Anda di halaman 1dari 24

BAB 3

TANGGAPAN TERHADAP KAK

HUNIAN VERTIKAL
Lingkungan hunian vertikal biasanya dikenal sebagai kawasan rumah susun,
dimana menurut UU No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1 Ayat 1
didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama dan tanah bersama.
Dalam laporan penelitian Wisnu Subagijo yaitu Proses dan Strategi Adaptasi
Sosial Masyarakat Rumah Susun, kita mengambil 2 klasifikasi rumah susun
yang berkaitan dengan pekerjaan ini yaitu:
1. Klasifikasi Rumah Susun berdasarkan Kemewahan Bangunan :
a) Rumah Susun Kelas Sederhana, desain yang sederhana, lokasi di
daerah yang padat penduduk, lokasi umumnya berdiri di atas lahan
pemerintah, material penyelesaian yang standar, biaya hunian murah
dikarenakan mendapat subsidi. Biasanya rumah susun untuk golongan
masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian type rumah susun
yang sesuai adalah rumah susun dengan luasan lantai T. 18, T. 36, T.
45, dan T. 54 dengan menggunakan bahan bangunan sederhana.
b) Rumah Susun Kelas Menengah, desain fungsional, lokasi dekat dengan
pusat kota, lokasi umumnya juga dekat dengan perumahan urban,
material penyelesaian menengah, biaya hunian kelas menengah.
Dengan demikian type rumah susun yang sesuai adalah rumah susun
dengan luasan lantai T. 36, T. 54, T. 70 dengan menggunakan bahan
bangunan yang lebih baik kualitasnya.
c) Rumah Susun Mewah, tampilan bangunan yang berestetika tinggi,
lokasi di daerah strategis perkotaan, umumnya lokasi dekat dengan
apartement high class dan perhotelan, material penyelesaian mewah
dan biaya hunian mahal (kaum elit). Dengan type rumah susun yang
sesuai adalah rumah susun dengan luasan lantai lebih dari 100 m2 dan
menggunakan bahan bangunan kualitas tinggi.

2. Klasifikasi Rumah Susun berdasarkan Ketinggian Lantai Bangunan :


a) Bangunan Rusun tingkat rendah (low rise flat) : memiliki ketinggian 2-6
lantai dan menggunakan tangga sebagai sarana sirkulasi vertikalnya.
b) Bangunan Rusun Tingkat Menengah (medium rise flat): memiliki
ketinggian 6-9 lantai dan bisa menggunakan elevator listrik sebagai
sarana sirkulasi vertikalnya.
c) Bangunan Rusun Tingkat Tinggi (high rise flat) : memiliki ketinggian di
atas 9 lantai dan harus menggunakan elevator listrik sebagai sarana
sirkulasi vertikalnya.
Dimana untuk kategori a)
biasanya dibangun oleh dibangun oleh
pemerintah dan atau BUMN (perumnas), sedangkan untuk kategori b) dan c)
biasanya berbentuk apartemen atau condomonium yang dibangun oleh
swasta atau pengembang hunian vertikal.
Lahan kota yang terbatas menyebabkan harga tanah sangat tinggi, karena
pertimbangan ekonomi. Akibatnya perkembangan pembangunan bangunan
perumahan di kota besar dan metropolitan cenderung vertikal. Untuk
menekan biaya penyediaan rumah agar dapat dijangkau oleh masyarakat
berpenghasilan rendah. Akibat harga lahan yang tinggi, jumlah lantai yang
harus dibangun pada satu satuan lahan harus lebih banyak. Sementara
ketinggian bangunan untuk Rumah Susun Sederhana (RSS) memiliki
keterbatasan, yaitu sekitar 10 (sepuluh) lantai, maka bangunan lebih dari
sepuluh lantai harus tertutup dengan harga jual dan biaya pemeliharaan
yang cukup tinggi, menyebabkan harga menjadi mahal dan hanya kelompok
warga masyarakat yang berpenghasilan menengah atas yang dapat
memilikinya. Tipe rumah susun ini dikenal dengan apartemen, flat atau
kondominium.
Dalam pekerjaan ini perlu diperjelas mengenai sasaran obyek model
lingkungan hunian vertikal, apakah untuk kategori a) saja atau seluruhnya?

BAB 4
PENDEKATAN METODOLOGI

PENDEKATAN
HARGA LAHAN
Harga lahan adalah suatu penilaian nominal dalam satuan uang untuk satuan luas
pada pasaran lahan (Darin & Drabkin, 1977). Jika dibandingkan secara sekilas
memang harga lahan terbilang mirip dengan nilai lahan, namun pada kenyataannya
tidaklah sama. Kedua hal ini sangat berkaitan erat satu sama lainnya. Nilai lahan
atau land value sendiri adalah suatu penilaian atas lahan yang didasarkan atas
kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan
strategi ekonominya (Darin & Drabkin, 1977: 89).
Jika ditarik garis besarnya maka kesimpulan yang bisa diambil adalah harga lahan
akan naik setelah adanya beberapa faktor fungsional yang meningkatkan kualitas
maupun nilai strategis dari suatu lahan tertentu. Jika dirumuskan akan ditulis
sebagai berikut:
Harga lahan = nilai lahan + f ( X1 + X2 + X3 + .+ Xn)
Menurut Soesilo (2000), harga lahan adalah harga yang ada di pasaran dan dapat
dilihat dari dua segi, antara lain:
-

Harga lahan sebagai harga pasaran, maksudnya adalah harga yang disetujui
pada saat terjadinya penjualan.

Harga lahan sebagai assessed value yaitu harga taksiran tanah oleh
penilai/estimator. Dalam perkiraan harga ini sudah dimasukkan opportunity
costyang bakal didapat lahan tersebut di masa yang akan datang.

ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga lahan pada suatu lokasi,
antara lain:
-

Jarak pencapaian (aksesibilitas) tanah tersebut sampai pada tempat aktivitas.


Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi keuntungan yang diperoleh.

Jarak terhadap pusat kota (Central Business District).

Jarak terhadap Pusat Perbelanjaan Lokal di kawasan tersebut.

Jarak relatif terhadap aktivitas lain yang mendukung.

Kualitas lingkungan di sekitarnya.

Jenis kegiatan yang akan dilakukan pada sebidang tanah juga akan mempengaruhi
harga pada sebidang tanah. Hal ini akan dapat dilihat perwujudannya dalam tipe
penggunaan lahannya. Nilai produktivitas dari suatu lahan juga akan

mempengaruhi besar kecilnya harga suatu lahan, dengan kata lain sebidang tanah
yang memiliki fungsi ekonomi produktif.

HUNIAN VERTIKAL BERWAWASAN LINGKUNGAN


Lingkungan Hunian adalah bagian dari kawasan Permukiman yang terdiri atas lebih
dari satu satuan Permukiman. Sedangkan hunian vertikal adalah hunian yang terdiri
dari dua lantai atau lebih, yang mana untuk mencapai lantai selanjutnya
dihubungkan oleh sebuah tangga yang sekaligus berfungsi juga sebagai daerah
sirkulasi. Selain tidak harus menambah lahan baru, banyak kelebihan lain yang bisa
didapatkan dari membangun hunian vertikal. Beberapa di antara yaitu : desain
ruang-ruang yang multifungsi sehingga bisa menghemat biaya pula, mudah terlihat
dari lingkungan sekitar karena memiliki fasad atau tampak yang menonjol dari
hunian lainnya. Sedangkan kelebihan yang lain adalah potensi view atau arah
pandang. Pada hunian vertikal, kita bisa lebih leluasa untuk melihat serta
mengakses lingkungan sekitar. Hal ini di karenakan kita bisa menempatkan bukaanbukaan dengan luasan sesuai yang kita inginkan. 1
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang
saling berkaitan akibat meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan adalah
pembangunan secara vertikal yang berwawasan lingkungan. Pembangunan vertikal
dapat diartikan sebagai pengoptimalan lahan dengan melakukan pembangunanke
atas dan ke bawah. Sedangkan yang dimaksud dengan pembangunan vertikal yang
berwawasan lingkungan adalah pembangunan yang
memperhatikan aspek
pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana, berkelanjutan, dan meningkatkan
kualitas hidup generasi sekarang maupun selanjutnya.
Agenda vertical housing menjadi agenda yang urgent dan perlu ditanggapi dengan
serius untuk kota-kota yang memiliki persediaan lahan yang kian terbatas dengan
jumlah penduduk yang padat. Penggunaaan vertical housing dapat menghindari
pemborosan lahan akibat kian melebarnya permukiman yang ada. Lahan yang kian
habis serta tanpa adanya penataan perumahan oleh pemerintah maupun pihak lain
dapat menyebabkan berkembangnya permukiman liar maupun permukiman kumuh
seperti yang terjadi di sepanjang sungai serta rel kereta di kota besar dan
metropolitan. Permukiman liar mapun permukiman kumuh tersebut tidak sesuai
dengan sustainable development karena tidak memenuhi unsur estetika maupun
kelestarian lingkungan serta pemborosan sumber daya alam terutama lahan. Lahan
untuk perumahan dapat dihemat dan sebagian difungsikan sebagai Ruang Terbuka
Hijau (RTH) sehingga kawasan perkotaan dapat menjadi kawasan yang ekologis
sesuai dengan konsep sustainable city. Salah satu stategi penerapan vertical
housing di Indonesia adalah dengan pengadaan rusun/rusunawa bagi masyarakat
kalangan menengah ke bawah, sedangkan untuk masyarakat kalangan menengah
ke atas adalah melalui pengadaan apartemen maupun condominium. Konsep

1 http://www.kompasiana.com/architectur034/hunian-vertikal-solusi-rumahmasa-depan_5573a0c5a623bd513ae4e94d

hunian vertikal berbasis EFSC (Eco Friendly and Socio-Culture) diharapkan dapat
menjadi hunian vertikal daerah perkotaan yang memperhatikan aspek lingkungan,
ekonomi, dan sosial budaya sesuai arah pembangunan berkelanjutan.
Lahan kota yang terbatas menyebabkan harga tanah sangat tinggi, karena
pertimbangan ekonomi. Akibatnya perkembangan pembangunan perumahan
cenderung vertikal di perkotaan. Menekan biaya penyediaan rumah agar dapat
dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan harga lahan yang
tinggi, maka jumlah lantai yang harus dibangun pada satu satuan lahan harus lebih
banyak. Melalui peningkatan intensitas (ketinggian) bangunan juga akan diperoleh
ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) sebagai
paru-paru kota, lahan resapan air hujan, dan sarana tempat bermain bagi anakanak. Jadi peningkatan daya tampung kota diimbangi upaya pelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, untuk daerah perkotaan, sistem yang dikembangkan sekarang ini
dalam pembangunan perumahan adalah membangun perumahan yang dapat
dihuni bersama-sama dalam bangunan yang bertingkat yang dibangun di atas
tanah milik/ hak bersama, yang dibagi-bagi atas bagian-bagian secara terpisah,
secara vertikal atau horisontal untuk masing-masing penghuni atau keluarga.
Pemanfaatan lahan perlu dilakukan secara efisien dan cermat sehingga dapat
memberi manfaat yang besar dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan
perkotaan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam
pelaksanaan pembangunan vertikal harus memperhatikan beberapa hal yang
mendukung. Konsep pembangunan secara vertikal adalah sebagai berikut.
1. Pemilihan lahan pembangunan
Memilih dan memilah lahan sangat penting dilakukan sebelum melaksanakan
pembangunan. Bangunan vertikal sebaiknya didirikan di atas lahan yang tidak
produktif. Dengan demikian wilayah produktif yang memiliki lahan subur serta
tingkat kesesuaian yang tinggi untuk pertanian dapat dijadikan sebagai tempat
bercocoktanam.
2. Keseragaman bangunan
Pembangunan secara vertikal menghasilkan produk bangunan yang seragam
untuk setiap jenisnya dan tetap perlu memperhatikan aturan-aturan yang telah
berlaku mengenai garis sempadan bangunan. Dalam prosesnya ditentukan jarak
minimal antar gedung dan tinggi maksimal setiap gedung berdasarkan kontur
tanah di lokasi tersebut.
3. Hunian vertikal ideal
Pembangunan secara vertikal diharapkan tidak hanya dapat memenuhi
kebutuhan manusia namun juga mampu mencukupi kebutuhan makluk hidup
lainnya. Oleh karena itu, hunian vertikal yang dibangun harus bersifat
multifungsional dengan menyediakan tempat tinggal bagi makhluk hidup
lainnya. Dengan kondisi yang ideal tersebut maka kebutuhan setiap makhluk
hidup dapat terpenuhi.

Setiap hunian vertikal yang ideal sebaiknya memiliki beberapa kriteria seperti
beratap hijau, menyediakan ruang khusus binatang peliharaan, taman hijau di
sekeliling permukiman vertikal beserta elemen pengisinya yang lengkap dapat
dimanfaatkan sebagai ruang berkumpulnya masyarakat saat santai dan sebagai
daerah resapan air serta area bercocoktanam dengan memakai sistem polikultur
guna mencukupi kebutuhan pangan penduduk.
Bagi penduduk berfinansial menengah ke atas akan dikenakan biaya tinggal di
rumah susun yang lebih mahal supaya dapat memberi subsidi bagi masyarakat
yang memiliki keadaan ekonomi menengah ke bawah. Dengan demikian, setiap
masyarakat dapat menikmati fasilitas berupa rumah susun dan komponen
pengisinya.
4. Integrasi beberapa disiplin ilmu
Selain ilmu arsitektur dan perencaan tata wilayah dan kota, pelaksanaan
pembangunan secara vertikal juga memerlukan integrasi beberapa disiplin ilmu
lainnya dalam proses pemilihan material pembangunan, rekayasa polikultur,
pengolahan air bersih, dan lain-lain yang berkaitan dengan pemanfaatan energi
guna mendukung keberlanjutan pembangunan secara vertikal.
5. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum secara vertikal
Merubah pola pembangunan di perkotaan menjadi pembangunan secara vertikal
tidak boleh mengesampingkan fokus pada pelayanan masyarakat kota. Tidak
hanya permukiman, fasilitas-fasilitas umum yang tentu sangat dibutuhkan oleh
penduduk kota seperti sekolah, rumah sakit, dan pusat perbelanjaan juga harus
dikembangkan dan menjadi salah satu agenda pembangunan secara vertikal.

Gambar. Konsep Pembangunan Secara Vertikal Berwawasan


Lingkungan
Beberapa keunggulan dari pembangunan secara vertikal yang berwawasan
lingkungan antara lain
1. memiliki sasaran dan manfaat
pembangunan secara horizontal,

yang

lebih

luas

dibandingkan

dengan

2. dapat menjadi solusi bagi masyarakat atas tingginya harga tanah sehingga
mengantisipasi agar masyarakat tidak bermigrasi ke daerah pinggiran atau
lokasi yang harga tanahnya lebih murah karena migrasi penduduk ke daerah
yang lebih murah hanya akan menambah masalah baru,
3. biaya lebih terkendali,
4. menjadi alternatif penyedia fasilitas-fasilitas kota yang lengkap sehingga
menciptakan peluang aktivitas ekonomi dan pusat-pusat pertumbuhan baru
yang dapat membuka lapangan dan kesempatan kerja, dan

5. dapat mendukung perwujudan tata ruang kota masa depan.


Tujuan dilaksanakannya pembangunan vertikal yang berwawasan lingkungan antara
lain :
1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup.
Dengan adanya pembangunan vertikal manusia bisa lebih berbagi lahan dengan
lingkungan, baik hewan maupun tumbuhan. Karena tanpa disadari baik langsung
maupun tidak langsung, kehidupan manusia pasti selalu berdampingan dengan
lingkungan hidup. Hal ini disebabkan oleh hubungan manusia dan lingkungan
yang saling membutuhkan. Kondisi tersebut memberikan pilihan bahwa manusia
harus bisa menjaga lingkungan dengan baik, sehingga lingkungan pun akan
memberikan hal yang manusia butuhkan dengan cara yang baik pula.
2. Terjaminnya kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Pemanfaatan lahan secara tidak bijaksana akan menimbulkan berbagai masalah
baru. Salah satu masalah yang timbul adalah krisis bahan makanan. Masalah ini
akan sangat berpengaruh bagi kehidupan sekarang maupun bagi kehidupan
generasi mendatang. Karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok
bagi makhluk hidup. Pembangunan secara vertikal tentu akan memberi peluang
yang lebih besar dalam memanfaatkan sisa lahan sebagai lahan bercocoktanam
dan sistem drainase penyimpan air bersih. Dengan demikian kebutuhan pangan
generasi sekarang akan tercukupi begitu pula dengan kebutuhan generasi
mendatang yang telah tersedia.
3. Tercapainya fungsi ekologis lingkungan hidup.
Pembangunan yang tidak diiringi dengan kesadaran akan pentingnya lingkungan
hidup akan menimbulkan ketimpangan bagi proses kehidupan selanjutnya.
Lingkungan hidup merupakan suatu faktor penyeimbang bagi kehidupan pada
umumnya. Dengan adanya lingkungan hidup kebutuhan manusia secara fisik
dan psikis akan terpenuhi, namun hal ini tentu harus diikuti dengan perilaku
menjaga lingkungan dari pihak manusia. Pembangunan vertikal yang
berwawasan lingkungan menjadi salah satu solusi yang mumpuni bagi
permasalahan ini. Karena inti dari konsep pembangunan ini adalah saling
berbagi dengan lingkungan hidup lainnya.
Pembangunan vertikal yang berwawasan lingkungan tentu akan memperhatikan
aspek lingkungan dengan tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara tidak
bijaksana, seperti penggunaan lahan yang berlebihan, pohon yang banyak ditebang
untuk dijadikan material pembangunan, serta sumber daya lainnya. Material yang
digunakan dalam pembangunan vertikalpun lebih sedikit bila dibandingkan
pembangunan horizontal. Selain itu, pembangunan secara vertikal bisa mereduksi
jumlah polusi yang semakin hari semakin meningkat. Kondisi ini memberikan
dampak positif bagi lingkungan, karena semakin banyaknya lahan yang
dimanfaatkan sebagai ruang hijau.

Seluruh proses analisis dan simulasi komprehensif pengembangan hunian vertikal


menuju pembangunan perumahan yang berkelanjutan membawa implikasi dan
konsekuensi logis kepada penentuan arah kebijakan pembangunan perumahan
secara menyeluruh.
Secara diagramatis keterkaitan dari bagian-bagian di atas dapat di lihat pada
gambar berikut ini :

Spatial Arrangement and Sustainable Development

Sumber: Haryadi, Spatial Arrangement and Sustainable Development, 2001.

MANFAAT PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL PADA SUATU WILAYAH KOTA


DIKAITKAN DENGAN KETERSEDIAAN RTH
Penilaian tingkat manfaat pengembangan hunian vertikal pada suatu wilayah kota
dikaitkan dengan ketersediaan RTH sangat terkait erat dengan indikator
pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan. Oleh karena itu untuk
menilai suatu kota diperlukan indikator-indikator yang dapat digunakan
untuk mengukur tingkat kelayakan suatu kota, antara lain mengukur kinerja;
mengkaji tren; memberi informasi; menetapkan target; membandingkan kondisi
atau tempat; peringatan dini; dan menyusun pilihan strategis dalam pembangunan
kota (Banerjeen, 1996 dalam Junaidi, 2000). Kajian indikator pembangunan
perkotaan di beberapa negara menunjukkan bahwa salah satu indikator yang terkait
dengan aspek lingkungan adalah ketersediaan RTH yang memadai bagi penduduk
kota. Indikator lingkungan perkotaan yang terkait dengan sustainibilitas lingkungan
perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang terbuka dalam km2 (Junaidi, 2000).

Belum ada standar baku yang mengatur tentang kebutuhan RTH di suatu kota,
tetapi data empiris di beberapa kota dunia menunjukkan bahwa kebutuhan RTH di
suatu kota antara 6-10 m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005), Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan untuk
menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas kota dan RTH privat minimal 10 %
dari luas kota.
Secara umum kondisi RTH kota-kota di Indonesia menunjukkan tingkat ketersediaan
yang belum optimal, yaitu kurang optimalnya pemenuhan kebutuhan ruang terbuka
hijau (RTH). Fakta lain menunjukkan cukup
tingginya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan
permukiman serta industri. Kondisi tersebut di atas merupakan konsekuensi dari
lebih tingginya nilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri, perumahan dan
permukiman dibandingkan untuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986). Disamping
itu, pengembangan properti selama ini menggunakan konsep highest and best use
(Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitu pemanfaatan lahan didasarkan pada
kegunaan yang paling menguntungkan secara ekonomi dan memiliki tingkat
pengembalian usaha (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi lain.
Disamping indikator sustainabilitas lingkungan perkotaan yang bersifat
komprehensif, UNCHS juga telah mengembangkan indikator untuk lingkungan
perumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000). Indikator lingkungan perumahan
antara lain : luas lantai per orang dan portofolio kredit perumahan. Dalam konteks
luas lantai per orang dan ketersediaan RTH di suatu kota, maka pengembangan
hunian vertikal akan dapat menjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan.
Dengan tetap berupaya memenuhi kebutuhan rumah untuk seluruh keluarga disatu
pihak dan menjaga kualitas lingkungan terutama ketersediaan ruang terbuka hijau
sebagai salah satu indikator lingkungan perkotaan yang berkelanjutan di lain pihak,
maka model pengembangan hunian vertikal perlu segera diterapkan untuk kotakota yang masih memiliki ruang terbuka hijau yang cukup dan tingkat pertumbuhan
kebutuhan rumah yang cukup signifikan setiap tahunnya.

PENGGUNAAN TANAH UNTUK RUMAH SEDERHANA


Frick, 20052 menuangkan aturan logis penggunaan tanah untuk rumah sederhana
sebagai batasan karakteristik llingkungan fisik perumahan sederhana, dimana
penggunaan tanah per orang harus sekecil mungkin. Penggunaan tanah per orang
untuk perumahan tergantung pada bentuk gedung yang dipilih.

2 Ir. Heinz Frick, Rumah Sederhana: Kebijaksanaan, Perencanaan dan Konstruksi, Penerbit
Kanisius, 2005.

Penggunaan Tanah per Orang untuk Rumah Sederhana


Sumber: Frick, 2005: 96

Kriteria indeks yang biasanya dipakai untuk menentukan vertikalisasi lingkungan


hunian adalah:

1. Koefisien Dasar Bangunan, batas persentasi luas tanah yang boleh


dibangun = kepadatan bangunan (building density) sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
BCR/KDB adalah perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan
luas tanah (LB/LT X 100%). Koefisien yang digunakan biasanya berupa
persen atau desimal (misal: 60% atau 0,6). BCR/KDB ini bertujuan untuk
mengatur besaran luasan bangunan yang menutupi permukaan tanah, hal ini
akan mempengaruhi infiltrasi air tanah atau ketersediaan air tanah untuk masa
yang akan datang. Selain sebagai penjaga keberadaan air tanah, permukaan
tanah yang tidak tertutup bangunan akan mampu menerima sinar matahari
secara langsung untuk membuat tanah bisa mengering sehingga udara yang
tercipta di sekitar bangunan tidak menjadi lembab.

2. Koefisien Lantai Bangunan, FAR/KLB adalah perbandingan antara luas


lantai bangunan dengan luas tanah. (BCR x n), n = jumlah lantai (tingkat)
bangunan. Angka koefisien yang digunakan biasanya berupa desimal

(misal: 1,2; 1,6; 2,5; dsb). Peraturan akan FAR/KLB ini akan
mempengaruhi skyline yang tercipta oleh kumpulan bangunan yang ada
di sekitar. Tujuan dari penetapan FAR/KLB ini terkait dengan hak setiap
orang/ bangunan untuk menerima sinar matahari. Jika bangunan memiliki
tinggi yang serasi maka bangunan yang di sampingnya dapat menerima
sinar matahari yang sama dengan bangunan yang ada di sebelahnya.
Angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung
dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan (floor area ratio). Jumlah
lantai tidak hanya diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tekno
ekonomi saja, tetapi juga dipengaruhi oleh daya dukung tanah.

3. Garis Sempadan Bangunan


Garis Sempadan Bangunan mempunyai arti sebagai sebuah garis yang
membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan
terhadap batas lahan yang dikuasai. Pengertian tersebut dapat disingkat bahwa
Garis Sempadan Bangunan adalah batas bangunan yang diperkenankan untuk
dibangun. Batasan atau patokan untuk mengukur besar Garis Sempadan
Bangunan adalah as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan atau
jaringan tegangan tinggi. Sehingga jika hunian berada di pinggir jalan, maka
garis sempadan bangunan diukur dari as jalan sampai bangunan yang terluar di
lahan yang dikuasai.

4. Kepadatan populasi
5. Kepadatan unit rumah
6. Jarak antar bangunan (sirkulasi)
KOTA YANG KOMPAK (COMPACT

CITY)

Definisi compact city menurut Burton (2000) dalam tulisannya menekankan pada
dimensi kepadatan yang tinggi. Kepadatan yang tinggi dimaksudkan untuk
mengurangi tingkat penggunaan lahan yang tidak efektif. Penggunaan lahan yang
terlalu berlebihan menyebabkan banyaknya lahan yang dikuasai tetapi tidak
dimanfaatkan secara optimal, hal ini menyebabkan luas lahan yang ada semakin
berkurang. Konsep compact city menekankan pada penggunaan lahan yang efektif
melalui pemadatan kota atau pun suatu kawasan aktivitas tertentu. Pemadatan kota
ini bertujuan untuk menghemat penggunaan lahan yang semakin menipis.
Pemadatan kota dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
melakukan vertical growth yang mana menghemat penggunaan lahan. Perumahanperumahan dan gedung-gedung perkantoran dapat di bangun dalam satu atau
beberapa bangunan yang tumbuh vertical ke atas. Konsep ini juga menggabungkan
dengan konsep mixused. Compact city merupakan konsep pengembangan kota
dengan menghemat penggunaan lahan yang ada serta mengefektikan guna
lahannya. Dalam konsep pengembangan kota yang kompak juga dapat dimasukkan
dalam konsep penataan ruang lainnya seperti vertical growth dan mixused

buldings. Compact city memberikan suatu alternatif untuk mengatasi kekurangan


lahan yang terjadi dewasa ini di kawasan-kawasan perkotaan.
Pendekatan compact city adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan
penduduk permukiman, mengintensifkan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya
perkotaan, dan memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta
sistem permukiman dalam rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan,
sosial, dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenks,
2000). Konsep pendekatan compact city yang dikemukakan oleh Jenks ini dapat
diartikan sebagai suatu konsep pembangunan kota secara komprehensif untuk
mencapai kota yang kompak/padat serta efektif dalam penggunaan lahan yang
tersedia. Berdasarkan pada penjelasan diatas upaya pendekatan untuk mencapai
kota yang kompak dapat dilakukan dengan meningkatkan pembangunan pada
beberapa aspek yang berpengaruh terhadap tata ruang dan kehidupan manusia.
Peningkatan pembangunan tersebut antara lain dapat mewujudkan konsep compact
city. Upaya-upaya untuk mencapai kota yang kompak antara lain, meliputi:
1. Peningkatan kawasan terbangun
Peningkatan kawasan terbangun bertujuan untuk memadatkan kota dengan
kawasan-kawasan terbangun, sehingga penggunaan lahan di kota atau pun di
suatu wilayah lebih efisien. Kawasan perkotaan lebih diprioritaskan untuk
dipadatkan dengan bangunan-bangunan yang mempunyai berbagai macam
fungsi dan tujuan, tetapi tetap memperhatikan aspek-aspek keserasian
lingkungan.
2. Intensifikasi aktivitas ekonomi
Intensifikasi aktifitas ekonomi ini termasuk di dalamnya adalah intensifikasi
pusat-pusat kegiatan penggerak kegiatan perekonomian. Intensifikasi aktivitas
ekonomi ini dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan masyarakat yang tinggal
memadat di sekitar kawasan perkotaan. Intensifikasai aktivitas ekonomi
bertujuan agar meminimalkan angka pergerakan masyarakat agar tidak jauh
dari pusat kota atau pergerakan yang dilakukan masih dalam lingkup kawasan
perkotaan. Intensifikasi aktivitas ekonomi juga bertujuan untuk memfasilitasi
masyarakat pada kawasan tersebut agar mudah menjangkau pusat-pusat
kegiatan ekonomi.
3. Intensifikasi kegiatan sosial dan budaya
Kegiatan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
sehari-hari. Intensifikasi masyarakat ini bertujuan agar masyarakat kota tidak
kehilangan pola kehidupan sosial yang menjadi ciri dasar dari manusia. Dalam
konteks masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri. Sebagai makhluk sosial
manusia selalu membutuhkan mausia yang lainnya. Intensifikasi budaya
bertujuan untuk menjaga dan melestarikan unsur-unsur kebudayaan
masyarakat, sehingga budaya-budaya masyarakat tetap terjaga.

4. Manipulasi ukuran, bentuk dan struktur kota


Ukuran, bentuk dan struktur kota mempunyai peran penting dalam upaya
membangun suatu kota. Ciri fisik dari suatu kota atau pun kawasan dapat
tercerminkan dari ukuran, bentuk dan struktur kota tersebut. Ketiga unsur
pembentuk fisik kota ini saling berpengaruh antar satu dengan yang lainnya.
Untuk menjamin keefektifan penggunaan lahan yang baik perlu diadakannya
suatu perubahan dengan menyesuaikan (manipulasi) unsur-unsur pembentuk
fisik kota, antara lain ukuran, bentuk dan struktur kota. Manipulasi bentuk,
ukuran serta struktur kota ini bertujuan agar dapat memberikan keefektifan
penggunaan lahan di perkotaan.
5. Sistem permukiman yang padat
Sistem permukiman yang padat dimaksudkan agar memusatkan kegiatan
masyarakat kota ataupun masyarakat di suatu kawasan tertentu. Sistem
permukiman yang padat bukan berarti permukiman yang padat, kumuh dan
tidak layak huni, seperti yang dewasa ini ditemui di kota-kota besar. Sistem
permukiman yang padat ini tetap memperhatikan aspek-aspek kenyamanan,
lingkungan serta keamanan tempat tinggal.
6. Pemusatan fungsi-fungsi perkotaan
Fungsi-fungsi kota meliputi fasilitas, fasilitas penunjang kehidupan masyarakat di
suatu kota atau pun di suatu kawasan. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain
halte, restoran, rumah sakit dan tempat ibadah. Pemusatan fasilitas-fasilitas
penunjang fungsi kota ini bertujuan agar masyarakat mudah menjangkau
fasilitas-fasilitas ini, sehingga pola pergerakan masyarakat akan berputar di
sekitar kawasan pusat kota.
Saat ini dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang
berkelanjutan, Kota Kompak (compact city ) tampaknya telah menjadi isu paling
penting dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (Suistainable
Development). Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara
bentuk kota dan keberlanjutan. Bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi
pada masa depan. Bentuk dan kepadatan kota akan terus berkembang dan
berpotensi menjadi masalah besar jika tidak diarahkan pada pembangunan yang
berkelanjutan. Kota-kota di dunia saat ini mulai mengalami keresahan akibat
pertumbuhan kota yang semakin berkembang dan membutuhkan lahan yang
semakin luas. Hal ini berkontradiksi dengan ketersediaan lahan yang semakin
berkurang baik secara kuantitas maupun kualitas. Permasalahan lahan yang
semakin menipis dan pertumbuhan kota yang semakin berkembang pesat
memerlukan suatu konsep yang dapat memadukan kedua hal tersebut serta dapat
berlanjut dari waktu ke waktu. Keberlanjutan pembangunan secara langsung
berintegrasi dengan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Diagram berikut menunjukkan
bagaimana integrasi dari nilai lingkungan, nilai ekonomi, dan nilai social
menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi manusia. Dalam aplikasi

pembangunan berkelanjutan, 3 elemen tersebut harus berjalan simultan.


Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila perkembangan aspek yang satu
lebih tinggi dari aspek yang lain.
Perhatian besar saat ini telah berfokus pada hubungan antara bentuk kota dan
keberlanjutan (sustainability). Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan
bentuk kota yang berkelanjutan, satu isu yang diperkenalkan oleh Dantzig da Saaty
adalah kota yang kompak (compact city ). Argumen-argumen yang kuat sedang
dimunculkan bahwa Kota Kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling
berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie
Williams (1996) dalam buku yang berjudul Compact city : A Sustainable Urban
Form?. Kota kompak mempunyai desain yang dapat mengefisienkan pola
pemanfaatan
lahan.
Pengefektifan
penggunaal
lahan akan dapat menghemat
penggunaan
lahan
yang
semakin
berkurang
secara
kualitas maupun kuantitas. Ciri
kota kompak menurut Dantzig
da Saaty (1978) paling tidak
dapat dilihat dari 3 aspek yaitu
bentuk ruang, karakteristik
ruang, dan fungsinya.

Keuntungan dan Kerugian Compact City


Menurut Muhammad Sani Roychansyah, 2006, meskipun ide dasar kota kompak ini
telah menjadi sebuah model terpopuler untuk mewujudkan sebuah kota
berkelanjutan dewasa ini dan berbagai upaya penerapan modelnya tengah banyak
diujicobakan, di sini perlu pula disebutkan dampak negatif yang mungkin
ditimbulkannya. Selain keuntungan yang telah banyak disinggung, penerapan
sebuah kota kompak secara alami juga mampu mengakibatkan beberapa kerugian,
seperti: bertambah mahalnya lahan di dalam kota, kekhawatiran kualitas hidup
yang berkurang dengan adanya upaya menaikkan kepadatan penduduk dalam kota,
serta kemungkinan tergusurnya penduduk yang mempunyai akses lemah, termasuk
orang berusia lanjut dan para miskin. Dengan kebijakan yang tepat dan berasas
pada keadilan bagi semua warga kota, akses merugikan tersebut tentu dapat
diminimalisasi.
Konsep compact city merupakan suatu konsep pengembangan kota yang
berkelanjutan. Compact city berupaya untuk mengefektifkan penggunaan lahan,
sehingga dapat mengatasi permasalahan kekurangan lahan dan penggunaan lahan
yang tidak efektif. Dari tabel diatas terlihat bahwa compact city tidak hanya
terfokus pada aspek fisik saja, tetapi konsep pengembangan kota secara compact
city juga memperhatikan aspek-aspek non fisik, seperti ekonomi, sosial dan

kependudukan. Pada aspek sosial konsep compact city design dapat meningkatkan
interaksi sosial, serta penurunan tingkat kesenjangan sosial. Hal ini merupakan
suatu wujud pembangunan secara intern. Pembangunan secara intern bertujuan
untuk membangun kota dari dalam bukan saja pembangunan dari luar. Aspek-aspek
yang dibangun dari dalam mencakup pembangunan masyarakat, karena
masyarakat merupakan faktor internal dari suatu kota.
Keunggulan compact city pada sektor ekonomi dapat meningkatkan pendapatan,
serta dengan adanya konsep pengembangan kota kompak ini masyarakat dapat
menjangkau fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi lebih dekat dari tempat tinggal
masyarakat tersebut. Fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi yang dekat dengan
tempat tinggal masyarakat ini akan membuat arus pergerakan masyarakat menjadi
berkurang. Konsep kota kompak ini juga akan mengurangi waktu perjalanan dan
biaya perjalanan, karena fasilitas penunjang perekonomian masyarakat didesain
untuk dekat dengan kawasan permukiman.
Munawir (2009) juga menjelaskan mengenai keunggulan kota kompak, yakni dalam
konsep compact city design terdapat suatu unsur perencanaan urban
Containment. Perencanaan urban containment yakni menyediakan suatu
konsentrasi dari penggunaan campuran secara sosial berkelanjutan (socially
sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan
mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh
karena itu promosi penggunaan Public Transport (transportasi public/masal),
kenyamanan
berlalu
lintas,
berjalan
kaki
dan
bersepeda
(Elkin
et.al.,1991,Newman,1994). Compact city design juga dapat mereduksi tingkat
polusi udara, sehingga kota yang kompak tidak hanya dapat menjamin
keberlanjutan kehidupan manusia secara ekonomi, sosial, serta kebudayaan tetapi
konsep kota kompak juga memberikan keuntungan bagi aspek lingkungan. Konsep
pengembangan kota kompak memberikan suatu solusi untuk mengatasi
permasalahan lingkungan dan transportasi, seperti mengurangi tingkat polusi udara
oleh emisi gas buangan kendaraan-kendaraan bermotor. Konsep kota kompak dapat
memberikan suatu kontribusi baru untuk bidang pembangunan kota dan
transportasi masal saat ini. Kota kompak mempunyai konsep pengembangan yang
ramah lingkungan.
Lebih lanjut Munawir (2009) menjelaskan bahwa melalui perencanaan efisiensi
penggunaan jalan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan,
dan bangunan hemat energi juga dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang
beracun. Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities
(fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi
keberlanjutan social (Houghton and Hunter, 1994). Kepadatan yang tinggi secara
tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengguna jalan terutama para
pedestrian, karena para pejalan kaki tidak perlu berjalan jauh untuk menjangkau
pusat-pusat kegiatan perekonomian tersebut.

Compact City Design


Kota kompak dapat berarti sebuah kota yang padat dengan pemusatan semua
aktivitas serta fasilitas penunjang kehidupan di kota, sehingga jarak jangkauan
untuk menuju ke pusat-pusat kegiatan tersebut relatif dekat. Pusat-pusat kegiatan
ekonomi, sosial, budaya, politik serta agama terletak dekat dengan pemukiman
masyarakat kota sehingga, masyarakat lebih muda untuk mencapainya. Hal ini
dimaksudkan agar dapat mengurangi waktu dan biaya perjalanan untuk mencapai
suatu pusat kegiatan. Kota kompak juga memadukan aspek pembangunan fisik dan
non fisik. Dalam design kota kompak terdapat beberapa aspek penunjang
kehidupan yang tercakup di dalamnya, seperti ekonomi, sosial, politik serta budaya.
Dalam design kota kompak juga terdapat aspek lingkungan dan keberlanjutan
transportasi, seperti dalam konsep pengembangannya kota kompak mendesign
pusat-pusat kegiatan yang dekat dan mudah dijangkau oleh masyarakat kota,
sehingga pusat-pusat kegiatan tersebut bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Hal ini
dapat mengurangi angka ketergantungan terhadap kendaraaan bermotor.
Penggunaan kendaraan bermotor yang semakin berkurang akan mengurangi tingkat
polusi udara yang dihasilkan oleh emisi gas buangan dari kendaraan bermotor.
Roychansyah (2006) menjelaskan bahwa ada beberapa aspek yang harus
dipersiapkan dalam mendesign suatu kota kompak. Aspekaspek ini meliputi aspek
pembangunan fisik maupun non fisik. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1. Penaikan densitas penduduk
Penarikan densitas atau kepadatan penduduk dimaksudkan agar memusatkan
pola permukiman masyarakat agar terpusat di kota. Hal ini juga merupakan
suatu ciri utama dari kota yang kompak dimana memiliki kepadatan penduduk
yang berpusat di kota. Kepadatan penduduk diupayakan agar tersebar merata di
kawasan kota sehingga tidak terjadi kesenjangan antar wilayah kota yang
berbeda kepadatan penduduknya. Hal ini juga ditujukan agar pembangunan
yang akan dilakukan nantinya dapat berjalan secara merata di seluruh wilayah
kota
2. Pengkonsentrasian kegiatan
Pengkonsentrasian kegiatan masyarakat mempunyai tujuan agar dapat
mempermudah akses bagi masyarakat untuk berkegiatan sehari-hari. Pusatpusat kegiatan ini dirancang agar dekat dengan permukiman masyarakat
sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu tempuh perjalanan masyarakat
untuk mencapai pusat-pusat kegiatan tersebut.
3. Intensifikasi transportasi umum
Intensifikasi transportasi umum merupakan ciri
compact city agar konsep ini dapat memberikan
bagi masyarakat kota yang ingin bepergian.
masyarakat kota yang semakin meningkat

khusus dari konsep design


pelayanan secara maksimal
Untuk menunjang aktivitas
diperlukan adanya suatu

penyelarasan dan penggabungan sistem transportasi sehingga dapat


memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna jasa transportasi.
Konsep kota yang kompak/padat dapat mengurangi tingkat polusi udara akibat
emisi gas buangan kendaraan bermotor karena jarak tempuh kendaraan relatif
pendek.
4. Pertimbangan skala dan akses kota
Pertimbangan skala kota disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan luas
lahan yang ada. Skala kota berkaitan dengan ukuran kota. Ukuran kota ini harus
dapat menampung jumlah masyarakat yang ada di kota tersebut dan dapat
menjamin keamanan dan kenyamanan bagi aktivitas masyarakat kota. Akses
kota merupakan hal terpenting untuk menjamin kelancaran aktivitas masyarakat
kota. Akses ini dapat berupa jalan, rel kereta api dan jalur untuk pejalan kaki
(pedestrian). Akses kota yang baik akan dapat memberikan kenyamanan bagi
masyarakat kota.
5. Kesejahteraan sosial dan ekonomi
Design kota kompak tidak
hanya memperhatikan aspek
fisik saja tetapi mencakup
aspek non fisik seperti sosial
dan ekonomi. Masyarakat
kota dapat hidup nyaman di
kota
jika
terjamin
kesejahteraan
sosial
dan
ekonominya. Kota juga harus
dapat memberikan jaminan
untuk meningkatkan faktor
sosial dan ekonomi masyarakat kota.

HUNIAN

YANG

TERJANGKAU (AFFORDABLE HOUSING)

Dalam studi McKinsey: A Blueprint for Addressing the Global Affordable Housing
Challenge 2014, dijelaskan bahwa terdapat cukup banyak backlog perumahan di
seluruh dunia untuk masyarakat menegah ke bawah, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia. Dalam studi ini, pengelompokan masyarakat
menengah ke bawah didefinisikan sebagai masyarakat yang memiliki penghasilan
kurang dari sama dengan 80% dari median penghasilan. Sedangkan definisi
terjangkau (affordable) dalam studi tersebut adalah kebutuhan untuk kepemilikan
tempat tinggal tidak menghabiskan 30% dari pendapatan rumah tangga
masyarakat.
Berdasarkan studi tersebut terdapat empat faktor untuk menurunkan biaya sebesar
20%-50% dalam pengembangan perumahan yang terjangkau (affordable housing)
untuk masyarakat menengah bawah. Faktor-faktor tersebut terkait; pembebasan

lahan, konstruksi yang efisien, sistem operasi yang optimal, dan akses pembiayaan
properti. Korelasi faktor-faktor tersebut dapat didiagramkan sebagai berikut;

Tahapan Sistematis Mengenai Pengembangan Perumahan Yang Terjangkau


Sumber: McKinsey : A Blueprint for Addressing the Global Affordable Housing Challenge, 2014.

METODOLOGI
Hunian vertical menjadi sangat penting karena perannya yang mampu
menghemat penggunaan lahan yang akan dibangun di kota. Lahan di kota
yang semula akan dibangun seluas 1.000 m2, dapat diminimalisir menjadi
600 m2 dengan menerapkan prinsip hunian vertical.
PERENCANAAN / PERANCANGAN LINGKUNGAN HUNIAN VERTIKAL
1. Lokasi dan Tapak
Pemilihan lokasi dan tapak harus dapat mendukung semua kegiatan di
lingkungan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan
lokasi adalah sebagai berikut :
a. Peraturan pemerintah daerah yang menyangkut dengan penggunaan tanah.
b. Pencapaian merupakan pertimbangan utama, yang mana berkaitan dengan
daya tempuh penghuni dari dan ke lokasi hunian berdiri.
c. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi memiliki kualitas baik dan
dapat memenuhi seluruh kebutuhan penghuni tanpa bergantung pada
kendaraan pribadi.
d. Memiliki jaringan infrastruktur yang lengkap guna meminimalkan biaya
pengadaan dan pembangunan infrastruktur di dalam hunian.

2. Pendekatan Unit Hunian Berdasarkan Pendapatan Penduduk


Contoh penggolongan penduduk menurut pendapatan, penduduk perkotaan
dengan range penghasilan 3,5 - 5,5 juta berjumlah 765.378 penduduk. Jika
diasumsikan diambil 1% nya saja maka kebutuhan unit ada sekitar 7.654 unit.

3. Pendekatan Unit Hunian Berdasar Backlog


Contoh backlog perumahan (jumlah KK dikurangi dengan jumlah hunian yang
ada),
Jumlah
KK
513.144

Jumlah
Hunian
709.158

Jumlah
Rusun9.401

Backlog hunian
Jumlah backlog

196.014
-186.613

Bila diasumsikan perhitungan pemenuhan backlog unit hunian yang diperlukan,


a. Kebutuhan rumah = 186.613 unit
b. Setiap tahun di butuhkan
c. 60 % hunian landed = 186.613 x 60 % = 111.967 unit
d. 40% hunian vertikal = 186.613 x 40% = 74.645 unit, diasumsikan komposisi
pengadaan hunian vertikal 20:40:40, maka pengadaan rumah susun mewah
bagi masyarakat berpenghasilan tinggi dengan proporsi 20% atau 5.600 unit
per tahun dipenuhi oleh para pengembang, pengadaan rusun menengah bagi
masyarakat berpenghasilan menengah dengan proporsi 40% atau 11.200
unit per tahun dipenuhi oleh para pengembang, pengadaaan rusun bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dengan proporsi 40% atau 11.200 unit

per tahun, menjadi target dengan pemenuhan oleh pemerintah (30%) =


3.360 unit/tahun dan developer/bumn/bumd (70%) = 7.840 unit/tahun.
4. Pendekatan Type dan Jumlah Unit Hunian
Pendekatan ini didasarkan pada karakteristik penghuni, misalnya penghuni
bujangan, pasangan muda (belum mempunyai anak), pasangan muda dengan
anak kecil, atau pasangan pertengahan usia dengan anak belasan tahun akan
berbeda kebutuhan ruangnya yang akan mempengaruhi luas unit rumah.
Contoh Model perhitungan dari pendekatan di atas adalah sebagai berikut;
Luas Tapak : 18.997
m2 (1,9 Ha)
Luas lahan dikurangi GSB :
18.218
m2
(1,82
ha)
KDB :
55 %
KLB :
4
GSB :
6m
(GSB site)
Luas lantai dasar : KDB x Luas Lahan =55% x 18.218 m2=
10.019
m2
Luas total bangunan = KLB x Luas lahan = 4 x 18.218 m2 + 15% = 83.802
m2
Prosentase untuk servis area, unit hunian, dan bagian milik bersama
masing masing 10%, 70%, dan 20%.
Luas bersih hunian : 70% x 83.802 m2 =
58.661
m2
Jumlah luas total per tipe unit hunian didapat dengan perhitungan :
Tipe unit = (prosentase unit optimal x luas unit hunian) : Luas per unit
-

Tipe 24 = 25 % x 58.661 m2 =

14.665,25

m2

Tipe 30 = 40 % x 58.661 m2 =

23.464

m2

Tipe 36 = 35 % x 58.661 m2 =

20.531,35

m2

ANALISA OPTIMASI
Optimalisasi adalah tindakan untuk memperoleh hasil yang terbaik dengan keadaan
yang diberikan melalui design, konstruksi, dan teknik. Optimalisasi juga dapat
didefinisikan sebagai proses untuk mendapatkan keadaan yang memberikan nilai
maksimum atau minimum dari suatu fungsi.
1. Analisa Luas Bangunan dan Kepadatan Bangunan
-

Luas lahan = 2.7 ha = 27.000 m2

KDB = 15% = 0.15

Luas Lantai Dasar = 15% x 27.000 = 4.050 m2

KLB = 1,67 (1 KDB), (1,67 = perhitungan koefisien luas bangunan)


= 1,67 (1 0,15)
= 1.67 (0,85)
= 1,42

Luas total bangunan = 1,42 x 27.000 m2 = 38.340 m2

Luas bangunan hunian = 38.340 - 4.050 = 34.290 m2


Luas sirkulasi hunian = 20% x 34.290 m2 = 6.858 m2
Luas hunian efektif = 34.290 6858 m2 = 27.432 m2
D = 6 m2 + (20% x 6/orang) = = 7,2 m2/orang
Dimana :
D= kebutuhan ruang dalam unit rusun

Jumlah Total Penghuni=

27.432m 2
7,2m 2/orang

= 3.810 orang

Bila diasumsikan : 1 KK = 5 orang, maka Jumlah KK = 3810/5 = 762 KK

Jumlah tinggi lantai bangunan ( n )=

luastotal bangunan 38.340


=
=9,46
luaslantai dasar
4.050

Kepadatan Bangunan ( jumlah blok rumah susun )=

10 lantai

Luas<. dasar yang dapat dibangun 4.050


=
=3blok
Luas <. dasar 1blok
1.350

2. Analisis Kebutuhan Hunian


Analisis kebutuhan hunian dilakukan berkesinambungan dengan analisis
perkiraan jumlah penduduk perkotaan. High rise housing adalah konsep hunian
dengan ciri intensitas ruang hunian yang tinggi dan cenderung mempunyai
footprint rendah tetapi ketinggian dimaksimalkan.
Langkah yang ditempuh untuk mengetahu kebutuhan high rise housing adalah
sebagai berikut :
-

Memperkirakan jumlah penduduk yang akan menempati hunian vertikal.


Pendekatan yang digunakan adalah dengan memprosentasikan penduduk
yang akan menempati high rise housing yang berasal dari penduduk labour
market dan tambahan penduduk natural yang mungkin ada.

Menentukan koefisien luas tiap hunian dan unit bangunan


Ditentukan terlebih dahulu luas tiap hunian vertikal kemudian dkalikan
dengan jumlah lantai. Sebelum menentukan jumlah lantai, terlebih dahulu
ditentukan berapa unit hunian pada tiap lantai.

Menentukan luas fasilitas dan sirkulasi


Ditentukan pula luas fasilitas tiap lantai maupun tiap unit bangunan.

Menentukan luas tiap unit bangunan


Luas unit bangunan diperoleh dari penjumlahan luas total hunian dan fasilitas
beserta sirkulasi pada tiap lantainya sehingga luas footprint bangunan
berdasarkan pada luas tiap lantai bangunan hunian, fasilitas, dan sirkulasinya.

Analisa footprint hunian vertikal

Berkaitan dengan permukaan tanah yang hilang dan tertutup akibat kaki
bangunan, akan mempengaruhi ekosistem pada tapak. Semakin besar tapak
yang tertutup kaki bangunan kemungkinan terganggunya ekosistem semakin
besar pula. Untuk meminimalkan kaki bangunan (smaller footprint) yang
menginjak tapak, bangunan dikembangkan secara vertikal. Dengan membangun
secara vertikal, maka tapak tetap dapat melakukan rangkaian proses ekologi
dalam batas toleransi. Pengembangan ini pula sebagai upaya untuk
mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang tentunya menuntut lahan kosong
lebih banyak. Di sisi lain ratio bangunan dan permukaan tanah yang tertutup
bangunan apabila bangunan didesain secara vertikal akan lebih kecil.
Contoh KEBUTUHAN LAHAN HUNIAN VERTIKAL

HUNIAN VERTIKAL
HIGH ENDS HOUSING
MEDIUM ENDS HOUSING
LOW ENDS HOUSING
Ket: footprint = (type*KDB)/LB

KDB

TIPE
(m2)

35%
45%
60%

120
70
36

Lantai
Bangunan
(LB)
8
4
3

FOOTPRINT
Tapak
per unit (m2)
42,9
38,9
20,0

3. Analisa Jumlah Unit Hunian Bangunan


Asumsi : unit yang dikembangkan tipe 21

a=

27.432
=1.306,29
21

1.306 unit

4. Analisa Investasi / Pembiayaan


Analisa ini mengikuti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2007
tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat
Tinggi, sebagai contoh;
a. Tanah Matang
Tanah matang = { Pt x (1+F)} + I + P
Dimana :
Tanah matang = tanah yang sudah dilengkapi infrastruktur
Pt = Biaya pengadaan tanah
F = faktor perubahan nilai tanah
I = biaya infrastruktur
P = biaya perencanaan
Asumsi :
-

Lahan = 2,7 ha = 27.000 m2

Harga Lahan = Rp. 1.000.000 per m2


Pt = 27.000 x 1.000.000 = 27 milyar

F = 0.15% = 0,015

I = 5 milyar

P = 1 milyar

Tm =
=
=
=
=

{ Pt x (1+F)} + I + P
{ 27 m x (1+0,015)} + 5 + 1
{27 x (1,015)} + 5 + 1
27, 405 + 6
33,405 milyar

Harga Tm per unit =

Tm
33.405.000 .000
=
=25.578 .101 25,5 juta/unit
jumlah unit rusun
1.306

b. Analisa Unit Rusun


Type 21
Tanah matang
= Rp 25.500.000
Bangunan = 21 x Rp 2.000.000
= Rp 42.000.000
Administrasi
= Rp 5.000.000 +
= Rp 82.500.000

Anda mungkin juga menyukai