasaan asset produksi,
seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar, akan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan
sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi
diantara lapisan-lapisan sosial itu diwujudkan dalam ketimpangan pemilikan barang-barang
kekayaan. Di bagianbagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang

dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah sebaliknya. Jenis
rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik perahu, pedagang ikan, sedangkan
jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang
paling kasat mata dalam kehidupan di kampung-kampung nelayan.
Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam penampilan
sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orangorang kaya. Sebaliknya, rumah
yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk
dari ketiadaan harta yang bisa diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.

1.4.1.3 Tipologi Nelayan


Tipologi dapat diartikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam golongan-golongan menurut
kriteria-kriteria tertentu. Mengacu kepada Satria (2001), kriteria dalam tipologi masyarakat
nelayan dapat dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya.
Dua hal tersebut (teknologi dan orientasi budaya) sangat terkait satu sama lain. Nelayan kecil
mencakup barbagai karakteristik, ketika seorang nelayan belum menggunakan alat tangkap yang
maju, pada umumnya diiringi oleh beberapa karakteristik budaya seperti lebih berorientasi
subsistensi. Sementara itu, nelayan besar dicirikan oleh skala usaha yang besar, baik kapasitas
teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya, mereka berorientasi pada keuntungan (profit
oriented), dan umumnya melibatkan sejumlah buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK)
dengan organisasi kerja yang semakin kompleks. Pola hubungan antar berbagai status dalam
organisasi tersebut juga semakin hierarkhis. Wilayah operasinya pun semakin beragam.

Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari
kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan
nelayan terbut adalah:
1.

Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap
tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga

sebagai tenaga kerja utama.


2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju
seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin
membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan
memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar.
Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah
berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak
bergantung pada anggota keluarga saja.
3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala
usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang
berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan
membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan
perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan
pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak
perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Menurut Mubyarto, et al (1984), berdasarkan stratifikasi yang ada pada masyarakat


nelayan, dapat diketahui berbagai tipologi nelayan, yaitu:

1)

Nelayan kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain

tanpa ia sendiri harus ikut bekerja.


2) Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai
3)

awak kapal.
Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan pendapatan
pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari

4)

luar keluarga.
Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan
hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri

dan anak-anaknya.
5) Nelayan pandega atau tukang kiteng.

1.4.1.4 Hubungan Antar Tipe Nelayan


Menurut Satria (2002), hubungan antar tipe nelayan dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan
dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya
karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi. Hal ini terjadi karena nelayan
belum menemukan alternatif institusi yang menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka.
Masyhuri (2001), menggambarkan bahwa pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan
kekurangan uang. Pada akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual dengan harga
lebih murah kepada patron. Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan

jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan
harga lebih rendah dari harga pasar.
Selain itu Kusnadi (2002), menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
berupa penangkapan ikan oleh berbagai tipe nelayan tidak jarang menimbulkan konflik sosial
antar kelompok masyarakat nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan di daerah
perairan mereka. Konflik sosial, baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan
dalam memperebutkan sumberdaya perikanan dapat berlangsung di berbagai daerah pesisir.

1.4.2 Kemiskinan Nelayan


1.4.2.1 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian. Menurut
Hermanto dkk. (1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan pangan. Sedangkan Mangkuprawira
(1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidak berdayaan dalam
pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan,
pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak
asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya.
Menurut Setiadi (2006), kemiskinan merupakan masalah struktural dan multi
dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi
kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak dimilikinya wadah organisasi
yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka

benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka.
Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya
kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses
informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga
mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya
kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka,
termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana,
perumahan, pemukiman dan sebagainya.
Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat
diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan
sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum.
Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai
dengan perkembangan masyarakat saat itu.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan social dan struktur
yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang
meningkat. Penyebabnya antara lain karena factor internal yaitu hambatan budaya sehingga
disebut kemiskinan kultural. Sedangkan factor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan
resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang
termasuk dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber

pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan fasilitas pemukiman yang
sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan
kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi
sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.
Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari
pola-polanya, yaitu:
1.

Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangankekurangan yang


disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan
dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat
bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal financial atau
modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau
semangat juang untuk maju di dalam kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup
miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa
usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk

memperbaiki taraf hidupnya.


2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara
taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu
komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai
mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang
dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang
di suatu daerah komunitas dianggap relative miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila
diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau
daerah yang lebih miskin.

3.

Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu
golongan yang built in atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu
masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita
kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk
melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita
kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak
terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya,

4.

akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.
Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah
lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak
memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan social yang
diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk
keperluan masyarakat.

Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau
lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu
sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga.
Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus
merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut
mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan
perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai
dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi dan

integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri
terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat
dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya ekonomi, segregasi dan
diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan
masalah secara setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran
menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak adanya
tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua
kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang efektif di dalam sistem ekonomi yang
lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya
hal gadai menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat
setempat dengan bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal yang secara
spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel bekas,
dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan
tingkat kebutuhan yang diperlukan.

1.4.2.2 Ciri Kemiskinan Nelayan


Menurut Hermanto (1995), kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh
pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah,
kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga
kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap
permodalan yang rendah.
Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan
kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat

nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung
nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah
yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun
rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan
buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas
yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara
atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin
dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat
pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat
pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus
sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan
pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan
miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan
perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan
merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup.

1.4.2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan


Menurut Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada
masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses terhadap
teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti
pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya
tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah

pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor
pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.
Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya
kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:
1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan
yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim
ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup
2.

sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun.


Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil,
ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap
fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta
terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi
aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa
menghadapkan rumahtangga nelayan ke dalam jebakan kekurangan.

Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak
pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang
sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan
kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar
untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan
hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah
bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian
mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap
ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa

menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan
selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena
perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang
overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau
bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup
sehari-hari yang tak kunjung usai.

1.4.3 Strategi Rumahtangga Nelayan


Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan
untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah berbagai kombinasi
dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan orang agar supaya dapat mencapai
kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam
Dharmawan (2003) mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif
yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori
tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi
dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan
diperoleh. Rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap, tetapi tidak
selalu memiliki hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga memiliki kesepakatan untuk
menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama. Hal ini senada dengan apa
yang diungkapkan Manig dalam Dharmawan seperti dikutip Lestari (2005), bahwa rumahtangga
adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur yang
sama, berkontribusi dalam pengumpulan pendapatan serta memanfaatkan pendapatan tersebut
untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh kepala

rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian
pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk
kepentingan bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan
peran, tanggungjawab dan kemampuannya.
Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin
menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan
sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga
nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi
tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam
status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga
kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan
miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga
kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara
langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga
nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara
lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut
tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan
(berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab
kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.
Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat
dilakukan melalui:

1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi
yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
2. Diversifikasi Pekerjaan Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat
melakukan kombinasi pekerjaan.
3. Jaringan Sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan
efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di
lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam
menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan
sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini
mencerminkan bahwa tekanan tekanan atau kesulitankesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan
tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang
pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan social
4.

berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka.


Migrasi,Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan
nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang
sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar
kebutuhan hidup keluarga terjamin.

Dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang
kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan
kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah
musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan
kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.

1.5 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, yang berusaha
menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi kemiskinan melalui metode
studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang
mendalam tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang
diantara orang-orang yang menjadi subyek penelitian. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat
menggambarkan kompleksitas permasalahan penelitian dan untuk menghindari keterbatasan
pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada
penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti berusaha menangkap realitas sosial
secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian.

1.5.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian yaitu di daerah di Desa Teluk Setimbul Kecamatan Meral Provinsi
Kepulauan Riau.
Dimana Kecamatan Meral berbatasan dengan :
Sebelah utara berbatas dengan

: Selat Melaka

Sebelah barat berbatas dengan

:Kecamatan Rangsang Kabupaten Bengkalis

Sebelah selatan berbatasan dengan

: Kecamatan Karimun

Sebelah timur berbatas dengan

: Kecamatan Tebing

1.5.2 Subyek Penelitian


Dalam penelitian ini menggunakan key informan untuk mendapatkan informasi yang
akurat.Key informan disini adalah :
1.
2.
1)
2)

Ketua atau Kepala keluarga.


Anggota pelaksana atau unit-unit keluarga :
Seluruh jumlah anggota keluarga.
Berakal sehat.

Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan sosiologis, dengan metode
kualitatif dimana data dan informasi yang dibutuhkan diperoleh melalui wawancara mendalam,
wawancara sambil lalu, dan pengamatan.

1.5.3 Jenis dan Sumber Data


a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari responden dalam wawancara
di lokasi penelitian.
b. Data Sekunder adalah data yang sudah diolah oleh instansi terkait dalam hal ini Kantor
Camat Meral, Kantor Lurah Kecamatan Meral, Desa, serta data yang diperoleh dari bukubuku literatur yang ada kaitannya dengan objek penelitian tentang :
-

Biodata responden

Jumlah penduduk yang ada di lokasi penelitian

Batas-batas wilayah penelitian.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Observasi (pengamatan)
Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Hal
yang di observasi yaitu keadaan pemukiman dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan sistem
sosial yang terdapat di dalamnya.
b. Wawancara (Interview)
Yaitu pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan pihakpihak yang berhubungan dengan observasi penelitian yakni masyarakat desa Teluk Setimbul
Kecamatan Meral Kabupaten Karimun Kepulauan Riau.

BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Keadaan Geografis


Kecamatan Meral pada umumnya terdiri dari dataran sebesar 80% dan berbukit besar 20%
dengan ketinggian rata-rata 3 meter diatas permukaan laut, dimana kecamatan Meral terletak di
Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.
Dimana Kecamatan Meral berbatasan dengan :
Sebelah utara berbatas dengan

: Selat Melaka

Sebelah barat berbatas dengan

: Kecamatan Rangsang Kabupaten Bengkalis

Sebelah selatan berbatasan dengan

: Kecamatan Karimun

Sebelah timur berbatas dengan

: Kecamatan Tebing

2.2 Luas Kecamatan


Luas wilayah Kecamatan Meral Seluas kurang lebih 760 Km 2 dan terdiri dari beberapa
pulau kecil yang belum berpenghuni yang berjumlah 22 pulau.

2.3 Jumlah kelurahan


Kecamatan Meral terbagi atas 4 kelurahan dan satu desa yang terdiri dari 40 RW dan 153
RT, yaitu sebagai berikut
No
1
2
3
4
5

Kelurahan/ desa
Kelurahan Baran
Kelurahan Meral Kota
Kelurahan Sungai Raya
Kelurahan pasir Panjang
Desa pangke
Jumlah

:
RW
10
11
8
7
4
40

RT
44
50
25
22
12
153

2.4 Data / Jumlah Penduduk


Jumlah penduduk sampai dengan sekarang ini adalah sebanyak : 55.482 Jiwa yang terdiri
dari

Laki-laki
Perempuan

= 29.093 Jiwa
= 26.389 Jiwa

Dengan jumlah KK 7.926 KK

BAB III
HASIL PENELITIAN

3.1 Identitas Responden


Tema penelitian ini adalah STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM

MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Teluk Setimbul Kecamatan


Meral Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau.) Kecamatan Meral yang mempunyai

berbacam etnis, yaitu melayu, cina, plores, minang, jawa. Etnis yang diminan didesa ini adalah
etnis Melayu.
1. Responden Berdasarkan Umur
Responden yang diteliti yaitu penduduk desa teluk setimbul yang terletak di kecamatan
meral kabupaten Karimun Kepulauan Riau, dimana umur 17 tahun keatas sudah berumah tangga
dan mempunyai anak rata-rata lebih dari dua.

2. Responden Berdasarkan Agama


Mayoritas penduduk desa teluk setimbul memiliki bermacam ragam agama yaitu agama
islam, Kristen, budha dan banyak berpenduduk asli yaitu penganut agama budha.

3. Responden Bedasarkan Pendidikan


Masyarakat teluk setimbul kecamatan meral rata-rata tidak bersekolah karena menurut
sejarah desa tersebut dahulu mereka menghabiskan banyak waktu dilautan dan sudah menerima

perubahan atau untuk mendapatkan pendidikan yang layak apalagi dahulu belum ada prasarana
pendidikan yang lengkap seperti sekarang ini.

4. Responden Berdasarkan Pekerjaan


Mayoritas masyarakat teluk setimbul kecamatan Meral bekerja sebagai nelayan dan
hanya sebagian kecil yang bekerja di perusahaaan-perusahaan swasta seperti PT pembuatan
kapal-kapal, hanya dapat bagian buruh skill.

5. Responden Berdasarkan Jumlah Anak


Masyarakat desa teluk setimbul kebanyakan memiliki anak lebih dari dua dan mayoritas
anaknya tidak berpendidikan dan hanya tamat SMA yang paling tinggi jarang sekali mngenyam
bangku perkuliahan dan kebanyakan anaknya bekerja dibawah usia dini.

6. Responden Bedasarkan lama Menetap


Mayoritas masyarakat desa teluk setimbul adalah masyarakat pribumi yaitu orang asli
yaitu orang mantang/ orang laut dimana sudah lama menetapa didaerah tersebut dari turun
menurun.

7. Responden berdasarkan Alat tangkap dan Armada yang di miliki


Masyarakat desa teluk setimbul menggunakan alat tangkap ikan yaitu berupa jarring,
bubu atau pento (alat untuk menangkap kepiting) dan alat tranfortasi yang dugunakannya adalah
perahu dan hanya sebagian menggunakan pompon (kapal yang menggunakan mesin).

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Teluk Setimbul tidak terlepas
dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa
fluktuasi musim tangkapan, factor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para
nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang
dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan
untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor
perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh
di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak
dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan semakin terpuruk karena
sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah
kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu dan buruh nelayan.

Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi
bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut.
Namun di sisi lain, penerapan motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan
ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di
TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya

kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya
ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam
menyebabkan kemiskinan nelayan di Desa Teluk setambul kerena selain menyebabkan
tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan
bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil
produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.

4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan sebagai saran adalah:
1)

Perlu dibangun pelabuhan kecil agar perahu-perahu dari daerah lain dapat mendaratkan dan
menjual ikannya di daerah Limbangan. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang kemajuan

ekonomi Desa.
2) Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan, baik oleh petugas
penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat dikoordinir dalam wadah organisasi

DAFTAR PUSTAKA

Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala
Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in
Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman.
Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB;
Bogor.

Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. HumanioraUtama Press ; Bandung.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS;
Yogyakarta.
Lewis, Oscar. 1966. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan (ed.), kemiskinan di Perkotaan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai