11.12
No comments
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T. yang telah mencurahkan
segala karunia dan hidayah-Nya dan tak lupa Sholawat serta salam penulis haturkan kepada
baginda Rasulullah Muhammmad S.A.W. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian kualitatif yang berjudul STRATEGI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................
ii
BAB I PENDAHULAN..............................................................................
24
24
25
25
26
27
29
BAB IV PENUTUP.....................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
35
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas
laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan
beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari
berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi. Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai
ekonomi berdasarkan harga satuan komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $
15 Miliar (Dahuri, 1996).
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta
rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sector perikanan. Dengan asumsi tiap
rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang
menggantungkan hidupnya seharihari pada sumberdaya laut termasuk pesisir. Mereka pada
umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran
sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap
ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan
antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan,
penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan
dengan laut dan pesisir.
Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat
kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling
miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah
Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat
nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin.
Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup
yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang
menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola),
rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang
jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat
tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang
banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.
Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara
turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif
kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap
maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan
mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka
mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga
produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh
kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan
yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian.
Rumahtangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan
lautan ( common property ) sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam
kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan
untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap
ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat
dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat
membantu secara penuh.
Kemiskinan bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke
permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong terjadinya
kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin (Hermanto, 1995). Problem
kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa.
Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk
menciptakannya (Dahuri, 1994).
Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihakpihak lain. Misalnya masalah pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, pemerintah telah
membuat peraturan yang tercantum dalam perundangan yang ada, seperti UU No.9 Tahun 1985,
Keputusan Menteri Pertanian No.185, Kepres 23 Tahun 1982, peraturan-peraturan tersebut pada
dasarnya mengatur tentang pembatasan alat-alat tangkap yang merusak sumberdaya laut,
pembatasan dan pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan skala usaha dan alat tangkap
yang digunakan, pengaturan izin usaha kepada nelayan-nelayan asing, izin pembudidayaan laut,
dan pengaturan system pemasaran ikan (Hermanto, 1995). Selain itu, pemerintah telah
membentuk Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) sebagai wujud keseriusan pemerintah
dalam menangani pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta masalah kemiskinan
nelayan. Keberadaan DKP diharapkan membawa angin segar bagi masyarakat kelautan dan
perikanan, terutama masyarakat nelayan. yang selama ini menjadi korban pembangunan. Namun
dalam perjalanannya, ternyata keberadaan DKP dengan program-programnya, khususnya
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) hingga saat ini belum mampu
menciptakan nelayannelayan tangguh dan sejahtera. Hal ini didasarkan pada fakta empiris yang
menunjukkan masih kurang tepatnya berbagai pendekatan yang digunakan oleh para akademisi,
LSM dan birokrat dalam melaksanakan program pembangunan, terlebih program yang hanya
bersifat proyek jangka pendek (Solihin, 2005).
Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini
adalah Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin?.
Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan
pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam
mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.
Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari
menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang
yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai
dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi
dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan
sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal
ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di
samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di
tambak dan keramba-keramba di pantai.
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihakpihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan
masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam
kedudukan yang berbeda secara vertikal.
Menurut Kusnadi (2000), dengan mengamati pola-pola penguasaan asset produksi,
seperti modal, peralatan tangkap, dan pasar, akan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan
sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan. Perbedaan-perbedaan kemampuan ekonomi
diantara lapisan-lapisan sosial itu diwujudkan dalam ketimpangan pemilikan barang-barang
kekayaan. Di bagianbagian tertentu dari kampung nelayan, biasanya ada satu-dua rumah yang
dibangun megah. Sementara itu, kondisi rumah-rumah disekitarnya adalah sebaliknya. Jenis
rumah pertama dapat diidentifikasi sebagai rumah pemilik perahu, pedagang ikan, sedangkan
jenis rumah yang terakhir adalah milik nelayan miskin. Gejala demikian merupakan gejala yang
paling kasat mata dalam kehidupan di kampung-kampung nelayan.
Rumah-rumah yang megah dan perhiasan emas yang dikenakan dalam penampilan
sehari-hari adalah harta kekayaan yang biasa diperlihatkan orangorang kaya. Sebaliknya, rumah
yang sederhana, tidak adanya perhiasan dan banyaknya hutang ke berbagai pihak adalah bentuk
dari ketiadaan harta yang bisa diperlihatkan oleh orang-orang miskin kepada masyarakat.
Satria (2002), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari
kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan
nelayan terbut adalah:
1.
Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap
tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga
1)
Nelayan kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain
awak kapal.
Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan pendapatan
pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari
4)
luar keluarga.
Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan
hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri
dan anak-anaknya.
5) Nelayan pandega atau tukang kiteng.
jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan
harga lebih rendah dari harga pasar.
Selain itu Kusnadi (2002), menjelaskan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
berupa penangkapan ikan oleh berbagai tipe nelayan tidak jarang menimbulkan konflik sosial
antar kelompok masyarakat nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan di daerah
perairan mereka. Konflik sosial, baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan
dalam memperebutkan sumberdaya perikanan dapat berlangsung di berbagai daerah pesisir.
benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka.
Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya
kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses
informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga
mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya
kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka,
termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana,
perumahan, pemukiman dan sebagainya.
Ellis (1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat
diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan
sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum.
Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai
dengan perkembangan masyarakat saat itu.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan social dan struktur
yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang
meningkat. Penyebabnya antara lain karena factor internal yaitu hambatan budaya sehingga
disebut kemiskinan kultural. Sedangkan factor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan
resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang
termasuk dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan fasilitas pemukiman yang
sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan
kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi
sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.
Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari
pola-polanya, yaitu:
1.
3.
Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu
golongan yang built in atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu
masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita
kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk
melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita
kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak
terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya,
4.
akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.
Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah
lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak
memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan social yang
diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk
keperluan masyarakat.
Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau
lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu
sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga.
Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus
merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang
berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut
mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan
perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai
dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi dan
integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri
terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat
dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya ekonomi, segregasi dan
diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan
masalah secara setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran
menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak adanya
tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua
kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang efektif di dalam sistem ekonomi yang
lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya
hal gadai menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat
setempat dengan bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal yang secara
spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel bekas,
dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan
tingkat kebutuhan yang diperlukan.
nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung
nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah
yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun
rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan
buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas
yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara
atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin
dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat
pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat
pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus
sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan
pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan
miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan
perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan
merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup.
pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor
pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.
Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya
kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:
1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan
yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim
ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup
2.
Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak
pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang
sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan
kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar
untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan
hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah
bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian
mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap
ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa
menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan
selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena
perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang
overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau
bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup
sehari-hari yang tak kunjung usai.
rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian
pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk
kepentingan bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan
peran, tanggungjawab dan kemampuannya.
Menurut Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan miskin
menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan
sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga
nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi
tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam
status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga
kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan
miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga
kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara
langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga
nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara
lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut
tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan
(berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab
kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.
Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat
dilakukan melalui:
1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi
yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
2. Diversifikasi Pekerjaan Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat
melakukan kombinasi pekerjaan.
3. Jaringan Sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan
efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di
lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam
menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan
sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini
mencerminkan bahwa tekanan tekanan atau kesulitankesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan
tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang
pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan social
4.
Dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang
kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan
kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah
musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan
kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.
: Selat Melaka
: Kecamatan Karimun
: Kecamatan Tebing
Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan sosiologis, dengan metode
kualitatif dimana data dan informasi yang dibutuhkan diperoleh melalui wawancara mendalam,
wawancara sambil lalu, dan pengamatan.
Biodata responden
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
: Selat Melaka
: Kecamatan Karimun
: Kecamatan Tebing
Kelurahan/ desa
Kelurahan Baran
Kelurahan Meral Kota
Kelurahan Sungai Raya
Kelurahan pasir Panjang
Desa pangke
Jumlah
:
RW
10
11
8
7
4
40
RT
44
50
25
22
12
153
Laki-laki
Perempuan
= 29.093 Jiwa
= 26.389 Jiwa
BAB III
HASIL PENELITIAN
berbacam etnis, yaitu melayu, cina, plores, minang, jawa. Etnis yang diminan didesa ini adalah
etnis Melayu.
1. Responden Berdasarkan Umur
Responden yang diteliti yaitu penduduk desa teluk setimbul yang terletak di kecamatan
meral kabupaten Karimun Kepulauan Riau, dimana umur 17 tahun keatas sudah berumah tangga
dan mempunyai anak rata-rata lebih dari dua.
perubahan atau untuk mendapatkan pendidikan yang layak apalagi dahulu belum ada prasarana
pendidikan yang lengkap seperti sekarang ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Teluk Setimbul tidak terlepas
dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa
fluktuasi musim tangkapan, factor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para
nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang
dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan
untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor
perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada bakul tertentu dengan harga jauh
di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak
dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan semakin terpuruk karena
sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah
kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu dan buruh nelayan.
Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi
bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut.
Namun di sisi lain, penerapan motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan
ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di
TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya
kepada para bakul yang menjadi langgannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya
ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal (bakul). Faktor ini sangat dominan dalam
menyebabkan kemiskinan nelayan di Desa Teluk setambul kerena selain menyebabkan
tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan
bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak di di barengi dengan kenaikan harga hasil
produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan sebagai saran adalah:
1)
Perlu dibangun pelabuhan kecil agar perahu-perahu dari daerah lain dapat mendaratkan dan
menjual ikannya di daerah Limbangan. Hal ini perlu dilakukan untuk menunjang kemajuan
ekonomi Desa.
2) Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan, baik oleh petugas
penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat dikoordinir dalam wadah organisasi
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala
Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in
Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman.
Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB;
Bogor.
Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. HumanioraUtama Press ; Bandung.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS;
Yogyakarta.
Lewis, Oscar. 1966. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan (ed.), kemiskinan di Perkotaan.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.