Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan tekanan intrakranial menjadi penyebab sekunder kerusakan


setelah terjadi cedera otak traumatik atau dikenal dengan Traumatic Brain Injury
(TBI). Penanganan agresif mungkin tidak cukup untuk mengontrol peningkatan
tekanan intrakranial, maka prosedur kraniektomi dekompresi dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan.1
Kraniektomi dekompresi merupakan suatu teknik pembedahan dengan tujuan
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebri yang disebabkan
berbagai macam penyebab patologi. Beberapa penyebab tersebut di antaranya, tumor
intrakranial, trauma kepala, hematom subdural, edema serebri akibat vasospasme
sekunder dari perdarahan subarachnoid, ensefalitis, hematom intraserebral,sinus
thrombosis dural dan vena serebral, infark serebelar, dan iskemik supratentorial
serebral.2
Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial merupakan proses
patofisiologis yang terjadi pada beberapa kasus neurologis, seperti perdarahan
subarachnoid, trauma otak, infark serebral, kelainan aliran darah serebral,
penghantaran oksigen tidak adekuat, dan kegagalan energi. Tujuan utama tatalaksana
pada kasus ini adalah memutus siklus patofisiologis terjadinya edema serebri yang
menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intrakranial dan seterusnya.
Menurut penelitian retrospektif tahun 2004-2008 mengenai hasil (outcome)
pada pasien yang mendapatkan tatalaksana kraniektomi dekompresi, didapatkan
bahwa prosedur kraniektomi dekompresi menurunkan tekanan intrakranial dan
meningkatkan tekanan perfusi serebral dalam batas normal atau lebih tinggi. Selain

itu, didapatkan pula angka kelangsungan hidup yang menjanjikan 74.4% dan 41.9%
dengan klinis neurologis yang baik.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI OTAK


Otak merupakan salah satu organ terbesar dan kompleks pada tubuh
manusia.Terdiri atas lebih dari milyaran saraf yang berkomunikasi dalam trriliunan
koneksi disebut sinapsis.Berat otak mengalami perubahan sejak lahir hingga dewasa.
Saat lahir, berat rata-rata otak adalah 500 gram, dan berkembang hingga 1000 gram
selama masa kanak-kanak. Berat otak rata-rata ada wanita dewasa adalah 1350 gram
sedangkan pada pria dewasa sekitar 1500 gram.4
Otak tentunya memiliki jaringan pelindung, dimulai dari bagian luar,yaitu
kulit kepala (skin), tulang kepala, dan lapisan selaput otak.
a. Kulit kepala
Terdapat tiga lapisan kulit kepala, yaitu :
1. Kulit kepala terluar yang ditumbuhi oleh jaringan rambut.
2. Jaringan subkutaneus
3. Aponeurotik beserta otot-ototnya.
Kulit kepala memiliki peran sebagai pelindung bagi kepala, jika kepala tidak
memiliki kulit, maka kepala hanya mampu menahan pukulan 40 pound/inch 2 tetapi
jika dilindungi oleh kulit kepala, dapat menahan pukulan hingga 425-900
pound/inch2.Ketiga lapisan kulit ini merupakan satu kesatuan yang dapat bergerak
dan terpisah, sehingga terdapat suatu daerah rawan atau disebut locus minoris
resistensi di antara kulit dan tengkorak yang merupakan tempat berkumpulnya darah
atau cairan bila kepala mengalami kekerasan dan memudahkan terjadinya infeksi.

b. Tulang kepala

Tulang kepala secara garis besar dibagi menjadi dua bagian,yaitu


1. Tulang tengkorak (cranial bone)
Tulang tengkorak terdiri atas tulang-tulang, seperti :
1.1 os frontal (tulang dahi)
1.2 Os parietal (tulang ubun-ubun)
1.3 Os occipital (tulang kepala bagian belakang)
1.4 Os temporalis
1.5 Os sfenoid
1.6 Os ethmoid
2. Tulang muka/wajah (facial bone)
2.1 Os lakrimalis
2.2 Os nasalis
2.3 Os concanasalis
2.4 Os maxilaris
2.5 Os zigomatikum
2.6 Os palatum
2.7 Os mandibular
2.8 Os hyoid
c. Selaput otak (meningen)
Selaput otak terdiri atas tiga lapisan, yaitu :
1. Duramater
Duramater meliputi dua lapisan dan di antaranya terdapat rongga berisi
sistem vena, disebut dural sinuses.Dural sinuses memiliki hubungan dengan
sistem vena di otak dan kulit kepala.Duramater terletak di bawah tulang
tengkorak dan diantaranya terdapat ruangan disebut epidural. Jika terjadi
trauma kepala,pada epidural dapat terjadi perdarahan epidural yang berasal
dari arteri meningea media.
2. Arakhnoidmater
Setelah duramater (di bawah duramater) terdapat lapisan lunak, disebut
arakhnoidmater.Lapisan ini mengelilingi otak melanjutkan diri sampai ke
sumsum tulang belakang.Ruangan yang terbentuk antara duramater dan
arakhnoidmater disebut subdural space. Pada ruangan ini berjalan pembuluh
darah, yaitu bridging vein menghubungkan sistem vena otak dan
meningen.Vena ini sangat halus dan mudah trauma sehingga dapat
menyebabkan perdarahan subdural.
3. Piamater

Piamater melekat erat pada otak dan mengikuti struktur gyrus.Ruangan


yang terbentuk antara arakhnoidmater dan piamater disebut subarachnoid.
Dalam ruangan ini terdapat cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang.4
d. Otak
Otak sebagai bagian dari sistem saraf pusat terdiri dari serebrum,
serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan
medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah
lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus,
dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer
serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus.4
Otak terdiri dari beberapa bagian,yaitu :4
1. Serebrum (otak besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.
Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic.

Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari
Rolando.Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan
otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area
prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.
Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
Lobus

oksipital

temporal.Lobus

ini

berada di belakang lobus


berhubungan

dengan

parietal

rangsangan

dan lobus
visual

yang

memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang


ditangkap oleh retina mata.
2. Serebelum (Otak Kecil)
Serebelum

atau

otak

kecil

adalah

komponen

terbesar

kedua

otak.Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang


batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian
atas.Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.
Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot
dan gerakan tubuh.Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan
sebagainya.
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis.Batang otak bertugas untuk
6

mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola


makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang
sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua
sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. Batang otak
terdiri dari tiga bagian yaitu mesenfalon, pons, dan medula oblongata.
e. Vaskularisasi otak
Otak mendapat vaskularisasi dari dua pasang arteri besar, yaitu sepasang
arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebralis dan cabang-cabangnya
beranastomosis di permukaan bawah otak membentuk sirkulus Willis (Gambar 4).
Otak menggunakan 18% dari total volume darah yang beredar dalam tubuh.

2.2 EDEMA SEREBRI, HIPERTENSI INTRAKRANIAL, HERNIASI OTAK


Dalam tinjauan pustaka ini, pembahasan akanlebih difokuskan pada prosedur
kraniektomi dekompresi dan dikaitkan dengan bidang anestesi. Namun, sebelum
mengulas kraniektomi dekompresi lebih jauh, pemahaman mengenai tekanan
intracranial, edema serebri serta herniasi otak yang menjadi indikasi utama
dilakukannya prosedur ini harus dipahami terlebih dahulu.
Hukum Monroe-Kellie digunakan untuk menggambarkan tekanan intrakranial
(Gambar 1).Hukum ini menjelaskan bahwa ruang intrakranial merupakan sebuah
ruangan rigid sehingga memiliki volume tetapyang terdiri dari parenkim otak, darah
dan cairan serebrospinal.Struktur cranium yang rigid ini mengakibatkan komplians
ruang yang kecil dan tidak memungkinkan adanya sedikit penambahan pada salah
satu dari ketiga komponen.Ketiga komponen tersebut akan menghasilkan suatu
tekanan yang disebut sebagai tekanan intrakranial. Ketika terjadi suatu perubahan
misalnya ekspansi pada salah satu komponen ruang tersebut maka akan menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranialsedangkan volume ruang intrakranial bersifat tetap.5,6

Gambar 1. Doktrin/Hukum Monroe-Kellie

Cairan cerebrospinal(CSF) sebagai salah satu komponen yang mempengaruhi


tekanan intracranial jumlahnya 125-150 cc dibentuk dengan kecepatan 0,35cc
permenit oleh plexus choroidales dalam ventrikel otak beredar melewati ventrikulus
3,aquaductus cerebral,ventrikulus 4,keluar melalui foramen Luschka menyelusuri
ruangan subarachnoidal cerebral dan spinal akhirnya diabsorbsi oleh villus
arachnoidales sinus durales.
Dalam keadaan normal kecepatan pembentukan cairan serebrospinal
seimbang dengan kecepatan absorbsi. Peningkatan volume cairan serebrospinal
terjadi bila kecepatan produksi lebih besar dari kecepatan absorbsi atau terjadi
obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal sehingga akan meningkatkan tekanan
intrakranial (Gambar 2).

Gambar 2. Aliran cairan serebrospinal dalam otak

Peningkatan tekanan intracranial akan menurunkan tekanan perfusi serebral


sehingga menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan selanjutnya menimbulkan
iskemik akibat kurangnya oksigen. Sel otak akan mengalami cedera dan kematian sel,
kaskade autolysis menyebabkan peningkatan volume sel otak sedangkan membrane
sel tidak dapat menjaga gradient elektrokimiawi yang bergantung pada pemecahan
pompa ATP dependen Na/K ATPase. Air dan influx kalsium menyebabkan ekspansi
dalam volume sel, di mana sel yang mati mengakibatkan lebih besar lagi
pembengkakan sehingga terjadi edema serebri yang pada akhirnya pembengkakan
tersebut menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intracranial (Gambar 3).5,6
Tekanan intrakranial normal memiliki nilai bervariasi sesuai dengan usia,
pada orang dewasa 10-15 mmHg, 1.5-6 mmHg pada anak, dan subatmosfer pada bayi
baru lahir. Nilai tekanan 20-30 mmHg mengindikasikan adanya peningkatan ringan,

sedangkan peningkatan mencapai lebih dari 40 mmHg mengindikasikan peningkatan


tekanan berat, mengancam nyawa sehingga membutuhkan manajemen yang cepat dan
tepat.7

Gambar 3. Siklus peningkatan tekanan intrakranial

Peningkatan tekanan intracranial yang berkesinambungan dengan terjadinya


edema serebri pada akhirnya mengakibatkan herniasiotak.Herniasi otak adalah suatu
keadaan terjadinya perpindahan bagian otak melalui beberapa struktur barrier rigid
intrakranial. Terdapat beberapa tipe herniasi otak, yaitu (Gambar 4) :
a. Herniasi transtentorial (uncal)
Terjadi jika lobus temporalis bagian medial turun melalui foramen
transtentorial. Herniasi lobus ini menekan beberapa struktur, yaitu :
2.2.1 Saraf kranial ketiga ipsilateral dan arteri serebral posterior
2.2.2
Pedunkulus serebral ipsilateral
2.2.3
Pada 5% pasien, saraf kranial ketiga kontralateral dan
pedunkulus serebral
2.2.4
Batang otak bagian atas dan area sekitar thalamus.

10

b. Herniasi subfalx (cingulate)


Pada herniasi ini, gyrus cinguli terdorong melalui falx cerebri akibat
perluasan tekanan tinggi di hemisfer serebral. Dalam proses ini, satu atau
kedua arteri serebral anterior terjebak, menyebabkan infark di korteks
paramedian. Jika infark semakin meluas, maka pasien beresiko mengalami
herniasi transtentorial, herniasi sentral, atau keduanya.
c. Herniasi sentral
Kedua lobus temporal mengalami herniasi melalui lekuk tentorial
karena massa bilateral atau edema otak difus. Kemudian terjadi kematian
otak.
d. Herniasi tentorial ke atas (upward)
Jenis ini dapat terjadi jika massa infratentorial (misalnya, tumor,
perdarahan serebelum) menekan batang otak, menjepitnya dan menyebabkan
iskemik pada batang otak. Ventrikel posterior ketiga menjadi tertekan.Herniasi
ke atas juga mengganggu sirkulasi mensefalon, menekan vena Galen dan
Rosenthal, dan menyebabkan infark serebelum superior akibat oklusi arteri
serebelum superior.

11

Gambar 4. Jenis herniasi otak

e. Herniasi tonsillar

12

Penyebab paling banyak herniasi tonsillar adalah perluasan massa


infratentorial (misalnya, perdarahan serebelum). Tonsil serebelum, memaksa
melalui foramen magnum, menekan batang otak dan obstruksi aliran cairan
serebrospinal.

Mekanisme atau proses terjadinya herniasi otak berdasarkan jenisnya


dan akibat yang ditimbulkan jika terjadi herniasi, dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Efek Herniasi Otak
Jenis Herniasi

Mekanisme

Temuan Klinis

Transtentorial Kompresi saraf kranial

Pupil terfiksasi dan

ketiga ipsilateral
Kompresi arteri serebral

dilatasi unilateral
Hemianopia homonym
konralateral
Hilangnya respon
mengedip
Dilatasi pupil

Kompresi saraf kranial

kontralateral dan parese

ketiga kontralateral dan

okulomotor
Hemiparesis ipsilateral
Hemiparesis

pedunkulus serebral
(membentuk Kernohan
notch)
Kompresi pedunkulus

kontralateral
Gangguan kesadaran

serebral ipsilateral
Kompresi batang otak

Abnormalpola

bagian atas dan wilayah

pernafasan

sekitar thalamus
Subfalx
(cingulate)

Terjebaknya
kedua

satu

arteri
13

atau Paralisis tungkai

serebral

anterior,

menyebabkan

infark korteks paramedian


Perluasan area infark

Edema
Peningkatan

tekanan

intracranial
Peningkatan resiko
herniasi trantentorial,
sentral atau keduanya
Sentral

Bilateral,

kerusakan Pupil terfiksasi di posisi

simetris di bagian tengah


otak

tengah
Posturing
Temuan
klinis

yang

serupa dengan herniasi


transtentorial
Hilangnya semua reflex
batang otak
Penekanan lebih jauh pada
batang otak

Gangguan respirasi
Kematian otak

Upward

Kompresi

ventrikel idrosefalus;

transtentorial

posterior ketiga
Distorsi

meningkatkan
sirkulasi

mesenfalon
Kompresi vena Galen dan

tekanan

intrakranial
Nausea, muntah,

nyeri

kepala oksipital, ataksia

Rosenthal
Infark serebelum superior Somnolen,

gangguan

pernafasan,

hilangnya

akibat

oklusi

serebelum superior

arteri

reflek batang otak


Ataksia

Massa fossa posterior


Progresi
Tonsillar

Kompresi batang otak

14

Hidrosefalus akut
Diskonjugasi pergerakan

Obstruksi

aliran

serebrospinal

cairan

mata
Gangguan pernafasan dan
henti jantung

2.3 MANAJEMEN PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL


Edema serebral dan peningkatan tekanan (hipertensi) intrakranial merupakan
proses patofisiologis yang terjadi pada beberapa kasus neurologis, seperti perdarahan
subarachnoid, trauma otak, infark serebral, kelainan aliran darah serebral,
penghantaran oksigen tidak adekuat, dan kegagalan energi. Gangguan perfusi ke otak
yang disebabkan oleh presipitat tekanan mengakibatkan terjadinya kerusakan bahkan
kematian sel otak.
Tujuan utama tatalaksana pada kasus ini adalah memutus siklus patofisiologis
terjadinya edema serebri yang menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial dan seterusnya.Tatalaksana ini dilakukan dengan cara mengontrol
pembengkakan otak dan menjaga tekanan intrakranial di bawah target. Kegagalan
memutus siklus ini, menghasilkan outcome yang buruk pada pasien.5
Upaya menurunkan tekanan intrakranial dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu kategori pertama dengan prinsip mengurangi volume.Kategori ini menggunakan
hukum Monroe-Kellie.Kategori kedua menjelaskan pengangkatan mekanis yang
mendesak.Salah satu tatalaksana menurut kategori dua ini adalah kraniektomi
dekompresi.6Sedangkan menurut pedoman AANS, manajemen peningkatan tekanan
intrakranial dibagi menjadi 2 Tiers.

15

Beberapa intervensi dilakukan pada kasus hipertensi intrakranial, termasuk


elevasi kepala 150-300, mengontrol kejang, ventilasi untuk mendapatkan PaCO2 35
mmHg, menjaga suhu tubuh,melepaskan semua obstruksi yang mungkin terjadi pada
aliran vena jugular, resusitasi cairan dengan benar, dan seluruh homeostasis fisiologis,
serta pemberian sedasi serta relaksan otot jika dibutuhkan.
Jika intervensi tersebut gagal menurunkan tekanan intrakranial, terapi
tambahan diperlukan yang kemudian digolongkan menjadi terapi first-tier dan
second-tier.5,8

Terapi first-tier adalah sebagai berikut :


a. Drainase cairan serebrospinal
Kateter secara umum dimasukkan ke arah anterior ventrikel lateral dan
disambungkan dengan transduser eksternal. Hal ini bisa memonitor
tekanan intracranial bersamaan dengan drainase cairan serebrospinal.
Secara umum, saat beberapa milliliter cairan didrainase dari ventrikel akan
menghasilkan penurunan tekanan intracranial.
Bila drainase intraventrikular tidak memungkinkan, drainase melalui
vertebra lumbal bisa dilakukan untuk mengurangi naiknya tekanan
intracranial. Satu hal harus diperhatikan yaitu adanya kewaspadaan
terjadinya herniasi tonsilar atau transtentorial.
Drainase cairan serebrospinal digunakan pada peningkatan tekanan
intracranial yang bisa berakibat buruk pada pasien cedera kepala.
Bagaimanapun juga, masih terbatas informasi tentang meningkatnya
kualitas outcome dari bukti bukti empiris yang terkait efek langsung.
Masih banyak kontroversi tentang drainase intraventrikular seputar
gangguan prosedurnya dan komplikasi dari infeksi.
Pada banyak panduan tidak tersebutkan indikasi kapan penggunaan
drainase cairan serebrospinal. Bagaimanapun juga, bila akan digunakan ,

16

antibiotic profilaksis dan pergantian kateter rutin tidak direkomendasikan


untuk mengurangi infeksi nosokomial.
b. Diuresis menggunakan manitol, 0.25-1.25 mg/kg selama 10 menit.
Manitol menurunkan tekanan intrakranialdengan cara mengurangi edema
otak dan meningkatkan aliran darah ke otak. Osmolalitas serum diperiksa
tiap 6 jam. Waktu paruh mannitol adalah 0,16 jam. Efikasi terlihat dalam
15-30 menit, dan durasi efek adalah 90 menit hingga 6 jam.
Mekanisme mannitol memberikan efek yang menguntungkan dalam terapi
ini masih kontroversial, tetapi mungkin meliputi kombinasi berikut :
1. Menurunkan tekanan intrakranial :
a. Ekspansi plasma segera : menurunkan hematokrit dan viskositas darah
dimana akan meningkatkan aliran darah otak dan O2 delivery. Ini akan
menurunkan tekanan intrakranial dalam beberapa menit.
b. Efek osmotik : meningkatkan tonisitas serum menggambarkan edema
cairan dari parenkim otak.
2.
Mendukung mikrosirkulasi dengan memperbaiki reologi darah.
Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemakaian
mannitol yaitu sebagai berikut :
i.
Mannitol membuka sawar darah otak, dan mannitol yang melintasi
sawar darah otak ke sistem saraf pusat dapat memperburuk edema otak.
Jadi penggunaan mannitol harus diturunkan perlahan (tapering) untuk
mencegah rebound tekanan intrakranial.
ii. Pemberian bolus yang berlebihan dapat menyebabkan hipertensi dan
jika autoregulasi terganggu maka akan meningkatkan aliran darah otak
dimana dapat mencetuskan herniasi daripada mencegahnya.
iii. Mannitol dosis tinggi beresiko untuk terjadinya gagal ginjal akut
khususnya pada osmolaritas serum > 320 mOsm/L, penggunaan obatobatan nefrotoksik lainnya, sepsis, adanya penyakit ginjal sebelumnya.
c. Hiperventilasi sedang mencapai PaCO2 35-40 mmHg juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial melalui berkurangnya aliran darah ke
otak.

17

Sedangkan untuk terapi second-tier dijelaskan seperti di bawah ini :8


a. Hiperventilasi agresif mencapai PaCO2< 30mmHg dibutuhkan untuk
peningkatan

tekanan

intrakranial

refrakter

pada

terapi

first-tier.

Hiperventilasi akan menyebabkan alkalosis respiratorik akut, dan


perubahan

pH

sekitar

pembuluh

darah

ini

akan

menyebabkan

vasokonstriksi dan tentunya akan mengurangi aliran darah otak sehingga


akan menurunkan tekanan intrakranial. Efek hiperventilasi akan terjadi
sangat cepat dalam beberapa menit. Tindakan hiperventilasi merupakan
tindakan yang efektif dalam menangani krisis peningkatan TIK namun
akan menyebabkan iskemik serebral. Sehingga hal ini hanya dilakukan
dalam keadaan emergensi saja. Hiperventilasi dilakukan dalam jangka
pendek hingga mencapai PaCO2 25-30 mmHg. Penurunan PaCO2 1
mmHg akan menurunkan aliran darah otak 3%. Efek hiperventilasi dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan resiko iskemik jaringan sehingga
tindakan ini hanya dilakukan untuk waktu yang singkat.

Indikasi hiperventilasi
1. Untuk periode singkat (beberapa menit) pada waktu berikut :
Sebelum insersi monitor tekanan intrakranial : jika ada tanda klinis
hipertensi intrakranial.
Setelah insersi monitor : jika ada peningkatan tekanan intrakranial
tiba-tiba dan/atau akut kemunduran neurologis.
2. Untuk periode yang lebih panjang jika hipertensi intrakranial tidak
responsif terhadap sedasi, paralitik, drainase cairan serebrospinal dan
diuretik osmotik.
Hindari ventilasi bila :
1. Jangan digunakan untuk profilaksis
2. Hindari hiperventilasi yang panjang
18

Jika hiperventilasi diperpanjang pada PaCO2=25-30 mmHg dianggap


perlu, pertimbangkan untuk monitor SjvO2, AVdO2, atau CBF untuk
menghindari iskemik serebri
3. Hipertensi intrakranial yang tidak responsif dengan terapi lain,
lakukan hiperventilasi jika PaCO2 =30-35 mmHg
4. Jangan pernah turunkan PaCO2 < 25 mmHg
b. Terapi barbiturate dosis tinggi menurunkan tekanan intrakranial dengan
cara menurunkan aliran darah ke otak yang parallel dengan metabolism
otak. Pasien diberikan pentobarbital loading dose 10 mg/kg selama 30
menit dilanjutkan dengan bolus 5 mg/kg/jam selama 3 jam dan kemudian
infus

1-3

mg/kg/jam.

Infus

dititrasi

hingga

elektroensefalogram. Pemberian obat yang

mencapai

supresi

meningkatkan resistensi

pembuluh darah serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan


intrakranial. Pentotal dan pentobarbital adalah obat yang paling banyak
digunakan untuk tujuan ini. Barbiturat menurunkan CMR dan aliran darah
otak. Masalah utama dengan barbiturat adalah adanya penurunan tekanan
arteri rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan
tekanan perfusi otak. Pada dosis tinggi (10-55 mg/kg) pentotal dapat
menimbulkan EEG isoelektrik dan menurunkan CMR sampai 50%.
Metabolik efek pentotal yang langsung adalah menyebabkan kontriksi
pembuluh darah serebral, yang menurunkan aliran darah otak dan karena
itu menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.
Pentobarbital digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara
terapi lain gagal. Pasien memerlukan ventilasi mekanis, hidrasi,
pemantauan tekanan intrakranial, pemantauan tekanan arteri invasif dan
mungkin vasopresor. EEG digunakan untuk memantau pola burst supresi
sebagai bukti penekanan adekuat dari aktivitas serebral. Sasaran dari

19

barbiturat koma adalah pengendalian tekanan intrakranial jangka panjang


sampai faktor yang memperburuk tekanan intrakranial dapat dihilangkan.
Barbiturat mungkin juga memberikan proteksi otak dengan menurunkan
metabolisme otak. Beberapa dari perkiraan mekanisme yang mana
barbiturat menurunkan metabolisme otak termasuk penurunan Ca influks,
blokade terowongan Na, menghambat pembentukan radikal bebas,
memberbesar aktivitas GABA,

dan menghambat transfer glukosa

menembus barier darah-otak. Semua dari mekanisme ini konsisten dengan


laporan Goodman dkk bahwa pentobarbital koma mengurangi laktat,
glutamat dan aspartat pada ruangan ekstraseluler pada pasien cedera
kepala dengan peningkatan tekanan intrakranial yang hebat. Pada
penelitian invitro menyokong bahwa tiopental juga memperlambat
hilangnya perbedaan elektrik transmembran yang disebabkan karena
aplikasi NMDA dan AMPA. Sayangnya, hanya trial klinis yang
memberikan bukti dari proteksi barbiturat.
Kebanyakan penderita trauma otak yang berat sudah dalam keadaan
hiperventilasi dan optimal hipokarbia dan tambahan hiperventilasi pasif tidak akan
menurunkan tekanan intrakranial lebih lanjut malah menurunkan oksigenasi serebral.
Begitupun banyak pengarang menganjurkan kombinasi moderate hiperventilasi
dengan PaCO2 (25-30mmHg) dan dexamethasone banyak membantu mengembalikan
autoregulasi otak dan menurunkan tekanan intrakranial tetapi bukan untuk trauma
serebral karena steroid menaikkan gula darah yang akhirnya menyebabkan asidosis
laktat.
Semua intervensi tersebut rata-rata efektif termasuk penggunaan diuretic
osmotic (seperti manitol atau hipertonik salin), dan drainase cairan serebrospinal
melalui ventrikulostomi.Namun, berdasarkan bukti klinis, terapi intervensi ini tidak

20

selalu efektif pada setiap pasien, karena pada beberapa kasus berat, diperlukan
metode yang lebih agresif .
Selain itu, beberapa intervensi yang disebutkan di atas memiliki efek samping
signifikan. Contohnya, pemberian manitol menimbulkan efek kongesti pulmoner,
gagal jantung, konvulsi, rebound hipertensi intrakranial, peningkatan paradox tekanan
intrakranial

seperti

gangguan

cairan

dan

elektrolit;

barbiturat

dilaporkan

menyebabkan hipotensi dan menurunkan fungsi jantung sedangkan peningkatan


kembali tekanan intrakranial diketahui terjadi pada hiperventilasi. Oleh sebab itu,
pada beberapa kasus diperlukan terapi invasive, yaitu kraniektomi dekompresi.5,8

2.4 KRANIEKTOMI DEKOMPRESI


2.4.1 Definisi
Konsep bedah dekompresi sebagai pengurangan tekanan intrakranial
merupakan konsep bedah saraf lama. Konsep kraniektomi dekompresi modern
adalah pengangkatan bagian tulang tengkorak (kranium) untuk meningkatkan
volume potensial ruang cranium . Prosedur dekompresi ini, melibatkan adanya
flap tulang, duraplasti, drainase cairan serebrospinal dan pengangkatan lesi
massa intrakranial jika ada. Pengangkatan tulang tengkorak ini dapat
digunakan sebagai langkah yang drastis atau radikal untuk managemen
peningkatan tekanan intrakranial yang tidak responsive terhadap terapi lainnya.
Banyak

dipercaya

bahwa

kraniektomi

dekompresi

ini

malah

dapat

meningkatkan kerusakan yang disebabkan secondary injury seperti kenaikan


tekanan intrakranial dan penurunan oksigenasi ke otak.
Terdapat dua tipe kraniektomi dekompresi yaitu dekompresi primer
profilaksis dan dekompresi sekunder terapeutik. Prosedur pertama digunakan
sebagai langkah pencegahan meningkatnya tekanan intrakranial dan prosedur
kedua digunakan untuk mengontrol tekanan intrakranial yang tinggi, baik dari

21

yang refrakter sampai dengan terapi medikasi yang sudah maksimal.


Kraniektomi dekompresi terapeutik hanya dilakukan setelah dilakukan langkah
langkah terapeutik lainnya gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Kraniektomi dekompresi mengurangi tekanan intrakranial dan meningkatkan
aliran darah; hal ini ditunjukkan dengan adanya semakin besar kraniektomi
maka penurunan tekanan intrakranial juga semakin besar.5,9
Mekanisme kraniektomi dekompresi dapat mengurangi tekanan
intrakranial yang meningkat adalah :5
1. Kraniektomi dekompresi dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan
cepat dan bersifat permanen.
2. Prosedur ini menambahkan vector ekpansi hemisfer serebral yang kemudian
mengurangi herniasi otak.
3. Memudahkan eksplorasi ruang subdural.
4. Selain itu, prosedur ini memberikan hasil penurunan yang lebih cepat
dibanding terapi lain, yaitu hipotermia, barbiturate, diuretic osmotic,
ventrikulostomi, hiperventilasi kontinu, dan hipertonis salin, untuk
menghindari potensi komplikasi

2.4.2 Sejarah
Kraniektomi dekompresi pertama kali dikerjakan oleh Kocher pada
tahun 1901. Kocher menyebutkan bahwa : Jika tidak ada tekanan dari cairan
serebrospinal, tetapi terdapat tekanan dari otak, penurunan tekanan harus
dicapai dengan membuka cranium.7
Kocher melakukan bedah dekompresi pada pasien post trauma/cedera
pembengkakan otak.Bedah dekompresi sering dilakukan pada situasi
kegawatan, misalnya trauma otak, pseudotumor cerebri, ensefalitis, dan infark
hemisfer. Awalnya teknik bedah dekompresi ini banyak ditinggalkan
mengingat angka komplikasi pasca operasi yang tinggi, tetapi sekarang sangat
22

sering dan secara luas banyak digunakan. Indikasi kraniektomi dekompresi


sendiri masih sulit untuk didefinisikan pada situasi kegawatan, selain itu
tekniknya juga menyisakan kontroversi pada beberapa literatur.10,11,12
Konsep modern mengenai dekompresi dipaparkan oleh Harvey
Cushing tahun 1905. Ia melakukan kraniektomi dekompresi subtemporal pada
peningkatan tekanan intrakranial dalam kasus neoplasia dan kemudian
prosedur ini dilakukan pula pada trauma kepala. Menurutnya, kraniektomi
dekompresi mengarah kepada pengangkatan tulang tengkorak, dengan tujuan
mengubah kompartemen intrakranial yang tertutup menjadi terbuka.5,7
Walaupun prosedur bedah ini digunakan untuk trauma atau kondisi
lain yang ditandai dengan peningkatan tekanan intrakranial, bedah dekompresi
tidak secara rutin dilakukan hingga pada tahun 1990-an. Hal ini mungkin
disebabkan hasil buruk pada pasien yang tidak dirawat di ruang perawatan
intensif (ICU), sehingga prosedur ini banyak ditinggalkan. Guerra et.al
menjelaskan hasil dari kraniektomi dekompresi pada edema serebri akibat
trauma dan menghasilkan hasil operasi yang baik, prosedur bedah ini terapi
yang sesuai pada kasus tekanan intrakranial refrakter.13
Prosedur ini memang masih menjadi kontroversi, beberapa penelitian
mendokumentasikan efek manfaat. Keuntungan kraniektomi dekompresi lebih
konservatif untuk mengontrol tekanan intrakranial karena dapat menurunkan
tekanan secara cepat dan permanen, memelihara status neurologis dan
kemampuan untuk mendapatkan pemeriksaan neurologis setelah prosedur ini
dilakukan.7
2.4.3 Epidemiologi
Menurut perkiraan, kejadian neurotrauma dengan morbiditas serta
mortalitasnya akan semakin meningkat di tahun 2020 dan dapat terjadi pada
semua usia. Peningkatan tekanan intrakranial menjadi penyebab kematian dan
kecacatan paling banyak pada trauma otak.
23

Tahun 2013 telah dilakukan survey terhadap ahli bedah saraf mengenai
prosedur kraniektomi dekompresi pada trauma otak. Hasilnya adalah ketika
dihadapkan dengan situasi klinis yang membutuhkan kraniektomi dekompresi,
terdapat 19 ahli (57,6%) memilih hemikraniektomi, 5 (15,2%) ahli memilih
kraniektomi fokal, dan 4 (12,1%) ahli memilih kraniektomi dekompresi
bilateral.
Pada tahun 2002 hingga 2010 juga dilakukan sebuah penelitian
mengenai kraniektomi dekompresi atau DECRA di negara Australia, Selandia
Baru, dan Arab Saudi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah usia 15-59 tahun,
cedera kepala traumatic non penetrasi, GCS 3-8, dan Marshall class III
(cedera difus sedang pada CT scan). Sedangkan kriteria eksklusinya adalah
pupil dilatasi non reaktif, lesi massa, trauma spinal, dan henti jantung.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan selama 8 tahun, didapatkan
bahwa pada orang dewasa yang mengalami cedera kepala traumatic difus dan
hipertensi

intracranial

refrakter,

kraniektomi

dekompresi

bifrontot

emporoparietal menurunkan tekanan intracranial dan memperpendek lama


tinggal di ICU tetapi berkaitan dengan hasil yang tidak cukup baik.
Cooper et al tahun 2011 menyatakan bahwa pasien pasien dengan
severe diffuse traumatic brain injury dan peningkatan tekanan intracranial
yang refrakter dengan first tier therapies, prosedur dekompresi kraniektomi
ini akan menurunkan tekanan intracranial dan durasi penggunaan ventilasi
mekanik dan lama perawatan di ICU. Tetapi prosedur inipun juga
berhubungan dengan outcome yang buruk bermakna signifikan di bulan ke
enam, bila diukur dengan skor Extended Glasgow Outcome Scale. Outcome
yang buruk ini diduga oleh karena beberapa penyebab. Penjelasan yang masuk
akal adalah bahwa dengan dekompresi kraniektomi akan menyebabkan otak
yang edema akan terdesak keluar dari tulang kepala dan akan menyebabkan
peregangan dari axon, dimana secara in vitro akan menyebabkan cedera saraf.

24

Penjelasan lain mengatakan bahwa outcome yang buruk ini berhubungan


dengan prosedur operasi dimana diduga pendekatan bilateral lebih banyak
menyebabkan komplikasi dibandingkan unilateral.23
Ruf B et al tahun 2003 melaporkan prosedur dekompresi kraniektomi
setelah traumatic brain injury pada enam pasien pediatrik. Tekanan
intracranial semua pasien menjadi normal segera setelah dilakukan prosedur.
Ketiga anak tanpa disabilitas, dua anak dengan hemiparesis ringan di lengan
dan penurunan verbal, satu anak dengan hemiparesis spastic dan penurunan
verbal. Hemiparesis spastik ini membaik dalam kurun waktu 6 bulan
setelahnya, tidak ada defisit motorik meningkatnya tonus otot.24
Sedangkan di Indonesia juga didapatkan data mengenai prosedur
kraniektomi dekompresi. Selama satu tahun 2008-2009 dilakukan 28 prosedur
kraniektomi dekompresi di RSCM, 26 diantaranya karena cedera kepala,
sebanyak 20 kasus yang memenuhi kriteria untuk dilakukan penelitian
dikumpulkan data-datanya dan diikuti perkembangannya ketika pulang, satu
bulan dan tiga bulan pasca pulang. Dari 20 kasus tersebut 65% (13) pasien
berjenis kelamin laki-laki, 35% (7) perempuan. Usia termuda 17 tahun dan
tertua 70 tahun. Diagnosa patologis terbanyak adalah subdural hematom akut
dan kontusio serebri.GCS preoperasi berkisar antara 5 hingga 11 dengan
mayoritas 8. Luas kraniektomi terkecil 42 CM2 dan terlebar 360 CM2 dengan
rerata 136 cm 2 . Timing operasi tercepat adalah 1 jam pasca trauma dan
terlama 48 jam dengan rerata 23 jam pasca trauma. Sebanyak 5 pasien
mengalami pneumonia dalam perawatan. Outcome pasien diukur dengan
Skala Glasgow Outcome Scale (GOS) pada saat pulang rawat, satu bulan dan
tiga bulan setelah pulang. Mayoritas GOS pulang adalah 3, GOS 1 bulan 4,
GOS 3 bulan 5. Lama rawat tersingkat 6 hari, terlama 38 hari dengan rerata
18 hari.

25

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kraniektomi dekompresi


dengan teknik apapun dilakukan pada kasus trauma otak untuk mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial.14
2.4.4

Indikasi
Tidak ada literature spesifik yang melaporkan indikasi atau waktu

yang tepat dilakukannya prosedur kraniektomi dekompresi. Dari beberapa


literature didapatkan data bahwa, kraniektomi dekompresi paling sering
dilakukan pada pasien trauma otak (traumatic brain injury), dan

infark

serebral berkaitan dengan hipertensi intracranial intractable. Indikasi lain yang


sering dijelaskan dalam laporan kasus tunggal atau seri kasus kecil adalah
meningitis, empyema subdural, ensefalitis, ensefalomielitis diseminata akut,
sensefalopati pada sindrom Reye, toksoplasmosis, dan thrombosis vena sentral
serta sinus dural.5
Bagaimanapun juga debat terkait bila dan kapan dilaksanakan
prosedur ini masih terus berlangsung. Menurut Munch (2000), faktor faktor
seperti usia dan skor GCS awal merupakan faktor prognostik yang potensial.
Sudah tentu, semua prosedur operasi berkaitan dengan risiko yang melekat.
Bila dekompresi sudah diputuskan, reseksi fragmen tulang yang lebih besar,
secara umum direkomendasikan untuk membuat ekspansi dura yang lebih luas
dengan risiko herniasi yang lebih kecil (Csokay 2001, Compagnone 2005,
Skoglund 2006).
Beberapa ahli bedah saraf lainnya melakukan kraniektomi dekompresi
dengan alasan tertentu. Misalnya, Reddy et.al melakukan prosedur ini dengan
adalasan adanya efek massa dengan midline shift pada pencitraan neuro dan
gangguan kesadaran menurut Glasgow Coma Scale 12. Albanese et.al
melakukan prosedur ini lebih awal (dalam 24 jam) pada pasien trauma kepala,
jika pasien memiliki GCS < 6 dan menunjukkan tanda klinis adanya herniasi
serebral. Mereka juga menggunakan prosedur ini dengan indikasi dekompresi

26

terlambat (> 24 jam), di mana terjadi hipertensi intrakranial, yaitu di atas 35


mmHg, tidak adanya refleks pupil dan abnormalitas CT scan.5,12
Berdasarkan sumber lain disebutkan beberapa indikasi dilakukannya
kraniektomi dekompresi, yaitu :7
1. Usia < 50 tahun
2. Pembengkakan otak dilihat pada CT scan, unilateral atau bilateral
dengan adanya kemunduran secara klinis
3. Bukan suatu trauma otak primer fatal dengan tanda batang otak
ireversibel atau herniasi dengan tanda pons neurologis.
4. Hipertensi intrakranial refrakter (> 30 mmHg)
5. Hipertensi intrakranial dengan deteriorasi status klinis (skor GCS 4
atau lebih tinggi, decerebrate posturing, midriasis), dan peningkatan
indeks denyutan dengan penurunan aliran diastolic pada Ultrasonografi
Doppler transkranial (TCD).
6. Intervensi bedah sebelum kerusakan batang otak ireversibel atau
kerusakan otak iskemik generalisata pemantauan tekanan intrakranial,
dan gelombang B, AEPs (auditory evoked potential) dan SEPs.
Asosiasi

bedah

saraf

Amerika

(AANS)

merekomendasikan

kraniektomi dekompresi untuk pasien trauma otak (traumatic brain injury)


dan hipertensi intrakranial refrakter jika didapatkan beberapa atau semua
kriteria berikut :7

2.4.5

1.
2.
3.

Pembengkakan serebral difus pada pencitraan CT.


Dalam waktu 48 jam trauma.
Tidak ada episode hipertensi intrakranial menetap >40 mmHg sebelum

4.
5.
6.

operasi.
GCS > 3
Deteriorasi klinis sekunder
Adanya sindrom herniasi serebral.
Teknik Pembedahan
Terdapat berbagai variasi teknik yang digunakan dalam prosedur

bedah

kraniektomi

dekompresi.

Faktor-faktor

yang

sebaiknya

dipertimbangkan dalam prosedur ini, di antaranya adalah keterlibatan

27

hemisfer (unilateral atau bilateral), lokasi gangguan (frontal, temporal,


parietal, atau oksipital), ukuran, dan pembukaan dura (dura dibiarkan intak,
atau terbuka, atau dural graft patch).9
Dalam menentukan hemisfer yang terlibat, salah satu penentu
fundamentalnya adalah ada tidaknya pergeseran garis tengah atau midline
shift. Pada pasien trauma otak, edema otak difus, dan tidak ada midline shift,
maka dapat dilakukan kraniektomi bilateral. Sedangkan pada pasien trauma
otak, pembengkakan hemisfer unilateral, dan terdapat midline shift, maka
dilakukan kraniektomi unilateral. Teknik ini juga sesuai digunakan untuk
kasus pembengkakan akibat stroke iskemik dan SAH.9

Gambar 9. CT scan menggambarkan kraniektomi dekompresi bifrontal (A) dan unilateral (B). PET
Scan menunjukkan aliran darah ke otak pada dekompresi frontal setelah kraniektomi bifrontal (C).9

Banyak pendekatan kraniektomi yang dilakukan menurut lokasi seperti


yang telah disebutkan sebelumnya. Dekompresi subtemporal merupakan
dekompresi tulang unilateral atau bilateral yang dirancang untuk mengambil
tekanan pada bagian lobus temporal untuk mencegah herniasi uncal, dan telah
digunakan pada kondisi seperti pseudotumor serebri. Dekompresi serebellum

28

untuk lesi massa merupakan respon bedah saraf standar terhadap berbagai
proses yang terjadi di bagian fossa posterior (perdarahan, tumor, infeksi, atau
stroke) yang mengancam herniasi tonsilar serebelum, dan tidak kontroversial.
Kraniektomi dekompresi hemisfer secara luas digunakan pada kasus
trauma. Kraniektomi dekompresi bifrontal (Gambar 6) merupakan pendekatan
agresif yang dijelaskan oleh Kjellberg dan Prieto sebelum era modern
pencitraan menggunakan CT. Pendekatan ini terutama bermanfaat pada
pediatric yang mengalami trauma difus tanpa lesi massa dan dengan
peningkatan tekanan intrakranial yang relatif sering terjadi. Kraniektomi
bifrontal dilakukan dengan pasien dalam posisi supinasi, posisi Trendelenberg
berkebalikan derajat sedang, insisi kulit bikoronal dan otot temporal
merefleksi secara inferior.7

Gambar 6. Kraniektomi dekompresi bifrontal.9

Dekompresi bitemporal untuk memberikan pengurangan kompresi


pada batang otak secara bilateral.Pada hemikraniektomi bilateral, hanya
sekeliling tulang yang disisakan di bagian atas sinus sagittal superior untuk
menghindari ligase falx dan sinus. Setelah dura terbuka, dan mulai dari bagian
basis temporal, dura diperluas dengan fasia temporal dalam cara sambungan,
diikuti penutupan water-tight dura dan graft fasia. Flap tulang disimpan dalam
kondisi steril suhu -800C dan diimplantasi kembali setelah 6 minggu hingga 3
bulan. Semakin besar flap tulang yang diangkat, semakin besar penurunan
tekanan intrakranial.7

29

Besarnya ukuran kraniektomi juga penting untuk dipertimbangkan.


Ukuran kraniektomi secara langsung berhubungan dengan derajat ekspansi.
Aschoff et.al telah menjelaskan bahwa peningkatan volume potensial
ditentukan oleh ukuran kraniektomi. Minimal dengan ukuran 10 cm, dapat
meningkatkan volume cranium hingga 50 ml. Ukuran kraniektomi yang
direkomendasikan setidaknya 12 cm. Kraniektomi kecil berhubungan dengan
infark lebih jauh dan perdarahan di bagian batas kraniektomi. Angka kematian
juga dilaporkan meningkat pada diameter kraniektomi kecil. Hal ini akibat
kongesti vena yang terjadi pada jaringan otak yang mengalami herniasi. Hal
ini sering terjadi pada kraniektomi yang berukuran lebih kecil dari 8 cm.5,6,9
Dahulu, kraniektomi dilakukan tanpa membuka dura, tetapi saat ini
kraniektomi dilakukan dengan membuka dura untuk mencapai dekompresi.
Secara normal, kraniektomi dekompresi memang dilakukan dengan membuka
dura, dan hal ini dipercaya memaksimalkan ekspansi otak setelah
pengangkatan bagian tengkorak ini.

Gambar 7. Awal pembukaan dura (A). Duraplasti perikranium (B dan C)15

30

Namun, membuka dura tanpa pelindung untuk jaringan otak dasar


dapat meningkatkan resiko komplikasi bedah sekunder, seperti herniasi otak
melalui defek kraniektomi, epilepsi, infeksi intrakranial, dan kebocoran cairan
serebrospinal melalui insisi scalp atau lesi intrakranial kontralateral. Oleh
sebab itu, kraniektomi dekompresi dikombinasikan dengan duraplasti
augmentasi yang banyak direkomendasikan para ahli (Gambar 8). Kraniektomi
dekompresi saja tanpa durotomi mengurangi tekanan intrakranial hingga 15%.
Sedangkan jika dikombinasikan dengan duraplasti mengurangi tekanan
intrakranial tambahan 55%.6,9
Yang et al. menemukan bahwa pasien yang mengalami kraniektomi
dekompresi dikombinasi dengan duraplasti augmentasi memiliki hasil operasi
yang lebih baik dan insiden komplikasi bedah sekunder (misalnya,hidrosefalus,
efusi subdural, dan epilepsi) yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien
yang hanya mengalami operasi dekompresi, meninggalkan dura terbuka.
Beberapa

penelitian

prospektif

menyetujui

bahwa

prosedur

kraniektomi dekompresi dengan duraplasti augmentasi simultan juga dapat


mengontrol hipertensi intrakranial refrakter dan berperan penting pada pasien
trauma otak berat. Selain itu, beberapa index patologis meningkat setelah
kombinasi prosedur kraniektomi dekompresi dengan duraplasti augmentasi,
seperti perfusi darah dan suplai oksigen ke otak. Hasil ini menunjukkan bahwa
kraniektomi dekompresi besar dikombinasikan dengan duraplasti augmentasi
memiliki efek dekompresi pada terapi hipertensi intrakranial refrakter
traumatic dengan pembukaan dura.9,11
Secara garis besar,teknik kraniektomi dekompresi dibagi menjadi dua,
yaitu hemikraniektomi (Gambar 8) yang sering digunakan dan bilateral
hemikraniektomi (jarang digunakan).10

31

Gambar 8. Prosedur hemikraniektomi

Indikator klinis untuk dekompresi hemikraniektomi dengan duraplasti


(decompression hemycraniectomy with duraplasty / DHWD) termasuk kerusakan
lebih lanjut dalam status neurologis dari masuk dan tanda-tanda sindrom herniasi
awal, seperti pupil tetap dan melebar unilateral. Setelah tanda-tanda akhir herniasi
yang hadir pada pasien, seperti pupil tetap melebar, koma, kesulitan pernapasan, dan
ekstensor sikap, pasien tidak lagi memenuhi syarat sebagai kandidat yang baik untuk
dekompresi hemikraniektomi dengan duraplasti. Sebuah tekanan intrakranial
berkelanjutan yang lebih besar dari 25 mmHg telah digunakan sebagai indikator
untuk dekompresi bedah tetapi dalam dirinya sendiri tidak menjamin DHWD
.Temuan lengkap arteri serebri (MCA) infark pada CT ataupun MRI merupakan
indikasi untuk dekompresi hemikraniektomi dengan duraplasti.
Pasien di atas usia 50 tahun dengan kondisi medis yang multipel yang
mengalami gejala sindrom herniasi, serta verifikasi MRI dari volume stroke iskemik

32

dengan substantial shift dan herniasi sentral adalah kandidat yang tidak tepat untuk
dekompresi hemikraniektomi dengan duraplasti
2.4.6

Prognosis
Data klinis menunjukkan bahwa banyak pasien mendapatkan hasil

fungsional yang baik pada beberapa studi. Hasil fungsional prosedur ini masih
menjadi perdebatan karena beberapa faktor, misalnya teknik prosedur
unilateral atau builateral, tidak dilakukannya durotomi atau duraplasti.
Namun,

walaupun

masih

banyak

diperdebatkan

beberapa

studi

mendokumentasikan efek manfaat setelah kraniektomi dekompresi. Bukti dari


beberapa penelitian mengindikasikan bahwa salah satu penentu penting hasil
operasi adalah waktu dilakukannya prosedur; dengan hasil operasi baik
berkaitan dengan operasi lebih awal (umumnya selama 48 jam). Pasien lebih
muda secara umum lebih baik, dengan usia lebih dari 50 tahun memiliki hasil
operasi yang lebih buruk. Skor GCS 8 dan di atasnya memiliki hasil baik
setelah operasi, sedangkan angka kematian dan insiden kecacatan sisa lebih
tinggi pada pasien yang masuk dengan GCS 5 dan di bawahnya. Faktor lain
yang mempengaruhi hasil operasi di antaranya : politrauma dan abnormalitas
pupil signifikan (anisokor atau midriasis). Namun, secara keseluruhan para
ahli percaya bahwa faktor utama penentu prognosis adalah GCS pada saat
pasien datang.5,7
Pada penelitian Jiang, 2005 dan Qiu, 2009, mengasses secara acak
pasien dengan hipertensi intrakranial, dimana satu grup dilakukan kraniektomi
dekompresi standar dengan flap tulang temporoparietal unilateral (12x15 cm)
dan grup lainnya dilakukan kraniektomi dekompresi terbatas dengan flap
tulang temporoparietal rutin (6x8 cm). Pada kedua studi tersebut, dilaporkan
bahwa pasien pasien yang dilakukan kraniektomi dekompresi standar (lebih
luas) menunjukkan outcome GOS yang lebih memuaskan dibandingkan

33

pasien dengan kraniektomi terbatas, diukur pada 6 bulan dan satu tahun
setelah operasi.
Pada penelitian pasien pediatri dengan cedera otak traumatik, Taylor
2001, anak anak dengan hipertensi intrakranial diacak untuk dilakukan
kraniektomi dekompresi atau tetap melanjutkan terapi konvensional. Hasil
menunjukkan bahwa anak anak yang dilakukan kraniektomi dekompresi
menunjukkan penurunan tekanan intrakranial yang signifikan dan memiliki
outcome GOS yang lebih baik, diukur 6 bulan setelah operasi.
Liet et al 2008 secara retrospektif mereview data klinik 263 pasien
yang dilakukan kraniektomi rutin (126 pasien) dan kraniektomi dekompresi
yang lebih luas. Mereka melaporkan pasien yang dilakukan reseksi lebih luas
menunjukkan outcome GOS yang memuaskan secara signifikan. Hasil yang
sama dapat dilihat juga pada pasien dengan cedera otak traumatik berat.
Pasien yang menjalani kraniektomi lebih luas juga sedikit memerlukan operasi
lebih lanjut dan memperlihatkan komplikasi yang lebih sedikit.
Pada

salah

satu

studi,

Salvatore

et

al

2008,

dilakukan

uncoparahippocampectomy dengan insisi tepi tentorial diikuti kraniektomi


dekompresi pada 80 pasien dan melaporkan 75% dengan outcome yang bagus.
Mereka juga menduga bahwa usia yang lebih muda dan operasi yang lebih
awal berkaitan dengan outcome yang lebih baik.
Pada studi lain, Flint et al 2008, mengevaluasi tentang efek dari
ekspansi kontusio perdarahan post operatif pada outcome pasien. Mereka
melaporkan bahwa ekspansi kontusio >5cc ditemukan pada 58% pasien
setelah dilakukan prosedur hemokraniektomi dekompresi dan kontusio yang
lebih dari 20cc secara signifikan berkaitan dengan outcome yang lebih buruk
dan mortalitas.

34

Cochrane 2006 menemukan tidak ada bukti untuk merekomendasikan


penggunaan rutin kraniektomi dekompresi untuk mengurangi outcome yang
tidak diinginkan pada pasien dewasa dengan tekanan intrakranial yang tidak
terkontrol. Bagaimanapun juga mereka tetap merekomendasikan bahwa
kraniektomi dekompresi bisa menjadi pilihan yang berguna pada populasi
pediatri dimana terapi medikasi maksimal gagal untuk mengontrol tekanan
intrakranial.
Kraniektomi dekompresi memang paling banyak dikerjakan pada
pasien cedera otak traumatik (akibat benturan keras pada kepala)
dibandingkan dengan cedera otak non traumatik. Kim et al. menjelaskan
bahwa dari 75 pasien yang menjalani prosedur kraniektomi dekompresi, 28
pasien diklasifikasikan sebagai pasien cedera otak traumatik, 24 pasien
dengan perdarahan intraserebral dan 23 pasien dengan infark mayor. Pasien
dengan skor GCS < 8 dan mengalami midline shift lebih dari 6 mm pada
gambaran CT dipertimbangkan sebagai kandidat dapat operasi. Angka
mortalitas setelah 6 bulan operasi adalah 21.4% untuk kasus cedera otak
traumatic, 25% pada pasien perdarahan intraserebral dan 60.9% pada kasus
infark mayor. Studi ini menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresi lebih
efektif pada kasus perdarahan intraserebral dan cedera otak traumatik.6
Data

klinis

mengindikasikan

bahwa

kraniektomi

dekompresi

mengurangi mortalitas, meningkatkan perbaikan fungsional, mengurangi


durasi lamanya perawatan di ruang intensif dan meningkatkan skor indeks
barthel terutama jika dilakukan lebih awal.Guerra et.al melaporkan bahwa
lebih dari 65% pasien yang mengalami kraniektomi dekompresi untuk kasus
pembengkakan otak difus refrakter mengalami perbaikan yang baik dalam
satu tahun. Secara garis besar, faktor-faktor yang menentukan prognosis
kraniektomi dekompresi dapat dilihat pada table 2.5

35

Tabel 2. Faktor penentu prognosis kraniektomi dekompresi5


Faktor yang

No.
1.

Keterangan

mempengaruhi
Kegagalan intervensi

Peningkatan

farmakoterapetik

yang menetap dan tidak respon


terhadap
memberikan

tekanan
strategi

intrakranial
konservatif

prognosis

buruk,

dengan tingkat mortalitas 80%.


Kraniektomi dekompresi menjadi
intervensi terakhir.
2.

Waktu

Dekompresi kraniektomi lebih awal


(dalam 48 jam) memiliki prognosis
lebih baik.

3.

Herniasi otak

Dekompresi

kraniektomi

harus

dilakukan sebelum muncul tanda


herniasi.
4.

Glasgow Coma Scale

Skor

GCS

minimal

untuk

mendapatkan hasil akhir yang baik.


5.

Usia pasien

Kurang dari 50 tahun, tidak hanya


prognosis yang buruk jika operasi
dilakukan pada usia > 50 tahun,
tetapi juga komplikasi pasca operasi
lebih sering terjadi.

6.

Cedera batang otak primer

Sebaiknya tidak ada cedera batang


otak primer sebelumnya. Jika ada,
maka dekompresi kraniektomi dapat
menjadi kontraindikasi.

7.

Abnormalitas pupil

Tidak adanya reflex pupil sebagai

36

prognosis buruk.
8.

Tekanan intracranial

Akan lebih baik jika <40 mmHg


saat terjadi dekompresi.

9.

Midline shift

Besarnya

midline

shiftberkaitan

dengan kualitas hasil pasca operasi.

2.4.7

Komplikasi
Walaupun

telah

banyak

manfaat

kraniektomi

dekompresi

didokumentasikan, sejumlah ahli focus pada apakah prosedur ini selalu


dilakukan hanya pada pasien yang membutuhkan, atau juga dapat dilakukan
pada kasus yang bermanfaat dari terapi medis itu sendiri. Hal ini berhubungan
dengan fakta bahwa resiko komplikasi setelah prosedur ini cukup tinggi,
dengan beberapa penelitian angka komplikasi post operasi 50%. Komplikasi
yang paling banyak ditemui setelah operasi kraniektomi dekompresi adalah :5,7
1. Infeksi seperti meningitis dan abses serebri
2. Resorpsi flap tulang melalui aseptic nekrosis
3. Efusi subdural kontralateral (6.5%), terjadi rata-rata 14 hari setelah
kraniektomi dekompresi
4. Communicating hydrocephalus, sebagian besar akibat blokade mekanis
atau inflamasi granulasi arachnoid akibat debris post operasi
5. Pembengkakan perdarahan ipsilateral
6. Higroma subdural merupakan komplikasi tersering (26%), hanya
merespon dengan pungsi.
7. Herniasi paradoksikal setelah pungsi lumbal dalam kasus kraniektomi
dekompresi
8. Hipotensi pada anak selama kraniotomi
9. Kejang pasca operasi
Adapula yang membagi komplikasi pasca operasi menjadi komplikasi
akut dan komplikasi akhir.Komplikasi akut di antaranya, perdarahan kontusio,
herniasi serebri, hematom kontralateral, dan dehisensi luka. Sedangkan

37

komplikasi akhir, misalnya, hidrosefalus post traumatic, infeksi, kegagalan


resorpsi tulang, dan gangguan neurologis biasanya muncul 3-6 bulan setelah
operasi.10
2.5 MANAJEMEN ANESTESI PADA KRANIEKTOMI DEKOMPRESI
Tujuan yang akan dicapai adalah mempertahankan kestabilan hemodinamik.
Beberapa aspek yang harus diperhatikan adalah pengaruh obat terhadap: CBF
(cerebral blood flow), ICP (intracranial pressure), CMR (cerebral metabolic rate),
autoregulasi, respon terhadap perubahan CO2. Obat anestesi yang ideal digunakan
pada neuroanestesi pada umumnya adalah agen yang menurunkan aliran darah ke
otak dan dengan demikian akan menurunkan konsumsi oksigen otak dan tidak banyak
mempengaruhi metabolis cerebral sehingga akan mencegah terjadinya metabolisme
anaerob yang sangat merugikan otak.16,17
a. Preoperatif
Persiapan secara umum hampir sama, dimulai dari kunjungan pra bedah,
anamnesis terhadap riwayat penyakit. Pasien bedah saraf memerlukan anamnesis
khusus terhadap penyakit sistem saraf, seperti adanya riwayat kejang dan harus
dinilai tipe dan jenis pengobatannya, adanya pemakaian obat yang dikonsumsinya.
Penggunaan steroid dapat meningkatkan glukosa darah oleh karena pacuan
pada glukoneogenesis dan menyebabkan supresi langsung pada kelenjar adrenal yang
mungkin menyebabkan hipotensi dengan adanya stress operasi. Pemeriksaan status
volume cairan dan elektrolit terutama ion Kalium sangat diperlukan karena
kemungkinan terjadinya hipovolemia sering terjadi akibat pemberian manitol dan
diuretik, sebaiknya pada kasus hipovolemia harulah dikoreksi dulu sebelum
dilakukan tindakan pembedahan karena waktu yang lama dan perdarahan bisa terjadi
selama operasi berlangsung. 18,19

38

Pemeriksaan radiologik diperlukan untuk informasi oedem cerebral dan


pergeseran garis tengah otak. Data laboratorium, hematokrit dan crossmatch,
pemeriksaan koagulasi penting karena bisa terjadi perdarahan yang besar dan
membutuhkan darah yang banyak.18,19

Evaluasi neurologis yang perlu diperhatikan diantaranya :20


1. Riwayat pasien :
a. Kejang, derajat kesadaran
b. Peningkatan TIK (nyeri kepala, mual-muntah)
c. Fokus neurologis (hemiparesis)
d. Hidrasi

(intake

cairan,

penggunaan

diuretik,

syndrome

inappropriate secretion of antidiuretic horman (SIADH)


e. Medikasi (steroid, obat antiepilepsi)
f. Kaitan dengan penyakit dan trauma
2. Pemeriksaan fisik
a. Mental status
b. Papil edema
c. Ukuran Pupil , Glasgow Coma Scale
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ukuran dan lokasi tumor
b. Efek massa Intrakranial

b.

Durante operatif
39

of

Teknik anestesi dan pemilihan obat-obatan yang perlu diperhatikan pada


operasi kraniektomi dekompresi adalah:16,21
Pengendalian tekanan intrakranial
Melindungi jaringan saraf dan volume otak
Mengurangi perdarahan
Pencegahan dan penanganan emboli udara
Mempertahankan CPP
Relaksasi otak dan stabilisasi kardiovaskuler
Tekanan darah dan irama terutama pada saat penempatan retractor dekat
batang otak.
Obat anestesi inhalasi
Semua obat anestesi inhalasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ke otak yang akan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Pemberian
agent inhalasi harus diberikan secara bertahap sampai diperoleh tingkat
anestesi yang cukup.17,21Untuk pasien dengan tekanan intracranial yang sangat
tinggi dan kesadaran yang rendah sebaiknya tidak menggunakan anestesi
inhalasi.

Nitrous Oksida, dapat meningkatkan aliran darah ke otak, laju metabolic


otak terhadap oksigen, dan tekanan intrakranial, tetapi dengan pemberian
barbiturat dan keadaan hiperventilasi dapat mencegah efek N2O.

Halothan, mempunyai efek yang paling besar meningkatkan aliran darah


ke otak pada konsentrasi > 1% sehingga menghilangkan cerebral
autoregulasi. Jennet dan Mac Dowell melaporkan dua kasus dimana
terjadi kenaikan tekanan intrakranial secara dramatis dari I50 mmH2O
40

sampai 800 mmH2O sesudah dua menit diberi inhalasi halothan 1%.
Tetapi pengaruh ini bisa dicegah bila dilakukan hiperventilasi menurunkan
PaCO2 sebelum halothan diberikan.

Isoflurane, pada konsentrasi rendah (0,5%) dapat menurunkan aliran darah


ke otak, tetapi pada konsentrasi > 0,95% akan meningkatkan aliran darah
ke otak. Efek isoflurane dapat diturunkan dengan hipokapnia dan pentotal.

Enflurane, meningkatkan pembentukan dan resistensi absorbsi sehingga


menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan
pengurangan komplians intrakranial dan menyebabkan kejang pada dosis
1,5-2 MAC, jika PaCO2< 30 mmHg.

Sevoflurane, merupakan pilihan dalam neuroanestesi karena dapat


mempertahankan autoregulasi cerebral, menurunkan laju metabolic otak
terhadap oksigen, tidak mengaktivasi sistem saraf simpatis, serta koefisien
partisi lebih rendah daripada yang lain sehingga induksi dan pemulihan
lebih cepat. Sevoflurane memiliki efek vasodilatasi serebral yang kurang
dibandingkan isoflurane.

Desflurane, pada binatang

coba, penggunaan desflurane dengan

normokapnia menyebabkan peningkatan TIK progresif dan lebih besar


dari isoflurane, tetapi pada hipokapni desflurane dan isoflurane
memberikan efek sama kecilnya dalam peningkatan TIK. Pada penelitian
binatang didapatkan bahwa desflurane mempunyai efek neuroprotektif.
Derajat neuroprotektif ini sebanding dengan isoflurane. Dibanding obat
volatile yang lain, desflurane relatif mempunyai onset cepat dan bangun
dari anestesi juga cepat karena koefisien partisi darah/gas yang rendah
(0,42). Dengan demikian maka evaluasi neurologik pasca bedah dini cepat
dapat dilakukan.

41

Obat anestesi intravena


Obat anestesi intravena semuanya menurunkan tekanan intrakranial
kecuali ketamine bisa menaikkan aliran darah ke otak 62% dalam keadaan
normokapnia.Oleh sebab itu ketamin tak ada tempat dalam anestesi bedah
syaraf walaupun Albanese dkk meneliti ketamin dapat mengendalikan tekanan
intrakranial.
Golongan barbiturat dapat menurunkan aliran darah ke otak dan laju
metabolic otak terhadap oksigen, juga tidak mempengaruhi autoregulasi
serebral dan respon pembuluh darah serebral dan dapat menurunkan aktivitas
radikal bebas, kemungkinan mencegah cedera selanjutnya terhadap daerah
iskemik sehingga dapat digunakan untuk proteksi otak. Selain itu barbiturat
mempunyai kemampuan menurunkan sekresi cairan serebrospinal, mencegah
terjadinya kejang, dan memperbaiki aliran darah serebral (inverse steal
phenomena), juga dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial selama
dilakukan tindakan intubasi.
Propofol, dapat menurunkan aliran darah ke otak, laju metabolik otak
terhadap oksigen yang tergantung dosis. Penurunan aliran darah ke otak
berasal dari efek depresi metabolik, kepekaan terhadap CO 2 dan mekanisme
autoregulasi tetap dipertahankan selama anestesi dengan propofol. Propofol
dapat menurunkan atau tidak mempengaruhi tekanan intrakranial, umumnya
mean arterial blood pressure turun dan juga cerebral perfusion pressure,
propofol lebih efektif mencegah respon hemodinamik pada saat intubasi.16,17,21
Obat-obat respiratory depressant seperti opiat akan

menaikkan

PaCO2 karena hipoventilasi akan menaikkan tekanan intrakranial secara fatal


pada penderita kelainan cerebral tetapi bila digunakan dengan kontrol
hiperventilasi merupakan obat yang berguna. Dilaporkan morfin dan pethidin
dosis tinggi bisa menurunkan aliran darah ke otak, tekanan intracranial dan

42

laju metabolic serebral terhadap oksigen kalau hiperventilasi kontrol tetapi


efek vasokonstriksi cerebralnya akan hilang bila ada hiperkapnia.
Fentanyl tak banyak mempengaruhi aliran darah ke otak, namun
Tobias dan Albanese menemukan fentanyl bisa menaikkan tekanan
intrakranial, namun infus remifentanil mampu mengendalikan tekanan
intrakranial. Pada keadaan normokapnia, thiopentone akan menurunkan aliran
darah ke otak, tekanan intrakranial dan laju metabolik otak terhadap oksigen
sampai 50%. Dalam dosis ringan saja thiopentone dapat menurunkan laju
metabolik otak terhadap oksigen 30%.
Obat pelumpuh otot
Semua obat pelumpuh otot dapat menurunkan aliran darah ke otak dan
tekanan intrakranial secara tak langsung karena efeknya pada PaCO2,tekanan
darah dan tekanan intrathorakal kecuali suksinil kolin menaikkan aliran darah
ke otak dan tekanan intrakranial karena efek vasodilator serebral dan sekunder
meningkatnya aktivitas muscle spindle yang meningkatkan input afferent
serebral. 16,17,21

Suksinil kolin dapat meningkatkan tekanan intrakranial oleh karena


terjadinya

fasikulasi

diminimalkan

dengan

otot,

dan

biasanya

prekurarisasi

dengan

peningkatan
obat

ini

pelumpuh

dapat
non

depolarisasi.

Pankuronium dan vekuronium mempunyai efek minimal terhadap aliran


darah ke otak, laju metabolic serebral terhadap oksigen, dan tekanan
intracranial.

Rokuronium mempunyai onset cepat dan lama kerja pendek dibandingkan


dengan pelumpuh otot non depol yang lain, sehingga merupakan pilihan
pengganti suksinilkolin untuk induksi cepat.

43

Atrakurium

tidak

mempunyai

efek

terhadap

peningkatan

TIK.

Penggunaan dosis besar yang diberikan secara cepat dapat menurunkan


tekanan darah. Metabolisme terjadi di jaringan dan plasma. Tidak
didapatkan dosis akumulasi.

c. Teknik anestesi
Penggunaan N2O harus lebih hati-hati digunakan karena efek dari
pembedahan adalah sering terjadi emboli dan dengan pemakaian N 2O akan
berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Sebelum dilakukan ekstubasi,
harus dinilai tindakan yang dilakukan oleh operator dan waktu operasi dan
beberapa penyulit lainnya, jika ditemukan ada beberapa penyulit sebaiknya pasien
dalam keadaan terintubasi dan dibantu dengan alat bantu nafas.21,22
Selain itu sebaiknya juga harus mempertimbangkan posisi penderita dan
dekatnya operasi dengan nervi kranialis dan struktur batang otak yang mengatur
respirasi dan kardiovaskuler, biasanya untuk posisi saat duduk yang paling mudah
terjadinya emboli udara. Sasaran utama adalah mempertahankan tekanan intra
kranial dan mempertahankan tekanan cerebral. Pada penderita dengan tekanan
intrakranial yang tinggi dihindari pemakaian hipnotik dan narkotik, karena dapat
menyebabkan depresi pernafasan sehingga terjadi peningkatan CO2, selain itu
narkotik juga dapat menyebabkan mual dan muntah sehingga dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pilihan pertama adalah golongan benzodiazepine.16,21
Teknik ventilasi yang digunakan biasanya digunakan nafas kendali untuk
menghindari hiperkapnia, hipoksemia dan untuk mengontrol respon simpatis.
Premedikasi dengan sedatif pada pasien dengan penurunan kesadaran merupakan
kontra indikasi, terutama golongan narkotik karena akan mendepresi langsung
sistem pernafasan dan kardiovaskuler sehingga akan mempermudah terjadinya

44

hiperkarbia dan akan memperberat lesi pada fossa posterior. Sebaiknya pemberian
obat-obatan ini harus dalam kondisi termonitor dan minimal di ruang operasi.16,21

BAB III
RINGKASAN

Telah diketahui bahwa penyebab terjadinya peningkatan tekanan intracranial


bermacam-macam, tetapi terapi yang sangat direkomendasikan ketika manajemen lini
pertama tidak dapat mengurangi tekanan tersebut, maka dilakukan tindakan
kraniektomi dekompresi. Prosedur kraniektomi dekompresi dinilai menurunkan
tekanan intrakranial dan meningkatkan tekanan perfusi serebral dalam batas normal
atau lebih tinggi. Selain itu, didapatkan pula angka kelangsungan hidup yang
menjanjikan 74.4% dan 41.9% dengan klinis neurologis yang baik.
Tidak semua pasien yang mengalami peningkatan tekanan intracranial dapat
dilakukan kraniektomi dekompresi. Beberapa factor yang perlu dipertimbangkan, di
antaranya adalah factor usia, tingkat kesadaran pasien sebelum dilakukan operasi,
dan seberapa tinggi tekanan yang terjadi. Dalam kaitannya dengan manajemen
anestesi, pada dasarnya harus memperhatikan obat-obatan yang digunakan apakah
memiliki efek meningkatkan tekanan intrakranial.

45

DAFTAR PUSTAKA

1.

Al-Jishi A, Saluja RS, Al-Jehani H, Lamoureux J, Maleki M, Marcoux J.


Primary or secondary decompressive craniectomy: different indication and
outcome. Can J Neurol Sci. Jul;38(4):612-20, 2011

2.

Adams JH, Graham DI: Decompressive Craniectomy for Space-Occupying


Supratentorial Infarction: Rationale, Indications, and Outcome. Neurosurg
focus. ;8(5):2, 2000

3.

Eberle BM, Schnriger B, Inaba K, Gruen JP, Demetriades D, Belzberg H.


Decompressive craniectomy: surgical control of traumatic intracranial
hypertension may improve outcome.Injury. 41(9):894-8. Sept 2010

4.

Moore KL, Agur AMR, Dalley AF. Essential Clinical Anatomy. 5th
ed.Philadelphia Wolters Kluwer. 2010

5.

Eghwrudjakpor PO, Allison AB. Decompressive craniectomy following brain


injury : factors important to patient outcome. Libyan J Med. 5:4620, 2010

6.

Adewumi D, Colohan A. Decompressive Craniectomy : surgical indications,


clinical consideration and rationale in Brain injury : pathogenesis, monitoring,
recovery, and management. Croatia : Intech. 475-85p, 2012

46

7.

Wani AA, Dar IT, Ramzan AU, Malik NK, et.al. Decompressive craniectomy in
head injury. INJT. 6(2):103-110, 2009

8.

Newfield P, Cottrell J. Handbook of neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia :


Lippincott Williams and Wilkins,.422-424p, 2006

9.

Hutchinson P, Timofeev I, Kirkpatrick P. Surgery for brain edema. Neurosurg


focus. 22(5):E14,1-9, 2007

10.

Balan C, Alliez B. Decompressive craniectomy : from option to standard part 1.


Romanian Neurosurg. 16(2):20-26.2013

11.

Huang X, Wen L. Technical considerations in decompressive craniectomy in the


treatment of traumatic brain injury. Int J Med Sci.7(6): 385-390, 2010

12.

Gouello G, Hamel O, Asehnoune K. Clinical study : study of long term results


of decompressive craniectomy after severe traumatic brain injury based on
series of 60 consecutive cases. Sci Worl J. 1-10, 2014

13.

Valenca MM, Martins C, Ambrosi PB. An innovative technique of


decompressive craniectomy for acute ischemic stroke. Croatia : Intech, 229.
2014

14.

Alvis HR, Alcala G, Rubiano AM, Moscote LR. A survey about surgical
preferences in operative technique in decompressive craniectomy in traumatic
brain injury. PAJT. 2(3):106-111, 2013

15.

Valenca MM, Martins C, Silva JC. In window craniotomy and bridgelike


duraplasty : an alternative to decompressive hemicraniectomy. J Neurosurg.
113: 982-89, 2010

16.

Bisri T. Dasar Dasar Neuroanestesi. Ed 2.Bandung : Saga Olah Citra, 2011

47

17.

John F. B, David C.M, and John D.W. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology 5th edition. USA : Mc Graw-Hill Companies.Chapter 27, 2013

18.

John F. B, David C.M, and John D.W. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology 5th edition. USA : Mc Graw-Hill Companies. Chapter 27. 2013

19.

Miller R.D. Millers Anesthesia seventh edition. USA : Churchill livingstone.


Chapter 63, 2009

20.

Newfield P. . Pediatric Neuroanesthesia, in Handbook of Neuroanesthesia, 4th


ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2002

21.

Culley D.J, Crosby G. Anesthesia for Posterior Fossa Surgery, in Handbook of


Neuroanesthesi, 4th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2002

22.

Babaour A.R. Guide to The Care of The Patient With Craniotomy Post-Brain
Tumor Resection. AANN. 2006

23.

Cooper DJ. Decompressive Craniectomy in Diffuse Traumatic Brain Injury. N


Engl J Med. 2011; 365:2040

24.

Ruf B, Heckmann M, Hugens Penzel M, Reiss I, Borkhardt A, Gortner L,


Jodicke A. Early decompressive craniectomy and duraplasty for refractrocy
intracranial hypertension in children : results of a pilot study. Critical Care.
2003.

48

RIWAYAT HIDUP
Nama

: dr. Ardana Tri Arianto, M.Si, Med, SpAn

NIP

: 19790107 201001 1 012

Tempat, tgl lahir

: Kebumen, 7 Januari 1979

Jabatan

: Staf Bagian / KSM Anestesiologi & Terapi Intensif


FK UNS / RSUD Dr. Moewardi

Agama

: Islam

Riwayat pendidikan

: 1.

Tahun 1991 lulus SD

2.

Tahun 1994 lulus SLTP

3.

Tahun 1997 lulus SLTA

4.

Tahun 2004 lulus Fakultas Kedokteran UNDIP

5.

Tahun 2009 lulus Magister Ilmu Biomedik FK


UNDIP

6.

Tahun 2009 lulus Dokter Spesialis Anestesiologi FK


UNDIP

Riwayat pekerjaan

: 1. November 2009 sekarang


Staf KSM Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD
Dr. Moeward
2. Januari 2010

49

Pegawai Negeri Sipil Propinsi Jawa Tengah

50

Anda mungkin juga menyukai