Anda di halaman 1dari 4

MEMBUAT PARAFRASA LISAN DALAM KONTEKS BEKERJA

Parafrase adalah istilah linguistik yang berarti pengungkapan kembali suatu konsep dengan cara
lain dalam bahasa yang sama, namun tanpa mengubah maknanya. Parafrase memberikan
kemungkinan kepada sang penulis untuk memberi penekanan yang agak berlainan dengan
penulis asli. Istilah parafrase berasal dari bahasa Inggris paraphrase, dari bahasa Latin
paraphrasis, dari bahasa Yunani para phrasen yang berarti "cara ekspresi tambahan".

Parafrasa mengandung arti pengungkapan kembali suatu tuturan atau karangan menjadi
bentuk lain namun tidak mengubah pengertian awal. Parafrasa tampil dalam bentuk lain dari
bentuk aslinya, misalnya sebuah wacana asli menjadi wacana yang lebih ringkas, bentuk
puisi ke prosa, drama ke prosa, dan sebaliknya. Parafrasa cenderung diuraikan dengan
menggunakan bahasa si pembuat parafrasa bukan diambil dari kalimat sumber aslinya
apalagi membuat parafrasa secara lisan.
Memparafrasakan suatu tuturan atau karangan secara lisan bisa dilakukan setelah
mendengar tuturan lisan atau setelah membaca suatu naskah tulisan. Hal itu lazim
dilakukan oleh orang yang sudah terbiasa membuat parafrasa. Untuk mereka yang baru dalam
taraf belajar, langkah membuat parafrasa ialah dengan cara meringkasnya terlebih dahulu.
Namun, harus diingat parafrasa disusun dengan bahasa sendiri, bukan dengan bahasa asli
penulis.

Parafrasis
Parafrasis adalah tindakan atau kegiatan untuk membuat parafrase. Untuk melakukan parafrasis,
pertama-tama teks yang akan diparafrase harus dibaca secara keseluruhan. Pembaca perlu untuk
memahami topik atau tema dari teks tersebut, sedangkan untuk teks berbentuk narasi perlu
memahami pula alur atau jalan ceritanya. Selanjutnya, pembaca harus menemukan gagasan atau
ide pokok yang teredapat pada kalimat utama setiap paragragkalimat utama pada setiap paragraf.
Untuk kalimat penjelas, hanya bagian yang penting saja yang diambil, sedangkan bagian yang
berupa ilustrasi, seperti permisalan, dan sebagainya, dapat diabaikan. Untuk mencertikan
kembali teks tersebut, diperlukan kata atau kalimat yang sepadan, efektif, dan mudah dipahami.
Agar lebih singkat, kalimat langsung dapat diubah menjadi kalimat tidak langsung. Dalam
melakukan parafrasis, perlu digunakan bahasa yang ringkas dan mudah dipahami.

B. Cara Membuat Parafrasa


Berikut adalah hal yang perlu dilakukan untuk membuat parafrasa dari sebuah
bacaan.
(1) Bacalah naskah yang akan diparafrasakan sampai selesai untuk memperoleh gambaran
umum isi bacaan/tulisan.
(2) Bacalah naskah sekali lagi dengan memberi tanda pada bagian-bagian penting dan kata-kata
kunci yang terdapat pada bacaan.
(3) Catatlah kalimat inti dan kata-kata kunci secara berurut.
(4) Kembangkan kalimat inti dan kata-kata kunci menjadi gagasan pokok yang sesuai dengan topik
bacaan.
(5) Uraikan kembali gagasan pokok menjadi paragraf yang singkat dengan bahasa sendiri.
Membuat parafrasa lisan berarti uraian tertulis yang telah dibaca atau yang telah
didengar, diungkapkan kembali secara lisan dengan kalimat sendiri dengan menerapkan
teknik membuat parafrasa sama seperti di atas.

Teknik membuat parafrasa lisan adalah seperti berikut :


(1) Membaca informasi secara cermat.
(2) Memahami isi informasi secara umum.
(3) Menulis inti atau pokok informasi dengan kalimat sendiri.
(4) Mencatat kalimat pokok atau inti secara urut.
(5) Mengembangkan kalimat inti atau kata-kata kunci menjadi pokok-pokok pikiran yang
sesuai dengan tema/topik informasi sumber.
(6) Menyampaikan atau menguraikan secara lisan pokok pikiran tersebut dengan menggunakan
kata atau kalimat sendiri.
(7) Jika kesulitan menguraikannya, hal di bawah ini dapat membantu:
(a) Gunakan kata-kata yang bersinonim dengan kata aslinya.
(b) Gunakan ungkapan yang sepadan jika terdapat ungkapan untuk membedakan dengan
uraian aslinya.
(c) Ubahlah kalimat langsung menjadi tidak langsung atau kalimat aktif menjadi pasif.
(d) Jika berbentuk narasi, bisa menggunakan kata ganti orang ketiga.
Contoh :

Di bawah ini adalah contoh sebuah wacana dan proses parafrasanya.


Kewirausahaan merupakan fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi yang
tersebar dan berkelanjutan, serta memperkuat proses demokratisasi suatu bangsa.
Pengembangan kewirausahaan bermakna strategis bagi kemakmuran dan daya saing suatu
bangsa. Hasil studi ACG Advisory Group mengindikasikan pendidikan formal secara umum
berpengaruh terhadap kemampuan berwirausaha, tapi belum mampu menstimulan peserta
didik memiliki kemauan berwirausaha. Hal ini disebabkan pendidikan formal di Indonesia
saat ini hanya berfokus pada upaya mengembangkan sisi pengetahuan peserta didik memahami
bagaimana suatu bisnis seharusnya dialankan dan bukan pada upaya mengembangkan sisi
sikap untuk berwirausaha serta pengalaman berwirausaha.
Fenomena ini disebabkan sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menekankan
pada sisi hard skill daripada sof skill sehingga sisi kognitif peserta didik yang lebih diutamakan
daripada sisi afektif dan psikomotoriknya (Lead Education 2005). Akibatnya, lulusan pendidikan
formal secara umum memiliki pemahaman pengetahuan yang relatif baik mengenai
kewirausahaan, tapi tidak memiliki keterampilan dan mind-set berwirausaha.
Pendidikan pengetahuan kewirausahaan telah diajarkan secara intrakurikuler baik
sebagai mata kuliah/mata pelajaran yang tersendiri maupun sebagai bagian (topik bahasan) dari
mata kuliah/mata pelajaran dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi. Sayangnya,
pembahasan kewirausahaan di lembaga pendidikan formal lebih didasarkan pada
mengajarkan substansi buku teks, daripada memberikan pengalaman nyata bagi peserta didik
untuk berwirausaha sehingga tidak mampu mengubah pola pikir dan sikap agar peserta
didik memiliki kemauan dankemampuan berwirausaha. Fenomena ini dibuktikan dari
banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur (11,7% dari 6 juta orang lulusan
perguruan tinggi), dan hanya kurang dari 5% lulusan perguruan tinggi yang akhirnya membuka
usaha sendiri.
Perubahan sistem pendidikan tinggi dan orientasi masyarakat untuk kuliah perlu diubah
untuk mengurangi pengangguran lulusan perguruan tinggi padamasa mendatang. Kurikulum
pendidikan tinggi yang berbasis pengetahuan perlu diubah ke arah kurikulum yang berbasis
kompetensi dan mendidik kemandirian. Pengembangan jiwa kewirausahaan di kalangan
mahasiswa diharapkan dapat menyelesaikan pertambahan masalah pengangguran lulusan
perguruan tinggi di Indonesia pada masa mendatang.
Perubahan kurikulum ini memerlukan dukungan bahan ajar yang atraktif dan
praktis sesuai dengan tingkat kompetensi peserta didik, serta peningkatan kualitas guru dalam
memahami kewirausahaan dan keterampilan teknis lainnya. Guru diharapkan mampu
membekali keterampilan praktis kepada siswa didiknya yang bermanfaat untuk membuka
usaha, seperti : pendidikan memasak, menjahit, membuat kerajinan tangan, dan sejenisnya.
Perubahan pola pendidikan ini akan menghasilkan lulusan pendidikan formal yang memiliki
pola pikir untuk berwirausaha serta mempunyai keterampilan dasar yang bermanfaat untuk
berwirausaha kelak di kemudian hari.
Hal-hal pokok yang terdapat dalam wacana di atas adalah seperti berikut.

1. Kewirausahaan merupakan fondasi pertumbuhan ekonomi dan memperkuat proses


demokratisasi suatu bangsa.
2. Pendidikan formal di Indonesia hanya berfokus pada upaya mengembangkan pengetahuan
bagaimana suatu bisnis harus dialankan bukan mengembangkan sikap untuk berwirausaha.
3. Pendidikan di Indonesia lebih menekankan sisi hard skill bukan sof skill /sisi kognitif bukan
afektif dan psikomotorik.
4. Pola pendidikan ini tidak mengubah pola pikir dan sikap peserta didik agar memiliki kemauan
dan kemampuan untuk berwirausaha.
5. Lulusan perguruan tinggi menganggur 11,7% dari 6 juta orang dan hanya di bawah 5%
lulusan yang membuka usaha sendiri.
6. Perubahan sistem pendidikan tinggi dan orientasi masyarakat harus kuliah perlu dilakukan.
7. Perubahan kurikulum memerlukan dukungan bahan ajar yang atraktif dan praktis sesuai dengan
tingkat kompetensi peserta didik serta guru dalam memahami kewirausahaan.
8. Perubahan pola pendidikan ini akan menghasilkan lulusan pendidikan formal yang memiliki
pola pikir untuk berwirausaha serta memiliki keterampilan dasar yang bermanfaat untuk
berwirausaha kelak di kemudian hari.

Parafrasa wacana seperti berikut.


Kewirausahaan merupakan fondasi dan penguat pertumbuhan ekonomi dan
demokratisasi suatu bangsa. Pendidikan formal secara umum berpengaruh dalam
mengembangkan kewirausahaan, namun belum dapat menstimulan peserta didik untuk mau
berwirausaha. Sistem pendidikan di Indonesia baru mengembangkan sisi kognitif yaitu
memahami proses bisnis bukan menumbuhkan sikap berbisnis. Pendidikan di Indonesia lebih
menekankan hard skill daripada sof skill. Hal ini menyebabkan lulusan perguruan tinggi
menganggur 11,7 % dari 6 juta orang dan hanya kurang dari 5% yang membuka usaha sendiri.
Perubahan pendidikan formal termasuk orientasi masyarakat yang mengharuskan kuliah perlu
dilakukan. Namun, hal itu perlu didukung oleh bahan ajar yang atraktif dan praktis serta
guru yang memahami kewirausahaan. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan lulusan
pendidikan formal memilki pola pikir untuk berwirausaha dan mempunyai keterampilan dasar
untuk modal berwirausaha kelak di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai