Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS NEUROINFEKSI

Oleh: Nurul Rakhmawati


Pembimbing : dr. Sekar Satiti, SpS(K)
Penilai:
dr. Siti Musfiroh, Sp.S (K)
Dr. dr. Ismail Setyopranoto Sp.S (K)
Rabu, 4 Januari 2017 Pkl 12.30-13.30 WIB

Identitas Pasien:
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Masuk RS
No RM

: Tn M
: 37 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Dolopo
: SMP
: Supir
: 28 Oktober 2016
: 01.78.87.xx

Anamnesis
Diperoleh dari pasien

Keluhan Utama
Nyeri kepala disertai mata menjuling dan kedua kelopak mata menutup

Riwayat Penyakit Sekarang


Dua setengah bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri kepala
dengan karakteristik berdenyut diseluruh kepala, intensitas ringan, hilang timbul 2-3 hari
sekali dengan durasi 1-2 jam, tidak memberat dengan aktifitas, batuk, bersin dan mengejan.
Nyeri kepala diperingan dengan istirahat, tanpa minum obat pereda nyeri. Disangkal adanya
demam, batuk lama, penurunan berat badan, kontak dengan penderita tuberkulosis, mual,
muntah, penurunan kesadaran, kejang, gangguan penghidu, gangguan penglihatan, tebal-tebal
di sisi wajah, pelo, perot, gangguan menelan, gangguan perasa, kelemahan anggota gerak
sesisi, kesemutan maupun tebal-tebal sesisi.
Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, keluhan nyeri kepala dengan karakteristik
onset dan durasi serta intensitas yang sama menetap. Keluhan diikuti dengan mata kanan
menjuling ke arah tepi dan pandangan dobel yang terjadi secara mendadak. Pasien berobat ke
spesialis mata di RS madiun, tidak diketahui diagnosanya, pasien diberikan obat namun tidak
ada perbaikan. Disangkal adanya demam, mual, muntah, penurunan kesadaran, kejang,
gangguan penghidu, gangguan penglihatan, tebal-tebal di sisi wajah, pelo, perot, gangguan
menelan, gangguan perasa, kelemahan anggota gerak sesisi, kesemutan maupun tebal-tebal
sesisi.
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, keluhan nyeri kepala serupa namun disertai
perberatan intensitas gejala. Keluhan Mata kanan menjuling disertai perburukan pandangan
dobel menetap, diikuti dengan kelopak mata kanan turun, yang mengakibatkan sulit untuk
dibuka. Pasien berobat ke Rumah sakit di madiun, dilakukan CT-Scan kepala, namun belum
ditemukan kelainan. Pasien diberikan obat (jenis obat tidak diketahui) namun tidak ada
perbaikan. Disangkal adanya mual, muntah, penurunan kesadaran, kejang, gangguan
1

penghidu, gangguan penglihatan, pelo, perot, gangguan menelan, gangguan perasa,


kelemahan anggota gerak sesisi, kesemutan maupun tebal-tebal sesisi.
Dua minggu sebelum masuk rumah sakit, Keluhan nyeri kepala dengan karakteritik
yang sama menetap. Keluhan diikuti dengan tebal-tebal pada sisi wajah kanan. Kelopak mata
kanan semakin menutup dan tidak bisa membuka. Keluhan disertai dengan pusing berputar,
jalan tidak seimbang, seperti mau jatuh. Keluhan dirasa terus menerus, tidak disertai mual
dan muntah, tidak dipengaruhi dengan perubahan posisi, tidak disertai dengan gangguan
pendengaran dan telinga berdenging atau telinga penuh. Disangkal adanya mual, muntah,
penurunan kesadaran, kejang, gangguan penghidu, gangguan penglihatan, telinga berdenging,
gangguan pendengaran, pelo, perot, gangguan menelan, gangguan perasa, kelemahan anggota
gerak sesisi, kesemutan maupun tebal-tebal sesisi.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit keluhan diikuti kelopak mata kiri yang
menutup, disertai kesulitan melirik ke sisi hidung dan ke atas. Keluhan mata kanan, nyeri
kepala, dan tebal2 separuh wajah menetap. Pasien berobat ke Rumah sakit Bethesda,
dilakukan MRI kepala, didapatkan adanya kelainan multipel, dengan kecurigaan proses
infeksi intrakranial. Pasien disarankan berobat ke RS sardjito. Disangkal adanya mual,
muntah, penurunan kesadaran, kejang, gangguan penghidu, gangguan penglihatan, tebal-tebal
di sisi wajah, pelo, perot, gangguan menelan, gangguan perasa, kelemahan anggota gerak
sesisi, kesemutan maupun tebal-tebal sesisi.
Hari masuk rumah sakit, keluhan nyeri kepala, kedua kelopak mata menutup,
pandangan dobel, tebal-tebal di sisi wajah kanan, dan jalan tidak seimbang menetap.
Didapatkan penurunan berat badan drastis dalam 2 bulan terakhir. Pasien di bawa ke rumah
sakit Sardjito.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Didapatkan :
Riwayat sakit gigi atas kanan (+) sejak 1 tahun terakhir
Riwayat pemakaian tato 10 tahun yang lalu
Riwayat merokok 20batang perhari
Disangkal adanya :
Riwayat trauma kepala
Riwayat tumor dan penyinaran.
Riwayat demam
Riwayat berhubungan sex bebas
Riwayat penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang.
Riwayat transfusi darah
Riwayat infeksi pada telinga, hidung dan tenggorokan
Riwayat infeksi pada jantung
Riwayat diare lebih dari 2minggu, riwayat sering sariawan dan bercak putih di sekitar
mulut.
Riwayat batuk-batuk lama, pengobatan TB atau kontak dengan penderita TB.
Riwayat kontak dengan hewan peliharaan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Disangkal adanya keluarga dengan riwayat :
Sakit serupa
TB dan pengobatan TB
Riwayat tumor dan penyinaran
2

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama anaknya, istri bekerja di luar negeri dalam 2 tahun terakhir. Biaya
pengobatan ditanggung oleh BPJS.

Anamnesis Sistem:
Sistem serebrospinal
Sistem kardiovaskuler
Sistem respirasi
Sistem gastrointestinal
Sistem muskuloskeletal
Sistem integumentum
Sistem urogenital

: Cephalgia subakut progresif, ptosis bilateral, diplopia,


parestesi regio facial dextra, vertigo sentral
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan

Resume Anamnesis
Seorang laki-laki 37 tahun, dengan keluhan nyeri kepala subakut progresif disertai
mendadak mata kanan menjuling dan pandangan dobel diikuti kelopak mata kanan yang
menutup progresif hingga sulit dibuka. Keluhan diikuti dengan tebal-tebal pada wajah kanan
juga diikuti oleh kelopak mata kiri yang menutup secara progresif dan pusing berputar serta
jalan tidak stabil. Didapatkan pemakaian tato dan sakit gigi sebagai faktor penyebab infeksi,
serta merokok sebagai faktor penyebab tumor. Pasien telah dilakukan pemeriksaan MRI
Kontras dengan hasil adanya kecurigaan infeksi intracranial multipel. Didapatkan penurunan
berat badan pada 2bulan terakhir. Disangkal demam, batuk lama, kontak dengan penderita
Tuberkulosis, sex bebas, pemakaian obat-obatan, riwayat tumor dan penyinaran.

Diskusi I
Dari anamnesis didapatkan penderita mengalami gejala utama berupa nyeri kepala
berdenyut di seluruh kepala yang semakin progresif disertai dengan gangguan penglihatan
pandangan dobel yang diakibatkan mata kanan yang menjuling ke tepi serta kedua kelopak
mata yang menutup, diawali dari kelopak mata kanan dan kemudian mata kiri. Dari data
pasien perjalanan penyakit yang bersifat subakut progresif tanpa disertai tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, keadaan ini dapat dipertimbangkan adanya suatu lesi
intrakranial dapat berupa infeksi intracranial berupa abses, tuberkuloma, maupun neoplasma
baik primer maupun metastasis
Menurut Lindsay, nyeri kepala yang disebabkan adanya lesi desak ruang karena
penekanan pada bangunan-bangunan peka nyeri yaitu sinus venosus, arteri, vena dan
duramater. Nyeri kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial ditandai nyeri kepala
menyeluruh, diperberat dengan batuk atau mengejan, memburuk pada pagi hari, berlangsung
progresif, dengan makin meningkatnya tekanan intrakranial akan terdapat muntah,
kehilangan penglihatan sementara pada perubahan posisi dan terjadi penurunan kesadaran
(Lindsay 2011)
Diagnosa pertama pada pasien dengan cephalgia subakut progresif tanpa tanda
peningkatan intrakranial disertai dengan adanya defisit neurologis adalah infeksi intracranial.
Keutamaan klinis infeksi SSP adalah demam, sakit kepala, dan perubahan status mental.
Tanda-tanda neurologis fokal juga mungkin terlihat jelas. Untuk mempersempit diagnosis
3

diferensial, karakteristik lain juga harus dievaluasi. Di antaranya, faktor risiko untuk infeksi
SSP, pemeriksaan fisik juga dapat menghasilkan informasi yang memberikan petunjuk untuk
etiologi infeksi diberikan (Scheld, M, et.al. 2014).
Pemeriksaan penunjang berupa lumbal pungsi, pemeriksaan antibodi Human
Immunodeficiency Virus, Cluster of Differentiation 4 (CD4) , pemeriksaan serologis seperti
Immunoglobulin M (IgM) & Immunoglobulin G (IgG) toxoplasmosis, rubella,
Cytomegalovirus (CMV), dan Herpers Simplex Virus (HSV) serta aviditas CMV dan
toxoplasmosis diperlukan untuk penegakan diagnosis.
Abses Serebri
Abses otak merupakan infeksi intracerebral fokus yang dimulai sebagai daerah lokal
dari cerebritis dan berkembang menjadi kumpulan pus dikelilingi oleh kapsul yang
tervaskularisasi. Hal ini terus menjadi tantangan diagnostik dan terapeutik untuk klinisi
(Scheld, M, et.al. 2014).
Insiden abses otak diperkirakan 0,3-1,3 kasus per 100.000 orang per tahun dengan
rasio laki-laki dibanding perempuan 2:1 sampai 4:1. Salah satu faktor penting dalam insiden
abses otak (sebagai berlaku untuk sebagian besar penyakit infeksi) tampaknya menjadi status
kesehatan umum penduduk: Dalam sebuah studi pada 973 pasien dari Afrika Selatan dengan
abses otak 1983-2002, kejadian disebabkan oleh 50% terutama karena perbaikan standar
sosial ekonomi dan peningkatan ketersediaan layanan kesehatan primer. Dalam total populasi,
insiden abses otak relatif rendah; Namun, risiko yang nyata meningkat pada kelompok pasien
tertentu (Scheld, M, et.al. 2014).
Pada kebanyakan pasien, abses otak merupakan akibat dari faktor predisposisi
penyakit yang mendasarinya (misalnya, infeksi HIV, riwayat pengobatan dengan obat
imunosupresif, gangguan blood brain barrier (misalnya, karena prosedur operasi, trauma,
mastoiditis, sinusitis, atau infeksi gigi), atau sumber infeksi sistemik (misalnya, endokarditis
atau bakteremia). Bakteri memasuki otak melalui penyebaran langsung pada sekitar setengah
dari kasus dan melalui penyebaran hematogen di sekitar sepertiga kasus, dengan sisanya
melalui mekanisme yang tidak diketahui (Scheld, M, et.al. 2014)
Di era preantibiotic, analisis abses cerebri intrakranial disebabkan Staphylococcus
aureus dalam 25% sampai 30%, Streptococcus 30%, Coliform 12%, dan tidak ditemukan
pertumbuhan bakteri sekitar 50%. Dengan perhatian yang tepat, peran agen anaerobik di
abses serebri menjadi jelas. Dalam studi sebelumnya, 14 dari 18 abses ditemukan bakteri
anaerob pada kultur, terutama Streptococcus 66%, dengan spesies Bacteroides 60%.
Penelitian dari Inggris menekankan bahwa peran bakteri anaerob di abses otak, terutama
berasal dari telinga. Hasil tujuh studi (pada orang dewasa dan anak-anak) menunjukkan
bahwa Streptococcus, Enterobacteriaceae (spesies Proteus tertentu), dan spesies Bacteroides
memiliki peran yang sangat penting dalam terjadinya abses serebri (Scheld, M, et.al. 2014)
Dalam sebuah studi besar pada abses serebri neonatal, Proteus mirabilis di identifikasi
pada 27 (90%) dari 30 kasus, Escherichia Coli dua kasus, dan Serratia marcescens pada bayi
baru lahir yang lain (Scheld, M, et.al. 2014)
Berikut merupakan lokasi abses serebri dan penyebab predisposisi yang paling sering
sebagai etiologi :
Tabel 1. Lokasi Dan Mikroba Penyebab Abses Serebri berdasar Sumber Infeksi atau
Kondisi Yang Mendasarinya
Penyebab
Sinus Paranasal

Lokasi Abses Otak


Lobus Frontal

Infeksi Telinga

Lobus Temporal,

Mikroba
Streptococci (in particular, S. milleri),
Bacteroides species, Staph. Aureus,
Haemophilus species
Proteus species, Streptococci,

cerebellum
Infeksi Odontogenic

Lobus Frontal

Endocarditis Bakterial

Abses multipel,
Setiap lobus dapat terkena
Abses multipel,
Setiap lobus dapat terkena

Pulmonary infection (abscess,


empyema, bronchiectasis)
Right-to-left shunt (Penyakit
jantung sianotik kongenital,
malformasi arteriovenous pulmonar)
Trauma Penetrasi atau postoperative

Abses multipel,
Setiap lobus dapat terkena

Patients Immunosuppresi:
penerima transplantasi sumsum
tulang, stem cell, atau organ lain

Abses multipel,
Setiap lobus dapat terkena

Patients dengan sindrom


immunodeficiency didapat

Abses multipel,
Setiap lobus dapat terkena

Tergantung lokasi luka

Bacteroides species, Pseudomonas


species,
Staph. Aureus
Streptococci, staphylococci,
Actinomyces species, Actinobacillus
species
Bacteroides species, Fusobacterium
species
Staph. aureus, viridans streptococci
Streptococci, staphylococci,
Bacteroides species, Fusobacterium
species, Enterobacteriaceae
Streptococci, staphylococci,
Peptostreptococcus species,
Haemophilus species
Staph. aureus (methicillin-resistant
Staph. aureus), Staph. epidermidis,
streptococci, Enterobacteriaceae
(multiresistant strains), Clostridium
species
Aspergillus species, Candida species,
Nocardia species, Toxoplasma gondii,
Cryptococcus neoformans, Listeria
monocytogenes, Mycobacterium species
Toxoplasma gondii, Mycobacterium
species, Cryptococcus neoformans,
Aspergillus species, Candida species,
Nocardia species, L. monocytogenes
Sumber : (Scheld, M, et.al., 2014)

Dalam menegakkan diagnosis abses cerebri diperlukan beberapa pemeriksaan


penunjang, seperti yang terdapat di dalam tabel berikut (Scheld, M, et.al. 2014):
Tabel 2. Metode Penegakan Diagnosis Abses Otak
Metode
Cranial CT/MRI
with contrast
administration

DiZ gsb
ffusion-weighted
(DW) MRI
Aspirasi
Stereotactic
Kulturu darah
Laboratorium

Echocardiograph
y
Chest x-ray/CT of

Hasil
Cerebritis: edema focal (high signal on T2-, low signal on T1-weighted images, tampak
gambaran hypodense pada Computed Tomography) dengan efek massa (sulcal
effacement atau kompresi ventricular) dan penyangatan minimal/heterogeneous
Abscess: necrotik pada bagian sentral (pus), biasanya isodense dengan cairan Cerebro
Spinal pada CT dan hiperintense pada MRI; kapsul abses bisa iso atau hiperintens pada
T1- dan hipointense pada T2 ; edema disekitar kavitas abses; efek massa, ringenhancement pada CT atau MRI
Komplikasi: edema, perdarahan, hidrosefalus, ruptur ventricular?
Sumber infeksi: sinusitis, otitis, mastoiditis, fraktur, osseus dehiscence, malformasi
kongenital, benda asing intracranial ?
Cairan abses berupa hyperintense pada DW MRI (lesi kistik neoplasma di otak tampak
bhypointense); apparent diffusion coefficient values are decreased in brain abscesses (and
increased in neoplastic cystic brain lesions)
Mikroskopik; kultur aerobic dan anaerobic: 84% positive (rerata 6997%); fungi,
mycobacterial, dan kultur nocardial (sesuai indikasi)
Aerobic and anaerobic cultures: positive in 3 (11%) of 27 patients in one study
Leukosit: meningkat pada 47% (rerata 3057%)
Sedimentasi Erythrosit: meningkat pada 59% (rerata 4865%)
Protein C-reactive Serum: meningkat pada 82% (rerata 7790%)
Tes serologi HIV
Right-to-left shunt, vegetasi valvular (endocarditis)
Infeksi Pulmoner: abses, pneumonia, empyema, bronchiectasis, aspergilloma

the chest
Dental
(panoramic)
radiography

Malformasi arteriovenous Pulmoner


Infeksi gigi
Sumber : Infections of the central nervous system (Scheld), 2014

Abses otak terjadi paling umum dalam hubungan dengan salah satu dari tiga klinis
yang berbeda: (a) berasal dari fokus infeksi yang berkelanjutan, (b) trauma kepala atau
prosedur bedah saraf, atau (c) penyebaran hematogen dari fokus yang jauh. 10% sampai 25%
kasus yang dilaporkan tidak ditemukan faktor predisposisinya (Scheld, M, et.al. 2014).
Tabel 3.Penyebab yang mendasari terjadinya Abses Otak
Penyakit yang mendasari
Frekuensi (Rata-rata)
Otitis/mastoiditis
33% (1466%)
Penyebaran Hematogen
23% (1734%)
Trauma/neurosurgery
14% (323%)
Sinusitis
9% (120%)
Infeksi gigi
2% (013%)
Tidak diketahui (kriptogenik)
17% (1025%)
Lain-lain
3% (09%)
Lain-lain adalah meningitis dan infeksi pada kulit kepala atau tengkorak.
Sumber : (Scheld, M, et.al. 2014)

Berikut merupakan distribusi lokasi abses serebri yang paling sering :


Tabel 4. Lokasi Abses Tumor yang tampak pada Computed Tomography
Lokasi
Lobus Frontal
Lobus Temporal
Lobus Parietal
Lobus Occipital
Lobus Cerebellum
Sella
Basal ganglia

Frekuensi (Rerata)
37% (1949%)
24% (1841%)
22% (746%)
10% (326%)
7% (010%)
1% (04%)
1% (07%)
Sumber :

(Scheld, M, et.al. 2014)

Perkembangan abses serebral dibagi menjadi 4 tahap: (1) serebritis awal; (2) serebritis
akhir; (3) pembentukan kapsul awal; (4) pembentukan kapsul lanjut. Gejala klinis abses
berkembang dalam 2 -3 minggu, dan dibagi dalam 3 kelompok, antara lain:
1. Gejala sistemik, berupa demam dan malaise, tetapi tidak semua penderita disertai
demam
2. Gejala serebral umum, lebih banyak diakibatkan peningkatan tekanan intrakranial
berupa sakit kepala, mual, muntah dan penurunan kesadaran
3. Gejala serebral fokal, seperti kejang, defisit motorik atau sensorik
Gambaran klinik tersebut tergantung beberapa faktor yaitu virulensi organisme penginfeksi,
status imun pejamu, lokasi abses, jumlah lesi dan ada tidaknya meningitis atau ruptur
ventrikel (Kelompok Studi Neuroinfeksi PERDOSSI, 2011).
Manifestasi klinis abses otak dapat bervariasi antar pasien. Selain itu, gejala dari
lokasi utama infeksi (yaitu, otitis, sinusitis, atau banyak fokus supuratif) juga mendominasi.
Durasi rata-rata gejala hingga pasien masuk rumah sakit adalah 11 sampai 12 hari. Triase
klasik antara lain demam, sakit kepala, dan defisit neurologis fokal muncul dalam waktu
kurang dari 50% pada pasien. Pada kebanyakan pasien, manifestasi klinis yang menonjol dari
abses otak adalah karena massa intraserebral yang meluas dibanding infeksinya; tanda-tanda
neurologis, seperti sakit kepala dan hemiparesis, mendominasi pada pasien dengan abses otak
6

multiloculated dibandingkan dengan pasien dengan abses otak uniloculated. Presentasi klinis
pasien dengan abses serebelar berbeda, karena tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP) (misalnya, sakit kepala, muntah, dan edema papil 90%), demam (90%), meningismus
(70%), dan kesadaran depresi (50%) yang sangat umum. Tanda-tanda serebelar muncul pada
25% sampai 50% dari pasien, sedangkan hemiparesis jelas dalam hanya 10% dari pasien.
Presentasi klinis abses lobus frontal sering didominasi oleh sakit kepala, mengantuk,
kurangnya perhatian, dan penurunan umum dalam fungsi mental. Gejala fokal unilateral yang
sering muncul adalah hemiparesis dan gangguan bicara. Gejala awal abses lobus temporal
adalah nyeri kepala ipsilateral. Gejala afasia atau disfasia dapat muncul pada abses yang
terdapat pada hemisfer dominan. Hemianopsia homonim dapat diindikasikan sebagai satusatunya tanda lobus abses temporal. Abses hipofisis intrasellar memberikan gejala nyeri
kepala (90%), fungsi hipofisis normal (50%), dan defisit neurologis fokal (50%). Presentasi
klinis abses batang otak menimbulkan defisit neurologis yang melibatkan saraf kranialis.
(Scheld, M, et.al. 2014)
Prosedur diagnostik yang paling penting dalam abses otak adalah penilaian
histopatologis dan mikrobiologis jaringan lesi. Hal ini tidak hanya membedakan antara tumor
dan abses tetapi juga mengidentifikasi patogen penyebabnya. Dengan demikian, spesimen
yang diperoleh dari biopsi lesi kistik (a) akan dikirim untuk evaluasi histopatologis dan (b)
dievaluasi pewarnaan Gram aerobik, anaerobik, mikrobakteri, dan kultur jamur. Selanjutnya,
pewarnaan untuk mycobacteria, Nocardia, dan jamur harus dilakukan. Dalam studi terbaru,
16S ribosom DNA polymerase amplifi reaksi berantai kation ditunjukkan untuk
meningkatkan jumlah spesies bakteri yang diisolasi dari abses otak, namun data lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan penggunaannya dalam identifikasi penyebab penting patogen
pada pasien dengan otak abses. Identifikasi organisme penyebab sangat penting untuk terapi
lebih lanjut (Scheld, M, et.al. 2014).
Tuberkuloma
Tuberkuloma adalah massa seperti tumor berupa jaringan granulasi tuberkulosis,
paling sering multipel tetapi juga bisa terjadi secara tunggal, ukuran dalam parenkim otak
berkisar 2-12 mm. Tumor berukuran lebih besar dapat menghasilkan lesi desak ruang dan di
daerah periventricular yang dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif, tetapi juga disertai
oleh gejala fokal. Tuberkuloma jarang terjadi di Amerika Serikat; di negara-negara
berkembang kejadian tuberkuloma 5-30 persen dari semua lesi massa intrakranial. Di
beberapa negara tropis, tuberkuloma cerebellar adalah tumor intrakranial yang paling sering
pada anak-anak. Karena kedekatannya dengan meninges, Cairan serebrospinal sering
mengandung sejumlah kecil limfosit dan peningkatan protein (serous meningitis), tetapi
glukosa tidak berkurang. Abses tuberkulosis otak jarang terjadi kecuali pada pasien Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dua pasien ditemukan dengan tuberculoma batang
otak, dan ada meningitis serosa yang berkembang menjadi meningitis TB yang pada
umumnya fatal.(Ropper, Allan H; Samuels, Martin A; Klein 2014)
Tuberkuloma intrakranial adalah lesi pada jaringan otak berupa masa padat yang
merupakan kumpulan jaringan nekrotik akibat infeksi Mycobacterium tuberkulosis. 30% lesi
desak ruang intrakranial di negara berkembang merupakan tuberkuloma. Sedangkan di
negara-negara maju, tuberkuloma intrakranial jauh lebih sedikit, sekitar 0,1%-0,2%. dari lesi
desak ruang. Tuberkuloma secara tipikal merupakan lesi yang soliter, tetapi 15%-34%
kemungkinan multipel, yang tumbuh dari penyebaran secara hematogen dari fokus ekstra
serebral. Infeksi secara spesifik disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Spesies
Mycobacterium lainnya juga dapat menyebabkan infeksi, seperti misalnya Mycobacterium
7

africanum, Bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria. Mycobacterium


tuberkulosa paling banyak ditemukan dari kultur tuberkuloma intrakranial (Perspebsi, 2004).
Tanda dan gejala tergantung pada lokasi primer massa, tapi kebanyakan kasus
terdapat nyeri kepala, muntah dan kejang. Diagnosis tuberkuloma dipertimbangkan bila
ditemukan tuberkulosis sistemik. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dari
spesimen (Gilroy, 2000). Gambaran pada Computed Tomography-Scan (CT-Scan)
menggambarkan suatu lesi hipodens yang homogen dan terdapat penyangatan pada
penambahan kontras, sering menyerupai astrositoma atau metastasis. Diagnosis pasti
tuberkuloma ditegakkan dengan operasi. Beberapa ahli berpendapat bahwa tuberkuloma
dapat dipastikan bila pada serial CT Scan atau serial Magnetic Resonance Imaging (MRI) lesi
menghilang sesudah mendapat terapi obat anti tuberkulosis (Perspebsi, 2004).
Tumor Otak
Tumor primer didiagnosis pada sekitar 52,000 orang setiap tahunnya di negara United
States. Paling tidak, satu dari 50% tumor ini merupakan suatu keganasan dan berhubungan
dengan tingginya tingkat mortalitas. Tumor glial ditemukan pada 60% dari total tumor otak
primer, dan 80% diantaranya merupakan tumor ganas. Meningioma sekitar 25%, vestibular
schwannomas 10%, dan lymphoma system saraf pusat sekitar 2%. Tumor otak metastasis 3
kali lebih sering ditemukan dibanding tumor otak primer dan didiagnosa pada 150,000 orang
setiap tahunnya. Sekitar 35% tumor primer metastasis ke leptomeninges dan ruang epidural
pada medulla spinalis, juga merupakan penyebab utama kecacatan neurologi pada populasi.
(Harrison 2013)
Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Indonesia, kanker otak meliputi sekitar 8590% dari seluruh kanker susunan saraf pusat. Insidensi kanker otak ganas dan jinak di
Amerika Serikat adalah 21,42 per 100.000 penduduk per tahun (7,25 per 100.000 penduduk
untuk kanker otak ganas, 14,17 per 100.000 penduduk per tahun untuk tumor otak jinak).
Angka insidens untuk kanker otak ganas di seluruh dunia berdasarkan angka standar populasi
dunia adalah 3,4 per 100.000 penduduk. Angka mortalitas adalah 4,25 per 100.000 penduduk
per tahun. Mortalitas lebih tinggi pada pria (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
2015).
Dari seluruh tumor primer susunan saraf pusat, astrositoma anaplastic dan
glioblastoma multiforme (GBM) meliputi sekitar 38% dari jumlah keseluruhan, dan
meningioma dan tumor mesenkim lainnya 27%. Sisanya terdiri dari tumor otak primer yang
bervariasi, meliputi tumor hipofisis, schwannoma, limfoma SSP, oligodendroglioma,
ependimoma, astrositoma derajat rendah, dan meduloblastoma (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2015).

Diagnosis Sementara:
Diagnosis klinik
Diagnosis topik
Diagnosis etiologik

: Cephalgia subakut progresif cum diplopia cum ptosis bilateral cum


parestesi wajah Kanan cum vertigo sentral
: Mesencephalon, pons, sistem vestibular sentral
: Dd
1. Abses Cerebri
2. Tuberkuloma
3. Tumor Intrakranial Primer
4. Tumor Intrakranial Sekunder

PEMERIKSAAN FISIK (28 Oktober 2016)


Status Generalis
Keadaan Umum
Tanda vital

Kepala
Leher
Dada

Abdomen
Ekstremitas

: lemah, gizi cukup, kesadaran compos mentis, E4V5M6


: TD
120/70 mmHg
Nadi
62 x/mnt (reguler, isi, dan tekanan cukup)
Respirasi
16 x/mnt
Suhu
36,3oC
NPS
4-5
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
: JVP tidak meningkat, limfonodi tidak teraba membesar
: Pulmo
I : simetris
P: fremitus normal kanan dan kiri
P: sonor seluruh lapang paru
A: vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung
I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis kuat angkat
P : batas jantung tidak melebar
A: S1 dan S2 normal, gallop (-), bising (-)
: Hepar tidak teraba, supel, lien tidak teraba
: Edema (-), nyeri tekan (-)

Status Mental
Kewaspadaan
Observasi perilaku
I. Perubahan perilaku
II. Status mental
- Tingkah laku umum
- Alur pembicaraan
- Perubahan mood dan emosi
- Isi pikiran
- Kemampuan intelektual

: alert
: tidak ditemukan
: normoaktif
: teratur
: tidak ada
: realistik
: tidak terganggu

Sensorium:
1 Kesadaran
: compos mentis
2 Atensi
: Normal
3 Orientasi
: Normal
4 Memori jangka panjang : Normal
5 Memori jangka pendek : Normal
6 Kecerdasan berhitung
: Normal
7 Simpanan informasi
: Normal
8 Tilikan,keputusan,rencana: Normal
9
10 Assesment Neurobehaviour
1)
MMSE
: 26/28
2)
ADL
: 1/14
3)
IADL
: 1/18
4)
Short IQ Code
:3
5)
CDR
: 2,67
6)
Barthel Index
: 90/100
9

7)
8)

14)

HDRS
:3
HRSA
:2
9)
10)
11)
Status Neurologis
12)
Kesadaran
: compos mentis, E4V5M6
13)
Sikap tubuh
: lurus
Kepala dan leher: mesocephal, tidak ditemukan adanya deformitas, tidak ditemukan
15) bising carotis, kaku kuduk (-), Brudzinski I-IV (-)
16)
Saraf Kranialis
17)
18)
19)
K
20)
Ki
an
ri
an
21)
22)
Daya Penghidu
23)
db
24)
D
N
n
bn
25)
N

37)
N

26)

Daya
penglihatan

27)

30)

Penglihatan
warna

31)

34)

Lapang Pandang

35)

38)

Ptosis

39)

42)

Gerakan mata ke
medial
Gerakan mata ke
atas
Gerakan mata ke
bawah
Ukuran pupil

43)

>
2/
60
N
or
m
al
N
or
m
al
(+
)
-

47)

46)
50)
54)

58)
62)
66)
70)
75)

Reflek cahaya
langsung
Reflek cahaya
konsensuil
Strabismus
divergen
Diplopia
Gerakan mata ke
medial bawah

28)

44)

>2
/6
0
N
or
m
al
N
or
m
al
(+
)
+

48)

51)

52)

55)

56)

59)

5
m
m
-

60)

4
m
m
-

63)

64)

67)

68)

71)
76)

+
-

72)
77)

+
-

32)

36)

40)

10

73)
N

79)
83)

Strabismus
konvergen
Diplopia

80)

81)

84)

85)

88)
92)
99)
100)
101)

+
+

89)
93)
103)

+
+
N
or
m
al

107)

74)
86)
N

87)
91)
95)
96)
97)
98)
105)

111)
N

109)
112)
116)

123)
N

120)
124)
128)

132)
136)
140)
143)
147)

150)
N

151)

Menggigit
Membuka mulut
Sensibilitas
muka
Cabang Frontalis
Cabang
Maksilaris
Cabang
Mandibularis
Refleks kornea
Trismus
Gerakan mata ke
lateral
Strabismus
konvergen
Diplopia
Kedipan mata
Lipatan
nasolabial
Mengerutkan
dahi
Menutup mata
Meringis
Menggembungk
an pipi
Daya
kecap
lidah 2/3 depan

159)

Mendengar
suara berbisik
Mendengar detik
arloji
Tes Rinne

163)

Tes Schawabach

166)

Tes Weber

155)

102)
106)

sd
n
110)

113)

114)

117)

118)

121)
125)
129)

+
+
Si
m
etr
is
133) +

122)
126)
130)

137)

138)
Simetris
145)

149)

152)

N
or
m
al
+

153)

N
or
m
al
+

156)

157)

A
C
>
B
C
164)

161)

A
C
>
B
C

+
141)
144) +
148)

160)

167)

+
+
Si
m
etr
is
134) +

Sama dengan
pemeriksa
Tidak ada lateralisasi
11

168)
N

185)
N

199)
N

169)
172)

Arkus faring
Daya
kecap
lidah
1/3
belakang

176)
180)
183)
186)

Refleks muntah
Sengau
Tersedak
Denyut nadi

187)

190)
193)
196)

Arkus faring
Bersuara
Menelan

197)

200)

211)

Memalingkan
kepala
Sikap bahu
Mengangkat
bahu
Trofi otot bahu

215)
218)

Sikap lidah
Artikulasi

222)
226)
229)

Tremor lidah
Menjulurkan
lidah
Trofi otot lidah

233)

Fasikulasi lidah

204)
207)

214)
N

236)
237)

173)

177)

201)

170) Simetris
N
174)
or
m
al
+
178)
181) 184) 82
188)
x/
m
nt,
re
gu
ler
191) Simetris
194) Normal
N
198)
or
m
al
+
202)

205)
208) +

Simetris
209)

212)

Eu
213)
tro
fi
216) Lurus
219) N
220)
or
m
al
223) 224)
227) Simetris

230)

Eu
tro
fi
234) -

N
or
m
al
+
82
x/
m
nt,
re
gu
ler
N
or
m
al
+
+
Eu
tro
fi
N
or
m
al
-

231)

Eu
tro
fi
235) -

Leher
: Brudzinski I-IV (-), Kaku kuduk(-), Valsava(-), Nafziger(-),
muscle spasm(-)

238)
239) Ekstremitas :
240) 241)242)
243)
244)
G B B
K

245)
5

246)247)
5/

248) 249) 250)


251) 252)253)254)
255)
R + +
RP + +

12

257)258)
259)
B B
272) 274)276)
278)
275)277)
273) N N
T

279)
280)
T

290)291)
292)
N N
300)
301)
302)

Vegetatif

261)
5

262)263)
5/

281)
282)
E

283)285)

294)
E

295)296)
E

288)

: Dalam batas normal

Nyeri

311)

Raba

313)

Propriose
ptik

304)

Kana
n

307)
309)

Getaran

318)

Posisi

320)

Diskriminasi 2 titik

322)

Fungsi Keseimbangan
Dismetri
Diadiadokinesis
Heel Shin Test
Tandem Gait

:
:+
:: -/:+

305)

Kiri

308)
Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l

316)

324)
325)
326)
327)
328)
329)

286)
287)
C -/-

269)270)
271)
- -

284)
E

Sensibilitas :
303) Sensibilit
as
306) Protopati
k
Suhu

315)

265) 266)
267)
+2 +2

310)

312)

314)

Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l

317)
Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l

319)

321)

323)

Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l
Dalam
batas
norma
l

13

330) Fukuda test


331) Romberg
332)
333) Refleks Primitif
Refleks Glabella
:Refleks palmomental
: -/Refleks grasping
:Refleks snouting
:Refleks sucking
:334)

:: jatuh ke kanan dan kiri

14

335)
336)
337)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HCTS 20/08/16

338)
339) Kesimpulan : Saat ini tidak ditemukan kelainan
340)
341) MRI Kontras 26/10/16 :
342)
343)

344)

345)

346) Hasil :
Tanda multiple gliosis di periventrikel lateral 3 dekstra di mid brain dan kedua lobus
cerebellum yang mengalami enhancement yang nyata sugestif ec proses infeksi.
347)
348) Laboratorium
349)
350)

355)

361)

367)

P 351)
2
a 7/10/16
r
a
m
e
t
e
r
L
356)
e
4
u
k
o
s
i
t
N
362)
e
4
u
t
r
o
f
i
l
L
368)
y
4
m
f
o

352) 353)
2

354)

Pemeriksaan LCS
28/10/16

357) 358)

359)

Pr
ot
ei
n

360)
0,1

363) 364)

365)

N
on
e

366)
+

369) 370)

371)

Pa
nd
y

372)
+

373)

379)

385)

391)

397)

403)

409)
415)

s
i
t
M
o
n
o
s
i
t
E
o
s
i
n
o
f
i
l
B
a
s
o
f
i
l
E
r
i
t
r
o
s
i
t
H
e
m
o
g
l
o
b
i
n
H
e
m
a
t
o
c
r
i
t
M
C
V
M
C

374)
1

375) 376)

377)

K
ej
er
ni
ha
n

378)
Ke

380)
3

381) 382)

383)

J
ml
Se
l

384)
40

386)
0

387) 388)

389)

P
M
N

390)
2

392)
4

393) 394)

395)

M
N

396)
98

398)
1

399) 400)

401)

Gl
uk
os
a

402)
104

404)
4

405) 406)

407)

Er
itr
os
it

408)
350

410)
8

411) 412)

413)

416)
3

417) 418)

419)

L
414)
D
94
H
Penanda Infeksi

420)

H
M
C
H
C

421)
3

422) 423)

424)

T
r
o
m
b
o
s
i
t
B
U
N
C
r
e
a
t

427)
1

428) 429)

430)

433)

434) 435)
1

439)

440) 441)
0,

442)

444)

G
D
S

445)
8

446) 447)

448)

450)

N
a

451)
1

452) 453)

454)

456)

457)
3

458) 459)

460)

462)

C
l

463)
1

464) 465)

466)

468)

A
l
b
u
m

469)

470) 471)

472)

426)

432)
438)

Ig
M
an
ti
R
ub
ell
a
Ig
G
an
ti
R
ub
ell
a

425)
0,1

Ig
M
an
ti
C
M
V
Ig
G
an
ti
C
M
V
Ig
M
an
ti
To
xo
Ig
G
an
ti
To
xo
Ig
M
an
ti
H
S
V
1
Ig
G
an
ti
H

443)
0,4

431)
-

449)
87

455)
0,1

461)
>30

467)
0,9

473)
5,4

i
n
474)

S
G
O
T

475)
2

476) 477)

478)

480)

S
G
P
T

481)
4

482) 483)

484)

486)

C
h
o
l
e
s
t
e
r
o
l
H
D
L
L
D
L

487)
1

488) 489)

490)

493)
3

494) 495)

496)

499)
1

500) 501)

502)

T
505)
r
1
i
g
l
i
s
e
r
i
d
a
H
511)
b
A
1
C
Test Mantoux : -

506) 507)

508)

512) 513)
5,

514)

517)

518)

492)
498)

504)

510)

516)

520)
521)

522)

S
V
1
A
vi
dit
as
To
xo
A
vi
dit
as
C
M
V
A
nti
bo
di
HI
V

479)
0,7

485)
0,9

491)
+/

C
D
4
T
P
H
A
V
D
R
L

497)
105

Kr
ipt
ok
ok
us

515)
-

503)
509)
-

519)

Kesimpulan: Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan HIV (+) dengan


CD4 kurang dari 200 dan peningkatan serum IgG Toxoplasmosis dan IgG
CMV. Hasil pemeriksaan LCS menunjukkan adanya cairan LCS yang keruh
disertai dengan none pandy (+) dan peningkatan jumlah sel.

523)

Rontgen Thorax (28 Oktober 2016):

524)
525) Hasil :
Pulmo tak tampak kelainan
Besar cor normal
526) KONSULTASI
527)
1. Hasil Pemeriksaan TS Mata
528)
529) OD
531) Visus
532) 6/9
534) Palpasi
535) Ptosis +
537) Palpebra
538) Tenang
Conjunctiva
540) Conjunctiva
541) Jernih
543) Camera
Oculi
544) Dalam Jernih
Anterior
546) I/P
547) OC 5 mm Rc -/549) LVb
550) Jernih
552) Pupil
553) BT CD 0,3
555) Makula
556) Ref (+)
558) Ratio a/v
559) 2/3
561) Tekanan
Intra
562) N
Okular
564) MBO
565) Bebas
567)

530) OS
533) 6/6
536) Ptosis +
539) Tenang
542) Jernih
545) Dalam Jernih
548)

5mm RAPD (+)


551) Jernih
554) BT CD 0,3
557) Ref (+)
560) 2/3
563) N
566)

Bebas

568)

569)

570)

Kesimpulan :
Opthalmoplegi total e.c proses infeksi
ODS depresi ringan
571)
2. Konsultasi Neurositologi
572)
Hasil :
Pada pemeriksaan ini ditemukan mayoritas limfosit dan monosit, beberapa PMN,
ditemukan pula susp Giant Cell.
TIK : 5,5
573)
Kesimpulan :
574)
Suatu infeksi virus dan kemungkinan suatu infeksi TB
575)
3. Konsultasi Neuroimaging
576)
Hasil :
Penebalan dinding mukosa nasofaring
lesi isointens yang menjadi hiperintens pada T2 dan Flair di pedunculus Cerebri,
mesencephalon, cerebellum dengan tepi irregular dengan efek massa minimal dengan
lesi kistik di pedunculus cerebri

577)
578)
579)
580)
581)
582)
583)
584)
585)
586)
587)
588)

Kesimpulan :
Cenderung kemungkinan infeksi
RESUME PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa kelainan, antara lain :
Kepala : Pupil isokor, diameter 5mm/5mm, Refleks cahaya negatif
pada mata kanan
Nervus Kranialis
: Lesi N.III bilateral , IV bilateral , N.V dextra
Fungsi Keseimbangan: Romberg (+) jatuh kanan kiri, Tandem gait (-)
Laboratorium : HIV (+), IgG CMV=87 (), IgG Toxoplasmosis=>300
(), CD4=104()
Hasil LP
: Pada pemeriksaan ini ditemukan mayoritas limfosit
dan monosit, beberapa PMN, ditemukan pula susp Giant Cell (Curiga
suatu infeksi virus dan kemungkinan suatu infeksi TB).
MSCT kepala : lesi isointes yang menjadi hyperintens pada T2 dan
Flair di pedunculus serebri, mesencephalon, cerebellum dengan tepi
irregular dengan efek massa minimal dengan lesi kistik di pedunculus
serebri
Hasil Konsul Mata : oftalmoplegi bilateral, depresi ringan ODS
Hasil Konsul Neuroimaging : mengarah adanya lesi infeksi multipel

589)
590)
591)
592) DISKUSI II
593) Keluhan Neurologis pada pasien HIV positif
594) Adanya nyeri kepala kronis progresif, disertai dengan defisit neurologis fokal
berupa ptosis, pandangan dobel, strabismus konvergen, gangguan keseimbangan
mengarahkan kecurigaan adanya suatu lesi fokal multipel di intraserebral. Pasien ini adalah
pasien yang terdeteksi HIV positif. Faktor yang paling penting dalam menentukan diagnosis
diferensial adalah tingkat imunosupresi host. Pasien dengan penekanan kekebalan tubuh yang
berat (jumlah CD4 kurang dari 200 sel per uL) berisiko terkena ensefalitis toksoplasma,
meningitis kriptokokus, infeksi cytomegalovirus, primary CNS lymphoma, dan Progressive
Multifocal Leucoencephalopathy (PML). Sedangkan pasien dengan penekanan kekebalan
moderat (CD4 200 -500 sel per uL) berisiko terkena meningitis TB dan PML (Tan et al.
2012).
595) Referensi lain menyebutkan sebagai berikut:
Pada pasien dengan jumlah CD4> 500 / microL, tumor otak jinak dan ganas dan
metastasis mendominasi, seperti di host imunokompeten.
Pada pasien dengan imunosupresi moderat dengan jumlah CD4 200-500 /uL,
gangguan kognitif dan motorik terkait HIV umum ditemukan, tetapi biasanya tidak
ada lesi fokal.
Lesi massa CNS umumnya ditemukan pada pasien imunosupresi dengan jumlah CD4
<200 / microL. Kemungkinan diagnostik paling mungkin termasuk infeksi
oportunistik (IO) dan tumor terkait AIDS, adalah primary central nervous system
lymphoma (PCNSL) (Koralnik, 2014).
596)
597) Secara lebih detail, perjalanan penyakit HIV beserta kemungkinan infeksi
yang mungkin menyerang pada berbagai tahapan penyakit adalah sebagai berikut.
598)
599) Gambar 1.Tipe khas Infeksi HIV

600)
601)
602)
603)

Sumber:

Gambar 2. Perjalanan infeksi HIV


604)
605)

606) Sumber :
607)
608) Pada pasien ini terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya suatu lesi
fokal intraserebral yang menimbulkan efek massa. Diagnosis paling umum terkait dengan
efek massa pada pasien HIV di negara-negara maju adalah ensefalitis toksoplasma, PCSNL.
Di negara berkembang, tuberkuloma juga umum ditemukan (Koralnik, 2014; Modi et al.
2004)
609)
610) Referensi lain menyebutkan, adannya infeksi pada sistem saraf pusat pada
pasien HIV, disebabkan pada bagan di bawah ini :
611)
612) Tabel 5. Jenis organisme penyebab dan lesi di otak
613)
614) Organisms
615)
616)
617)
Tip

Le

En

618)
Pro

619)
620)

Toxoplasma gondii
Trypanosoma cruzi

621)

Amoebae (rare)

622)
X
623)
X

625)
X

626)

640)
X
641)
X
642)
X
643)
X

645)
X

624)
627)
Vir

628)
629)
630)
631)
632)
633)

Cytomegalovirus
Herpes simplex type 1
Herpes simplex type 2
Varicella zoster
JC virus (causes PML)
Epstein-Barr virus (associated
with primary CNS lymphoma)

X
634)
X
635)
636)
637)
X
638)
X

639)

644)

647)
X
648)
X

649)
X

650)
Ba

651)
652)
653)
654)
655)
656)
657)
658)

659)

Mycobacterium tuberculosis
Treponema pallidum
Mycobacterium avium
complex
Listeria monocytogenes
Salmonella sp.
Streptococcus pneumoniae
Nocardia sp.
Bartonella sp. (rare)
Mixed
abscess)

(pyogenic

brain

660)
X
661)
X
662)
X
663)
664)

669)

683)
Fun

Cryptococcus neoformans
Candida sp.
Aspergillus sp.
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum

689)

Pneumocystis jirovecii (rare)

671)
672)
X
673)

665)

681)
X

682)

690)
X
691)
X
692)
X
693)

695)
X

704)
705)

675)
X
676)
X
677)
X
678)
X
679)
X
680)

668)

694)

703)

674)
X

670)

666)
X
667)
X

684)
685)
686)
687)
688)

646)

696)

X
697)
X
698)
X
699)
X
700)
X
701)
X
702)

Sumber : Infection of Central Nervous system (Scheld, M, et.al. 2014)

Dari penjelasan tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa, pada pasien ini
dengan dengan penekanan kekebalan tubuh yang berat (jumlah CD4 104)
berisiko terkena ensefalitis toksoplasma, meningitis kriptokokus, infeksi
cytomegalovirus, primary CNS lymphoma, dan Progressive Multifocal
Leucoencephalopathy (PML). Kemungkinan lesi fokal pada sistem saraf pusat
pada pasien ini dapat disebabkan oleh karena adanya infeksi toksoplasma
gondii atau adanya infeksi viral CMV, hal ini dibuktikan dari adanya
pemeriksaan serologi IgG Toksoplasma dan CMV yang meningkat, dan
adanya hasil pemeriksaan CMV mengarah ke infeksi virus ataupun

tuberkulosis. Dibutuhkan pemeriksaan biopsi abses untuk membuktikan lebih


lanjut.
706)
707) Toksoplasmosis
708) Pada pasien immunocompromised harus dicurigai adanya ensefalitis
toxoplasmosis. Sistem saraf pusat merupakan satu-satunya dan yang paling sering sebagai
tempat reaktivasi toksoplasmosis pada pasien immunocompromised. Organ lain dapat terlibat
bersamaan, termasuk paru-paru, mata, jantung, dan kelenjar adrenal. Reaktivasi juga bisa
terjadi pada extraneural tanpa adanya Ensefalitis Toxoplasomosis atau hanya bermanifestasi
klinis sebagai demam yang tidak diketahui penyebabnya. Beberapa daerah otak dapat
terkena, namun pada pemeriksaan histolopatologis dan gambaran imaging, menunjukkan
lokasi toksoplasmosis pada grey matter, sering pada ganglia basalis. Encephalitis
toxoplasmosis memiliki manifestasi klinis berupa perubahan status mental, kejang,
kelemahan motorik, kelainan sensorik, disfungsi cerebellar, meningismus, gangguan gerak,
dan manifestasi neuropsikiatri (Scheld, M, et.al. 2014).
709) Toksoplasmosis adalah infeksi sistem saraf pusat yang paling umum
ditemukan pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) yang tidak
mendapatkan terapi yang baik. Toxoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii dan bersifat asimtomatik pada 80% manusia sehat. Pada pasien
imunokompeten infeksi laten dapat bertahan seumur hidup pasien. Pada pasien imunosupresi,
terutama pasien dengan AIDS, parasit dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan gejala
klinis, biasanya ketika jumlah CD4 turun di bawah 100 sel / microL (Gandhi 2015).
710) Perjalanan klinis ensefalitis toksoplasma biasanya berlangsung subakut
progresif dalam kurun waktu beberapa minggu walaupun dapat pula ditemukan kondisi
dengan onset akut pada sepertiga kasus. Tidak ada tanda klinis yang patognomonik untuk
ensefalitis toksoplasma pada pasien dengan HIV/AIDS namun sering kali dapat diduga dari
gejala klinis. Adanya nyeri kepala, defisit neurologis fokal, kejang, demam, dan penurunan
kesadaran merupakan manifestasi klinis utama dari ensefalitis toksoplasma. Temuan
laboratorium yang mendukung meliputi adanya antibodi Toxoplasma, yang konsisten dengan
paparan sebelumnya, dan imunosupresi lanjut dengan jumlah CD4 <100 sel / microL
(Koralnik 2014).
711) Lesi ensefalitis toksoplasma umumnya multipel dan berlokasi di lobus
parietal. frontal, thalamus, ganglia basal, atau di cortico-medulary junction. Sekitar 90 persen
menunjukkan ring enhancement dengan edema dan efek massa. Ensefalitis toksoplasma
dapat berupa ensefalitis difus, yang tidak terkait dengan pembentukan fokus abses. (Koralnik
2014).
712)
713) Abses serebri pada ensefalitis toksoplasmik
714) Secara umum abses otak dapat disebabkan oleh bakteri, mikobakteri, jamur,
atau parasit (protozoa dan cacing), dan kejadian dilaporkan berkisar 0,4-0,9 kasus per
100.000 populasi. Abses serebri merupakan bagian dari perjalanan penyakit ensefalitis
toksoplasmik yang umum ditemukan. Kejadian meningkat pada pasien dengan status
imunosupresi (Brouwer et al. 2014).
715) Pada kebanyakan pasien, abses otak merupakan akibat dari faktor predisposisi,
seperti penyakit yang mendasarinya (misalnya, infeksi HIV, riwayat pengobatan dengan obat
imunosupresif, gangguan blood brain barrier (misalnya, karena prosedur operasi, trauma,

mastoiditis, sinusitis, atau infeksi gigi), atau sumber infeksi sistemik (misalnya, endokarditis
atau bakteremia). Bakteri memasuki otak melalui penyebaran langsung pada sekitar setengah
dari kasus dan melalui penyebaran hematogen di sekitar sepertiga kasus, dengan sisanya
melalui mekanisme yang tidak diketahui (Brouwer et al. 2014).
716)
Abses serebri terjadi secara sekunder dengan infeksi primer di luar
otak (mastoiditis, sinusitis, otitis media, infeksi gigi, dan paru). Abses
biasanya dimulai dari tahapan serebritis, nekrotik, dan pembentukan kapsul.
Gambaran klinik awal sangat bervariasi. Biasanya didahului nyeri kepala,
demam, defisit neurologis fokal, dan kejang. Hasil pemeriksaan bervariasi
tergantung topiknya (Ropper et al. 2014). Defisit neurologis fokal (terutama
hemiparese) biasanya sering didapatkan, tergantung dari ukuran dan lokasi
abses. Demam tidak selalu muncul, adanya papiledema merupakan tanda yang
harus diperhatikan untuk segera dilakukan pencitraaan otak terkait adanya
peningkatan tekanan intrakranial (Ramakrishnan et al. 2013).
717)
718)
719)
720)
721) Encephalitis Cytomegalovirus
722)
723) Manusia merupakan satu-satunya reservoir CMV. Infeksi endemik terdapat di
seluruh dunia dan tidak memiliki variasi musiman. Prevalensi infeksi CMV meningkat
sejalan dengan usia, latar belakang geografis, etnis, dan sosial ekonomi. Antibodi
imunoglobulin G (Ig G) pada CMV dapat ditemukan pada sekitar 60% dari orang dewasa di
negara maju, dan hampir 100% orang dewasa di negara-negara berkembang. Dalam negaranegara maju, akuisisi infeksi CMV meningkat dalam lingkungan sosial ekonomi yang buruk
dan melalui kontak seksual. Kehadiran antibodi IgG menunjukkan bahwa infeksi telah terjadi
di masa lalu dan dianggap bahwa virus telah menjadi laten. Tempat latency CMV tidak
diketahui, meskipun sel dendritik myeloid jelas terkait dengan reaktivasi virus. CMV dapat
ditularkan secara iatrogenik oleh semua organ dan pada otopsi dapat ditemukan di sebagian
besar jaringan tubuh.
724) Penularan infeksi dari satu orang ke orang lain membutuhkan kontak
langsung. Sumber infeksi antara lain air liur, darah, cairan vagina, air mani, dan air susu ibu.
Transmisi bayi ke bayi dalam perawatan anak terjadi melalui ekskresi virus pada saliva. Anak
rentan terinfeksi CMV di lingkungan penitipan dan menularkan infeksi kepada anggota
keluarga di rumah. Secara keseluruhan, di Amerika Serikat, kontak pada anak-anak
merupakan sumber yang jauh lebih penting dari paparan seksual.
725) Pada pasien yang positif HIV : Infeksi CMV menjadi semakin sering, seiring
berlangsungnya immunocompromised . Retinitis CMV, jarang terjadi sebelum jumlah CD4
menurun ke 100x106 / L. Retinitis dikaitkan dengan encephalitis CMV. Hal itu mewakili 85%
dari penyakit CMV pada pasien AIDS, 10% infeksi saluran pencernaan dan gangguan CMV
pada SSP hanya 1% dari keseluruhan penyakit.
726) Mekanisme yang menjelaskan beberapa kerusakan SSP terkait infeksi CMV
antara lain replikasi produktif CMV menyebabkan kerusakan sel-sel individual (infeksi litik)
dan kerusakan tidak langsung dimediasi oleh komponen aksi dari sistem kekebalan tubuh
(Immunopathology).
727) CMV mencapai otak melalui penyebaran secara hematogen (viremia). Pada
pasien AIDS, viremia telah dilaporkan pada seluler dan komponen plasma. Pada individu
yang sehat, CMV ditemukan dengan adanya PCR pada monosit. Pada penerima transplantasi,
antigen ppUL83 (pp65) ditemukan dalam monosit, sel polimorfonuklear, atau sel-sel endotel.

728) Diagnosis infeksi CMV SSP terbaik didapatkan dari PCR. Beberapa peneliti
telah melaporkan bahwa PCR merupakan metode yang memiliki sensitivitas dan spesifik
tinggi untuk mendeteksi keterlibatan SSP. Kultur sel konvensional pada CMV terlalu sensitif
untuk mendeteksi jumlah kecil dari CMV yang ditemukan dalam CSF, sehingga tes ini tidak
dianjurkan. Serologi, baik IgG atau antibodi IgM, tidak memiliki nilai diagnostik dalam
pasien ini.
729)
730) DIAGNOSIS AKHIR
731)
732)
Diagnosis Klinis
: Cephalalgia subakut progresif cum ptosis
bilateral cum P.N III,IV bilateral cum Lesi N.V dextra cum vertigo
sentral cum tanda serebellar
733)
Topik : mesencephalon ; cerebellar
734)
Diagnosis Etiologis : Multiple Abses cerebri pada infeksi
oportunistik terkait AIDS
735)
(DD/ encephalitis toxoplasmosis, Encephalitis CMV)
736) Diagnosis tambahan : AIDS
737)
738)
739)
740) DISKUSI III
741)
742) Terapi abses serebri
743) Pengobatan abses otak didasarkan pada prinsip-prinsip berikut: (a) terapi
antibiotik, (b) terapi bedah abses otak , dan (c) terapi bedah dari fokus infeksi primer.
Pemeriksaan CT atau MRI kepala memungkinkan melihat lokaai yang tepat dari abses atau,
identifikasi lesi yang paling sesuai untuk aspirasi stereotactic, ketika terdapat beberapa
abses,. Selain itu, sumber infeksi (misalnya, otitis atau sinusitis) harus dideteksi. Pemberian
antibiotik sebelum operasi mengurangi hasil kultur positif. Terapi antimikroba dapat ditunda
setelah operasi hanya jika operasi dapat dilakukan dalam waktu singkat (jam) dan abses tidak
menunjukkan risiko herniasi. Risiko aspirasi stereotactic lebih kecil dari risiko diagnosis dan
pemilihan antibiotic yang salah; Oleh karena itu, keputusan untuk menggunakan terapi
empiris saja harus dilakukan dengan hati-hati. (Scheld, M, et.al. 2014)
744) Manajemen abses otak pada pasien AIDS yang diusulkan antara lain: (a)
pengobatan empiris untuk toxoplasmosis harus diberikan dalam semua kasus (pirimetamin
ditambah sulfadiazin atau pyrimethamine ditambah klindamisin), kecuali bila lesi intrakranial
memiliki serologi negatif untuk toksoplasmosis; dan (b) biopsi stereotactic dilakukan jika
serologi negatif atau pasien memburuk secara klinis atau radiologis selama terapi
antitoxoplasmic, meskipun lesi dengan ukuran besar memerlukan dekompresi bedah segera.
Pada anak-anak yang terinfeksi HIV, biopsi stereotactic dapat dipertimbangkan, karena
toksoplasmosis jarang pada populasi pasien ini. (Scheld, M, et.al. 2014)
745)
746) Berikut merupakan terapi empiris brain abses :
747)
748) Tabel 6. Terapi empiris antimikroba pada abses otak

749)

750)

Sumber : Infection of Central Nervous system (Scheld, M, et.al. 2014)


751)
752) Pada abses serebri terapi hanya dengan pemberian antibiotik akan berhasil
bila: terapi dimulai sebelum enkapsulasi komplit, diameter lesi < 2,5 cm dan pasien
menunjukkan kesembuhan setelah terapi 2 minggu. Bila diameter lesi > 2,5 cm diberikan
terapi kombinasi yaitu antibiotik dan pembedahan (drainase/ eksisi).
753) Secara umum indikasi operasi dilakukan jika terdapat efek massa yang
signifikan, lesi dekat dengan ventrikel, kondisi neurologis memburuk, setelah terapi
antibiotik 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak berkurang.
Bila tidak dilakukan tindakan pembedahan maka antibiotik diberikan selama 8 minggu
kemudian dilakukan scan otak untuk melihat respon terapi. Bila dilakukan pembedahan maka
antibiotik secara parenteral 6-8 minggu lalu dilanjutkan peroral selama 2-3 bulan.
754) Secara umum, durasi yang tepat dari terapi antimikroba untuk abses otak tidak
sepenuhnya jelas, tapi durasi terapi antibiotik untuk lebih pendek dari 4 minggu tidak
dilaporkan. Biasanya diberikan terapi intravena 4 sampai 8 minggu, dengan syarat patogen
sensitif, pengobatan ditoleransi dengan baik dengan respon klinis dan radiografi yang jelas.
Beberapa penelitian mendukung diberikan tambahan 2 sampai 4 minggu terapi antimikroba
oral untuk mencegah kekambuhan. Obat yang digunakan untuk pengobatan oral termasuk
trimethoprim-sulfamethoxazole, amoxicillin / asam klavulanat, moxifloxacin, linezolid, dan
rifampisin, terapi rifampisin tidak boleh digunakan sebagai terapi agen tunggal. Evaluasi
harus mencakup pemeriksaan klinis dan CT scan atau MRI untuk mendokumentasikan
perbaikan abses. Namun, ketika abses otak membaik, neuroimaging dapat terus menunjukkan
peningkatan kontras selama beberapa bulan setelah selesai terapi sukses. Evaluasi DWI bisa
membantu dalam menilai respon pengobatan pada abses otak (Scheld, M, et.al. 2014).
755)
756) Manajemen Otak Abses pada pasien dengan AIDS
757) Untuk mengevaluasi pengobatan lesi intrakranial pada pasien dengan AIDS,
dilakukan prosedur sebagai berikut: (a) pengobatan empiris untuk toxoplasmosis harus
diberikan dalam semua kasus (pirimetamin ditambah sulfadiazin atau pyrimethamine
ditambah klindamisin), kecuali bila satu lesi intrakranial menunjukkan serologi negatif untuk
toksoplasmosis; dan (b) biopsi stereotactic diindikasikan jika serologi negatif atau pasien
memburuk secara klinis atau radiologis selama terapi antitoxoplasmic, lesi berukuran besar
mungkin memerlukan dekompresi bedah segera. Pada anak-anak yang terinfeksi HIV, biopsi
stereotactic segera dapat dipertimbangkan, karena toksoplasmosis jarang pada populasi
pasien ini.
758)
759) Manajemen pasien dengan multipel abses
760) Untuk pasien dengan abses multipel, direkomendasikan untuk semua abses
yang lebih besar dari 2,5 cm diameter atau dengan efek massa yang signifikan harus
dilakukan aspirasi stereotactic (atau dieksisi). Jika diameter abses lebih kecil dari 2,5 cm, lesi
terbesar dan/ atau yang paling mudah harus diaspirasi untuk tujuan diagnostik. Dalam kasus

pembesaran abses setelah terapi antibiotik interval 2 minggu atau ukuran abses tidak
berkurang, setelah 3 sampai 4 minggu, dianjurkan drainase bedah (Ropper, Allan H; Samuels,
Martin A; Klein 2014).
761)
762) Kortikosteroid pada abses Serebri
763) Penggunaan kortikosteroid pada abses otak tidak tepat karena mungkin
mengganggu penetrasi antibiotic pada sistem saraf pusat. Singkatnya, tidak ada data yang
mendukung penggunaan rutin steroid dalam pengobatan abses otak. Terapi tambahan dengan
kortikosteroid diberikan untuk membatasi kerusakan neurologis progresif atau herniasi
serebral dan adanya bukti radiologis abses yang menyebabkan edema serebral dan efek
massa. Selanjutnya, pada pasien dengan abses di mana edema menyebabkan perburukan
kondisi (cerebellum), penggunaan kortikosteroid dapat dipertimbangkan. Pada penggunaan
kortikosteroid, penurunan dosis yang cepat direkomendasikan setelah pasien memiliki respon
klinis (Scheld, M, et.al. 2014).
764)
765) Terapi ensefalitis toksoplasmik fase akut
766) Terapi toxoplasmosis pada HIV meliputi terapi antimikroba untuk T Gondii
sendiri serta terapi ARV untuk HIV. Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal enam
bulan. Terapi antimikroba terhadap T. gondii meliputi tahap awal untuk mengobati gejala akut
selama 4-6 minggu, diikuti dengan terapi pemeliharaan untuk mengurangi risiko
kekambuhan. Untuk pasien tertentu (misalnya, mereka yang memakai ARV dengan
pemulihan sistem imum), terapi pemeliharaan dapat dihentikan. Terapi empiris
toksoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/ml
dengan seropositive toksoplasma dan didapatkan gambaran lesi otak (Gandhi, 2015;
Kelompok Studi Neuroinfeksi PERDOSSI, 2011).
767) Rejimen awal yang direkomenasikan adalah sulfadiazin dan pirimetamin.
Regimen ini lebih efektif dibandingkan dengan alternatif pilihan (misalnya, pirimetamin
ditambah klindamisin). Rejimen obat awal yang diberikan secara oral dengan dosis sebagai
berikut (Gandhi, 2015; Kelompok Studi Neuroinfeksi PERDOSSI, 2011) :
Sulfadiazin (100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, atau 1.000 mg empat kali
sehari pada pasien <60 kg atau 1.500 mg empat kali sehari pada pasien 60 kg)
dikombinasikan dengan pirimetamin (200 mg loading dosis diikuti oleh 50 mg (2x25
mg) sehari pada pasien <60 kg atau 75 mg (3x25 mg) setiap hari pada pasien 60 kg).
Pada rejimen ini perlu ditambahkan Folinic acid (leucovorin)10-20 mg/hr per oral
untuk mencegah efek samping toksisitas hematologi yang menyebabkan anemia
akibat pirimetamin (Gandhi, 2015; Kelompok Studi Neuroinfeksi PERDOSSI, 2011).
Rejimen alternatif - Untuk pasien yang tidak dapat meminum sulfadiazin, dapat
diberikan klindamisin (600 mg intravena atau oral empat kali sehari) ditambah
pirimetamin oral (200 mg loading dosis diikuti oleh 50 mg sehari pada pasien <60 kg
atau 75 mg setiap hari pada pasien 60 kg). Pada rejimen ini perlu ditambahkan
Folinic acid (leucovorin)10-20 mg/hr per oral
Untuk pasien tanpa alergi sulfa, trimethoprim-sulfamethoxazole (5 mg / kg
trimetoprim dan 25 mg / kg sulfametoksazol diberikan secara intravena atau secara
oral dua kali sehari) juga dapat menjadi alternatif pengobatan yang efektif.
768) Beberapa metaanalisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
dalam efektifitas ketiga macam rejimen di atas. Dengan demikian pemilihan
terapi disesuaikan dengan ketersediaan obat di tiap-tiap lokasi. Pemberian
trimethoprim-sulfamethoxazole dengan demikian direkomendasikan pada
lokasi dengan sumber daya yang terbatas (Dedicoat ad Livesley, 2008, Yan et
al., 2013)

769)
770) Terapi ensefalitis toksoplasmik fase pemeliharaan (profilaksis sekunder)
771) Untuk terapi pemeliharaan, kombinasi sulfadiazine dan pyrimethamine harus
dilanjutkan, tetapi pada dosis yang lebih rendah daripada yang digunakan untuk pengobatan
awal. Sulfadiazin diberikan 50 mg/kg/hari terbagi dalam 2-4 dosis per oral dengan
pirimetamin 25 sampai 50 mg setiap hari dan leucovorin (asam folinat) 10 sampai 20 mg
sehari.
772) Untuk meningkatkan kepatuhan pasien sulfadiazine dapat diberikan dua kali
sehari, yaitu 1.000 mg dua kali sehari untuk individu <60 kg, dan 1.500 mg dua kali sehari
untuk individu 60 kg.
773) Obat alternatif yang dapat diberikan adalah klindamisin (300-600 mg oral 3-4
kali sehari) ditambah pirimetamin oral 25- 50 mg. Pada rejimen ini perlu ditambahkan asam
folat (leucovorin)10-20 mg/hr per oral.
774) Menurut pedoman saat ini, profilaksis sekunder dapat dihentikan jika jumlah
CD4 + meningkat menjadi lebih dari 200 sel / uL dan berkelanjutan selama lebih dari 6 bulan.
Profilaksis sekunder harus diberikan kembali jika CD4 + turun hingga di bawah 200 sel / uL.
775)
776) Terapi CMV pada pasien HIV
777) Lini pertama pengobatan untuk ensefalitis cytomegalovirus atau
polyradiculitis adalah infus gansiklovir, 5 mg/kgbb dua kali sehari, dengan kombinasi
foscarnet, 90 mg/kgbb dua kali sehari, selama 3-6 weeks. Jika virus ini resisten terhadap
gansiklovir, terapi foscarnet berkepanjangan diperlukan. Respon klinis untuk terapi dan titer
PCR pada cairan serebrospinal (setidaknya satu hasil tes negatif) dapat membimbing
keputusan untuk transisi terapi induksi pasca-primer dengan valgansiklovir oral, 900 mg dua
kali sehari. Peran valgansiklovir pada ensefalitis cytomegalovirus belum sepenuhnya ada, dan
optimalisasi Anti Retroviral Therapy tetap menjadi gold standart. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi pada ensefalitis cytomegalovirus, diberikan inisiasi foscarnet intravena
ditambah gansiklovir, meskipun berpotensi toksik.
778) Pengobatan retinitis cytomegalovirus tergantung pada lokasi retinitis dan
apakah terdapat penyakit sistemik yang bersamaan. Valgansiklovir oral 900 mg dua kali
sehari selama 3 minggu diikuti 900 mg sekali sehari merupakan pengobatan yang sering
diberikan. Letak lesi di retina menimbulkan risiko lebih besar untuk kehilangan penglihatan,
dan sering diberikan terapi lokal seperti implan mata atau terapi intravitreal, walaupun terapi
intravitreal sering menyebabkan kehilangan visual berat. Ketika terapi intervensi lokal
diberikan, valgansiklovir oral digunakan secara bersamaan untuk mencegah infeksi
cytomegalovirus mata lainnya. Suntikan intravitreal triamsinolon acetonide intravitreous
dapat digunakan untuk pemulihan uveitis.
779)
780) Anti retroviral
781) Tidak ada pedoman yang jelas mengenai kapan obat anti retroviral harus
dimulai atau diberikan kembali pada pasien terinfeksi HIV dengan toksoplasmosis akut.
Konsensus umum adalah bahwa obat antiretroviral dapat dimulai kembali berdasarkan
pertimbangan dokter setelah pemberian terapi fase akut dan setelah diskusi dengan pasien
(Jayawardena et al., 2008).
782) Angka harapan hidup penderita HIV dilaporkan meningkat sejak dimulainya
penggunaan HAART (highly active anti retroviral therapy). Supressi virus dalam peredaran
darah sistemik mampu menurunkan angka kejadian infeksi oportunistik yang merupakan
penyebab utama kematian dan kesakitan pada penderita HIV.
783) Rekomendasi WHO pada Juni 2004: ARV utama untuk negara berkembang
sebagai ARV first- line adalah kombinasi berikut:

d4T/3TC/NVP (stavudin/lamifudin/nevirapin)
d4T/3TC/EFV (stavudin/lamifudin/efavirens)
AZT/3TC/NVP (zidovudin/lamifudin/nevirapin)
AZT/3TC/EFV (zidovudin/lamifudin/efavirens)
784) Kombinasi AZT/3TC/NVP merupakan kombinasi ARV yang digunakan
Pokdisus AIDS FK UI. Dosisnya AZT 2x300 mg/hari, 3TC 2x150 mg/hari dan
NVP 2x200 mg/hari (Perdossi, 2008)
785)
786) PENATALAKSANAAN
787)
788) Terapi Farmakologis
:
1. Inj. Methylprednisolone 125mg/8jam
2. Inj. Mecobalamin 500mg/12j
3. Inj. Ranitidine 50mg/12jam
4. Asam Folat 2x1mg
5. Pyrimetamin loading 200mg dilanjutkan 1x75mg (21hari)
6. Clindamycin 3x600mg
7. Paracetamol 1000mg/8jam
8. Novorapid (extra)
789)
790) Terapi Non Farmakologis :
1. Edukasi
791)
792) Plan :
1. ARV diberikan 2minggu setelah terapi pyrimetamin
793)
794) Diskusi IV :
795) Mortalitas abses otak di era preantibiotic adalah 40% sampai 80% dan
mengalami penurunan setelah terdapat penisilin. Prognosis buruk dikaitkan dengan (a)
tertunda atau salah diagnosis, (b) lokasi yang rawan, (c) multipel, lokasi dalam, atau lesi
multiloculated, (d) Ruptur ventrikel, (e) penurunan kesadaran yang dalam796) , (f) disebabkan oleh jamur , dan (g) antibiotik yang tidak sesuai. Faktor
negatif tambahan yang sering dikutip adalah usia ekstrem, abses besar, kehadiran abses
metastasis, dan progresifitas penyakit yang cepat. Sejak diperkenalkannya CT scan, angka
kematian menurun secara substansial. Dengan demikian, dalam studi terbaru, mortalitas abses
otak antara 10 sampai 19%. Deteksi kondisi yang mendasarinya (misalnya, sinusitis atau
dehiscence tulang), pemantauan kemajuan terapi, dan komplikasi lebih mudah dideteksi oleh
CT dan MRI dan mungkin telah berkontribusi terhadap peningkatan prognosis. Selanjutnya,
CT-dipandu aspirasi stereotactic memberikan prognosis meningkat khususnya pengobatan
abses pada lokasi dalam dan batang otak.
797) Prognosis pada pasien saat ini :
- Death
: Dubia ad bonam
- Disease
: Dubia ad malam
- Disability
: Malam
- Dissatisfaction : Malam
- Discomfort
: Malam
- Destitution
: Bonam
798)
799)
800)

801)
802)
803)
804)
805)
806)
807)
808)
809)
810)
811)
812)
813)
814)

815)

DAFTAR PUSTAKA
816)
817) Brouwer, M.C. et al., 2014. Brain Abscess. Nejm, 371(5), pp.447456. Available at:
http://www.nejm.org/doi/abs/10.1056/NEJMra1301635.
818) Gandhi, R.T., 2015. Toxoplasmosis in HIV-infected patients.
819) Harrison, S., 2013. Neurology in CLinical Medicine,
820) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Tumor Otak. Pedoman nasional
pelayanan otak, p.6.
821) Koralnik, I.J., 2014. Approach to HIV-infected patients with central nervous system
lesions.
822) Lindsay, K., 2011. Lindsay,
823) Modi, M., Mochan, A. & Modi, G., 2004. Management of HIV-associated focal brain
lesions in developing countries. QJM - Monthly Journal of the Association of
Physicians, 97(7), pp.413421.
824) Ramakrishnan, K.A., Levin, M. & Faust, S.N., 2013. Bacterial meningitis and brain
abscess. Medicine, 41(12), pp.671677.
825) Ropper, Allan H; Samuels, Martin A; Klein, J.P., 2014. Adams and Victors: Principles
of Neurology,
826) Ropper, A.H., Samuels, M.A. & Klein, Joshua P., 2014. Adams and Victor`s Principle of
Neurology Tenth., New York: McGraw-Hill Education.
827) Scheld, M, et.al., 2014. Infections of the Central Nervous System,
828) Tan, I.L. et al., 2012. HIV-associated opportunistic infections of the CNS. The Lancet
Neurology, 11(7), pp.605617. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/S14744422(12)70098-4.
829)
830)
831)
832)
833)
834)
835)
836)
837)
838)
839)
840)
841)
842)
843)
844)
845)
846)
847)
848)
849)
850)
851)
852)
853)
854)

856)

855)
FOLLOW UP

857)
858)
859)

860)

864)
Keluh

865)

879)
T

884)
1

889)
T

29/10
/2016
Nyeri
Kepa
la ()
Seda
ng,
CM,
E4V
5M6
894)
1

880)
R

885)
1

890)
R

895)
2

900)
R

905)
2

910)
R

881)
N

886)
6

891)
N

896)
8

901)
N

906)
1

911)
N

882)
t
883)
N

887)
3

892)
t
893)
N

897)
3

902)
t
903)
N

907)
3

912)
t
913)
N

870)
869)
KU

878)
Tanda

871)

920)
919)
Nn.
921)
928)
Gerak

888)
2
P.N.II
I,IV,
VI
bilate
ral
Lesi
N.V
(dx)

866)
872)
873)

922)

923)

898)
2
P.N.I
II,IV,
VI
bilate
ral
Lesi
N.V
(dx)

Dala
m
batas
Norm
al

931)

Dala
m
batas
Nor
mal

935)

Dism
etri
(+),
Romb
erg
jatuh
ke
kanan
dan
kiri,

936)

Dism
etri
(+),
Rom
berg
jatuh
ke
kana
n dan
kiri,

934)
Fungsi

944)
R.pato

lemah
, CM,
E4V5
M6

861)

930)

929)
Kekua

939)
R.fisio

27/10
/2016
Nyeri
Kepal
a (+),

940)
+2 di ke-4
ekstremitas
945)
+
954)
-

941)
+2 di ke-4
ekstremitas
946)
+
955)
-

947)
+
956)
-

948)
+
957)
-

862)

899)
T

30/10/
2016
Nyeri
Kepal
a ()
Sedan
g,
CM,
E4V5
M6
904)
1

909)
T

867)
874)
875)

924)

925)

908)
2
P.N.III
,IV,VI
bilater
al
Lesi
N.V
(dx)

932)

Dalam
batas
Norm
al

937)

Disme
tri (+),
Romb
erg
jatuh
ke
kanan
dan
kiri,

942)
+2 di ke-4
ekstremitas
949)
+
958)
-

863)
868)
876)
877)

926)

927)

01/11/
2016
Nyeri
kepal
a (),
Sedan
g,
CM,
E4V5
M6
914)
15
915)
20
916)
73
917)
36
918)
5
P.N.II
I,IV,V
I
bilate
ral
Lesi
N.V
(dx)

933)

Dala
m
batas
Norm
al

938)

Dism
etri
(+),
Romb
erg
jatuh
ke
kanan
dan
kiri,

943)
+2 di ke-4
ekstremitas
950)
+
959)
-

951)
+
960)
-

952)
+
961)
-

962)
Tonus
971)
Klonu

963)
N

964)
N

965)
N

966)
N

967)
N

968)
N

969)
N

970)
N

972)
-

973)
-

974)
-

975)
-

976)
-

977)
-

978)
-

979)
-

984)
981)
980)
Proble

982)

983)

-Nyeri
kepal
a
Peneg
akan
Diagn
osis
-Terapi

986)

987)
988)

989)

-Nyeri
kepala
Peneg
akan
Diagn
osis
-Terapi

990)
991)

-Nyeri
kepal
a
-Terapi

993)
994)

992)
Plan

998)
Terapi
999)
1000)
1001)

1002)

1003)

LP
Cek
HIV,
IgM
&IgG
Toxo,
CMV,
rubell
a,
HSV
Inj. Methylprednison
500mg/12jam
Inj
Ranitidine
50mg/12jam
Inj
Mecobalamin
500mg/12jam
PCT 3x1000mg

Asam Folat 2x1mg

Novorapid extra

985)

-Nyeri
kepal
a
Pene
gaka
n
Diag
nosis
Terap
i

995)

996)

Inj
Methylprednison
125mg/8jam
Inj
Ranitidine
50mg/12jam
Inj
Mecobalamin
500mg/12jam
PCT 3x1000mg

Asam Folat 2x1mg

Novorapid extra

1006)

Inj
Methylprednison
125mg/12jam
Inj
Ranitidine
50mg/12jam
Inj
Mecobalamin
500mg/12jam
PCT 3x1000mg

Asam Folat 2x1mg

Novorapid extra

1004)
1005)

1007)
1008)
1009)
1010)
1011)
1012)
1013)
1014)
1015)
1016)
1017)
1018)
1019) FOLLOW UP
1020)

997)

Konsul
VCT

Inj
Methylprednison
125mg/12jam
Inj
Ranitidine
50mg/12jam
Inj
Mecobalamin
500mg/12jam
PCT 3x1000mg
Asam Folat 2x1mg
Novorapid extra
Pyrimetamin 200mg
Clindamisin 3x600mg

1021)

1022)

1026)
Keluh

1027)

1041)
T

1046)
1

1051)
T

3/11/
2016
Nyeri
Kepa
la ()
Seda
ng,
CM,
E4V
5M6
1056)
1

1042)
R

1047)
1

1052)
R

1057)
2

1062)
R

1067)
2

1072)
R

1043)
N

1048)
6

1053)
N

1058)
8

1063)
N

1068)
1

1073)
N

1044)
t
1045)
N

1049)
3

1054)
t
1055)
N

1059)
3

1064)
t
1065)
N

1069)
3

1074)
t
1075)
N

1032)
1031)
KU

1040)
Tanda

1081)
Nn.

1090)
Gerak

1033)

1124)
Tonus
1133)
Klonu

1023)
1028)
1034)
1035)

1084)

1085)

1060)
2
P.N.I
II,IV,
VI
bilate
ral
Lesi
N.V
(dx)

1092)

Dala
m
batas
Norm
al

1093)

Dala
m
batas
Nor
mal

1097)

Dism
etri
(+),
Romb
erg
jatuh
ke
kanan
dan
kiri,

1098)

Dism
etri
(+),
Rom
berg
jatuh
ke
kana
n dan
kiri,

1096)
Fungsi

1106)
R.pato

lemah
, CM,
E4V5
M6

1050)
2
1082) P.N.II
I,IV,
VI
bilate
ral
1083) Lesi
N.V
(dx)

1091)
Kekua

1101)
R.fisio

2/11 /
2016
Nyeri
Kepal
a (+),

1102) +2 di ke-4
ekstremitas
1107)
+
1116)
1125)
N
1134)
-

1103) +2 di ke-4
ekstremitas

1024)

1061)
T

04/10/
2016
Nyeri
Kepal
a ()
Sedan
g,
CM,
E4V5
M6
1066)
1

1071)
T

1029)
1036)
1037)

1070)
2

1086)

P.N.III
,IV,VI
bilater
al
1087) Lesi
N.V
(dx)

1094)

Dalam
batas
Norm
al

1099)

Disme
tri (+),
Romb
erg
jatuh
ke
kanan
dan
kiri,

1104) +2 di ke-4
ekstremitas

1025)
1030)
1038)
1039)

05/11/
2016
Nyeri
kepal
a (),
Sedan
g,
CM,
E4V5
M6
1076)
15
1077)
20
1078)
73
1079)
36
1080)
5

1088)

P.N.II
I,IV,V
I
bilate
ral
1089) Lesi
N.V
(dx)

1095)

Dala
m
batas
Norm
al

1100)

Dism
etri
(+),
Romb
erg
jatuh
ke
kanan
dan
kiri,

1105) +2 di ke-4
ekstremitas

1108) 1109)
+
+
1117)
1118)
1126)
1127)
N
N

1110)
+
1119)
1128)
N

1111)
+
1120)
1129)
N

1112)
+
1121)
1130)
N

1113)
+
1122)
1131)
N

1114)
+
1123)
1132)
N

1135)
-

1137)
-

1138)
-

1139)
-

1140)
-

1141)
-

1136)
-

1142)
Proble

1143) -Nyeri
kepal
a
1144) Peneg
akan
Diagn
osis
1145) -Terapi

1154)
1155) Plan
1159) Inj
Methylprednison
Terapi
125mg/24jam
1160) Inj
Ranitidine
50mg/12jam
1161) Inj
Mecobalamin
500mcg/12jam
1162)
PCT 3x1000mg

Asam
Folat
2x1mg

1163)
Novorapid extra

1164) Pyrimetamin 1x75mg


Clindamisin 3x600mg
1165)
1166)

1146) -Nyeri
kepal
a
1147) Pene
gaka
n
Diag
nosis
1148) Terap
i

1149) -Nyeri
kepala
1150) Peneg
akan
Diagn
osis
1151) -Terapi

1156) -

1157) -

Inj
Methylprednison
125mg/24jam
Inj
Ranitidine
50mg/12jam

Inj
Mecobalamin
500mcg/12jam

PCT 3x1000mg
Asam Folat 2x1mg
Novorapid extra
Pyrimetamin 1x75mg
1167) Clind
amisi
n
3x60
0mg

1171)
1172)
1173)
1174)
1175)
1176)
1177)
1178)
1179)
1180)
1181)
1182)

Inj
Mecobalamin
500mcg/12jam
PCT 3x1000mg
Asam Folat 2x1mg
Pyrimetamin 1x75mg
Clindamisin 3x600mg

1152) -Nyeri
kepal
a
1153) -Terapi

1158) Kontro
l Poli
1168) BLPL
1169) Terap
i
Pulan
g:
Pyrimetamin 1x75mg
Clindamycin 3x600mg
Paracetamol 3x1000mg
(K/P)
Mecobalamin 2x500mcg

Asam Folat 2x1mg


1170)

Anda mungkin juga menyukai