HEPATITIS B DALAM
KEHAMILAN
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di
bagian Ilmu Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien
Meulaboh
Oleh :
Pembimbing :
dr. Armansyah Harahap Sp.OG
dr. Adyanur Munira Sp.OG
1
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 HEPATITIS B
2.1.1 Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (VHB) yang
termasuk family Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil (42nm). VHB
merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah
teridentifikasi, yaitu genotip A-H. VHB memiliki 3 morfologi dan mampu
mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg.
Bagian luar Virus ini terdiri dari HBsAg sedangkan bagian dalam
adalah nukleokapsid yang terdiri dari HBcAg. Dalam nukleokapsid
didapatkan kode genetik VHB yang terdiri dari NA Untai ganda untai ganda
(double sttranded) dengan panjang 3200 nukleotida. Ketiga morfologi dari
VHB yaitu:
1. Partikel sferis (bulat) kecil yang pleomorfik berdiameter 22 nm.
2. Partikel berbentuk tubuler atau filament berdiameter 22 nm dengan
berbagai macam panjang antara 50-250nm
3
3. Partikel virus hepatitis B sendiri berdiameter 42 nm berbentuk sferis
berikut rangkap yang disebut partikel Dane Partikel ini dianggap
sebagai bagian virus hepatitis yang infeksi.
5
b. VHB masuk (penetrasi) ke dalam hepatosit dengan mekanisme endositosis.
c. Pelepasan partikel core yang terdiri dari HBcAg, enzim polymerase dan
DNA VHB ke dalam sitoplasma. Partikel core tersebut selanjutnya
ditransportasikan menuju nucleus hepatosit.
d. Karena ukuran lubang pada dinding nucleus lebih kecil dari partikel core,
sebelum masuk nucleus akan terjadi genome uncoating (lepasnya HBcAg),
dan selanjutnya genom VHB yang masih terbentuk partially double
stranded masuk ke dalam nucleus (penetrasi genom ke dalam nucleus).
e. Selanjutnya partially double stranded DNA tersebut akan mengalami proses
DNA repair menjadi double stranded covalently close circle DNA (ccc
DNA)
f. Transkripsi cccDNA menjadi pregenom RNA dan beberapa messenger
RNA (mRNA LHBs, mRNA MHBs dan mRNA SHBs).
g. Pregenom RNA dan messenger RNA akan keluar dari nucleus melalui
nucleus pore. Translasi pregenom RNA dan messenger RNA akan
menghasilkan protein core (HBcAg), HBeAg dan enzim polymerase,
sedangkan translasi mRNA LHBs, mRNA MHBs dan mRNA SHBs akan
menghasilkan komponen protein HBsAg, yaitu large protein (LHBs),
middle protein (MHBs) dan small protein (SHBs).
h. Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polymerase menjadi
partikel core. Proses ini disebut juga proses assembly dan terjadi di dalam
sitoplasma.
i. Proses maturasi genom di dalam partikel core dengan bantuan enzim
polymerase berupa transkripsi balik pregenom RNA. Proses ini dimulai
dengan proses priming sintesis untai DNA (-) yang terjadi bersamaan
dengan degradasi pregenom RNA, dan akhirnya sintesa untai DNA (+).
j. Karena masa paruh hidup cccDNA di dalam nucleus hanya 2-3 hari, untuk
mempertahankan persistensi perlu suplai genom terus menerus. Suplai
DNA tersebut bisa berasal dari infeksi baru hepatosit oleh VHB atau
proses re-entry partikel core yang dihasilkan di dalam sitoplasma.
6
k. Selanjutnya terjadi proses coating partikel core yang telah mengalami
proses maturasi genom oleh protein HBsAg. Proses coating tersebut
terjadi di dalam reticulum endoplasmic. Disamping itu di dalam reticulum
endoplasmic juga terjadi sintesa partikel VHB lainnya partikel tubuler
dan partikel sferik yang hanya mengandung LHBs, MHBs, SHBs (tidak
mengandung partikel core).
l. Selanjutnya melalui apparatus Golgi disekresi partikel-partikel VHB yaitu
partikel Dana, partikel tubuler, dan partikel sferik. Hepatosit juga akan
menyekresikan HBeAg langsung ke dalam sirkulasi darah karena HBeAg
bukan merupakan bagian structural partikel VHB.
2.1.3 Epidemiologi
Hepatitis B tersebar di seluruh dunia, WHO memperkirakan lebih dari
2 milyar orang terinfeksi HBV (termasuk 240 juta dengan infeksi kronis).
Setiap tahun diperkirakan sekitar 1.000.000 orang meninggal akibat infeksi
HBV. Pada negara dengan VHB endemis tinggi (prevalensi HBsAg berkisar di
atas 8%), infeksi dapat terjadi pada semua golongan usia. Prevalensi terjadinya
infeks Hepatitis B kronik pada anakanak jauh lebih tinggi dibandingkan pada
orang dewasa. Penularan Hepatitis B terutama terjadi selama masa kehamilan
dari ibu dengan Hepatitis B ke anak (penyebaran perinatal). Menurut tingginya
7
prevalensi infeksi VHB, WHO membagi dunia menjadi 3 macam daerah yaitu
daerah dengan endemisitas tinggi, sedang, dan rendah.
a. Daerah Endemisitas Tinggi, Di daerah dengan endemisitas tinggi, penularan
utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah
frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%. Daerah yang termasuk
kelompok ini adalah Afrika, negara Asia sebelah timur India termasuk Cina,
pulau-pulau di Lautan Pasifik, Lembah Amazon, daerah pesisir Artic,
sebagian negara Timur Tengah dan Asia kecil serta kepulauan Karibia.
b. Daerah Endemisitas Sedang, Di daerah dengan endemisitas sedang penularan
terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi
HBsAg dalam populasi berkisar 2-10%. Daerah dengan endemisitas
sedang adalah Eropa Selatan, Eropa Timur, sebagian Rusia, sebagian negara
Timur Tenga, Asia Barat, India, Jepang, Amerika Tengah, Amerika
Selatan.
c. Daerah Endemisitas Rendah, Di daerah dengan endemisitas rendah penularan
utama terjadi masa dewasa. Penularan pada masa perinatal masa perinatal
dan kanak-kanak sangat jarang. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar
kurang 2%. Daerah ini meliputi Amerika Utara, dan Eropa Barat, sebagian
Rusia, dan sebagian Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru.
2.1.5 Patogenesis
Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukanlah suatu virus yang
sitopatik. Kelainan sel hati yang diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan
oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan
akhir untuk mengeliminasi VHB tersebut. Pada kasus-kasus Hepatitis B akut
respons imun tersebut berhasil mengeliminasi sel-sel hepar yang terkena infeksi
VHB sehingga terjadi nekrosis sel-sel yang mengandung VHB dan terjadi gejala
klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Pada sebagian penderita respons imun
tersebut tidak berhasil menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi sehingga
VHB tersebut tetap mengalami replikasi. Pada kasus-kasus dengan Hepatitis B
kronik, respons imun tersebut ada, tetapi tidak sempurna sehingga hanya
terjadi nekrosis pada sebagian sel hati yang mengandung VHB dan masih
tetap ada sel hati yang terinfeksi yang tidak mangalami nekrosi.
Dengan demikian infeksi VHB dapat menjalar ke sel lainnya.
Pada pengidap HBsAg simptomatik respons imun tersebut sama sekali tidak
10
efektif sehingga tidak ada nekrosis sel hati yang terinfeksi dan virus tetap
mengadakan replikasi tanpa adanya gejala klinik.
Setelah VHB masuk dalam tubuh dan akhirnya masuk ke dalam sel hati
VHB akan mengalami replikasi. Pertama kali VHB akan berhubungan dengan
respons imun nonspesifik yang mampu bekerja dalam waktu beberapa menit
atau jam yang kemudian diikuti oleh naiknya kadar IFN. Proses eliminasi
nonspesifik ini tidak disertai restriksi HLA dan melibatkan NK dan LKT yang
dirangsang oleh IFN. Selanjutnya akan terjadi respons imun spesifik, baik yang
bersifat seluler maupun humoral. Respons imun seluler berupa proses sitolitik
yang akan menyebabkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Proses
sitolitik tersebut disebabkan oleh aktivitas sel T sitolitik yang telah diaktifkan.
Di samping itu, juga terjadi eliminasi virus intraseluler tanpa
menimbulkan pecahnya sel-sel yang terinfeksi. Proses itu disebut proses
eliminasi nonsitolitik yang terjadi karena aktivitas sitokin. Respons imun
humoral terjadi melalui proses terbentuknya anti-HBs yang ikut membantu
eliminasi VHB. Bila proses yang terjadi pada Hepatitis B akut tidak efektif
sehingga sel yang terinfeksi tidak berhasil dihilangkan seluruhnya, akan terjadi
infeksi Hepatitis B kronik. Pada Hepatitis B kronik antigen viral yang
diekspresikan pada membran hepatosit adalah HBcAg dan HBeAg. Perlu
diketahui bahwa antara HBcAg dan HbeAg terjadi reaksi imunologik silang
pada tingkat sel T. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak
efisien dapat disebabkan oleh faktor viral ataupun faktor inang. Faktor viral
antara lain:
Terjadinya toleransi imun terhadap produk VHB
Hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi
Terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg
Integrasi genom VHB dalam genom sel hati.
11
Faktor inang antara lain:
Faktor genetik
Kurangnya produksi IFN
Adanya antibody terhadap antigen nukleokapsid
Kelainan fungsi limfosi
Faktor kelamin atau hormonal
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit hepatitis B ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan laboratorium klinik, pemeriksaan serologis hepatitis B, dan
pemeriksaan penunjang berupa USG. Hepatitis kronis umumnya tidak
menimbulkan gejala atau tidak menunjukka gejala yang khas berupa tidak
ada nafsu makan, kelelahan, mual, muntah-muntah, nyeri daerah perut
sebelah kanan atas dan ikterus. Bagaimanapun juga anamnesis yang teliti
seperti lahir dan hidup didaerah endemis, keluarganya ada yang sakit hepatitis
B dan sebagainya akan membantu tegaknya diagnosis hepatitis B.
Pemeriksaan enzim transaminase seperti SGPT dan SGOT akan
meningkat yang menunjukka terjadi kerusakan dan nekrosis sel hati. Pada
kerusakan hepatosis juga didapatkan gama GT meningkat disamping
peningkatan bilirubin. Petanda serum merupakan kunci dalam menegakkan
diagnosis hepatitis B. Tiga petanda yang penting untuk diagnosis, yaitu:
1. Petanda infeksi : HBsAg adalah sebagai tanda ada infeksi hepatitis B
dan bila dalam 6 bulan tidak hilang berarti menjadi kronis. IgM anti-HBc
adalah salah satu antibody yang terlihat selama masa akut sedangkan IgG
anti-HBc tetap positif seumur hidup.
2. Petanda replikasi : petanda untuk mengetahui adanya replikasi virus adalah
HBeAg dan DNA VHB
3. Petanda untuk mengetahui penyakit akut atau kronis, yaitu IgM anti-
HBc yang menunjukkan adanya kerusakan hati pada hepatitis akut.
15
Gambar 6. Petanda serologis Hepatitis B
16
2.1.8 Pencegahan
Seperti pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan infeksi Hepatitis B
bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik.
Pencegahan non-spesifik infeksi Hepatitis B dapat dilakukan dengan
menerapkan pencegahan universal yang baik dan melakukan penapisan pada
kelompok resiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti
menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh penderita,
penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang
benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum
menangani penderita dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga
medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular Hepatitis B. Selain itu,
penapisan pada kelompok risiko tinggi (orang yang lahir di daerah dengan
endemisitas VHB tinggi, orang dengan pasangan seksual multipel,
homoseksual, semua wanita hamil, penderita HIV dan Hepatitis C, pengguna
jarum suntik, penderita hemodialisis, penderita dengan terapi imunosupresan,
serta orang dengan kadar ALT/AST yang tinggi dan menetap) sebaiknya
dilakukan. Penderita yang terbukti menderita Hepatitis B sebaiknya diberi
edukasi perubahan perilaku untuk memutus rantai infeksi Hepatitis B.
Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan Hepatitis B,
pencegahan postexposure berupa kombinasi HBIG (untuk mencapai kadar anti-
HBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin Hepatitis B (untuk kekebalan
jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Untuk pajanan
perinatal (bayi yang lahir dari ibu dengan Hepatitis B), pemberian HBIG single
dose, 0,5 mL secara intra muskular di paha harus diberikan segera setelah
persalinan dan diikuti 3 dosis vaksin Hepatitis B (imunisasi), dimulai pada usia
kurang dari 12 jam setelah persalinan. Pemberian HBIG dan Vaksin Hepatitis B
dilakukan pada paha yang berbeda. Untuk mereka yang mengalami inokulasi
langsung atau kontak mukosa langsung dengan cairan tubuh penderita Hepatitis
B, maka profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB,
yang diberikan sesegera mungkin.
17
Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, dimulai dari
minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak
seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum
14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin
Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan namun di lokasi
injeksi yang berbeda.
Pencegahan spesifik preexposure dapat dilakukan dengan
memberikan vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi. Vaksin Hepatitis
B yang tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang diproduksi
dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi intra
muskular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0, 2, 3 dan 4 bulan. (program
imunisasi nasional). Indonesia telah memasukkan imunisasi Hepatitis B
dalam program imunisasi rutin Nasional pada bayi baru lahir pada tahun 1997.
Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap
infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai
dari terdeteksinya antiHBs di serum penderita setelah pemberian imunisasi
Hepatitis B lengkap (34 kali). Tingkat keberhasilan imunisasi ditentukan oleh
faktor usia penderita, dengan lebih dari 95% penderita mengalami kesuksesan
imunisasi pada bayi, anak dan remaja, kurang dari 90% pada usia 40 tahun, dan
hanya 6570% pada usia 60 tahun.
Penderita dengan sistem imun yang terganggu juga akan memberikan
respons kekebalan yang lebih rendah. Bayi dari ibu dengan HBsAg () tidak akan
terpajan virus Hepatitis B selama proses persalinan, namun risiko bayi tersebut
untuk terpajan virus Hepatitis B tetap tinggi, mengingat endemisitas
penyakit ini di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, infeksi virus
Hepatitis B pada anak memiliki risiko perkembangan kearah Hepatitis B
kronis yang lebih besar. Maka setiap bayi yang lahir di Indonesia diwajibkan
imunisasi Hepatitis B. Vaksin yang digunakan adalah vaksin rekombinan yang
mengandung HBsAg yang diproduksi ragi.
18
Vaksin ini diberikan secara intramuskular pada saat bayi lahir dan
dilanjutkan minimal pada bulan ke1 dan ke6. Namun panduan imunisasi yang
berlaku di Indonesia menyarankan pemberian imunisasi pada saat bayi lahir,
pada bulan ke2, bulan ke3, dan bulan ke4. Pemberian imunisasi dilakukan oleh
tenaga medis terlatih di masingmasing daerah.
2.1.9 Penanganan
Orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap Hepatitis B atau tidak
diketahui status imunitasnya dan terpajan cairan tubuh penderita Hepatitis B,
baik secara perkutan maupun secara seksual harus mendapatkan profilaksis
pasca pajanan secepatnya. Pada kasus pajanan pada cairan tubuh penderita
yang tidak diketahui status HBsAgnya, sebaiknya sumber pajanan diperiksa
dahulu status HBsAgnya. Apabila sumber pajanan tidak mengidap Hepatitis B
(HBsAg negatif), maka profilaksis pasca pajanan tidak diperlukan, namun
apabila status HBsAg sumber pajanan (+) atau tidak dapat diketahui, maka
profilaksis wajib diberikan. Profilaksis yang digunakan adalah HBIG single
dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin (maksimal 48 jam
setelah pajanan).
Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, paling lambat pada
minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak
seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum
14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin
Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi
injeksi yang berbeda. Status HBsAg dan antiHBs penderita lalu diperiksa
kembali 1 bulan setelah pajanan. Apabila orang yang terpajan terbukti
memiliki kadar antiHBs > 10 IU/L, maka profilaksis pasca pajanan tidak perlu
diberikan.
Penderita dengan HBsAg (+) harus segera dikonsultasikan dengan
dokter untuk evaluasi lebih lanjut. Penderita juga harus diperiksakan status
HBeAg, antiHBe, DNA VHB, SGOT, dan SGPTnya untuk menentukan tingkat
19
keparahan penyakit dan saat terapi yang tepat. Pilihan terapi yang bisa
digunakan mencakup Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin, Entecavir,
atau Tenofovir.
23
Transmisi intrapartum atau labor dapat terjadi jika terdapat transfusi
darah ibu ke fetus saat kontraksi; akibat dari ketuban pecah; dari darah ibu
yang terkontaminasi HBV atau cairan ketuban atau cairan vagina yang
tertelan bayi atau masuk ke sirkulasi darah bayi melalui ruptur plasenta; atau
melalui kontak langsung fetus dengan darah atau cairan yang terinfeksi
melalui jalan lahir ibu. Jumlah HBV sebanyak 10 IU/mL dari darah ibu
yang masuk ke janin dapat menyebabkan infeksi HBV pada janin. Transmisi
postpartum terjadi dalam jumlah yang sedikit dan mekanismenya masih
belum diketahui dengan jelas.
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah terdapat kontak langsung dari
bayi terhadap sekret ibu yang terkontaminasi infeksi HBV. Dapat juga terjadi
melalui: kontak langsung dari ibu ke bayi sepertu mencium bayi dengan
mulut ke mulut, selain itu juga dapat terjadi akibat infeksi nosocomial yaitu
kurangnya higenitas tenaga kesehatan yang berhubungan dengan bayi dan ibu.
Tanpa profilaksis resiko transmisi ibu ke bayi sangat tinggi. Bervariasi
tergantung dari status HBeAg/antiHBe ibu. 70%90% pada ibu dengan HBeAg
positif, 25% pada ibu dengan HBeAg negatif/HBeAb negatif, dan 12% pada
ibu dengan HBsAg negatif/antiHBe positif.
Program skrining pada ibu hamil bertujuan untuk mengidentifikasi
HBsAg positif pada ibu merupakan pemeriksaan yang umumnya di lakukan
pada kehamilan di kebanyakan negara. Saat HBsAg positif teridentifikasi
maka bayi akan mendapatkan imunoprofilaksis aktif dan pasif untuk
mencegah penularan secara vertikal dari ibu ke bayi. Imunoprofilaksis
pasif adalah dengan memberikan imunoglobulan Hepatitis B (HBIG) dan
imunoprofilaksis aktif adalah dengan memberikan vaksin hepatitis B.
Meskipun dengan pemberian profilaksis ini efektif dalam mencegah
penularan HBV melalui ibu, namun beberapa anak (3%13%) yang lahir dari
ibu dengan HBsAg positif, terutama dengan HBeAg akan menjadi karier
HBsAg meskipun telah diberikan imunoprofilaksis baik secara aktif maupun
24
pasif HBeAg ibu dapat melewati plasenta dari ibu ke fetus dan merangsang
toleransi sel T dalam uterus.
Mekanisme infeksi HBV intrauterine masih belum diketahui
dengan jelas namun penyebab utamanya adalah gagalnya blockade imun.
Serum DNA HBV yang tinggi pada wanita hamil merupakan faktor resiko
utama untuk terjadinya infeksi HBV intrauterine, berhubungan dengan kadar
DNA HBV dalam darah umbilical dan titer HBsAg. HBV dapat menginfeksi
semua sel pada plasenta (desidua, trofoblastik, mesenkimal villi, sel endotel
kapiler vili) dan DNA HBV terdapat pada semua generasi sel
spermatogenik dan sperma pada lakilaki dengan infeksi HBV, cairan
folikular dan pada ovarium. Adanya virus pada sel sperma dapat menjadi
salah satu penyebab transmisi infeksi HBV pada neonatus.
25
Tabel 2. Kategori obat antiviral untuk hepatitis B pada kehamilan
Obat kategori kehamilan
Lamivudin C
Entecavir C
Telbivudin B
Adefovir C
Tenofovir B
Interferon alpha 2a C
PegylatedInterferon alpha 2a C
26
Pada kasus dimana perempuan yang tidak mendapat pengobatan HBV
dan berencana untuk hamil, maka terapi dapat ditunda setelah persalinan.
Contohnya, jika perempuan tersebut berada pada fase imuntoleransi saat
infeksi (tingginya kadar DNA HBV dengan ALT normal dan biopsi hepar
inaktif) terapi dapat ditunda setelah persalinan. Namun, perempuan dengan
HBeAg positif dan viral load yang tinggi maka profilaksis harus diberikan
pada trisemester ketiga untuk mengurangi transmisi.
Pada perempuan yang dalam pengobatan dan hamil, jika terdapat
fibrosis yang signifikan makan terapi harus tetap dilanjutkan untuk
mengurangi resiko terjadinya dekompensasio dari penyakit hepar. Ini
memiliki efek yang negatif terhadap kesehatan fetus. Jika memungkinkan
dapat diganti dengan agen antiviral yang lebih aman untuk kehamilan.
Kesimpulannya, pemilihan terapi antiHBV pada perempuan hamil
tergantung dari tujuan pengobatan apakah untuk menangani penyakit hepat
akut dimana terapi tidak dapat ditunda atau untuk mencegah transmisi infeksi
pada fetus dari tingginya viremia pada ibu tanpa kelainan hepar yang
signifikan. Pada perempuan yang sedang dalam pengobatan dan hamil makan
obat dapat dilanjutkan atau dihentikan atau diganti dengan obat kategori B.
Semua perempuan hamil pada trisemester pertama harus melakukan
skrining terhadap infeksi HBV. Jika hasilnya negatif, tidak diperlukan
vaksinasi yang rutin selama hamil, meskipun aman dan harus diberikan
pada mereka dengan resiko tinggi: bergantiganti pasangan (lebih dari dua
dalam waktu 6 bulan terakhir), riwayat penyakit menular seksual atau
terinfeksi penyakit menular seksual, Intravenous drug users, tinggal di daerah
endemik HBV, dan mereka dengan pasangan HBsAg positif. Pada bayi
diberikan vaksinasi terhadap hepatitis B dan vaksinasi lainnya. Jika pada
perempuan hamil didapatkan hasil yang positif pada awal kehamilan, perlu
diketahui status dari penyakit tersebut.
Jika perempuan tersebut didapatkan infeksi HBV yang sangat aktif
(peningkatan ALT yang signifikan dengan viral load yang tinggi), atau
27
dengan suspek sirosis, terapi harus diberikan tanpa melihat usia gestasi.
Jika perempuan tersebut terinfeksi dalam keadaan yang inaktif (ALT
rendah dan Viral load rendah) terapi tidak diperlukan dan pengawasan
berlanjut tetap dilakukan untuk mencegah resiko terjadi peningkatan VHB
nantinya pada kehamilan dan beberapa bulan setelah postpartum. Kuantitas
dari DNA HBV direkomendasikan pada semua perempuan yang terinfeksi.
2.2.5 Imunoprofilaksis
Pada juli 2004, WHO merekomendasikan vaksin HBV dimasukkan
dalam program imunisasi nasional dan neonatus pada daerah endemik HBV
untuk diberikan vaksin HBV saat lahir dan diikuti 23 dosis selanjutnya.
Pemberian vaksin dalam 3 dosis memperlihatkan konsentrasi antibody
proteksi pda 95% bayi dan anak dan 90% pada masa dewasa.
Di Australia di rekomendasikan untuk memberikan dosis awal
vaksin HBV dalam waktu 24 jam setelah lahir, di ikuti dengan 3 dosis
berturutturut pada bulan ke 2, 4, dan 6 atau 12 bulan. Pada bayi yang lahir
dari ibu dengan infeksi HBV kronik diberikan imunoprofilaksis secara aktif
dan pasif yaitu satu dosis awal vaksin HBV dan satu dosis HBIG segera
setelah lahir, dan diikuti dengan 3 dosis vaksin HBV pada dalam tahun
28
pertama kehidupan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengurangi
transmisi dari ibu ke bayi saat masa nifas, infeksi akut pada usia ini dapat
menyebabkan resiko tinggi untuk menjadi infeksi kronik karena toleransi
imun pada sistem imun bayi yang imatur.
Setelah serangkaian vaksin lengkap diberikan maka pemeriksaan
terhadap HBsAG dan antibody terhadap HBsAg (anti HBs) harus dilakukan
pada usia 9 sampai 18 bulan. HBsAg negatif dengan kadar antiHBs lebih dari
10 mIU/mL dianggap sebagai imun dan tidak diperlukan managemen terapi
lanjutan. Jika antiHBs kurang dari 10mIU/mlL maka perlu dilakukan vaksin
ulang (3 dosis) diikuti dengan pemeriksaan ulang dalam waktu 1 sampai 2
bulan setelah dosis akhir.
Adanya antiHBs ibu pada bayi yang lahir dari ibu dengan imunitas
terhadap hepatitis B (melalui plasenta dan ASI) walaupun dalam
konsentrasi yang besar, tidak menunjukkan efek yang panjang terhadap
HBV. Pemberian vaksin HBV tetap harus diberikan.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
32