Anda di halaman 1dari 22

PAJAK PENGHASILAN ATAS ROYALTI

A. Deskripsi Royalti
Royalti erat kaitannya dengan kegiatan waralaba, dimana sesuai penjelasan
sebelumnya pihak pewaralaba mempunyai kewajiban kepada pemilik waralaba untuk
memberikan fee waralaba atau biasa juga disebut sebagai royalti.
Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti bisa diberikan dari definisi yang
dikeluarkan oleh www.legal-explanation.com berikut ini :
Royalty is the consideration paid to the creator of a property, idea, inventions etc, as
a percentage of the revenue collected from sale of the products created, manufactured
or developed using the idea, inventions or creations made by the creators.
Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti dalam dunia
perpajakan, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran
(imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari suatu
property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase tertentu
dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan menggunakan
property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.
Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)
Istilah "royalti" berarti pembayaran apapun yang diterima sebagai pertimbangan untuk
penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta karya sastra, seni atau ilmiah
termasuk film sinematografi, setiap paten, merek dagang, desain atau model, rencana,
rumus rahasia atau proses, atau informasi mengenai pengalaman industri, komersial,
atau ilmiah.
OECD Model Conventions on Double Tax Avoidance (OECD MC) menyatakan
bahwa royalti merupakan bagian daripada passive income. Selain itu royalti menurut
OECD MC Income Classification Rules merupakan penghasilan yang diperoleh dari
assets or contractual relationship.
Menurut United Nations (UN) Istilah "royalti" sebagaimana digunakan dalam
Pasal ini berarti menerima pembayaran apapun sebagai pertimbangan untuk
penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta dari sastra, kerja artistik atau
ilmiah yang termasuk sinematografi, film atau pita digunakan untuk radio atau siaran
televisi paten, merek dagang, desain atau model, rencana, rumus rahasia atau proses,
atau penggunaan, atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersial atau
ilmiah, atau untuk informasi mengenai industri, komersial atau ilmiah pengalaman.

1
Berdasarkan perbandingan di atas jelas bahwa UN Model memberikan definisi
yang lebih luas dibandingkan OECD Model tentang royalti, yakni UN Model juga
mencakup :
Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai hak cipta
atas karya seni berupa pita-pita yang dipakai untuk penyiaran radio maupun
televisi.
Pembayaran yang diterima untuk memakai atau untuk hak memakai perlengkapan
perindustrian, perdagangan dan perlengkapan ilmiah .
Roy Rohatgi menyatakan royalty is normally a payment received for the use or
the right to use any intangible right or know how under license atau terjemahannya
royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak untuk
menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu sesuatu
dibawah perizinan. Jadi disimpulkan bahwa Jenis-jenis sumber royalti adalah Hak atas
aset tidak berwujud yang dapat berupa :
Pengetahuan tertentu yang bersifat rahasia (rahasia dagang)
Hak atas cara untuk pelaksanaan sesuatu hal (know how) berupa informasi eknis
dan pengalaman yang penting untuk menjalankan aktivitas komersial yang bersifat
rahasia berupa hak atas karya intelektual (HAKI) atau pengetahuan teknis rahasia.
Jasa teknis dan bantuan teknis
Pemberian jasa teknis dan bantuan teknis dimana pemberi jasa bertanggung jawab
atas lingkup pekerjaannya, serta imbal jasa diperoleh ketika jasa tersebut mencakup
ide dan prinsip-prinsip dengan syarat rahasia. Atas hal penerimaan dari itu juga
digolongkan sebagai royalti.
Mansury mendefinisikan royalti sebagai penghasilan dari penyerahan paten.atau
harta tak berwujud lainnya untuk dipakai oleh pihak lain . Penyerahan untuk dipakai
tersebut mungkin diberikan kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan
hak cipta karya ilmiah dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang
melakukan pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten
penemu atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli
waris dari sang penemu.

B. Imbalan Jasa Tehnik


Tidak ada ahli yang secara khusus mendefinisikan Imbalan Jasa Teknik (fees for
technical services). Namun secara singkat dapat diartikan bahwa Imbalan Jasa Teknik
adalah imbalan yang diberikan kepada suatu pihak tertentu atas pekerjaan yang
dilakukannya terkait dengan spesifikasi profesional suatu bidang khusus tertentu,
termasuk di dalamnya seni dan teknik perancangan khusus.
2
Dalam penelitiannya, Ning Rahayu menyimpulkan bahwa dalam kumpulan
treaty antara Indonesia dengan beberapa negara, didapat variasi definisi atas
pengertian jasa teknik, antara lain :
1. Variasi pertama, pengertian jasa teknik tidak diberikan tersendiri, melainkan
tercakup secara implisit dalam kata-kata furnishing of services, yaitu sebagai
bagian dari kegiatan yang dianggap memenuhi kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT)
apabila telah memenuhi ambang batas waktu (time test). Dalam hal ini, imbalan
jasa teknik yang dimaksud termasuk dalam bagian penghasilan dari usaha
(business income)
2. Variasi kedua, yakni pengertian jasa teknik dicantumkan dalam pasal tersendiri
yang secara khusus mengatur mengenai imbalan jasa teknik (fees for technical
services). Pengenaan pajak atas imbalan jasa teknik dilaksanakan dengan cara
yang sama atas pengenaan pajak atas royalti, yaitu melalui pemotongan oleh pihak
yang membayarkan jasa teknik, namun dengan penerapan reduce rate yang
berbeda dengan reduced rate untuk royalti.
3. Variasi ketiga, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang
mengatur mengenai royalti dan imbalan jasa teknik (royalties and fees for
technical services). Jadi, baik jasa teknik maupun royalti diatur dalam pasal yang
sama dan dengan pengenaan pajak yang sama, yaitu melalui pemotongan dengan
pihak lain (withholding) serta dengan penerapan reduced rate. Namun demikian,
pengertian mengenai royalti maupun jasa teknik diberikan masing-masing.
4. Variasi keempat, dimana pengertian jasa teknik dicantumkan di dalam pasal yang
mengatur tentang royalti. Jadi, meskipun pada hakikatnya merupakan imbalan jasa
teknik, namun dianggap sebagai royalti, sepanjang jasa teknik yang diberikan
tersebut merupakan pelengkap (subsidiary) dan dilakukan sebagai upaya untuk
memungkinkan pemakaian hak (hak cipta dan lain-lain), harta (hak paten, merk
dagang, dan lain-lain), perlengkapan (perlengkapan perindustrian, ilmu
pengetahuan dan perdagangan) dan informasi mengenai pengalaman (di bidang
ilmu pengetahuan, perdagangan dan industri). Apabila jasa teknik yang diberikan
tersebut semata-mata merupakan jasa teknik yang bukan merupakan pelangkap
(subsidiary) dari royalti, maka pemberian jasa teknik tersebut termasuk dalam
pengertian furnishing of services yang tercantum dalam pasal mengenai Bentuk
Usaha Tetap (BUT/Permanent Establishment). Dengan demikian, imbalan atas
jasa teknik yang diperoleh tersebut merupakan penghasilan dari usaha (business
income).
3
C. Franchise
Pemilik dari merek dagang, nama dagang atau hak cipta memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya dalam menjual barang atau jasa.
Menurut Kieso & Weygandt, Franchise adalah perjanjian dimana pemilik waralaba
memberikan hak kepada pewaralaba untuk menjual produk atau jasa tertentu, dengan
menggunakan nama atau merek dagang tertentu atau untuk menjalankan fungsi
tertentu, biasanya didalam sebuah areal geografis tertentu yang telah dirancang .
Serupa dengan Kieso & Weygandt namun dengan pernyataan tambahan berupa
tambahan adanya pemberian hak dengan didasari adanya waktu pemakaian hak dan
syarat-syarat berlakunya hak tersebut, Smith dan Skousen memberi definisi terhadap
franchise, yakni Franchise (Hak Monopoli) adalah hak khusus atau istimewa yang
diterima oleh suatu badan usaha ataupun perorangan sebagai agen tunggal
(franchisee) guna melaksanakan fungsi bisnis tertentu,atau menggunakan produk atau
jasa tertentu, biasanya di wilayah geografis tertentu. Pemberi hak monopoli
(franchisor) biasanya menetapkan waktu pemakaian hak tersebut dan syarat
berlakunya
Dari deskripsi Kuratko & Hodgets dapat disimpulkan bahwa yang dijadikan
objek dalam franchise adalah 1) Merek atau nama dagang (Trademark / tradename)
dan hak cipta. Merek atau nama dagang adalah sebuah kata, atau simbol yang
membedakan atau mengidentifikasikan sebuah badan usaha, atau produk. Sedangkan
hak cipta adalah hak yang dimiliki oleh penulis, pelukis, musisi, pematung dan pelaku
seni lainnya terkait kreasi dan ekspresi yang telah diciptakan .
Definisi yang disebutkan oleh Kuratko & Hodgets tersebut tidak mencakup
objek franchise berupa paten, padahal dalam hal waralaba, paten juga merupakan
salah satu unsur yang termasuk didalamnya. Adapun jenis dari paten adalah 1) paten
produk 2) paten atas prosess, paten produk mencakup produk secara fisik dan paten
atas proses melingkupi hak khusus bagi pemilik hak paten atas penggunaan proses,
pembuatan dan penjualan produk tanpa hambatan dari pihak lain yang tidak memiliki
hak paten tersebut .
Dilihat melalui aspek legal, waralaba memiliki arti persetujuan secara legal atas
pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari
pemilik (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang diatur dalam aturan tertentu.
Kata mandiri disini lebih pada arti kepemilikan. Franchisee bukan anak/cabang
perusahaan melainkan perusahaan yang mandiri. Hubungan antara franchisor dan

4
franchisee bersifat ekual, dimana masing-masing memiliki hak dan kewajiban tertentu
terkait bisnis yang dijalankan.
Pendapat serupa juga diungkapkan Gunadi dalam buku Pajak dalam Aktivitas
Bisnis sebagai berikut : Dalam kegiatan franchising, paling tidak terikat dua pihak
yang saling berhubungan yakni franchisor (penjual) dan franchisee (pembeli).
Franchisee membeli suatu bisnis dan menarik manfaat dari pelanggan akan nama
dagang, sistem teruji dan pelayanan yang dapat disediakan penjual (pemilik
franchise).
Bagi kedua pihak, baik franchisor maupun franchisee, bisnis secara franchise
menjanjikan kemudahan yang tidak dimiliki oleh bisnis lainnya. Bagi franchisor,
bisnis secara franchise memungkinkan untuk memperluas (ekspansi) usaha secara
cepat dan mudah, menancapkan dominasi merk, serta menambah penghasilan tanpa
harus mengambil resiko investasi yang meluas dan tanpa perlu merombak atau
mengubah struktur dan kultur manajemen.
Sedangkan bagi pihak franchisee, cara bisnis ini menarik karena franchise tidak
harus mengembangkan ide dan citra produk atau jasa yang akan dipasarkannya, yang
selain makan waktu juga penuh dengan resiko. Dengan sistem franchise, produk atau
jasa yang akan ditawarkan sudah jelas, sudah dapat dilihat bukti keberhasilannya,
lengkap dengan strategi pemasarannya. Dengan kata lain, franchisee hanya tinggal
menumpang sukses kepada sang franchisor walaupun perlu adanya pertimbangan
biaya (pembagian hasil atau fee atas waralaba berupa royalti yang harus dibayar)
dengan manfaat ekonomis yang diperolehnya.

D. Perlakuan Akuntansi Atas Franchise


Franchise dalam konteks akuntansi dapat dimasukan dalam golongan aset tidak
berwujud (intangible aset) dikarenakan adanya sifat-sifat yang melekat didalam
franchise yaitu :
1) Dapat diidentifikasi,
2) Sifat perolehannya yang dapat diperoleh dari pihak lain, atau merupakan
pengembangan internal,
3) Mempunyai masa manfaat yang diharapkan, dan
4) Dapat dipisahkan dari keseluruhan perusahaan.
Adapun definisi yang berkembang saat ini menyarankan bahwa aset tidak
berwujud dapat diklasifikasikan sesuai dengan sumber perolehannya apakah itu dari
dalam (pengembangan secara internal) ataupun dari luar (melalui pembelian dari
pihak lain).
Dimana atas aset yang diperoleh dari dalam tidak dapat dikapitalisasikan oleh
pewaralaba sehingga harus dibebankan sesuai dengan alokasi periode masa manfaat
5
atas franchise tersebut berlaku. Sedangkan atas aset waralaba yang diperoleh dari luar
dapat dikapitalisasikan oleh pemilik waralaba dengan mengacu kepada deskripsi
penggolongan elemen dalam laporan keuangan yaitu sesuatu digolongkan sebagai aset
adalah yang merupakan sesuatu yang dapat memberikan manfaat ekonomis kepada
entitas di masa depan sebagai akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu.
Di dalam Indonesia, hingga saat ini, jumlah waralaba (franchise) aktif terhitung
sekitar 250 waralaba. Dari jumlah itu, lebih banyak waralaba asing, dan hampir
setengahnya berasal dari Amerika Serikat. Sekitar 50% diantaranya bergerak di bisnis
makanan. Sedangkan saat ini waralaba lokal baru mencapai sekitar 50 waralaba dari
jumlah keseluruhan tersebut
Dari jumlah tersebut, hampir tidak ada perbedaan diantara jenis waralaba
tersebut. Hanya saja, waralaba lokal mempunyai ciri-ciri yang sangat khas sekali,
terutama dari jenis produk atau jasa yang dijualnya. Kebanyakan, waralaba lokal
berkaitan dengan makanan dan budaya, seperti berbagai produk kerajinan, batik,
ukiran, dan pakaian.
Lazimnya, waralaba asing akan masuk ke negara yang pendapatan per kapitanya
di atas US$ 1.000 per tahun. Jika masuk ke negara yang per kapitanya di bawah US$
1.000, menurut asosiasi Franchise Indonesia (AFI) maka potensi kegagalannya akan
sangat terbuka. Nah, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai sekitar US$
1.060. Di Jakarta sendiri, dimana ibukota negeri ini menjadi pusat kegiatan bisnis
franchise ini, pendapatan perkapitanya bisa mencapai US$ 3.180.
Dengan prospek yang cukup bagus ini, setiap tahunnya, bisnis ini dapat tumbuh
sekitar 10% sampai 15%. Namun perkembangannya sendiri belakangan ternyata
melambat. Penyebabnya tidak lain adalah karena para pebisnis di sini belum matang.
Usaha waralaba itu sendiri secara nature tidak bersifat instan. Dalam pengelolaannya
dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang tinggi serta kiat-kiat yang inovatif.

E. Implementasi Pajak Atas Penghasilan yang Bersumber dari Franchise


Dalam praktik bisnis franchise ini, franchise & royalty fee wajib ada dan
menjadi syarat dalam suatu bisnis franchise. Ketiadaan unsur fee ini menjadi indikasi
penyembunyian menyangkut keuntungan yang diperoleh oleh franchisor dari bisnis
ini.
Pada hakekatnya royalti adalah honorarium yang sewajarnya dibayar oleh
licensee/franchisee, sebagai pemakai konsep, sistem, penemuan, proses, metode/cara
(HAKI), logo, merk/nama pada licensor/franchisor dan pemilik bisnis waralaba
tersebut.
6
Mendengar royalty fee mungkin sudah tidak asing lagi karena sering ditulis dan
diucapkan di berbagai media, buku dan seminar-seminar publik. Namun demikian
sebetulnya istilah tersebut adalah istilah yang lazim dipakai dalam bidang lisensi,
distribusi maupun franchise. Dan di masing-masing bidang, royalty fee sejatinya lebih
menitikberatkan pada aspek pemakaian/penggunaan karena memang royalty fee
adalah biaya yang harus dibayar secara periodik atas penggunaan konsep, sistem,
penemuan, proses, metode/cara (HAKI), logo, merk/nama dari franchisor yang
bersangkutan oleh franchisee.
Dalam franchise sebagai suatu format bisnis yang dituangkan dalam suatu
perjanjian antara franchisor sebagai pemilik dari hak intelektual, brand, logo dan
sistem operasi dan franchisee sebagai penerima (konsep, sistem, penemuan, proses,
metode/cara (HAKI), logo, merk/nama) royalty fee wajib dibayarkan oleh franchisee
kepada franchisor sesuai yang diperjanjikan dan dalam hal ini wajib dibayarkan setiap
bulan/triwulan, sekali lagi, tergantung kesepakatan sebelumnya.
Mengenai berapa besarnya, tergantung jenis usaha serta hitung-hitungan dari
franchisor yang mencakup aspek feasibility atau kelayakannya suatu usaha franchise.
Meski begitu menurut Ketua Asosiasi Franchise Indonesia, besarnya royalti fee yang
wajar adalah yang seperi di luar negeri, yakni antara 1%-12%. Kalau lebih dari itu
sudah tidak wajar. Dan prosentase tersebut harus diambil dari omset kotor bukan
profit, karena bila dihitung dari profit akan menjadi lebih sulit (complicated) karena
profit sudah masuk dalam pembukuan sehingga perhitungannya harus memperhatikan
banyak aspek .
Keberadaan royalty fee sudah seharusnya dijadikan sumber utama pendapatan
franchisor demi kelangsungan usahanya, karena bagaimanapun juga franchisor
membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala pengeluaran untuk men-support
usahanya seperti : membayar biaya supervisi, biaya monitoring dan biaya on going
asistensi secara terus menerus.
Dalam aspek perpajakan terkait bisnis franchise ini, pemajakan dilakukan atas
penghasilan yang diterima franchisor dari franchisee berupa royalty fee, sebagaimana
telah diulas sebelumnya.
Untuk mengetahui aspek perpajakannya, dapat didasarkan pada Undang-undang
Pajak Penghasilan Indonesia, yakni pada penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan
Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Sebagaimana Telah
Terakhir Diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan dari Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut, diketahui bahwa atas

7
pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada franchisor , akan dikenakan
pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah bruto yang dibayarkan
(pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi penghasilan), dan apabila
Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal ini franchisor) tidak
memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100 % daripada
tarif semula (tarifnya menjadi 30%).
Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor
yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran
tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari
jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan
negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

F. Implementasi terhadap Diferensiasi Definisi atas Royalti dan Jasa Teknik


Menurut Michael Krausse, sebagaimana dikutip Ning Rahayu, kriteria
perbedaan antara royalti dari know how dengan imbalan jasa teknik menurut praktik
internasional adalah : As a general rule, the transfer of know how involves the
provision of industrial, commercial or scientific information which remains
unrevealed to the public an likewise, the grantor is not required to take part in the
application of the formula or to guarantee the result thereof. On the contrary, a
typical contract for the provision of technical services, is that in which one of the
parties undertakes to use his skills to execute work himself for the other party. In
otherwords, existing know-how which is required for performing the work will be for
on his own benefit within the framework of the services provided and he will also
accept responsibility for its result.
Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
praktiknya, royalti diberikan atas transfer know how dari seseorang kepada pihak lain
tanpa pihak yang memiliki hak royalti tersebut harus ikut serta dalam penerapan suatu
formula tersebut. Dengan demikian, pemegang royalti juga tidak bertanggung jawab
terhadap hasil yang diperoleh atas pengaplikasian formula tersebut. Hal ini berbeda
dengan jasa teknik, dimana pemegang hak atas jasa teknik tersebut turut serta dalam
pengaplikasian formula yang dimilikinya, yang juga menjadikannya turut
bertanggungjawab atas hasil yang didapat dari pengaplikasian formula tersebut.
Dalam hal pemberian informasi, diferensiasi definitif antara royalti dan jasa
teknik dapat dilihat dari makalah Adolfo Alchahabian sebagaimana juga dikutip oleh
Ning Rahayu yang menyebutkan bahwa royalti dari know how merupakan transfer

8
pengetahuan teknik (technical knowledge) yang berhubungan dengan formula atau
rahasia untuk membuat atau memproduksi sesuatu (manufacturing).
Sedangkan ruang lingkup pemberian jasa adalah pemberian bantuan teknik
melalui penyediaan royalti dari know how yang berhubungan dengan keahlian tertentu
dari adviser di lapangan yang dapat diberikan dalam bentuk training (bagi karyawan),
nasihat atau penerapan metode produksi tertentu. Selain itu, pemberian jasa juga
mungkin dilakukan dengan pembekalan manual tertentu bagi operator di lapangan.
Dengan demikian, terdapat hubungan efektif antara jasa yang diberikan dengan
imbalan yang diberikan (imbalan jasa teknik), dan tidak semata didasarkan atas
persentase penjualan sebagaimana layaknya royalti.
Dalam praktiknya, banyak kalangan memanfaatkan lemahnya penafsiran fiskus
terhadap definisi royalti dan jasa teknik ini untuk memanfaatkan disparitas tarif yang
berlaku terhadap keduanya. Di satu sisi pihak wajib pajak hanya memungut royalti,
namun pada saat penghitungan pajak berdalih bahwa fee yang didapat adalah hasil
dari imbalan jasa teknik (fees for technical services).
Perbedaan tarif (efektif) yang berlaku di antara keduanya menjadikan acuan
wajib pajak untuk menyamarkan royalti yang didapatnya menjadi imbalan jasa teknik.
Padahal secara konseptual sudah jelas perbedaan diantara keduanya, yakni royalti
semata hanya dikenakan atas passive income atas digunakannya hak cipta (dan
sejenisnya) yang dimiliki wajib pajak, sedangkan imbalan jasa teknik diberikan
sekaligus sebagai fee atas pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada
kliennya.

G. Penerapan Pajak Penghasilan atas Royalti dan Imbalan Jasa Teknik


Dalam UU Pajak Penghasilan terbaru Sebagaimana Telah Diubah Terakhir
dengan UU No.36 Tahun 2008, dalam pasal 23 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
2. Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. Royalti; dan
9
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. Dihapus;
c. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
dan
2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan
dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas
jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

10
Dari kutipan peraturan di atas, jelas bahwa dalam UU PPh terbaru, Pajak
Penghasilan yang dikenakan atas royalti adalah sebesar 15% atas jumlah bruto.
Sedangkan untuk Imbalan Jasa Teknik hanya dikenakan sebesar 2% dari jumlah bruto.
Dengan demikian terdapat dispute tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%.
Perbedaan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
dalam berbagai perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional seperti halnya
tax treaty, juga terdapat perbedaan yang signifikan mengenai perlakuan Royalti dan
Imbalan Jasa Teknik.
Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana
tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini
mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara
domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty,
pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak
boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku.
Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yang berlaku adalah tarif
sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya
terjadi di Indonesia).
Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia.
Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas
royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak
sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).
Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara
tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia.
Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian
imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori
yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata
bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku.
Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan dimasukkan ke
dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan Independent Personal
Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya beberapa syarat
menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di Indonesia yang
bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama kehadirannya di
Indonesia, sesuai dengan treaty.

11
Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut
tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung
UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik
seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU
PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak
final.

H. Perlakuan Perpajakan Atas Pembelian Software Berlisensi


Perkembangan industri informasi teknologi (IT) saat ini semakin meningkat.
Dibuatnya perangkat lunak atau software menjadi kebutuhan masyarat seiring
peningkatan globalisasi dan penigkatan kebutuhan akan arus informasi yang saat ini
semakin cepat dan singkat. Banyak industri IT menciptakan software yang dapat
member kemudahkan bagi masyarakat baik yang bersifat open alias gratis dan juga
ada yang berbayar. Perlu menjadi perhatian bahwa peraturan perpajakan di Indonesia
mempunyai regulasi terhadap pembelian dan penjualan dari software tersebut dimana
penghasilannya merupakan objek pajak.
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 (UU
PPh) beserta penjelasan, diatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti.

1. Pengertian Software

Software adalah perangkat lunak yang umumnya digunakan untuk mengontrol


perangkat keras, melakukan perhitungan, berinteraksi dengan perangkat lunak
lainnya, dan lain-lain. Beberapa klasifikasi software diantaranya:

a. Freeware

Freeware adalah perangkat lunak bebas yang mengacu pada kebebasan para
penggunanya untuk menjalankan, menggandakan, menyebarluaskan,
mempelajari, mengubah dan meningkatkan kinerja perangkat lunak. Suatu
program merupakan perangkat lunak bebas, setiap pengguna memiliki semua
dari kebebasan tersebut, bebas untuk menyebarluaskan salinan program itu,
12
dengan atau tanpa modifikasi (perubahan), secara gratis atau pun dengan
memungut biaya penyebarluasan, kepada siapa pun dan dimanapun.

b. Shareware

Shareware adalah perangkat lunak yang membatasi penggunanya dengan


mengurangi fitur-fitur tertentu atau membatasi masa penggunaannya selama
jangka waktu tertentu ataupun juga penggabungkan kedua hal ini. Tujuan dari
publikasi shareware adalah untuk berbagi fungsi dan keunggulan perangkat
lunak itu kepada konsumen sehingga konsumen bisa berkesempatan mencoba
secara langsung perangkat lunak tersebut untuk kemudian memutuskan tidak
lagi memakai software tersebut atau membeli versi penuhnya.

2. Pengertian Lisensi

Pengertian lisensi menurut Wikipedia, lisensi dalam pengertian umum adalah


pemberian ijin. Pemberian lisensi dapat dilakukan jika ada pihak yang memberi
lisensi dan pihak yang menerima lisensi, hal ini termasuk dalam sebuah perjanjian.
Definisi lain, pemberian izin dari pemilik barang/jasa kepada pihak yang menerima
lisensi untuk menggunakan barang atau jasa yang dilisensikan.

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik rahasia dagang (ciptaan)
kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan
pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang
diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Sebuah lisensi
perangkat lunak bebas adalah lisensi perangkat lunak yang mengizinkan pengguna
untuk memodifikasi dan mendistribusikan ulang perangkat lunak yang dimaksud.
Lisensi ini berlawanan dengan lisensi dari perangkat lunak tak bebas yang
melarang pendistribusian ulang atau rekayasa terbalik dari suatu perangkat lunak
yang berakibat pada pelanggaran hak cipta. Macam-macam Lisensi Software

a) Lisensi Freeware

Perangkat gratis atau freeware adalah perangkat lunak komputer berhak cipta
yang gratis digunakantanpa batasan waktu, berbeda dari shareware yang
mewajibkan penggunanya membayar (misalnya setelah jangka waktu
percobaan tertentu atau untuk memperoleh fungsi tambahan). Para pengembang

13
perangkat gratis seringkali membuat perangkat gratis "untuk disumbangkan
kepada komunitas", namun juga tetap ingin mempertahankan hak mereka
sebagai pengembang dan memiliki kontrol terhadap pengembangan
selanjutnya. Kadang jika para pemrogram memutuskan untuk berhenti
mengembangkan sebuah produk perangkat gratis, mereka akan memberikan
kode sumbernya kepada pemrogram lain atau mengedarkan kode sumber
tersebut kepada umum sebagai perangkat lunak bebas (OpenSource).

Contoh Freeware: Semua Program yang dapat di download di internet dengan


mencantumkan lisensi freeware pada persetujuan pemasangan (install) software
tersebut.

b) Lisensi Shareware

Shareware adalah salah satu metode pemasaran perangkat lunak komersial


dimana perangkat lunak didistribusikan secara gratis. Kebanyakan perangkat
lunak shareware didistribusikan melalui internet dan dapat diunduh secara
gratis atau melalui majalah-majalah komputer. Istilah lainnya untuk shareware
adalah trialware, demoware yang pada intinya "coba dulu sebelum membeli".
Fitur-fitur perangkat lunak shareware belum tentu mencerminkan keseluruhan
fitur yang didapat ketika pengguna sudah membeli perangkat lunak tersebut,
tetapi beberapa shareware membuka semua fitur tanpa terkecuali. Umumnya
perangkat lunak shareware hanya bisa dijalankan dalam periode waktu tertentu
saja atau dibatasi dari jumlah penggunaannya. Setelah periode tertentu atau
mencapai jumlah pemakaian tertentu, perangkat lunak akan terkunci. Jika
pengguna tidak merasa cocok, dan tidak ingin menggunakannya lagi, maka
pengguna wajib untuk menghapus program dari komputer pengguna.

Apabila pengguna merasa cocok, untuk dapat terus menggunakan, ia harus


membeli untuk memperoleh kunci pembuka atau perangkat lunak versi non-
shareware-nya. Apabila menggunakan kunci pembuka, pengguna memasukkan
kunci tersebut di perangkat lunak shareware. Apabila kunci tersebut valid,
perangkat lunak yang tadinya terkunci akan terbuka untuk penggunaan
seterusnya tanpa batasan.

14
Contoh Shareware: Semua Program yang dapat di download di internet
dengan mencantumkan lisensi Shareware pada persetujuan pemasangan
(install) software tersebut.

c) Lisensi Opensource

Perangkat lunak sumber terbuka (Opensource Software) adalah jenis


perangkat lunak yang kode sumber-nya terbuka untuk dipelajari, diubah,
ditingkatkan dan disebarluaskan. Karena sifat ini, umumnya pengembangannya
dilakukan oleh satu paguyuban terbuka yang bertujuan mengembangkan
perangkat lunak bersangkutan. Anggota-anggota paguyuban itu seringkali
sukarela tapi bisa juga pegawai suatu perusahaan yang dibayar untuk
membantu pengembangan perangkat lunak itu. Produk perangkat lunak yang
dihasilkan ini biasanya bersifat bebas dengan tetap menganut kaidah dan etika
tertentu.

Semua perangkat lunak bebas adalah perangkat lunak sumber terbuka, tapi
sebaliknya perangkat lunak sumber terbuka belum tentu perangkat lunak bebas,
tergantung kaidah yang dipakai dalam melisensikan perangkat lunak sumber
terbuka tersebut. Serupa dengan perangkat lunak gratis, perangkat lunak
sumber terbuka merupakan perangkat lunak yang juga dapat diperoleh dan
didistribusikan secara bebas. Berbeda halnya dengan perangkat lunak gratis
yang belum tentu boleh dilihat kode aslinya, perangkat lunak sumber terbuka
dapat dibaca kode-kode pemrograman sesuai aslinya. Kode pemrograman ini
dapat juga diubah, dimodifikasi dan dikembangkan sendiri oleh kita dengan
tetap memperhatikan kaidah yang berlaku sesuai dengan lisensi perangkat
lunak tersebut.

Sebagai contoh untuk memahami perbedaan antara kedua jenis perangkat ini
dapat diilustrasikan misalnya perusahaan Microsoft pada suatu saat menjadikan
salah satu produknya menjadi perangkat lunak gratis. Hal ini berarti siapapun
dapat mendapatkannya secara gratis. Akan tetapi anda tidak diperkenankan
untuk kemudian memodifikasi dan mengembangkan produk perangkat lunak
tersebut.

Contoh Opensource: Sistem operasi: GNU/Linux, MySQL

15
3. Perlakuan Perpajakan

Dalam transaksi penjualan maupun pembelian terdapat penghasilan menjadi


objek pengenaan pajak baik pajak penghasilan dan juga Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Yang menjadi objek pajak adalah atas pembayaran software atau lisensi
dari software tersebut dalam hal ini pembayaran tersebut dapat berupa royalti.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh, dijelaskan mengenai pengertian
royalti yang menjadi objek pajak sebagai berikut:

Pada dasarnya imbalan berupa royalty terdiri dari tiga kelompok, yaitu
imbalan sehubungan dengan penggunaan:

a. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;

b. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan;

c. informasi, yaitu yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin


belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha
lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah
tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk
menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di
sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum,
atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh
setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.

Berikut ini adalah perlakuan perpajakan atas pembelian software berlisensi

a. Pembelian Software di Dalam Negeri

Perlakuan perpajakan atas pembelian software saja yang dilakukan di dalam


negeri bukan merupakan objek PPh Pasal 23, atas pembelian ini merupakan objek
PPN yang akan dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud. Akan tetapi jika pembelian software sekaligus diberikan
lisensi misalkan seperangkat komputer plus lisensi operating system-nya maka atas
pembelian ini merupakan pembelian software komputer yang termasuk dalam
pengertian royalti selain objek PPN yang dipungut oleh PKP penjual dan pembeli
16
melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah
bruto atas penghasilak yang akan diterima oleh penjual.

Dalam UU PPh diatur mengenai objek PPh Pasal 23, sebagai berikut:

Atas penghasilan dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh
pihak yang wajib membayarkan:

a) sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas royalti;

b) sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Jika dalam penyerahan software beserta juga jasa maintenance atau


pemeliharan maka atas imbalan atas jasa pemeliharan tersebut juga merupakan objek
PPh Pasal 23 sebesar 2% (dua persen) x jumlah bruto tidak termasuk PPN. Ketentuan
ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2) huruf q Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-
244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh yang mengatur
tentang Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan,
pemeliharaan, dan perbaikan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-56/PJ/2009 tanggal 25 Mei


2009 menegaskan tentang jumlah bruto yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
c sebagai berikut:

1) Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,

17
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, tidak termasuk:

a) pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai


imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;

b) pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;

c) pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya


dibayarkan kepada pihak ketiga;

d) pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran


sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada
pihak ketiga

2) Jumlah bruto sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku:

a) atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau

b) dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa sebagaimana


dimaksud dalam butir 1) di atas, telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.

3) Pembayaran sebagaimana dimaksud di atas harus dapat dibuktikan dengan:

a) kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam butir 1) huruf a);

b) faktur pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 1)


huruf b);

c) faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam butir 1) huruf c);

18
d) faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 1) huruf d).

b. Pembelian Software dari Luar Negeri

Perlakuan perpajakan atas pembelian software dari luar negeri beserta


lisensinya merupakan objek PPh Pasal 26. Pengenaan PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PPh, diatur bahwa atas
penghasilan berupa royalti yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah,
Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan atau tarif sesuai dengan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Pengenaan perpajakannya disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam


Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia - dengan Negara
tersebut, sebagai contoh: PT ABC membayar royalti yang kepada XYZ
(Perusahaan Amerika) dan mengingat beneficial owner royalti tersebut adalah
XXX Amerika, maka perlakuan Pajak Penghasilan atas royalti tersebut adalah
berdasarkan P3B antara Indonesia - Amerika. Dengan demikian terhadap royalti
yang dibayarkan oleh PT ABC kepada XYZ dikenakan berdasarkan PPh Pasal 26
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto berdasarkan Pasal 13 ayat (2)
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Amerika sebagaimana
tercantum dalam angka 2 huruf b.

Syarat untuk dapat menerapan ketentuan P3B sebagaimana dimaksud, pihak


XYZ wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan
dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority di Amerika kepada PT ABC
sebagai pihak yang membayarkan penghasilan dan menyerahkan fotokopinya
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PT ABC terdaftar. Dan apabila
XYZ tidak dapat menyerahkan SKD dimaksud, maka atas pembayaran imbalan
royalti tersebut dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh.

19
Selain memotong PPh Pasal 26 pembeli dalam hal ini importir mempunyai
kewajiban membayar PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 8
Tahun 1983 tantang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 42
Tahun 2009 (UU PPN 1984) dan ketentuannya pelaksanannya diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-40/PMK.03/2010

I. Kesimpulan

Aspek perpajakan atas transaksi bisnis franchise (waralaba) di Indonesia dapat


didasarkan pada Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, yakni pada penjelasan
Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Sebagaimana Telah Terakhir Diubah dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dari Undang-undang Pajak Penghasilan
tersebut, diketahui bahwa atas pembayaran royalty fee tersebut dari franchisee kepada
franchisor , akan dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 dengan tarif 15 % dari jumlah
bruto yang dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi
penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang penerima penghasilan royalti (dalam hal
ini franchisor) tidak memiliki NPWP, maka besar tarif pemotongan adalah lebih tinggi
100 % daripada tarif semula (tarifnya jadi 30 % ).

Sedangkan apabila pembayaran royalty fee tersebut dilakukan kepada franchisor


yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, selain kepada BUT, maka atas pembayaran
tersebut dipotong/dikenakan pajak penghasilan (PPh Pasal 26) sebesar 20 % dari
jumlah bruto, atau sesuai dengan tarif dalam tax treaty negara Indonesia dengan
negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang bersangkutan.

Secara konseptual perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik terletak pada
karakteristik penghasilan yang dimaksud sendiri. Penghasilan royalti semata hanya
berupa passive income atas digunakannya hak yang dimiliki wajib pajak, terkait
dengan hak memakai hak cipta atas karya tulis, karya seni, ataupun karya ilmiah,
termasuk film-film bioskop, atau pita-pita yang dipakai untuk radio ataupun penyiaran
televisi, atas hak paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau
proses rahasia, atau untuk memakai atau hak untuk memakai perlengkapan
perindustrian, perdagangan atau perlengkapan ilmiah, atau atas informasi yang
20
berkenaan dengan pengalaman di bidang perindustrian, perdagangan, atau di bidang
ilmu pengetahuan. Sedangkan imbalan jasa teknik diberikan sekaligus sebagai fee atas
pemberian jasa teknik yang diberikan wajib pajak kepada kliennya, tidak semata-mata
hanya penggunaan hak (cipta, dsb.) yang dimiliki oleh sang pemberi jasa teknik
tersebut.

Hambatan yang dihadapi oleh implementasi atas pajak penghasilan royalti dan
jasa teknik adalah tida adanya batasan yang jelas antara pengertian royalti dan jasa
teknik. Adanya perbedaan antara tarif pajak penghasilan atas royalti yang sebesar 15%
dari jumlah bruto dengan tarrif jasa teknik yang hanya 2% dari Pajak terdapat dispute
tarif yang cukup signifikan yakni sebesar 13%. Hambatan dalam pelaksanaan
pemajakan bagi fiskus dan pelaksanaan kepatuhan pajak bagi wajib penerima
penghasilan juga terletak pada perlakuan antara Royalti dan Imbalan Jasa Teknik
dalam berbagai perjanjian internasional.

Untuk Royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), dikenakan pajak sebesar 20% sebagaimana
tercantum dalam UU PPh Indonesia Pasal 26 ayat (1) huruf c. Namun tarif ini
mungkin bisa berubah, tergantung apakah negara tempat WPLN berasal (negara
domisili) memiliki treaty atau tidak dengan pihak Indonesia. Apabila terdapat treaty,
pajak yang dibayarkan di kedua negara, baik Indonesia maupun treaty partner, tidak
boleh melebihi (exceeding) dari batas tertentu sesuai dengan treaty yang berlaku.
Sedangkan apabila tidak memiliki tax treaty, maka tarif yangberlaku adalah tarif
sesuai UU Domestik negara bersangkutan (UU PPh Indonesia apabila transaksinya
terjadi di Indonesia).

Pengecualian berlaku apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia.


Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka panghasilan atas
royaltinya digunggung ke dalam penghasilan BUT tersebut, dan dikenakan pajak
sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia (UU Domestik).

Untuk Imbalan Jasa Teknik, penerapannya juga tergantung, apakah negara


tersebut memiliki atau tidak memiliki perjanjian (tax treaty) dengan Indonesia.
Apabila negara bersangkutan memiliki tax treaty di Indonesia, maka atas pemberian
imbalan jasa teknik tersebut akan dilihat terlebih dahulu, masuk ke dalam kategori

21
yang mana : Apakah terkait dengan keberadaan BUTnya di Indonesia, ataukah semata
bertindak sebagai Independent Personal Services sesuai dengan treaty yang berlaku.

Apabila terkait dengan BUT, maka imbalan jasa teknik tersebut akan
dimasukkan ke dalam total penghasilan BUT, sedangkan apabila terkait dengan
Independent Personal Services, maka pengenaannya terkait dengan terpenuhinya
beberapa syarat menyangkut keberadaan fixed base dan presencenya, apakah di
Indonesia yang bersangkutan memiliki fixed base atau tidak, serta (jumlah) lama
kehadirannya di Indonesia, sesuai dengan treaty.

Apabila negara asal WPLN yang menerima imbalan atas jasa teknik tersebut
tidak memiliki treaty dengan pihak indonesia, makapengenaan pajaknya tergantung
UU Pajak Domestik negara masing-masing. Di Indonesia, imbalan atas jasa teknik
seperti ini dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26, sesuai dengan ketentuan dalam UU
PPh Pasal 26 ayat (1) huruf d dengan tarif sebesar 20% dari bruto yang bersifat tidak
final.

22

Anda mungkin juga menyukai