Anda di halaman 1dari 12

1.

Tradisi oyog untuk ibu hamil


Tradisi oyog merupakan tradisi menggoyang-goyangkan perut ibu hamil yang
oleh etnis Jawa di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan,
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tradisi ini dilakukan sejak usia kehamilan
menginjak bulan ketiga sampai bulan kesembilan. Biasanya tradisi ini dilakukan
oleh dukun bayi setempat.
Masyarakat setempat menilai, tradisi oyog bermanfaat untuk mengurangi
berbagai keluhan pada kehamilan, melancarkan proses persalinan, dan
memberikan kenyamanan dan rasa tenang.
2. Pengobatan oleh Topo Tawoi
Topo Tawui adalah dukun yang melakukan semua pengobatan penyakit,
termasuk persalinan, dengan meniup bagian tubuh yang sakit tanpa
menggunakan alat apapun. Mayoritas persalinan pada etnis Kaila Da'a di Desa
Wulai, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Tengah,
dilakukan di rumah dengan banguan Topo Tawui.
Persalinan yang dilakukan di rumah dianggap wajar karena sudah dilakukan
turun temurun. Mereka pun merasa lebih nyaman melakukan persalinan dengan
Topo Tawui karena alat kelamin ibu tertutup oleh sarung.
3. Kematian bayi karena makhluk gaib
Tingginya angka kematian bayi pada etnis Laut di Desa Tanjung Pasir, Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau, masih dipercaya disebabkan oleh kepercayaan bahwa
penyakit yang menyerang disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan tekene
yang merupakan makhluk gaib.
Sayangnya, pengobatan yang dilakukan oleh dukun atau pengobat tradisional
dengan menggunakan cara-cara tradisional diduga dapat berisiko menambah
parah penyakit.
4. Ritual penyembuhan dengan memanggil roh
Untuk menolong dan menyembuhkan masyarakat yang sakit, etnis Dayak Ngaju,
Desa Muroi Raya, Kapuas, Kalimantan Tengah, melakukan ritual memanggil roh
Dewa Sangiang sebagai penyembuhnya. Yang menjadi perantara antara
Sangiang dan pasien disebut lasang atau dukun.
Masih tergantungnya masyarakat terhadap tradisi tersebut disebabkan oleh
akses ke sarana layanan kesehatan yang jauh dan sulit dan jarangnya tenaga
kesehatan yang berkunjung ke desa tersebut. Pengobatan yang dilakukan oleh
dokter dan perawat pun hanya dianggap sebagai pengobatan sampingan.
5. Kusta di Asmat
Ada 150 penderita kusta ditemukan di etnis Asmat di Kampung Mumugu, Distrik
Sawa Erma, Kabupaten Asmat, Papua. Di sana, penderita kusta bisa hidup
berbaur dengan masyarakat lain dan tidak ada pengucilan. Bagi mereka, kusta
hanyalah penyakit kulit biasa sehingga mereka tidak melalukan pencegahan dan
pengobatan. Akibatnya penyebaran kusta pun semakin cepat. Kondisi ini juga
diperparah dengan kondisi sanitasi yang kurang baik.
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan atau disebut juga kultur merupakan keseluruhan cara
hidup manusia
sebagai warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya.
Dalam tiap kebudayaan
terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan kesehatan.
Terdapat kebudayaan
yang bertentangan dengan kesehatan namun, di sisi lain ada
kebudayaan yang sejalan
dengan aspek kesehatan. Dalam arti kebudayaan yang berlaku
tersebut tidak
bertentangan bahkan saling mendukung dengan aspek kesehatan.
Dalam hal ini petugas
kesehatan harus mendukung kebudayaan tersebut. Tetapi kadangkala
rasionalisasinya
tidak tepat sehingga peran petugas kesehatan adalah meluruskan
anggapan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa hubungan perkembangan nilai budaya dengan kesehatan?
2. Apa saja cara pandang terhadap kebudayaan ?
3. Bagaimana perkembangan nilai budaya yang berpengaruh terhadap
kesehatan?
4. Apa saja ragam kebudayaan yang berpotensi
meningkatkan/menurunkan kesehatan?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hubungan perkembangan nilai budaya dengan
kesehatan masyarakat.
3. Mengetahui cara-cara pandang terhadap kebudayaan.
4. Mengetahui perkembangan nilai budaya terhadap kesehatan.
5. Mengetahui ragam kebudayaan yang berpotensi
meningkatkan/menurunkan
kesehatan.
1.4 Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak
khususnya kepada mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan nilai kebudayaan dengan kesehatan
sehingga mampu
mengaplikasikannya dalam teori transkultural nursing.
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Konsep Budaya
1.1 Definisi Kebudayaan
Menurut clifford Geertz merujuk kepada Klukhohn (seorang
antropologi) berasumsi
bahwa kebudayaan itu sebagai cermin bagi manusia (mirror of man)
sehingga dia
mengajukan interpretasi terhadap makna budaya, bahwa kebudayaan
itu merupakan:
1. Keseluruhan pandangan hidup dari manusia
2. Sebuah warisan sosial yang dimiliki oleh individu dari kelompoknya
3. Cara berfikir, perasaan dan mempercayai
4. Abstraksi dan perilaku
5. Bagian penting dari te tentang teori para antropolog tentang cara-
cara di mana sebuah
kelompok orang menyatakan kelakuannya
6. Sebuah gudang pusat pembelajaran
7. Sebuah unit standarisasi orientasi untuk mengatasi pelbagai
masalah yang berulangulang
8. Perilaku yang dipelajari
9. Sebuah mekanisme bagi pengaturan regulatif atas perilaku
10. Kesimpulan teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan lain
dan orang lain
11. Lapisan atau endapan dari sejarah manusia
12. Peta perilaku, matriks perilaku dan saringan perilaku
Budaya adalah metakomunikasi sistem dimana tidak hanya kata
yang diucapkan yang
memberi makna, tetapi segala sesuatu yang lain juga (Matsumoto &
Matsumoto,1989)
Budaya adalah pikiran, komunikasi, tindakan, keyakinan, nilai, dan
lembaga-lembaga ras
dan etnik, agama atau kelompok sosial (OMH,2001)
Budaya adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari kehidupan individu
dan kelompoknya.
1.2 Wujud kebudayaan
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, normanorma,
peraturan dsb. Merupakan wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya
abstrak, tak
dapat di raba atau di lihat. Letaknya ada didalam fikiran warga
masyarakat dimana
kebudayaan bersangkutan itu hidup. Dikenal dengan adat istiadat atau
sering berada
dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat bersangkutan.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari
manusia dalam masyarakat, disebut juga sistem social. Sistem sosial
ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul
yang berdasarkan
adat social tata kelakuan. Sistem social ini bersifat konkrit, serta terjadi
dikeliling kita
sehari-hari, bisa diobservasi, di lihat dan didokumentasikan.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia,
disebut kebudayaan
fisik, dan tak banyak memerlukan penjelasan. Merupakan seluruh total
dari hasil fisik dan
aktifitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat.
Sifatnya paling konkret,
atau berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat di raba, dilihat, dan
difoto. Hasil karya
manusia seperti candi, computer, pabrik baja, kapal, batik sampai
kancing baju.
1.3 Nilai Budaya
Nilai merupakan unsur penting dalam kebudayaan, nilai membimbing
manusia untuk
menentukan sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak, nilai bersifat
abstrak dan nilai
membentuk sikap kita tentang sesuatu apakah itu bermoral dan tidak
bermoral, baik atau
buruk, benar atau salah, dan indah atau buruk.
1.4 Norma Budaya
Nilai dapat dibedakan dari norma, nilai hanya meliputi penilaian
tentang baik buruknya
objek, peristiwa, tindakan atau kondisi, sedangkan norma lebih
merupakan standart
prilaku. Norma merupakan nilai-nilai budaya yang merupakan standar
kelompok, dasar
dari kehidupan sebuah kelompok, jika nilai memperkenalkan kita
bagaimana berprilaku
sepantasnya maka norma secara khusus menggariskan kontrol
terhadap perilaku.
Sebuah norma adalah aturan yang mengatur tentang hukuman atau
ganjaran dalam
berbagai bentuk sesuai dengan variasi posisi sosial orang dalam relasi
antar manusia.
Semua tindakan manusia memiliki akibat tertentu dan norma secara
khusus memberi
akibat sosial bagi seseorang yang melangar aturan tersebut, Bentuk-
bentuk norma antara
lain:
1. Cara
Merujuk pada suatu bentuk perbuatan, norma ini memeiliki kekuatan
yang lemah,
merupakan perbuatan yang diulang-ulang. Contohnya: Menghirup kopi
panas dengan
bunyi, jika dilakukan tidak ada saksi apa-apa.
2. Kebiasaan
Menurut Sumnner kebiasaan sebagai aturan adat istadat yang dapat
dilihat dalam
belbagai situasi, namun tidak cukup kuat mengatur kelompok.
Misalnya: Bercakap-cakap
sebelum rapat, hal ini juga tidak melangar apa-apa
3. Tata Kelakuan
Tata kelakuan berisi perintah dan larangan sehingga anggota
masyarakat menyesuaikan
perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Contohnya: Perihal
antara hubungan pria
dan wanita
4. Adat Istiadat
Anggota masyarakat yang melangar adat istiadat akan menerima saksi
yang keras .
Contohnya : Perkawinan antar strata di Sumba dan Bali, akan
mendapat sanksi yang
keras misalnya dikeluarkan daro strata tersebut.
BUDAYA KESEHATAN INDONESIA
Indonesia sebagai Negara agraris, sebagian besar penduduknya bermukim
di
daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan mayoritas sekolah dasar dan
belum
memiliki budaya hidup sehat. Hidup sehat adalah hidup bersih dan
disiplin
sedangkan kebersihan dan kedisiplinan itu sendiri belum menjadi budaya
sehari-hari. Budaya memeriksakan secara dini kesehatan anggota keluarga
belum tampak. Hal ini terlihat dari banyaknya klien yang datang ke
pelayanan
kesehatan untuk memeriksakan keadaan kesehatan sebagai tindakan
kuratif
belum didukung sepenuhnya oleh upaya promotif dan preventif, misalnya
gerakan 3M pada pencegahan demam berdarah belum terdengar
gaungnya jika
belum mendekati musim hujan atau sudah ada yang terkena demam
berdarah.
Menanamkan budaya hidup sehat harus sejak dini dengan melibatkan
pranata
yang ada di masyarakat, seperti posyandu atau sekolah. Posyandu yang
ada di
komunitas seharusnya diberdayakan untuk menanamkan perilaku hidup
bersih,sehat, dan berbudaya pada anak.
Di dalam masyarakat sederhana, kebiasaan hidup dan adatistiadat
dibentuk
untuk mempertahankan hidup diri sendiri, dan kelangsungan hidup suku
mereka. Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran,
pemberian
makanan bayi, yang bertujuan supaya reproduksi berhasil, ibu dan bayi
selamat.
Dari sudut pandangan modern, tidak semua kebiasaan itu baik. Ada
beberapa
yang kenyataannya malah merugikan. Kebiasaan menyusukan bayi yang
lama
pada beberapa masyarakat, merupakan contoh baik kebiasaan yang
bertujuan
melindungi bayi. Tetapi bila air susu ibu sedikit, atau pada ibu-ibu lanjut
usia,
tradisi budaya ini dapat menimbulkan masalah tersendiri. Dia berusaha
menyusui bayinya, dan gagal. Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana
yang
dibutuhkan bayi (biasanya demikian), bayi dapat mengalami malnutrisi
dan
mudah terserang infeksi.
Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi
penyakitpenyakit
yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti
bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari
sikap
mereka terhadap penyakit itu sendiri. Ada kebiasaan dimana setiap orang
sakit
diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini mungkin dapat mencegah
penularan
dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar atau TBC. Bentuk pengobatan
yang
diberikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang
bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka anggap penyakit itu
disebabkan
oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan
secara
tradisional. Pengobatan modern dipilih bila mereka duga penyebabnya
faktor
alamiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila
ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan pemikiran
secara
medis. Di dalam masyarakt industri modern, iatrogenic disease merupakan
problema. Budaya modern menuntut merawat penderita di rumah sakit,
padahal
rumah sakit itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah
resisten terhadap antibiotika.
KEPERAWATAN TRANSKULTURAL
Keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang
berfokus
pada analisa dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya
(Leinenger,
1987). Keperawatan transkultural merupakan ilmu dan kiat yang humanis,
yamh
difokuskan pada perilaku individu atau kelompok, serta proses untuk
mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat atau perilaku sakit
secara
fisik dan psikokultural sesuai latar belakang budaya ( Leininger, 1984).
Pelayanan keperawatan transkultural diberikan kepada pasien sesuai
dengan
latar belakang budayanya.
1. Tujuan Keperawatan Transkultural
Tujuan pengguanaan keperawatan transkultural adalah pengembangan
sains
dan keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada
kebudayaan (kulturculture) yang spesifik dan universal (Leininger,1978).
Kebudayaan yang spesifik adalah kebudayaan dengan nilai dan norma
yang
spesifik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain seperti pada suku Osing,
Tengger,ataupun Dayak. Sedangkan, kebudayaan yang universal adalah
kebudayaan dengan nilai dan norma yang diyakini dan dilakukan oleh
hamper
semua kebudayaan seperti budaya olahraga untuk mempertahankan
kesehatan.
Negosiasi budaya adalah intervensi dan implementasi keperawatan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatannya. Perawat membantu klien agar dapat
memilih
dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan status
kesehatan. Misalnya, jika klien yang sedang hamil mempunyai pantangan
untuk
makan makanan yang berbau amis seperti ikan, maka klien tersebut dapat
mengganti ikan dengan sumber protein nabati yang lain.
Restrukturisasi budaya perlu dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan
status kesehatan klien. Perawat berupaya melakukan strukturisasi gaya
hidup
klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Seluruh
perencanaan dan
implementasi keperawatan dirancang sesuai latar belakang budaya
sehingga
budaya dipandang sebagai rencana hidup yang lebih baik setiap saat, pola
rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan
sesuai
dengan keyakinan yang dianut.
PERAN PERAWAT DALAM MENGHADAPI ANEKA BUDAYA
Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu system. Peran
perawat
dipengaruhi oleh keadaan social baik dari dalam maupun dari luar profesi
keperawatan dan bersifat konstan.
Doheny (1982) mengudentifikasi beberapa elemen peran perawat
professional
meliputi:
1. Care giver
Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat
memberikan
pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien,
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi : melakukan
pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan evaluasi yang benar,
menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis data,
merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah
yang
muncul dan membuat langkah atau cara pemecahan masalah,
melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada, dan melakukan
evaluasi
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukannya.
Dalam memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan, perawat
memperhatikan individu sebagai makhluk yang holistic dan unik.Peran
utamanya adalah memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang
meliputi
intervensi atau tindakan keperawatan, observasi, pendidikan kesehatan,
dan
menjalankan tindakan medis sesuai dengan pendelegasian yang diberikan.
2. Client advocate
Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antar klien
dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien,
membela
kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan
upeya
kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan
tradisional
maupun professional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat
bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan
keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam
menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus dapat melindungi dan
memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.
Selain itu, perawat juga harus dapat mempertahankan dan melindungi
hak-hak
klien, antara lain :
Hak atas informasi ; pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata
tertib
dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit/ sarana pelayanan kesehatan
tempat
klien menjalani perawatan
Hak mendapat informasi yang meliputi antara lain; penyakit yang
dideritanya,
tindakan medic apa yang hendak dilakukan, alternative lain beserta
resikonya,
dll
3. Counsellor
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi
klien
terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pula interaksi ini merupakan
dasar
dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan
adaptasinya.
Memberikan konseling/ bimbingan kepada klien, keluarga dan masyarakat
tentang masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada
individu/keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan
penglaman yang lalu, pemecahan masalah difokuskan pada masalah
keperawatan, mengubah perilaku hidup kearah perilaku hidup sehat.
4. Educator
Sebagai pendidik klien perawat membantu klien meningkatkan
kesehatannya
malalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan
tindakan
medic yang diterima sehingga klien/keluarga dapat menerima tanggung
jawab
terhadap hal-hal yang diketahuinya. Sebagai pendidik, perawat juga dapat
memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok keluarga yang
beresiko
tinggi, kadar kesehatan, dan lain sebagainya.
4. Collaborator
Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam
menentukan rencan maupun pelaksanaan asuhan keperawtan guna
memenuhi
kebutuhan kesehatan klien.
5. Coordinator
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik
materi maupun kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada
intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih. Dalam menjalankan
peran
sebagai coordinator perawat dapat melakukan hal-hal berikut:
Mengoordinasi seluruh pelayanan keperawatan
Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas
Mengembangkan system pelayanan keperawatan
Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan
keperawatan pada sarana kesehatan
6. Change agent
Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir,
bersikap,
bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan klien/keluarga agar
menjadi
sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang
sistematis
dalam berhubungan dengan klien dan cara memberikan keperawatan
kepada
klien
7. Consultan
Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien
terhadap
informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini
dapat
dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan
kondisi
spesifik lain.
Untuk menghadapi berbagai fenomena kebudayaan yang ada di
masyarakat,
maka perawat dalam menjalankan perannya harus dapat memahami
tahapan
pengembangan kompetensi budaya, yaitu:
Pertama:
Pahami bahwa budaya bersifat dinamis.
Hal ini merupakan proses kumulatif dan berkelanjutan
Hal ini dipelajari dan dibagi dengan orang lain.
Perilaku dan nilai budaya di tunjukkan oleh masyarakat
Budaya bersifat kreatif dan sangat bermakana dalam hidup.
Secara simbolis terlihat dari bahasa dan interaksi
Budaya menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak
Kedua:
Menjadi peduli dengan budaya sendiri.
Proses pemikiran yang terjadi pada perawat juga terjadi pada yang lain,
tetapi
dalam bentuk atau arti berbeda.
Bias dan nilai budaya ditafsirkan secara internal
Nilai budaya tidak selalu tampak kecuali jika mereka berbagi secara sosial
dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga:
Menjadi sadar dan peduli dengan budaya orang lain trerutama klien yang
diasuh
oleh perawat sendiri
Budaya menggambarkan keyakinan bahwa banyak ragam budaya yang
ada
sudah sesuai dengan budayanya masing-masing
Penting untuk membangun sikap saling menghargai perbedaan budaya
dan
apresiasi keamanan budaya
Mengembangkan kemampuan untuk bekerja dengan yang lain dalam
konteks
budaya, diluar penilaian etnosentris
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika
Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika
http://leksi-ndolu.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai