Referat Demam Tifoid Pada Kehamilan
Referat Demam Tifoid Pada Kehamilan
PENDAHULUAN
I. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi usus halus yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi.
S.typhi dapat masuk dalam tubuh manusia melalui makanan
yang tercemar. Beberapa bakteri yang tidak musnah oleh asam
labung akan masuk ke usus halus dan mencapai limfoid plak Peyeri
di ileum terminalis yang hipertrofi. S.typhi ini juga dapat bersarang
pada hati, limpa dan bagian-bagian lain selaian sistem
retikuloendotelial. Endotoksin S.typhi berperan dalam proses
inflamasi lokal ada jaringan tempat kuman tersebut berkembang
biak sehingga merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan
leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam.
2. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap
kuman S. Typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi
3. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik
yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji
ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang bewarna dengan
lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel
magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukan terdapat
infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjukan pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan
memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan
sehingga dapat merangsang respon imun secara independen
terhadap timus dan merangsang mitosis sel B terhadap anti-
gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9
dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi
primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui
bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat
mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai
modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3
macam komponen, meliputi :
a. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk
meningkatkan sensitivitas
b. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik
yang diselubungi dengan antibodi monoklonal
spesifik untuk antigen O9.
Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes
serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu
tetes (25 L) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 L)
ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada
kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian
diletakan pada rak tabung yang mengandung magnet dan
diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm.
Demam Tifoid pada Kehamilan Page 7
Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga
kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada Tabel berikut :
Skor Interpreta
si
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.
Ulangi pengujian, apabila masih
meragukan lakukan pengulangan
beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Posistif Indikasi kuat infeksi tifoid
4. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi.
Hasil positif pada uji thypidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM
dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang
terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas
sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian
yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian
Demam Tifoid pada Kehamilan Page 8
lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan
spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79%
dan 89% dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG)
teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi.
IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian
IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara
infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada
kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut uji ini
kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada
sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-
M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik
yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan
oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M
menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas
mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur.
6. Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam
tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam
tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut :
a. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang
lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman
c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi dalam darah pasien.
Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif
d. Saat pengambilan darah setelah minggu
pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.
V. Penatalaksanaan
1.Non-Farmakologis
Penatalaksanaan demam tifoid secara non-farmakologis
berupa :
2.Farmakologis
Obat-obat antimikroba yang dapat diberikan pada ibu hamil:
a. Ampisilin dan amoksisilin, kemampuan obat ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan ialah
100 mg/kg BB dan digunakan selama 2 minggu. Obat
ini memiliki ketersediaan biologik 60%, waktu paruh
plasmanya 1,5 jam.
b. Sefalosporin generasi ketiga, hingga saat ini
golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti
efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis
yang dianjurkan pada ibu hamil ialah 3x500mg.
c. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3
kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus
prematurus, kematian fetus intrauterine, dan grey
syndrome pada neonatus.
d. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada
trimester pertama kehamilan karena kemungkinan
efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum
dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut
tiamfenikol dapat digunakan.
e. Golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak
boleh digunakan.
VI. Komplikasi
Pada trimester pertama dapat terjadi aborsi. Meskipun
telah didiagnosis secara awal dan dilakukan pengobatan dengan
benar, aborsi terjadi pada usia 16 minggu kehamilan dan
ditemukan S.typhi pada autopsi fetus. Hemorhagic petekie