PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI - Presentasi Kel II
PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI - Presentasi Kel II
A. Deskripsi Royalti
Royalti erat kaitannya dengan kegiatan waralaba, dimana sesuai penjelasan
sebelumnya pihak pewaralaba mempunyai kewajiban kepada pemilik waralaba untuk
memberikan fee waralaba atau biasa juga disebut sebagai royalti.
Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti bisa diberikan dari definisi yang
dikeluarkan oleh www.legal-explanation.com berikut ini :
Royalty is the consideration paid to the creator of a property, idea, inventions etc, as
a percentage of the revenue collected from sale of the products created, manufactured
or developed using the idea, inventions or creations made by the creators.
Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti dalam dunia
perpajakan, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran
(imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari suatu
property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase tertentu
dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan menggunakan
property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.
Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)
Istilah "royalti" berarti pembayaran apapun yang diterima sebagai pertimbangan untuk
penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta karya sastra, seni atau ilmiah
termasuk film sinematografi, setiap paten, merek dagang, desain atau model, rencana,
rumus rahasia atau proses, atau informasi mengenai pengalaman industri, komersial,
atau ilmiah.
OECD Model Conventions on Double Tax Avoidance (OECD MC) menyatakan
bahwa royalti merupakan bagian daripada passive income. Selain itu royalti menurut
OECD MC Income Classification Rules merupakan penghasilan yang diperoleh dari
assets or contractual relationship.
Menurut United Nations (UN) Istilah "royalti" sebagaimana digunakan dalam
Pasal ini berarti menerima pembayaran apapun sebagai pertimbangan untuk
penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta dari sastra, kerja artistik atau
ilmiah yang termasuk sinematografi, film atau pita digunakan untuk radio atau siaran
televisi paten, merek dagang, desain atau model, rencana, rumus rahasia atau proses,
atau penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersial atau
ilmiah, atau untuk informasi mengenai industri, komersial atau ilmiah pengalaman.
1
Berdasarkan perbandingan di atas jelas bahwa UN Model memberikan definisi
yang lebih luas dibandingkan OECD Model tentang royalti, yakni UN Model juga
mencakup :
Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai hak cipta
atas karya seni berupa pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio maupun
televisi.
Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai perlengkapan
perindustrian, perdagangan dan perlengkapan ilmiah .
Roy Rohatgi menyatakan royalty is normally a payment received for the use or
the right to use any intangible right or know how under license atau terjemahannya
royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak untuk
menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu sesuatu
dibawah perizinan. Jadi disimpulkan bahwa Jenis-jenis sumber royalti adalah Hak atas
aset tidak berwujud yang dapat berupa :
Pengetahuan tertentu yang bersifat rahasia (rahasia dagang)
Hak atas cara untuk pelaksanaan sesuatu hal (know how) berupa informasi eknis
dan pengalaman yang penting untuk menjalankan aktivitas komersial yang bersifat
rahasia berupa hak atas karya intelektual (HAKI) atau pengetahuan teknis rahasia.
Jasa teknis dan bantuan teknis
Pemberian jasa teknis dan bantuan teknis dimana pemberi jasa bertanggung jawab
atas lingkup pekerjaannya, serta imbal jasa diperoleh ketika jasa tersebut mencakup
ide dan prinsip-prinsip dengan syarat rahasia. Atas hal penerimaan dari itu juga
digolongkan sebagai royalti.
Mansury mendefinisikan royalti sebagai penghasilan dari penyerahan paten.atau
harta tak berwujud lainnya untuk dipakai oleh pihak lain . Penyerahan untuk dipakai
tersebut mungkin diberikan kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan
hak cipta karya ilmiah dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang
melakukan pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten
penemu atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli
waris dari sang penemu.
4
franchisee bersifat ekual, dimana masing-masing memiliki hak dan kewajiban tertentu
terkait bisnis yang dijalankan.
Pendapat serupa juga diungkapkan Gunadi dalam buku Pajak dalam Aktivitas
Bisnis sebagai berikut : Dalam kegiatan franchising, paling tidak terikat dua pihak
yang saling berhubungan yakni franchisor (penjual) dan franchisee (pembeli).
Franchisee membeli suatu bisnis dan menarik manfaat dari pelanggan akan nama
dagang, sistem teruji dan pelayanan yang dapat disediakan penjual (pemilik
franchise).
Bagi kedua pihak, baik franchisor maupun franchisee, bisnis secara franchise
menjanjikan kemudahan yang tidak dimiliki oleh bisnis lainnya. Bagi franchisor,
bisnis secara franchise memungkinkan untuk memperluas (ekspansi) usaha secara
cepat dan mudah, menancapkan dominasi merk, serta menambah penghasilan tanpa
harus mengambil resiko investasi yang meluas dan tanpa perlu merombak atau
mengubah struktur dan kultur manajemen.
Sedangkan bagi pihak franchisee, cara bisnis ini menarik karena franchise tidak
harus mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang akan dipasarkannya, yang
selain makan waktu juga penuh dengan resiko. Dengan sistem franchise, produk atau
jasa yang akan ditawarkan sudah jelas, sudah dapat dilihat bukti keberhasilannya,
lengkap dengan strategi pemasarannya. Dengan kata lain, franchisee hanya tinggal
menumpang sukses kepada sang franchisor walaupun perlu adanya pertimbangan
biaya (pembagian hasil atau fee atas waralaba berupa royalti yang harus dibayar)
dengan manfaat ekonomis yang diperolehnya.
7
pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada franchisor , akan dikenakan
pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan
(pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila
Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal ini franchisor) tidak
memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada
tarif semula (tarifnya menjadi 30%).
Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor
yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran
tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari
jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan
negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.
8
pengetahuan teknik (technical knowledge) yang berhubungan dengan formula atau
rahasia untuk membuat atau memproduksi sesuatu (manufacturing).
Sedangkan ruang lingkup pemberian jasa adalah pemberian bantuan teknik
melalui penyediaan royalti dari know how yang berhubungan dengan keahlian tertentu
dari adviser di lapangan yang dapat diberikan dalam bentuk training (bagi karyawan),
nasihat atau penerapan metode produksi tertentu. Selain itu, pemberian jasa juga
mungkin dilakukan dengan pembekalan manual tertentu bagi operator di lapangan.
Dengan demikian, terdapat hubungan efektif antara jasa yang diberikan dengan
imbalan yang diberikan (imbalan jasa teknik), dan tidak semata didasarkan atas
persentase penjualan sebagaimana layaknya royalti.
Dalam praktiknya, banyak kalangan memanfaatkan lemahnya penafsiran fiskus
terhadap definisi royalti dan jasa teknik ini untuk memanfaatkan disparitas tarif yang
berlaku terhadap keduanya. Di satu sisi pihak wajib pajak hanya memungut royalti,
namun pada saat penghitungan pajak berdalih bahwa fee yang didapat adalah hasil
dari imbalan jasa teknik (fees for technical services).
Perbedaan tarif (efektif) yang berlaku di antara keduanya menjadikan acuan
wajib pajak untuk menyamarkan royalti yang didapatnya menjadi imbalan jasa teknik.
Padahal secara konseptual sudah jelas perbedaan diantara keduanya, yakni royalti
semata hanya dikenakan atas passive income atas digunakannya hak cipta (dan
sejenisnya) yang dimiliki wajib pajak, sedangkan imbalan jasa teknik diberikan
sekaligus sebagai fee atas pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada
kliennya.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan
dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas
jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
10
Dari kutipan peraturan di atas, jelas bahwa dalam UU PPh terbaru, Pajak
Penghasilan yang dikenakan atas royalti adalah sebesar 15% atas jumlah bruto.
Sedangkan untuk Imbalan Jasa Teknik hanya dikenakan sebesar 2% dari jumlah bruto.
Dengan demikian terdapat dispute tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%.
Perbedaan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
dalam berbagai perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional seperti halnya
tax treaty, juga terdapat perbedaan yang signifikan mengenai perlakuan Royalti dan
Imbalan Jasa Teknik.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana
tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini
mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara
domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty,
pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak
boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku.
Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yang berlaku adalah tarif
sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya
terjadi di Indonesia).
Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia.
Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas
royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak
sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).
Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara
tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia.
Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian
imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori
yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata
bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku.
Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan dimasukkan ke
dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan Independent Personal
Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya beberapa syarat
menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di Indonesia yang
bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama kehadirannya di
Indonesia, sesuai dengan treaty.
11
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut
tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung
UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik
seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU
PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak
final.
1. Pengertian Software
a. Freeware
Freeware adalah perangkat lunak bebas yang mengacu pada kebebasan para
penggunanya untuk menjalankan, menggandakan, menyebarluaskan,
mempelajari, mengubah dan meningkatkan kinerja perangkat lunak. Suatu
program merupakan perangkat lunak bebas, setiap pengguna memiliki semua
dari kebebasan tersebut, bebas untuk menyebarluaskan salinan program itu,
12
dengan atau tanpa modifikasi (perubahan), secara gratis atau pun dengan
memungut biaya penyebarluasan, kepada siapa pun dan dimanapun.
b. Shareware
2. Pengertian Lisensi
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik rahasia dagang (ciptaan)
kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan
pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang
diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Sebuah lisensi
perangkat lunak bebas adalah lisensi perangkat lunak yang mengizinkan pengguna
untuk memodifikasi dan mendistribusikan ulang perangkat lunak yang dimaksud.
Lisensi ini berlawanan dengan lisensi dari perangkat lunak tak bebas yang
melarang pendistribusian ulang atau rekayasa terbalik dari suatu perangkat lunak
yang berakibat pada pelanggaran hak cipta. Macam-macam Lisensi Software
a) Lisensi Freeware
Perangkat gratis atau freeware adalah perangkat lunak komputer berhak cipta
yang gratis digunakantanpa batasan waktu, berbeda dari shareware yang
mewajibkan penggunanya membayar (misalnya setelah jangka waktu
percobaan tertentu atau untuk memperoleh fungsi tambahan). Para pengembang
13
perangkat gratis seringkali membuat perangkat gratis "untuk disumbangkan
kepada komunitas", namun juga tetap ingin mempertahankan hak mereka
sebagai pengembang dan memiliki kontrol terhadap pengembangan
selanjutnya. Kadang jika para pemrogram memutuskan untuk berhenti
mengembangkan sebuah produk perangkat gratis, mereka akan memberikan
kode sumbernya kepada pemrogram lain atau mengedarkan kode sumber
tersebut kepada umum sebagai perangkat lunak bebas (OpenSource).
b) Lisensi Shareware
14
Contoh Shareware: Semua Program yang dapat di download di internet
dengan mencantumkan lisensi Shareware pada persetujuan pemasangan
(install) software tersebut.
c) Lisensi Opensource
Semua perangkat lunak bebas adalah perangkat lunak sumber terbuka, tapi
sebaliknya perangkat lunak sumber terbuka belum tentu perangkat lunak bebas,
tergantung kaidah yang dipakai dalam melisensikan perangkat lunak sumber
terbuka tersebut. Serupa dengan perangkat lunak gratis, perangkat lunak
sumber terbuka merupakan perangkat lunak yang juga dapat diperoleh dan
didistribusikan secara bebas. Berbeda halnya dengan perangkat lunak gratis
yang belum tentu boleh dilihat kode aslinya, perangkat lunak sumber terbuka
dapat dibaca kode-kode pemrograman sesuai aslinya. Kode pemrograman ini
dapat juga diubah, dimodifikasi dan dikembangkan sendiri oleh kita dengan
tetap memperhatikan kaidah yang berlaku sesuai dengan lisensi perangkat
lunak tersebut.
Sebagai contoh untuk memahami perbedaan antara kedua jenis perangkat ini
dapat diilustrasikan misalnya perusahaan Microsoft pada suatu saat menjadikan
salah satu produknya menjadi perangkat lunak gratis. Hal ini berarti siapapun
dapat mendapatkannya secara gratis. Akan tetapi anda tidak diperkenankan
untuk kemudian memodifikasi dan mengembangkan produk perangkat lunak
tersebut.
15
3. Perlakuan Perpajakan
Pada dasarnya imbalan berupa royalty terdiri dari tiga kelompok, yaitu
imbalan sehubungan dengan penggunaan:
a. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
b. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan;
Dalam UU PPh diatur mengenai objek PPh Pasal 23, sebagai berikut:
Atas penghasilan dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh
pihak yang wajib membayarkan:
a) sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti;
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
1) Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
17
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, tidak termasuk:
a) kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam butir 1) huruf a);
c) faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam butir 1) huruf c);
18
d) faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 1) huruf d).
19
Selain memotong PPh Pasal 26 pembeli dalam hal ini importir mempunyai
kewajiban membayar PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 8
Tahun 1983 tantang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 42
Tahun 2009 (UU PPN 1984) dan ketentuannya pelaksanannya diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-40/PMK.03/2010
I. Kesimpulan
Secara konseptual perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik terletak pada
karakteristik penghasilan yang dimaksud sendiri. Penghasilan royalti semata hanya
berupa passive income atas digunakannya hak yang dimiliki wajib pajak, terkait
dengan hak memakai hak cipta atas karya tulis, karya seni, ataupun karya ilmiah,
termasuk film-film bioskop, atau pita-pita yang dipakai untuk radio ataupun penyiaran
televisi, atas hak paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau
proses rahasia, atau untuk memakai atau hak untuk memakai perlengkapan
perindustrian, perdagangan atau perlengkapan ilmiah, atau atas informasi yang
20
berkenaan dengan pengalaman di bidang perindustrian, perdagangan, atau di bidang
ilmu pengetahuan. Sedangkan imbalan jasa teknik diberikan sekaligus sebagai fee atas
pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada kliennya, tidak semata-mata
hanya penggunaan hak (cipta, dsb.) yang dimiliki oleh sang pemberi jasa teknik
tersebut.
Hambatan yang dihadapi oleh implementasi atas pajak penghasilan royalti dan
jasa teknik adalah tida adanya batasan yang jelas antara pengertian royalti dan jasa
teknik. Adanya perbedaan antara tarif pajak penghasilan atas royalti yang sebesar 15%
dari jumlah bruto dengan tarrif jasa teknik yang hanya 2% dari Pajak terdapat dispute
tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%. Hambatan dalam pelaksanaan
pemajakan bagi fiskus dan pelaksanaan kepatuhan pajak bagi wajib penerima
penghasilan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
dalam berbagai perjanjian internasional.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana
tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini
mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara
domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty,
pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak
boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku.
Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yangberlaku adalah tarif
sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya
terjadi di Indonesia).
21
yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata
bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku.
Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan
dimasukkan ke dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan
Independent Personal Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya
beberapa syarat menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di
Indonesia yang bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama
kehadirannya di Indonesia, sesuai dengan treaty.
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut
tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung
UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik
seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU
PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak
final.
22