HUNIAN VERTIKAL
Lingkungan hunian vertikal biasanya dikenal sebagai kawasan rumah susun,
dimana menurut UU No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 Ayat 1
didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama.
Dalam laporan penelitian Wisnu Subagijo yaitu Proses dan Strategi Adaptasi
Sosial Masyarakat Rumah Susun, kita mengambil 2 klasifikasi rumah susun
yang berkaitan dengan pekerjaan ini yaitu:
1. Klasifikasi Rumah Susun berdasarkan Kemewahan Bangunan :
a) Rumah Susun Kelas Sederhana, desain yang sederhana, lokasi di
daerah yang padat penduduk, lokasi umumnya berdiri di atas lahan
pemerintah, material penyelesaian yang standar, biaya hunian murah
dikarenakan mendapat subsidi. Biasanya rumah susun untuk golongan
masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian type rumah susun
yang sesuai adalah rumah susun dengan luasan lantai T. 18, T. 36, T.
45, dan T. 54 dengan menggunakan bahan bangunan sederhana.
b) Rumah Susun Kelas Menengah, desain fungsional, lokasi dekat dengan
pusat kota, lokasi umumnya juga dekat dengan perumahan urban,
material penyelesaian menengah, biaya hunian kelas menengah.
Dengan demikian type rumah susun yang sesuai adalah rumah susun
dengan luasan lantai T. 36, T. 54, T. 70 dengan menggunakan bahan
bangunan yang lebih baik kualitasnya.
c) Rumah Susun Mewah, tampilan bangunan yang berestetika tinggi,
lokasi di daerah strategis perkotaan, umumnya lokasi dekat dengan
apartement high class dan perhotelan, material penyelesaian mewah
dan biaya hunian mahal (kaum elit). Dengan type rumah susun yang
sesuai adalah rumah susun dengan luasan lantai lebih dari 100 m2 dan
menggunakan bahan bangunan kualitas tinggi.
BAB 4
PENDEKATAN METODOLOGI
PENDEKATAN
HARGA LAHAN
Harga lahan adalah suatu penilaian nominal dalam satuan uang untuk satuan luas
pada pasaran lahan (Darin & Drabkin, 1977). Jika dibandingkan secara sekilas
memang harga lahan terbilang mirip dengan nilai lahan, namun pada kenyataannya
tidaklah sama. Kedua hal ini sangat berkaitan erat satu sama lainnya. Nilai lahan
atau land value sendiri adalah suatu penilaian atas lahan yang didasarkan atas
kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan
strategi ekonominya (Darin & Drabkin, 1977: 89).
Jika ditarik garis besarnya maka kesimpulan yang bisa diambil adalah harga lahan
akan naik setelah adanya beberapa faktor fungsional yang meningkatkan kualitas
maupun nilai strategis dari suatu lahan tertentu. Jika dirumuskan akan ditulis
sebagai berikut:
Harga lahan = nilai lahan + f ( X1 + X2 + X3 + .+ Xn)
Menurut Soesilo (2000), harga lahan adalah harga yang ada di pasaran dan dapat
dilihat dari dua segi, antara lain:
-
Harga lahan sebagai harga pasaran, maksudnya adalah harga yang disetujui
pada saat terjadinya penjualan.
Harga lahan sebagai assessed value yaitu harga taksiran tanah oleh
penilai/estimator. Dalam perkiraan harga ini sudah dimasukkan opportunity
costyang bakal didapat lahan tersebut di masa yang akan datang.
ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga lahan pada suatu lokasi,
antara lain:
-
Jenis kegiatan yang akan dilakukan pada sebidang tanah juga akan mempengaruhi
harga pada sebidang tanah. Hal ini akan dapat dilihat perwujudannya dalam tipe
penggunaan lahannya. Nilai produktivitas dari suatu lahan juga akan
mempengaruhi besar kecilnya harga suatu lahan, dengan kata lain sebidang tanah
yang memiliki fungsi ekonomi produktif.
1 http://www.kompasiana.com/architectur034/hunian-vertikal-solusi-rumahmasa-depan_5573a0c5a623bd513ae4e94d
hunian vertikal berbasis EFSC (Eco Friendly and Socio-Culture) diharapkan dapat
menjadi hunian vertikal daerah perkotaan yang memperhatikan aspek lingkungan,
ekonomi, dan sosial budaya sesuai arah pembangunan berkelanjutan.
Lahan kota yang terbatas menyebabkan harga tanah sangat tinggi, karena
pertimbangan ekonomi. Akibatnya perkembangan pembangunan perumahan
cenderung vertikal di perkotaan. Menekan biaya penyediaan rumah agar dapat
dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan harga lahan yang
tinggi, maka jumlah lantai yang harus dibangun pada satu satuan lahan harus lebih
banyak. Melalui peningkatan intensitas (ketinggian) bangunan juga akan diperoleh
ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) sebagai
paru-paru kota, lahan resapan air hujan, dan sarana tempat bermain bagi anakanak. Jadi peningkatan daya tampung kota diimbangi upaya pelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, untuk daerah perkotaan, sistem yang dikembangkan sekarang ini
dalam pembangunan perumahan adalah membangun perumahan yang dapat
dihuni bersama-sama dalam bangunan yang bertingkat yang dibangun di atas
tanah milik/ hak bersama, yang dibagi-bagi atas bagian-bagian secara terpisah,
secara vertikal atau horisontal untuk masing-masing penghuni atau keluarga.
Pemanfaatan lahan perlu dilakukan secara efisien dan cermat sehingga dapat
memberi manfaat yang besar dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan
perkotaan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam
pelaksanaan pembangunan vertikal harus memperhatikan beberapa hal yang
mendukung. Konsep pembangunan secara vertikal adalah sebagai berikut.
1. Pemilihan lahan pembangunan
Memilih dan memilah lahan sangat penting dilakukan sebelum melaksanakan
pembangunan. Bangunan vertikal sebaiknya didirikan di atas lahan yang tidak
produktif. Dengan demikian wilayah produktif yang memiliki lahan subur serta
tingkat kesesuaian yang tinggi untuk pertanian dapat dijadikan sebagai tempat
bercocoktanam.
2. Keseragaman bangunan
Pembangunan secara vertikal menghasilkan produk bangunan yang seragam
untuk setiap jenisnya dan tetap perlu memperhatikan aturan-aturan yang telah
berlaku mengenai garis sempadan bangunan. Dalam prosesnya ditentukan jarak
minimal antar gedung dan tinggi maksimal setiap gedung berdasarkan kontur
tanah di lokasi tersebut.
3. Hunian vertikal ideal
Pembangunan secara vertikal diharapkan tidak hanya dapat memenuhi
kebutuhan manusia namun juga mampu mencukupi kebutuhan makluk hidup
lainnya. Oleh karena itu, hunian vertikal yang dibangun harus bersifat
multifungsional dengan menyediakan tempat tinggal bagi makhluk hidup
lainnya. Dengan kondisi yang ideal tersebut maka kebutuhan setiap makhluk
hidup dapat terpenuhi.
Setiap hunian vertikal yang ideal sebaiknya memiliki beberapa kriteria seperti
beratap hijau, menyediakan ruang khusus binatang peliharaan, taman hijau di
sekeliling permukiman vertikal beserta elemen pengisinya yang lengkap dapat
dimanfaatkan sebagai ruang berkumpulnya masyarakat saat santai dan sebagai
daerah resapan air serta area bercocoktanam dengan memakai sistem polikultur
guna mencukupi kebutuhan pangan penduduk.
Bagi penduduk berfinansial menengah ke atas akan dikenakan biaya tinggal di
rumah susun yang lebih mahal supaya dapat memberi subsidi bagi masyarakat
yang memiliki keadaan ekonomi menengah ke bawah. Dengan demikian, setiap
masyarakat dapat menikmati fasilitas berupa rumah susun dan komponen
pengisinya.
4. Integrasi beberapa disiplin ilmu
Selain ilmu arsitektur dan perencaan tata wilayah dan kota, pelaksanaan
pembangunan secara vertikal juga memerlukan integrasi beberapa disiplin ilmu
lainnya dalam proses pemilihan material pembangunan, rekayasa polikultur,
pengolahan air bersih, dan lain-lain yang berkaitan dengan pemanfaatan energi
guna mendukung keberlanjutan pembangunan secara vertikal.
5. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum secara vertikal
Merubah pola pembangunan di perkotaan menjadi pembangunan secara vertikal
tidak boleh mengesampingkan fokus pada pelayanan masyarakat kota. Tidak
hanya permukiman, fasilitas-fasilitas umum yang tentu sangat dibutuhkan oleh
penduduk kota seperti sekolah, rumah sakit, dan pusat perbelanjaan juga harus
dikembangkan dan menjadi salah satu agenda pembangunan secara vertikal.
yang
lebih
luas
dibandingkan
dengan
2. dapat menjadi solusi bagi masyarakat atas tingginya harga tanah sehingga
mengantisipasi agar masyarakat tidak bermigrasi ke daerah pinggiran atau
lokasi yang harga tanahnya lebih murah karena migrasi penduduk ke daerah
yang lebih murah hanya akan menambah masalah baru,
3. biaya lebih terkendali,
4. menjadi alternatif penyedia fasilitas-fasilitas kota yang lengkap sehingga
menciptakan peluang aktivitas ekonomi dan pusat-pusat pertumbuhan baru
yang dapat membuka lapangan dan kesempatan kerja, dan
Belum ada standar baku yang mengatur tentang kebutuhan RTH di suatu kota,
tetapi data empiris di beberapa kota dunia menunjukkan bahwa kebutuhan RTH di
suatu kota antara 6-10 m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005), Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan untuk
menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 %
dari luas kota.
Secara umum kondisi RTH kota-kota di Indonesia menunjukkan tingkat ketersediaan
yang belum optimal, yaitu kurang optimalnya pemenuhan kebutuhan ruang terbuka
hijau (RTH). Fakta lain menunjukkan cukup
tingginya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan
permukiman serta industri. Kondisi tersebut di atas merupakan konsekuensi dari
lebih tingginya nilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri, perumahan dan
permukiman dibandingkan untuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986). Disamping
itu, pengembangan properti selama ini menggunakan konsep highest and best use
(Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitu pemanfaatan lahan didasarkan pada
kegunaan yang paling menguntungkan secara ekonomi dan memiliki tingkat
pengembalian usaha (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi lain.
Disamping indikator sustainabilitas lingkungan perkotaan yang bersifat
komprehensif, UNCHS juga telah mengembangkan indikator untuk lingkungan
perumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000). Indikator lingkungan perumahan
antara lain : luas lantai per orang dan portofolio kredit perumahan. Dalam konteks
luas lantai per orang dan ketersediaan RTH di suatu kota, maka pengembangan
hunian vertikal akan dapat menjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan.
Dengan tetap berupaya memenuhi kebutuhan rumah untuk seluruh keluarga disatu
pihak dan menjaga kualitas lingkungan terutama ketersediaan ruang terbuka hijau
sebagai salah satu indikator lingkungan perkotaan yang berkelanjutan di lain pihak,
maka model pengembangan hunian vertikal perlu segera diterapkan untuk kotakota yang masih memiliki ruang terbuka hijau yang cukup dan tingkat pertumbuhan
kebutuhan rumah yang cukup signifikan setiap tahunnya.
2 Ir. Heinz Frick, Rumah Sederhana: Kebijaksanaan, Perencanaan dan Konstruksi, Penerbit
Kanisius, 2005.
(misal: 1,2; 1,6; 2,5; dsb). Peraturan akan FAR/KLB ini akan
mempengaruhi skyline yang tercipta oleh kumpulan bangunan yang ada
di sekitar. Tujuan dari penetapan FAR/KLB ini terkait dengan hak setiap
orang/ bangunan untuk menerima sinar matahari. Jika bangunan memiliki
tinggi yang serasi maka bangunan yang di sampingnya dapat menerima
sinar matahari yang sama dengan bangunan yang ada di sebelahnya.
Angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung
dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan (floor area ratio). Jumlah
lantai tidak hanya diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tekno
ekonomi saja, tetapi juga dipengaruhi oleh daya dukung tanah.
4. Kepadatan populasi
5. Kepadatan unit rumah
6. Jarak antar bangunan (sirkulasi)
KOTA YANG KOMPAK (COMPACT
CITY)
Definisi compact city menurut Burton (2000) dalam tulisannya menekankan pada
dimensi kepadatan yang tinggi. Kepadatan yang tinggi dimaksudkan untuk
mengurangi tingkat penggunaan lahan yang tidak efektif. Penggunaan lahan yang
terlalu berlebihan menyebabkan banyaknya lahan yang dikuasai tetapi tidak
dimanfaatkan secara optimal, hal ini menyebabkan luas lahan yang ada semakin
berkurang. Konsep compact city menekankan pada penggunaan lahan yang efektif
melalui pemadatan kota atau pun suatu kawasan aktivitas tertentu. Pemadatan kota
ini bertujuan untuk menghemat penggunaan lahan yang semakin menipis.
Pemadatan kota dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
melakukan vertical growth yang mana menghemat penggunaan lahan. Perumahanperumahan dan gedung-gedung perkantoran dapat di bangun dalam satu atau
beberapa bangunan yang tumbuh vertical ke atas. Konsep ini juga menggabungkan
dengan konsep mixused. Compact city merupakan konsep pengembangan kota
dengan menghemat penggunaan lahan yang ada serta mengefektikan guna
lahannya. Dalam konsep pengembangan kota yang kompak juga dapat dimasukkan
dalam konsep penataan ruang lainnya seperti vertical growth dan mixused
kependudukan. Pada aspek sosial konsep compact city design dapat meningkatkan
interaksi sosial, serta penurunan tingkat kesenjangan sosial. Hal ini merupakan
suatu wujud pembangunan secara intern. Pembangunan secara intern bertujuan
untuk membangun kota dari dalam bukan saja pembangunan dari luar. Aspek-aspek
yang dibangun dari dalam mencakup pembangunan masyarakat, karena
masyarakat merupakan faktor internal dari suatu kota.
Keunggulan compact city pada sektor ekonomi dapat meningkatkan pendapatan,
serta dengan adanya konsep pengembangan kota kompak ini masyarakat dapat
menjangkau fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi lebih dekat dari tempat tinggal
masyarakat tersebut. Fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi yang dekat dengan
tempat tinggal masyarakat ini akan membuat arus pergerakan masyarakat menjadi
berkurang. Konsep kota kompak ini juga akan mengurangi waktu perjalanan dan
biaya perjalanan, karena fasilitas penunjang perekonomian masyarakat didesain
untuk dekat dengan kawasan permukiman.
Munawir (2009) juga menjelaskan mengenai keunggulan kota kompak, yakni dalam
konsep compact city design terdapat suatu unsur perencanaan urban
Containment. Perencanaan urban containment yakni menyediakan suatu
konsentrasi dari penggunaan campuran secara sosial berkelanjutan (socially
sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan
mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh
karena itu promosi penggunaan Public Transport (transportasi public/masal),
kenyamanan
berlalu
lintas,
berjalan
kaki
dan
bersepeda
(Elkin
et.al.,1991,Newman,1994). Compact city design juga dapat mereduksi tingkat
polusi udara, sehingga kota yang kompak tidak hanya dapat menjamin
keberlanjutan kehidupan manusia secara ekonomi, sosial, serta kebudayaan tetapi
konsep kota kompak juga memberikan keuntungan bagi aspek lingkungan. Konsep
pengembangan kota kompak memberikan suatu solusi untuk mengatasi
permasalahan lingkungan dan transportasi, seperti mengurangi tingkat polusi udara
oleh emisi gas buangan kendaraan-kendaraan bermotor. Konsep kota kompak dapat
memberikan suatu kontribusi baru untuk bidang pembangunan kota dan
transportasi masal saat ini. Kota kompak mempunyai konsep pengembangan yang
ramah lingkungan.
Lebih lanjut Munawir (2009) menjelaskan bahwa melalui perencanaan efisiensi
penggunaan jalan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan,
dan bangunan hemat energi juga dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang
beracun. Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities
(fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi
keberlanjutan social (Houghton and Hunter, 1994). Kepadatan yang tinggi secara
tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengguna jalan terutama para
pedestrian, karena para pejalan kaki tidak perlu berjalan jauh untuk menjangkau
pusat-pusat kegiatan perekonomian tersebut.
HUNIAN
YANG
Dalam studi McKinsey: A Blueprint for Addressing the Global Affordable Housing
Challenge 2014, dijelaskan bahwa terdapat cukup banyak backlog perumahan di
seluruh dunia untuk masyarakat menegah ke bawah, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia. Dalam studi ini, pengelompokan masyarakat
menengah ke bawah didefinisikan sebagai masyarakat yang memiliki penghasilan
kurang dari sama dengan 80% dari median penghasilan. Sedangkan definisi
terjangkau (affordable) dalam studi tersebut adalah kebutuhan untuk kepemilikan
tempat tinggal tidak menghabiskan 30% dari pendapatan rumah tangga
masyarakat.
Berdasarkan studi tersebut terdapat empat faktor untuk menurunkan biaya sebesar
20%-50% dalam pengembangan perumahan yang terjangkau (affordable housing)
untuk masyarakat menengah bawah. Faktor-faktor tersebut terkait; pembebasan
lahan, konstruksi yang efisien, sistem operasi yang optimal, dan akses pembiayaan
properti. Korelasi faktor-faktor tersebut dapat didiagramkan sebagai berikut;
METODOLOGI
Hunian vertical menjadi sangat penting karena perannya yang mampu
menghemat penggunaan lahan yang akan dibangun di kota. Lahan di kota
yang semula akan dibangun seluas 1.000 m2, dapat diminimalisir menjadi
600 m2 dengan menerapkan prinsip hunian vertical.
PERENCANAAN / PERANCANGAN LINGKUNGAN HUNIAN VERTIKAL
1. Lokasi dan Tapak
Pemilihan lokasi dan tapak harus dapat mendukung semua kegiatan di
lingkungan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan
lokasi adalah sebagai berikut :
a. Peraturan pemerintah daerah yang menyangkut dengan penggunaan tanah.
b. Pencapaian merupakan pertimbangan utama, yang mana berkaitan dengan
daya tempuh penghuni dari dan ke lokasi hunian berdiri.
c. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi memiliki kualitas baik dan
dapat memenuhi seluruh kebutuhan penghuni tanpa bergantung pada
kendaraan pribadi.
d. Memiliki jaringan infrastruktur yang lengkap guna meminimalkan biaya
pengadaan dan pembangunan infrastruktur di dalam hunian.
Jumlah
Hunian
709.158
Jumlah
Rusun9.401
Backlog hunian
Jumlah backlog
196.014
-186.613
Tipe 24 = 25 % x 58.661 m2 =
14.665,25
m2
Tipe 30 = 40 % x 58.661 m2 =
23.464
m2
Tipe 36 = 35 % x 58.661 m2 =
20.531,35
m2
ANALISA OPTIMASI
Optimalisasi adalah tindakan untuk memperoleh hasil yang terbaik dengan keadaan
yang diberikan melalui design, konstruksi, dan teknik. Optimalisasi juga dapat
didefinisikan sebagai proses untuk mendapatkan keadaan yang memberikan nilai
maksimum atau minimum dari suatu fungsi.
1. Analisa Luas Bangunan dan Kepadatan Bangunan
-
27.432m 2
7,2m 2/orang
= 3.810 orang
10 lantai
Berkaitan dengan permukaan tanah yang hilang dan tertutup akibat kaki
bangunan, akan mempengaruhi ekosistem pada tapak. Semakin besar tapak
yang tertutup kaki bangunan kemungkinan terganggunya ekosistem semakin
besar pula. Untuk meminimalkan kaki bangunan (smaller footprint) yang
menginjak tapak, bangunan dikembangkan secara vertikal. Dengan membangun
secara vertikal, maka tapak tetap dapat melakukan rangkaian proses ekologi
dalam batas toleransi. Pengembangan ini pula sebagai upaya untuk
mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang tentunya menuntut lahan kosong
lebih banyak. Di sisi lain ratio bangunan dan permukaan tanah yang tertutup
bangunan apabila bangunan didesain secara vertikal akan lebih kecil.
Contoh KEBUTUHAN LAHAN HUNIAN VERTIKAL
HUNIAN VERTIKAL
HIGH ENDS HOUSING
MEDIUM ENDS HOUSING
LOW ENDS HOUSING
Ket: footprint = (type*KDB)/LB
KDB
TIPE
(m2)
35%
45%
60%
120
70
36
Lantai
Bangunan
(LB)
8
4
3
FOOTPRINT
Tapak
per unit (m2)
42,9
38,9
20,0
a=
27.432
=1.306,29
21
1.306 unit
F = 0.15% = 0,015
I = 5 milyar
P = 1 milyar
Tm =
=
=
=
=
{ Pt x (1+F)} + I + P
{ 27 m x (1+0,015)} + 5 + 1
{27 x (1,015)} + 5 + 1
27, 405 + 6
33,405 milyar
Tm
33.405.000 .000
=
=25.578 .101 25,5 juta/unit
jumlah unit rusun
1.306