Anda di halaman 1dari 154

ANALISIS KINERJA KREDIT USAHA RAKYAT DAN

DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHA MIKRO


DI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

FARIDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Analisis Kinerja
Kredit Usaha Rakyat dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha Mikro di
Kabupaten Pati Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Farida
NRP H162100171
RINGKASAN

FARIDA. Analisis Kinerja Kredit Usaha Mikro dan Dampaknya Terhadap


Pendapatan Usaha Mikro di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Dibimbing oleh
HERMANTO SIREGAR, NUNUNG NURYARTONO, EKA INTAN KUMALA
PUTRI.

Program kredit usaha rakyat (KUR) digulirkan oleh pemerintah dalam


rangka mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro. Jenis
pembiayaan ini formal yang disalurkan melalui bank-bank pelaksana yang
ditunjuk oleh pemerintah. Banyak rumah tangga usaha mikro yang belum
tersentuh oleh pembiayaan KUR ini. Sebelumnya banyak skim kredit telah
digulirkan juga, namun banyak yang mengalami kendala karena tidak tepat
sasaran, banyaknya kebocoran kredit maupun gagal bayar. Sehingga banyak skim
kredit tidak bisa berlanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-
faktor yang mendorong rumah tangga usaha mikro untuk mengakses KUR,
menganalisis faktor-faktor dalam pembayaran kembali KUR, menganalisis
dampak KUR terhadap pendapatan rumah tangga usaha mikro, menganalisis
efisiensi penyaluran KUR dan keberlangsungan program KUR.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Margorejo dan Kecamatan
Dukuhseti, Kabupaten Pati Jawa Tengah dari bulan Mei sampai Agustus 2014.
Sumber data primer dengan pemilihan sampel yang diambil secara purposive
untuk rumah tangga usaha mikro. Total responden yang menjadi sampel sebanyak
332 rumah tangga yang terdiri dari 155 rumah tangga usaha dengan KUR dan 177
rumah tangga tanpa menggunakan KUR. Metode analisis yang digunakan adalah
regresi logistik, propensity score matching, dan data envelopment analysis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
rumah tangga usaha mikro untuk mengakses KUR adalah usaha baru yang
dijalankan oleh laki-laki yang menghadapi kesulitan modal, memiliki rekening di
bank dan tidak memiiki sumber pinjaman lain akan lebih besar peluangnya untuk
mengakses KUR. Faktor-faktor yang mendorong dalam pengembalian pinjaman
KUR adalah jenis usaha pengolahan, meningkatnya modal kerja, meningkatnya
pengeluaran makanan, memiliki sumber pinjaman lain, dan tidak dikenakan
agunan saat pinjam akan memberikan peluang lebih besar untuk tidak membayar
pinjaman. Sedangkan adanya pekerjaan sampingan, adanya agunan BPKB,
screening awal yang ketat akan mendorong rumah tangga usaha mikro untuk
membayar kembali KUR. Ternyata KUR memberikan dampak pada peningkatan
keuntungan dan total pendapatan, berkurangnya share pengeluaran untuk
makanan, meningkatnya jumlah pekerja dan meningkatnya kepemilikan aset.
Keberlangsungan program dilihat dari dua sisi, yaitu nasabah memperoleh
manfaat atau dampak adanya program KUR, dan dari sisi penyalur KUR, mampu
menguntungkan, efisien dan Non Performance Loannya rendah.

Kata kunci: usaha mikro, kredit mikro, logit, propensity score matching, DEA,
non performance loan
SUMMARY

FARIDA. Analysis of People Business Credit Performance and Its Impact on


Micro-enterprisess Revenue in District of Pati Central Java. Supervised by
HERMANTO SIREGAR, NUNUNG NURYARTONO, EKA INTAN KUMALA
PUTRI.

The People Business Credit Program (KUR) was launched by the


government in order to alleviate poverty through the empowerment of micro-
enterprises. This is a formal financing by executing banks, which appointed by the
government. Until now, many micro-enterprises that have not been funded by
KUR. Previously, many credit schemes had been rolled out as well, but they
experienced to have problems due to they did not get the right target, the amount
of leakage of credit or default. Hence, so many credit schemes could not continue.
This study aimed to analyze the factors that encourage micro-enterprises to access
KUR, to analyze the factors that encourage to KUR repayment, to analyze the
impact on household income, to analyze the efficiency and sustainability of KUR
program.
The research was carried out in the Sub-district of Margorejo and
Dukuhseti, District of Pati, Central Java from May to August 2014. The primary
data collected purposively assigned to 332 of micro-enterprises households
consist of treatment group (155 units) and control group (177 units). The data
were analyzed with the use of descriptive statistics, logistic regression, propensity
score matching and data envelopment analysis.
The results showed that factors affecting micro-enterprises households to
access KUR were new ventures run by men who faced difficulties of capital, bank
account ownership, and had no alternative loan sources as likely to access KUR.
The factors that did not drive to KUR repayment were production business lines,
working capital, spending on food, having an alternative loan source, and not
subject to collateral would provide greater opportunities to not pay the loan. On
the contrary, the factors that encourage micro-enterprises to repay KUR were
having side job, collateral of BPKB, and rigorous initial screening would
encourage to repay KUR.
As the matter of facts, KUR had impacted on increasing of profit and
revenue, reducing the share of food expenditures, increasing the number of
workers and increasing ownership of the asset. The sustainability of KUR
program should be continued.

Keywords: micro-enterprises, micro credit, logit, propensity score matching, DEA,


non-performance loan
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KINERJA KREDIT USAHA RAKYAT DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHA MIKRO
DI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

FARIDA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S

Promotor Sidang Promosi : Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D


Prof. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, M.S
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga disertasi yang berjudul Analisis Kinerja Kredit Usaha Rakyat dan
Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha Mikro di Kabupaten Pati Jawa Tengah
berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing,
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S
selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan dan dorongan
semangat, keramahan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
2. Prof. Dr Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Prof. Ir. Bunasor Sanim, PhD dan Prof. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS
yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji luar komisi pada saat
ujian prelim, ujian sidang tertutup sampai sidang promosi dan telah
memberi banyak masukan substansial, komentar dan saran-saran sehingga
meningkatkan kualitas disertasi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku ketua Program Studi PWD
beserta jajarannya atas arahan, fasilitas dan motivasi selama penulis
menempuh pendidikan di PS PWD IPB.
4. Ayahanda Bapak Muchson yang selalu mendukung dan mendoakan.
5. Teman-teman mahasiswa PWD khususnya angkatan 2010 terima kasih
atas bantuan dan kerjasamanya.
6. Semua pihak yang telah banyak memberi kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data
hingga tersusunnya disertasi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Farida
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 9
1.4 Manfaat Penelitian 9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1 Konsep Perkreditan 10
2.2 Aspek Kelembagaan Program KUR 13
2.3 Pengaruh Subsidi Premi Pada Keseimbangan Pasar Kredit Usaha
Rakyat 14
2.4 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan 16
2.5 Peranan Kredit dalam Pengembangan Usaha mikro 19
2.6 Lembaga Keuangan Mikro 20
2.7 Kajian Faktor-Faktor yang Mendorong Pengajuan KUR 22
2.8 Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelancaran
Pengembalian KUR 25
2.9 Kajian Dampak Kredit Usaha Rakyat 27
2.10 Kajian Keberlangsungan Penyalur Kredit Usaha Rakyat 29
2.11 Kebaruan Penelitian 32
3 METODOLOGI PENELITIAN 32
3.1 Kerangka Penelitian 32
3.1.1 Kerangka Konseptual Penelitian 32
3.1.2 Hipotesis Penelitian 33
3.2 Metode Penelitian 33
3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 33
3.2.2 Metode Pengumpulan Data 35
3.2.3 Tehnik Pengambilan Sampel 35
3.2.4 Regresi Logistik Biner 37
3.2.5 Variabel-Variabel untuk Akses KUR 39
3.2.6 Variabel-Variabel untuk Pembayaran KUR 40
3.2.7 Propensity Score Matching atau Pencocokan Nilai-Kedekatan 41
3.2.8 Data Envelopment Analysis atau DEA 44
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN PATI 47
4.1 Kondisi Geografis 47
4.2 Administrasi 48
4.3 Kondisi Topografi 48
4.4 Demografi, Sosial dan Budaya 49
4.5 Perbankan Penyalur KUR di Kabupaten Pati 50
5 AKSESIBILITAS USAHA MIKRO TERHADAP KUR 51
5.1 Karakteristik Rumah Tangga Usaha Mikro 51
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses KUR 60
6 PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN KUR 63
6.1 Karakteristik Rumah Tangga Usaha Mikro 63
6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembalian KUR 67
7 DAMPAK KUR TERHADAP PENDAPATAN
RUMAH TANGGA USAHA MIKRO 71
7.1 Kinerja Ekonomi Rumah Tangga Usaha Mikro 71
7.2 Dampak KUR pada Rumah Tangga Usaha Mikro 73
8 KEBERLANGSUNGAN PEMBIAYAAN KUR 78
8.1 Kinerja Bank-Bank Unit Penyalur Kredit Usaha Rakyat 78
8.2 Analisis Antar Peubah Kinerja Keuangan Menggunakan Biplot 85
8.3 Efisiensi Bank-Bank Unit Penyalur KUR 88
9 KREDIT USAHA MIKRO DALAM PERWILAYAHAN
KABUPATEN PATI 93
9.1 Inefisiensi Penyaluran KUR Berdasarkan Pola Tipologi
Wilayah Pati 93
9.2 Efisiensi Penyaluran KUR Berdasarkan Pola Tipologi
Wilayah Pati 99
10 IMPLIKASI KEBIJAKAN 104
10.1 Pemerintah Pusat: Kebijakan Terkait Keberlangsungan dan
Prioritas Target 104
10.1.1 Kebijakan Terkait Keberlangsungan 104
10.1.2 Kebijakan Terkait Gender 105
10.1.3 Kebijakan Terkait Bidang Usaha 106
10.2 Pemerintah Daerah: Kebijakan Terkait Penyampaian Informasi 106
10.2.1 Program KUR 106
10.2.2 Data Calon/Debitur 107
10.3 Perbankan: Kebijakan Terkait Kolateral 107
10.4 Calon/Debitur KUR Mikro: Kebijakan Terkait Graduasi 109
12 SIMPULAN DAN SARAN 109
12.1 Simpulan 109
12.2 Saran 110
DAFTAR PUSTAKA 112
LAMPIRAN 122
RIWAYAT HIDUP 132
DAFTAR TABEL

1.1 Perkembangan realisasi KUR, debitur dan usaha mikro 2


1.2 Realisasi penyaluran KUR dan NPL, per 31 Desember 2012 3
3.1 Rancangan model analisis data 36
3.2 Deskripsi variabel-variabel akses KUR 39
3.3 Deskripsi variabel-variabel pembayaran kembali KUR 39
3.4 Deskripsi variabel-variabel dalam model probit 44
4.1 Nama-nama kecamatan, jumlah kelurahan dan luas wilayah 48
4.2 Jumlah penduduk, penduduk miskin, jumlah rumah di Kab. Pati 49
5.1 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro 51
5.2 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro Kec. Margorejo 52
5.3 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro Kec. Dukuhseti 52
5.4 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro 53
5.5 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro
di Kec. Margorejo 55
5.6 Karakteristik sosial ekonomi RT usaha mikro di Kec. Dukuhseti 56
5.7 Karakteristik lain-lain rumah tangga usaha mikro 58
5.8 Pengajuan kredit rumah tangga usaha mikro 60
5.9 Faktor-faktor yang mendorong akses KUR 61
6.1 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro 64
6.2 Karakteristik ekonomi peminjam KUR 64
6.3 Karakteristik usaha rumah tangga mikro 65
6.4 Karakteristik pinjaman KUR 66
6.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran kembali KUR 67
7.1 Kinerja ekonomi rumah tangga usaha mikro 71
7.2 Estimasi probit untuk skor propensity 74
7.3 Dampak KUR menggunakan propensity score matching
dengan metode the nearest neigbor 74
7.4 Jumlah kovariat yang digunakan 75
7.5 Dampak KUR menggunakan propensity score matching dengan
metode the nearest neigbor setelah balancing test 76
7.6 Jumlah kovariat yang digunakan setelah balancing test 76
8.1 Kinerja bank-bank unit penyalur KUR 80
8.2 Kinerja pendapatan operasional bank-bank unit penyalur KUR 81
8.3 Kinerja biaya operasional bank-bank unit penyalur KUR 84
8.4 Efisiensi bank-bank unit penyalur KUR 89
8.5 Deskripsi skala efisiensi tehnik 90
8.6 Bank-bank unit rujukan 90
8.7 Optimalisasi penyaluran KUR di Pati (Rp juta), 2013 91
8.8 Perbandingan Bank Unit Kayen dan Bank Unit Gabus 93
9.1 Frekwensi skala efisiensi bank-bank unit penyalur KUR 94
9.2 Inefisiensi penyaluran KUR berdasarkan pola tipologi wilayah 94
9.3 Efisiensi penyaluran KUR berdasarkan pola tipologi wilayah 100
DAFTAR GAMBAR

1.1 Profil demografi, tingkat KUR dan tingkat kemiskinan 4


1.2 Penyaluran KUR menurut sektor ekonomi 4
2.1 Pengaruh elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran
terhadap suku bunga 11
2.2 Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan 12
2.3 Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran 13
2.4 Pengaruh subsidi premi pada keseimbangan pasar KUR 15
2.5 Lembaga keuangan mikro di Indonesia 21
2.6 Klasifikasi pembatasan kredit rumah tangga oleh Maldonado 24
3.1 Kerangka pemikiran penelitian 34
3.2 Proses pengambilan sampel responden usaha mikro
dan bank unit 36
3.3 Ilustrasi frontier dalam DEA 45
5.1 Sebaran sektor usaha mikro 57
8.1 KUR yang disalurkan di wilayah Pati 78
8.2 Kuadran jumlah nasabah dan KUR yang disalurkan, 2013 79
8.3 Pendapatan operasional bank-bank unit penyalur KUR 82
8.4 Pendapatan non operasional bank-bank unit penyalur KUR 83
8.5 Total biaya operasional bank-bank unit penyalur KUR 83
8.6 Klusterisasi bank-bank unit berdasarkan 20 peubah 85
8.7 Biplot hubungan antar 20 peubah 86
8.8 Biplot keragaman dan nilai peubah pada suatu
objek pengamatan 87
9.1 Peta tipologi wilayah berdasarkan efisiensi KUR
di Kabupaten Pati 97
DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil olahan logit faktor-faktor yang mempengaruhi


pembayaran KUR 122
2. Hasil olahan deskripsi variabel-variabel hasil untuk dampak 123
3. Hasil olahan propensity score matching 123
4. Hasil olahan DEA 128
5. Nama-nama unit kerja bank umum nasional penyalur KUR 131
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka menanggulangi kemiskinan, Pemerintah merumuskan


kebijakan percepatan penanggulangan kemiskinan dan membentuk TNP2K (Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Adapun mandat yang
diberikan kepada tim ini adalah dengan membentuk 3 kluster, pertama
memberikan program perlindungan sosial sebagai program utama penanggulangan
kemiskinan bersasaran dengan cara conditional cash transfer seperti; Program
keluarga harapan (PKH), Bantuan langsung tunai (BLT), jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas), beras miskin (Raskin) maupun bantuan operasional
sekolah (BOS). Kedua, program jangka pendek-menegah berbasis pemberdayaan
masyarakat dengan mengintegrasikan PNPM Mandiri dengan perencanaan
desa/kelurahan, dan fasilitas pembiayaan baik berasal dari APBN/APBD maupun
diluar APBN/APBD. Ketiga, meningkatkan peranan pasar dan institusi keuangan
dalam menyalurkan dana ke kegiatan ekonomi yang produktif serta
mengalokasikan resiko ke pelaku ekonomi yang paling siap untuk
menanggungnya yaitu dengan program kredit usaha rakyat (KUR). KUR adalah
adalah kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMKM yang
feasible tapi belum bankable, yaitu usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang
baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan tapi belum memenuhi
administrasi/persyaratan/jaminan yang ditentukan di bank untuk memperoleh
kredit. Peran pemerintah dalam skim kredit usaha mikro ini adalah menyediakan
dana APBN dengan mensubsidi bunga skim kredit yang dimaksud dan
penjaminan, sementara dana kredit/pembiayaan seluruhnya (100 persen) berasal
dari bank bank yang ditunjuk pemerintah sebagai bank pelaksana.
Dengan adanya peningkatan KUR yang dikucurkan, diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan usaha mikro dan secara tidak langsung mampu
menurunkan jumlah orang miskin semakin besar melalui penciptaan lapangan
pekerjaan baru. Pembiayaan mikro mampu mengurangi kemiskinan melalui
peningkatan pendapatan masyarakat miskin sebesar 112 persen dan menggeser
posisi masyarakat miskin tersebut sebesar 90 persen keatas garis kemiskinan
(Panjaitan et al. 1999). Simanowitz (2003) menemukan bahwa penerima
pembiayaan mikro di India mengalami peningkatan ekonomi dan 50 persen
mampu keluar dari kemiskinan. Riset yang dilakukan oleh Khan dan Rahaman
(2007) di Bangladesh sebagai pioner negara yang mengembangkan model
pembiayaan mikro, menganalisis bahwa pembiayaan mikro yang diberikan oleh
Grameen Bank, BRAC, ASA dan PROSHIKA memberikan dampak positif
terhadap standar hidup orang miskin dan gaya hidupnya. Pembiayaan mikro tidak
hanya membantu orang-orang miskin keluar dari garis kemiskinan tetapi juga
membantu mereka dalam pemberdayaan diri. Meskipun terdapat argumen bahwa
tingkat suku bunga pembiayaan mikro tinggi, namun responden masih
menganggap masuk akal.
Banyak skim kredit yang sebelumnya sudah digulirkan, tampaknya belum
memberikan hasil yang diharapkan. Program-program tersebut misalnya
Bimbingan Masal (Bimas), Kredit Usaha Tani (KUT) maupun Kredit Ketahanan
2

Pangan. Namun program-program tersebut memiliki kelemahan-kelemahan


seperti prosedur yang berbelit-belit, penyediaan jaminan dan bunga yang tinggi,
maupun tingkat pengembalian kredit tidak lancar. Hasil penelitian SMERU (2002)
menyatakan bahwa penyerapan kredit ketahanan pangan di Sulawesi, Jatim, dan
Jabar sangat rendah. Kendala utamanya adalah petani tidak mampu menyediakan
jaminan dan bank-bank sangat berhati hati dalam menyalurkan kredit karena
trauma kegagalan KUT dan juga menganggap bahwa pertanian masih merupakan
sektor yang beresiko tinggi. Anggapan bahwa kredit KKP adalah suatu hibah
sehingga banyak kredit yang tidak dikembalikan.
Semakin meningkatnya KUR yang disalurkan diharapkan semakin banyak
usaha mikro secara nasional. Perkembangan realisasi KUR, jumlah usaha mikro
dan debitur sejak tahun 2009 sampai dengan 2012 sebagai berikut.

Tabel 1.1 Perkembangan realisasi KUR, debitur dan usaha mikro nasional
Penyerapan
Tenaga
KUR (Rp Usaha Kerja
Tahun Milyar) Debitur Mikro (unit) (orang)
2008-
2009 17.189,3 2.374.908 52.176.796 90.012.694
2010 17.228,6 1.437.650 53.207.500 93.014.759
2011 29.002,6 1.909.880 54.559.969 94.957.797
2012 34,230,5 1.962.153 55.254.899 95.877.900
Total 97.651,0 7.684.591
Sumber: Komite-KUR, 2012

Sampai saat ini plafon kredit usaha rakyat yang sudah disalurkan per 31
Desember 2012 sebesar Rp 97,6 trilyun dengan jumlah debitur mencapai 7,68
juta. Rata rata kredit per nasabah sekitar Rp 12,7 juta dan rata rata kredit usaha
mikro dari BRI KUR mikro Rp 6,6 juta per debitur. Penyalur kredit terbesar saat
ini adalah Bank Rakyat Indonesia atau 60,6 persen dari total seluruh realisasi
kredit, yang saat ini memiliki jaringan terbesar ke pelosok daerah. KUR yang
disalurkan oleh BRI kepada usaha mikro adalah terbesar mencapai 47,79 persen
dari total keseluruhan KUR yang disalurkan. Jumlah debitur mikro yang dilayani
juga mencapai sekitar 7,0 juta orang atau 91,84 persen dari seluruh debitur di
Indonesia. Dengan demikian, usaha mikro yang mendapatkan kredit usaha rakyat
sebesar 12,68 persen dari total usaha mikro di Indonesia. Debitur mikro dari BRI
juga menunjukkan tingkat kelancaran yang paling baik dengan ditunjukkan NPL
(non performance loan) nya sebesar 1,7 persen jauh dari yang diisyaratkan oleh
pemerintah sebesar 5 persen. Beberapa bank penyalur kredit usaha rakyat masih
menunjukkan tingkat NPL yang tinggi seperti BNI, BTN, Bukopin, Syariah
Mandiri, dan BPD. Rata-rata penyaluran kredit usaha rakyat oleh bank-bank lain
menunjukkan bukan kredit usaha rakyat mikro melainkan usaha menengah keatas
dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan oleh bank. Berikut adalah tabel 1.2
realisasi penyaluran KUR dan NPL.
3

Tabel 1.2 Realisasi penyaluran KUR dan NPL per 31 Desember 2012

REALISASI PENYALURAN KUR


Plafon Outstanding Rata2 Kredit
(Rp jt NPL
NO BANK Rp (jt) Rp (jt) Debitur /debitur) (%)
1 BNI 10.679.291 4.172.265 153.050 69,8 7,3
2 BRI (KUR Ritel) 12.626.671 5.436.204 79.084 159,7 3,1
3 BRI (KUR Mikro) 46.670.190 14.448.280 7.057.766 6,6 1,7
4 BANK MANDIRI 10.796.762 3.795.445 210.453 51,3 2,0
5 BTN 3.273.465 1.366.075 19.181 170,7 5,8
6 BUKOPIN 1.479.878 395.402 10.149 145,8 6,3
SYARIAH
7 MANDIRI 2.761.083 1.267.617 35.263 78,3 4,9
8 BNI SYARIAH 41.752 31.425 136 307,0 0,0
9 BPD 9.321.986 3.413.742 119.509 78,0 6,3
TOTAL 97.651.082 34.230.456 7.684.591 12,7 3,6
Sumber: Komite-KUR, 2012

Dengan adanya penyaluran KUR, diharapkan akan meningkatkan


produktifitas atau pendapatan dan mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Sehingga tingkat pengangguran diharapkan berkurang dan tingkat kemiskinan
juga akan berkurang. Untuk mengetahui apakah karena KUR mampu
meningkatkan pendapatan rumah tangga mikro, maka perlu dilakukan studi atau
penelitian terhadap rumaha tangga usaha mikro yang tanpa menggunakan KUR.
Selama ini banyak penelitian untuk melihat suatu dampak dilakukan sebelum dan
sesudah mendapatkan KUR.Namun, hal ini banyak menjadikan hasil yang bias.
Dengan membandingkan antara yang mendapat KUR dan tanpa KUR, dengan
kondisi faktor-faktor lain yang hampir sama, maka akan mampu menjelaskan
memang faktor KUR yang menjadi pendorong peningkatan pendapatan.
Menggunakan KUR dan tanpa KUR jelas merupakan suatu kondisi yang jelas
berbeda, sehingga tidak apple to apple untuk dibandingkan secara langsung. Oleh
karena itu, perlu dilakukan suatu pendekatan yang berbeda agar dua kondisi
tersebut mendekati kesamaan yaitu dengan propensity score matching.
Besarnya KUR dan jumlah tingkat usia produktif merupakan faktor yang
potensial untuk meningkatkan produktifitas dan aktifitas ekonomi sehingga
mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Gambar 1.1 dibawah adalah grafik yang
menggambarkan profil masing masing daerah tentang tingkat penduduk usia
produktif tinggi, tingkat KUR yang disalurkan tinggi namun tingkat kemiskinan
ternyata juga masih tinggi.
4

Gambar 1.1 Profil demografi, persentase KUR dan tingkat kemiskinan


Sumber: Depkop, BPS, 2012

Pulau Jawa adalah penerima penyaluran KUR terbesar sekitar 51,62 persen
karena jumlah usaha juga terbesar berada di Pulau Jawa. Dari total KUR yang
disalurkan tahun 2012 tersebut tiga provinsi penerima pembiayaan KUR terbesar
adalah Jawa Tengah (15,12 persen), Jawa Timur (15,09 persen), dan Jawa Barat
(12,71 persen). Sebagai provinsi yang memiliki plafon penyaluran KUR terbesar
sekitar Rp 14,7 trilyun, Jawa Tengah ternyata memiliki tingkat kemiskinan 16,56
persen pada tahun 2012 atau naik dari 16,21 persen dari tahun sebelumnya. KUR
yang disalurkan menunjukkan peningkatan namun tingkat kemiskinan justru
meningkat jauh diatas rata rata tingkat kemiskinan nasional 11,96 persen.
Menurut sektor ekonomi di gambar 1.2, penyaluran KUR didominasi oleh
sektor perdagangan dan sektor pertanian yang masing masing sebesar 56,75
persen dan 16,39 persen.

Gambar 1.2 Penyaluran KUR menurut sektor ekonomi


Sumber: Kemenko Perekonomian, 2012
5

Pada tahun 2012, Kabupaten Pati merupakan daerah penyalur KUR terbesar
di Jawa Tengah sebesar Rp 235,38 milyar. Total KUR yang sudah disalurkan di
kabupaten Pati sejak pertama kali diluncurkan tahun 2007 mengalami peningkatan
yang luar biasa yaitu dari Rp 1,10 miliar, tahun 2008 sebesar Rp 27,23 miliar,
tahun 2009 sebesar Rp 22,15 milyar, tahun 2010 sebesar Rp 67,47 milyar, tahun
2011 sebesar Rp 128,26 milyar dan puncaknya pada tahun 2012 sebesar Rp
235,38 milyar yang menjadikan Kabupaten Pati sebagai daerah dengan penyerap
KUR terbesar nasional. Dengan demikian sepanjang 2007 - 2012 jumlah KUR
yang telah disalurkan di kabupaten Pati mencapai Rp 481,59 milyar.
Meningkatnya jumlah KUR yang disalurkan tersebut tentunya seiring dengan
meningkatnya jumlah nasabah setiap tahun yaitu dari 145 nasabah tahun 2007,
melonjak tajam menjadi 9.315 nasabah tahun 2008 namun sedikit turun pada
tahun berikutnya sebesar 7.484 nasabah dan naik menjadi 17.189 nasabah tahun
2010, 22.539 nasabah tahun 2011 dan pada akhirnya mencapai angka tertinggi
25.918 nasabah di tahun 2012. Dengan demikian selama 6 tahun terjadi lonjakan
atau kenaikan nasabah sebesar 17.774 persen. Dari total Rp 235,38 milyar tersebut
yang disalurkan kepada 25.918 pelaku usaha berarti rata rata menerima Rp 9.0
juta per pelaku usaha. Total tenaga kerja yang terserap dari pelaku usaha tersebut
sebesar 76.242 tenaga kerja pada tahun 2012 atau naik dari 67.791 orang tahun
2011. Sehingga rata rata tenaga kerja per usaha sebanyak 3 orang pada tahun
2012. Sektor terbesar penyerap KUR adalah sektor hulu yakni pertanian yang
mencapai 32 persen (8.126 orang), disusul sektor perikanan 27 persen atau
(6.856), sektor perindustrian 19 persen (4.825 orang), sektor perdagangan 13
persen (3.301 orang) dan usaha-usaha lainnya 9 persen (3.285 orang). Di
kabupaten ini, program KUR dilaksanakan oleh tiga bank, yakni Bank Rakyat
Indonesia, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.
Tingkat kemiskinan di Kabupaten Pati sebesar 14,48 persen pada tahun
2012, relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan di
Jawa Tengah 16,21 persen. Tingkat kemiskinan tersebut turun dari 19,79 persen
pada tahun 2007. Pada tahun 2007 angka pengangguran sebesar 8,38 persen turun
menjadi 5,8 persen pada tahun 2012.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia dengan sistem perekonomian berbasis kerakyatan diharapkan


dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tingkat kesejahteraan
rakyat yang memadai, maka pertumbuhan wirausaha dan usaha mikro harus
didorong termasuk penguatan modal. Usaha mikro dengan pinjaman kredit dapat
menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga dapat mempekerjakan
seluruh keluarganya atau orang lain (mengurangi pengangguran). Hasil kajian
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM dan Koperasi tahun 2006,
memperlihatkan bahwa permintaan kredit (demand of credit) dari kalangan
UMKM relatif cukup besar. Dari hasil kajian di lima provinsi (Sumatera Selatan,
Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan), diketahui bahwa
87,4 persen dari UMKM sangat mengharapkan adanya pinjaman modal dari
lembaga perkreditan formal terutama perbankan (Situmorang 2007).
6

Kredit sangat penting untuk menghasilkan pertumbuhan usaha mikro, tapi


banyak unit usaha yang tidak memiliki akses ke lembaga kredit formal. Lembaga
kredit formal biasanya melayani nasabah kaya dan lembaga kredit informal biasa
hanya melayani nasabah berpendapatan rendah (Nawai 2010). Jumlah unit
UMKM yang mencapai 55,2 juta unit di tahun 2012 (tabel 1.2), yang tersebar di
seluruh wilayah dan semua sektor usaha (BPS 2012) hanya sebesar 39 persen atau
sekitar 21,5 juta yang telah memperoleh kredit perbankan. Sisanya belum sama
sekali tersentuh lembaga perbankan. Dari jumlah debitur yang mendapat kredit
perbankan tersebut, termasuk kredit usaha rakyat yang diterima oleh usaha mikro
sekitar 7,0 juta atau 12,68 persen. Dengan demikian tantangan utama yang
dihadapi oleh usaha mikro di Indonesia adalah kurangnya akses kredit formal
perbankan. Demikian juga usaha mikro yang ada di dunia juga mengalami
tantangan kurangnya akses kredit (Cotler & Woodruff 2008; Tambunan 2007;
Schoombee 2000). Cotler dan Woodruff (2007) mengatakan bahwa usaha mikro
memiliki tingkat pengembalian modal yang lebih tinggi daripada usaha besar
namun mereka memiliki kendala yang lebih besar pada akses kredit. Dari bukti
yang ada pada jangka pendek periode 4 bulan, usaha mikro tersebut memiliki
dampak yang besar dalam meningkatnya investasi pada aset tetap. Sedangkan di
Indonesia dinyatakan bahwa kendala utama yang dihadapi usaha mikro kecil
adalah kurangnya akses modal kerja dan kesulitan pemasaran (Tambunan 2007).
Penelitian Schoombee (2000) menemukan bahwa masalah penting yang dihadapi
usaha mikro di Afrika Selatan di sektor informal adalah kurangnya akses kredit ke
bank formal.
Dari total 55,2 juta UMKM yang ada, sekitar 99 persen atau 54,55 juta
adalah unit usaha mikro yaitu para usaha rumah tangga, pedagang kaki lima dan
berbagai jenis usaha bersifat informal lainnya. Pada skala mikro ini, penyerapan
tenaga kerja juga terbanyak yaitu sekitar 94,9 juta orang atau 90,77 persen dari
total tenaga kerja UMKM. Permasalahan utama yang berkaitan dengan sulitnya
usaha mikro untuk mengakses kredit kepada lembaga keuangan bank disebabkan
oleh apa yang disebut dengan asymetric information, yaitu lembaga keuangan
formal terutama bank tidak sempurna mendapatkan informasi tentang kegiatan
usaha mikro, ataupun sebaliknya usaha mikro tidak bisa mencari lembaga
keuangan yang tepat dengan kondisinya. Pelaku usaha mikro menurut Miller
(2008) memiliki masalah informasi dan pengetahuan keuangan yang rendah yang
banyak terjadi di negara berkembang karena tingkat pendidikan yang rendah.
Asymetric information membuat calon pemberi pinjaman kesulitan memprediksi
peluang kembalinya kredit yang disalurkan. Untuk mengkompensasi resiko
tersebut, pemberi pinjaman meningkatkan tingkat suku bunga yang harus dibayar
oleh penerima kredit dan penyediaan jaminan (collateral). Padahal sebagian besar
usaha mikro, agunan yang dimiliki sangat terbatas atau bahkan tidak memiliki
agunan. Kredit mikro biasanya dikenakan bunga yang lebih tinggi dari jenis
pembiayaan komersil lainnya. Hal ini dikarenakan biaya untuk pelayanan kredit
juga sama meski jumlah uang yang dipinjamkan kecil. Sehingga biaya yang
ditanggung dalam bentuk tingkat bunga sangat tinggi (Fernando 2006). Menurut
Stewart et al. (2010) menyimpulkan bahwa tingginya tingkat bunga di sub
Saharan-Afrika merupakan salah satu alasan kenapa microfinance tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin malah membuat semakin miskin.
Biaya bunga kredit tidak menjadi satu-satunya pertimbangan nasabah dalam
7

mengajukan kredit. Nasabah juga sangat mempertimbangkan biaya transaksi


seperti biaya transportasi, waktu yang dibutuhkan dari tempat usaha ke lokasi dan
lamanya waktu kredit cair (Rosenberg et al. 2009).
Mikrofinance memiliki berbagai resiko antara lain resiko gagal bayar atau
kredit macet (Goetz et al. 1995; Rangan 2010) yaitu resiko tidak dibayarnya
pinjaman yang sudah disalurkan. Dengan demikian, penelitian mengenai perilaku
(hazard) ini penting untuk memperoleh informasi yang komprehensif yang pada
gilirannya bermanfaat untuk para analis kredit dalam keputusannya dalam
memberikan kredit. Proses penyaringan yang bisa dilakukan antara lain dengan
melihat latar belakang debitur, dengan menentukan factor-faktor yang dapat
menggambarkan karakteristik perilaku debitur dalam meminjam. Konsep
keuangan mikro menjadi alat pengentasan kemiskinan dibanyak negara, menurut
Setargie (2011) aspek manajemen resiko pembiayaan mikro tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 6 LKM di Ethiopia, bahwa resiko
kegagalan naik rata-rata 27,1 persen. Faktor utama kegagalan kredit adalah kinerja
usaha yang buruk, pengalihan fungsi kredit, masalah rumah tangga, maupun
jumlah tanggungan.
Dari sisi, non performance loan (NPL), Nasabah mikro ternyata memiliki
tingkat yang paling rendah yaitu 1,7 persen (untuk BRI). Kondisi di Indonesia ini
sejalan dengan hasil penelitian Cotler dan Woodruff (2007) dimana tingkat kredit
macet usaha mikro kecil namun akses terhadap kredit sulit. Terbukti terlihat dari
data tabel 1.2 diatas, bahwa bank-bank masih memberikan prioritas besarnya
pinjaman KUR kepada nasabah bukan mikro yang kurang dari 10 persen dari total
nasabah. Barangkali masih adanya kekuatiran akan terjadi kredit macet. Padahal
kenyataannya nasabah besar yang memiliki NPL yang tinggi.
Pihak perbankan sendiri, realisasi penyaluran kredit mikro berhasil apabila
didukung oleh jumlah kantor layanan yang banyak dan menyebar di seluruh
pelosok (Quarch et al. 2005), memiliki jumlah marketing yang lebih banyak,
berpengalaman dan terbiasa dalam menyalurkan kredit mikro. Informasi yang
lengkap sangat diperlukan sehingga penyaluran kredit tersebut bisa tepat sasaran
dan pengembalian kredit lancar. Dengan sasaran penyaluran yang tepat
diharapkan dalam jangka panjang bisa berkelanjutan baik dari sisi perbankan
maupun masyarakat sehingga tujuan dari KUR untuk mengentaskan kemiskinan
tercapai.
Kontribusi Usaha mikro terhadap total PDB atas dasar konstan cukup
besar yaitu Rp 761,2 trilyun atau 57,94 persen dari total PDB. Kontribusi usaha
mikro terhadap total ekspor Indonesia sekitar 16,44 persen atau mencapai sekitar
Rp 17,2 trilyun. Sedangkan investasi usaha mikro pada tahun 2011 mencapai Rp
42,3 trilyun atau 50 persen dari total investasi. Dengan demikian, potensi UMKM
yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi cukup besar dan
semakin besar pula KUR yang seharusnya bisa disalurkan.
Menurut hasil penelitian Quarch et al. (2005), menyatakan bahwa kredit
rumah tangga memiliki dampak positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
ekonomi rumah tangga berkaitan dengan tingkat konsumsi per kapita baik
makanan maupun non makanan. Dampak kredit terhadap kesejahteraam lebih
besar untuk rumah tangga yang sangat miskin. Dalam penelitian tersebut juga
menemukan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi rumah tangga untuk
meminjam adalah usia kepala keluarga, ukuran rumah tangga, kepemilikan tanah
8

dan tersedianya kredit pada tingkat pedesaan. Prosedur dan persyaratan yang
mudah juga menjadi alasan pelaku usaha untuk meminjam kredit. Kenyataannya,
persyaratan yang mudah biasanya diperoleh dari lembaga keuangan non formal.
Apabila KUR memberikan manfaat yang nyata maka diharapkan kebijakan
ini bisa berkelanjutan. Berkelanjutan berarti bahwa secara finansial maupun
material, pinjaman KUR tersebut dapat membiayai sendiri semua ongkos
pengeluarannya yang berasal dari pendapatan yang diperoleh dari biaya
administrasi (bunga) yang dibayar oleh usaha mikro dan meningkatkan usaha
produktifnya. Namun kenyataannya banyak terjadi bahwa kredit mikro
memberikan dampak positif terhadap usaha mikro tetapi lembaga keuangannya
yang mengalami ketidakberlanjutan (Syukur 2002; Tang 2009; Afonso et al.
2010; Latif et al. 2011). Tang dalam studinya tentang kredit mikro pedesaan di
China menemukan bahwa kredit memberikan keuntungan secara sosial dan
ekonomi, namun keberlangsungan lembaga finansialnya menghadapi kendala
kurangnya sumber pendanaan, resiko dan biaya kredit mikro masih mahal,
managemen dan prosedurnya belum sempurna. Penelitian mikro kredit di Portugis
yang dilakukan oleh Afonso et al. membuktikan adanya pengurangan kemiskinan
tetapi keberlangsungannya mengalami kontroversi. Keberlangsungan kredit mikro
akan terjadi jika rata rata tingkat bunga yang diberikan mencapai 25 persen per
tahun, sedangkan yang terjadi rata-rata masih sekitar 20 persen per tahun sehingga
masih berat untuk menutupi biaya yang dikeluarkan. Latif et al. di Pakistan juga
mengamati bahwa banyak LKM yang tidak mencapai viabilitas keuangan, karena
usaha mikro yang dibiayainya terlalu kecil skala usahanya dan tidak cukup
memberikan keuntungan bagi LKM. Namun bagi usaha mikro, pembiayaan
tersebut 80 persen mampu membuka usaha dan menambah kepemilikan ternak.
Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan adanya dampak mikro
kredit terhadap peningkatkan kesejahteraan, tidak dipungkiri banyak juga
penelitian yang menunjukkan sebaliknya, seperti penelitian yang dilakukan oleh
(Banerjee et al. 2013; Zinman 2009; Stewart et al. 2010). Pro-kontra dalam
program kredit mikro, pada kenyataannya menunjukkan kebutuhan akan kredit
mikro ataupun lembaga keuangan mikro tetap meningkat. Memang kredit mikro
bukanlah satu satunya alat dalam mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi banyak
faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Chowdhury (2009) mengatakan bahwa
bagaimanapun keuangan mikro memainkan peranan penting dalam menyediakan
jaringan pengaman bagi orang-orang miskin. Suatu kebijakan hendaknya
berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan, yang berbasis pada penciptaan
lapangan kerja yang produktif dan luas. Tugas Lembaga keuanganlah harus
mencari usaha mikro yang ada di sektor informal, bukan orang miskin tanpa aset
atau kewirausahaan (Easterly 2006). Kredit perbankan untuk usaha mikro
diharapkan mampu mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah
seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Sektor penyerap KUR terbesar di
Kabupaten Pati adalah sektor pertanian dan sektor perikanan.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian
adalah;
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi akses KUR pelaku usaha mikro ke
lembaga keuangan formal?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kelancaran pengembalian KUR?
3. Bagaimana dampak KUR pada peningkatan pendapatan usaha mikro?
9

4. Bagaimana keberlanjutan penyaluran KUR dalam meningkatkan


pendapatan usaha mikro?
5. Bagaimana keterkaitan KUR dengan perwilayahan di Kabupaten Pati?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka tujuan umum


penelitian adalah untuk menganalisis dampak dan keberlanjutan KUR terhadap
peningkatan pendapatan usaha mikro. Sedangkan tujuan khusus penelitian adalah
sebagai berikut;

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi atau mendorong usaha


mikro untuk mengakses KUR.
2. Menganalisis faktor-faktor dan kemampuan usaha mikro dalam
pengembalian KUR.
3. Mengkaji dampak KUR pada usaha mikro yang mendapat KUR dengan
usaha mikro yang tidak menggunakan KUR terhadap peningkatan
pendapatan usaha mikro.
4. Menganalisis efisiensi dan kinerja penyaluran KUR untuk keberlanjutan
program pembiayaan usaha mikro.
5. Mendiskripsikan penyaluran KUR berdasarkan perwilayahan di
Kabupaten Pati Jawa Tengah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Bahan masukan atau pun rekomendasi kebijakan bagi penentu kebijakan


berupa pengetahuan tentang karakter dan perilaku ekonomi rumah tangga
usaha mikro untuk membantu menentukan sasaran yang lebih tepat dalam
penyaluran kredit.
2. Bagi dunia akademik dapat sebagai rujukan dan memperkaya khazanah
pengetahuan tentang kredit di Indonesia, terutama faktor-faktor apa yang
mampu mendorong atau alasan rumah tangga meminjam ke lembaga
perbankan.
3. Untuk pelaku usaha mikro mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang lembaga pembiayaan yang sesuai dengan kondisi mereka.
4. Untuk pengembangan IPTEKS, data rujukan KUR sebagai data dasar
untuk penelitian lebih lanjut dalam bidangnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini secara umum dilakukan untuk melihat dampak KUR pada
pendapatan pelaku usaha mikro. Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk
melihat perilaku usaha mikro akan permintaan KUR dan kelancaran dalam
mengembalikan KUR. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
10

yang merupakan penerima pembiayaan KUR terbanyak. Usaha mikro adalah


semua usaha yang memiliki asset maksimal Rp 50 juta dengan omzet maksimal
Rp 300 juta menurut UU no 20 tahun 2008 atau memiliki tenaga kerja kurang dari
5 orang (BPS).

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perkreditan

Pengertian kredit menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan


sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Dalam arti luas kredit
diartikan sebagai kepercayaan. Dalam bahasa latin kredit berarti credere artinya
kepercayaan. Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan
seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan
membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan.
Terdapat dua kekuatan yang saling berinteraksi didalam pasar kredit yaitu
penawaran dan permintaan akan kredit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran kredit seperti 1) tingkat bunga, 2) defisit anggaran
pemerintah, 3) nilai tukar dan sebagainya. Namun ada juga beberapa faktor yang
berpengaruh dari sisi penawaran akan kredit seperti kredit yang diciptakan oleh
bank sentral dan dana dari pihak ketiga baik dari sektor rumah tangga maupun
bisnis.
Apabila tingkat suku bunga naik maka permintaan akan kredit akan turun.
Sebaliknya dalam kondisi tingkat suku bunga turun, maka permintaan akan kredit
meningkat. Dalam kenyataannya, fenomena teori ini sering tidak terjadi. Suku
bunga kredit sering tidak sensitif atau mempengaruhi secara signifikan terhadap
permintaan kredit bagi nasabah. Sehingga tinggi rendahnya suku bunga kredit
tidak selalu berdampak pada naik turunnya permintaan kredit. Hal ini dikarenakan
suku bunga hanyalah merupakan salah satu variabel dari fungsi permintaan dan
penawaran kredit. Terdapat variabel variabel lain yang harus diperhitungkan. Pada
umumnya faktor kecepatan proses dan kemudahan prosedur justru menjadi
pertimbangan utama dalam permintaan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan kredit
konsumtif. Namun untuk permintaan kredit bagi usaha menengah dan korporasi,
maka suku bunga akan lebih sensitif sehingga tinggi rendahya tingkat suku bunga
akan mempengaruhi tinggi rendahnya permintaan akan kredit. Demikian
sebaliknya, kenaikan atau penurunan suku bunga tidak selalu berbanding lurus
dengan penawaran kredit. Dalam mekanisme pasar, tinggi rendahnya ekspansi
kredit sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kredit. Namun seringnya
naik turunnya suku bunga selalu hanya dilihat dari sisi permintaan kredit.
Berdasarkan gambar 2.1 di bawah, bunga pinjaman dapat menjadi lebih
rendah dengan cara menggeser kurva penawaran (supply) kredit yang lebih elastis
ke kanan yaitu dari S1 ke S2. Pergeseran kurva penawaran ini ke kanan dapat
11

ditempuh dengan cara; (1) Memperluas sumber sumber kredit di pedesaan.


Semakin banyak sumber kredit maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan,
yang berarti pada tingkat bunga pinjaman yang sama besar maka jumlah kredit
yang tersedia akan lebih besar; (2) Memperbanyak jenis jenis pelayanan yang
sudah ada. Semakin banyak jenis pelayanan yang dapat diberikan bank (tabungan,
deposito, kredit, pengiriman uang) maka semakin besar nasabah yang dapat
dilayani bank, yang berarti juga akan menggeser kurva penawaran bank ke kanan;
(3) Perubahan teknologi dari kelembagaan kredit. Perubahan tehnologi akan
membuat produktifitas masukan meningkat, sehingga biaya marginal semakin
rendah. Seiring dengan menurunnya biaya bunga dan meningkatnya penawaran
menjadi S2 dan harga atau bunga turun dari r1 ke r3. Perubahan tehnologi akan
membuat kurva penawaran bergeser ke kanan dan kurva ini mempunyai elastisitas
lebih besar dibandingkan dengan kurva penawaran semula. Sebaliknya penyaluran
atau penawaran kredit oleh perbankan bisa terjadi juga penurunan.

r
S
S1

r2
B
r C S2
r1 A
r3

D
D2

D1

Q1 Q2 Q3 Q Q

Gambar 2.1 Pengaruh elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran


terhadap suku bunga

Studi literature yang dilakukan oleh Agenor (2000) menyebutkan bahwa


sebab-sebab menurunnya penyaluran kredit perbankan kepada sektor swasta di
Asia setelah krisis tahun 1997 masih menimbulkan perdebatan. Beberapa ekonom
berpendapat bahwa credit crunch lah yang menimbulkan fenomena credit
rationing yaitu bank menolak dalam memberikan kredit terhadap nasabah tertentu
atau sebagian besar nasabah pada tingkat suku bunga berapapun. Credit crunch
didefinisikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit
perbankan secara tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam
menyalurkan kredit kepada dunia usaha tanpa diikuti kenaikan suku bunga
(Agung et al. 2001). Credit crunch bisa diartikan juga sebagai suatu kondisi
terjadinya keengganan pihak bank untuk menawarkan kreditnya. Dalam
12

praktiknya, bentuk keengganan tersebut terjadi melalui mekanisme credit


rationing, yaitu bank memperketat persyaratan-persyaratan kreditnya di luar
tingkat suku bunga. Pada saat terjadi krisis ekonomi, Perbankan enggan
menyalurkan dananya ke masyarakat. Mereka lebih menyukai menempatkan
dananya di Sertifikat Bank Indonesia. Dengan demikian fungsi intermediasi
perbankan antara sektor moneter dengan sektor riil menjadi tidak mampu untuk
menggerakkan perkembangan dunia usaha melalui kredit yang disalurkan.
Investasi dan aktifitas ekonomi lainnya akan mengalami stagnasi bahkan
kemumduran sehingga pendapatan nasional pada akhirnya akan mengalami
penurunan. Adapun penurunan kredit yang disalurkan perbankan tersebut bisa
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi demand maupun supply.
Selanjutnya Agung, et al (2001) menuliskan bahwa penurunan kredit dari sisi
permintaan karena menurunnya kualitas nasabah yaitu pada saat krisis ada
kecenderungan semakin meningkatnya leverage perusahaan-perusahaan yang
tercermin dari masih tingginya debt to equity ratio-nya.
Ketidakpastian yang tinggi pada saat krisis ekonomi mengakibatkan
pengusaha menunda ekspansi usaha sehingga permintaan terhadap dana juga
berkurang, sebagaimana diilustrasikan dalam gambar 2.2.

S0
Suku bunga
1
kredit
0
E0
r0 0
r1 E11
D0
1
D1

L1 L0 Kuantitas Kredit

Gambar 2.2 Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan


Sumber: Siregar (2009)

Penurunan kredit dari sisi penawaran bisa disebabkan karena faktor


internal maupun eksternal. Faktor internal perbankan seperti kecukupan modal,
memburuknya kualitas asset, dan ketersediaan loanble fund. Sedangkan faktor
eksternal yang menimbulkan keengganan bank untuk menyediakan pembiayaan
bagi dunia usaha karena menurunnya tingkat kelayakan kredit (creditworthiness)
dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan. Penurunan kredit
akibat menurunnya penawaran diilustrasikan dalam gambar 2.3.

0
13
S1 S0
Suku bunga
kredit
E
1 1

1r
1
0
r0 E0

L1 L0 Kuantitas Kredit

Gambar 2.3 Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran


Sumber: Siregar (2009)

2.2 Aspek Kelembagaan Program KUR

Dalam teori Neo-Keynes, campur tangan atau peran pemerintah dalam


keseimbangan pasar masih kurang. Namun seiring dengan berkembangnya teori
kelembagaan (institutional economics) yang berangkat dari teori biaya transaksi
(transactional cost), teori property right, public policy dan game theory.
Pada teori kelembagaan peran pemerintah sangat diperlukan untuk mencapai
masyarakat yang sejahtera. Terkait dengan keseimbangan pasar kredit, maka
ketika orang atau kelompok yang kurang mampu menghadapi kesulitan seperti
akses permodalan maka peran pemerintah dibutuhkan. Peran pemerintah yang
dimaksud misalnya memberikan kemudahan akses, bantuan subsidi dan
sebagainya. Peran pemerintah dalam KUR, misalnya memberikan subsidi bunga
dan premi asuransi. Tujuannya agar KUR terjangkau oleh masyarakat dan banyak
yang bisa menikmati.
Untuk meningkatkan tata kelola yang baik (good governance) pelaksanaan
Kredit Usaha Rakyat perlu diatur pedoman pelaksanaan KUR. Melalui peraturan
menteri koordinator bidang perekonomian sebagai ketua komite kebijakan
pembiayaan bagi usaha UMKM No. 4 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan
Kredit Usaha Rakyat. Dengan berlakunya peraturan ini maka keputusan deputi
bidang koordinasi ekonomi makro dan keuangan kementrian koordinator bidang
perekonomian selaku ketua tim pelaksana komite kebijakan penjaminan
kredit/pembiayaan kepada UMKM dan koperasi nomor: KEP-
14/D.I.M.EKON/02/2012 tentang standar operasional dan prosedur pelaksanaan
Kredit Usaha Rakyat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan peran UMKM dalam
perekonomian adalah dengan meningkatkan akses pembiayaan pada perbankan
dengan pola penjaminan yang dikenal dengan program Kredit Usaha Rakyat
(KUR) yang diluncurkan pada November 2007. Dalam perkembangannya, kinerja
penyaluran KUR sangat baik dalam memberikan pembiayaan kepada UMKM
sejak tahun 2007 sampai dengan Desember 2014 KUR yang telah disalurkan
mencapai sebesar Rp178,8 triliun dengan total debitur sebanyak 12,4 juta debitur.
Sedangkan pada tahun 2014, jumlah kredit yang dapat disalurkan adalah Rp 40,2
14

triliun kepada 2,4 juta debitur. Pencapaian ini telah melampaui target penyaluran
tahunan.
Perkembangan sektor jasa keuangan tahun 2014 memungkinkan pembiayaan
terhadap UMKM tidak hanya dapat dilakukan oleh perbankan namun juga oleh
Lembaga Jasa Keuangan Non Bank seperti Perusahaan Pembiayaan (multi finance),
Perusahaan Modal Ventura, dan juga Lembaga Keuangan Mikro yang lahir di
berbagai daerah.
Arah kebijakan di bidang UMKM dan koperasi dalam periode tahun 2015-
2019 adalah meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi sehingga mampu
tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar ("naik
kelas") dalam rangka mendukung kemandirian perekonomian nasional. Strategi
pembangunan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1) peningkatan
kualitas sumber daya manusia; 2) peningkatan akses pembiayaan dan perluasan
skema pembiayaan; 3) peningkatan nilai tambah produk dan jangkauan pemasaran;
4) penguatan kelembagaan usaha; 5) peningkatan kemudahan, kepastian dan
perlindungan usaha.
Plafon KUR Mikro yang baru adalah sampai dengan Rp 25 juta.
Penyaluran KUR bisa melalui Lembaga Linkage yaitu lembaga berbadan hukum
yang dapat menerus pinjamkan KUR dari Bank Pelaksana kepada Debitur, yaitu
Koperasi Sekunder, Koperasi Primer, Bank Perkreditan Rakyat/Syariah
(BPR/BPRS), perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, Lembaga
Keuangan Mikro pola konvensional atau syariah, LKBB lainnya, dan kelompok
usaha.
Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
Linkage pola executing adalah KUR Mikro yang diberikan oleh Bank
Pelaksana kepada lembaga linkage untuk diterus-pinjamkan kepada debitur (end
user). Kewajiban pengembalian KUR Mikro menjadi tanggung jawab dari lembaga
linkage selaku penerima KUR Mikro. Sedangkan linkage pola channeling adalah
KUR Mikro yang diberikan oleh Bank Pelaksana kepada Debitur melalui lembaga
linkage selaku agen. Kewajiban pengembalian KUR Mikro menjadi tanggung
jawab dari Debitur (end user)selaku penerima KUR Mikro.

2.3 Pengaruh Subsidi Premi Pada Keseimbangan Pasar KUR

Pada saat ini suku bunga kredit Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk skala
mikro sebesar 10-10,5 persen flat per tahun. Kredit Usaha Rakyat adalah kredit
program yang disalurkan menggunakan pola penjaminan. Kredit ini
diperuntukkan bagi pengusaha mikro yang tidak memiliki agunan tetapi memiliki
usaha yang layak dibiayai oleh bank. Pemerintah mensubsidi Kredit Usaha Rakyat
(KUR) dengan tujuan memberdayakan usaha mikro yang ada di Indonesia.
Subsidi yang diberikan pemerintah adalah premi asuransi. Dengan diasuransikan
kredit yang disalurkan, maka akan mengurangi kerugian apabila terjadi resiko
gagal bayar. Dengan diasuransikan kredit tersebut, maka penyaluran kredit mikro
15

diharapkan lebih banyak jangkauannya dengan tanpa jaminan sesuai dengan


tujuan pemerintah.
Subsidi merupakan pajak negatif, yaitu maksudnya berkebalikan dengan
pajak. Pajak merupakan penerimaan pemerintah, sedangkan subsidi merupakan
pengeluaran pemerintah yang diberikan atas produksi/penjualan barang/jasa yang
menyebabkan harga barang/jasa tersebut menjadi lebih rendah. Dengan demikian,
pengaruhnya subsidi terhadap keseimbangan pasar berkebalikan dengan pengaruh
pajak. Subsidi bisa bersifat spesifik dan dapat juga bersifat proporsional. Dalam
penelitian ini, hanya akan diuraikan subsidi yang bersifat spesifik yaitu subsidi
premi asuransi untuk program kredit usaha rakyat.
Dengan adanya subsidi pada program KUR di pasar kredit, bank-bank
merasa ongkos produksinya menjadi lebih kecil sehingga ia bersedia menjual pada
harga lebih murah. Harga yang dimaksud dalam pasar kredit adalah tingkat suku
bunga yang dikenakan bagi nasabah. Akibatnya harga keseimbangan yang tercipta
di pasar lebih rendah dari pada harga keseimbangan sebelum atau tanpa subsidi,
dan keseimbangannya jumlah KUR yang disalurkan menjadi lebih banyak.
Subsidi premi dan tingkat suku bunga yang telah ditentukan oleh bank
menghasilkan kurva penawaran yang bengkok (Kinked Supply Curve).

P=R Sm (tanpa subsidi)


1

Em Skur (tanpa subsidi)


Rm = 24%
Ekur+premi
10%+premi
a EKUR
Rkur = 10%
Kinked Supply Curve = SKUR (dengan subsidi)

D1
D0

Cm Ckur+premi Ckur C= KUR

Gambar 2.4 Pengaruh subsidi premi pada keseimbangan pasar KUR


Sumber: Siregar (2009), dimodifikasi

Keseimbangan awal terjadi di pasar kredit, sebagai contoh bunga kredit


komersial sebesar 24 persen, maka akan terjadi keseimbangan pasar pada Em
dimana banyaknya permintaan KUR sebanyak Cm. Pemerintah menetapkan
tingkat suku bunga kredit untuk KUR sebesar 10 persen per tahun flat. Jika
pemerintah tidak membayarkan subsidi premi sebesar a, maka keseimbangan
16

pasar akar terjadi di Ekur+premi. Kurva penawaran akan menjadi Skur tanpa subsidi.
Namun pemerintah membayarkan premi asuransi (merupakan bagian item cost
yang membentuk besarnya biaya bunga) yang nilainya sebesar a.
Adanya subsidi spesifik berupa premi asuransi maka biaya produksi bank
akan berkurang maka kurva penawaran S akan bergeser sejajar ke bawah, dengan
penggal yang lebih kecil (lebih rendah) pada sumbu harga. Jika sebelum subsidi
penawarannya sebesar Sm maka sesudah subsidi ia akan menjadi Skur sehingga
kurva membengkok. Dengan rendahnya suku bunga KUR (10 persen), maka
permintaan terhadap kredit naik sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke
D1 dan keseimbangan baru terjadi pada saat Ekur dan jumlah kredit yang diminta
akan naik menjadi Ckur.
Subsidi premi yang diberikan oleh pemerintah menyebabkan ongkos
produksi yang dikeluarkan oleh bank menjadi, lebih sedikit dari pada ongkos
sesungguhnya untuk menghasilkan biaya bunga tersebut. Perbedaan antara ongkos
produksi nyata dan ongkos produksi yang dikeluarkan merupakan bagian subsidi
yang.dinikmati oleh produsen. Karena ongkos produksi yang dikeluarkan oleh
bank lebih kecil, bank bersedia menawarkan harga atau bunga KUR yang lebih
rendah, sehingga sebagian dari subsidi yang diterima, secara tidak langsung
dinikmati juga oleh nasabah.

2.4 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan

Kondisi perekonomian suatu Negara ditentukan oleh variable-variabel


makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, yang kemudian dikaitkan dengan
faktor investasi dan tenaga kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi kedua
variabel tersebut. Akhir-akhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung
meningkat. Namun selama lima tahun terakhir, pengurangan laju kemiskinan dan
pengangguran semakin melambat. Siregar (2009) menuliskan bahwa diperlukan
perbaikan struktur perekonomian Indonesia agar pertumbuhan ekonomi menjadi
lebih sensitif terhadap pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan
ekonomi seyogyanya berasal dari sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga
kerja, sehingga pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pengurangan
pengangguran. Berdasarkan penelitian selama kurun waktu 2002 sampai 2005,
diketahui bahwa terjadi penurunan kontribusi sektor-sektor pertanian,
perdagangan dan industry, dimana sektor-sektor tersebut yang selama ini mampu
menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga penurunan kontribusi terhadap PDB
dapat berimplikasi pada ketidakmampuannya untuk menyerap tambahan angkatan
kerja baru sehingga secara keseluruhan pengangguran semakin bertambah. Hal ini
dapat dipandang sebagai salah satu jawaban terhadap paradoks pertumbuhan-
pengangguran di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah syarat keharusan (necessary
condition) bagi pengurangan laju pengangguran. Syarat kecukupannya (sufficient
condition) ialah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Peningkatan kualitas dimaksud antara lain ialah pertumbuhan ekonomi tersebut
dapat dinikmati secara relatif merata oleh segenap produsen, kebocoran
(leakages) yang menyertainya dapat terus diminimalkan, dan berkelanjutan
(sustainable). Laju pengangguran tersebut akan dapat diturunkan secara lebih
17

cepat apabila pertumbuhan ekonomi dipacu pada sektor-sektor padat karya.


Dengan kata lain, investasi riil perlu dilipatgandakan dan difokuskan kearah
sektor-sektor tersebut (Siregar 2009).
Upaya peningkatan kinerja ekonomi sangat ditentukan oleh keberhasilan
menjalankan transformasi struktural perkonomian (Cooper 2005). Transformasi
struktural baru dapat dikatakan berhasil apabila kenaikan peranan manufaktur
(dan kenaikan ekspor) disertai dengan berkurangnya tenagakerja di sektor
pertanian (karena secara signifikan diserap oleh sektor manufakturing). Negara
Negara yang saat ini kurang berkembang, menurut Cooper, disebabkan oleh
kegagalan mereka menjalankan transformasi tersebut. Kegagalan menciptakan
stabilitas sosial dan insentif yang tepat atas upaya upaya pengembangan kegiatan
penting yang beresiko, kekurangmampuan dalam memanfaatkan keterbukaan dan
integrasi perekonomian global merupakan penyebab kegagalan dalam kinerja
ekonomi.
Cheyne, OBrien dan Belgrave (1998) mengatakan bahwa kemiskinan
merupakan persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang
dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan
pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Ini berarti strategi
penanggulangan kemiskinan bersifat residual sementara, yang melibatkan
keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur
ketika lembaga-lembaga negara tidak lagi mampu menjalankan tugasnya.
Penerapan Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di Indonesia adalah contoh nyata
pengaruh teori ini.
Kategori lain tentang kemiskinan adalah kemiskinan struktural yaitu
disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses kelompok kepada sumber-sumber kemasyarakatan. Sehingga
perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sejalan dengan konsep kesejahteraan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat
Statistik (2000) menerangkan bahwa untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah
tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran, antara
lain adalah : 1) Tingkat pendapatan keluarga; 2) Komposisi pengeluaran rumah
tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan; 3)
Tingkat pendidikan keluarga; 4) Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5) Kondisi
perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
Bagaimana potret kemiskinan Indonesia, BPS memiliki indikator
kemiskinan untuk mengukurnya. Bank Dunia (2000) mengartikan bahwa
kemiskinan adalah kekurangan, yang sering diukur dengan tingkat kesejahteraan.
Dalam banyak kasus, kemiskinan telah diukur dengan terminologi kesejahteraan
ekonomi, seperti pendapatan dan konsumsi. Seseorang dikatakan miskin bila ia
berada di bawah tingkat kesejahteraan minimum tertentu yang telah disepakati.
Niemietz (2011) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk
membeli barang-barang kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, papan dan
obat-obatan. Sedangkan BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
per bulan di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan perhitungan Maret 2010,
18

standar kemiskinan adalah sebesar Rp 211.000 yang digunakan untuk pemenuhan


makanan sebesar Rp155.615/bulan dan non makanan Rp56.000/bulan. Bahan
pokok untuk kecukupan gizi sebanyak 2100 kalori per hari atau senilai Rp 5.000
per hari atau Rp155.615 per bulan. Kedua, kebutuhan non makanan seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi. Indikator tersebut, bukan hanya dilihat dari
pendapatan masyarakat, namun juga merupakan kombinasi dari bantuan pihak
lain termasuk bantuan Pemerintah. Besarnya kebutuhan sebagai indikator
kemiskinan tersebut berbeda beda antar daerah.
Seseorang dapat dikatakan miskin atau hidup dalam kemiskinan jika
pendapatan atau aksesnya terhadap barang dan jasa relatif rendah dibandingkan
dengan rata rata orang lain dalam perekonomian tersebut. Secara absolut,
seseorang yang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar
hidupnya secara absolut berada dibawah tingkat subsisten. Ukuran subsistensi
tersebut dapat diproksi dengan garis kemiskinan. Secara umum, kemiskinan
adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas
setiap aspek kehidupan (Siregar dkk, 2007). Variabel lain yang berkaitan dengan
kemiskinan adalah inflasi. Ketika suatu rumah tangga memiliki pendapatan sedikit
diatas garis kemiskinan, dan ketika pertumbuhan pendapatannya sangat lambat,
dan atau lebih rendah dari laju inflasi, maka barang dan jasa yang dapat dibelinya
menjadi lebih sedikit. Laju inflasi tersebut juga akan menggeser garis kemiskinan
ke atas. Kombinasi dari pertumbuhan pendapatan yang lambat dan laju inflasi
yang relatif tinggi akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah garis
kemiskinan. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya
variabel untuk mengurangi kemiskinan, variabel lain, seperti laju inflasi, juga
berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.
Menurut Nasution (2013) penyebab kemiskinan di Indonesia antara lain
adalah; 1) kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia. BPS
menyatakan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai
120,4 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,32 persen atau 7,61
juta orang. Pekerja pada jenjang pendidikan SD masih mendominasi yaitu sebesar
55,5 juta orang. 2) tidak meratanya pendapatan penduduk Indonesia. Rata-rata
pendapatan per kapita Indonesia tahun 2012 adalah $ 3.452 per orang per tahun.
3) Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. Angka rata rata lama sekolah di
Indonesia baru 7.95 tahun atau tidak lulus sekolah menengah pertama (SMP). 4)
Rendahnya derajat kesehatan. Rata-rata angkatan harapan hidup Indonesia sebesar
70,7 tahun. 5) Biaya kehidupan yang semakin tinggi. Angka inflasi yang tinggi
tidak berbanding lurus dengan pendapatan masyarakat. 6) kurangnya perhatian
dari pemerintah. Kementerian Pembangunan daerah Tertinggal (PDT)
menyatakan jumlah daerah tertinggal di Indonesia 183 kabupaten dari 33 provinsi
yang tersebar di Tanah air. Dari total daerah tertinggal tersebut, sekitar 70 persen
berada pada wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Kesejahteraan masyarakat menengah kebawah dapat direpresentasikan dari
tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup masyarakat ditandai dengan
terentaskannya dari kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan tingkat produktivitas masyarakat.
Dalam mengukur tingkat kemiskinan dan kesejahteraan, pada umumnya
para pakar ekonomika menggunakan pendapatan (income) per kapita (GDP per
kapita) sebagai indikator kemiskinan. GDP atau gross domestic product, yang
19

mencerminkan kemampuan penduduk dalam wilayah/Negara tertentu untuk


menghasilkan income. Semakin kecil GDP per kapita yang dihasilkan oleh suatu
masyarakat, maka semakin miskin masyarakat itu. Suman (2007) menuliskan
bahwa para kritikus berpendapat bahwa indikator ini hanya mencerminkan
kuantitas, dan tidak berbicara tentang kualitas hidup masyarakat. Dari sini
kemudian lahir indikator alternatif untuk mengukur kemiskinan, yaitu Physical
Quality of Life Index (PQLI) atau lebih dikenal sebagai basic need approach.
PQLI adalah sebuah indikator kesejahteraan yang mempertimbangkan kecukupan
sandang, pangan, dan kecukupan papan. Dengan begitu kita akan mengkaitkan
apa yang terlihat dengan anugerah-anugerah lainnya yang bersifat non-uang
(non ekonomi murni) dan non fisik seperti kesehatan dan pendidikan.
BPS pun mengenal apa yang disebut dengan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup diukur
dengan harapan hidup pada saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan
kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun keatas (dengan
bobot dua per tiga) dan rata rata lamanya sekolah (dengan bobot sepertiga), dan
tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah
disesuaikan purchasing power parity (PPP rupiah). Pembangunan manusia yang
berhasil akan membuat usia rata rata masyarakat meningkat; juga ditandai dengan
peningkatan pengetahuan yang bermuara pada peningkatan kualitas SDM.
Pencapaian dua hal ini selanjutnya akan meningkatkan mutu hidup dalam arti
layak.
Uraian diatas menegaskan bahwa pendapatan masyarakat atau GDP,
bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan bukan
lagi hanya menyangkut uang nominal yang diterima sebagai pendapatan (income).
Kemiskinan tidak juga hanya berbicara tentang ketersediaan sandang, pangan,
papan, tapi juga mempertimbangkan aspek pendidikan dan kesehatan.

2.5 Peranan Kredit dalam Pengembangan Usaha mikro

Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan Modal Kerja dan


atau Investasi kepada usaha mikro di bidang usaha yang produktif dan layak
namun belum bankable yang dijamin oleh Perusahaan Penjamin. KUR bukan
merupakan hibah Pemerintah kepada masyarakat. Sesuai dengan pengertian KUR
sebelumnya disebutkan bahwa KUR adalah Kredit/Pembiayaan kepada usaha
mikro, sehingga usaha mikro wajib mengembalikan dana pinjaman KUR tersebut
kepada Bank pemberi KUR. Pengertian usaha mikro menurut BPS (2000) adalah
suatu usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 5 orang diluar anggota
keluarga. Berdasarkan Bank Indonesia dalam UU no. 10 tahun 1999, usaha mikro
adalah semua usaha yang dijalankan oleh keluarga, local sumberdaya dan
teknologi sederhana, mudah memulai maupun menutupnya.
Manfaat KUR bagi usaha mikro adalah membantu pembiayaan yang
dibutuhkan dan untuk mengembangkan kegiatan usahanya. Sedangkan Manfaat
KUR bagi Pemerintah adalah tercapainya percepatan pengembangan sektor riil
dan pemberdayaan usaha mikro dalam rangka penanggulangan / pengentasan
kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja serta pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana diketahui bahwa masalah utama yang dihadapi usaha mikro saat ini
adalah kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan pemodalan.
20

Biasanya usaha mikro mengandalkan modal sendiri yang jumlahnya sangat


terbatas, dan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit
diperoleh karena persyaratan baik administrasi maupun teknis tidak bisa dipenuhi.
Kredit mikro didefinisikan sebagai program pemberian kredit berjumlah kecil
kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan
sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli
terhadap diri sendiri dan keluarganya (microcredit summit 1997). Sedangkan
Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada
para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai
hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta per tahun. Sementara oleh Bank Rakyat
Indonesia (BRI) kredit mikro didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp
50 juta.

2.6 Lembaga Keuangan Mikro

Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung, maksudnya usaha mikro dapat


langsung mengakses KUR di Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank
Pelaksana. Untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada usaha mikro, maka
penyaluran KUR Linkage dapat juga dilakukan secara tidak langsung, maksudnya
usaha mikro dapat mengakses KUR melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
dan KSP/USP Koperasi, atau melalui kegiatan linkage program lainnya yang
bekerjasama dengan Bank Pelaksana.
Lembaga Keuangan Mikro sangat berpotensi menggerakkan dan
memberdayakan ekonomi pedesaan. Untuk itu, lembaga pembiayaan usaha tani
dan usaha mikro kecil dalam perwujudannya ke depan harus mengoptimalkan
pengembangan LKM, misalnya dengan membantu LKM tersebut baik dari aspek
pembiayaan maupun manajemen kelembagaan (Siregar, 2009). Peranan tujuh
perbankan pelaksana dan bank bank daerah saat ini untuk menyalurkan KUR
menunjukkan peningkatan. Namun BRI lah yang masih terdepan dalam
pembiayaan mikronya karena memiliki BRI unit yang tersebar luas di Indonesia.
Peran bank-bank daerah hendaknya perlu ditingkatkan karena mereka memiliki
kedekatan dengan daerah dan masyarakat sekitarnya. Peranan bank bank dan
lembaga keuangan mikro ini bertujuan untuk menggerakkan kegiatan kegiatan
produktif. Berbeda dengan BUMN pegadaian yang lebih banyak melayani
nasabah untuk kegiatan kegiatan konsumtif.
LKM memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan berbagai jasa
keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro. LKM
memiliki bentuk dan ragam yang luas dalam bentuk kredit maupun pembiayaan
lainnya dan menggunakan prosedur dan mekanisme yang fleksibel. Banyaknya
ragam dan jenis LKM yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, membuat
Indonesia layak disebut sebagai laboratorium keuangan mikro di dunia (Ismawan
dan Budiantoro, 2005). Lembaga lembaga keuangan mikro di Indonesia seperti
diilustrasikan di gambar 2.5.
21

BPD

BANK
BRI Unit BPR-
BKD

BPR/BPR
SS
BPR-
LKM L Non
BKD

LDKP

Formal

Non Kosipa
Bank & USP

m KSM, LSM,
Non Formal
BMT,
Arisan, dll

Gambar 2.5 Lembaga keuangan mikro di Indonesia


Sumber: Siregar (2009), hal 407

Keterbatasan usaha mikro untuk mengakses lembaga perbankan formal


merupakan potensi pasar yang sangat besar yang bisa dikeloala oleh LKM. Dari
sisi prosedur dan administrasi peminjaman, LKM memiliki beberapa keunggulan,
meskipun secara umum biaya atas dana pinjaman lebih tinggi sedikit dibanding
dengan perbankan. Pemberian pinjaman atas dasar kepercayaan, karena tidak
adanya agunan dan angsuran bisa disesuaikan dengan kemampuan nasabah.
Adanya LKM ini diharapkan mampu menghilangkan peran rentenir. Meskipun
demikian, LKM juga menghadapi beberapa kendala seperti kemampuan untuk
menghimpun dana dari anggota maupun terbatasnya kemampuan pengelolaan
usaha LKM. Jumlah LKM yang beragam dengan sumber pembinaan yang berbeda
beda menyebabkan pengawasan yang sulit karena berbeda-beda ketentuan yang
ditetapkan.
Terdapat dua tipe lembaga kredit di pedesaan (Nuryartono 2005), yaitu
lembaga kredit formal dan kredit informal. Pasar kredit formal, merupakan
mediasi antara para depositor dengan para penyalur kredit dengan tingkat suku
bunga yang relatif rendah yang disubsidi oleh pemerintah. Untuk pasar kredit
informal, pinjaman bisa diperoleh dari individu, pedagang, tuan tanah, teman
maupun kerabat.
Karakteristik pasar kredit informal adalah; (1) pinjaman sering didasarkan
perjanjian tidak tertulis, karenanya biaya transaksi rendah. (2) pasar kredit
biasanya sangat tersegmentasi. (3) rata-rata tingkat suku bunga biasanya relatif
22

lebih tinggi dibandingkan dengan pasar kredit formal. (4) pasar kredit informal
terhubung dengan pihak lain seperti pemilik tanah, tenaga kerja ataupun pasar
hasil pertanian. (5) ada kecenderungan penyalur kredit bersifat monopoli (6) dan
ada credit rationing yang signifikan.
Pinjaman baik formal maupun informal merupakan imperfect substitutes.
Kapanpun tersedia kredit formal akan mengurangi tetapi tidak menghilangkan
pinjaman informal.

2.7 Kajian Faktor-Faktor yang Mendorong Pengajuan Kredit

Usaha mikro yang jumlahnya banyak dan tersebar luas di semua sektor
dan wilayah, tidak bisa dipungkirin menghadapi permasalahan utama yaitu
permodalan. Masalah permodalan umumnya disebabkan karena usaha mikro
merupakan usaha perorangan yang mengandalkan modal sendiri dengan jumlah
yang terbatas dan keterbatasan akses ke sumber sumber permodalan, terutama
akses ke lembaga keuangan formal seperti bank. Menurut Siregar (2009)
mengungkapkan bahwa ketersediaan dana melalui berbagai skim kredit masih
terbatas, prosedur perolehan yang masih rumit, dan persyaratan yang cukup berat
seperti persyaratan administrasi dan jaminan menjadi hambatan dalam mengakses
dana tersebut. Hal ini mengundang hadirnya rentenir yang memberikan pinjaman
dengan mudah dan dengan tingkat bunga yang besar. Dengan demikian
sebenarnya unit usaha mikro tidak begitu mempermasalahkan bunga yang tinggi
namun yang penting akses yang mudah. Sedangkan di pihak perbankan,
keengganan bank untuk menyalurkan kreditnya kepada usaha mikro karena
adanya anggapan bahwa usaha mikro tidak bankable, yaitu usaha mikro tersebut
belum dapat memenuhi persyaratan pembiayaan dari bank. Padahal sasaran KUR
termasuk usaha mikro yang produktif (usaha untuk menghasilkan barang dan jasa
untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi pelaku usaha)
dan usaha layak (usaha calon debitur yang menguntungkan/memberikan laba
sehingga mampu membayar bunga/marjin dan mengembalikan seluruh hutang dan
bunga dalam jangka waktu yang telah disepakati). Tentu saja usaha mikro tersebut
yang belum bankable.
Ada beberapa orang memang tidak mau mengajukan kredit karena tidak
membutuhkan kredit atau karena orang enggan terhadap resiko kredit (risk averse).
Pengetahuan karakter ini sangat penting bagi perbankan untuk membantu
menganalisis apakah kredit akan diberikan atau tidak. Namun penelitian yang
dilakukan oleh Dwiwati (2008) yang mengkaji tentang penyaluran kredit usaha
kecil (KUK) melalui program kredit kemitraan BUMN (KKB - PT. BNI)
menyatakan bahwa proses penyaluran kredit dan pengembalian kredit KKB
sebetulnya hanya dipengaruhi oleh character, capacity dan condition of economy
atau 3C karena umumnya usaha mikro kecil (UMK) tidak memiliki capital
maupun collateral. Analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis matrik
internal factor evaluation (IFE), External Factor Evaluation (EFE) dan matrik
Internal External (IE) serta analisis SWOT. Berdasarkan hasil kajiannya
menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi program KKB adalah
prosedur pengajuan yang tidak berbelit dan syarat pengajuan yang mudah. Hal ini
berarti bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi orang meminjam adalah
23

kemudahan dalam akses dengan adanya kemitraan dan membentuk kelompok oleh
para calon nasabah.
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa prosedur dan persyaratan
yang tidak berbelit, waktu untuk mendapatkan pinjaman hingga cair, dan biaya
untuk mendapatkan pinjaman menjadikan pertimbangan orang untuk bisa akses ke
sumber kredit atau pembiayaan. Aplikasi pinjaman seharusnya yang sederhana
dan tidak berbelit belit yang tidak merepotkan baik mengenai waktu dan biaya.
Masyarakat juga terkadang kurang bisa mengakses informasi tentang bagaimana
dan kredit apa yang ada yang bisa mereka gunakan. Ketika rumah tangga miskin
atau pun pelaku usaha mikro memiliki akses kredit, hasil penelitian dari nasabah
Grameen bank menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi
untuk menggunakan dana tersebut sehingga mampu memberikan dampak yang
nyata seperti peningkatan ekonomi yang signifikan. Dengan adanya peningkatan
ekonomi yang bisa dirasakan, maka tingkat pengembalian kredit juga akan lancar.
Dari penelitian nasabah grameen tersebut faktor perempuan sebagai pelaku yang
terlibat secara langsung juga menentukan tingkat pengembalian kredit.
Faktor-faktor yang mendorong dalam pengajuan kredit atau akses ke
lembaga keuangan formal bisa ditentukan oleh pihak rumah tangga ataupun dari
penyalur kreditnya. Kadang pengajuan kredit bisa ditolak oleh bank atau kredit
dibatasi (credit rationed) oleh pihak bank tapi bisa juga karena dari rumah tangga
usaha mikro sendiri yang tidak mengajukan kredit. Menurut Maldonado (2004),
diantara para rumah tangga yang mengajukan kredit, beberapa memperoleh
pinjaman dan lainnya tidak. Bagi yang ditolak berarti masuk sebagai pihak yang
dibatasi (credit rationed) meskipun tidak diberitahu alasannya. Begitu juga bagi
yang memperoleh kredit namun dibawah jumlah yang diajukan juga dianggap
sebagai credit rationed. Bagi rumah tangga yang mengajukan kredit, memperoleh
pinjaman sesuai yang diajukan dikategorikan sebagai pihak yang tidak dibatasi
kredit (non-credit rationed). Sebaliknya ada juga rumah tangga yang memang
tidak mengajukan pinjaman yang berarti tidak dibatasi (non rationed). Kelompok
ini dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu rumah tangga yang tidak memerlukan
pinjaman (no need) misalnya karena rendahnya kesempatan produktifitas. Kedua,
risk averse, yaitu rumah tangga yang takut atau enggan terhadap resiko kredit.
Ketiga, rumah tangga yang menganggap bahwa pinjaman yang tersedia mahal
atau high cost, seperti tingginya tingkat suku bunga, jangka waktu pembayaran
pendek maupun terlalu banyak persyaratan. Keempat, rumah tangga yang dibatasi
oleh dirinya sendiri karena apriori dulu dan menganggap dirinya tidak akan
mendapat pinjaman sekalipun mengajukan. Tiga kelompok terakhir tersebut
dikategorikan sebagai rumah tangga yang dibatasi kreditnya.
Helsen dan Chmelar (2014) mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan
mikro sadar akan kemampuan kapasitasnya untuk memperoleh pembiayaan, yang
akhirnya mereka banyak perusahaan-perusahaan mikro tidak mengajukan kredit.
Ada beberapa orang memang tidak mau mengajukan kredit karena tidak
membutuhkan kredit atau karena orang enggan terhadap resiko kredit (risk averse).
Penelitian yang dilakukan oleh Mel et al. (2011) menemukan bahwa kebanyakan
alasan utama orang tidak mengajukan kredit karena tidak memenuhi kriteria. 25
persen mengatakan tidak bisa memenuhi jaminan baik aset atau penjamin, 21
persen tidak mampu memenuhi kriteria lainnya. 21 persen mengatakan bunganya
24

terlalu tinggi, 19 persen tidak suka hutang dan 13 persen tidak membutuhkan
hutang. Hanya 1 persen yang mengatakan alasan lokasi bank yang jauh.
Klasifikasi pembatasan kredit (credit rationing) menurut Maldonado
adalah sebagai berikut;

Did Apply

Yes No

Obtained loan? Why

Yes No Did High cost: Fear of Subjective


not -Interest rate losing self-
need -Collateral collateral selected
-Transaction out
cost
Full amount

Yes No Non- Cost Risk Self


quantity rationed rationed rationed
rationed

Non- quantity Partially Fully quantity Non- quantity Fully quantity


rationed quantity rationed rationed rationed
rationed

Gambar 2.6 Klasifikasi pembatasan kredit rumah tangga oleh Maldonado (2005)

Dalam penelitian KUR ini, aksesibilitas usaha mikro pada kredit mikro,
didefinisikan sebagai kemampuan usaha mikro untuk mendapatkan pinjaman dari
bank (Li et al. 2011). Penelitian mengenai akses kredit dan determinannya oleh
rumah tangga telah banyak dilakukan (Mohamed et al. 2009; Li et al. 2011; Quoc
2012). Faktor-faktor yang menentukan yang diulas biasanya faktor sosial ekonomi
yang mempengaruhi rumah tangga untuk akses kredit. Li memasukkan faktor
demografi (usia, gender, pendidikan, ukuran keluarga), faktor sosial-ekonomi
(aset, pendapatan, luas tanah pertanian (farmland size), rasio ketergantungan
anggota keluarga (family dependent ratio), kepala rumah tangga merangkap
sebagai tenaga kerja (self-employment), anggota keluarga bekerja kantoran
(official worker), pemilikan saham di bank (bank share holder), pemilikan
tabungan) dan faktor lainnya seperti lokasi, jarak, sikap kepala rumah tangga
terhadap hutang (attitude toward debt), dan akses ke jenis kredit lain (credit
alternative). Faktor usia, jenis kelamin, pendidikan dan ukuran keluarga juga
25

digunakan Mohamed (2009) untuk faktor demografinya. Faktor-faktor lain yang


digunakan adalah aktifitas utama dalam pertanian, laporan keuangan, luas lahan,
tingkat integritas pasar, nilai aset produktif, income dan peran kepemimpinan.
Kausar (2013) dalam penelitiannya menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan kredit mikro di Pakistan, pertama adalah variabel
tingkat bunga, kedua keterbatasan akses dan tidak adanya informasi yang tersedia,
ketiga variabel biaya transaksi kemudian kondisi ekonomi, perbedaan gender dan
kredibilitas penyedia kredit begitu juga faktor pemerintah. Faktor yang
menentukan permintaan kredit juga ditentukan oleh lokasi atau jarak rumah ke
bank, yang biasanya untuk daerah yang terpencil (Bakhshoodeh & Karami 2008).

2.8 Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembalian KUR

Penelitian mengenai perilaku rumah tangga usaha mikro sudah dilakukan


oleh beberapa peneliti. Dengan menggunakan model ekonomi rumah tangga
dengan menekankan pada perilaku peserta kerdit usaha mandiri, Syukur (2002)
melakukan analisis tentang keberlanjutan dan perilaku ekonomi peserta karya
usaha mandiri (KUM). Analisis ekonomi rumah tangga menunjukkan bahwa
modal dan curahan waktu kerja berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga.
Sedangkan faktor-faktor yang menjamin pengembalian kredit sangat dipengaruhi
oleh jumlah kredit yang disalurkan, jumlah anggota dalam rembug pusat,
prosentase anggota aktif dalam rembug pusat, usia rembug pusat dan intensitas
pembinaan. Dapat disimpulkan bahwa pengembalian kredit dalam penelitian
tersebut sangat dipengaruhi oleh kelembagaan dimana peserta KUM terlibat.
Penelitian tentang KUM oleh Syukur ini pesertanya adalah perempuan dari rumah
tangga miskin dan mendapatkan dampak dalam meningkatkan ekonomi dan
kualitas rumah tangga atas kredit yang disalurkan kepada mereka. Kualitas yang
dimaksud disini adanya peningkatan pendapatan, simpanan, modal dan
pengeluaran untuk pendidikan peserta skim kredit. Dengan adanya akumulasi
modal dan tabungan peserta skim kredit memungkinkan keberlanjutan program
tersebut.
Lukman dkk (2008) dalam kajian upaya penguatan peran microbanking
melalui group approach di Sumatra Barat menyimpulkan bahwa keberhasilan
pendekatan pembiayaan berkelompok ini sangat ditentukan oleh karakteristik
sosial budaya masyarakat dimana lembaga pembiayaan mikro berada, sehingga
tingkat kesuksesan juga beragam yang berdampak terhadap sikap dan perilaku
dalam mengelola kredit. Adanya komitmen kelompok yang tinggi yang berasal
dari suatu etnis tertentu, menyebabkan tingkat kepatuhan anggota yang cukup
tinggi terhadap ketua kelompok selaku pemberi rekomendasi. Tanggung jawab
yang dipikul oleh nasabah kelompok ini bersifat tanggung renteng, sehingga
fungsi kontrol sosial sangat menentukan motivasi dan komitmen anggota dalam
pelunasan kredit. Biasanya jaminan terhadap kesuksesan pelunasan kredit diatur
oleh ketua dalam bentuk joint liability atau social collateral.
Penelitian tentang kelembagaan juga dilakukan oleh Hartono (2013) yang
menyatakan bahwa perlunya pendampingan lembaga penyuluh untuk membantu.
Pendampingan juga menyusun rencana peminjaman harus dilakukan oleh lembaga
pembiayaan untuk mengontrol dalam pelunasan angsuran. Dalam hal ini agunan
26

diganti dengan suatu rekomendasi dan adanya sangsi sosial bagi peminjam yang
tidak mengembalikan pinjamannya.
Faktor-faktor lain dalam pengembalian kredit adalah berfungsinya
kelembagaan keuangan mikro sebagai mediasi dan pembinaan usaha mikro kecil.
Hasil penelitian Syukur (2008) menunjukkan bahwa keterlibatan aktif rembug
pusat dengan anggota meningkatkan pengembalian kredit. Trust building atau
personal contact yang dibangun oleh lembaga kredit non formal memiliki andil
yang besar dalam pengembalian kredit.
Jaringan komunikasi yang berkembang saat ini tampaknya bisa mengurangi
hambatan dari sisi biaya transaksi yang tinggi dari bank bank formal untuk
melakukan penagihan. Biaya komunikasi yang murah dirasa lebih efektif daripada
petugas datang langsung ke nasabah. Faktor-faktor lain lain yang mempegaruhi
keberhasilan pengembalian kredit adalah perilaku pelaku usaha rumah tangga itu
sendiri seperti pendidikan, persepsi tentang KUR, penyalahgunaan fungsi kredit,
pengalaman dalam menggunakan kredit, kebiasaan menabung maupun konsumsi
rumah tangga dsb. Karakteristik perilaku tersebut bisa dimasukkan sebagai faktor
internal dari pelaku usaha mikro. Sebaliknya ada juga faktor eksternal dimana
mereka tidak bisa mengontrolnya seperti adanya bencana alam, kecelakaan dan
sebagainya.
Jalaludin (2002) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
kelancaran pengembalian kredit pengusaha kecil adalah faktor ekonomi dan faktor
non ekonomi. Adapun faktor ekonomi meliputi; 1) penghasilan bersih yang
diterima oleh pengusaha kecil baik dari usaha taninya maupun dari kegiatan di
luar pertanian. 2) jumlah tanggungan keluarga. Semakin besar jumlah anggota
keluarga berarti semakin besar tanggung jawab rumah tangga dan semakin
mengurangi kemampuan untuk membayar kembali pinjaman. 3) Skala usaha,
yaitu diukur berdasarkan besarnya modal yang diperlukan untuk menjalankan
usaha. 4) frekwensi dan besarnya angsuran. Sedangkan faktor-faktor non ekonomi
adalah tingkat pendidikan, frekwensi pembinaan, dan bidang usaha.
Masalah utama skim kredit di Indonesia selama ini adalah kredit macet.
Program Bimbingan masal (Bimas), Intensifikasi masal (Inmas), Intensifikasi
khusus (Insus), dan Kredit Usaha Tani (KUT) mengalami tunggakan sehingga
konsekuensinya program tidak berlanjut. Skim selanjutnya adalah kredit
ketahanan pangan (KKP), namun penyalurannya pun belum optimal. Perbedaan
KUT dan KKP adalah sumber pendanaan dan tanggung jawab resikonya (Supadi
dan Sumedi 2004). Sumber pendanaan KUT dari kredit likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) dan resiko ditanggung pemerintah. Pendanaan KKP oleh bank pelaksana
dan resiko ditanggung 50 persen oleh bank pelaksana. Total jumlah tunggakan
KUT mencapai Rp 5,7 trilyun atau 81,4 persen (voice of Indonesia 2012).
Kegagalan KUT ini karena 1) penyalurannya salah sasaran, 2) lembaga-lembaga
penyalur fungsinya hanya sebatas penyaluran dana, setelah menyalurkan lembaga
tersebut sulit untuk dilacak. Kegagalan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana
proses screening awal dalam penyaluran kredit. Peer-screening yang ketat
memiliki dampak untuk mengurangi resiko gagal bayar. Namun tidak dipungkiri
bahwa screening awal terkendala oleh asimetic informasi yang berarti tidak semua
informasi peminjam teramati (Ofonyelu et al. 2013).
Kredit formal lebih terorganisir dengan staf yang kualitas dan motivasi yang
tinggi dibandingkan dengan yang informal (Onyeagocha 2012). Meskipun tingkat
27

NPL rendah, namun pasar kredit tetap memiliki resiko yang melekat seperti
pembayaran yang tidak lancar atau mengalami keterlambatan. Sehingga aspek
manajemen risiko pembiayaan mikro tidak boleh diabaikan (Setargie 2013).
KUR disalurkan untuk tujuan pengurangan kemiskinan, termasuk
pemberdayaan perempuan. Namun, tampaknya total jumlah wanita yang memiliki
akses KUR dalam penelitian ini hanya sekitar 21,93 persen. Padahal resiko moral
hazard wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria (Despallier et al. 2011)
harusnya wanita mendapat prioritas untuk mendapatkan kredit. Penelitian
(Armendariz dan Morduch 2005; Chakravarty et al. 2013) menemukan bahwa
peminjam wanita menunjukkan pembayaran kembali yang lebih bagus baik di dua
komunitas yaitu masyarakat patriliniel maupun matriliniel. Namun studi empiris
ini biasanya untuk pinjaman informal, dimana wanita sebagai nasabah dominan.
Menurut (the microcredit summit campaign) lebih dari 70 persen nasabah
keuangan informal adalah wanita. Menurut Okojie et al. (2010) memperkirakan
bahwa 84.2 persen nasabah termiskin keuangan mikro adalah wanita.
Kenyataannya banyak pinjaman informal dengan pelanggan wanita yang
mengalami gagal bayar juga. Penelitian Godquin (2004) tidak membuktikan
bahwa peminjam wanita memiliki pembayaran kembali yang lebih baik. Koefisien
hasilnya positif namun tidak signifikan. Kredit usaha rakyat mikro ditujukan
kepada usaha mikro dari berbagai sektor, namun data di gambar 1.1 menunjukkan
yang terbanyak adalah usaha dagang atau ritel. Sektor pertanian tampaknya masih
kurang mendapatkan perhatian dilihat dari jatah kredit pertanian yang kecil.
Pertanian dianggap sektor yang memiliki tingkat default risk yang tinggi. Dalam
penelitian Gebeyehu (2013), para petani mengalami gagal bayar karena alasan
faktor-faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan.
KUR disalurkan untuk membiayai modal kerja usaha dan atau investasi,
sehingga diharapkan usaha mikro mampu berkembang. Namun , bank-bank belum
mampu mengontrol sejauh mana pinjaman itu digunakan untuk kepentingan
produktif. Apakah untuk modal usaha atau keperluan lain, seperti konsumsi,
biaya keluarga sakit atau biaya anak sekolah. Ketika pengalihan kredit dilakukan
maka usaha mikro akan mengalami kesulitan dalam pembayaran. Pengalihan
kredit termasuk moral hazard yang dilakukan nasabah dari keperluan yang
produktif ke kepentingan yang tidak produktif.

2.9 Kajian Dampak Kredit Usaha Rakyat

Di Vietnam, kredit rumah tangga memiliki dampak positif dan signifikan


terhadap kesejahteraan ekonomi rumah tangga yaitu meningkatnya tingkat
konsumsi per kapita baik makanan maupun non makanan (Quach, Mullineux and
Murinde 2005). Alasan orang meminjam dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
usia kepala rumah tangga, ukuran rumah tangga, pemilikan tanah pertanian, nilai
tabungan baik keuangan maupun non keuangan, tersedianya dana baik formal
maupun informal di tingkat desa. Semakin besar pemilikan tanah pertanian suatu
keluarga mempengaruhi peminjaman yang semakin banyak. Ini menunjukkan
jaminan sangat penting bagi pihak pemberi pinjaman. Penelitian ini juga
mengungkapkan pentingnya adanya jaringan bank sampai ke pedesaan.
28

Dengan adanya akses kredit untuk meningkatkan modal baik untuk


investasi ataupun modal kerja akan meningkatkan penghasilan pelaku usaha.
Dengan meningkatnya penghasilan maka akan meningkatkan pula kemampuan
untuk meningkatkan kebutuhan lainnya seperti pangan, papan, sandang,
pendidikan, kesehatan dan lainnya. Hal ini yang menjadi alasan utama pemikiran
perlunya adanya kredit usaha dan mengkaji skim kredit usaha yang mampu
menjangkau ke semua lapisan. Studi empiris yang dilakukan oleh Hussain (2003)
membuktikan bahwa pembiayaan mikro telah memberikan dampak positif pada
kesejahteraan keluarga di Pakistan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara
partisipan dan non partisipan dalam program pembiayaan mikro dalam hal
pendapatan yang dibelanjakan dalam sebulan, kondisi hidupnya, tingkat melek
huruf dan yang terpenting meningkatnya pendapatan partisipan. Montgomery
(2005) menyatakan bahwa program kredit mikro memberikan dampak positif baik
pada indikator ekonomi dan sosial begitu juga dalam peningkatan pendapatan,
khususnya untuk partisipan yang sangat miskin.
Pembiayaan mikro telah mengembangkan beberapa strategi manajemen
dan bisnis yang inovatif, namun dampaknya terhadap pengurangan kemiskinan
masih diragukan (Chowdhury 2009). Sedangkan Banerjee (2009) menemukan
bahwa dampak pembiayaaan mikro heterogen. Namun, pembiayaan mikro tidak
memberikan dampak untuk kesehatan, pendidikan dan wanita sebagai pengambil
keputusan. Di Indonesia, sebelumnya masih banyak kredit usaha yang disalurkan
sekedar berdasarkan pendekatan proyek saja dengan pendekatan top down.
Pendekatan ini belum mendasarkan pada aspirasi dari bawah sehingga belum
banyak menyentuh kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat. Sehingga skim
kredit selama ini tidak mampu berlanjut karena mengalami kegagalan baik
mengenai dampaknya apalagi dalam pengembalian kredit. Kredit seperti ini
biasanya masih bersifat sektoral saja. Dengan demikian keberlanjutan atau
sustainability tidak terjadi karena biasanya skim kredit yang berdasarkan proyek
dan pendekatan top down ini banyak rekayasa dan tidak alami. Berbicara
mengenai skim kredit dengan pendekatan proyek atau program berarti terdapat
juga skim kredit yang tidak berdasarkan pendekatan proyek atau program. Skim
kredit tersebut adalah kredit non program. Hal ini berarti kredit tersebut
mengenakan persyaratan umum yang perbankan lakukan seperti tingkat suku
bunga yang dikenakan adalah tingkat bunga komersial.
Kebanyakan evaluasi awal dampak pembiayaan mikro dinyatakan positif
(Goldberg 2005), tetapi tidak memiliki bukti yang kuat terhadap dampak pada
kemiskinan dan pendapatan (Bateman 2011). Besarnya realisasi penyaluran KUR
merupakan faktor yang potensial untuk meningkatkan produktifitas dan aktifitas
ekonomi sehingga diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan mengurangi
tingkat kemiskinan. Klaim bahwa KUR memberikan dampak positif terhadap
usaha mikro seiring dengan semakin meningkatnya penyaluran KUR setiap tahun.
Penelitian dampak pembiayaan mikro pada pendapatan rumah tangga usaha
mikro ini mengandalkan data pada tingkat mikro yaitu data rumah tangga, seperti
dilakukan oleh (Imai, Arun dan Annim 2010; Khandker 2005).
Banyak penelitian mengenai dampak kredit mikro yang telah dilakukan.
Misalnya, Wadud (2013) melihat dampak kredit mikro terhadap kinerja pertanian
(agricultural farm) di Bangladesh. Pendapatan petani yg mendapat kredit mikro
menunjukkan dampak positif. Rata-rata pendapatan pertanian yg menerima mikro
29

kredit 9,46 persen lebih tinggi dari yg tidak medapat kredit mikro. Di Pakistan,
Noreen et al. (2011) menguji dampak pembiayaan mikro untuk mengurangi
kemiskinan dengan mengukur tingkat pendidikan anak, perumahan, ketahanan
makanan, pengeluaran rumah tangga dan aset rumah tangga. Pembiayaan mikro
juga memberikan dampak positif dan meningkatkan pendapatan dan pengeluaran
rumah tangga peminjam dilakukan oleh (Akram&Hussain 2011) di Pakistan dan
(Hossain 2012) di Bangladesh. Masih di Pakistan, Shirazi dan Khan (2009)
meneliti dampak positif mikro kredit telah mengurang kemiskinan sebesar 3.05
persen selama periode penelitiannya dan peminjam cenderung berpindah ke
kelompok yang berpenghasilan lebih tinggi. Kredit rumah tangga memiliki
dampak positif dan signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi rumah tangga di
Vietnam yaitu meningkat nya tingkat konsumsi per kapita baik makanan maupun
non makanan (Quarch et al 2005). Duong & Thanh (2015) meneliti dampak kredit
mikro terhadap kesejahteraan rumah tangga di pedesaan di Vietnam. Hasil
menunjukkan bahwa kredit mikro meningkatkan standar hidup dilihat dari sisi
pendapatan dan konsumsi. Namun untuk masyarakat miskin ternyata tidak ada
bukti yang menunjukkan adanya dampak pada pendapatan, hanya pada konsumsi
saja.
Wanita sering diabaikan dalam pembiayaan mikro sehingga sering dibatasi.
Vitor (2012) meneliti bahwa wanita yang menggunakan mikro kredit memiliki
pendapatan usaha lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan kredit mikro
dalam usahanya. Pembiayaan mikro memberikan dampak positif pada
pengurangan kemiskinan diantara usaha wanita di Nigeria Selatan (Ifelunini dan
Wosowei 2012).
Thoha (2000) meneliti tentang keefektivitas kukesra dalam pengentasan
kemiskinan dengan menyoroti beberapa aspek seperti umur, tingkat pendidikan,
jumlah anak, kondisi rumah, jenis pekerjaan, penghasilan, jumlah ternak dan jenis
peralatan rumah tangga yang dimiliki. Kredit tidak diberikan kepada nasabah yang
relatif tua (diatas 50 tahun) karena lebih beresiko, sehingga kemungkinan
terjadinya misalokasi kredit lebih besar. Semakin tinggi pendidikan seseorang,
maka semakin besar pula kemampuan dalam mengaktualisasi potensi dirinya
untuk mengelola usaha. Kondisi rumah merupakan salah satu indikator tingkat
kesejahteraan masyarakat. Ada 6 (enam) unsur pokok yang disoroti berkaitan
dengan kondisi tempat tinggal usaha mikro yaitu luas bangunan, luas tanah,
kondisi lantai, kondisi dinding, kondisi rumah (permanen dan tidak) dan status
pemilikan rumah. Indikator lainnya yang digunakan untuk mengetahu kondisi
sosial ekonomi adalah peralatan rumah tangga yang dimiliki karena merupakan
aset rumah tangga. Semakin banyak jumlahnya maka semakin baik kondisi sosial
ekonomi rumah tangga tersebut. Variabel ini digunakan skala likert dengan
memberikan bobot yang sama yaitu 1 pada setiap jenis peralatan tersebut dengan
demikian berdasarkan jumlah peralatan yang dimiliki. Thoha (2000) mengukur
perbedaan variabel variabel diatas sebelum dan setelah mendapat kredit.

2.10 Kajian Keberlangsungan Penyalur Kredit Usaha Rakyat

Sebelum KUR ini diluncurkan masih banyak kredit usaha yang disalurkan
masih sekedar berdasarkan pendekatan proyek saja dan pendekatan top down.
Pendekatan ini belum mendasarkan pada aspirasi dari bawah sehingga belum
30

banyak menyentuh kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat. Sehingga skim


kredit selama ini tidak mampu berlanjut karena mengalami kegagalan baik
mengenai dampaknya apalagi dalam pengembalian kredit. Kredit seperti ini
biasanya masih bersifat sektoral saja. Dengan demikian keberlanjutan atau
sustainability tidak terjadi karena biasanya skim kredit yang berdasarkan proyek
dan pendekatan top down ini banyak rekayasa dan tidak alami. Berbicara
mengenai skim kredit dengan pendekatan proyek atau program berarti terdapat
juga skim kredit yang tidak berdasarkan pendekatan proyek atau program. skim
kredit tersebut adalah kredit non program. Hal ini berarti kredit tersebut
mengenakan persyaratan umum yang perbankan lakukan seperti tingkat suku
bunga yang dikenakan merupakan tingkat bunga komersial. Skim KUR sekarang
ini menggunakan tingkat bunga komersial. Selain itu bedanya dengan skim kredit
kredit sebelumnya yang menggunakan pendekatan proyek adalah penyaluran
KUR dilindungi oleh lembaga penjaminan PT Jamkrindo dan PT Askrindo,
sehingga bank penyalur akan mendapatkan jaminan atas dana yang sudah
disalurkan. Banyak skim kredit dengan tingkat bunga rendah atau kadang sama
sekali tidak mengenakan bunga bahkan tanpa kewajiban pengembalian kredit
justru malah tidak mengentaskan kemiskinan, karena bisa jadi pemberian cuma
cuma tidak menciptakan kreativitas dan menyebabkan ketergantungan saja.
Berkelanjutan berarti penerima kredit memiliki kemampuan untuk
membayar kembali hutang pokok beserta bunganya. Biaya biaya yang dikeluarkan
termasuk biaya untuk memperoleh kredit tersebut terbayarkan oleh pendapatan
yang diterima karena meningkatnya produksi setelah diterimanya kredit. Tingkat
kelancaran pembayaran juga biasanya menunjukkan nasabah viable untuk
mendapatkan kredit lagi. Dari sisi penyalur kredit, berkelanjutan berarti
pendapatan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk
menyalurkan kredit tersebut. Dengan kata lain bank penyalur KUR mencapai
viabilitas finansial. Berkelanjutan juga berarti bank akan menyalurkan kembali
kredit kepada unit usaha yang semakin luas atau meminjamkan kembali kepada
pihak unit usaha yang telah selesai membayar semua kewajibannya. Banyak
pendekatan analisis yang dapat digunakan untuk mengkaji tentang keberlanjutan
suatu skim kredit. Namun pendekatan yang komprehensif dengan memperhatikan
dua sisi (lembaga dan nasabah) sekaligus masih terbatas. Sebuah pendekatan
analisis yang cukup komprehensif yang pernah dilakukan dan dapat
menggambarkan secara utuh tentang keberlanjutan sebuah skim dengan
memperhatikan sisi nasabah dan lembaga adalah pendekatan yang dilakukan oleh
Syukur (2002). Menurut Syukur keberlanjutan (sustainable) suatu skim kredit
berkaitan dengan masalah: (1) viabilitas finansial, (2) viabilitas kelembagaan
(manajerial), dan (3) viabilitas peserta program (peminjam). Keberlanjutan
menunjuk pada suatu kondisi dimana suatu skim dapat bertahan hidup untuk
waktu yang lama.
Viabilitas finansial berarti bahwa skim kredit dapat menutupi seluruh
ongkos operasi dari pendapatan yang diperoleh (bunga) dari peminjam pada suatu
periode waktu tertentu. Viabilitas kelembagaan berkaitan dengan sejauhmana
kelembagaan (delivery system) kredit yang dibangun dapat memberikan pelayanan
dengan landasan yang kuat dan dapat dijamin keberlanjutannya. Sedangkan
viabilitas peminjam adalah suatu kondisi dimana keuntungan dari usaha oleh
peminjam yang berasal dari pinjaman tersebut dapat menutupi semua biaya
31

pinjaman dan pokok pinjaman. Selain itu peminjam masih memperoleh


keuntungan untuk pengembangan usahanya dan dapt meningkatkan
pendapatannya. Tingkat pengembalian pinjaman yang tinggi dan adanya
kemampuan untuk pemupukan modal melalui akumulasi modal dalam bentuk
tabungan adalah syarat keharusan (necessary condition) bagi keberlanjutan suatu
skim kredit, begitu juga viabilitas finansial. Sedangkan viabilitas kelembagaan
adalah suatu syarat kecukupan (sufficient condition) yang harus dipenuhi agar
skim tersebut memiliki kemampuan replicability dan acceptable oleh masyarakat
sasaran.
Syukur menemukan bahwa selama penelitiannya antara tahun 1993 sampai
1999 untuk kredit karya usaha mandiri, hanya pada tahun 1993 dan 1994 terjadi
viabilitas finansial, dan tahun 1995 sampai tahun 1999 tidak terjadi viabilitas
karena pendapatan bunga tidak bisa menutupi biaya operasional KUM tersebut.
Kredit mikro dianggap tidak menguntungkan bagi perbankan, karena biaya
yang dikeluarkan untuk pembiayaan masyarakat miskin dianggap mahal dan
banyak hambatan (Demirguc-Kunt and Klapper 2012). Banyak penelitian, kredit
mikro bermanfaat bagi masyarakat, namun sebaliknya perusahaan pembiayaan
mikronya tidak berlanjut. Banyak pembiayaan mikro memiliki marjin yang tipis
karena tidak efisien. Oleh karena itu, produktifitas dalam dunia perbankan sangat
penting dianalisis. Menurut Parasuraman (2010) bank harus berusaha untuk
meningkatkan kemampuannya untuk mengubah input termasuk deposito dan
tabungan untuk disalurkan dalam bentuk pinjaman sebagai output. Terkadang
biaya untuk menyalurkan kredit lebih besar dibandingkan dengan pendapatannya.
KUR disalurkan melalui beberapa bank yang ditunjuk oleh pemerintah,
namun kenyataannya tidak semua bank melayani segmen rumah tangga mikro.
Kenyataannya, masih banyak bank yang memilih melayani nasabah besar, baik
karena alasan lebih efisien ataupun kredit mikro dianggap lebih beresiko.
Penyaluran KUR mikro ini lebih dari 90 persen dikuasai oleh sebuah bank
nasional yang memiliki jaringan terluas di Indonesia. Dengan demikian, perlu
kiranya studi ini bertujuan untuk menganalisis seberapa jauh bank-bank unit dari
bank terbesar penyalur KUR tersebut bisa efisien dan produktif. Karena syarat
program berlangsung adalah dari sisi supply maupun demand harus sama-sama
menguntungkan. Suatu sistem perbankan yang efisien akan menghasilkan
keberlangsungan dan menguntungkan konsumer. Dari sudut pandang ekonomi,
hanya yang memiliki produktifitas yang tinggi akan mampu bertahan dalam
kondisi persaingan karena marjin akan semakin menurun dan yang tidak efisien
akan tersingkir (Burger and Moormann 2008). Beberapa bank yang ditunjuk
untuk menyalurkan KUR mikro tidak sanggup mencapai lapisan rumah tangga
yang berpendapatan rendah, karena pinjaman mikro biasanya berbiaya mahal.
Akibatnya bunga yang dikenakan harus tinggi akhirnya tidak mampu efisien dan
bertahan. Oleh karena itu, sering ada tradeoff antara menjangkau (outreach)
masyarakat miskin atau keberlangsungan dan efisien. Dari data nasional mengenai
KUR mikro, jangkauan kredit dilihat dari rata-rata besarnya pinjaman adalah Rp
8,3 juta per nasabah. Tingkat NPL nya untuk mikro hanya sekiatar 2 persen lebih
rendah dibanding dengan kredit bukan mikro.
Efisiensi dan efektifitas merupakan alat management yang saling terkait.
Efektifitas berkaitan dengan hasil yang bisa dimaksimalkan dan efisiensi berkaitan
dengan minimalisasi biaya. Dengan kata lain Falkena et al. (2004) membedakan
32

efisiensi perbankan antara efisiensi alokatif dan teknis. Efisiensi alokatif adalah
sejauh mana sumber daya yang ada dialokasikan untuk penggunaan dengan nilai
yang diharapkan tertinggi. Sebuah perusahaan secara teknis efisien jika
menghasilkan serangkaian output menggunakan sejumlah terkecil yang mungkin
dari input.

2.11 Kebaruan Penelitian

Penelitian ini mencoba mengkaji dan menyajikan informasi sosial, ekonomi


rumah tangga pelaku usaha mikro dan efisiensi lembaga keuangan mikro formal
dalam menyalurkan KUR secara terintegrasi dan komprehensif hingga analisis
keterkaitan KUR dengan perwilayahan.
Penelitian ini mampu menganalisis keberlanjutan program KUR baik dari
sisi supply maupun demand dengan pendekatan propensity score matching.
Pendekatan ini digunakan untuk mengurangi selection bias yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik modeling pada analisis multivariate yang
konvensional. Sejauh penulis tahu, pendekatan ini belum digunakan dan relatif
baru di Indonesia, khususnya untuk penelitian observasi evaluasi dampak suatu
kebijakan terutama perkreditan..
Penelitian ini mampu membuktikan bahwa kesediaan seseorang untuk
membayar hutang tidak hanya tergantung pada moral hazard. Dengan demikian
adanya jaminan akan mendorong seseorang untuk membayar kreditnya.
Penelitian mengenai dampak kredit mikro di berbagai negara termasuk
Indonesia masih menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian ini mampu
membuktikan bahwa program KUR diimplementasikan sesuai dengan misi awal
program ini, yaitu mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga usaha mikro
dan mengurangi kemiskinan melalui penyerapan tenaga kerja.

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

3.1.1 Kerangka Konseptual Penelitian


Kurang tersalurnya kredit yang tersedia oleh lembaga mikro bank tidak
hanya disebabkan oleh kurangnya penawaran kredit oleh lembaga tersebut. Sisi
permintaan yaitu para pelaku usaha mikro kadang juga enggan untuk mengajukan
kredit. Penyedia kredit informal di masyarakat kadang lebih menarik
dibandingkan dengan lembaga kredit formal karena kemudahan dan kecepatan
dalam mengakses kredit.
Dengan berhasilnya para pengusaha mikro dalam mengembalikan kreditnya,
maka berarti adanya peningkatan pendapatan dan kehidupan rumah tangga dan
diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya
sehingga terjadi penurunan kemiskinan. Apabila dari dua sisi baik dari penawaran
kredit dan permintaan kredit terjadi sinergi dan masing masing pihak viable maka
keberlanjutan kredit dan usaha bisa diharapkan. Keberlanjutan merujuk pada suatu
kondisi dimana suatu usaha mampu hidup dalam waktu yang lama. Berdasarkan
33

uraian latar belakang dan tujuan diatas, maka disusunlah kerangka pemikiran yang
disajikan dalam gambar 3.1.

3.1.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis penelitian dibangun dari tujuan yang telah ditetapkan, yang
selanjutnya akan diuji dalam penelitian yaitu:
1. Faktor-faktor determinan demografi (seperti gender, usia, pendidikan)
dan faktor-faktor sosial-ekonomi (seperti jarak tempat usaha ke bank,
lama usaha, hambatan usaha, modal kerja, kepemilikan rekening,
pekerjaan sampingan, pasangan yang bekerja dan alternatif pinjaman
lain) berpengaruh secara signifikan bagi pelaku usaha mikro untuk dapat
akses kredit.
2. Faktor-faktor karakteristik peminjam seperti usia, gender, tingkat
pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kelancaran pembayaran.
Faktor-faktor karakteristik usaha seperti jarak, jenis usaha, lama usaha,
hambatan usaha, penjualan, modal kerja, pengeluaran untuk makanan,
pekerjaan sampingan, pasangan kerja, sumber pinjaman lain, jaminan,
dan jumlah kredit yang disetujui (semua atau sebagian) signifikan
mempengaruhi kelancaran pengembalian kredit.
3. Kredit usaha rakyat akan memberikan dampak peningkatan pendapatan
bagi pelaku usaha mikro baik dalam penghasilan maupun pembentukan
modal.
4. Usaha mikro dan bank penyalur KUR akan menunjukkan viabilitasnya
sehingga program KUR bisa berlanjut.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Jawa Tengah di Kabupaten Pati. Waktu
penelitian berlangsung dari bulan April sampai dengan September 2014.
Penentuan lokasi berdasarkan sampling bertahap (multistage sampling
purposive). Tahap pertama, pemilihan provinsi yaitu, Jawa Tengah sebagai
penerima kredit usaha rakyat terbesar atau sekitar 15,12 persen dari total plafon
KUR tahun 2012. Kedua, pemilihan lokasi kabupaten yaitu berdasarkan penyalur
KUR terbesar dan terpilih Kabupaten Pati. Tahap selanjutnya adalah pemilihan
kecamatan berdasarkan jarak lokasi kecamatan dengan akses pasar kota diambil
kecamatan yang terdekat dan kecamatan yang terjauh dari kecamatan kabupaten
kota. Jarak atau lokasi dianggap akan mempengaruhi akses pasar, perbankan, dan
informasi yang akan menentukan keberhasilan suatu usaha. Kecamatan yang
terpilih adalah Kecamatan Margorejo sebagai kecamatan terdekat dengan jarak 4
kilometer dan Kecamatan Dukuhseti dengan jarak 36 kilometer.
34

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

INPRES NO. 6/2007


Pengembangan usaha mikro
melalui penyaluran KUR
POTENSI UMKM 2012
Bank Pelaksana Jumlah: 55,2 jt dan 99%:
KUR dan LK Usaha Mikro. Pembiayaan
mikro UMKM oleh Bank 39%.
Masalah:
Asymetric Information
Collateral
LK Mikro
Interest Rate

Pengajuan Kredit oleh RT Usaha Mikro

YA TIDAK

Memperoleh Kredit? Mengapa?

YA TIDAK
Faktor Faktor Determinan
utk akses/mengajukan
Jumlah Sesuai dg yang kredit; Modal Manusia,
diminta atau Sebagian Biaya Transaksi, Jaminan
Tingkat Suku Bunga

USAHA MIKRO USAHA MIKRO


dengan KUR tanpa KUR

KINERJA USAHA MIKRO KINERJA USAHA MIKRO

Bagaimana Dampak
KUR Terhadap IMPLIKASI KEBIJAKAN
Pendapatan?

LANCAR
B
Faktor Faktor Determinan E
Pengembalian Kredit ke LK; VIABLE
R
faktor ekonomi dan non L
ekonomi PEMBENTUKAN A
MODAL N
J
TDK LANCAR U
TIDAK BERLANJUT T
/DEFAULT

YA VIABLE
Efisien dan NPL
rendah?
TIDAK TIDAK BERLANJUT

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian


35

3.2.2 Metode Pengumpulan Data


Survei lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi spesifik terkait data
data tentang pelaku usaha mikro, pendapatan, dan indikator kesejahteraan yang
akan digunakan untuk melengkapi data sekunder. Data primer dikumpulkan
melalui kuesioner dan wawancara dengan menggunakan daftar kuesioner dan
pertanyaan terstruktur terhadap rumah tangga usaha mikro baik yang
menggunakan KUR maupun tanpa KUR. Rumah tangga usaha mikro sebagai unit
responden digunakan untuk menjawab pertanyaan berkaitan tentang nasabah KUR.
Untuk pengumpulan data bank penyalur KUR sebagai unit analisisnya,
survei lapangan langsung ke bank unit dari bank nasional penyalur KUR di
Kabupaten Pati.

3.2.3 Tehnik Pengambilan Sampel


Responden rumah tangga dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok
yaitu rumah tangga usaha mikro yang mendapatkan KUR dan rumah tangga usaha
mikro yang tidak mendapatkan KUR. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan
rumus Slovin (Umar 2004) adalah sebagai berikut;

n = N/(1 + N(e)2)

Dimana N adalah populasi atau total nasabah KUR yang ada di Kabupaten
Pati yaitu 82.080 orang dan dengan tingkat kesalahan pengambilan sampel yang
masih dapat ditolerir/diinginkan sebesar 8 persen maka diperoleh sampel sebesar
155 rumah tangga usaha mikro yang mendapatkan KUR. Teknik penarikan
sampel dengan teknik purposive sampling, yaitu tehnik pengambilan sampling
dengan pertimbangan tertentu. Jumlah sampel untuk kelompok rumah tangga
usaha mikro yang tidak mendapatkan KUR menurut Caliendo (2005) sebaiknya
lebih banyak daripada jumlah sampel rumah tangga usaha mikro dengan KUR,
dan dengan tehnik penarikan sampel tanpa peluang yaitu prosedur yang tidak
memungkinkan kita menghitung peluang terpilihnya anggota tertentu populasi ke
dalam sampel. Dalam tehnik ini, sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan
keleluasaan peneliti (convenient) maka terpilihlah 177 rumah tangga usaha mikro
tanpa KUR. Sehingga total sampling yang digunakan sebanyak 332 unit rumah
tangga usaha mikro. Kecamatan Margorejo memiliki 18 desa dan Kecamatan
Dukuhseti 12 desa, sehingga masing-masing desa diambil rata-rata sekitar 10
sampai 13 rumah tangga.
Untuk menentukan responden lembaga keuangan maka diambil bank umum
nasional unit yang ada di Kabupaten Pati yaitu ada 35 unit bank umum nasional.
Pengambilan responden terhadap bank tersebut dengan pertimbangan bahwa bank
tersebut sebagai penyalur KUR terbesar secara nasional untuk usaha mikro dan
yang melayani KUR kepada usaha mikro di wilayah kecamatan yang terbesar
adalah bank unit kecamatan tersebut. Proses penentuan dan pengambilan
responden dalam penelitian ini disajikan pada gambar 3.2.
36

Penyaluran KUR
Terbesar

Tahap 1 JAWA TENGAH 15,12%


Purposive

Tahap II
Kabupaten Pati
Purposive

Tahap III
Purposive Kec.Margorejo Kec. Dukuhseti
35 bank unit
penyalur
KUR

18 Desa, 12 Desa
setiap desa setiap desa
10-13 RT 10-13 RT
usaha mikro usaha mikro
KUR dan KUR dan
tanpa KUR tanpa KUR

Gambar 3.2 Proses pengambilan sampel responden usaha mikro dan bank unit

Untuk menjawab tujuan pertama yaitu menganalisa perilaku atau faktor


faktor yang mempengaruhi usaha mikro untuk meminjam kredit atau akses kredit
dan tujuan kedua untuk menganalisis faktor faktor yang mempengaruhi
pengembalian kredit digunakan analisis statistik deskriptif untuk mengetahui
gambaran umum karakteristik debitur kredit usaha mikro baik dalam meminjam
maupun mengembalikan kredit dan analisa regresi logit biner untuk mengetahui
faktor faktor yang signifikan mempengaruhi. Untuk tujuan ketiga, yaitu untuk
menghitung dampak KUR terhadap pendapatan usaha mikro dengan model probit
dengan metode prospensity score matching. Sedangkan untuk menjawab tujuan
keempat dilihat dari viabilitas finansial dari sisi efisiensi dan non performance
loannya penyalur kredit, secara deskriptif dengan melihat kinerja penyalur KUR
secara umum dan viabilitasnya dilihat dari hasil operasional bank-bank unit
dengan pendekatan data envelopment analysis.

Tabel 3.1 Rancangan model analisis data


No. Tujuan Penelitian Alat analisis
Sumber data
1. Menganalisis faktor-faktor yang Deskriptif
Primer; survey
mempengaruhi/mendorong usaha Regresi logistik/
332 RT usaha
mikro untuk mengakses KUR. logit
mikro dengan
KUR dan tanpa
KUR
2. Menganalisis faktor-faktor yang Deskriptif Primer; survey
mempengaruhi usaha mikro Regresi logistik/ 155 RT usaha
dalam pengembalian KUR logit mikro KUR
37

No. Tujuan Penelitian Alat analisis Sumber data


3. Mengkaji dampak KUR pada Deskriptif Primer; survey
pendapatan rumah tangga usaha Regresi probit 332 RT usaha
mikro dengan menganalisis dengan mikro dengan
perbedaan pada usaha mikro yang pendekatan KUR dan tanpa
mendapat KUR dengan usaha propensity score KUR
mikro yang tidak menggunakan matching
KUR
4. Menganalisis efisiensi dan Deskriptif Sekunder; 35 unit
efektifitas bank-bank unit Pendekatan DEA/ Bank umum
penyalur KUR. data envelopment nasional penyalur
analysis KUR
5. Mendiskripsikan kaitan efisiensi Peta wilayah Pati Data Sekunder 35
penyaluran KUR dengan yang dioverlay unit bank
perwilayahan dengan tingkat
efisiensi

3.2.4 Regresi Logistik Biner


Analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menganalisis data
yang peubah responnya memiliki dua atau lebih kategori dengan satu atau lebih
peubah bebas yang berskala kategorik atau kontinu.
Juanda (2009) menjelaskan untuk generalisasi secara umum, misalkan kita
ingin menduga model regresi logistik ganda (multiple logistic regression model)
dengan k-1 peubah bebas. Model regresi logistik dibentuk dengan menyatakan
nilai P(Y=1| ) ) maka logit dari model regresi logistik gandanya
adalah:

)
g(xi) = In = (1)
)

dan model regresi logistik gandanya:


)
P(xi) = )
= )
(2)

Secara umum jika sebuah peubah berskala nominal atau ordinal mempunyai
k kemungkinan nilai, maka diperlukan k-1 peubah boneka (dummy variable),
sehingga model transformasi logitnya menjadi:

g(xi) = (3)

dimana:
u : 1,2,3,kj-1
Dju : kj-1 peubah boneka
: koefisien peubah boneka
: peubah bebas ke-j dengan tingkatan kj
38

Pendugaan parameter dalam regresi logistik menggunakan metode


kemungkinan maksimum (maximum likehood estimation). Jika antara amatan
yang satu dengan yang lain diasumsikan bebas maka fungsi kemungkinan yang
diperoleh adalah:

() = (x1) (x2) (xn) = )

Prinsip prosedur MLE adalah menentukan dugaan yang nilainya akan


memaksimumkan persamaan peluang bersama n pengamatan, untuk
mempermudahkan perhitungan, dilakukan transformasi dengan logaritma natural,
sehingga mendapatkan fungsi log likehood berikut;

() = In () = { [ )] ) [ )]

Untuk menentukan dugaan yang memaksimumkan () kita


diferensialkan persamaan diatas terhadap masing masing parameter dan , lalu
disamakan dengan 0. Pengujian terhadap parameter parameter model dilakukan
baik secara simultan maupun secara parsial. Menurut Juanda (2009) selanjutnya
menguji apakah model logit tersebut secara simultan atau keseluruhan dapat
menjelaskan keputusan pilihan kualitatif (Y) yaitu dengan menggunakan uji
likehood ratio, dengan hipotesis:

H0 : 1 = = k = 0
H1 : minimal ada j 0, untuk j = 2, 3,k

Statistik uji G menyebar menurut sebaran Khi-kuadrat dengan derajat


bebas (k-1) dirumuskan sebagai berikut;

G = -2In[ ] = 2In[ ] )

= 2[In (likehood_ModelUR) In (likehood_ModelR) ]

Dengan mengasumsikan H0 benar, statistic uji G akan mengikuti sebaran


Khi kuadrat dengan derajat bebas (k-1). Keputusan tolak H0 jika G > .
Pengujian parameter secara parsial menggunakan uji Wald. Hipotesis yang
akan diuji adalah:

H0 : j = 0 untuk I = 2,3,k (pengubah xj tidak berpengaruh nyata)


H1 : j 0; I = 1,2..k (pengubah xj berpengaruh nyata)

Statistik uji yang digunakan adalah:



W= )
39

Dengan sebagai penduga j dan SE ( ) sebagai penduga galat baku j.


Statistik W akan mengikuti sebaran normal baku jika H0 benar, keputusan tolak
H0 diambil jika |W|>Z/2

Interprestasi koefisien untuk model regresi logistik biner dapat dilakukan


dengan menggunakan nilai rasio oddsnya. Odd rasio bisa didefinisikan sebagai
berapa kali kemungkinan pilihan-1 diantara individu dengan x=1 dibandingkan
diantara individu dengan x=0 (Juanda, 2009). Menurut Hosmer dan Lemeshow
(2000) mengartikan odd sebagai rasio peluang kejadian sukses dengan kejadian
tidak sukses dari peubah respon. Rasio odds mengindikasikan seberapa lebih
mungkin munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan
kelompok lainnya. Rasio odds adalah sebagai berikut:

) )
= ) )

Interprestasi dari rasio odds ini adalah kecenderungan untuk Y = 1 pada X


1 sebesar kali dibandingkan pada X = 0

3.2.5 Variabel-Variabel untuk Akses KUR

Penelitian akses kredit dengan pendekatan regresi logistik juga dilakukan


peneliti-peneliti lain, seperti; (Dufhues & Buchenrieder 2005; Li et al. 2011;
Chauke & Anim 2013; Ololade & Olagunju 2013). Beberapa peneliti
menggunakan pendekatan lain seperti probit (Mohamed et al. 2009; Behr and
Sonnekalb 2012; Vitor and Abankwah 2012). Peubah bebas dan terikatnya yang
merujuk pada Li et al, 2011 terangkum dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2 Deskripsi variabel-variabel akses KUR


Nama Tipe Keterangan
Variabel
g(xi) Biner RT usaha Mikro (1= akses KUR, 0=tidak
akses KUR)
Demografi (X);
Usia Kontinyu Usia pemilik usaha, (th)
Jenis Kelamin Biner Jenis kelamin pemilik (1 = pria, 0 =
wanita)
Pendidikan Tingkat pendidikan pemilik
Pendidikan_1 Biner 1=SD, 0 lainnya
Pendidikan_2 Biner 2=SMP, 0 lainnya
Pendidikan_3 Biner 3=SMA, 0 lainnya
Sosial-economi;
Jarak Kontinyu Jarak lokasi usaha ke bank (Km)
Lama usaha Kontinyu Lama usaha (th)
Hambatan Biner Hambatan usaha mikro (1= modal, 0
usaha lainnya)
40

Nama Tipe Keterangan


Variabel
Modal kerja Kontinyu Modal kerja per minggu (Rp juta)
Rekening bank Biner Kepemilikan rekening (1 = ya, 0 lainnya)
sebelumnya
Pekerjaan Biner Pemilik usaha memiliki usaha sampingan
sampingan (1=ya,0 lainnya)
Pasangan Biner Pasangan bekerja (1=ya, 0 lainnya)
bekerja
Pinjaman Lain Biner Ada sumber kredit lain (1=ya, 0 lainnya)

3.2.6 Variabel-Variabel untuk Pembayaran Kembali KUR

Jumlah sampel dalam penelitian ini ada 155 responden rumah tangga usaha
mikro yang mendapat KUR. Dalam penelitian ini menggunakan regresi logistik
untuk menentukan faktor-faktor determinan yang mempengaruhi usaha mikro
membayar KUR. Penelitian lain menggunakan logit juga dilakukan oleh (Tundui
dan Tundui 2013; Mokhtar et al. 2012). Metode lain seperti dengan probit
(Godquin 2004; Vitor 2012; Setargie 2013; Wongnaa dan Vitor 2013), dan tobit
(Gebeyehu et al. 2013).
Dalam penelitian ini menggunakan karakteristik peminjam, karakteristik
usaha dan karakteristik pinjaman seperti yang ada di tabel 4.3 yang merujuk pada
penelitian Roslan and Karim (2009). Nawai dan Shariff (2013) menambahkah
karakteristik lembaga keuangan.

Tabel 3.3 Deskripsi variabel-variabel pembayaran kembali kredit usaha rakyat


Nama Variabel Tipe Variabel Penjelasan
p(xi) Biner Pembayaran KUR (1= lancar, 0= terlambat),
lancar = terlambat tidak lebih dari 2 kali
Karakteristik peminjam;
Jenis kelamin Biner Jenis kelamin pemilik usaha mikro (1 = laki-
laki, 0 = perempuan)
Usia Kontinu Usia pemilik usaha mikro
Tingkat pendidikan
Pendidikan_1 Biner 1 = SD, 0 lainnya
Pendidikan_2 Biner 2 = SMP, 0 lainnya
Pendidikan_3 Biner 3 = SMA, 0 lainnya
Pengeluaran makanan Kontinu Jumlah pengeluaran RT untuk makanan/bulan
Pekerjaan sampingan Biner 1 = memiliki pekerjaan sampingan, 0 tidak
Pasangan bekerja Biner 1 = Suami/istri bekerja, 0 tidak
Jumlah tanggungan Kontinu Jumlah anak yang masih ditanggung
Karakteristik usaha;
Jarak Kontinu Lokasi usaha ke bank (km)
Jenis usaha
Jenis usaha_1 Biner 1 = dagang dan ritel, 0 lainnya
Jenis usaha_2 Biner 2 = jasa, 0 lainnya
Jenis usaha_3 Biner 3 = pengolahan, 0 lainnya
Lama usaha Kontinu Berapa lama usaha berdiri (tahun)
Hambatan usaha Biner Hambatan yang dihadapi oleh usaha mikro
(1= modal, 0 marketing)
Besarnya Pinjaman Biner 1 = >= Rp 10 juta, 0 = kurang dari Rp 10 juta
41

Nama Variabel Tipe Variabel Penjelasan


Penjualan Kontinu Penjualan per minggu (Rp)
Modal kerja Kontinu Modal kerja per minggu (Rp)
Pengalihan pinjaman Biner Pengalihan penggunaan kredit, 1 = ya, 0 tidak
Sumber pinjaman lain Biner Sumber pinjaman lain, 1 = ya, 0 hanya KUR
Karakteristik pinjaman;
Jaminan
Jaminan_1 Biner 1 = tidak ada jaminan, 0 lainnya
Jaminan_2 Biner 2 = BPKB motor, 0 lainnya
Pembatasan kredit Biner Apakah pinjaman disetujui sesuai dengan
yang diminta (credit constrained), 1=
disetujui semua, 0 lainnya
Periode angsuran Kontinu Lamanya angsuran (bulan)

3.2.7 Propensity Score Matching atau Pencocokan Nilai-Kedekatan


Metode propensity score matching (PSM)/ Pencocokan nilai- kedekatan
yaitu memadankan antara subyek/anggota terpajan (treatment Variable) atau
dalam kelompok partisipan dengan kondisi tidak terpajan (control variable) atau
non partisipan dengan menggunakan nilai propensity scorenya atau probabilitas
dari terpajan atau yang mendapat perlakuan (atau keduanya) dengan
menggunakan karakteristik yang dapat diamati agar dapat melakukan analisis
yang lebih baik terhadap hasil pencapaian. Metode PSM ini pertama kali
dikenalkan oleh Rosenbaum dan Rubin (1983) dan dikembangkan oleh Heckman
(1997).
Alasan evaluasi dampak dengan menggunakan propensity score ini untuk
mengurangi bias karena dalam penelitian observasi selalu memiliki masalah
dalam penarikan kesimpulan karena adanya potensial confounding, sehingga
kurang tepat jika dua kondisi tersebut dibandingkan meskipun sudah dilakukan
adjustment melalui regresi karena masih ada potensi bias. Teknik analisis yang
menggunakan propensity score dalam studi observasi dapat melakukan adjustment
pada covariat pada dua kelompok dan dapat mengurangi bias lebih baik
dibandingkan dengan teknik modeling pada analisis multivariate yang
konvensional. Teknik analisis ini melakukan matching melalui nilai propensity
dari subjek yang terpajan dan subjek tidak terpajan. Nilai propensity merupakan
nilai probabilitas subyek jika tidak terpajan, yang ada kenyataan subyek adalah
dalam keadaan terpajan (kontra fakta).
Prosedur atau langkah dalam PSM adalah pertama terkait dengan model
yang akan digunakan untuk mengestimasi, dan variabel yang akan dimasukkan
dalam model.
Model yang digunakan untuk proses pencocokan skor PSM dengan regresi
probit dengan variabel-variabel seperti terangkum dalam tabel 3.4 dibawah.
Menurut Caliendo dan Kopeinig (2005) hasil dari regresi logistik dengan model
probit hampir mirip. Dalam penelitian ini, model probit digunakan untuk
memgestimasi probabilitas akses KUR. Model probit nya sebagai berikut;

P (Yi = 1Xi) = (0 + 1Xi1 + ...+pXip) = ) (4)

Selanjutnya, memilih algoritma pemadanan (matching). Dalam proses


pencocokan antar covariat, beberapa teknik bisa dilakukan dalam tahapan ini
42

seperti; (1) nearest neighbor matching (NNM), (2) Radius matching, (3) Kernel
matching, dan (4) stratification matching. Dalam penelitian ini hanya digunakan
nearest neighbor without replacement, yang maksudnya adalah proses pencocokan
masing masing kovariat hanya memiliki satu kali kesempatan. Metode NNM ini
memilih skor terdekat dari covariat dari kelompok kontrol. Proses pencocokan
dengan metode NNM ini baik untuk kecenderungan antara kelompok treatment
dan kelompok kontrol yang serupa (Backer dan Ichino 2002). Untuk Pemilihan
metode pencocokan ini belum ditemukan literatur mana metode yang paling baik
diantaranya. Ketiga, melihat overlap dan common support antara kelompok
terpajan dengan kelompok tidak terpajan pada saat dibandingkan dengan melihat
distribusi keduanya. Dalam tahap ini beberapa observasi dikeluarkan karena
memiliki skor terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Bersamaan dengan itu uji
keseimbangan (the balancing test) dilakukan untuk mengecek rata-rata dari PSM
tersebut tidak terlalu berbeda antara kelompok treatment dengan kelompok
kontrol. Setelah itu perbedaan dari variabel hasil dilakukan dengan melihat
perbedaan rata-rata dari kelompok treatment dengan kontrol. Perbedaan inilah
yang mencerminkan dampak dari treatment tersebut, yang dikenal dengan istilah
average effect of treatment for the treated (ATT).
Keempat, mengukur kualitas pencocokan (assessing match quality).
Rosenbaum dan Rubin (1985) merekomendasikan dengan standardized bias (SB)
dan t-test. Jika covariates X terdisitribusi acak pada kelompok terpajan dan tidak
terpajan maka nilai pseudo-R2 harusnya cukup rendah.
Dalam model ekonometrika untuk melihat dampak ini, maka metode PSM
dan average treatment effect on the treated (ATT) diterapkan untuk mengukur
dampak pada variabel-variabel hasil yang merupakan pengembangan dari
penelitian Dino dan Regasa (2014) seperti modal kerja, penjualan, keuntungan,
tabungan, pendapatan sampingan, total pendapatan, pengeluaran untuk makanan,
penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat tinggal dan kondisi kepemilikan aset.
Hipotesa yang dibangun adalah KUR memberikan dampak pada peningkatan
modal kerja, penjualan, keuntungan, tabungan, pendapatan sampingan, total
pendapatan, pengeluaran untuk makanan, penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat
tinggal dan kondisi kepemilikan aset.
Dalam pemodelan, untuk mengukur dampak atas hasil pada kelompok
usaha mikro yang mendapat KUR (kelompok treatment) dengan yang tidak
dengan estimasi perbedaan menurut Rubin (1973) dalam Ghalib (2011) sebagai
berikut:
i = (5)
Dimana i adalah dampak treatment pada individu i , dimana i = 1,2, ,N.
dan merupakan potensi hasil dari usaha mikro partisipan dan usaha
mikro non partisipan. Persamaan (5) tersebut menggunakan data cross section dan
seharusnya menghitung perbedaan hasil antara sesudah dan sebelum treatment
masing masing pelaku usaha mikro. Namun tidak mungkin dilakukan
penghitungan langsung menggunakan cross section dan menghitung perbedaan
antara sebelum dan sesudah treatment pada tiap pelaku usaha yang sama. Oleh
karena itu persamaan (5) dimodifikasi dengan mengestimasi average treatment
effects on the treated, TT, sebagai berikut;
TT = E( |D=1) = E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=1) (6)
43

TT ini mengukur perbedaan antara hasil yang diharapkan pada partisipan


pelaku usaha mikro dengan KUR dengan hasil hipotikal apabila pelaku usaha
tersebut tanpa KUR. Persamaan (6) ini digunakan untuk menjawab pertanyaan
kontra fakta bagaimana hasil yang terjadi jika pelaku usaha yang mendapat KUR
tersebut tidak mendapat KUR. Inilah yang merupakan selection bias dari
persamaan tersebut, karena E(Y0 |D=1) tidak diobservasi dalam penelitian ini.
Andaikan dipakai E(Y0 |D=1) = E(Y0 |D=0) maka usaha mikro yang tidak
mendapat KUR bisa digunakan sebagai kelompok pembanding atau control.
Skenario bias observasi ini menimbulkan self selection bias, yaitu pada pelaku
usaha mikro KUR tidak bisa dilakukan sebagai partisipan pada waktu yang sama
sebagai penerima KUR dan sebelum menerima KUR. Rosenbaum dan Rubin
(1985) merekomendasikan untuk memakai propensity score matching (PSM)
untuk mengatasi seleksi bias disini karena bisa mengatasi masalah multi dimensi,
yang timbul dari adanya prosedur pencocokan kovariat yang banyak termasuk
bias karena tidak terobservasi. Bias disini bisa berupa perbedaan antara hasil
pelaku usaha KUR dan pelaku usaha tanpa KUR, yang dapat dirumuskan sebagai
berikut;
Bias = E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=0) (7)
Persamaan (7) mampu menangkap dampak partisipan yang mendapat
perlakuan (treated participant), selanjutkan kita membuang dampak partisipan
yang tidak mendapat perlakuan (non-treated participant) sebagai berikut;
E(Y0 |D=0) - E(Y0 |D=1) (8)
Persamaan (9) berikut mendefinisikan sebagian pelaku usaha mikro yang
bukan partisipan dan tidak mendapatkan KUR. Oleh karena itu, bias merupakan
perbedaan antara dampak pada partisipan yang mendapat perlakuan (KUR) dan
perbedaan antara dampak atas partisipan yang tidak mendapat perlakuan dan
bukan partisipan.
TT - [E(Y0 |D=0) - E(Y0 |D=1)] =
E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=1) - E(Y0 |D=0) + E(Y0 |D=1) (9)
0 0 1 0
TT - [E(Y |D=0) - E(Y |D=1)] = E(Y |D=1) - E(Y |D=0) (10)
Idealnya bias = 0 yang berimplikasi pada
E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=0) = 0 E(Y1 |D=1) = E(Y0 |D=0) (11)
Oleh karena itu TT bisa mengatasi masalah self selection dengan
menggunakan persamaan (11). Estimasi PSM oleh Rosenbaum dirumuskan
sebagai berikut;
P(D=1|X) = P(X) (12)
Model ini kemudian menggunakan model logit atau probit sebagai berikut;
P(D=1|X) = p(Y*>0|X) = P(>-X|X) = 1 G(-X) = G(X) (13)
Dimana 0< G(X)<1, untuk semua nilai kovariat X, X = dan G
adalah fungsi kumulatif standar normal. Persamaan (9) merupakan non-linear
karenanya metode estimasinya menggunakan maximum likehood estimation. Oleh
karena itu estimasi PSM dari TT bebas seleksi bias, dan estimasi PSM
dirumuskan sebagai berikut;
) [ |D=1,P(X)) E( | ))] (14)

Propensity Score Matching (PSM) sudah diterapkan dalam berbagai bidang


yang luas dalam mengevaluasi suatu dampak, yang biasanya penelitian
eksperimen. Penggunaan PSM untuk evaluasi program non-eksperimen atau
44

observasi di negara-negara berkembang masih jarang (Ravallion 2008) tapi mulai


muncul akhir-akhir ini seperti yang dilakukan oleh (Ifelunini & Wosowei 2012;
Vitor 2012; Diro et al. 2014; Duong & Thanh 2015) dalam menguji dampak
pembiayaan mikro.
Data yang digunakan sebanyak 332 responden, terdiri dari 155 sebagai
kelompok treatment dan 177 responden sebagai kelompok kontrol. Data primer
dilakukan melalui pertanyaan dan kuesioner untuk mengumpulkan informasi yang
digunakan untuk mengukur dampak kredit usaha rakyat pada ekonomi rumah
tangga usaha mikro.

Tabel 3.4 Deskripsi variabel-variabel dalam model probit


Nama Variabel Tipe Variabel Penjelasan
P(Yi) Biner Akses KUR (1= KUR, 0= tidak)
Karakteristik peminjam;
Jenis kelamin Biner Jenis kelamin pemilik usaha mikro (1 = laki-
laki, 0 = perempuan)
Usia Kontinu Usia pemilik usaha mikro
Status perkawinan Biner Status perkawinan (1 = menikah, 0= lainnya)
Pendidikan Kontinu 1 = SD, 2 = SMP, 3= SMA, 4= kuliah
Jumlah tanggungan Kontinu Jumlah anak yang masih ditanggung
Jenis usaha Kontinu Jenis usaha (1=dagang, 2=jasa, 3 pengolahan)
Lama usaha Kontinu Berapa lama usaha berdiri (tahun)
Jarak Kontinu Lokasi usaha ke bank (km)
Jumlah jam kerja Kontinu Berapa jam kerja per minggu
Hambatan usaha Biner Hambatan yang dihadapi oleh usaha mikro
(1= modal, 0 marketing)
Rekening bank Biner Memiliki rekening bank sebelum pinjam
KUR (1= ya, 0 = tidak)
Pekerjaan sampingan Biner 1 = memiliki pekerjaan sampingan, 0 tidak
Pasangan bekerja Biner 1 = Suami/istri bekerja, 0 tidak
Sumber pinjaman lain Biner Sumber pinjaman lain, 1 = ya, 0 hanya KUR

3.2.8 Data Envelopment Analysis (DEA)


Pengukuran efisiensi dalam penelitian ini dengan data envelopment analysis
(DEA). Ada beberapa model yang dikembangkan dalam metodologi DEA
(Charnes et al. 1978 dan Banker et al. 1984). Charnes menggunakan model input-
oriented dengan asumsi tingkat pengembalian yang konstan (Constant Return to
Scales/CRS). Pendekatan tersebut kemudian bisa dikembangkan dengan
menggunakan model output-oriented dengan menggunakan asumsi Variable
Return to Scales (VRS) diperkenalkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (1984).
Hasil perhitungan DEA dengan model VRS ini disebut dengan efisiensi teknik
(Technical Efficiency= TE). Dalam mengukur efisiensi setiap unit kegiatan
ekonomi (UKE) atau Decision making unit (DMU) diperoleh dari maksimasi dari
rasio rata-rata tertimbang output terhadap rata-rata tertimbang input, yang
dirumuskan dalam bentuk berikut (Charnes et al. 1978),


Max h0 =
(15)
s.t

=
45

ur, vi 0; r = 1,...,s; i = 1, ..., m

yrj, xij semua positif sebagai output dan input dari DMU, dan ur, vi 0 adalah
masing-masing bobot dari output yr ke j dan input xi ke j.
Dari kedua pendekatan TE CRS dan TE VRS ini dapat diformulasikan
perhitungan kinerja efisiensi skala (Scale Efficiency = SE). Berdasarkan skor
kedua ET ini, Efisiensi skala didefinisikan sebagai:

SE = (16)

Nilai efisiensi DEA ini didefinisikan tidak oleh standar mutlak tetapi relatif
antara bank-bank unitnya. Fitur inilah yang membedakan DEA dari pendekatan
parametrik seperti stochastic frontier approach (SFA), yang membutuhkan bentuk
fungsi model tertentu. DEA dipakai dalam penelitian ini juga karena masing-
masing bank unit memiliki karakteristik yang sama. Tujuan dari DEA ini adalah
untuk menentukan bank-bank unit mana yang beroperasi pada efisien frontier atau
tidak. Jika kombinasi input-output bank-bank unit tersebut terletak di frontier set
maka dianggap efisien, dan sekaligus menjadi envelope yang menutupi seluruh set
data yang ada atau dengan kata lain menutupi bank-bank unit yang tidak efisien
yang terletak di dalam frontier atau dalam amplop (envelope) .
Efisien relatif dalam penelitian ini dengan ukuran efisiensi digambarkan
secara teknis berdasarkan output-oriented (gambar 3.3). Apabila terdapat 2 output,
yaitu Y1 san Y2, oleh karena itu kombinasi di titik A adalah tidak efisien karena
berada di bawah kurva kemungkinan produksi.

Y2

.A

Y1

Gambar 3.3 Ilustrasi frontier dalam DEA


Sumber: Vennesland, 2005

Jarak A ke frontier set dalam penelitian ini merupakan fungsi jarak output
Farrel (Fo), dikenalkan oleh Farrel tahun 1957 yaitu mewakili ketidakefisien
secara teknis yang merupakan tingkat output-output yang seharusnya dapat
ditingkatkan tanpa menambah input yang ada. Ketika Fo adalah 1, maka bank unit
dianggap efisien. Tapi bila score Fo diatas 1 maka kondisi ini menunjukkan
keadaan output yang bisa ditingkatkan.
46

Secara matematis model efisiensi untuk bank-bank unit k dapat dilihat dari
persamaan dibawah ini yang diadopsi dari Vannesland (2005) dalam penelitian
pembangunan pedesaan:

Fo (Xk , Yk C,S) = Max k (17)


s.t

) (18)

) (19)

Zk 0 (CRS) k = 1K (20)

Fo = fungsi jarak output Farrell. X = input, Y =output dan k = masing-


masing bank-bank unit, C = CRS, S = strong disposability of outputs atau dapat
dikatakan bahwasanya output dapat ditingkatkan lagi dengan input yang sama
atau tanpa mengeluarkan biaya tambahan, Zk = variable intensitas (bobot). Peran Z
dalam model ini adalah untuk membangun referensi teknologi. Nilai-nilai variable
intensitas membuat frontier, yang menggambarkan keadaan sebenarnya atau
merupakan hipotesa dari kinerja di bank-bank unit dimana dengan menggunakan
input yang sama dapat memproduksi output yang lebih banyak.
Dalam mengukur efisiensi bank, ada dua metode yang bisa digunakan yaitu
parametrik dan non parametrik. Untuk parametrik banyak penelitian yang
menggunakan stochastic frontier approach (SFA) seperti yang dilakukan oleh
(Baten & Kamil 2010; Tahir & Haron 2010). Sedangkan pengukuran efisiensi
dengan menggunakan data envelopment analysis (DEA) telah luas digunakan
dalam bidang perbankan (Tahir et al. 2009; Fethi and Pasiouras 2010; Motlagh et
al. 2011; Suzuki and Sastrosuwito 2011; Gordo 2013). DEA juga digunakan
untuk mengukur efisiensi dari berbagai bidang, seperti rural economic
development (Vennesland 2005), poultry farm (Heidari 2011) dan di bidang
transportasi (Bhagavath 2013). Fethi dan Pasiouras (2010) mengatakan bahwa
DEA paling umum digunakan dalam pengukuran kinerja bank.
Keuntungan DEA ini adalah mudah menggabungkan beberapa input
maupun output untuk menghitung efisiensi teknik. Namun keterbatasan DEA
adalah ketika menafsirkan hasil lebih deterministik, hanya mengukur efisiensi
relatif terhadap sampel terbaik yang dihasilkan. Sehingga hal ini tidak bermakna
untuk membandingkan skor antara dua studi yang berbeda (Bhagavath 2013).
Di dalam pendekatan dengan DEA, tidak ada konsesus yang baku mengenai
pengertian variabel output-input yang digunakan dalam studi efisiensi perbankan
(Gordo 2013). Mhanagopal dan Chandrasekaran (2014) mengatakan bahwa DEA
menggunakan beberapa input dan output untuk analisis efisiensi tetapi tidak
memberikan panduan dalam memilih setiap variabel dan karenanya peneliti
memilih variabel input dan output sendiri. Namun, jumlah Decision making unit
(DMU) sebaiknya minimal tiga kali dari penjumlahan variabel-variabelnya.
Secara umum, ada 2 pendekatan yang digunakan dalam model DEA, yaitu
pendekatan intermediasi (financial intermediaries) dan pendekatan produksi.
Pendekatan yang pertama adalah fungsi bank sebagai perantara yang meminjam
dana dari depositor dan meminjamkannya untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih. Dalam kasus ini, maka output bank adalah pinjaman, sedangkan inputnya
47

berbagai biaya yang dikeluarkan seperti bunga bank, biaya tenaga kerja maupun
biaya operasional. Dalam penelitian Efendic (2009) menganalisis efisiensi dari
bank konvensional dan bank syariah dengan pendekatan intermediasi, maka
variabel input yang digunakan adalah total deposito, aset tetap dan tenaga kerja.
Sedangkan variabel outputnya adalah pinjaman bersih dan pendapatan aset
lainnya. Variabel output dan input yang digunakan Efendic mirip dengan
penelitian Varias dan sofianopoulou (2012) di Yunani yang mengevaluasi
efisiensi bank komersil. Tahir et al. (2009) mengevalusi efisiensi antara bank
domestik dan asing di Malaysia, dan ternyata bank domestik lebih efisiensi.
Variabel input yang digunakan adalah total deposito dan biaya overhead,
sedangkan outputnya adalah pendapatan dari aset bank. Sebaliknya untuk
pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan produksi dimana deposito diperlakukan
sebagai outputnya dan biaya operasional termasuk biaya tenaga kerja
diperlakukan sebagai inputnya. Sathye (2001) menggunakan tenaga kerja, modal
dan dana yang bisa dipinjamkan sebagai input, sedangkan pinjaman dan
permintaan deposito sebagai outputnya. Tidak dilakukan klasifikasi jenis
pinjaman dalam penelitiannya. Hasil penelitian Sathye menyimpulkan bahwa
efisiensi bank-bank Australia masih dibawah rata-rata efisiensi bank di dunia.
Beberapa peneliti yang menggunakan DEA ada yang lebih suka
memasukkan jumlah tenaga kerja ataupun jumlah nasabah dibandingkan dengan
jumlah nilainya, namun banyak yang menyukai menggunakan besarnya nilai
dalam mata uangnya, dengan alasan; pertama, bank bersaing untuk merebut
pangsa pasar secara nilai bukan jumlah accountnya. Kedua, account yang berbeda
memiliki biaya yang berbeda. Ketiga, bank memiliki multi servis yang ukurannya
hanya bisa dinilai dengan jumlah uangnya.
Dalam penelitian ini, output yang digunakan dalam program DEA adalah
jumlah KUR yang disalurkan, pendapatan provisi dan jasa serta pendapatan bunga
bersih. Sedangkan input dimasukkan total deposit, beban bunga, beban
hadiah/penjaminan, beban penyisihan kerugian, biaya tenaga kerja, biaya umum
dan administrasi serta beban operasi.

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN PATI

4.1 Kondisi Geografs

Kabupaten Pati merupakan satu dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa


Tengah yang mempunyai letak cukup strategis karena dilewati oleh jalan nasional
yang menghubungkan kota-kota besar di pantai utara Pulau Jawa seperti Surabaya,
Semarang dan Jakarta.
Secara geografis Kabupaten Pati terletak pada posisi 1100,15 - 1110,15 BT
dan 60 ,25 - 70,00 LS, dengan luas wilayah sebesar 150.368 ha, terdiri dari
59.332 ha lahan sawah dan 91.036 ha lahan bukan sawah. Adapun batas-batas
wilayah administratif Kabupaten Pati adalah sebagai berikut:
Sebelah utara : wilayah Kabupaten Jepara dan Laut Jawa
Sebelah barat : wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara
Sebelah selatan : wilayah Kabupaten Grobogan dan Blora
48

Sebelah timur : wilayah Kabupaten Rembang dan Laut Jawa

4.2 Administrasi

Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 401 desa dan 5 kelurahan,


dimana kecamatan yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Kecamatan
Sukolilo (15.874 ha) dan Kecamatan Wedarijaksa memiliki luas wilayah terkecil
(4.085 ha).

Tabel 4.1 Nama-nama kecamatan, jumlah kelurahan dan luas wilayah Pati
No. Nama Kecamatan Jumlah Luas wilayah
kelurahan/desa (Ha) % thd total
1. Sukolilo 16 15.874 10,56
2. Kayen 17 9.603 6,39
3. Tambakromo 18 7.247 4,82
4. Winong 30 9.994 6,65
5. Pucakwangi 20 12.283 8,17
6. Jaken 21 6.852 4,56
7. Batangan 18 5.066 3,37
8. Juwana 29 5.593 3,72
9. Jakenan 23 5.304 3,52
10. Pati 5/24 4.249 2,83
11. Gabus 23 5.551 3,69
12. Margorejo 18 6.181 4,11
13. Gembong 11 6.730 4,48
14. Tlogowungu 15 9.446 6,28
15. Wedarijaksa 18 4.085 2,72
16. Trangkil 16 4.284 2,85
17. Margoyoso 22 5.997 3,99
18. Gunungwungkal 15 6.180 4,11
19. Cluwak 13 6.931 4,61
20. Tayu 21 4.759 3,16
21. Dukuhseti 12 8.159 5,43
Jumlah 5/401 150.368 100%
Sumber: BPS, 2011

Kabupaten Pati terletak di sebelah timur ibukota Provinsi. Jarak


Kabupaten Pati dengan ibukota provinsi 75 km, dapat ditempuh dengan perjalanan
darat selama kurang lebih 2 jam. Untuk menghasilkan data yang lengkap, cakupan
wilayah kajian Buku Putih Sanitasi di Kabupaten Pati adalah 100 persen dari
wilayah yang ada yaitu 21 kecamatan dan 406 desa/kelurahan.

4.3 Kondisi Topografi

Wilayah Kabupaten Pati terletak pada ketinggian antara 0 - 1.000 m di atas


permukaan air laut rata-rata dan terbagi atas 3 relief daratan yaitu:
49

a. Lereng Gunung Muria, yang membentang sebelah barat bagian utara


Laut Jawa dan meliputi Wilayah Kecamatan Gembong, Kecamatan
Tlogowungu, Kecamatan Gunungwungkal, dan Kecamatan Cluwak.
b. Dataran rendah membujur di tengah sampai utara Laut Jawa, meliputi
sebagian Kecamatan Dukuhseti, Tayu, Margoyoso, Wedarijaksa,
Juwono, Winong, Gabus, Kayen bagian utara, Sukolilo bagian utara, dan
Tambakromo bagian utara.
c. Pegunungan Kapur yang membujur di sebelah selatan meliputi sebagian
kecil wilayah Sukolilo, Kayen, Tambakromo, Winong, dan Pucakwangi.

Dengan melihat peta topografi wilayah Kabupaten Pati, wilayah dengan


ketinggian 0 100 m dpl merupakan wilayah yang terbesar yaitu meliputi wilayah
seluas 100.769 ha atau dapat dikatakan bahwa topografi wilayah Kabupaten Pati
sebagian besar merupakan dataran rendah sehingga wilayah ini potensial untuk
menjadi lahan pertanian.

4.4 Demografi, Sosial dan Budaya

Berdasarkan angka proyeksi untuk 5 tahun kedepan berdasarkan sensus


2010 di Kabupaten Pati, jumlah penduduk Kabupaten Pati dari tahun ke tahun
terus mengalami peningkatan yaitu dari 1.175.232 tahun 2009 menjadi 1.218.016
di tahun 2013.
Pada bidang sosial dan budaya, didapatkan data bahwa di Kabupaten Pati
terdapat 885 SD/setara, terdiri dari; 668 SD Negeri, 20 SD swasta, 197 MI; 204
SLTP/setara, terdiri dari; 49 SLTP Negeri, 25 SLTP swasta, 130 MTS; 70
SMA/setara, terdiri dari; 8 SMA Negeri, 19 SMA swasta, 43 MA.
Tingkat kesejahteraan masyarakat juga menjadi hal yang perlu untuk
diperhatikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk dapat melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Pati, dapat digunakan data jumlah
penduduk miskin sebagaimana tersaji dalam tabel 4.2.

Tabel 4.2 Jumlah penduduk, penduduk miskin, jumlah rumah di Kab. Pati
No Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah rumah
penduduk miskin (unit)
1. Sukolilo 84.660 18.413 24.153
2. Kayen 70.093 13.551 19.227
3. Tambakromo 47.946 11.177 19.227
4. Winong 49.385 12.972 15.783
5. Pucakwangi 41.328 10.865 12.994
6. Jaken 42.214 13.564 13.277
7. Batangan 40.879 9.084 12.119
8. Juwono 90.190 10.491 25.087
9. Jakenan 40.298 11.625 12.671
10. Pati 103.243 12.661 28.806
11. Gabus 51.930 9.543 15.526
12. Margorejo 55.780 5.973 16.376
13. Gembong 42.236 7.973 12.240
14. Tlogowungu 49.199 10.438 14.440
50

No Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah rumah


penduduk miskin (unit)
15. Wedarijaksa 57.658 8.958 16.519
16. Trangkil 59.373 11.238 16.816
17. Margoyoso 70.400 13.496 18.680
18. Gunungwungkal 35.062 6.460 10.818
19. Cluwak 42.466 7.304 13.335
20. Tayu 64.571 11.766 18.774
21. Dukuhseti 56.370 10.261 16.525
Total 1.190.993 227.813 353.393
Sumber: BPS, 2011

4.5 Perbankan penyalur KUR di Kabupaten Pati

Untuk mendukung kegiatan usaha dan investasi baik transaksi dalam negeri
dan luar negeri di wilayah Kabupaten Pati terdapat lembaga keuangan/perbankan
milik pemerintah maupun swasta seperti: BNI 46, BRI, BCA, BTPN, Bank Jateng,
Bank Mandiri, Bnak Mega, Rabo Bank, Bank Danamon, Bank CIMB Niaga dan
Bank Perkreditan Rakyat, yang menjangkau ke pelosok wilayah kecamatan.
Kabupaten Pati menjadi salah satu daerah yang berhasil melaksanakan
program Kredit Usaha Rakyat (KUR), terbukti pada tahun 2012 merupakan
daerah penyerap KUR terbesar secara nasional. Hal ini didukung wilayah Pati
yang sangat luas dan banyak usaha yang memerlukan pembiayaan untuk
pengembangan usahanya, diantaranya adalah sektor pertanian, perdagangan,
perindustrian dan perikanan. Di kabupaten ini, program KUR dilaksanakan oleh
tiga bank, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.
Bank Jateng membuka kantor kas di beberapa kecamatan di Kabupaten Pati
untuk meningkatkan pelayanan dan mendekatkan kepada nasabah dan masyarakat.
Di Tahun 2015, diharapkan seluruh kecamatan sudah dibuka layanan Bank jateng.
Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun Bank Jateng Cabang Koordinator Pati
mencapai sekitar Rp 814 miliar pada tahun 2012. DPK dalam bentuk giro,
tabungan, dan deposito ini mengalami pertumbuhan sebesar 45 persen dibanding
dengan tahun sebelumnya. Penyaluran kredit oleh Bank Jateng pada tahun 2012
mencapai sekitar Rp 712 miliar.
Untuk pinjaman, Bank Jateng menyediakan kredit untuk koperasi, kredit
bidan sejahtera (KBS), kredit khusus untuk kendaraan bermotor (KKB), kredit
pembayaran masyarakat desa (KPMD), kredit pundi, kredit ketahanan pangan dan
energi (KKPE), kredit usaha pembibitan usaha sapi (KUPS), kredit kepemilikan
rumah (KPR), kredit usaha rakyat (KUR), kredit siaga, rekening koran, kredit
karya sejahtera dan personal loan (PLO).
Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Kabupaten Pati memiliki 35 bank unit yang
tersebar di 21 kecamatan. Pada tahun 2012, BRI mampu menyerap dana dari
pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 905,6 miliar dan meningkat menjadi Rp 1.056
miliar di tahun 2013.
51

5 AKSESIBILITAS USAHA MIKRO TERHADAP KREDIT


USAHA RAKYAT

5.1 Karakteristik Rumah Tangga Usaha Mikro

Karakteristik rumah tangga usaha mikro yang digunakan sebagai sampel


dalam penelitian ini terangkum dalam tabel 5.1. Total Rumah tangga usaha mikro
yang memenuhi syarat untuk diolah sebanyak 332 responden, terdiri dari usaha
mikro yang bukan partisipan atau tidak meminjam KUR sebanyak 177 responden
(53,31 persen) dan yang meminjam KUR sebanyak 155 responden (46,69 persen).
Mayoritas peminjam KUR adalah pria sebesar 78,07 persen. Sedangkan usaha
mikro yang tidak pinjam KUR mayoritas usahanya dilakukan oleh wanita sebesar
65,54 persen. Tanpa membedakan pinjam KUR atau tidak, rata-rata usia laki-laki
yang melakukan usaha mikro berkisar 39,25 tahun, dan untuk wanita rata-rata
berusia 43,71 tahun. Namun, rata-rata rumah tangga usaha mikro yang meminjam
KUR lebih muda dibandingkan dengan rata-rata usia rumah tangga usaha mikro
yang tidak pinjam KUR. Pendidikan kepala rumah tangga usaha mikro yang
pinjam KUR, terbanyak tamat SLTA sebanyak 37.42 persen dan yang tidak
pinjam KUR terbanyak lulus SD sebanyak 39,55 persen. Tampaknya pelaku usaha
mikro yang sempat mengenyam pendidikan tinggi masih kurang dari 3 persen.

Table 5.1 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro


Deskripsi Non-KUR (N1=177) KUR (N2=155 ) Total Responden
(N3=332)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dr
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Demografi;
Jenis Kelamin
Pria 61 34,46 121 78,07 182 54,82
Wanita 116 65,54 34 21,93 150 45,18
Usia
Rata-rata pria,th 40,67 38,53 39,25
Rata-rata wanita, th 43,96 42,85 43,71
Pendidikan
SD 70 39,55 46 29,68 116 34,94
SMP 49 27,68 46 29,68 95 28,61
SMA 55 31,07 58 37,42 113 34,04
Universitas 3 1,70 5 3,22 8 2,41

Responden dari Kecamatan Margorejo sebanyak 176 unit (53,01 persen)


terdiri dari rumah tangga usaha mikro yang mendapat KUR 69 unit (39,21 persen)
dan usaha mikro tanpa KUR sebanyak 107 unit (60,79 persen). Rumah tangga
usaha mikro yang tidak menggunakan KUR sebagian besar atau lebih dari 70
persen didominasi perempuan. Sebaliknya rumah tangga yang menggunakan KUR
didominasi oleh laki-laki lebih dari 70 persen. Pendidikan terbanyak usaha mikro
yang tidak menggunakan KUR adalah lulusan SD, sedangkan untuk yang
menggunakan KUR sebagian besar berpendidikan lulus SMA, namun urutan
terbanyak kedua lulus sekolah dasar
52

Tabel 5.2 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro Kec. Margorejo
Deskripsi Non-KUR (N1=107) KUR (N2=69 ) Total Responden
(N3=176)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dr
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Demografi;
Jenis kelamin
Pria 32 29,91 51 73,91 83 47,16
Wanita 75 70,09 18 26,09 93 52,84
Usia
Rata-rata pria,th 40,41 40,29 40,35
Rata-rata wanita, th 45,20 36,55 40,87
Pendidikan
SD 42 39,25 25 36,2 67 38,07
SMP 31 28,98 17 24,6 48 27,27
SMA 32 29,91 26 37,7 58 32,95
Universitas 2 1,86 1 1,4 3 1,7

Sedangkan responden dari Kecamatan Dukuhseti sebanyak 156 unit (46,99


persen) terdiri dari usaha mikro yang mendapat KUR sebanyak 86 unit (55,13
persen) dan usaha mikro tanpa KUR sebanyak 70 (44,87 persen). Karakteristik
pendidikan antara kecamatan Margorejo sejalan dengan karakteristik pendidikan
di kecamatan Dukuhseti dimana untuk rumah tangga usaha mikro yang tidak
menggunakan KUR, pendidikan terbanyak lulusan sekolah dasar, sedangkan yang
menggunakan KUR terbanyak adalah lulusan SMA seperti yang ditunjukkan di
tabel 5.2 dan 5.3. Usaha mikro tanpa menggunakan KUR banyak didominasi oleh
perempuan dalam mengelolanya, sebaliknya usaha mikro yang menggunakan
KUR banyak dikelola oleh pria.

Tabel 5.3 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro Kec. Dukuhseti
Deskripsi Non-KUR (N1=70) KUR (N2=86 ) Total Responden
(N3=156)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dr
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Demografi;
Jenis kelamin
Pria 29 41,43 70 81,39 99 63,46
Wanita 41 58,57 16 18,61 57 36,54
Usia
Rata-rata pria,th 40,96 38,1 39,53
Rata-rata wanita, th 41,68 46,18 43,93
Pendidikan
SD 28 40,00 21 24,42 49 31,41
SMP 18 25,71 29 33,72 47 30,13
SMA 23 32,86 32 37,21 55 35,26
Universitas 1 1,43 4 4,65 5 3,20

Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro baik yang


meminjam KUR ataupun non-KUR terangkum dalam tabel 5.4. Dari total 332
usaha mikro mampu menyerap 209 tenaga kerja atau 62,95 persen. Rata-rata
usaha mikro yang mendapatkan KUR mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak
53

yaitu 0,89 dibandingkan dengan usaha mikro tanpa KUR sebesar 0,40. Sayangnya,
tidak semua tenaga kerja tersebut dibayar karena alasan sebagai anggota keluarga.
Jadi, rata-rata tenaga kerja yang dibayar yang mampu terserap dalam usaha mikro
hanya sebesar 20,34 persen untuk non-KUR dan 34,34 persen untuk usaha mikro
yang meminjam KUR. Rata-rata lama usaha mikro non-KUR adalah 9,08 tahun.
Ini lebih lama dibandingkan rata-rata usaha mikro yang meminjam KUR 5,47
tahun. Sebagai usaha rumah tangga mikro yang biasanya dikategorikan sebagai
usaha informal, maka tidak ada batasan jam kerja yang berlaku. Secara
keseluruhan, jam kerja usaha informal ini memiliki rata-rata jam kerja yang
panjang yaitu kurang lebih 59,85 jam per minggu. Jumlah ini jauh lebih lama
dibandingkan dengan dengan jam kerja formal yang biasanya hanya sampai 40
jam per minggu. Rata-rata jam kerja per minggu untuk usaha mikro non-KUR
lebih lama yaitu 61,33 jam dibandingkan dengan usaha mikro yang menggunakan
KUR sebesar 58,15 jam per minggu. Rata-rata jam kerja usaha mikro ini bisa
bertambah lama, jika diakumulasikan dengan pekerjaan sampingan yang mereka
kerjakan. Dari total 332 usaha mikro dalam penelitian ini, sekitar 26,51 persen
memiliki pekerjaan sampingan. Semakin lama jam kerja bisa menunjukkan
semakin tinggi pendapatan yang akan diperoleh, namun bisa juga menunjukkan
ketidak efisiensinya suatu usaha.

Tabel 5.4 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro di Pati
Deskripsi Non-KUR KUR (N2=155 ) Total Responden
(N1=177) (N3=332)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Sosial ekonomi;
Tenaga kerja 71 40,11 138 89,03 209 62,95
(orang)
Tenaga kerja 36 20,34 78 50,32 114 34,34
yang dibayar
Rata-rata lama 9,08 5,47 7,4
usaha (th)
Rata-rata jam 61,33 58,15 59,85
kerja/mgg
Jenis Usaha:
Dagang/retail 130 73,45 70 45,16 200 60,24
Produksi 23 12,99 26 16,77 49 14,76
Jasa 16 9,04 30 19,36 46 13,86
Peternakan 5 2,83 12 7,74 17 5,12
Perikanan 3 1,69 12 7,74 15 4,52
Pertanian 0 0,0 5 3,23 5 1,50
Jarak:
Jarak ke pasar 4,83 4,27 4,58
kec. (km)
Jarak ke bank 4,23 4,23 4,23
(km)
Produk di
pasarkan:
54

Deskripsi Non- KUR Total


KUR (N2=155 ) Responden
(N1=177) (N3=332)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Di pasar 28 15,82 23 14,84 51 15,36
Keliling 9 5,08 11 7,10 20 6,02
Hambatan
usaha:
Modal 65 36,72 102 65,81 167 50,30
Pemasaran 112 63,28 53 34,19 165 49,70
Rata-rata modal 2.163.41 3.748.19 2.903.304
kerja 2 4
(Rp)/minggu
Kepemilikan
rekening bank:
Ya 42 23,73 89 57,42 131 39,46
Tidak 135 76,27 66 42,58 201 60,54
Pekerjaan
sampingan
Ya 48 27,12 40 25,81 88 26,51
Tidak 129 72,88 115 74,19 244 73,49
Pasangan kerja
Ya 99 55,93 80 51,61 179 53,92
Tidak 78 44,07 75 48,39 153 46,08
Pinjaman selain
KUR
Ya 73 41,24 38 24,52 111 33,43
Tidak 104 58,76 117 75,48 221 66,57

Jenis usaha yang banyak ditekuni oleh rumah tangga usaha mikro adalah
perdagangan atau ritel mencapai 60,24 persen. Dalam penelitian ini, usaha yang
dimaksud dalam sektor ini adalah usaha informal seperti warung kebutuhan
sehari-hari, warung bakso, mie ayam dan jenis-jenis usaha lainnya yang umum di
pedesaan. Usaha-usaha tersebut memiliki karakteristik barrier to entry yang
rendah, bahkan bisa diabaikan dengan tingkat pengembalian modal kerja sampai
70 persen (Grimm et al. 2011). Sehingga banyak orang baik dengan pendidikan
tinggi maupun rendah dengan mudah untuk memasuki usaha ini. Untuk usaha
mikro yang pinjam KUR, jenis usaha terbanyak juga sektor perdagangan dan ritel
(45,16 persen) diikuti jasa (19,36 persen), sektor pengolahan (16,77 persen),
peternakan dan perikanan masing-masing 7,74 persen. Sebaran jenis usaha
memiliki proporsi yang seiring dengan masing masing kecamatan yaitu di
Kecamatan Margorejo dan Kecamatan Dukuhseti, dimana sektor ritel
mendominasi pinjaman KUR seperti terlihat di tabel 5.5 dan 5.6.
Di tabel 5.5 terlihat bahwa di Kecamatan Margorejo, jenis usaha mikro
terbanyak baik yang menggunakan KUR maupun tidak menggunakan KUR
adalah dagang. Hambatan terbanyak yang dihadapi oleh usaha mikro tanpa
menggunakan KUR adalah hambatan pemasaran, sedangkann yang menggunakan
55

KUR banyak yang mengalami hambatan modal. Secara keseluruhan hambatan


yang dihadapi terbanyak adalah hambatan pemasaran.

Tabel 5.5 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro di Kec.
Margorejo
Deskripsi Non-KUR (N1=107) KUR (N2=69 ) Total Responden
(N3=176)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Jenis Usaha:
Dagang/retail 86 80,37 45 65,22 131 74,43
Produksi 11 10,28 9 13,04 20 11,36
Jasa 6 5,61 8 11,59 14 7,95
Peternakan 2 1,87 3 4,35 5 2,84
Perikanan 2 1,87 1 1,45 3 1,70
Pertanian 0 0,0 3 4,35 3 1,70
Hambatan usaha:
Modal 44 41,12 40 57,97 84 47,73
Pemasaran 63 58,88 29 42,03 92 52,27
Rata-rata modal 2.323.430 3.936.594 3.130.012
kerja (Rp)/minggu 412
Kepemilikan
rekening bank:
Ya 23 21,50 36 52,17 59 33,52
Tidak 84 78,50 33 47,82 117 66,48
Pekerjaan
sampingan
Ya 30 28,04 21 30,43 51 28,98
Tidak 77 71,96 48 69,59 125 71,02
Pasangan kerja
Ya 60 56,07 29 42,03 89 50,57
Tidak 47 43,93 40 57,97 87 49,43
Pinjaman selain
KUR
Ya 48 44,86 54 78,26 102 57,95
Tidak 59 55,14 15 21,74 74 42,05

Pola karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro di Kecamatan


Dukuhseti sedikit berbeda dengan yang berada di Kecamatan Margorejo (tabel
5.6). Jenis usaha baik yang menggunakan KUR maupun tanpa KUR didominasi
oleh dagang/ritel. Namun usaha terbanyak kedua untuk usaha mikro tanpa KUR
adalah produksi, sedangkan yang menggunakan KUR terbanyak kedua adalah
sektor jasa. Secara keseluruhan, hambatan terbanyak yang dihadapi oleh usaha
mikro di Kecamatan Dukuhseti adalah masalah modal sebanyak 59,62 persen.
Berdasarkan hasil penelitian, tampaknya usaha pertanian hanya memiliki
porsi yang terendah untuk mendapatkan pinjaman KUR. Pertanian dianggap
kegiatan ekonomi dengan resiko yang tinggi di negara berkembang. Pemberi
pinjaman formal menghindari pembiayaan pertanian untuk sejumlah alasan
seperti; transaction cost yang tinggi, asimetri informasi, persepsi keuntungan
yang rendah, kurangnya jaminan, rendahnya pendidikan maupun rendah dalam
melek keuangan. Tetapi secara umum, bank-bank tidak mau membiayai pertanian
karena tingkat produksi yang fluktuatif dan resiko harga yang tidak terkontrol
dalam sektor tersebut (Wenner, 2010). Penelitian yang dilakukan Togba (2012) di
56

Cote dIvoire juga menjelaskan secara statistik bahwa pembiayaan mikro terbesar
bukan sektor pertanian tetapi sektor perdagangan sekitar 30 persen. Gambar 5.1
menunjukkan sebaran jenis usaha mikro baik pinjam KUR maupun tidak.

Tabel 5.6 Karakteristik sosial ekonomi RT usaha mikro di Kec. Dukuhseti


Deskripsi Non-KUR (N1=70) KUR (N2=86 ) Total Responden
(N3=156)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Jenis Usaha:
Dagang/retail 44 62,86 25 29,07 69 44,23
Produksi 12 17,14 17 19,77 29 18,59
Jasa 10 14,29 22 25,58 32 20,51
Peternakan 3 4,29 9 10,47 12 7,69
Perikanan 1 1,43 11 12,79 12 7,69
Pertanian 0 0,0 2 2,33 2 1,28
Hambatan usaha:
Modal 30 42,86 63 73,26 93 59,62
Pemasaran 40 57,14 23 26,74 63 40,38
Rata-rata modal 1.918.857 3.597.035 2.757.946
kerja (Rp)/minggu
Kepemilikan
rekening bank:
Ya 19 27,14 53 61,63 72 46,15
Tidak 51 72,86 33 38,37 84 53,85
Pekerjaan
sampingan
Ya 18 25,71 19 22,09 37 23,72
Tidak 52 74,29 67 77,91 119 76,28
Pasangan kerja
Ya 39 55,71 40 46,51 79 50,64
Tidak 31 44,29 46 53,49 77 49,36
Pinjaman selain
KUR
Ya 25 35,71 23 26,74 48 30,77
Tidak 45 64,29 63 73,26 108 69,23

Pada tabel 5.4 di atas rata-rata lokasi usaha atau rumah tangga usaha mikro
berjarak 4,58 kilometer (km) dari pasar kecamatan. Lokasi usaha mikro yang
meminjam KUR rata-rata memiliki jarak 4,27 km dari pasar kecamatan. Jarak ini
lebih dekat dibandingkan dengan rata-rata lokasi usaha mikro non-KUR sekitar
4,83 km. Sedangkan rata-rata jarak lokasi usaha mikro dengan lokasi bank, baik
yang meminjam KUR maupun non-KUR adalah 4,23 km. Berdasarkan data
penelitian, sebagian besar produk dipasarkan di rumah atau di tempat usaha,
keliling dan pasar (termasuk toko/warung/bengkel yang berada di luar rumah).
Baik rumah tangga usaha mikro yang meminjam KUR maupun bukan KUR
tempat produk dipasarkan di rumah hampir 80 persen. Terbanyak kedua, produk
dipasarkan di pasar/toko/warung/bengkel sekitar 15 persen, dan sisanya pelaku
usaha mikro memasarkan produknya dengan cara keliling.
57

Micro Business (MB) Sector

80

70

60

50
Non-KUR
40
KUR
30 Total MB

20

10

0
Trade/retail Production Service Farming Fishing Agricultural

Gambar 5.1 Sebaran sektor usaha mikro

Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian, banyak hambatan yang


dihadapi oleh usaha mikro selama ini. Namun, untuk menyederhanakan dalam
penelitian, hanya dikelompokkan menjadi dua yaitu hambatan modal dan
pemasaran. Beberapa resiko yang masuk dalam kategori hambatan modal seperti
resiko yang melekat pada jenis usaha itu sendiri misalnya gagal panen, matinya
ternak, maupun mesin rusak. Kelangkaan bahan baku maupun naiknya biaya
produksi juga sering dialami oleh usaha mikro. Dari data yang dikumpulkan
selama penelitian, hambatan lain yang dihadapi usaha mikro seperti barang usang,
tidak laku, skala ekonomi yang rendah, maupun kurang pelanggan. Hambatan-
hambatan tersebut, dimasukkan dalam kategori hambatan pemasaran. Berdasarkan
data yang sudah dirangkum dalam tabel 5.4, maka hambatan terbesar yang
dihadapi oleh usaha mikro non-KUR adalah hambatan pemasaran sekitar 63,28
persen. Sedangkan hambatan terbesar yang dihadapi oleh usaha mikro dengan
KUR biasanya berkaitan dengan hambatan modal yaitu sebesar 65,81 persen.
Secara keseluruhan menunjukkan bahwa hambatan usaha mikro yang dihadapi
adalah hambatan modal sekitar 50,3 persen dan sisanya adalah hambatan yang
berkaitan dengan pemasaran sebesar 49,7 persen.
Rata-rata kebutuhan modal kerja usaha mikro sekitar Rp 2,9 juta per minggu.
Untuk usaha mikro yang meminjam KUR, kebutuhan modalnya menunjukkan
jumlah yang lebih besar yaitu Rp 3,75 juta per minggu dibandingkan dengan
kebutuhan modal kerja usaha mikro non-KUR yaitu Rp 2,16 juta per minggu.
Semakin tinggi perputaran modal kerja maka diharapkan semakin tinggi
kemampuan usaha mikro untuk menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi
pendapatan diharapkan kemampuan usaha mikro untuk menabung dan
berinvestasi juga semakin tinggi. Untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga,
pasangan istri/suami biasanya juga bekerja. Rata-rata rumah tangga usaha mikro
yang pasangannya juga bekerja sebanyak 53,93 persen. Ini berarti suami-istri
58

lebih dari separuh rumah tangga usaha mikro bekerja. Dari total 332 unit usaha
mikro, ada sekitar 131 rumah tangga usaha mikro atau 39,46 persen yang
memiliki rekening di bank. Usaha mikro yang meminjam KUR lebih tinggi
tingkat kesadaran menabungnya di bank dibandingkan dengan rumah tangga
usaha mikro non-KUR. Dari total usaha mikro yang meminjam KUR, ada 51,61
persen yang memiliki rekening di bank, dan untuk usaha mikro non-KUR baru
23,73 persen. Dengan memiliki rekening di bank, maka rumah tangga usaha
mikro akan lebih mengenal atau melek keuangan karena akses terhadap produk
keuangan termasuk tawaran kredit lebih terbuka.
Sumber kredit tidak hanya dari bank saja, masih ada sumber lain seperti
koperasi, PNPM, saudara, tetangga maupun rentenir. Dari total usaha mikro dalam
penelitian, selain meminjam KUR, rumah tangga usaha mikro yang juga
meminjam dari sumber lain sebesar 33,43 persen. Peminjam KUR yang juga
meminjam dari sumber lain mencapai 38 rumah tangga atau 24,52 persen.
Sedangkan kelompok rumah tangga usaha non-KUR ysng memiliki sumber
pinjaman lainnya mencapai 41,24 persen.
Selain karakteristik demografi, sosial dan ekonomi, masih ada beberapa
variabel yang belum dibahas diatas, yang akan dikelompokkan ke dalam
karakteristik lain-lain yang ada di tabel 5.7. Dalam penelitian ini, penulis
memasukkan faktor persepsi dari rumah tangga usaha mikro untuk mengetahui
pendapat dari sisi rumah tangga usaha mikro. Persepsi, berarti pendapat subyektif
dari seseorang. Untuk objek yang sama, persepsi dua orang akan menjadi berbeda.
Namun, persepsi ini juga penting untuk mengetahui apa yang diharapkan dari
orang lain. Skim pengajuan atau persyaratan KUR dari sisi perbankan memang
sederhana, yaitu hanya kartu identitas (KTP), dan ada usaha. Begitu juga tingkat
suku bunga kredit untuk usaha mikro maksimal 12 persen per tahun. Ini jauh lebih
kecil dibandingkan dengan mereka meminjam rentenir. Namun demikian,
beberapa rumah tangga usaha mikro, dengan tingkat suku bunga yang sama akan
memiliki persepsi yang berbeda-beda pula.

Tabel 5.7 Karakteristik lain-lain rumah tangga usaha mikro


Deskripsi Non-KUR KUR (N2=155 ) Total Responden
(N1=177) (N3=332)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % N3
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2)
Persepsi
persyaratan kredit:
Berat 97 54,80 17 10,97 114 34,33
Sedang 71 40,11 76 49,03 147 44,28
Ringan 9 5,09 62 40,00 71 21,39
Persepsi tingkat
bunga:
Tinggi 97 54,80 0 0,00 97 29,22
Sedang 72 40,68 44 28,39 116 34,94
Rendah 8 4,52 111 71,61 119 35,84
59

Dari data tabel 5.7 di atas, persepsi terbanyak atau 44,28 persen dari rumah
tangga usaha mikro menganggap bahwa persyaratan untuk pengajuan KUR tidak
sulit, namun juga tidak gampang. Namun untuk rumah tangga usaha mikro yang
tidak meminjam KUR, menganggap bahwa persyaratan kredit di bank adalah
berat sekitar 54,8 persen. Persepsi subyektif mereka karena faktor ketidaktahuan
tentang program dan cara mengajukan, dengan kata lain kurang informasi sebesar
40,36 persen alasan rumah tangga tidak meminjam KUR (tabel 5.4). Untuk rumah
tangga usaha mikro yang meminjam KUR pun menganggap bahwa persyaratan
untuk mendapatkan pinjaman sekitar 49,63 persen menjawab sedang, dengan
alasan harus memiliki agunan. Namun untuk persepsi tingkat suku bunga, 71,61
persen nasabah KUR menjawab bahwa tingkat suku bunga KUR rendah. Untuk
tingkat suku bunga tinggi, tidak ada satu pun nasabah yang memiliki persepsi
tingkat suku bunga KUR tinggi. Sebaliknya, untuk rumah tangga usaha mikro non
KUR yang memiliki persepsi tingkat suku bunga tinggi sebesar 54,8 persen dan
persepsi tingkat suku bunga sedang 40,68 persen. Rumah tangga tersebut pun
karena tidak mengetahui dengan pasti program KUR yang sebenarnya. Sedangkan
yang menganggap tingkat suku bunga rendah adalah sebagian yang memang
mengetahui program KUR.
Dengan karakteristik-karakteristik yang sudah diuraikan di atas, belum
nampak alasan apa yang menjadikan rumah tangga usaha mikro meminjam KUR
atau tidak. Berdasarkan data yang dikumpulkan, ini menjelaskan bahwa dari total
332 unit rumah tangga usaha mikro tersebut, ada 166 unit rumah tangga atau 50
persen yang pernah mengajukan kredit. Dari jumlah ini, terdapat 134 units rumah
tangga (80,72 persen) yang permohonan dan jumlah kreditnya disetujui semua.
Kelompok ini berarti kredit tidak dibatasi secara kuantitas (non quantity rationed).
Sedangkan 21 unit rumah tangga usaha mikro (12,65 persen) disetujui, namun
tidak menerima semua kredit yang diajukan. Kelompok ini masuk sebagai
kategorikan kredit dengan sebagian kuantitasnya dibatasi (partially quantity
rationed). Pembatasan kredit oleh pihak bank tersebut, tanpa memberikan alasan
kepada nasabah. Sedangkan sisanya 11 unit rumah tangga usaha mikro atau 6,63
persen permohonannya ditolak oleh bank tanpa memberikan alasan. Kelompok
yang ditolak ini masuk sebagai kategori yang dibatasi kreditnya secara penuh
(fully quantity rationed). Dari 332 rumah tangga usaha mikro yang tidak pernah
mengajukan KUR ada 166 unit (50 persen). Dari total ini, terdapat 40 rumah
tangga (24,1 persen) memberikan alasan tidak membutuhkan modal tambahan
atau kredit. Kelompok ini tidak termasuk juga yang dibatasi kreditnya (non
quantity rationed). Tidak butuh kredit di sini (no need) bukan berarti rumah
tangga usaha mikro tersebut memiliki cukup modal untuk mengembangkan usaha,
namun karena alasan tidak mampu mengembangkan skala ekonomi atau
produksinya karena keterbatasan pelanggan yang dimiliki.
Alasan terbanyak tidak mengajukan KUR adalah alasan tidak tahu program
KUR karena kurangnya informasi yaitu sebanyak 67 unit (40,36 persen) rumah
tangga usaha mikro. Kelompok ini masuk yang fully quantity rationed. Sebagian
pernah mendengar tentang KUR, namun tidak tahu bagaimana proses untuk
mengajukan kredit tersebut. Alasan lain rumah tangga tidak mengajukan KUR
adalah rasa takut akan resiko kredit (risk averse) yaitu sekitar 56 units (33,73
persen) rumah tangga usaha mikro. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan,
memberikan persepsi bahwa persyaratan, tingkat suku bunga dan jaminan yang
60

besar untuk mendapatkan kredit bank. Termasuk juga kategori takut yaitu kuatir
jika tidak bisa membayar, maka rumah atau sawah akan langsung disita. Beberapa
rumah tangga juga memberikan alasan takut bank adalah berkaitan dengan
ketidaknyamanan diri memiliki hutang. Terakhir, terdapat 3 rumah tangga usaha
mikro yang tidak mengajukan kredit karena merasa diri tidak memiliki jaminan
apapun, sehingga dirinya yakin kalau mengajukan pun juga ditolak (subjective
self-selected out). Dua terakhir alasan tidak mengajukan kredit termasuk dalam
kelompok fully quantity credit-rationed.
Dari uraian diatas maka jumlah kelompok yang kredit tidak dibatasi (non
quantity credit-rationed) adalah 174 (=134 dan 40 unit) rumah tangga mikro atau
52,41 persen dan partially quantity credit-rationed 21 unit (6,33 persen) begitu
juga fully quantity rationed 137 (=11,67,56 dan 3 unit) atau 41,26 persen.
Penelitian lain tentang credit rationed juga dilakukan oleh (Dufhues and
Buchenrieder, 2005; Fletschner, 2008; Mohamed and Temu 2009; Shoji et al.
2012; Helsen and Chmelar 2014). Shoji mengklasifikasikan sebagai credit
constrained (15,9 persen) dan credit unconstrained (84,1 persen) untuk akses
kredit. Berdasarkan data Household Finance and Consumption Survey (HFCS),
Helsen dan Chmelar menulis bahwa 8,1 persen rumah tangga orang Eropa dibatasi
kredit dan 5-7 persen tidak mengajukan kredit karena beranggapan akan ditolak.

Tabel 5.8 Pengajuan kredit rumah tangga usaha mikro


Total rumah tangga usaha Tidak mengajukan KUR Mengajukan KUR
mikro N = 332 (N1=166) (N2=166)
Jumlah % dari N1 Jumlah % dari N2
Jumlah Pengajuan diterima 134 80,72
semua
Jumlah Pengajuan ditolak 21 12,65
sebagian
Jumlah pengajuan ditolak 11 6,63
semua
Alasan tidak mengajukan
KUR;
Tidak tahu program/proses 67 40,36
pengajuan
Tidak butuh 40 24,10
Takut 56 33,73
Apriori dengan bank 3 1,81

5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses KUR

Estimasi model regresi logit dalam menentukan faktor-faktor utama rumah


tangga usaha mikro untuk mengakses KUR tersaji di tabel 5.9. Berdasarkan
likehood ratio (LR) 105.68 dengan degree of fredoom 14 atau dengan p-value
0,000 jauh dibawah tingkat signifikansi ( = 5 persen) maka dapat disimpulkan
bahwa model regresi logistik diatas secara keseluruhan dapat menjelaskan atau
memprediksi keputusan rumah tangga usaha mikro untuk meminjam KUR.
Selanjutnya, untuk menguji faktor mana yang berpengaruh nyata terhadap
keputusan rumah tangga usaha mikro meminjam KUR berdasarkan p-value ( = 1
persen) maka diketahui bahwa variabel-variabel yang memberikan arah positif
61

yang signifikan adalah jenis kelamin, hambatan usaha yang dihadapi (business
barrier) dan kepemilikan rekening bank. Sedangkan yang memberikan arah
negatif signifikan pada tingkat kepercayaan 1 persen adalah sumber pinjaman lain.
Lama usaha memberikan arah negatif signifikan pada tingkat kepercayaan 5
persen.

Tabel 5.9 Faktor-faktor yang mendorong akses KUR


KUR Odd ratio Koefisien P>Z
Jenis kelamin 2,4 0.877 0,004***
Usia 0,99 -0,003 0,858
Status perkawinan 1,98 0,684 0,252
Pendidikan 0,83 -0,184 0,272
Jumlah tanggungan 0,98 -0,017 0,887
Jenis usaha 1,32 0,284 0,063
Lama usaha 0,933 -0,069 0,017**
Jarak ke bank 0,982 -0,017 0,663
Jumlah jam kerja 0,998 -0,001 0,812
Hambatan usaha 2,06 0,726 0,013***
Rekening bank 3,05 1,116 0,000***
Pekerjaan sampingan 0,675 -0,393 0,225
Pasangan bekerja 1,24 0,219 0,458
Sumber pinjaman lain 0,34 -1,061 0,000***
Const 0,365 -1,006 0,387
2
Jumlah observasi : 332, LR Chi (14) : 105,68, Prob>Chi2 : 0,000
Log likehood : -176,05, Pseduo R2 : 0,2303
***signifikan 1%, ** signifikan 5%

Jenis Kelamin. Jenis kelamin yaitu mewakili pria dan wanita menunjukkan
sangat signifikan mempengaruhi rumah tangga usaha mikro untuk meminjam
KUR. Pria memiliki peluang 2,4 kali lebih untuk mengakses KUR dibandingkan
dengan wanita. Hasil ini sejalan dengan penelitian (Mpuga 2008; Messah and
Wangai 2011; Ololade et al. 2013). Ololade menyebutkan bahwa wanita
mengurangi peluang untuk akses kredit sebesar 71,3 persen. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tujuan dari keuangan inklusi dan pemberdayaan perempuan
tampaknya belum menjadi prioritas di Indonesia. Kredit formal tampaknya belum
menjadikan perempuan sebagai target program untuk meningkatkan pendapatan
usaha mikro mendampingi program-program pemberdayaan perempuan lainnya.
Perempuan kurang memiliki aset yang bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan
kredit formal. Hal ini berkaitan dengan property right yang biasanya banyak
dikuasai oleh pria pada rumah tangga usaha mikro. Faktor pendidikan dan literasi
keuangan juga mempengaruhi wanita untuk akses ke kredit formal. Mayoritas
pendidikan wanita dalam penelitian ini hanya lulusan sekolah dasar mencapai
47,33 persen. Roomi & parrott (2008) mengidentifikasikan bahwa wanita kurang
memiliki akses modal, tehnologi dan kuatnya dominasi laki-laki di lingkungan
masyarakat yang patriliniel (patriarchal society) yang cenderung mempengaruhi
keputusan investasi (Akpalu et al. 2012). Menurut Okoji et al. (2010) wanita
62

tidak bisa akses ke formal bank karena tidak memiliki rekening tabungan, jaminan
dan tidak mengetahui prosedur pengajuan kredit. Berbeda dengan akses kredit ke
lembaga kredit informal yang biasanya didominasi oleh nasabah wanita (Syukur
2002). Dari total 332 rumah tangga dalam penelitian ini, lebih dari 45 persen
usaha mikro dikelola oleh wanita. Namun, hanya sekitar 10,2 persen yang
mengakses KUR.
Hambatan usaha (business barrier). Dalam penelitian ini secara garis
besarnya dibagi dua yaitu hambatan yang berkaitan dengan modal dan hambatan
yang berkaitan dengan pemasaran. Faktor ini sangat signifikan dan menjelaskan
bahwa usaha mikro yang menghadapi hambatan modal memiliki peluang 2,06 kali
lebih besar untuk mengakses KUR dibandingkan dengan usaha mikro yang
mengalami kesulitan pemasaran. Usaha mikro yang mengalami hambatan modal,
biasanya ketika masalah modal teratasi, maka peluang usaha untuk berkembang
lebih besar. Namun jika masalah pemasaran, karena keterbatasan pelanggan yang
dimiliki maka tanpa ada kemampuan untuk menarik pelanggan lebih banyak maka
akan lebih sulit berkembang.
Rekening bank. Kepemilikan rekening di bank merupakan faktor yang
sangat signifikan untuk mengakses KUR. Usaha mikro yang memiliki rekening di
bank akan memiliki peluang 3,05 kali lebih besar untuk mengakses KUR daripada
yang tidak memiliki rekening. Dengan memiliki rekening di bank, akses informasi
produk tabungan maupun kredit akan lebih cepat diperoleh karena interaksi
langsung dengan pegawai bank. Data menunjukkan bahwa alasan terbanyak 40,36
persen usaha mikro tidak mengakses KUR karena tidak tahu program KUR, yang
berarti informasi yang tidak sampai kepada mereka. Sejalan dengan penelitian
Okojie et al. (2010) salah satu faktor yang menyebabkan wanita tidak mengakses
kredit mikro karena kebanyakan wanita tidak punya rekening bank. Namun, hasil
ini berlawanan dengan (Li et al. 2011; Khoi et al. 2013) yang memberikan alasan
bahwa rumah tangga yang memiliki tabungan di bank akan mampu memenuhi
kebutuhan modalnya dengan memanfaatkan tabungan yang ada, sehingga tidak
memerlukan pinjaman dari bank. Masyarakat juga terkadang kurang bisa
mengakses informasi tentang bagaimana dan kredit apa yang ada yang bisa
mereka gunakan (Mel et al. 2011). Ketika rumah tangga miskin atau pun pelaku
usaha mikro memiliki akses kredit, hasil penelitian dari nasabah Grameen bank
menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi untuk
menggunakan dana tersebut sehingga mampu memberikan dampak yang nyata
seperti peningkatan ekonomi yang signifikan.
Lama usaha. Lamanya usaha mikro merupakan faktor yang signifikan
dalam mengakses KUR. Dengan tingkat signifikansi 5% dapat disimpulkan bahwa
semakin lama usaha berjalan, maka maka kecenderungan usaha mikro tersebut
untuk mengakses KUR sebesar 0.93 kali. Dengan kata lain, semakin lama usaha
berdiri maka peluang untuk tidak mengakses kredit sebesar 1,07 kali dibanding
dengan usaha yang baru berdiri. Semakin lama usaha berjalan, maka semakin
besar kemampuan usaha mikro untuk mengumpulkan modal, aset, maupun
keuntungan. Sehingga kemandirian usaha semakin tinggi dibandingkan dengan
usaha mikro yang baru berdiri masih sering mengalami kesulitan modal.
Sumber pinjaman lain. Terdapat beberapa sumber pembiayaan yang ada
desa seperti program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), koperasi,
Baitul Mal Wattamwil (BMT), tetangga, saudara maupun rentenir. Dari estimasi
63

hasil logit, sumber pembiayaan lain signifikan mempengaruhi keputusan rumah


tangga usaha mikro untuk tidak mengakses KUR. Usaha mikro yang memiliki
sumber pinjaman selain KUR, maka kemungkinan usaha mikro untuk meminjam
KUR sebesar 0,34 kali dibandingkan dengan usaha mikro yang tidak memiliki
sumber pinjaman lain. Dengan kata lain, usaha mikro yang tidak memiliki sumber
pinjaman lain, memiliki peluang untuk mengakses KUR sebesar 2,9 kali
dibandingkan dengan usaha mikro yang memiliki sumber lain. Usaha mikro yang
sudah memiliki hutang dari sumber informal lain, dan sudah terpenuhi kebutuhan
modalnya maka tidak akan meminjam ke lembaga formal yang dianggapnya
persyaratannya kurang fleksibel.
Dari hasil logit yang diperoleh dalam penelitian ini, faktor usia tidak
mempengaruhi secara signifikan usaha mikro untuk mengakses KUR.
Tampaknya usia tidak menjadi pertimbangan juga dari pihak penyedia kredit,
sepanjang usia tersebut masih dalam rentang usia produktif. Hasil penelitian ini
berkebalikan dari hasil penelitian (Chau et al. 2012; Khoi et al. 2013) yang
menyimpulkan bahwa semakin tua usia kepala keluarga maka semakin besar
akses kredit karena memiliki jaringan yang lebih luas. Khoi memproksikan usia
sebagai level akuntabilitas dan komitmen dalam membayar kembali pinjamannya.
Semakin tua usianya semakin sejahtera. Jarak lokasi usaha ke bank juga tidak
mempengaruhi usaha mikro untuk mengakses KUR. Jarak dekat maupun jauh
untuk daerah penelitian di sini kurang signifikan karena tersedianya infrastruktur
jalan dan fasilitas kendaraan yang sudah merata. Semua usaha mikro memiliki
kondisi yang hampir homogen di daerah penelitian. Hal ini berkebalikan dengan
hasil penelitian (Quoc 2012; Vitor and Abankwah 2012) yang menemukan jarak
atau lokasi merupakan faktor yang sangat menentukan. Semakin dekat lokasi
usaha rumah tangga akan meningkatkan akses ke kredit formal.

6 PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN KREDIT USAHA


RAKYAT

6.1 Karakterisik Rumah Tangga Usaha Mikro

Dalam penelitian ini, variabel dependen merupakan biner antara rumah


tangga usaha mikro yang pembayaran kembali pinjaman KUR baik atau lancar,
dengan rumah tangga usaha mikro yang mengalami kesulitan dalam pembayaran
kredit atau terlambat. Pembayaran baik atau lancar berarti tidak pernah mengalami
keterlambatan atau tidak terlambat lebih dari dua kali selama masa pelunasan.
Pembayaran yang dikategorikan terlambat jika sering mengalami keterlambatan
atau lebih dari dua kali. Ini merujuk pada variabel dependent dalam penelitian
(Mokhtar et al. 2012) yang mengelompokkan pembayaran yang buruk jika
keterlambatan lebih dari 4 kali. Total jumlah responden sebanyak 155 usaha
mikro, yang pembayaran pinjaman KUR lancar sebanyak 134 unit atau 86,45
persen dan sisanya sebanyak 21 unit atau 13,55 persen rumah tangga usaha mikro
yang mengalami kesulitan. Perempuan memiliki tingkat keterlambatan sebanyak
14,29 persen. Karakteristik peminjam usaha mikro berada di tabel 6.1.
64

Tabel 6.1 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro


Deskripsi Pembayaran Pembayaran lancar Total responden
terlambat (N2=134 ) (N3=155)
(N1=21)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total %
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Demografi;
Jenis kelamin
Laki-laki 18 85,71 103 76,87 121 78,07
Perempuan 3 14,29 31 23,13 34 21,93
Usia
23 37 th 4 19,05 64 47,76 68 43,87
38 52 th 15 71,43 60 44,78 75 48,39
53 67 th 2 9,52 10 7,46 12 7,74
Pendidikan
SD 8 38,10 38 28,36 46 29,68
SMP 8 38,10 38 28,36 46 29,68
SMA 4 19,04 54 40,30 58 37,42
D3 atau S1 1 4,76 4 2,98 5 3,22

Usia dikelompokkan menjadi 3, proporsi terbanyak antara usia 38-52 tahun


sebanyak 48,39 persen dan antara usia 23-37 tahun sebanyak 43,87 persen. Yang
mengalami keterlambatan untuk rentang usia 38-52 tahun proporsi jauh lebih
besar yaitu sekitar 71,43 persen. Pendidikan yang terbanyak dengan proporsi yang
sama adalah lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Lulusan
pendidikan tinggi yang menggunakan KUR untuk usahanya hanya 5 orang atau
3,22 persen. Dari 5 orang tersebut yang mengalami kesulitan pembayaran 1 orang
atau 20 persen yang berarti prosentase kegagalan paling besar dari keseluruhan
responden. Karakteristik peminjam berkaitan dengan ekonomi ditampilkan dalam
tabel 6.2 berikut.

Tabel 6.2 Karakteristik ekonomi peminjam KUR


Diskripsi Pembayaran terlambat Pembayaran lancar Total responden (N3=155)
(N1=21) (N2=134 )
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Kerja sampingan
Ya 2 9,52 38 28,36 40 25,81
Tidak 19 90,48 96 71,64 115 74,19
Pasangan kerja
Ya 11 52,8 65 48,51 76 49,03
Tidak 10 47,62 69 51,49 79 50,97
Jumlah tanggungan
<3 16 76,19 101 75,37 117 75,48
>= 3 5 23,81 33 24,63 38 24,52
Pengeluaran
makanan
<= Rp 1,5 juta 19 90,48 122 91,04 141 90,97
>= Rp 1,5 juta 2 9,52 12 8,96 14 9,03
Pengeluaran non
makanan
<= Rp 2,5 juta 20 95,24 129 96,.27 149 96,13
65

>= Rp 2,5 juta 1 4,76 5 3,73 6 3,87


Banyak nasabah KUR yang memiliki kerja sambilan sekitar 25 persen.
Sedangkan yang pasangannya bekerja hampir 50 persen. Jumlah tanggungan
adalah jumlah anak yang masih bergantung kepada orang tuanya. Dalam
penelitian ini, sebagian besar jumlah tanggungan yang dimiliki oleh usaha mikro
kurang dari 3 orang yaitu lebih dari 75 persen. ini berarti banyak usaha mikro
yang sudah mengikuti progrm keluarga berncana.
Karakteristik usaha dipaparkan di tabel 6.3. Jarak adalah seberapa jauh
antara lokasi usaha dengan bank. Rata-rata jarak seluruh responden dari tempat
usaha ke lokasi sekitar 4 km, namun untuk kelompok yang mengalami kesulitan
pembayaran kembali, rata-rata jaraknya sekitar 6 km. Rata-rata lama usaha yang
mengalami kesulitan pembayaran adalah 6 tahun, lebih lama dari usaha mikro
yang pembayaran pinjaman bagus rata-rata lama usaha 5 tahun.

Tabel 6.3 Karakteristik usaha rumah tangga mikro


Deskripsi Pembayaran terlambat Pembayaran lancar Semua responden
(N1=21) (N2=134 ) (N3=155)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % to N3
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2)
Rata-rata jarak 6 4 4
(km)
Rata-rata lama 6 5 5
usaha (th)
Jenis usaha;
Ritel/dagang 4 19,05 66 49,25 70 45,16
Service/jasa 3 14,29 27 20,15 30 19,36
Pengolahan 6 28,57 20 14,93 26 16,77
Lainnya 8 38,09 21 15,67 29 18,71
Hambatan usaha;
Modal 15 71,43 88 65,67 103 66,45
Pemasaran 6 28,57 46 34,33 52 33,55
Rata-rata penjualan 5,32 juta 4,41 juta 4,54 juta
per minggu (Rp)
Rata-rata modal 4,57 juta 3,61 juta 3,74 juta
kerja/minggu (Rp)
Frekwensi KUR
Sekali 9 42,86 88 65,67 97 62,58
Lebih sekali 12 57,14 46 34,33 58 37,42
Pengalihan kredit
Ya 8 38,10 19 14,18 27 17,42
Tidak 13 61,90 115 85,82 128 82,58
Sumber pinjaman
lain
Ya 12 57,14 27 20,15 39 25,16
Tidak 9 42,86 107 79,85 116 74,84
Ingin mendapat
pinjaman bank lagi
Ya 17 80,95 75 55,97 92 59,35
Tidak 4 19,05 59 44,03 63 40,65

Secara keseluruhan, jenis usaha yang ditekuni oleh peminjam KUR adalah
ritel/dagang yang biasanya berjualan kebutuhan sehari-hari, mie dan bakso,
warung dan kios-kios baik yang ada di pasar maupun bertempat usaha di rumah.
Jenis usaha jasa meliputi bengkel, salon, catering dan jasa lainnya. Untuk jenis
66

usaha yang masuk kategori lainnya adalah pertanian, peternakan, dan perikanan.
Jenis usaha tersebut terbanyak yang mengalami kesulitan pembayaran pinjaman
kembali.
Lebih dari 65 persen hambatan usaha yang dihadapi oleh usaha mikro
adalah karena masalah modal. Termasuk didalamnya adalah mesin sering rusak,
sulitnya bahan baku, maupun gagal panen. Sedangkan masalah pemasaran yang
dihadapi meliputi terbatasnya skala ekonomi, atau kemampuan usaha mikro untuk
memperluas atau meningkatkan produksi, begitu juga kurangnya pelanggan.
Rata-rata perputaran penjualan usaha mikro setiap minggunya berkisar
antara Rp 4,54 juta dan rata-rata modal kerja sebesar Rp 3,74. Dari total penerima
KUR usaha mikro, 62,58 persen menerima KUR untuk pertama kalinya. Sisanya
sebesar 37,42 persen menerima KUR lebih sekali atau melakukan suplesi. Suplesi
tersebut bisa dilakukan, sepanjang sisa pinjaman dan pinjaman baru tidak
melebihi Rp 20 juta. Tujuan dari KUR adalah untuk modal kerja atau modal
investasi, namun tidak semua peminjam KUR benar-benar digunakan untuk
tujuan tersebut. Sekitar 17,42 persen, peminjam KUR mengalihkan kreditnya
untuk kepentingan yang tidak menghasilkan keuntungan, seperti membayar uang
sekolah, kebutuhan sehari-hari, maupun membayar cicilan motor. Rumah tangga
usaha mikro sebagian tidak mengandalkan hanya KUR saja, tapi sumber pinjaman
lain seperti koperasi, program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM),
tetangga, keluarga, rentenir dan sebagainya. Tercatat 25,16 persen usaha mikro
nasabah KUR memiliki sumber pinjaman lain. Dari pengguna KUR, ditanyakan
apakah memiliki keinginan untuk mendapatkan pinjaman lagi dari bank untuk
mendukung usahanya, sekitar 59,35 persen atau lebih separuhnya menjawab ingin
mendapat pinjaman bank lagi.
Karakteristik pinjaman dalam penelitian ini bisa juga dimaksudkan sebagai
karakteristik kelembagaannya, karena karakteristik yang melekat pada faktor-
faktor berikut mewakili karakteristik pinjaman sekaligus karakteristik
kelembagaannya. Faktor-faktor tersebut dilihat dari jenis jaminan yang diserahkan
ke bank, lama proses pengajuan sampai dinyatakan diterima atau ditolak, apakah
pinjaman disetujui semua apa sebagian begitu pula periode atau lama angsuran
pinjaman sampai lunas. Karakteristik-karakteristik ini bisa dilihat di tabel 6.4.

Tabel 6.4 Karakteristik pinjaman KUR


Deskripsi Pembayaran Pembayaran Total responden
terlambat (N1=21) lancar (N2=134 ) (N3=155)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Jaminan;
1 = tidak ada 3 14,29 4 2,98 7 4,5
2 = BPKB motor 3 14,29 64 47,76 67 43,23
3 = lainnya 15 71,43 66 49,25 81 52,29
Lama proses (hari) 13,57 10,85 11,22
Jumlah yang
disetujui;
Semua 13 61,90 121 90,30 134 86,45
Sebagian 8 38,10 13 9,70 21 13,55
Rata-rata lama 20,76 20,60 20,62
angsuran (bulan)
67

Karena asimetrik informasi tentang calon nasabah, maka bank mengenakan


syarat jaminan yang dimiliki oleh nasabah. Besarnya jaminan akan menentukan
besarnya pinjaman yang akan diberikan. KUR mikro merupakan pinjaman tanpa
jaminan. Namun kenyataan, bank tetap mensyaratkan jaminan. Meski demikian
dari total nasabah KUR, ada sekitar 4,5 persen KUR mikro tidak melampirkan
jaminan. Sekitar 43,23 persen dikenakan jaminan sepeda motor. Sisanya yang
terbanyak 52,29 persen lain-lain seperti BPKB mobil maupun sertifikat. Selama
proses pengajuan kredit sekitar 11,22 hari (termasuk weekend) waktu yang
dibutuhkan untuk dana tersebut cair. Normatifnya jika persyaratan terpenuhi maka
3 sampai 5 hari kerja maka dana akan cair. Sebagai nasabah maka ada kewajiban
untuk membuka rekening di bank tersebut sebagai sarana untuk mencairkan dana.
Tidak semua pengajuan kredit tersebut disetujui, ada sekitar 86,45 persen yang
semua pengajuan kreditnya disetujui, sisanya 13,55 persen hanya menerima
sebagian dari yang diminta. Persetujuan tersebut merupakan bagian dari peer-
screening lembaga keuangan kepada calon nasabahnya dengan membatasi
kreditnya. Rata-rata lama angsuran adalah 20,6 bulan yang berarti kurang dari dua
tahun.

6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembalian KUR

Faktor-faktor yang menentukan pembayaran kembali pinjaman KUR


diestimasikan secara statistik ditabel 6.5. likehood ratio (LR) 57,78 dengan
degree of freedom 22 atau dengan p-value 0,0000 jauh dibawah tingkat
signifikansi ( = 5%) maka dapat disimpulkan bahwa model regresi logistik
berikut secara keseluruhan dapat menjelaskan atau memprediksi keputusan rumah
tangga usaha mikro untuk membayar kembali pinjaman KUR.

Tabel 6.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran kembali KUR


Lancar/terlambat Odd ratio Z P>Z
Jenis kelamin 1,077 -0,05 0,957
Usia 0,923 -1,49 0,137
Pendidikan 0,837 -0,40 0,686
Jarak 0,808 -1,93 0,053**
Jenis usaha_dagang 4,133 1,02 0,308
Jenis usaha_jasa 0,791 -0,18 0,854
Jenis usaha_produksi 0,087 -1,88 0,061*
Lama usaha 1,043 0,50 0,616
Hambatan usaha 0,398 -0,81 0,420
Besarnya pinjaman_1 0,467 -1,00 0,315
Penjualan 1,000 2,42 0,016
Modal kerja 0,999 -2,43 0,015***
Pengeluaran makanan 0,999 -1.96 0,051**
Pekerjaan sampingan 36,63 2,58 0,010***
Pasangan bekerja 2,949 1,23 0,219
Sumber pinjaman lain 0,224 -1,78 0,075*
Jumlah tanggungan 1,609 1,08 0,279
Jaminan_tidak ada 0,065 -1,74 0,081*
Jaminan_BPKB 5,111 1,52 0,097*
68

Lancar/terlambat Odd ratio Z P>Z


Kredit tidak dibatasi 6,910 1,96 0,050**
Pengalihan kredit 0,387 -1,09 0,278
Periode angsuran 0,955 -0,77 0,440
Jumlah observasi : 155, LR Chi2 (21) : 57,78, Prob>Chi2 : 0,000
Log likehood : -33.1141, Pseduo R2 : 0,4699
***signifikan 1%, ** signifikan 5%

Dengan melihat nilai-p ( = 1 persen) dari hasil estimasi logit di atas kita
dapat mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi secara positif terhadap
pembayaran kembali pinjaman KUR usaha mikro dengan tingkat kepercayaan 99
persen adalah usaha mikro memiliki pekerjaan sampingan. Sedangkan modal
kerja mempengaruhi secara negatif. Pengeluaran makanan mempengaruhi secara
negatif pembayaran kembali KUR dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Jenis
usaha produksi atau pengolahan, sumber pinjaman lain, tidak memiliki agunan
mempengaruhi secara negatif pembayaran kembali KUR dengan nilai-p ( = 10
persen). Jaminan BPKB motor dan pengajuan kredit disetujui semua (tidak
dibatasil) berpengaruh secara positif terhadap pembayaran kembali KUR dengan
nilai-p ( = 10 persen dan 5 persen).
Jenis usaha pengolahan/produksi dan modal kerja. Jenis lapangan usaha
dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 4, yaitu ritel, jasa, pengolahan, dan
pertanian yang didalamnya termasuk peternakan dan perikanan. Jenis usaha
pengolahan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap pembayaran kembali
pinjaman dengan lancar. Peluang usaha pengolahan untuk membayar kembali
pinjaman dengan lancar sebesar 0,087 kali dibandingkan dengan jenis usaha
lainnya. Dengan kata lain, jenis usaha pengolahan memiliki peluang untuk
membayar terlambat sebesar 11,56 kali dibandingkan dengan jenis usaha lain.
Jenis usaha pengolahan termasuk yang rentan dengan perubahan harga bahan
bakunya. Meningkatnya bahan bakar misalnya, akan langsung meningkatkan
biaya produksi tetapi usaha mikro tidak bisa serta merta langsung menaikkan
harga jual produknya. Sehingga yang bisa dilakukan hanya mengurangi marjin
labanya. Akibatnya usaha mikro pengolahan mengalami kesulitan dalam
pembayaran kembali pinjaman. Faktor jenis usaha pengolahan erat kaitannya juga
dengan modal kerja. Semakin tinggi biaya produksi maka semakin tinggi modal
kerja yang diperlukan untuk usaha mikro. Akibatnya keuntungan perusahaan akan
turun jika usaha mikro tersebut tidak mampu menaikkan nilai dan volume
penjualan. Dengan demikian semakin tinggi modal kerja maka usaha mikro
semakin mengalami kesulitan dalam membayar kembali pinjamannya jika tidak
diimbangi dengan kemampuan menjual lebih dengan harga yang lebih tinggi.
Faktor kinerja usaha digunakan juga oleh Setargie (2013) yang menemukan hasil
penelitiannya bahwa kinerja usaha yang buruk sebagai faktor utama yang
menyebabkan kegagalan kredit. Setiap kenaikan modal kerja maka peluang usaha
mikro untuk membayar KUR sebsar 0,999 atau dengan kata lain setiap terjadi
kenaikan modal kerja maka peluang usaha mikro untuk terlambat membayar KUR
sebesar 1,001 kalinya. Kecuali kenaikan modal kerja juga diikuti oleh kemampuan
untuk meningkatkan penjualan sehingga marjin keuntungan tidak turun.
69

Pengeluaran makanan. Rumah tangga usaha mikro biasanya memiliki


karakteristik proporsi pengeluaran makanan yang lebih besar dibanding dengan
pengeluaran non makanan. Pada tingkat signifikasi 5 persen maka variabel
pengeluaran makanan sangat signifikan negatif terhadap pembayaran kembali
pinjaman lancar. Sehingga semakin tinggi pengeluaran untuk makanan maka
usaha mikro akan semakin mengalami kesulitan pembayaran pinjaman.
Pekerjaan sampingan. Pelaku usaha mikro memiliki waktu yang fleksibel
dan tergantung mereka mengaturnya. Dengan memiliki pekerjaan sampingan
diharapkan akan memiliki pendapatan yang lebih besar sehingga kemampuan
untuk membayar kembali pinjaman semakin besar. Peluang usaha mikro yang
memiliki pekerjaan sampingan untuk membayar pinjaman KUR lancar 36,62
kalinya usaha mikro yang hanya mengandalkan satu usaha saja. Wongnaa dan
Vitor (2013), dalam penelitiannya mengungkap bahwa pekerjaan tambahan dari
off farm memiliki pengaruh positif dalam pembayaran hutang. Memiliki banyak
usaha oleh (Tundui dan Tundui, 2012) juga mengurangi masalah dalam
pembayaran pinjaman. Keuntungan dari usaha lain bisa membantu dalam
pembayaran pinjaman.
Sumber pinjaman lain. Usaha mikro yang memiliki sumber pinjaman lain
signifikan negatif mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman dengan lancar.
Ini berarti semakin banyak cicilan yang harus dibayar sehingga semakin
bermasalah dalam pembayaran pinjaman KUR. Peluang untuk membayar
pinjaman KUR dengan lancar sebesar 0,22 kali, dengan kata lain peluang nasabah
KUR yang memiliki sumber pinjaman lain untuk terlambat bayar sebesar 4,54
kalinya dibandingkan dengan nasabah yang hanya memiliki sumber pinjaman
KUR saja.
Jaminan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa peminjam KUR usaha
mikro sangat bervariasi persyaratan jaminannya. Ada yang tanpa agunan, dengan
BPKB motor, ada juga sertifikat. Dari hasil estimasi statistik menunjukkan bahwa
nasabah yang tidak menggunakan jaminan atau agunan berpengaruh signifikan
dalam masalah pembayaran pinjamannya. Peluang nasabah yang tidak
menggunakan agunan untuk membayar hutang dengan lancar sebesar 0,065 kali
dari nasabah yang menggunakan anggunan. Dengan kata lain peluang untuk
terlambat membayar kembali pinjaman sebesar 15,38 kali dibandingkan dengan
nasabah yang memiliki agunan. Sedangkan nasabah yang memiliki agunan BPKB
motor atau sertifikat berpengaruh secara signifikan dan memiliki peluang untuk
membayar kembali pinjaman lancarnya sebesar 5,7 kali dibanding dengan yang
tidak memiliki agunan. Moral hazard orang berkurang seiring dengan tidak
adanya sesuatu yang merugikan dirinya atau adanya keuntungan yang
diperolehnya dengan tidak membayar pinjaman dengan lancar. Namun jika ada
jaminan yang dikenakan, maka usaha mikro takut jika tidak membayar
pinjamannya.
Pengajuan kredit disetujui semua atau kredit tidak dibatasi. Ini
berkaitan dengan screening awal yang dilakukan oleh pemberi pinjaman. Prosedur
penyaringan dengan credit constrained ini dimaksudkan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya moral hazard dan untuk mengurangi risiko kredit. Bank,
berdasarkan analisisnya dapat memprediksi tingkat risiko yang melekat pada
pinjaman yang mereka kelola dan menghindari peminjam berisiko. Sebaliknya,
Dengan memberikan semua jumlah yang diajukan berarti kepercayaan bank
70

terhadap calon nasabah tersebut tinggi atas dasar ekpektasi pinjaman akan
kembali juga besar. Peluang nasabah KUR yang kreditnya disetujui semua atau
tidak mendapatkan pembatasan kredit (credit constrained) sebesar 6,9 kali akan
membayar pinjaman dengan lancar dibandingkan dengan nasabah KUR yang
mendapat credit constrained. Ini berarti informasi tentang nasabah bisa diperoleh
oleh bank, kalau tidak biasanya bank menggunakan jaminan yang dianggap layak
untuk mencegah timbulnya wan-prestasi dari nasabah. Adanya asimetrik
informasi bisa juga diatasi dengan mengenakan tingkat suku bunga yang tinggi,
namun untuk program KUR tidak bisa dilakukan karena tingkat bunga sudah
ditentukan oleh pemerintah. Menaikkan tingkat suku bunga pun bukan jalan
terbaik karena akan meningkatkan beban usaha mikro yang akibatnya akan
menyulitkan pembayaran kembali pinjaman. Untuk pasar kredit informal,
menaikkan suku bunga sering dilakukan untuk mengatasi asimetrik informasi
tersebut. Ketepatan penyaringan nasabah sangat penting agar kejadian yang
diperkirakan sama dengan resiko ex-post default. Efisiensi pendekatan
penyaringan bisa dilihat dari sejauh mana mampu memperkirakan dan
mengamankan peminjam beresiko untuk meminimalkan gagal bayar (Ofonyelu
dan Alimi, 2013).
Faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik peminjam yang tidak
mempengaruhi signifikan terhadap pembayaran kembali pinjaman adalah jenis
kelamin, usia, pendidikan. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil Wongnaa dan
Vitor (2013) dan Setargie (2013) yang melihat bahwa faktor pendidikan sangat
penting mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman. Semakin tinggi
pendidikan semakin tinggi bisa berefisiensi dan lebih produktif. Sedangkan faktor
gender, Roslan dan Karim (2009) mengatakan bahwa gender berpengaruh positif
terhadap pembayaran kembali pinjaman atau dengan kata lain kegagalan pria
untuk membayar pinjaman lebih besar dibandingkan dengan wanita (wongnaa dan
Vitor, 2013).
Jumlah tanggungan keluarga. Semakin besar tanggungan keluarga maka
semakin besar pengeluaran untuk makanan. Namun jumlah tanggungan
tampaknya tidak signifikan mempengaruhi usaha mikro untuk tidak membayar
pinjaman. Dalam penelitian ini, memang sebagian besar atau lebih dari 75 persen
nasabah memiliki anak kurang dari tiga. Jumlah tanggungan yang diukur dalam
penelitian ini hanya jumlah anak yang masih menjadi tanggungan orang tua.
Barangkali berbeda jika jumlah tanggungan dimasukkan siapa saja yang memang
menjadi tanggungan suatu keluarga seperti orang tuanya atau pasangan yang tidak
bekerja dan lainnya. Meskipun tidak signifikan jumlah tanggungan dalam estimasi
logit menunjukkan tanda positif yang barangkali jumlah tanggungan identik
dengan besarnya ukuran keluarga. Semakin besar ukuran keluarga akan semakin
meningkatkan kemampuan untuk membayar kembali pinjaman karena besarnya
keluarga bisa sebagai tenaga tambahan tanpa dibayar untuk menghasilkan
keuntungan yang lebih. Hal ini seperti penelitian (Ojiako dan Ogbukwa 2012,
Wongnaa dan Vitor 2013)
Untuk karakteristik usaha, faktor-faktor yang tidak signifikan
mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman adalah faktor lama usaha dan jarak.
Lama usaha bisa diasumsikan dengan pengalaman. Ini berarti tidak sejalan dengan
penelitian Wongnaa dan Vitor (2013) dan Tundui (2013) dimana pengalaman,
memiliki hubungan yang signifikan positif dalam pembayaran kembali pinjaman.
71

Pengalihan kredit usaha ke kegiatan yang bukan produktif dan menguntungkan


(credit diversion) juga tidak mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman.
Terakhir, Besarnya pinjaman dan periode pembayaran. Besarnya pinjaman
tidak signifikan mempengaruhi, namun memiliki kecenderungan yang
menunjukkan semakin besar pinjaman maka pembayaran KUR semakin tidak
lancar. Hasil kecenderungan ini sejalan dengan data penyaluran KUR secara
nasional yang menunjukkan bahwa pinjaman KUR besar memiliki nilai NPL yang
lebih tinggi. Kecenderungan statistik tersebut mungkin akan memiliki nilai yang
berbeda apabila sampel penelitian diperbanyak. Periode pembayaran juga tidak
menunjukkan signifikan mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman meskipun
arahnya menunjukkan negatif yang berarti semakin lama periode semakin
bermasalah dalam pembayaran kembali. Faktor ini tidak sejalan dengan penelitian
Vitor (2012) bahwa periode pembayaran signifikan negatif mempengaruhi
pembayaran kembali. Semakin meningkat 1 bulan periode akan meningkatkan
kegagalan pembayaran sebesar 0,95 kali.

7 DAMPAK KREDIT USAHA RAKYAT TERHADAP


PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA MIKRO

7.1 Kinerja Ekonomi Rumah Tangga Usaha Mikro

Dampak kredit usaha rakyat pada rumah tangga usaha mikro dalam
penelitian berikut mencoba melihat kinerja usaha mikro dan ekonomi rumah
tangga yaitu terhadap modal kerja, penjualan, keuntungan, tabungan, pendapatan
sampingan, pendapatan pasangan, total pendapatan, pengeluaran makanan,
penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat tinggal, dan kepemilikan aset. Sedangkan
variabel-variabel yang digunakan selama prosedur pencocokan adalah jenis
kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan, jumlah tanggungan, jenis usaha,
lama usaha, jarak rumah ke bank, jumlah jam kerja per minggu, hambatan usaha,
kepemilikan rekening bank, memiliki pekerjaan sampingan, pasangan bekerja,
dan sumber alternatif pinjaman yang dimiliki. Deskripsi karakteristik-karakteristik
tersebut sudah terangkum di tabel 5.4. Sedangkan deskripsi dari variabel-variabel
hasil atau kinerja ekonomi rumah tangga usaha mikro terangkum dalam tabel
berikut.

Tabel 7.1 Kinerja ekonomi rumah tangga usaha mikro


Nama variabel Mean Standar Min Max
Dev
Modal kerja/minggu; 2.903.304 4.715.212 0 48.000.000
KUR 3.748.193 5.205.326 0 48.000.000
Bukan KUR 2.163429 4.114.113 40.000 36.350.000
Omset/minggu; 3.530.505 5.116.605 150.000 50.000.000
KUR 4.541.145 5.601.497 150.000 50.000.000
Bukan KUR 2.645.480 4.482.595 150.000 40.000.000
72

Nama variabel Mean Standar Min Max


Dev
Keuntungan/minggu; 627.200 643.026 -300.000 4.000.000
KUR 792.951 750.757 -300.000 4.000.000
Bukan KUR 482.050 488.943 50.000 3.650.000
Tabungan/minggu; 129.186 198.317 0 1.750.000
KUR 165.000 225.607 0 1.750.000
Bukan KUR 97.824 165.262 0 1.500.000
Pendapatan sampingan/minggu 49.503 143.178 0 2.000.000
KUR 56.903 183.195 0 2.000.000
Bukan KUR 43.022 95.385 0 540.000
Pendapatan pasangan/minggu 120.997 172.156 0 1.200.000
KUR 112.548 155.763 0 750.000
Bukan KUR 128.395 185.450 0 1.200.000
Total pendapatan/minggu 797.700 619.289 50.000 4.000.000
KUR
Bukan KUR
Pengeluaran makanan/minggu 218.139 136.129 0 1.239.750
KUR
Bukan KUR
Pengeluaran non makan/mgg 944.996 1.087.205 0 5.000.000
Total Pengeluaran 1.816.560 1.087.205 0 9.059.000
Tenaga kerja (orang) 0,69 1,16 0 5
Indikator Kondisi tempat 4,98 0,86 1 6
tinggal
Indikator kepemilikan aset 1,95 1,04 0 4

Modal kerja per minggu adalah modal yang digunakan untuk membiayai
kegiatan atau operasional usaha selama seminggu. Rata-rata modal kerja usaha
mikro per minggu mencapai Rp 2,9 juta. Sebenarnya setiap usaha memiliki biaya
awal atau modal kerja yang digunakan untuk beroperasi atau beraktifitas. Namun
dalam penelitian ini ternyata terdapat 2 responden yang memiliki modal kerja
minimal yaitu Rp 0. Setelah dilakukan penelusuran data, ternyata jenis usaha yang
dilakukan orang tersebut adalah sebagai makelar. Dalam kenyataan, sebenarnya
makelar pun membutuhkan modal kerja meskipun sedikit seperti biaya pulsa
maupun bahan bakar yang digunakan. Namun, karena keterbatasan responden
dalam memberikan jawaban maka bias ini diabaikan. Modal kerja rumah tangga
usaha mikro tanpa KUR kurang dari Rp 5 juta per minggu sebanyak 159 unit,
antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta sebanyak 14 unit, sisanya diatas Rp 10 juta
sebanyak 3 orang. Sedangkan rumah tangga usaha mikro yang membutuhkan
modal kerja sampai Rp 5 juta per minggu sebanyak 123 unit, antara Rp 5 juta
sampai Rp 10 juta sebanyak 21 unit, sisanya 11 unit membutuhkan modal kerja
diatas Rp 10 juta per minggunya.
Omset adalah perputaran penjualan oleh rumah tangga usaha mikro dengan
rata-ratanya sebesar Rp 3,5 juta per minggu. Rumah tangga usaha mikro baik
yang menggunakan KUR maupun tidak memiliki omset sampai Rp 5 juta per
minggu sebanyak 267 unit, omset antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta mencapai 50
73

unit dan sisanya sebanyak 15 unit. Keuntungan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah laba kotor tanpa memasukkan biaya-biaya operasional yang mungkin
ada. Tidak semua rumah tangga usaha mikro mendapatkan keuntungan, ada satu
rumah tangga usaha mikro yang mengalami kerugian. Sedangkan usaha mikro
yang mendapatkan keuntungan dalam penelitian ini tidak ada yang mencapai Rp 5
juta per minggunya.
Total pendapatan merupakan penjumlahan dari keuntungan usaha yang
diperoleh ditambah pendapatan sampingan dan pendapatan pasangan. Total
pengeluaran adalah penjumlahan dari pengeluaran untuk makanan dan
pengeluaran non makanan. Terdapat 1 responden yang menjawab tidak
mengeluarkan biaya baik untuk makanan dan non makanan dengan alasan segala
kebutuhan masih ditanggung oleh kedua orang tuanya. Rata-rata rumah tangga
usaha mikro mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 0,69 orang, dengan
maksimal tenaga kerja ada 5 orang per usaha mikro. Sedangkan kondisi tempat
tinggal merupakan proksi dari status kepemilikan rumah (milik sendiri =1, lainnya
0), jenis atap rumah terluas (genting=1, 0 lainnya), jenis dinding terluas
(tembok=1, 0 lainnya), jenis lantai terluas (bukan tanah=1, dan tanah =0), cara
memperoleh air minum (jika membeli = 1, dan lainnya = 0), fungsi buang air
besar (1= memiliki, 0= lainnya). Hasilnya berkisar 0 sampai 6, semakin besar
skornya maka semakin bagus kondisi rumahnya. Rumah tangga usaha mikro yang
memiliki skor tempat tinggal antara 1 sampai 3 sebanyak 15, sedangkan sisanya
atau 317 rumah tangga memiliki skor diatas 3 yang berarti kebanyakan rumah
tangga usaha mikro memiliki tempat tinggal yang layak/baik.
Sedangkan indikator untuk kepemilikan aset merupakan proksi dari
memiliki kendaraan baru atau tidak pada saat dilakukan penelitian (1 = membeli
baru, 0 lainnya), memiliki alat telekomunikasi HP (1 = memiliki HP, 0 lainnya),
kepemilikan ternak baik unggas, maupun ternak besar (1= memiliki,0 lainnya).
Terakhir, apakah responden memiliki sawah/ladang/kebun. Skor kepemilikan aset
ini mendapatkan range dari 0 sampai dengan 4. Semakin tinggi semakin bagus.
Terdapat 15 unit yang memiliki skor 0 yang berarti indikator kepemilikan asetnya
rendah, tidak memiliki kendaraan atau kendaraan baru, tidak memiliki HP, ternak
maupun sawah/ladang/kebun. Yang memiliki skor 1 sampai 2 sebanyak 216 unit
dan yang memiliki skor 3 sampai 4 sebanyak 101 unit.

7.2 Dampak KUR Pada Rumah Tangga Usaha Mikro

Variabel-variabel di tabel 7.2 berikut adalah variabel yang mempengaruhi


rumah tangga untuk berpartisipasi ke kredit usaha rakyat. Meskipun variabel-
variabel tersebut tidak mempengaruhi pada variabel hasil tetapi berfungsi sebagai
kovariat dalam proses pencocokan dalam menentukan skor propensity antara
kelompok partisipan (KUR) dan kelompok kontrol (non KUR). Terdapat 14
variabel-variabel yang digunakan dalam proses pencocokan dan yang signifkan
mempengaruhi rumah tangga usaha mikro untuk mengakses KUR adalah jenis
kelamin, jenis usaha, lama usaha, hambatan usaha, kepemilikan rekening bank
dan alternatif pinjaman lain.
74

Tabel 7.2 Estimasi probit untuk skor propensity


KUR/bukan KUR Koefisien Z P>z
Jenis kelamin 0.514993 2.86 0.004***
Usia -0.0037549 -0.33 0.743
Status perkawinan 0.3875013 1.14 0.255
Pendidikan -0.1047917 -1.04 0.297
Jumlah tanggungan -0.0069678 -0.10 0.922
Jenis usaha 0.1600514 1.75 0.080*
Lama Usaha -0.039715 -2.41 0.016**
Jarak ke bank -0.0059691 -0.25 0.799
Lama jam kerja -0.0011672 -0.34 0.737
Hambatan usaha 0.4538475 2.59 0.010***
Rekening bank 0.662692 3.98 0.000***
Pekerjaan sampingan -0.2532719 -1.33 0.184
Pasangan bekerja 0.1244723 0.71 0.477
Pinjaman lain -0.5099271 -3.51 0.000***
Jumlah observasi : 332
LR chi2 (14) : 105.70
2
Prob>chi : 0.0000
Pseudo R2 : 0.2304
Log likehood : -176.54466
***signifikan 1%, ** signifikan 5% dan * signifikan 10%

Dengan menggunakan metode pencocokan the nearest neigbor matching


with no replacement yaitu nilai skor propensity yang terdekat untuk dapat
dibandingkan antara kelompok kontrol (tanpa KUR) dengan kelompok partisipan
(dengan KUR) dan skor tersebut hanya bisa dilakukan untuk sekali pencocokan
saja, maka diperoleh nilai the average treatment effect on the treated (ATT). Nilai
ATT inilah sebagai nilai beda atau different antara kelompok partisipan dan
kelompok kontrol. Dalam penelitian ini metode pencocokan yang akan digunakan
adalah Nilai ATT dengan menggunakan metode pencocokan the nearest neighbor
(ATT) di tabel 7.3 dan ATT setelah dilakukan uji bias atau balancing test ditabel
7.5.

Tabel 7.3 Dampak KUR menggunakan propensity score matching dengan


metode the nearest neigbor
Variabel Sampel KUR Tanpa Perbedaan S.E T-test
KUR
Modal kerja Unmatched 3748193 2163429 1584764 512109 3.09
ATT 2695432 2499530 195901 579418 0.34
Penjualan Unmatched 4541145 2645480 1895664 553966 3.42
ATT 3305277 3054567 250709 630880 0.40
Profit Unmatched 792951 482050 310900 68745 4.52
ATT 609845 555037 54808 79421 0.69
Tabungan Unmatched 165000 97824 67175 21533 3.12
ATT 130308 103827 26481 29150 0.91
Pendapatan Unmatched 56903 43022 13880 15755 0.88
sampingan ATT 40185 40370 -185 14926 -0.01
Pendapatan Unmatched 112548 128395 -15847 18947 -0.04
Pasangan ATT 13827 136666 2160 27737 0.08
75

Variabel Sampel KUR Tanpa Perbedaan S.E T-test


KUR
Total Unmatched 962403 653468 308934 66705 4.68
Pendapatan ATT 788858 732074 56783 75738 0.75
Share Unmatched 27,1628 38,1043 -10,9414 1,71 -6,40
pengeluaran
Makanan ATT 29,3879 35,8391 -6,4511 2,41 -2.67
Jumlah Unmatched 0.980645 0.429378 0.55126 0.12385 4.45
Pekerja ATT 0.728395 0.604938 0.12345 0.18399 0.67
Kondisi Unmatched 5.12280 4.87056 0.2525 0.09255 0.79
Tempat ATT 4.97530 4.86419 0.1111 0.14024 2.94
tinggal
Kepemilikan Unmatched 2.12258 1.79096 0.33162 0.11263 2.94
Aset ATT 2.0246 2.06172 -0.03707 0.161322 -0.23
Unmatched = sebelum pencocokan
ATT = Average threatment on the treated

Pada tabel di atas, dampak KUR yang diukur adalah pada kinerja ekonomi
rumah tangga usaha mikro seperti modal kerja, sebelum dilakukan pencocokan
memiliki perbedaan sebesar Rp 1,58 juta, namun setelah dilakukan pencocokan,
perbedaan yang ditunjukkan pada ATTnya sekitar Rp 195,901. Dari hasil olahan
tersebut KUR memberikan dampak kenaikan pada modal kerja, penjualan,
keuntungan, dan tabungan namun tidak signifikan. Untuk dampak pada
pendapatan dari pekerjaan sampingan, sebelum dilakukan pencocokan terjadi
perbedaan sebesar Rp 13,880 namun setelah dilakukan pencocokan maka dampak
KUR terhadap pendapatan sampingan turun sebesar Rp 185. Total pendapatan
mengalami kenaikan dengan adanya KUR, namun untuk share pengeluaran
makanan mengalami penurunan. Jumlah pekerja atau penyerapan tenaga kerja
mengalami kenaikan juga diikuti oleh kondisi tempat tinggal, namun mengalami
penurunan untuk indikator kepemilikan aset. Dalam proses pencocokan PSM ini,
banyaknya kovariat yang mendapatkan pasangan pencocokan atau common
support (tabel 7.4) totalnya sebesar 258 unit terdiri dari 177 unit kelompok
kontrol dan 81 unit kelompok treatment. Ada sekitar 74 unit kelompok treatment
yang dibuang selama pencocokan.

Tabel 7.4 Jumlah kovariat yang digunakan


Kovariat Tidak digunakan Digunakan Total
Bukan KUR 0 177 177
KUR 74 81 155
Total 74 258 332

Hasil perbedaan rata-rata dalam tahap awal tabel 7.3 perlu dilakukan tes
untuk menguji bias dari masing-masing variabel yang digunakan dalam proses
pencocokan atau balancing test antara kelompok yang mendapatkan KUR dengan
kelompok tanpa KUR untuk melihat kemungkinan bias yang ada. Berdasarkan
balancing test di lampiran 4, ternyata masih ada perbedaan yang masih signifikan
antara dua kelompok meskipun sudah dilakukan pencocokan. Bias yang terjadi
masih sangat tinggi diantara semua variabel-variabel. Sehingga bias yang tinggi
tersebut apalagi negatif, dibuang dari proses pencocokan. Oleh karena itu, variabel
76

yang akan digunakan untuk analisis pencocokan skor propensity adalah jenis
kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan, jenis usaha, jam kerja dan pekerjaan
sampingan. Dengan hanya menggunakan tujuh variabel-variabel tersebut maka
hasil perbedaan (ATT) yang baru tersaji pada tabel 7.5 berikut.

Tabel 7.5 Dampak KUR menggunakan propensity score matching


dengan metode the nearest neigbor setelah balancing test
Variabel Sampel KUR Tanpa Beda S.E T-test
KUR
Modal kerja Unmatched 3.748.193 2.163.429 1.584.764 512.109 3.09
ATT 3.575.092 2.566.157 1.008.935 734.842 1.37
Penjualan Unmatched 4.541.145 2.645.480 1.895.664 553.966 3.42
ATT 4.315.532 3.127.037 1.188.495 788.171 1.51
Profit Unmatched 792.951 482.050 310.900 68.745 4.52
ATT 740.439 560.879 179.560 86.374 2.08**
Tabungan Unmatched 165.000 97.824 67.175 21.533 3.12
ATT 141.157 117.453 23.703 23.868 0.99
Pendapatan Unmatched 56.903 43.022 13.880 15.755 0.88
sampingan ATT 61.990 34.027 27.962 21.937 1.27
Pendapatan Unmatched 112.548 128.395 -15.847 18.946 -0.84
Pasangan ATT 129.074 128.287 787 23.868 0.03
Total Unmatched 962.403 653.468 308.934 66.075 4.68
pendapatan ATT 931.504 723.194 208.310 82.434 2.53**
Share Unmatched 27,16 38,10 - 10,941 1,710 -6.4
Makanan ATT 28,26 36,92 -8,671 2,046 -4.2***
Jumlah Unmatched 0,98064 0,429378 0,55126 0,123 4.45
Pekerja ATT 0,88888 0,509259 0,37962 0,158 2.4**
Kondisi Unmatched 5,12280 4,870056 0,25252 0,093 2.7
Tempat ATT 5,0 4,861111 0,13888 0,1237 1.12
tinggal
Kepemilikan Unmatched 2,12258 1,790960 0,33162 0,1126 2.94
Aset ATT 2,15740 1,907407 0,25 0,1421 1.76*
***signifikan 1%, ** signifikan 5% dan * signifikan 10%
Unmatch = sebelum pencocokan

Banyaknya kovariat untuk the nearest neighbor dalam proses pencocokan


yang dipakai sebanyak 276 unit yang terdiri dari 99 kelompok partisipan dan 177
kelompok kontrol. Terdapat 56 unit yang dibuang dalam proses pencocokan
tersebut.

Tabel 7.6 Jumlah kovariat yang digunakan setelah balancing test


Kovariat Tidak digunakan Digunakan Total
Bukan KUR 0 177 177
KUR 56 99 155
Total 56 276 332

Dari hasil tabel 7.5 di atas maka dampak KUR dengan tingkat signifikansi
1 persen adalah share pengeluaran untuk makanan. KUR juga memberikan
77

dampak pada keuntungan, total pendapatan, dan jumlah pekerja dengan nilai
signifikan sebesar 5 persen. Sedangkan dampak KUR dengan tingkat signifikan
10 persen adalah kepemilikan aset.
Keuntungan. Dengan metode pencocokan menggunakan the nearest
neighbor, beda keuntungan sebelum dilakukan pencocokan sebesar Rp 310.900
dan setelah proses pencocokan bedanya Rp 179.560, dimana keuntungan
kelompok treatment Rp 740.439 dan kelompok kontrol Rp 560.879 yang berarti
bahwa KUR memberikan dampak meningkatkan keuntungan usaha mikro sebesar
32 persen dibandingkan dengan usaha mikro tanpa menggunakan KUR.
Total pendapatan. KUR memberikan dampak pada peningkatan
pendapatan rumah tangga usaha mikro yang meminjam KUR sebesar Rp 208.310
dimana total pendapatan usaha mikro dengan KUR Rp 931.504 dan pendapatan
usaha mikro tanpa KUR sebesar Rp 723.194 atau dengan kata lain pendapatan
usaha mikro yang menggunakan KUR naik 28,8 persen dibanding dengan usaha
mikro yang tidak pinjam KUR. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Diro dan
Regasa (2014) dan Hossain (2012). Diro dan Regasa dalam penelitiannya
mengatakan bahwa partisipan mikro kredit di Ethiopia meningkatkan pendapatan
dengan tingkat signifikan sebesar 1 persen. Hossain juga menemukan bahwa
pendapatan peminjam setelah bergabung dengan BRAC di Bangladesh meningkat.
Share pengeluaran untuk makanan. Dampak KUR terhadap share
pengeluaran makanan dalam penelitian ini menunjukkan dampak negatif atau
pengurangan dengan tingkat signifikasi 1 persen. Share pengeluaran makanan
untuk kelompok kontrol adalah 36,92 persen dari total pendapatan. Seiring dengan
meningkatnya pendapatan, share pengeluaran makanan untuk kelompok treatment
berkurang menjadi 28,26 persen atau berkurang sebesar 8,67 persen dibanding
kelompok kontrol. Hal ini berkebalikan dengan penelitian (Getaneh & Garber
2007, Nooren et al. 2011; Hossain 2012; Guush & Gardebroek 2012; Diro dan
Regasa 2014) yang menyimpulkan bahwa kredit mikro memberikan dampak
positif ada peningkatan pengeluaran makanan. Namun, bisa jadi peningkatan
pengeluaran makanan tetapi share pengeluaran makanan turun. Begitu juga, dalam
penelitian ini share pengeluaran makanan berkurang tetapi pengeluaran
nominalnya bertambah. Perbedaan ukuran saja yang membedakan hasil antara
penelitian ini dengan penelitian lainnya. Akan tetapi hasil penelitian ini sesuai
dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin meningkat pendapatan
seseorang maka share pengeluaran untuk makanan akan semakin berkurang.
Rumah tangga usaha mikro bukanlah kelompok masyarakat yang berada di bawah
garis kemiskinan, sehingga rata-rata pengeluaran makanan mereka pun jauh diatas
standar garis kemiskinan yaitu rata-rata sudah terpenuhi makan 2-3 kali sehari
dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 136 ribu sampai 218 ribu per minggu.
Dengan demikian, semakin meningkat pendapatan mereka maka meningkatnya
pengeluaran makanan tidak signifikan lagi sehingga share pengeluaran makanan
akan berkurang seiring dengan meningkatnya pendapatan seseorang.
Perbedaan kedua, antara penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah
obyek penelitian mereka adalah memang kelompok masyarakat miskin dimana
masyarakat miskin biasanya kebutuhan makanan belum terpenuhi, sehingga ketika
pendapatan naik maka pengeluaran makanan mereka akan naik lebih besar terkait
dengan pemenuhan kebutuhan pokok. Ketiga, penurunan share pengeluaran untuk
makanan turun barangkali adanya perbedaan pola pikir antara rumah tangga usaha
78

dengan rumah tangga bukan usaha adalah rumah tangga yang memiliki usaha
akan mengurangi pengeluaran untuk berhemat agar mampu membayar cicilan atau
meningkatkan perputaran modal agar meningkatkan pendapatannya. Sedangkan
pola rumah tangga tanpa usaha biasanya akan lebih konsumtif.
Indikator dampak KUR lainnya yang signifikan pada level 5 persen adalah
jumlah penyerapan tenaga kerja rumah tangga usaha mikro yang menggunakan
KUR akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,37 pekerja. Ini
konsisten dengan penelitian Diro dan Regasa (2014), bahwa kredit mikro mampu
menyerap tenaga kerja. Kemampuan rumah tangga usaha mikro menyerap tenaga
kerja lebih mengindikasikan bahwa peranan KUR mampu mengurangi tingkat
kemiskinan melalui penciptaan lapangan pekerja dan mengurangi pengangguran.
Kepemilikan aset juga signifikan pada level 10 persen sehingga hipotesis
diterima bahwa KUR memberikan dampak peningkatan pada aset. Rumah tangga
usaha mikro dengan KUR meningkatkan aset sebesar 0,25 unit dibandingkan
dengan rumah tangga usaha mikro tanpa menggunakan KUR. Kepemilikan aset
disini merupakan proxi dari kepemilikan kendaraan baru, kepemilikan HP
maupun kepemilikan ternak.
Dalam penelitian ini KUR belum memberikan dampak KUR yang
signifikan, namun memiliki arah positif pada peningkatkan modal kerja, penjualan,
tabungan dan kondisi tempat tinggal rumah tangga usaha mikro.

8 KEBERLANGSUNGAN PEMBIAYAAN KREDIT USAHA


RAKYAT

8.1 Kinerja Bank-Bank Unit Penyalur Kredit Usaha Rakyat

Jumlah KUR yang disalurkan di wilayah Pati selama periode 2012 dan 2013
di gambar 8.1 berikut.

30.000

25.000

20.000

15.000 KUR 2012 (Rp jt)


KUR 2013 (Rp jt)
10.000

5.000

-
J1
J2
TK

JK
TR

GS
PW
PL
PH

MH
PK1
WN
KW

NGP
MR

PK2
BM
CS

Gambar 8.1 KUR yang disalurkan di wilayah Pati


79

Jumlah KUR yang disalurkan pada tahun 2013 masing masing mengalami
kenaikan dibanding tahun sebelumnya, kecuali 4 unit bank yang mengalami
penurunan, yaitu unit Pati Kota 1, Juwana 1, Mulyoharjo dan Gabus. Penurunan di
Pati kota I terjadi karena penurunan jumlah nasabah meskipun rata-rata KUR per
nasabah naik dari Rp 12,3 juta di tahun 2012 menjadi 12,8 juta di tahun 2013.
Sebaliknya Juwana I, jumlah nasabah meningkat namun rata-rata KUR yang
diterima nasabah mengalami penurunan dari Rp 13,4 juta menjadi Rp 12,3 juta.
Sedangkan Mulyoharjo dan Gabus selain mengalami penurunan nasabah sekaligus
mengalami penurunan rata-rata KUR per nasabah.
Dari 35 unit bank, yang memiliki kinerja terbaik dilihat dari jumlah nasabah
dan jumlah KUR yang disalurkan pada tahun 2013 bisa dilihat dari gambar
kuadran yang tersaji di gambar 8.2. Dari 35 unit bank, terlihat 3 bank yang
memiliki nasabah dan jumlah KUR yang disalurkan terbesar di kuadran pertama
yaitu bank unit Dukuhseti, Sukolilo dan Kayen. Terbesar kedua dari jumlah KUR
yang disalurkan adalah Karaban dan Juwono II di kuadran ke-2. Sisanya bank-
bank unit tersebut berada di kuadran IV dengan jumlah KUR yang disalurkan
dibawah Rp 15 milyar per tahun dengan jumlah nasabah dibawah 1.500 debitur.
Tambaharjo merupakan bank unit yang memiliki jumlah nasabah terendah dan
Ngablak merupakan bank unit yang memiliki jumlah KUR yang terendah. Dari
gambar 3 diatas, tampaknya bahwa tidak ada satu pun bank unit yang berada di
kuadran III. Kuadran III berarti jumlah nasabah tinggi namun jumlah KUR yang
disalurkan rendah. Dengan tidak adanya bank-bank yang berada dikuadran ini
berarti rata-rata KUR per nasabahnya tidak rendah.

Gambar 8.2 Kuadran jumlah nasabah dan KUR yang disalurkan, 2013
80

Kinerja bank-bank unit penyalur KUR tersaji di tabel 8.1 berikut;

Tabel 8.1 Kinerja bank-bank unit penyalur KUR


No Indikator Max Min Rata-rata Total
1. Jumlah nasabah (unit), 2012 2.481 204 741 25.918
Jumlah nasabah, (unit) 2013 3.161 431 893 31.254
Prosentase kenaikan (%) 27,4 111,27 20,51 20,59
2. KUR disalurkan (Rp jt), 2012 20.058 1.288 6.725 235.380
KUR disalurkan (Rp jt), 2013 26.444 3.471 9.141 319.934
Prosentase Kenaikan (%) 31,84 169,48 35,93 35,92
3. KUR per nasabah (Rp jt), 2012 13,3 5,9 9,1 9,08
KUR per nasabah (Rp jt), 2013 13,47 7,3 10,2 10,23
Prosentase kenaikan (%) 1,27 23,7 12,0 12,66
4. Nilai NPL (Rp juta), 2012 2.498 0 104 3.629
Nilai NPL (Rp juta), 2013 399 0 52 1.818
Prosentase penurunan (%) 84 0 50 49,9
5. Nasabah NPL(unit), 2012 213 0 12 426
Nasabah NPL (unit), 2013 33 0 7 229
Prosentase penurunan (%) 84,5 0 41,67 46,24

Jumlah KUR yang disalurkan pada tahun 2013 sebesar Rp 319,9 milyar atau
meningkat 35,92 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini seiring
dengan kenaikan nasabah sebesar 20,59 persen dari 25.918 nasabah di tahun 2012
menjadi 31.254 di tahun 2013. Secara keseluruhan, rata-rata KUR per nasabah
adalah Rp 10,2 juta atau naik 12 persen dari tahun 2012 sebesar Rp 9,1 juta per
nasabah. Dengan kata lain, jangkauan KUR dilihat dari besarnya pinjaman
mencapai rata-rata Rp 10,2 juta pada tahun 2013. Tingkat non performance
loannya pun menurun dari 1,5 persen tahun 2012 menjadi 0,5 persen pada tahun
2013. Tingkat NPL ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat NPL ritel
atau nasabah bukan mikro yaitu secara nasional sekitar 4 persen. Pada tahun
2013, KUR terbesar disalurkan oleh bank unit Dukuhseti sebesar Rp 26,4 milyar
dengan jumlah nasabah sebesar 2.631. Sebaliknya jumlah nasabah terbesar 3.161
dicapai oleh bank unit Sukolilo dengan total KUR yang disalurkan sebesar Rp
23,1 milyar. Hal ini berarti rata-rata KUR per nasabah di bank unit Dukuhseti
lebih besar dibandingkan dengan bank unit di Sukolilo yaitu Rp 10 juta per
nasabah dibanding Rp 7,3 juta per nasabah. Jumlah KUR terendah yang
disalurkan sebesar Rp 3,4 milyar oleh bank unit Ngablak dengan total nasabah
sebesar 467 nasabah. Sedangkan nasabah terendah sebesar 431 diperoleh bank
unit Gabus dengan jumlah KUR sebesar Rp 5,0 milyar. Hal ini berarti rata-rata
KUR per nasabah di Gabus Rp 11,8 juta, lebih tinggi dari pada Ngablak Rp 7,4
juta per nasabah di tahun 2013.
Keberhasilan penyaluran kredit bank juga dilihat dari tingkat kredit
macetnya atau dikenal non-performance loan (NPL). Tingkat NPL tahun 2013
turun 49,9 persen dari Rp 3,6 milyar di tahun 2012 menjadi Rp 1,8 milyar. NPL
tertinggi pada tahun 2012 adalah Rp 2,4 milyar atau 213 nasabah yang mengalami
kredit macet oleh bank unit Juwana I. Sebaliknya pada tahun 2013, NPL tertinggi
dicapai oleh bank unit Pati kota I sebesar Rp 399 juta dengan nasabah tertinggi
81

yang NPL yaitu 33 nasabah. Kinerja terbagus dengan tingkat NPL nol persen
adalah bank unit Sukolilo, padahal jumlah nasabah terbesar juga diperoleh oleh
Sukolilo. Selain kinerja bank dilihat dari pencapaian KUR yang disalurkan,
kinerja bank unit penyalur KUR juga dilihat dari operasionalnya bank-bank unit
tersebut seperti di tabel 8.2 berikut.

Tabel 8.2 Kinerja pendapatan operasional bank-bank unit penyalur KUR


No Indikator Max Min Rata-rata Total
1. Simpanan pihak ke-3 55,5 3,8 23,9 836,6
(Rp milyar), 2012
Simpanan pihak ke-3 66,7 6,6 27,7 971,1
(Rp milyar), 2013
Kenaikan (%) 20,18 73,68 15,9 16,0
2. Simpanan berjangka 4,9 0,34 1,97 69,2
(Rp milyar), 2012
Simpanan berjangka 8,5 0,62 2,4 84,9
(Rp milyar), 2013
Kenaikan (%) 73,4 9,5 21,8 22,68
3. Pendapatan bunga (Rp 12,79 0,6 5,2 181,99
milyar), 2012
Pendapatan bunga (Rp 15,3 1,6 5,9 206
milyar), 2013
Kenaikan (%) 19,6 166,7 13,5 13,19
4. Provisi kredit (Rp 376,3 10,0 97,6 3.419,4
juta), 2012
Provisi kredit (Rp 406,8 20,1 102,3 3.581
juta), 2013
Kenaikan (%) 8,1 101 4,8 4,7
5. Jasa (Rp juta), 2012 884,9 44,7 392,4 13.734
Jasa (Rp juta), 2013 965,4 141,3 475 16.626
Kenaikan (%) 9,0 216,1 21 21
6. Pendapatan 146 0,004 47,6 1.668
operasional lainnya
(Rp juta), 2012
Pendapatan 212,8 0,011 66,9 2.342,9
operasional lainnya
(Rp juta), 2013
Kenaikan (%) 45,7 175 40,5 40,4
7. Pendapatan non 1.379,3 19,8 709 24.874
operasional (Rp juta),
2012
Pendapatan non 1.805,8 96,4 907,2 31.753,5
operasional (Rp juta),
2013
Kenaikan (%) 30,9 386,6 27,9 27,6

Kinerja keuangan bank-bank unit penyalur KUR menunjukkan peningkatan


yang signifikan. Simpanan pihak ketiga dan simpanan berjangka juga
menunjukkan peningkatan sebesar 16 persen dan 22,68 persen. Simpanan pihak
ketiga terendah adalah Cengkalsewu dan yang tertinggi adalah Kayen dan Gabus.
Pada tahun 2013, pendapatan bunga sebagai pendapatan utama bank mencapai Rp
206 milyar atau naik 13,19 persen dari tahun sebelumnya. Pendapatan operasional
lainnya mengalami peningkatan yang paling tinggi sebesar 40,4 persen di tahun
82

2013. Secara keseluruhan, total pendapatan operasional bank-bank penyalur kredit


menunjukkan peningkatan kecuali Juwono I, Margorejo, Ngablak dan
Pucakwangi seperti terlihat di gambar 8.3 berikut.

10.000
9.000
8.000
7.000
6.000 Pendapatan operasional (Rp
5.000 juta), 2012

4.000 Pendapatan operasional (Rp


juta), 2013
3.000
2.000
1.000
-
JI JKN JII KJ PW KY MR MH NGP NG

Gambar 8.3 Pendapatan operasional bank-bank unit penyalur KUR

Total pendapatan operasional Juwono I mengalami penurunan dari Rp 7,7


milyar tahun 2012 menjadi Rp 6,9 milyar tahun 2013. Penurunan ini karena
adanya penurunan pendapatan bunga secara signifikan dari Rp 7,0 milyar ditahun
2012 menjadi Rp 6,1 milyar di tahun 2013. Margorejo sedikit menurun dari Rp
6.289 juta menjadi Rp 6.249 juta pada tahun 2013. Penurunan ini disebabkan
karena adanya penurunan dari penerimaan pendapatan bunga, provisi dan
pendapatan operasional lainnya. Hanya pendapatan jasa yang mengalami
peningkatan. Ngablak menurun dari Rp 5.444 juta menjadi Rp 5.211 juta,
sedangkan Pucakwangi turun dari Rp 4.124 juta menjadi Rp 4.096 juta.
Pendapatan operasional bank unit Ngablak sedikit menurun karena terjadi sedikit
penurunan terhadap pendapatan bunga dari Rp 5,0 milyar menjadi Rp 4,75 milyar
di tahun 2013, namun pendapatan provisi, jasa dan operasional lainnya mengalami
peningkatan. Bank unit Pucakwangi mengalami penurunan karena terjadi
penurunan terhadap pendapatan bunga dan provisi, namun pendapatan jasa dan
operasional lainnya meningkat cukup signifikan.
Pertumbuhan pendapatan non operasional tahun 2012 dan tahun 2013
terlihat di gambar 8.4, terdapat 4 unit bank yang mengalami penurunan yaitu Bank
Unit Batangan dari Rp 581 juta menjadi Rp 538 juta di tahun 2013. Kayen turun
dari Rp 1,0 milyar menjadi Rp 988 juta. Margorejo tercatat Rp 1,37 milyar di
tahun 2012 menjadi Rp 1,28 milyar di tahun 2013 dan Pagerharjo dari Rp 529 juta
menjadi Rp 492 juta di tahun 2013. Pendapatan non operasional lainnya secara
total mengalami kenaikan sebesar 27,6 persen dari Rp 24,8 milyar di tahun 2012
menjadi Rp 31,7 milyar di tahun 2013 dengan rata-rata pendapatan non
operasional sebesar Rp 907,2 juta di tahun 2013.
83

Gambar 8.4 Pendapatan non operasional bank-bank unit penyalur KUR

Gambar 8.5 menunjukkan penurunan dan kenaikan total biaya operasional masing
masing bank unit penyalur KUR. Dari gambar tersebut terlihat sebagian besar
biaya operasional meningkat di tahun 2013, kecuali bank unit Bulumanis, Kayen,
Margorejo, Karangwotan dan Pucakwangi. Bank unit Pucakwangi dan Margorejo
menurun seiring dengan menurunnya pendapatan operasionalnya.

6.000

5.000

4.000
Biaya operasional (Rp
3.000 juta), 2012
Biaya operasional (Rp
2.000 juta), 2013

1.000

-
TM
NG
PH
PK2

PW
BT

MR

NGP
BM
KY

MH

KW

Gambar 8.5 Total biaya operasional bank-bank unit penyalur KUR


84

Biaya operasional bank unit Bulumanis dan Kayen menurun karena


menurunnya biaya penyisihan kerugian kredit dan akuntansi, yang berarti kinerja
kredit bank semakin bagus. Sedangkan bank unit Karangwotan biaya operasional
menurun karena menurunnya beban bunga, beban penyisihan kerugian kredit dan
akuntansi dan beban operasional lainnya. Secara total dari biaya operasional
dengan pendapatan operasional maka bisa diperoleh rasio antara biaya operasional
terhadap pendapatan operasional (BOPO). Semakin kecil rasio tersebut
menunjukkan semakin efisien. Rasio terkecil sebesar 46,4 persen dan rasio
terbesar 179,4 persen. Jika rasio tersebut melebihi 100 persen berarti bank unit
tersebut jelas mengalami kerugian operasional. Dari 35 unit bank dalam penelitian,
hanya ada satu yang rasio BOPOnya lebih dari 100 persen yaitu Juwono 1.

Tabel 8.3 Kinerja biaya operasional bank-bank unit penyalur KUR


No. Indikator Max Min Rata-rata Total
1. Beban bunga (Rp jt), 2012 795 20,4 320,1 11.205,8
Beban bunga (Rp jt), 2013 789,4 70 347,6 12.161,1
Kenaikan (%) -0,7 243,1 8,5 8,5
2. Beban hadiah/penjaminan 137,5 6,1 44,5 1.558,5
(Rp jt), 2012
Beban hadiah/penjaminan 124,8 13,7 55,6 1.947,1
(Rp jt), 2013
Kenaikan (%) -9,2 124,5 24,9 24,9
3. Beban penyisihan kerugian 5.087,5 68,2 1.274,7 44.617
kredit & akutansi (Rp jt),
2012
Beban penyisihan kerugian 8.996,1 189,4 1,556,7 54.484,5
kredit & akutansi (Rp jt),
2013
Kenaikan (%) 76,8 177,7 22,1 22,1
4. Biaya tenaker (Rp jt), 2012 1.088,3 212,3 663,8 23.234,8
Biaya tenaker (Rp jt), 2013 1.444,3 491,7 900,3 31.513,9
Kenaikan (%) 32,7 131,6 35,6 35,6
5. Biaya umum & administrasi 1.433 327,3 709,6 24.838,7
(Rp jt), 2012
Biaya umum & administrasi 1.855,7 434,8 808,8 28.309,5
(Rp jt), 2013
Kenaikan (%) 29,4 32,8 13,9 13,9
6. Beban operasional lainnya 2.402,2 46,7 626,3 21.923
(Rp juta), 2012
Beban operasional lainnya 2.357,6 154,3 610,9 21.383,5
(Rp juta), 2013
Kenaikan (%) -1,8 230,4 -2,4 -2,4

Kinerja bank-bank unit penyalur KUR dilihat dari beban yang dikeluarkan
terdapat di tabel 8.3. Secara keseluruhan, beban atau biaya operasional mengalami
peningkatan kecuali beban operasional lainnya mengalami penurunan sebesar 2,4
85

persen di tahun 2013. Kenaikan terbesar terjadi pada biaya tenaga kerja sebesar
35,6 persen dari Rp 23,2 milyar di tahun 2012 menjadi Rp 31,5 milyar di tahun
2013. Biaya tenaga kerja terbesar dari bank unit Juwono I. Kenaikan ini
mencerminkan kurang efisiennya tenaga kerja yang dimiliki, terlihat dari
menurunnya jumlah KUR yang disalurkan maupun jumlah simpanan
berjangkanya. Beban bunga secara keseluruhan menunjukkan peningkatan seiring
dengan meningkatnya jumlah simpanan pihak ketiga maupun simpanan berjangka.

8.2 Analisis Antar Peubah Kinerja Keuangan Menggunakan Biplot

Analisis Biplot merupakan analisis deskriptif peubah ganda yang


menyajikan informasi secara bersama-sama dari n pengamatan (baris) dan p
peubah (kolom) dari suatu matriks data dalam suatu plot pada bidang datar.
Analisis Biplot ini untuk melihat; 1) kedekatan antar variabel, 2) keragaman
peubah, 3) Hubungan antar peubah dan, 4) nilai peubah pada suatu objek.

Gambar 8.6 Klusterisasi bank-bank unit berdasarkan 20 peubah

Jumlah pengamatan dalam analisis Biplot ini ada 35 unit dengan peubah
sebanyak 20 unit. Jumlah pengamatan terdiri dari 35 unit bank-bank penyalur
KUR (lampiran 6) dan untuk 20 peubahnya terdiri dari tingkat efisiensi di masing-
masing bank unit (Y1), BOPO yaitu perbandingan antara biaya operasional
terhadap pendapatan operasional (Y2), pendapatan operasional lainnya (Y3), Nilai
NPL (Y4), jumlah nasabah (Y5), jumlah NPL (Y6), simpanan pihak ketiga (Y7),
simpanan berjangka (Y8), biaya umum (Y9), pendapatan bunga (Y10),
pendapatan provisi (Y11), pendapatan jasa (Y12), beban operasional lainnya
(Y13), biaya non operasional (Y14), beban bunga (Y15), beban hadiah (Y16),
86

beban penyisihan kerugian (Y17), biaya tenaga kerja (Y18), modal usaha AL/AT
(Y19), dan KUR yang disalurkan (Y20).
Berdasarkan hasil analisis kluster dari gambar 8.6 di atas dengan parameter
sebanyak 20 diperoleh 4 kluster wilayah bank-bank unit yang mengindikasi
kedekatan bank unit berdasarkan peubah-peubah yang ada. Empat kluster tersebut
adalah;
Kluster 1 terdiri dari 6 unit bank; Mulyoharjo (MH), Bulumanis (BM),
Jakenan (JKN), Pekalongan (PL), Winong (WN), dan Pucakwangi (PW). Kluster
II terdiri dari 14 unit bank; Batangan (BT), Angkatan Lor (AL), Gunung Wungkal
(GW), Ngablak (NG), Ngemplak (NGP), Pakis (PK), Gembong (GB), Tlogorejo
(TR), Karangwotan (KW), plaosan (PS), Pagerharjo (PH), Tambahmulyo (TM),
Tambaharjo (TH), dan Cengkalsewu (CS). Kluster III terdiri dari 9 bank unit;
Dukuhseti (DS), Karaban (KB), Sukolilo (SL), Tambakromo (TK), Kayen (KY),
Jaken (JK), Juwono II (J2), Pati 2 (PK2) dan Kajar (KJ). Sedangkan kluster IV
terdiri dari 6 unt bank; Tayu (TY), Gabus (GS), Margorejo (MR), Juwono 1 (J1),
Pati 1 (PK1) dan Wedarijaksa (WR).
Keragaman antar keempat kluster diatas tinggi sedangkan keragaman di
dalam kluster kecil atau homogen. Pengelompokan ini menunjukkan bahwa bank-
bank unit di setiap kelompok memiliki persamaan yang cukup dekat
dibandingkan dengan bank bank unit yang berada di kelompok lain. Klusterisasi
dalam 4 kuadran ini untuk melihat kemiripan relatif antar obyek pengamatan
berdasarkan 20 peubah yang digunakan. Obyek-obyek dengan karakteristik yang
sama akan digambarkan dalam titik-titik yang posisinya berdekatan atau sama
dalam kuadran. Analisis Biplot juga bisa digunakan untuk melihat hubungan antar
20 peubah seperti dalam gambar 8.7 berikut.

Gambar 8.7 Biplot hubungan antar 20 peubah


87

Jika sudut dua peubah < 90 derajat maka korelasi bersifat positif. Jika sudut
dua peubah >90 derajat maka korelasi bersifat negatif. Semakin kecil sudutnya
maka semakin kuat korelasinya.
Berdasarkan gambar 8.7 di atas maka peubah Y1(efisien) dengan Y2
(BOPO) sangat bertolak belakang atau korelasi negatif sempurna. Jika bank unit
memiliki tingkat efisiensi yang tinggi maka nilai BOPOnya rendah. Peubah Y1
(efisiensi) memiliki hubungan negatif juga (sudut > 90 derajat) adalah dengan Y4
(nilai NPL), Y6 (jumlah NPL), Y17 (beban penyisihan kerugian), Y9 (biaya
umum), Y8 (simpanan berjangka), Y13 (biaya operasional lainnya), Y14 (beban
non operasional), Y 18 (biaya tenaga kerja), Y15 (beban bunga), dan Y7
(simpanan pihak ke-3). Sebaliknya Y2 memiliki hubungan positif dengan peubah-
peubah tersebut. Misalnya, peubah efisien berhubungan negatif dengan peubah
nilai NPL artinya semakin efisien suatu bank unit maka nilai non performance
loannyanya semakin rendah. Semakin tinggi biaya tenaga kerja maka semakin
tidak efisien. Sebaliknya, semakin tinggi biaya-biaya maka semakin tinggi rasio
BOPOnya.
Peubah Y1 (efisiensi) antara lain memiliki hubungan positif dengan KUR
yang disalurkan (Y20), pendapatan provisi (Y11), jumlah nasabah (Y5),
pendapatan bunga (Y10), pendapatan operasional lainnya (Y3) maupun
pendapatan jasa (Y12). Semakin tinggi pendapatan bunga maka semakin efisien.
Sebaliknya peubah Y2 memiliki hubungan negatif dengan peubah-peubah tersebut.
Misalnya, semakin tinggi pendapatan, maka semakin efisien atau semakin banyak
jumlah nasabah maka semakin efisien. Sebaliknya semakin tinggi pendapatan
makan rasio BOPOnya makin kecil.

Gambar 8.8 Biplot Keragaman dan nilai peubah pada suatu objek pengamatan
88

Berdasarkan gambar 8.8 di atas karakteristik suatu obyek (bank unit) bisa
disimpulkan dari posisi relatifnya yang paling dekat dengan suatu peubah. Titik
titik biru diatas menggambarkan posisi bank-bank unit berada seperti pada gambar
8.6 klusterisasi bank-bank unit. Sedangkan keragaman peubah ditunjukkan
dengan panjang pendeknya vektor. Peubah dengan keragaman kecil digambarkan
dengan vektor yang pendek. Sedangkan peubah dengan keragaman yang tinggi
digambarkan dengan vektor yang panjang. Peubah Y1 (efisiensi) satu-satunya
yang memiliki vektor yang pendek, yang berarti keragaman n vektornya kecil.
Tingkat efisiensinya tertinggi 1 dan terendahnya 0,861 atau rentangnya hanya
sebesar 0,129 dan rata-ratanya 0,987.
Gambar 8.8 di atas bisa juga untuk melihat positioning bank-bank unit
terhadap parameter yang diukur. Bank-bank unit yang berada di sebelah kiri, tidak
menunjukkan dominasi. Tidak ada satu pun vektor yang mengarah ke daerah kiri,
yang berarti bank-bank unit yang berada di kudran tersebut tidak mendominasi
akan berbagai peubah yang dimiliki. Beberapa vektor peubah mengarah pada
obyek atau bank-bank unit tertentu yang berarti bank tersebut mendominasi
parameter tersebut. Sebagai contoh bank unit Karaban dan Sukolilo (gambar 8.6)
mendominasi peubah pendapatan bunga (Y10) atau memiliki pendapatan bunga
terbesar yaitu Rp 13,4 Milyar dan Rp 15,3 Milyar. Tingkat keragaman pendapatan
bunga ini cukup tinggi ditunjukkan oleh panjangnya garis vektornya Y10 (gambar
8.7). Pendapatan bunga tertinggi sebesar Rp 15,3 Milyar, pendapatan terendah Rp
1,6 Milyar. Dengan range yang tinggi ini bisa disimpulkan bahwa keragaman
peubah atau variabel tersebut tinggi.

8.3 Efisiensi Bank-Bank Unit Penyalur KUR

Efisiensi dalam kaitannya dengan mikrofinance adalah bagaimana kinerja


lembaga ini berkaitan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Output
dalam penelitian ini terdiri dari jumlah KUR yang disalurkan, pendapatan bersih
bunga, pendapatan provisi dan pendapatan jasa. Sedangkan input yang digunakan
dalam model ini adalah simpanan pihak ke-3, beban bunga, beban hadiah, beban
penyisihan kerugian, beban tenaga kerja, biaya umum dan biaya operasional
lainnya. Dari hasil olah data dengan menggunakan DEA, yang berorientasi output
menunjukkan bahwa untuk pendekatan CRS terdapat 18 peers (51,43 persen) dan
23 peers (65,71 persen) dibawah VRS. Bank-bank unit dikatakan efisien apabila
secara teknis dengan pendekatan CRS maupun dalam skala efisiensi (SE) berskore
1 (tabel 7.1). Dikatakan tidak efisiens jika tidak sama dengan 1. Fo adalah fungsi
jarak output Farrell, atau strong disposability of outputs atau dapat dikatakan
bahwasanya output dapat ditingkatkan lagi dengan input yang sama atau tanpa
mengeluarkan biaya tambahan, besarnya output dapat diatur secara bebas (Fre
dan Grosskopf 2000). Untuk dmu yang tidak efisien atau tidak sama dengan 1,
misalnya dmu 3 (BM) memiliki CRSTE sebesar 0,947, ini berarti BM harus
mampu meningkatkan output sebesar 5,5 persen lagi tanpa meningkatkan input.
VRSTE sebesar 0,954 maka diperoleh skala efisiensi sebesar 0,947/0,954 atau
0,993. Interprestasi dmu lainnya mengikuti.
89

Model DEA CRS (constant return scale) dan DEA VRS (variable return
scale) digunakan untuk menentukan kecenderungan tren pada bak-bank unit
penyalur KUR di lokasi penelitian yang tergolong pada increasing return to scale
(IRS) atau peningkatan output lebih besar dripada peningkatan input ada 11 unit
(31,43 persen), decreasing return to scale (drs) atau peningkatan input lebih besar
daripada peningkatan output ada 6 unit (17,14 persen) dan sisanya 18 unit (51,43
persen) berada pada tingkat efisien.

Tabel 8.4 Efisiensi bank-bank unit penyalur KUR


Dmu Fo Ringkasan Efisiensi
No. Bank Skor CRSTE VRSTE SE RTS Frequency
unit efisiensi in referent
set
1. PK2 1 1,000 1,000 1,000 - 7
2. BT 1 1,000 1,000 1,000 - 0
3. BM 1,055 0,947 0,954 0,993 Irs 0
4. DS 1 1,000 1,000 1,000 - 6
5. GS 1,09 0,917 0,928 0,988 Drs 0
6. GB 1,052 0,950 0,963 0,987 Drs 0
7. JK 1,02 0,980 1,000 0,980 Irs 1
8. JKN 1,16 0,861 1,000 0,861 Irs 0
9. J2 1 1,000 1,000 1,000 - 0
10. KJ 1 1,000 1,000 1,000 - 0
11. KB 1 1,000 1,000 1,000 - 4
12. KY 1 1,000 1,000 1,000 - 11
13. MR 1,19 0,839 0,847 0,965 Drs 0
14. MH 1,04 0,961 1,000 0,961 Irs 1
15. NGP 1 1,000 1,000 1,000 - 4
16. SL 1 1,000 1,000 1,000 - 3
17. TK 1,09 0,915 0,948 0,965 Drs 0
18. WR 1,04 0,961 1,000 0,961 Irs 0
19. WN 1,12 0,890 0,891 0,999 Irs 0
20 J1 1,06 0,941 0,944 0,997 Drs 0
21. PK1 1,14 0,877 0,884 0,992 Irs 0
22. TY 1,08 0,930 0,934 0,996 Irs 0
23. AL 1 1,000 1,000 1,000 - 0
24. GW 1 1,000 1,000 1,000 - 1
25. KW 1 1,000 1,000 1,000 - 4
26. NG 1,06 0,935 0,948 0,986 Drs 0
27. PH 1,01 0,989 0,995 0,993 Irs 0
28. PK 1 1,000 1,000 1,000 - 6
29. PL 1,13 0,883 0,929 0,951 Irs 0
30. PS 1 1,000 1,000 1,000 - 5
31. PW 1,08 O,926 1,000 0,926 Irs 0
32. TM 1 1,000 1,000 1,000 - 0
33. TR 1 1,000 1,000 1,000 - 1
34. TH 1 1,000 1,000 1,000 - 6
35. CS 1 1,000 1,000 1,000 - 1
Mean 1,04 0,964 0,976 0,987
Catatan:
crste: constant return scala technical efficiency
vrste: variable return scale technical efficiency
se : scale efficiency = crst/vrst, Irs= increasing, Drs = decreasing
90

Berdasarkan tabel 8.4 di atas, nilai rata-rata dari constant return to scale
technical efficiency (CRSTE), variable return scale technical efficiency (VRSTE)
dan scale efficiency (SE) dari bank-bank unit penyalur KUR dapat diringkas
ditabel 8.5 berikut;

Tabel 8.5 Deskripsi skala efisiensi tehnik


Keterangan CRSTE VRSTE SE
Rata-rata 0,964 0,976 0,987
Maksimum 1 1 1
Minimum 0,839 0,847 0,861
Jumlah nilai efisien = 1 18 23 17
Jumlah nilai inefisien <1 17 12 18
constant return to scale technical efficiency (CRSTE), variable return scale
technical efficiency (VRSTE), scale efficiency (SE)

Bank-bank unit yang efisien menjadi titik acuan bagi seluruh bank unit yang
tidak efisien sekaligus menjadi amplop (envelope) yang menutupi seluruh set data
yang ada. Bank bank unit yang tidak efisien dapat mempelajari dan mengacu
sistem yang dilaksanakan di bank bank unit yang efisien. Bank bank unit yang
efisien yang memiliki karakteristik yang sama dapat digunakan sebagai acuan atau
rujukan (peer). Dari hasil olahan (tabel 8.6) dapat dilihat kelompok terdekat
(peer unit) untuk masing masing bank unit. Bank-bank unit yang tidak efisien bisa
mengacu lebih dari satu unit bank. Sebagai contoh, bank unit Bulumanis (BM)
yang tidak efisien bisa mengacu pada bank unit Tambaharjo (TH), Pati kota 2
(PK2), Karang Wotan (KW), Kayen (KY), Dukuhseti (DS), Pakis (PK), dan
Plaosan (PS).

Tabel 8.6 Bank-bank unit rujukan


No. Bank-bank unit yang tidak efisien Rujukan/Peers
1. BM TH, PK2, KW, KY, DS, PK, PS
2. GS KB, KY, PK2
3. GB PK, PK2, DS, KY, NGP
4. MR PK2, KY, DS, PK
5. TK KY, KB, SL, NGP
6. WN KY, DS, PK, PS, PK2
7. J1 PK2, KY, PK, DS, TH
8. PK1 PK2, DS, PK, PS, KY
9. TY KY, PK, KW, DS
10. NG SL, GW, DS
11. PH CS, TR, KB, KY, NGP, SL
12. PL KY, KB, DS, KW, KB
91

Tabel 8.7 Optimalisasi penyaluran KUR di Pati (Rp juta), 2013


No. Bank Unit KUR KUR otimal/ Potensi Efektifitas
disalurkan target KUR (%)
1. PK2 13.131 13.131 0 100
2. BT 5.998 5.998 0 100
3. BM 4.970 10.681 5.711 46,53
4. DS 26.444 26.444 0 100
5. GS 5.090 16.464 11.374 30,92
6. GB 4.845 9.992 5.147 48,49
7. JK 10.432 10.432 0 100
8. JKN 6.624 6.624 0 100
9. J2 14.858 14.858 0 100
10. KJ 9.792 9.792 0 100
11. KB 14.838 14.838 0 100
12. KY 17.707 17.707 0 100
13. MR 8.878 15.110 6.232 58,76
14. MH 7.760 7.760 0 100
15. NGP 6.975 6.975 0 100
16. SL 23.125 23.125 0 100
17. TK 12.715 15.196 2.481 83,67
18. WR 8.372 8.372 0 100
19. WN 6.119 12.921 6.802 47,36
20 J1 13.608 14.418 810 94,38
21. PK1 8.530 13.098 4.568 65,12
22. TY 9.123 16.254 7.131 56,12
23. AL 6.481 6.481 0 100
24. GW 7.301 7.301 0 100
25. KW 5.349 5.349 0 100
26. NG 3.471 8.774 5.303 39,56
27. PH 6.596 7.335 739 89,92
28. PK 6.111 6.111 0 100
29. PL 6.537 10.058 3.521 64,99
30. PS 7.751 7.751 0 100
31. PW 4.734 4.734 0 100
32. TM 6.026 6.026 0 100
33. TR 10.986 10.986 0 100
34. TH 4.766 4.766 0 100
35. CS 3.987 3.987 0 100

Bank-bank unit yang efisien telah melaksanakan sistem kinerja yang baik.
Diantara bank-bank unit yang efisien tersebut menunjukkan ada beberapa bank-
bank unit yang lebih baik dari yang lainnya. Dari daftar bank-bank unit rujukan
tersebut di atas dapat dilihat ada beberapa bank unit yang paling sering muncul
yaitu bank unit Kayen (KY) sebanyak 11 kali, bank units Pati kota 2 sebanyak 7
kali, bank unit Dukuhseti (DS), Pakis (PK), dan Tambaharjo (TH) masing-masing
sebanyak 6 kali. Hal ini menunjukkan bahwa bank unit Kayen mampu
92

menghasilkan output yang paling optimal dari input yang dimilikinya. Paling
seringnya nama bank unit muncul dari tabel di atas menunjukkan bank unit
tersebut paling banyak menjadi acuan yaitu bank unit Kayen.
Beberapa alasan yang mendorong bank unit Kayen mampu beroperasi
paling efisien pada tahun 2013 diantaranya adalah; 1) mampu menyerap dana dari
pihak ketiga yang paling tinggi (Rp 66,7 milyar), 2) sekaligus mampu
menyalurkan dananya ke masyarakat (KUR) terbesar ketiga (Rp 17,7 milyar), 3)
mampu menyerap nasabah KUR terbesar ketiga, 4) sebagai salah satu bank unit
yang berada di kuadran pertama (gb 7.2) yang berarti pencapaian KUR yang
disalurkan dan nasabah yang diperolehnya tinggi, 5) biaya operasionalnya
mengalami penurunan meskipun pendapatan operasionalnya mengalami
peningkatan. Bank-bank unit yang tidak efisien harus mampu belajar dari bank-
bank unit lain bagaimana mengoptimal output dengan input yang dimilikinya.
Return to scale (RTS) menunjukkan bahwa semua bank-bank unit yang
efisien (berdasarkan skala efisiensi) beroperasi secara efisien dan untuk bank-bank
unit yang tidak efisien perlu melakukan perubahan secara teknis untuk
meningkatkan output atau meningkatkan penyaluran KUR mikronya. Oleh karena
itu perlu mengetahui tingkat output yang optimal atau besarnya KUR yang masih
bisa disalurkan meskipun tanpa meningkatkan input yang sudah ada. Penyaluran
KUR yang belum optimal perlu ditingkatkan baik dengan memperluas jangkauan
nasabah baik jumlah nasabah maupun kualitas nasabah. Jangan sampai pula
jumlah nasabah meningkat namun non performance loannya juga meningkat lebih
tinggi, yang berarti kualitas kreditnya tidak bagus. Seberapa jauh penyaluran KUR
perlu ditingkatkan dari masing masing bank unit terlihat di table 8.7.
Berdasarkan tabel 8.7 di atas terlihat bahwa bank unit Gabus memiliki
alokasi dana yang terbesar yang perlu disalurkan sebesar Rp 11,3 milyar.
Kemampuan Gabus dalam menyerap dana pihak ketiga paling besar kedua
(setelah Kayen) dibandingkan dengan bank-bank unit lainnya, namun kemampuan
untuk menyalurkan dalam bentuk kredit masih jauh dari yang optimal.
Produktifitas bank unit Gabus hanya sekitar 30,92 persen dari kapasitas yang ada.
Dengan begitu, tantangan bank unit Gabus untuk menyalurkan KUR semakin
besar, kecuali biaya yang harus dikeluarkan kepada pihak ketiga akan lebih besar
daripada pendapatan yang diterima.
Bank unit Gabus tidak mampu beroperasi secara efisien karena beberapa
alasan sebagai berikut; 1) penyerapan dana pihak ketiga tinggi tertinggi nomor
dua setelah Kayen dan meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun
penyaluran KUR nya mengalami penurunan. 2) Jumlah nasabah mengalami
penurunan sekaligus rata-rata KUR per nasabahnya juga menurun. 3) Jumlah
nasabah KUR paling rendah dibandingkan dengan bank bank unit lainnya. Secara
ringkas alasan bank unit Kayen menjadi acuan bagi bank-bank lain dan alasan
Gabus beroperasi dengan efektifitas yang rendah berkaitan dengan penyaluran
KUR tersaji di tabel 8.8 berikut:
93

Tabel 8.8 Perbandingan Bank Unit Kayen dan Bank Unit Gabus
Bank Unit Kayen Bank Unit Gabus
1. Mampu menyerap dana pihak ke- 1. Mampu menyerap dana pihak ke-3
3 terbesar Rp 66,7 miyar, terbesar no 2 setelah Kayen Rp
sekaligus mampu menyalurkan 66,27 milyar, namun penyaluran
KUR terbanyak no 3 sebesar Rp KUR menurun dan hanya Rp 5,0
17,7 milyar milyar.
2. Optimasi KUR yang disalurkan 2. Optimasi KUR yang disalurkan
tercapai dan tingkat efektifitasnya tidak tercapai dengan tingkat
100 persen efektifitas terendah 30,92%
3. Mampu menyerap nasabah KUR 3. Penyerapan nasabah KUR terendah
terbesar ketiga 1.861 setelah SL hanya 431
dan DS
4. Salah satu bank unit yang berada 4. Salah satu bank unit yang berada di
di kuadran pertama, merupakan kuadran keempat, yaitu kuadran
kuadran dimana nasabah dan dimana nasabah dan KUR yang
KUR yang disalurkan tinggi disalurkan paling rendah
5. Pendapatan operasionalnya 5. Baik pendapatan maupun biaya
meningkat, sebaliknya biaya operasional mengalami peningkatan.
operasional menurun.

9 KREDIT USAHA RAKYAT DALAM PERWILAYAHAN


KABUPATEN PATI

9.1 Inefisiensi Penyaluran KUR Berdasarkan Pola Tipologi Wilayah Pati

Dari tabel 8.4 di atas angka 1 dalam skala efisiensi berarti unit bank efisien,
sedangkan nilai dibawah 1 berarti inefisien. Rata-rata inefisiensi dalam skala
efisiensi adalah 0,987, dan inefisiensi tertinggi dicapai oleh bank unit JKN sebesar
0, 861. Untuk inefisiensi terendah dicapai oleh bank unit WN sebesar 0,999.
Dengan demikian inefisien dikategorikan ke dalam 2 kelompok yaitu inefisiensi
tinggi dan inefisiensi rendah seperti di tabel 9.1 berikut.

Tabel 9.1 Frekwensi skala efisiensi bank-bank unit penyalur KUR


Kategori Skala efisiensi Jumlah Prosentase
Efisien 1 18 51,43%
Inefisien rendah 0,931-0,999 15 42,86%
Inefisien tinggi 0,861-0,930 2 5,71%

Meskipun efisiensi dalam perhitungan ini relatif, namun menunjukkan


sebagian besar bank-bank unit penyalur kredit usaha rakyat ini efisien (warna
pink) lebih dari 50 persen sebanyak 18 unit, dan terbanyak
94

Tabel 9.2 Inefisiensi penyaluran KUR berdasarkan pola tipologi wilayah


No Tipologi Wilayah Skor Karakteristik
Kec. Pucakwangi: 0,926
1. Sumber daya fisik Pegunungan kapur. Sebagai kecamatan
wilayah paling ujung menyebabkan wilayah ini
kurang aktifitas ekonominya dibandingkan
dengan wilayah lain, sehingga mendorong
penyaluran KUR yang kurang optimal dan
sangat tidak efisien apalagi penyaluran
KUR diperebutkan oleh dua bank unit yaitu
PW dan KW. KW mampu mencapai efisien
karena letaknya berbatasan dengan
kecamatan Winong, sedangkan PW
berbatasan dengan pegunungan.
2. Sumber daya Jumlah penduduk di Kec. Pucakwangi
manusia hanya 40.847 termasuk lima terkecil dengan
10.865 penduduknya miskin yang berarti
skala ekonomi dalam penyaluran KUR pun
kecil.
Kec. Jakenan 0,861
1. Sumber daya fisik Daerah barat Jakenan merupakan DAS
wilayah Sungai Juwana yang setiap musim
penghujan menjadi langganan banjir akibat
meluapnya Sungai Juwana. Pada awal tahun
2008, banjir menenggelamkan daerah barat
Kecamatan Jakenan hingga kedalaman 3,5
meter yang berlangsung selama lebih dari
satu bulan. Faktor ini yang mendorong
penyaluran KUR di kecamatan ini tidak
optimal dan sangat tidak efisien.
2. Sumber daya Jumlah penduduk di Kec. Jakenan hanya
manusia 40.588 termasuk dua terkecil dengan 11.625
penduduknya miskin yang berarti skala
ekonomi dalam penyaluran KUR pun kecil.
3. Aktifitas ekonomi Mata pencaharian penduduk Kecamatan
Jakenan sebagian besar adalah bertani
dengan memanfaatkan lahan pertanian
berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi
menggantungkan hidup sebagai buruh pada
berbagai industri yang ada di kota Juwana
dan Pati Kota. Karena minimnya lapangan
pekerjaan yang tersedia maka tidak sedikit
warga yang pergi merantau ke lain daerah
bahkan ke luar negeri, seperti umumnya
warga Kabupaten Pati lainnya. Kurangnya
aktifitas ekonomi menyebabkan kurang
optimalnya penyaluran KUR.
Sumber: BPS Kabupaten Pati, 2012
95

kedua adalah inefisen yang rendah (warna hijau) sebanyak 15 unit (42,86
persen) dan sangat inefisien (warna kuning) sebanyak 2 atau 5,71 persen yaitu
bank unit JKN dan PW (gambar 9.1). Terdapat 21 kecamatan di Kabupaten Pati.
Kedua bank unit yang memiliki inefisien yang tinggi berada di bawah wilayah
Pati atau bagian selatan. Wilayah Pucakwangi merupakan wilayah tenggara paling
ujung berbatasan dengan Kabupaten Blora yang dipisahkan oleh gunung kapur.
Wilayah Jakenan juga berada di bagian tenggara kabupaten Pati. Berdasarkan
gambar peta dibawah, wilayah Pati bagian Selatan yang tidak efisien (warna
hijau) adalah kecamatan Jaken, Winong, Tambakromo dan sebagian Gabus.
Sisanya berada dalam kondisi efisien untuk wilayah selatan kabupaten Pati.
Kecamatan Pucakwangi. Kecamatan Jakenan, Jaken, Pekalongan dan
Pucakwangi dulu merupakan wilayah dengan kawedanan yang sama yaitu
Jakenan. Di kecamatan ini terdapat dua bank unit yaitu (PW dan KW) dimana
KW tercapai efisiensi namun PW tidak efisien. Wilayah-wilayah ini merupakan
wilayah dengan tipologi yang sama yang berada di wilayah selatan dan timur
kabupaten Pati. Kecamatan Pucakwangi merupakan wilayah tenggara paling
ujung yang berbatasan dengan kabupaten Blora yang dibatasi oleh pegunungan
Kapur. Sebagai wilayah paling ujung menyebabkan wilayah ini kurang aktifitas
ekonominya dibandingkan dengan wilayah lain, sehingga mendorong penyaluran
KUR yang kurang optimal dan sangat tidak efisien apalagi penyaluran KUR
diperebutkan oleh dua bank unit.
Kecamatan Jakenan. Kecamatan Jakenan terletak di bagian timur
Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di ketinggian
antara 10-25 meter dpl. Di sebelah barat berbatasan dengan Pati kota yang dibatasi
oleh sungai terbesar di Kabupaten Pati, yaitu Sungai Juwana. Seluruh wilayahnya
terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis "aluvial". Daerah barat yang
menjadi Daerah Aliran Sungai Sungai Juwana setiap tahun pada musim penghujan
menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Pada awal tahun 2008,
banjir menenggelamkan daerah barat Kecamatan Jakenan hingga kedalaman 3,5
meter yang berlangsung selama lebih dari satu bulan. Faktor ini yang mendorong
penyaluran KUR di kecamatan ini tidak optimal dan sangat tidak efisien.
Secara administratif, Kecamatan Jakenan terdiri atas 23 desa yang terbagi ke
dalam 58 Rukun Warga (RW) dan 341 Rukun Tetangga (RT). Mata pencaharian
penduduk Kecamatan Jakenan sebagian besar adalah bertani dengan
memanfaatkan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi
menggantungkan hidup sebagai buruh pada berbagai industri yang ada di kota
Juwana dan Pati Kota. Karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia maka
tidak sedikit warga yang pergi merantau ke lain daerah bahkan ke luar negeri,
seperti umumnya warga Kabupaten Pati lainnya. Selain padi, produk pertanian
daerah ini adalah kedelai dan kacang hijau.Perekonomian Kecamatan Jakenan
mepunya tiga pasar : pertama Pasar Jakenan yang diberi nama Pasar "GO REJO"
Pasar ini digunakan sebagai Pasar Orang dan Pasar Hewan namun pasar ini mulai
sepi. Kedua Pasar Sembaturagung yang disebut Pasar Jagan bertempat di Desa
Sembaturagung dibuka setiap hari. Ketiga Pasar Banglean yang terdapat di desa
Tambahmulyo.
Wilayah lain yang tidak efisien atau inefisien rendah ada 15 dari bank unit
yaitu BM, GS, GB, JK, MR, MH, TK, WR, WN, J1, PK1, TY, NG, PH dan PL.
96

Kecamatan Widarijaksa. Wilayah Kecamatan Widarijaksa merupakan


wilayah bank unit yang tidak efisien karena kecamatan ini merupakan wilayah
tersempit kedua di Kabupaten Pati. Sebagai wilayah tersempit kedua
mempengaruhi penyaluran KUR yang tidak optimal sehingga terjadi inefisien.
Apalagi di kecamatan ini terdapat dua bank unit (WR dan PH), keduanya
penyaluran KUR tidak efisien.
Kecamatan Wedarijaksa terletak lebih kurang 9 km ke arah utara kota Pati.
Terletak di ketinggian antara 1-28 meter dpl, wilayah kecamatan Wedarijaksa
terdiri dari tanah Regasol, Latosol dan sebagian lagi berjenis Red yellow
mediteran. Dengan luas wilayah seluas 4.085 ha yang terdiri atas lahan
persawahan seluas 1.967 dan lahan bukan sawah seluas 2.118. Penduduk
kecamatan Wedarijaksa berjumlah 57.666 jiwa dengan komposisi 28.630 jiwa
laki-laki dan sisanya 29.036 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk
kecamatan Wedarijaksa berprofesi sebagai petani dengan komoditas utama padi,
tebu, palawija dan tanaman buah. Selain itu tidak sedikit pula yang berprofesi di
bidang niaga, industri rumah tangga dan pelayanan jasa. Dalam bidang ekonomi,
masyarakat kecamatan Wedarijaksa memiliki 6 buah pasar tradisional yang salah
satunya terletak di pusat kota kecamatan.
Kecamatan Jaken. Kecamatan Jaken terletak di ujung timur dan tenggara
dari Kabupaten Pati yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten
Rembang. Ibu kota kecamatan ini terletak 30 km ke arah barat dari ibu kota
kabupaten Pati. Luas wilayahnya 58,52 km persegi dengan jumlah penduduk
45.209 jiwa yang tersebar di 21 desa. Di bagian selatan Kecamatan jaken ini
dibatasi oleh pegunungan kapur utara. Kurangnya aktifitas ekonomi dibandingkan
dengan kecamatan lain mendorong penyaluran KUR tidak optimal di wilayah ini.
Kecamata Winong. Bank unit PL dan WN berada di wilayah Kecamatan
Winong. Keberadaan dua bank unit dalam suatu wilayah kecamatan menyebabkan
masing-masing bank unit kurang optimal dan tidak efisien dalam menyalurkan
KUR meskipun bank unit WN inefisiensinya 0,999. Meskipun kecamatan Winong
merupakan kecamatan dengan ibukota kecamatan terbesar setelah Pati, Juwono
dan Tayu, tapi nampaknya penyaluran KUR belum optimal.
Kecamatan Margoyoso. Di kecamatan ini terdapat dua bank unit BM yang
tidak efisien dan NGP yang mampu efisien. Sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, petani tambak, nelayan, wiraswasta dan buruh.
Margoyoso dikenal dengan industri tepung tapioka, tepatnya di Desa Ngemplak
Kidul. Dengan adanya industri di desa Ngemplak ini mendorong penyaluran KUR
di bank unit NGP bisa optimal. Di daerah ini terdapat wisata religi Makam Syekh
Ronggo Kusumo (di Desa Ngemplak Kidul) dan Makam Syekh Akhmad
Mutamakkin (di Desa Kajen), serta wisata alam Tambak Buntu. Hal ini yang
mendorong kegiatan aktifitas ekonomi di wilayah ini meningkat.
Kecamatan Margorejo. Secara geografis kecamatan ini berada di wilayah
barat kabupaten Pati. Terdiri dari 18 desa, 28 dukuh, 62 rukun warga dan 318
rukun tetangga. Jumlah penduduk 56.731 orang. Topografi permukaan daratan
kecamatan ini relatif datar dengan sedikit perbukitan. Luas tanah sekitar 6.181
hektar, terbagi tanah sawah seluas 2.755 hektar dan bukan sawah seluas 3.426
hektar. Di wilayah bagian selatan kecamatan Margorejo merupakan dataran
rendah dilalui sungai Silugonggo yang cukup besar, dan setiap tahun
menggenangi desa Langenharjo, desa penambuhan dan desa jambean kidul.
97

Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir ini sangat besar. Dengan kondisi seperti ini
mempengaruhi penyaluran KUR karena bank menghindari gagal kredit.

Gambar 9.1 Peta tipologi wilayah berdasarkan efisiensi KUR di Kabupaten Pati
98

Kecamatan Juwono. Kota Juwana merupakan kota di pesisir utara pulau


Jawa yang terletak di jalur pantura yang menghubungkan kota Pati dan kota
Rembang. Kota Juwana merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Pati setelah
Pati. Di kota ini terkenal dengan industri kerajinan kuningan dan pembudidayaan
bandeng. Merupakan daerah pesisir dan dataran rendah dengan tanah berjenis
aluvial dan red yelloy mediteran. Kota ini juga dilalui oleh sungai Juwana (disebut
juga sungai Silugonggo) yang menjadi daerah aliran sungai waduk Kedungombo.
Sungai terbesar di Kabupaten Pati ini tiap tahun mengakibatkan banjir termasuk di
kota Juwana. Luas wilayah kecamatan Juwana adalah 5.593 ha (55,93 km). Di
Kecamatan ini terdapat dua bank unit penyalur KUR, yaitu J1 dan J2. Dri kedua
bank unit tersebut satunya efisien dan satunya inefisien. Seperti halnya di
kecamatan-kecamatan lainnya, untuk keberadaan dua bank unit dalam satu
kecamatan menyebabkan salah satunya tidak efisien.
Jumlah penduduk kecamatan Juwana sebanyak 87.484 jiwa yang terdiri atas
43.565 jiwa laki-laki dan 43.919 jiwa penduduk perempuan. Mayoritas penduduk
kecamatan Juwana bermata pencarian sebagai petani, nelayan dan buruh.
Kecamatan ini mempunyai banyak lapangan kerja. Hal yang menjadi ciri khas
kecamatan Juwana adalah usaha kerajinan logam kuningan yang sebagian besar
terdapat di desa Growonglor dan sekitarnya, serta usaha tambak perikanan di desa
Bajomulyo, Agungmulyo dan desa-desa sekitarnya. Dua perusahaan kuningan
terbesar dari kota Juwana adalah Krisna & Sampurna.
Kota Juwana juga merupakan kota industri. Pabrik Rokok Djarum
mempunyai cabang produksi di Kota Juwana, dan juga Pabrik Rokok Tapel Kuda,
yang merupakan salah satu pabrik rokok tertua di Indonesia, basis produksi nya
berada di kota Juwana. Selain Pabrik Rokok, kota Juwana juga memiliki pabrik
minyak kacang.
Pelabuhan Juwana menjadi salah satu tulang punggung kekuatan
perekonomian kecamatan Juwana. Pelabuhan ini menjadi salah satu pintu masuk
kapal-kapal pengangkut kayu dari Kalimantan. Hasil tambak maupun tangkapan
nelayan yang didapat antara lain: bandeng, udang, tongkol, kakap merah, kepiting,
ikan pe, cumi, dan kerapu.
Kecamatan Gembong. Satu-satunya kecamatan yang mempunyai dua
waduk sekaligus, yaitu waduk Gunung Rowo dan Waduk Seloromo. Secara
geografis, kecamatan Gembong terdapat di lereng Gunung Muria dan berbatasan
langsung dengan kabupaten Kudus, mempunyai kebun kopi yang sangat luas,
yaitu terdapat di desa Jolong. Jarak dari ibukota Pati sekitar 14 km ke arah barat
laut. Wilayahnya mempunyai luas 6.730 ha yang sebagian besar berupa hutan dan
perkebunan. Sebagai daerah yang berada di ketinggian berkisar antara 20-900
meter dpl, kecamatan Gembong memiliki tanah berjenis Latosol. Secara
administratif, kecamatan Gembong merupakan kecamatan dengan jumlah desa
paling sedikit di Kabupaten Pati karena hanya terdiri atas 11 desa yang terbagi
dalam 85 Rukun Warga (RT) dan 276 Rukun Tetangga (RT). Jumlah desa yang
sedikit berarti jumlah penduduk juga lebih sedikit sekitar 40.780 jiwa. Hal ini
menyebabkan penyaluran KUR belum optimal. Sebagian besar penduduk
kecamatan Gembong berprofesi sebagai petani dengan komoditas utama padi,
tanaman buah (rambutan, durian, jeruk) dan tanaman keras.
Kecamatan Gabus. Kecamatan Gabus terletak di bagian selatan Kabupaten
Pati. Bagian utaranya dibatasi oleh Sungai Juwana. Hal ini mengakibatkan bagian
99

utara kecamatan ini menjadi langganan banjir setiap tahun akibat meluapnya
Sungai Juwana. Dahulunya kecamatan ini menjadi bagian dari Kawedanan Kayen.
Kecamatan Gabus seluas 5.551 ha (55,51 km). Merupakan daerah dataran yang
sebagian besar merupakan tanah berjenis aluvial yang terletak di ketinggian antara
5 sampai dengan 30 meter dpl. Mengingat banjir di wilayah ini mengakibatkan
sering terjadinya kerugian pertanian, perikanan maupun usaha-usaha mikro, maka
diperkirakan penyaluran KUR kurang optimal dan efisien di wilayah ini. Selain
itu di kecamatan ini terdapat 3 bank unit yaitu KB, TM dan GB sehingga
penyaluran KUR semakin ketat. Hanya bank unit GB saja yang kinerjanya tidak
efisien.
Kecamatan Tayu. Kecamatan Tayu merupakan kecamatan termaju ketiga
di Kabupaten Pati setelah kecamatan Pati dan kecamatan Juwana. Terletak lebih
kurang 27 km ke arah utara kota Pati, tepat di jalur yang menghubungkan Pati
dengan Jepara.
Kecamatan ini berada di keinggian antara 1 - 41 meter dpl dan sebagaimana
daerah lain di kabupaten Pati bagian utara, Tanah di Kecamatan Tayu terdiri atas
tanah Aluvial, Red Yellow dan regosol. dengan luas 4.759 ha yang terdiri atas
2.038 ha lahan sawah dan sisanya seluas 2.721 ha lahan non sawah. Secara
administratif, Tayu terbagi dalam 21 desa yang memiliki 72 Rukun Warga (RW)
dan 368 Rukun Tetangga (RT). Di kecamatan ini terdapat dua bank unit penyalur
KUR yaitu (TY dan PK). Bank unit PK mengalami optimal dan efisien dalam
penyaluran KUR karena tingkat aktifitas ekonomi di daerah ini tinggi didorong
keberadaannya pabrik gula di wilayah ini. Sebaliknya bank unit TY kurang efisien.
Kecamatan Tayu mempunyai penduduk sebanyak 68.545 jiwa yang terdiri atas
34.074 penduduk laki-laki dan 34.471 penduduk perempuan.
Kecamatan Tambakromo. Kecamatan Tambakromo terletak di bagian
selatan Kabupaten Pati. Bagian selatannya merupakan bagian dari Pegunungan
Kapur Utara yang sekaligus menjadi pembatas dengan Kabupaten Grobogan.
Dahulunya kecamatan ini menjadi bagian dari Kawedanan Kayen. Di kecamatan
ini terdapat dua bank unit yaitu AL dan TK. Bank unit AL mencapai penyaluran
KUR yang optimal sebaliknya bank unit TM kurang efisien. Kecamatan ini
mempunyai luas wilayah sekitar 72,47 km/2 dengan sebagian besar adalah daerah
persawahan. sementara jumlah penduduk daerah tersebut sekitar 47.660 jiwa,
terdiri dari 22.909 jiwa laki-laki dan 24.751 jiwa perempuan serta berkepadatan
730,29jiw/km2. Dari luas wilayah tersebut penduduknya tersebar di 18 desa.
Pendduk tersebut sebagian besar adalah petani, selain itu juga adalah pedagang
dan sebagian besar sebagai perantau atau buruh migran. Perekonomian daerah
tersebut tergolong maju, karena di topang oleh banyaknya buruh migran.
sementara untuk pendidikan daerah ini tidak begitu menonjol di banding
kecamatan-kecamatan pati lainya. Sebagai daerah pegunungan daerah ini
mempunyai beberapa tempat wisata yang menjadikan kegiatan ekonomi semakin
meningkat.

9.2 Efisiensi Penyaluran KUR Berdasarkan Pola Tipologi Wilayah Pati

Beberapa wilayah yang ada di kabupaten Pati berdasarkan gambar peta


diatas, beberapa bank-bank unit nya mencapai penyaluran KUR yang optimal dan
100

efisien. Kegiatan ekonomi yang tinggi dan didukung oleh tipologi wilayah
mendorong bank-bank unit mencapai optimal. Namun biasanya di suatu wilayah
dimana memiliki lebih dari satu bank unit maka salah satunya tidak efisien. Hanya
kecamatan Sukolilo saja yang memiliki lebih dari satu bank unit namun keduanya
mengalami optimal dan efisien.

Tabel 9.3 Efisiensi penyaluran KUR berdasarkan pola tipologi wilayah


No Topologi Wilayah Skor Karakteristik
(Kec. Sukolilo): 1/efisien
1. Sumber daya fisik Dataran rendah dimana secara topologi cocok
wilayah buat tanah pertanian. Wilayah Sukolilo
merupakan kecamatan paling luas yang berarti
skala ekonominya besar.
2. Sumber daya Jumlah penduduk di Kec. Sukolilo terbesar
manusia ketiga mencapai 80.426 yang berarti skala
ekonomi dalam penyaluran KUR pun paling
tinggi.
3. Aktifitas ekonomi Dengan luasnya areal pertanian, maka
pertanian merupakan sektor utama yang
menopang perekonomian wilayah ini.
Pertambangan dan wisata juga merupakan
sektor penting dalam menggerakkan aktifitas
ekonomi.
(Kec. Dukuhseti) 1/efisien
1. Sumber daya fisik Merupakan dataran rendah yang membujur
wilayah langsung ke Laut Jawa. Wilayah Dukuhseti
merupakan kecamatan terluas no 5, sehingga
skala ekonominya cukup luas untuk
penyaluran KUR
2. Sumber daya Jumlah penduduk mencapai 56.777 terbesar
manusia ke-9 dengan tingkat aktifitas ekonomi yang
tinggi membuka peluang penyaluran KUR
bisa maksimal dan menpai efisiensi.
3. Aktifitas ekonomi Perikanan menjadi andalan sumber
perekonomian di wilayah ini selain pertanian.
Industri rumah tangga juga banyak tumbuh di
wilayah ini seperti Batik Bakalan. Industri
kecil dan mikro yang terbanyak adalah industri
gerabah/keramik/batu bata dengan jumlah 499
unit disusul industri makanan dan minuman.
Seiring dengan pesatnya ekonomi di wilayah
kecamatan Dukuhseti ini diperkirakan yang
mendorong permintaan terhadap KUR tinggi
dan pencapaiannya bisa optimal dan efisien.
101

Kecamatan Sukolilo. Di kecamatan ini terdapat dua bank unit (SL dan CS)
yang keduanya mencapai efisien dalam penyaluran KURnya. Kecamatan ini
terletak di paling selatan kabupaten Pati, di bagian selatan berbatasan langsung
dengan Kabupaten Blora, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Kayen. Kecamatan sukolilo merupakan kecamatan terbesar di
Kabupaten Pati dengan luas wilayah 158,74 km2, dengan jumlah penduduk
sekitar 84.426 terdiri dari 41.641jiwa laki-laki dan 42.785 jiwa perempuan dengan
kepadatan 531,85 jiwa/ km2. yang tersebar di 16 desa yang terdiri dari 483 RT
dan 80 RW. Dengan luasnya wilayah dan jumlah penduduk yang tinggi
mendorong penyaluran KUR kedua bank unit mampu mencapai optimal dan
efisien. Kecamatan Sukolilo sebagaian besar terdiri areal perbukitan dan
pegunungan. Secara administratif terdiri dari 7.253 hektar lahan sawah dan 8.621
hektar lahan bukan sawah. Dengan wilayah persawahan yang begitu luas tak pelak
pertanian menjadi sektor utama dalam menopang perekonomian masyarakat
tersebut, selain merantau. Pertambangan Karst serta wisata, baik wisata alam atau
wisata budaya Sukolilo. Potensi pertanian yang cukup besar meliputi pertanian
tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, dan peternakan.
Kecamatan Dukuhseti. Terletak kurang lebih 36 km ke arah utara dari
pusat kota Pati. Merupakan daerah dataran rendah dan berada di pesisir laut Jawa
dengan ketinggian tanah antara 1-40 meter dpl. Secara administratif, kecamatan
Dukuhseti terdiri atas 12 desa, dengan 46, Rukun Warga (RW) dan 342 Rukun
Tetangga (RT). Berpenduduk sebanyak 57.723 jiwa yang terdiri atas 29.184 jiwa
berkelamin laki-laki dan 28.539 berkelamin perempuan. Di Kecamatan ini
berbatasan dengan laut Jawa sehingga banyak usaha rumah tangga berkaitan
dengan perikanan. Sebelah timur kecamatan inilah menjadi sumber pendapatan
masyarakat Dukuhseti. Industri rumah tangga juga banyak tumbuh di wilayah ini
seperti Batik Bakalan. Industri kecil dan mikro yang terbanyak adalah industri
gerabah/keramik/batu bata denga jumlah 499 unit disusul industri makanan dan
minuman. Seiring dengan pesatnya ekonomi di wilayah kecamatan Dukuhseti ini
diperkirakan yang mendorong permintaan terhadap KUR tinggi dan
pencapaiannya bisa optimal dan efisien.
Kecamatan Cluwak (bank unit PS dan NG). Terletak kurang lebih 39 km
ke arah utara dari pusat kota Pati. Berada di lereng Gunung Muria dengan tanah
berjenis "latosol" kecamatan ini berada di ketinggian antara 15-282 m dpl. Secara
administratif, kecamatan Cluwak terdiri atas 13 desa, 74, Rukun Warga (RW) dan
287 Rukun Tetangga (RT). Kecamatan Cluwak berpenduduk sebanyak 44.079
jiwa yang terdiri atas 22.014 jiwa berkelamin laki-laki dan 22.065 berkelamin
perempuan. Dalam bidang kesehatan, mayarakat kecamatan Cluwak dilayani oleh
sebuah Puskesmas dan 2 buah Puskesmas Pembantu. Sedangkan di bidang
perekonomian, kecamatan Cluwak memiliki 3 buah pasar tradisional. Pasar
tersebut terdapat di desa Ngablak. Kecamatan Cluwak memiliki kegiatan ekonomi
yang tinggi. Dengan adanya dua unit bank penyalur KUR di kecamatan ini, maka
salah satu mampu mencapai penyaluran yang optimal dan efisien yaitu bank unit
PS dan yang satunya kurang efisien yaitu bank unit NG.
Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan terletak di ujung timur
Kabupaten Pati yang berjarak lebih kurang 22. Merupakan salah satu kecamatan
yang terletak di pesisir Laut Jawa. Dahulunya kecamatan ini menjadi bagian dari
Kawedanan Juwana. Dengan wilayah daratan seluas 5.066 ha menjadikan
102

kecamatan ini sebagai kecamatan dengan luas wilayah terkecil kelima di


Kabupaten Pati setelah kecamatan Pati, kecamatan Wedarijaksa, kecamatan
Trangkil dan kecamatan Tayu. Kecamatan ini mempunyai ketinggian berkisar
antara 1-4 meter dpl dan terdiri atas tanah berjenis aluvial. Secara administratif,
kecamatan Batangan terbagi ke dalam 18 desa yang terbagi lagi ke dalam 52
Rukun Warga (RW) dan 266 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk kecamatan
Batangan sebanyak 40.799 jiwa dengan komposisi 20.294 jiwa penduduk laki-laki
dan 20.505 jiwa penduduk perempuan. Sebagian besar penduduk bermata
pencarian sebagai petani, petani tambak dan nelayan. Dengan komoditas utama
tanaman padi, tambak Udang Windu dan bandeng. Kecamatan ini hanya memiliki
1 buah pasar tradisional yang terletak di bagian selatan wilayah kecamatan
tepatnya di desa Kuniran. Pasar tradisional ini beroperasi tiga kali seminggu yaitu
pada hari Minggu, Selasa dan Jumat. Hari operasi pasar ini bergantian dengan
pasar Ngulakan yang terdapat di Sumberejo kecamatan Jaken yang hanya berjarak
3 km dari pasar tersebut. Kecamatan Batangan meruapakan satu diantara 4
kecamatan di Kabuapten Pati yang memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). TPI
tersebut terletak di desa Pecangaan. Dengan adanya TPI ini maka akan semakin
meningkatkan aktifitas kegiatan ekonomi di wilayah tersebut sehingga kebutuhan
modal dan penyaluran KUR sangat diharapkan.
Kecamatan Trangkil (bank unit KJ). Kecamatan Trangkil terletak lebih
kurang 11 km ke arah utara kota Pati. Terletak di ketinggian antara 1-36 meter
dpl, wilayah kecamatan Trangkil terdiri dari tanah Regasol, Latosol dan sebagian
lagi berjenis Red yellow mediteran. Dengan luas wilayah seluas 4.284 ha yang
terdiri atas lahan persawahan seluas 1.035 dan lahan bukan sawah seluas 3.249.
Dengan luas wilayah ini, kecamatan Trangkil merupakan kecamatan dengan
wilayah tersempit ketiga di Kabupaten Pati setelah kecamatan pati dan kecamatan
Wedarijaksa. Penduduk kecamatan Trangkil berjumlah 60.335 jiwa dengan
komposisi 29.805 jiwa laki-laki dan sisanya 30.530 jiwa perempuan.
Sebagian besar penduduk kecamatan Trangkil berprofesi sebagai petani dengan
komoditas utama padi, tebu, palawija dan tanaman buah. Dalam bidang ekonomi,
masyarakat kecamatan Trangkil memiliki 2 buah pasar tradisional yang salah
satunya terletak di pusat kota kecamatan. Di kecamatan Trangkil terdapat sebuah
pabrik gula yaitu PG. Trangkil. Pabrik ini telah berdiri sejak tahun 1835, kapasitas
giling terpasang awal ketika didirikan adalah 800 tth. Hingga tahun 2005 PG
Trangkil melakukan Program Pengembangan PT Kebon Agung dengan sasaran
kapasitas giling 4.500 tth. Pabrik gula Trangkil terletak di desa Trangkil. Dengan
adanya pabrik ini geliat ekonomi di wilayah ini hidup. Banyaknya pondok
pesantren di wilayah ini meningkatkan santri pendatang dan aktifitas ekonomi
meningkat, sehingga penyaluran KUR diperkirakan mampu optimal.
Kecamatan Tlogowungu (bank unit TR). Kecamatan Tlogowungu yang
terletak lebih kurang 6 km di sebelah utara kota Pati merupakan salah satu
kecamatan yang berada di sisi sebelah timur lereng Gunung Muria. Dari keadaan
geografi tersebut menjadikan kecamatan ini sebagai salah satu daerah pertanian
yang subur. Komoditas utama daerah ini adalah padi, aneka buah-buahan, dan
tanaman keras seperti pohon jati. Selain itu budi daya sayuran dan tanaman hias
juga banyak dikembangkan oleh masyarakat di kecamatan ini. Wilayahnya seluas
9.446 ha yang merupakan kecamatan dengan wilayah terluas kelima setelah
kecamatan Sukolilo, kecamatan Pucakwangi, kecamatan Winong dan kecamatan
103

Kayen. Tanah di kecamatan ini berjenis tanah latosol dan red yellow mediteran.
Secara administratif, kecamatan Tlogowungu hanya terdiri atas 15 desa yang
terbagi dalam 70 Rukun Warga (RW) dan 318 Rukun Tetangga (RT).
Dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Pati, kecamatan
Tlogowunggu, bersama kecamatan Gunungwungkal merupakan kecamatan
dengan jumlah desa paling sedikit keempat setelah kecamatan Gembong,
kecamatan Dukuhseti dan kecamatan Cluwak. Penduduk kecamatan Tlogowungu
berjumlah 49.556 jiwa (2006) dengan komposisi 24.625 jiwa laki-laki dan sisanya
24.391 jiwa perempuan.
Sebagian besar penduduk kecamatan Tlogowungu berprofesi sebagai petani
dengan komoditas utama padi, tanaman buah dan tanaman keras. Dalam bidang
ekonomi, masyarakat kecamatan Tlogowungu memiliki 2 buah pasar tradisional
yang salah satunya terletak di pusat kota kecamatan.
Tempat-tempat pariwisata di kecamatan Tlogowungu antara lain:
Sendang Tirta Marta Sani terletak di Desa Tamansari Kecamatan Tlogowungu.
Bumi Perkemahan Regaloh salah satu bumi perkemahan di Pati yang masih
terawat terletak di desa Regaloh, sekitar 1 km ke arah utara ibu kota kecamatan
Tlogowungu. Bumi Perkemahan yang mampu menampung ribuan peserta ini
merupakan salah satu tempat berkemah tervaforit di Kabupaten Pati selain Bumi
Perkemahan Jolong. Air terjun Santi Tretes, satu dari dua air terjun Santi. Satunya
lagi disebut Jenar terletak di pada lereng gunung Muria di desa Tlogosari
kecamatan Tlogowungu. Air terjun kedua dinamakan "Jenar" terletak di sebelah
atas. Air terjun kedua ini lebih besar dan tinggi dari pada air terjun yang pertama.
Dengan kondisi tanah pertanian yang subur dan banyaknya tempat wisata di
wilayah ini diperkirakan yang mendorong semakin meningkatnya kegiatan
ekonomi dan penyaluran KUR bisa optimal dan mencapai efisien apalagi di
wilayah ini hanya ada satu bank unit TR
Kecamatan Gunung Wungkal. Bank unit GW yang berada di kecamatan
ini mampu mencapai kinerja penyaluran KUR yang optimal dan efisien. Dengan
luas wilayah 61,80 m2 kecamatan ini menjadi salah satu kecamatan yang
terhitung kecil di kabupaten pati, dengan wilayah sebagian adalah persawahan dan
perbukitan. Dengan jumlah penduduk sekitar 34.950 jiwa terdiri dari 17.559 jiwa
laki-laki dan 17.391 jiwa perempuan, menjadikan kecamatan terkecil
penduduknya di kabupaten Pati. Meski demikian satu-satunya bank penyalur
KUR di wilayah ini, bank unit GW mampu mencapai efisien.
Kecamatan Pati Kota. Desa yang berada di kecamatan pati ini banyak
sekitar 29 desa. Aktifitas di tengah kota sangat tinggi, sehingga kehadirannya
KUR sangat diharapkan oleh rumah tangga usaha mikro. Permintaan KUR
pastilah sangat luas sehingga di kecamatan ini terdapat 4 bank unit yaitu (PK1, PK
2, MH dan TH). PK 2 dan Tambaharjo merupakan bank unit yang mampu
beroperasi secara optimal sedangkan PK1 dan MH tidak efisien. Jumlah penduduk
di kecamatan ini hampir 2 kalinya dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan
lainnya yaitu sekitar 108.930 jiwa yang tersebar di wilayah seluas 42,49 km2
dengan kepadatan mencapai 2.564 jiwa/km2.
Kecamatan Kayen. Di kecamatan ini hanya terdapat satu bank unit saja
yaitu bank unit KY dan mampu menyalurkan KUR terbanyak di Kabupaten Pati.
Bank unit ini mampu menekan biaya operasionalnya semakin hemat, namun
pendapatannya malah meningkat. Sektor pertanian di Kecamatan Kayen memiliki
104

hasil yang cukup melimpah. Luasnya areal pertanian, cukupnya ketersediaan air
irigasi, dan suburnya tanah merupakan beberapa contoh faktor pendukung di
sektor ini. Padi, jagung, ubi-ubian, sayur mayur, buah-buahan, dan ikan air tawar
adalah beberapa hasil dari sektor pertanian dan perikanan.

10 IMPLIKASI KEBIJAKAN

10.1 Pemerintah Pusat: Kebijakan Terkait keberlanjutan dan Prioritas


Target

10.1.1 Kebijakan Terkait Keberlanjutan


Kebijakan suatu program yang baik hendaknya bisa berlangsung lama,
mencapai target atau sasaran yang sudah ditentukan diawal. Keberlangsungan
suatu program sangat penting sehingga biaya yang dikeluarkan selama program
berlangsung tidak sia-sia. Suatu kebijakan dianggap berhasil apabila program
tersebut memberi manfaat atau berdampak positif bagi semua pihak. Pihak-pihak
yang terlibat dalam penyaluran kredit secara garis besarnya dibagi dua pihak,
yaitu pihak penyalur KUR dan pihak penerima KUR atau nasabah. Kedua pihak
ini harus mendapatkan manfaat yang positif. Dampak KUR pada ekonomi rumah
tangga usaha mikro ternyata memberikan peningkatan pada keuntungan sehingga
meningkatkan juga pendapatan dan kepemilikan aset ekonomi rumah tangga.
Dalam kaitannya dengan tujuan KUR dicanangkan untuk mengurangi kemiskinan,
maka melalui jumlah pekerja yang bisa diserap oleh usaha mikro, maka dengan
adanya KUR ini maka jumlah pekerja yang bisa diserap oleh usaha mikro makin
banyak yang berarti tujuan KUR untuk mengurangi kemiskinan melalui
pemberdayaan usaha mikro tercapai. Melalui KUR ini maka pengangguran bisa
ditekan, pada akhirnya pengurangan kemiskinan berhasil. Selain manfaat yang
bisa diambil oleh nasabah KUR sendiri melalui peningkatan pendapatan, nasabah
juga harus mampu dan mau membayar cicilan dengan baik. Terkadang suatu
program memberikan dampak pada rumah tangga tetapi mereka tidak mampu atau
tidak mau membayar tagihan. Dari hasil penelitian, resiko gagal bayar nasabah
sangat kecil bahkan bisa diabaikan.
Selain dari sisi nasabah, maka bagi bank pelaksana penyalur KUR juga
harus mendapatkan manfaat yang positif. Suatu bank juga harus mendapatkan
keuntungan dan tidak mengalami kerugian. Kerugian bisa terjadi jika nasabah
gagal bayar atau non performance loannya (NPL) tinggi. Ternyata NPLnya
semakin rendah dan saat ini hanya 0,5 persen. Kinerja bank-bank unit penyalur
KUR sebagian besar atau lebih dari 51,43 persen beroperasi secara relatif efisien.
Ketidakefisien tidak mencerminkan bahwa bank unit mengalami kerugian
operasional. Hanya ada 1 bank unit yang mengalami kerugian operasionalnya
yaitu bank unit Juwono 1. Nilai efisiensi dalam penelitian ini bukanlah nilai
mutlak, namun efisiensi relatif antara bank-bank unit yang menyalurkan KUR.
Ketidakefisiensi lebih disebabkan karena ketidakoptimalan penyaluran KUR dari
yang seharusnya. Semakin optimal KUR yang disalurkan, akan semakin besar
usaha rumah tangga mikro terlayani dan semakin besar keuntungan yang bisa
diraih. Dengan karakteristik masing-masing bank unit yang hampir sama, untuk
105

bank-bank unit yang belum mencapai efisiensi bisa mengacu ke bank-bank unit
yang sudah efisien. Bank unit Kayen bisa menjadi role model bagi bank-bank unit
lainnya, selain juga bank unit Pati 2, Dukuhseti, Pakis dan Tambaharjo. Bank-
bank unit yang tidak efisien, terutama bank unit Gabus tetap memiliki potential
improvement untuk dapat menjadi efisien karena memiliki kondisi input yang
memadai, sebagai contoh memiliki dana simpanan pihak ke-3 yang jauh memadai
selain juga memiliki sumber daya manusia dengan sistem perekrutan, training dan
pengembangan yang sama dengan bank-bank unit lain yang efisen. Barangkali
dengan sistem rotasi karyawan atau dengan pelatihan akan mendorong dalam
pencapaian target kembali. Karena menurut Khanmohammadiotaqsara et al.
(2012) tujuan suatu organisasi tergantung pada kemampuan karyawan untuk
melakukan tugas dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi.
Dengan pelatihan sumber daya manusia, maka akan mendorong individu untuk
berkegiatan secara efektif dan efisien.
Jangkauan (outreach) dilihat dari besarnya pinjaman KUR yang disalurkan
mencapai rata-rata Rp 10,2 juta per nasabah, yang berarti sasaran KUR terhadap
usaha rumah tangga mikro mencapai targetnya dan ternyata tingkat NPLnya
hanya mencapai 0,5 persen. Peluang untuk menyalurkan KUR masih terbuka luas
karena baru sekitar 13 persen usaha mikro yang terlayani KUR dari total usaha
mikro yang ada. Ini menunjukkan keberlangsungan KUR dari sisi bank penyalur
KUR menunjukkan mampu berlanjut, hanya diperlukan inovasi SDM selain
tehnologi. Singkatnya, tidak terjadi trade off antara outreach dan sustainability
dalam penelitian ini, sejalan dengan penelitian (zerai & Rani 2012) namun tidak
sejalan dengan Hermes et al. (2011). Ketersediaan bank unit ini di hampir setiap
kecamatan memungkinkan mampu menjangkau nasabah sampai tingkat desa.
Dari uraian diatas maka sustainability dari dua sisi baik nasabah maupun
penyalur KUR tercapai, maka sebaiknya program KUR dilanjutkan oleh
pemerintah. Diperlukan inovatif yang kreatif agar jangkauan penyaluran KUR
semakin luas. Untuk lebih profesional dan spesialis, maka sebaiknya bank
pelaksana penyaluran KUR sebaiknya ditunjuk kepada bank-bank yang selama ini
mampu menyalurkan kredit mikro kepada usaha rumah tangga usaha mikro.
Selama ini, banyak bank pelaksana penyalur KUR yang ditunjuk dan diberi
kesempatan tidak melakukan penyaluran sesuai dengan yang diharapkan, namun
hanya melayani usaha-usaha besar yang bagi mereka lebih menguntungkan saja
padahal NPLnya malah tinggi.
Dengan demikian, implikasi kebijakan untuk keberlanjutan program KUR
tersebut bahwa program KUR harus tetap dilanjutkan dan untuk meningkatkan
dan mempercepat penyaluran KUR maka penting pemerintah menetapkan
kewajiban bagi bank-bank penyalur KUR untuk lebih berkomitmen dalam
menyalurkan KUR mikro dengan mewajibkan sekian persen dari dana pihak
ketiganya untuk disalurkan sebagai KUR.

10.1.2 Kebijakan Terkait Gender


Perempuan tampaknya belum menjadi target prioritas untuk penyaluran
KUR dalam meningkatkan pemberdayaan perempuan, karena laki-laki masih
memiliki peluang untuk akses yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian, rumah tangga usaha mikro yang dikelola oleh laki-
laki dan perempuan hampir seimbang. Untuk usaha mikro yang tidak
106

menggunakan KUR, lebih 60 persen dikelola oleh perempuan, namun usaha


mikro yang mendapatkan KUR, lebih 78 persen didominasi oleh laki-laki. Jika
kepemilikan aset rumah tangga sebagai alasan bagi perempuan untuk tidak bisa
mengakses kredit formal karena kepemilikan aset masih didominasi laki-laki,
maka prioritas penyaluran KUR bagi usaha mikro perempuan bisa dilakukan
dengan model basis kelompok melalui kelompok PKK atau kegiatan perempuan
di pedesaan. Pemerintah melalui kebijakan penyaluran KUR bisa memberikan
atau menetapkan kewajiban pemenuhan kuota dari total KUR yang disalurkan
diperuntukkan bagi perempuan agar lebih berpartisipasi, misalnya menetapkan 30-
40 persen nasabah KUR harus berasal dari wanita.

10.1.3 Kebijakan Terkait Bidang Usaha


Dalam penelitian ini jenis usaha yang banyak ditekuni oleh rumah tangga
usaha mikro adalah usaha informal berupa ritel seperti warung dan jenis-jenis
usaha lainnya yang umum di pedesaan mencapai 60,24 persen. Usaha-usaha
tersebut memiliki karakteristik barrier to entry yang rendah, bahkan bisa
diabaikan dengan tingkat pengembalian modal kerja sampai 70 persen (Grimm et
al. 2011). Sehingga banyak orang baik dengan pendidikan tinggi maupun rendah
dengan mudah untuk memasuki usaha ini. Untuk usaha mikro yang pinjam KUR,
jenis usaha terbanyak juga sektor ritel (45,16 persen) diikuti jasa (19,36persen),
sektor pengolahan (16,77persen), peternakan dan perikanan masing-masing 7,74
persen.
Barangkali alasan sektor lain di luar ritel seperti pengolahan, pertanian
termasuk peternakan dan perikanan memiliki tingkat resiko yang dianggap lebih
tinggi dari sektor ritel sehingga bank enggan memberikan kredit kepada mereka.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan memang usaha mikro pengolahan
memiliki peluang untuk terlambat membayar kembali pinjaman KUR
dibandingkan dengan usaha lain seperti ritel dan jasa. Sektor pengolahan memang
rentan terhadap resiko gejolak pasar seperti kenaikan BBM, namun sektor ini
mampu menyerap tenaga kerja lebih dibandingan dengan sektor lainnya. Sehingga
penting pemerintah untuk memberikan prioritas bagi sektor pengolahan begitu
juga sektor pertanian dan peternakan juga merupakan sektor yang penting sebagai
penopang swasembada pangan. Bagaimana dukungan nyata pemerintah dalam
memberikan prioritas pada bidang usaha adalah dengan membuat atau
menetapkan target kepada bank penyalur KUR untuk menaikkan jumlah KUR
yang disalurkan pada bidang usaha sektor pengolahan dan pertanian. Untuk
mengurangi resiko yang dihadapi oleh perbankan, maka pemerintah harus
menaikkan penjaminan atau subsidi premi atau bunga untuk sektor-sektor tersebut.

10.2 Pemerintah Daerah: Kebijakan Terkait Penyampaian Informasi

10.2.1 Program KUR


Program KUR dicanangkan pemerintah untuk tercapainya keuangan yang
inklusif, khususnya usaha mikro untuk membantu pembiayaan modal kerja dan
investasi dari sumber pembiayaan formal perbankan. Dari total 332 responden
rumah tangga usaha mikro, terdapat 46,7 persen yang sudah mengakses KUR dan
53,3 persen tidak menggunakan sumber pinjaman KUR dalam usahanya. Sumber
107

pembiayaan selain KUR yang ada di masyarakat seperti PNPM, koperasi, BMT,
tetangga, rentenir maupun saudara. Total usaha mikro yang menggunakan sumber
pinjaman lain sebanyak 33,4 persen. Tidak semua rumah tangga usaha mikro yang
mendapatkan pinjaman KUR sesuai dengan yang diminta, bahkan ada yang
ditolak. Sebagian malah memang tidak mengajukan KUR karena tidak
membutuhkan, tidak tahu program, takut maupun apriori dengan bank. Secara
keseluruhan, tampaknya masih ada gap yang besar atas permintaan kredit dengan
yang mampu mengakses kredit. Penolakan kredit sebaiknya diberikan alasan
secara obyektif kepada nasabah sehingga mereka bisa memperbaiki di kemudian
hari. Informasi mengenai produk tampaknya belum sampai ke semua masyarakat,
karena alasan tidak mengakses KUR karena ketidaktahuan program (40,36persen)
termasuk ketidaktahuan bagaimana cara pengajuan KUR. Chau et al. (2012)
mengatakan bahwa di wilayah pedesaan, informasi dari penyedia kredit sangat
penting bagi peminjam untuk memperoleh pinjaman.
Alasan lain rumah tangga tidak mengajukan KUR adalah rasa takut akan
resiko kredit (risk averse) dan karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan,
memberikan persepsi bahwa persyaratan, tingkat suku bunga dan menganggap
dibutuhkan jaminan yang besar untuk mendapatkan kredit bank.
Disinilah pentingnya peran pemerintah daerah melalui instansi terkait ikut
memperkenalkan program KUR kepada masyarakat. Misalnya penyampaian
informasi melalui organisasi-organisasi baik formal maupun informal baik yang
ada di pedesaan maupun di kecamatan. Melalui koperasi-koperasi yang ada
wilayah kabupaten, maka program KUR ini diperkenalkan.
Informasi kredit bisa melalui staf atau organisasi kemasyarakatan. Dengan
begitu staf-staf penyedia KUR sebaiknya lebih gencar dalam memperkenalkan
produk-produk perbankan kepada masyarakat baik produk tabungan maupun
produk pinjaman. Iklan-iklan di televisi penting juga sebagai sarana promosi.

10.2.2 Data Calon Debitur


Pemerintah daerah bisa berperan serta dalam memberdayakan usaha-usaha
mikro di wilayahnya. Tentunya melalui instansi-instansi terkait, pemerintah
daerah mengetahui sentra-sentra industri rumah tangga di wilayah masing-masing.
Pemerintah daerah dengan mengalokasikan APBDnya bisa melakukan pembinaan,
pengembangan dan pendampingan usaha mikro baik yang sedang menerima KUR
mikro maupun yang belum menerima KUR.
Dengan demikian, pemerintah daerah melalui instansi terkait bisa
mengidentifikasi data calon debitur potensial berdasarkan sektor atau jenis usaha
sekaligus berdasarkan wilayah untuk mendapatkan prioritas untuk mendapatkan
pinjaman KUR. Dengan kerja sama antara instansi terkait dengan perbankan,
dalam jangka panjang diharapkan mampu menyusun Basis Data KUR Mikro.

10.3 Perbankan: Kebijakan Terkait Kolateral

Program KUR ini merupakan kombinasi program pemerintah dalam usaha


untuk mencapai keuangan inklusif melalui lembaga keuangan komersil yang
profesional. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat non performance loannya yang
rendah dibawah 5 persen yang disyaratkan pemerintah. Namun demikian ada
108

beberapa nasabah rumah tangga usaha mikro tetap ada yang mengalami kesulitan
dalam pengembalian pinjaman meskipun tidak sampai terjadi gagal bayar atau
default. Nasabah yang mengalami pembayaran tidak lancar atau terlambat lebih
dari dua kali mencapai 13,55 persen. Secara umum, faktor-faktor karakteristik
peminjam seperti gender (wanita), peningkatan usia dan pendidikan yang lebih
tinggi dianggap memiliki moral hazard yang lebih baik dalam pembayaran
pinjaman, namun kenyataannya tidak signifikan mempengaruhi dalam
pembayaran pinjaman. Sehingga berkaitan dengan utang piutang, moral hazard
tidak mampu diandalkan untuk menilai seseorang jujur atau tepat waktu dalam
pembayaran hutang.
Screening awal yang dilakukan oleh bank penyalur KUR untuk menentukan
apakah nasabah perlu dibatasi kreditnya atau tidak, bisa dilihat dari kinerja
kegiatan ekonomi rumah tangga usaha mikro seperti tingkat penjualan, tingkat
pendapatan yang dihasilkan oleh rumah tangga usaha mikro maupun jenis
usahanya. Proses screening awal yang tepat tetap menjadi prioritas pihak penyalur
pinjaman untuk menghindari gagal bayar di kemudian hari. Proses monitoring
penting, namun tampaknya belum menjadi prioritas yang dilakukan oleh pemberi
pinjaman KUR. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pengalihan kredit, bisa dikatakan
sebagai moral hazard juga yang seharusnya untuk modal kerja dan investasi tapi
digunakan untuk keperluan lain, belum sepenuhnya terkontrol oleh bank.
Untungnya, pengalihan ini tidak signifikan mempengaruhi dalam pengembalian
kredit, karena sebagian besar pengalihan kredit digunakan untuk mencicil motor.
Alat transportasi ini masih bisa diperdebatkan sebagai alat yang menunjang usaha
juga.
Dengan demikian proses screening awal dari penyedia KUR sangat penting,
sehingga apakah nasabah KUR harus menyediakan jaminan atau tidak tergantung
hasil dari analisis kredit oleh bank. Meskipun kebijakan KUR oleh pemerintah
tidak menggunakan jaminan dalam meminjam KUR, sebaiknya keputusan apakah
nasabah harus dikenakan jaminan atau tidak diserahkan oleh bank pelaksana KUR.
Namun persyaratan kredit yang mudah dan kecepatan pencairan kredit sangat
penting agar tidak menghambat masyarakat dalam berusaha. Terkadang banyak
pola kredit yang diberikan tanpa adanya agunan, tetapi malah tidak berhasil
karena masyarakat menganggapnya sebagai bantuan. Ternyata dampaknya malah
memberikan etos kerja yang berbeda. Hal ini juga menyangkut moral hazard,
dimana ketika orang tidak dikenakan agunan maka kemungkinan orang tersebut
justru memiliki insentif untuk kurang memberikan perhatian pada usahanya (sifat
ini mencerminkan kualitas/sikap seseorang) yang dapat mengarah kepada
tindakan sub-optimal (kurang acuh) terhadap kegiatannya . Target nasabah KUR
ini bukanlah the poors, tetapi rumah tangga usaha mikro dengan rata-rata modal
kerja maupun jumlah pinjaman KUR sekitar Rp 10 jutaan. Dengan demikian rata-
rata mereka memiliki sesuatu untuk diagunankan. Potensi penyaluran KUR untuk
usaha mikro masih sangat luas karena yang sudah mendapatkan KUR masih
dibawah 13 persen. Sehingga kebijakan pengenaan kolateral sewajarnya
diserahkan kepada bank pelaksana KUR yang mengetahui kondisi calon nasabah.
Akan tetapi screening awal apakah calon nasabah akan disetujui pengajuan
kreditnya atau tidak bukan hanya semata-mata karena kemampuannya untuk
menyediakan jaminan, tetapi hendaknya dilihat dari potensi usaha rumah tangga
usaha mikro tersebut. Dalam hal ini, aktifitas usahanya juga bisa menjadi
109

pertimbangan oleh perbankan apakah pengajuan KUR disetujui atau tidak.


Semakin tinggi aktifitas ekonominya, maka peluang untuk menghasilkan
pendapatan lebih besar yang berarti peluang untuk membayar hutang KUR
menjadi lebih lancar.
Kesimpulannya, bahwa agunan utama yang menjadi prioritas bagi
perbankan adalah kelayakan usaha. Jika usaha rumah tangga mikro tersebut
memiliki prospek yang bagus, maka mendapat prioritas atau peluang yang lebih
untuk mendapat pinjaman KUR. Setelah itu baru diperlukan agunan tambahan jika
ada berupa BPKB atau sertifikat, namun agunan ini bukan menjadi syarat utama.

10.4 Calon/Debitur KUR Mikro: Kebijakan Terkait Graduasi

Graduasi adalah debitur KUR Mikro yang telah berhasil dalam


mengembangkan usahanya sehingga sudah mampu mendapatkan fasilitas
kredit/pembiayaan komersil dari perbankan.
Program KUR sejatinya bertujuan untuk memberdayakan rumah tangga
usaha mikro yang kesulitan modal agar mampu berdikari. Tujuannya agar tercipta
wirausaha-wirausaha yang tangguh dan mampu membantu dalam mengentaskan
kemiskinan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang rumah tangga
usaha mikro yang baru untuk mengakses KUR lebih besar dibandingkan dengan
usaha mikro yang sudah lama berdiri. Setelah mendapatkan peluang untuk
mengakses KUR, diharapkan usaha mikro tersebut kedepannya mampu migrasi
menjadi nasabah yang mau mengakses pinjaman komersil. Debitur KUR Mikro
hanya boleh mengakses pinjaman KUR Mikro maksimal 2 kali yaitu, pinjaman
pertama kalinya dan sekali melakukan suplesi (penambahan plafon kredit karena
usaha meningkat dan lancar, tanpa menunggu kredit/pinjaman lunas).

11 SIMPULAN DAN SARAN

11.1 Simpulan

1. Faktor-faktor yang mendorong rumah tangga usaha mikro untuk


mengakses kredit usaha rakyat adalah lama usaha, gender, hambatan
usaha, kepemilikan rekening dan alternatif pinjaman lain. Semakin lama
usaha berdiri, semakin tidak mengakses KUR. Pria memiliki peluang
lebih untuk mengakses KUR dibanding wanita. Usaha yang memiliki
hambatan modal dan memiliki rekening di bank berpeluang lebih untuk
mengakses KUR daripada usaha yang menghadapi hambatan pemasaran.
Rumah tangga usaha mikro yang memiliki alternatif pinjaman lain
kurang berpeluang untuk mengakses KUR.
2. Faktor-faktor yang mendorong rumah tangga usaha mikro dalam
mengembalikan pinjaman KUR adalah adanya pekerjaan sampingan,
jaminan, pembatasan kredit, jenis usaha, modal kerja, share pengeluaran
makanan dan alternatif pinjaman lain. Rumah tangga usaha mikro yang
memiliki pekerjaan sampingan, meggunakan BPKB sebagai jaminan,
110

tidak mendapatkan pembatasan kredit dan tidak menggunakan sumber


alternatif pinjaman lain akan memiliki peluang lebih besar untuk
membayar kembali KUR. Sedangkan rumah tangga usaha mikro yang
tidak menggunakan jaminan, atau jenis usaha pengolahan, modal kerja
dan pengeluaran makanan yang semakin meningkat maka peluang untuk
membayar kembali KUR semakin berkurang.
3. Pinjaman KUR memberikan dampak positif atau meningkatnya
keuntungan, total pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan kepemilikan
aset. Sedangkan KUR memberikan dampak semakin berkurangnya share
pengeluaran untuk makanan rumah tangga usaha mikro.
4. Pembiayaan KUR bisa berlanjut karena tingkat NPL rendah, KUR
memberikan dampak positif pada kinerja ekonomi rumah tangga usaha
mikro, dan lebih dari 50 persen penyalur KUR mencapai tingkatan
efisien.
5. Wilayah yang efisien memiliki tipologi Sumber daya (SD) fisik berada
di dataran rendah yang cocok untuk pertanian, kecamatannya luas
sehingga skala ekonominya besar (seperti Kec. Sukolilo dan Dukuhseti),
SDMnya memiliki jumlah penduduk yang besar dan aktifitas
ekonominya memiliki pertanian yang maju, industri RT tumbuh, dan
banyak tempat wisata. Sedangkan wilayah yang inefisien, SD fisiknya
seperti wilayah yang berbatasan pegunungan kapur (PW), terletak di
DAS Juwono yang berlangganan banjir (GS, JKN). SDM sedikit dan
aktifitas ekonominya pertanian sawah tadah hujan.

11.2 Saran

Untuk mendorong program pemerintah dalam mengurangi kemiskinan


melalui pemberdayaan usaha mikro, maka program KUR ini sebaiknya
dilanjutkan. Wanita agar lebih dibuka peluangnya untuk mengakses KUR.
Promosi oleh pemerintah harus lebih gencar agar program KUR lebih dikenal
masyarakat. Kecepatan dan ketepatan dalam menyalurkan kredit sangat
diharapkan oleh nasabah, sehingga persyaratan jangan berbelit-belit. Efisiensi
perbankan akan lebih tercapai dengan meningkatkan tehnologi sehingga data dan
informasi yang online dan terintegrasi yang menunjang operasional lebih cepat.
Penelitian lanjutan dampak KUR sangat penting untuk melihat apakah
program KUR ini benar-benar mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Namun, lokasi dalam penelitian ini baru mengambil satu kabupaten saja.
Sehingga hasil belum sepenuhnya mampu mengeneralisasikan dampak KUR
secara nasional. Penelitian selanjutnya diharapkan dilakukan di provinsi atau
kabupaten lainnya atau di luar Jawa.
Faktor-faktor lain yang belum digunakan yang mungkin mempengaruhi
untuk akses kredit perbankan seperti teori berbasis sumber daya (resources-based
theory) terutama digunakan untuk menganalisis sumber daya strategis yang
tersedia untuk perusahaan bisa dimasukkan dalam penelitian lanjutan. Sumber
tersebut mencakup semua aset, kemampuan, proses organisasi, atribut perusahaan,
informasi dan pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan dan yang
111

memungkinkan mereka untuk memahami, dan menerapkan strategi yang


meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Untuk melihat efisiensi bisa juga dilakukan dengan pendekatan parametrik
seperti stochastic frontier approach (SFA), karena pendekatan data envelopment
analysis merupakan pendekatan non parametrik sehingga uji hipotesis statistik
sulit dilakukan sehingga tidak bisa dibuat kesimpulan secara statistik. DEA hanya
mengukur efsisiensi relatif bukan efisiensi absolut, sehingga hasil akan berbeda
apabila penelitian dilakukan pada objek yang berbeda. Diharapkan dengan
pengembangan model tersebut akan memberikan hasil penelitian yang dapat
dibandingkan dan memperkaya khazanah keilmuan.
112

DAFTAR PUSTAKA

________. 2012. Evaluating the Impact of Microfinance on Savings and Income


in Sri Lanka: Quasi-experimental Approach Using Propensity Score
Matching. Sage Publication. The Journal of Applied Economic Research
________. BPS. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi
Indonesia. Agustus 2012, BPS
________. Kajian Dampak Kredit Usaha Rakyat oleh Deputi Bidang Pengkajian
Sumberdaya.UMKM. Asdep Urusan Penelitian UKM
_________. 2008. Poverty Reduction through Developing Micro, Small and
Medium Enterprises. The Pro-poor Planning and Budgeting Project.
Bappenas.
_________. 2012. Sebaran Penyaluran Kredit Usaha Rakyat. www.komite-
kur.com
Afonso JS, Mota IG, and Silva ST. 2010. The Financial Sustainability of Micro
Credit in Portugal. Economics and Management Research Project: An
International Journal 1 (1). 53-56
Agenor PR, Aizenman, and Hoffmaister A. 2000. The Credit Crunch in East
Asia : What can Bank Excess Liquid Assets Tell us? NBER, Inc.,
Cambridge. Working Paper 7951.
Agung, Juda, Kusmiarso B, Pramono B, Erwin GH, Prasmuko A, Prastowo NJ.
2001. Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta Penyebab dan
Implikasi Kebijakan. Direktorat Riset Ekonomi dan kebijakan Moneter
Bank Indonesia. Jakarta
Akram M and Hussain I. 2011. The Role of Microfinance in uplifting Income
Level: a Study of District Okara Pakistan. Interdisplinary Journal of
Contemporary in Business, Vol. 2 No. 11 2011
Akpalu W, Alna SE, Aglobitse, PB. 2012. Access to Microfinance and Intra
Household Business Decission Making; Implication for Efficiency of
Female Owned Enterprises in Ghana. The Journal of Socio Economics 41
(2012) 513-518
Amaizo YE. 2009. Africas Alternative Response to the Global Financial Crisis.
Coalition for Dialogue on Africa (CoDA), Tunis, on November 28, 2009.
Aristian F. 2012. Teori Kemiskinan dan Kebijakan yang Diambil Pemerintah
untuk Mengatasinya. http://febryaristian.blogspot.com/2012/12/teori-
kemiskinan-dan-kebijakan-yang-diambil.html
Armendariz B. and Morduch J. 2005. The Economics of Microfinance, MIT Press,
Cambridge, MA.
Arsyad L. 2004. Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbit STIE YKPN.
Yogyakarta.
Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan
Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. Analisis Kebijakan
Pertanian, Vol. 4 No. 2. Juni 2006:146-164
Asian Development Bank - Economics and Research Department Working Paper
9.
113

Asmorowati S. 2007. Dampak Pemberian Kredit Mikro untuk Perempuan:


Analisis pengadopsian Model Grameen Bank di Indonesia. Fisip.
Universitas Airlangga
Badan Pusat Statistik. BPS. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama
Sosial Ekonomi Indonesia. Agustus 2012, BPS. Indonesia
Bakhshoodeh M, Karami A. 2008. Determinants of poor accessibility to
microcredits in rural Iran. International Conference on Applied Economics.
Banerjee A, Duflo E, Glennerster R, Kinnan C. 2013. The Miracle of
Microfinance? Evidence from a Randomized Evaluation. Department of
Economics, Massachusetts Institute of Technology (MIT) Working paper.
Banker RD, Charnes RD, Cooper WW. 1984. Some models for estimating
technical and scale inefficiencies in data envelopment analysis.
Management Sciences 30, 1078-1092.
Baten A, and Kamil AA. 2010. A stochastic frontier model on measuring online
bank deposits efficiency. African journal of business management, vol. 4
(2), pp. 2438-2449
Behr P, Sonnekalb S. 2012. The Effect of Information Sharing between Lenders
on Access to Credit, Cost of Credit, and Loan Performance Evidence for a
Credit Registry Introduction. Journal of Banking and Finance 36 (2012).
3017-3032
Bhagavath V. 2013. Technical efficiency measurement by data envelopment
analysis: an application in transportation. Alliance journal of business
research, p. 60-72
Burger A, and Moormann J. 2008. Productivity in banks: myths & truths of the
cost income ratio. Bank and bank systems, vol. 3, issue 4
Caliendo M, Kopeinig S. 2005. Some Practical Guidance for the Implementation
of Propensity Score Matching. Discussion paper No. 1588. IZA. Germany
Chakravarty S, Iqbal SMZ, Shahriar AZM. 2013. Are Women Naturally Better
Credit Risks in Microcredit? Evidence from Field Experiments in
Patriarchal and Matrilineal Societies in Bangladesh. Annual Meeting of the
American Economic Association in Philadelphia in 2014
Charnes A, Cooper WW, and Rhodes E. 1978. Measuring the inefficiency of
decision making units. European journal of operational research, 2 (6),
429-444
Chau LTM, Son NT, Lebailly P. 2012. Access to Credit of Farm Households in
Hai Duong Province, Vietnam. Published in the third International Scientific
Symposium Agrosym Jahorina 2012, from 15-17th November 2012,
Bosnia and Herzegovina
Chauke PK, Anim FDK. 2013. Predicting Access to Credit by Smallholder
Irrigation Farmers: A logistic Regression Approach. J Hum Ecol, 42 (3):
195-202 (2013)
Cheyne, OBrien M, and Belgrave M. 1998. Social Policy in Aotearoa New
Zealand: a Critical Introduction Auckland. Oxford University Press
Chowdhury A. 2009. Microfinance as a Poverty Reduction Tool: A Critical
Assessment. DESA Working Paper No. 89
Chowdhury S. 2011. Microfinance and Women Empowerment: a Panel Data
Analysis Using evidence from Eural Bangladesh. International Journal of
Economic and Finance. Vol. 3 No. 5
114

Coelli TJ. 1996. A guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis
(Computer) Program, No 8/96. Centre for Efficiency and Productivity
Analysis Department of Econometric University of New England
Armidale, NSW. Australia
Coleman BE. 2002. Microfinance in Northeast Thailand: Who benefits and How
much?.
Cooper RN. 2005. A Half-Century of Development. CID Working Paper No. 118,
Harvard University.
Cotler P, Woodruff C. 2008. The impact of short term credit on microenterpriser:
Evidence from the Fincomun-Bimbo program in Mexico. Economic
Development and Cultural Change, 830-849. JSTOR
Demirguc-Kunt A, and Klapper L. 2012. Financial inclusion in Africa: an
overview. Policy research working paper 6088, the world bank,
Washington DC
Despallier B, Guerin I, Mersland R. 2011. Woman and Repayment in
Microfinance: A Global Analysis. World Development Vol. 39, No. 5. Pp
758-772. 2011
Dewayati R. 2003. Memahami Persoalan Perempuan Pengusaha Kecil. Jurnal
analis sosial 8 (1).
Diro BA, and Regasa DG. 2014. Impact of micro credit on the livehood of
borrowers: Evidence from Mekelle City, Ethiopia. Journal of research in
economics and international finance, vol. 3 (1) pp.25-32
Dufhues T, Buchenriede G. 2005. Outreach of Credit Institution and Householdss
Access Constraints to Formal Credit in Northern Vietnam. Institute of
Agricultural Economics and Social Sciences in the Tropics and Subtropics
(Ed.), Research in Development Economics and Policy, Discussion Paper
No. 01/2005
Dwiwati Y. 2008. Kajian Program Penyaluran Kredit Usaha kecil melalui
Program Kemitraan. Tidak dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB.
Bogor
Easterly W. 2006. The White Mans Burden: Why the West Efforts to Aid the
Rest Have Done So Much Ill and So Little Good. Penguin Press, New
York.
Endarwati M, Rahmawati P, dan Musaroh (2009). Kemiskinan dan
Pengembangan Model Kredit Mikro bagi Perempuan Miskin di Kota
Jogjakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.
Efendic V. 2009. Efficiency of banking sector of Bosnia-Herzegovina with special
reference to relative efficiency of existing Islamic bank. International
conference on Islamic economics and finance, 1-13
Falkena H, Davel G, Hawkins P, Llewellyn D, Luus C, Masilela E, Parr G,
Pienaar J, and Shaw H. 2004. Competition in South African banking, task
group report for the national treasury & the south African Reserve Bank,
April 2004
Fre R, and Grosskopf S. 2000. Reference Guide to ONFRONT 2. Economic
Measurement and Quality Corporation, Sweden.
Fethi MD and Pasiouras F. 2010. Assessing bank efficiency and performance with
operational research and artificial intelligence techniques: a survey.
European journal of operational research, vol. 204, no. 2, pp. 189-198
115

Fernando NA. 2006. Understanding and Dealing with High Interest Rates on
Microfinance.13. ADB
Fletscher D. 2008. Rural Womens Access to Credit; Market Imperfections and
Intrahousehold Dynamics. World Development, Vol. 37, No. 3. Pp 618-631
Gebeyehu Z, Beshire H, and Haji J. 2013. Determinants of Loan Repayment
Performance of Smallholder Farmers: The Case of Kalu District, South
Wollo Zone, Amhara National Regional State, Ethiopia. International
Journal of Economics, Business and Finance Vol. 1, No. 11, December
2013, PP: 431- 446, ISSN: 2327-8188 (Online) Available online at
http://ijebf.com/
Gemari. 2008. UMKM Jadi Primadona Entaskan Kemiskinan. Edisi 90/ Tahun
IX/ Juli 2008.
Ghalib A, et al. 2011. The Impact of Microfinance and its Role in easing Poverty
of Rural Households: Estimations from Pakistan. RIEB. Kobe University
Ghosh P, Mookherjee D, Ray D. 1999. Credit Rrationing in Developing
Countries: An overview of the theory.
https://www.nyu.edu/econ/user/debraj/Papers/Gmr.pdf
Goetz AM, and Gupta R. 1995. Who Takes the Credit? Gender, Power and
Control Over Loan Use in Rural Credit Programmers in Bangladesh.
World Development. Vol. 24
Godquin, M. 2004. Micro Finance Repayment Performance in Bangladesh: How
to Improve the Allocation of Loan by MFIs. World Development, Vol. 32,
No. 11, pp. 1909-1926
Gordo, G.M. 2013. Timating Philippine bank efficiencies using frontier analysis.
Philippine management Review, Vol. 20, 17-36
Grimm M, Kruger J, Lay J. 2011. Barriers to Entry and Returns to Capital in
Informal Activities: Evidence for sub-Saharan African. The Review of
Income and Wealth. The World Bank
Hartono R. 2013. Model Kelembagaan Kredit Usaha Pertanian Perdesaan. Tidak
dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Hastuti dkk. 2002. Pendanaan Usahatani Padi Pasca KUT, Kredit Ketahanan
Pangan (KKP). Laporan SMERU
Heckman J, et al. 1998. Matching As An Econometric Evaluation Estimator.
Review of Economic Studies 65. 261-294.
Heidari MD, Omid M, Akram A. 2011. Using Nonparametric Analysis (DEA) for
Measuring Technical Efficiency in poultry Farms. Rev. Bras. Cienc. Avic.
Campinas Vol 13. No 4. http://dx.doi.org/10.1590/S1516-
635X2011000400009
Helsen F, Chmelar A. 2014. Collateral and Credit Rationing. ECRI Policy Brief
No. 7, Feb 2014
Hermes N, Lensink R, and Meesters A. 20011. Outreach and efficiency of
microfinance institution. World development, 39 (6), 938-948
Hoque R, and Rayhan I. 2013. Efficiency measurement on banking sector in
Bangladesh. Dhaka Univ. J. Sci. 61(1): 1-5, 2013 (january).
Hossain MK. 2012. Measuring the impact of BRAC microfinance operation: a
case study of a village. J. Int. Bus. Res. 5(4)
116

Hussein M dan Hussain S. 2003. The impact of Micro Finance on Poverty and
Gender Equity Approaches and Evidence From Pakistan. Islamabad,
Pakistan Microfinance Network.
Ibeme, Sylvester NO, Okpara G, and Chukwudi J. 2013. Determinants of Loan
Size and Repayment Performance of Small Oil Producers in Nigeria: The
Case Study of Abia State. International Journal of Business Management
and Administration Vol. 2 (3). Pp. 043-054
Ibtissem B, Bouri A. 2013. Credit Risk Management in Microfinance: The
Conceptual Framework. ACRN Journal of Finance and Risk Perspectives,
Vol. 2 (1), November 2013, p. 9-24
Ismawan B dan Budiantoro S. 2005. Mapping Microfinance in Indonesia. Jurnal
ekonomi Rakyat. Edisi Maret 2005.
Jalaludin. 2002. Studi Komparasi Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang
Berdasarkan Syariah dengan BPR Konvensional dalam Pemberian kredit
untuk Pengusaha Kecil Perdesaan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak
dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press.
Juanda B.2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press.
Kadouamai S. 2013. Opacity of Governance and Lack of Access SME Bank
Financing in Sub-Saharan Africa: Determinants of positions. International
Journal of Current Research and Academic Review. 2013; 1(3): 58-70
Karim L. 2008. Demystifying Microcredit: The Grameen Bank, NGOs, and
Neoliberalism in Bangladesh. SAGE Publication. Vol. 20 (1). P 5-29
Kassie M, et al. 2010. Adoption and Impact of Improved Groundnut Varieties on
Rural Poverty. The environment for Development.EfD DP 10-11
Kausar A. 2013. Factors Affect Microcredits Demand in Pakistan. International
Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management
Science. Vol.3, No. 4 pp. 11-17
Khan MA and Rahaman MA. 2007. Impact of Microfinance on Living Standards,
Empowerment and Poverty Alleviation of Poor People: Case Study on
Microfinance in the Chittagong District of Bangladesh. Thesis. Umea
School of Business (USBE). Bangladesh.
Khanmohammadiotaqsara M, Khalili M, and Mohseni A. 2012. The role of
practical training in productivity and profitability of organizations in the
third millennium. Social and behavioral sciences 47 (2012). 1970 1975
Khoi PD, Gan C, Nartea GV, and Cohen, DA. 2013. Formal and Informal Rural
Credit in the Mekong River Delta of Vietnam: Interaction and Accessibility.
Journal of Asian Economics. 26 (2013. 1-13
Kijima Y, et al. 2008. Assessing the Impact of NERICA on Income and Poverty
in Central and Western Uganda. Agricultural Economics 38. P 327-337
Kusumosudjono E. 2009. Analisis Penjatahan Kredit (Credit Rationing) pada
Pasar Kredit Pedesaan. Universitas Diponegoro. Semarang
Latif A, et al. 2011. Sustainability of Micro Credit System in Pakistan and its
Impact on Poverty Alleviation. Journal of Sustainable Development. Vol.
4 No.4.August 2011
Li X, Gan C, Hu B. 2011. Accessibility to Microcredit by Chinese Rural
Household. Journal of Asian Economics 22 (2011), 235-246.
117

Lissenburgh S. 2004. New Deal Option Effects on Employment Entry and


Unemployment Exit. International Journal of Manpower. Vol. 25 No. 5.
2004. Pp. 441-430
Lukman S, dkk. 2008. Kajian Upaya Peran Microbanking dan Pendekatan
Pembiayaan Kelompok dalam Rangka Pengembangan UMK di Sumatra
Barat. Bank Indonesia dan Centre for Banking Reasearch Universitas
Andalas
Madestam A. 2013. Informal Finance: A Theory of Moneylenders. Journal of
Development Economics 107 (2014), 157-174.
Madhanagopal R, and Chandrasekaran R. 2014. Selecting appropriate variable for
DEA using genetic algorithm (GA) search procedure. International journal
of data envelopment analysis and operation research, Vol. 1, No. 2, 28-33
Maipita I. 2013. Memahami Konsep Kemiskinan.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=con_content&view=article&i
d=303573
Maldonado J and Vega C. 2004. Linking Poverty, Natural Resources and
Financial Markets: a Model of Land Use by Rural Household in El
Salvador. Paper for the Annual Meeting of the American Agricultural
Economics Association. Denver. Colorado
Mallick D. 2011. Microfinance and Moneylenders Interest rate: Evidence from
Bangladesh.http://www.is.uwa.edu.au/__data/assets/pdf_file/0004/1655428/
Mallick-paper-for-ADEW-2011.pdf
Mel S, McKenzie D and Woodruff C. 2011. Getting Credit to High Return
Microentrepreneurs: The Results of an Information Intervention. Journal
of the Agricultural Economic. Vol 90 (2). 409-423
Messah OB and Wangai PN. 2011. Factors that Influence the Demand for Credit
for Credit Among Small-Scale Investors: a case study of Meru Central
District, Kenya. Research Journal of Finance and Accounting Vol 2, No 2,
2011
Miller M. 2008. The Irresistible Case for Financial Literacy. Mimeo. World Bank
Mohamed, K.S. & Temu, A.E. 2009. Gender Characteristics of the Determinants
of Access to Formal Credit in Rural Zanzibar. Saving and Development, No.
2, 2009. XXXIII.
Mokhtar SR, Nartea G and Gan C. 2012. Determinants of Microcredit Loans
Repayment Problem among Microfinance Borrowers in Malaysia.
International Journal of Business and Social Research (IJBSR). Vol 2 (7)
Montgomery H. 2005. Serving the Poorest of the Poor: The Poverty Impact of the
Khushhali Banks Microfinance Lending in Pakistan. Kasumigaseki,
Chiyoda-ku. Tokyo. Asian Development Bank Institute.
Morduch J and Haley B. 2002. Analysis of the Effects of Microfinance on Poverty.
Motlagh AM, Saleh AM, Abdekhodaee A, and Ektesabi M. 2011. Efficiency,
effectiveness and risk in Australian banking industry. World review of
business research vol. 1. No.3. pp 1-12
Mpuga P. 2008. Constraints in Access to and Demand for Rural Credit: Evidence
from Uganda. A paper for presentation during the African Economic
Conference (AEC), Tunisa, 12-14 November 2008
Mwangi IW. & Sichei MM. 2010. Determinants of Access to Credit by
Individuals in Kenya: A Comparative Analysis of the Kenya National
118

FinAccess Surveys 0f 2006 and 2009. European Journal of Business and


Management. Vol. 3 No. 3
Nasution AZ. 2013. Potret Kemiskinan Indonesia.
http://bangazul.blogspot.com/2013/05/potret-kemiskian.
Nawai N, And Shariff M. (November) 2010. Determinants of Repayment
Performance in Microcredit Program: A review of Literature. International
Journal of Business and Social Science. Vol. I. No. 2
Nawai N, Shariff MN. 2013. Determinants of Repayment Performance in
Microfinance Programs in Malaysia. Labuan Bulletin of International
Business & Finance, Vol. 11, 2013, 14 29.
Nguyen N. 2013. Determinants of financing pattern and Access to Formal-
Informal Credit: The Case of Small and Medium Sized Enterprises in
Vietnam. Journal of Management Research. 2013. Vol 5 (2)
Nooren U, Imran, R. Zaheer A and Saif, M.I. 2011. Impact of microfinance on
poverty: a case of Pakistan. World applied sciences journal 12 (6): 877-883
Nuryartono N. 2005. Credit Rationing of Farm Households and Agricultural
Production: Empirical Evidence in the Rural Areas of Central Sulawesi.
Indonesia. Jurnal Manajemen Agribisnis
Nuryartono N. 2005. Impact of Smallholders Access to Land and Credit Market
on Technology Adoption and Land Use Decision, the Case of Tropical
Forest Margins in Central Sulawesi. Cuvilies Verlag.
Ofonyelu C, and Alimi RS. 2013. Perceived Loan Risk and Ex Post Default
Outcome: Are the Banks Loan Screening Criteria Efficient?. Asian
Economic and Financial Review, 2013, 3(8):991-1002
Ojiako I. A, and Ogbukwa B. C. 2012. Economic Analysis of Loan Repayment
Capacity of Smallholder Cooperative Farmers in Yewa North Local
Government Area of Ogun State, Nigeria.
Oke JO, Adeyemo R, and Agbonlahor MU. 2007. An Empirical Analysis of
Okojie C. Emina EM. Eghafona K. Osaghae G and Ehiakhamen JO. 2010.
Institutional Environment and Access to Microfinance by Self-employed
Women in the Rural Areas of Edo State. IFPRI. Brief No. 14
Ololade RA, and Olagunju FI. 2013. Determinants of Access to Credit among
Rural Farmers in Oyo States, Nigeria. Global Journal of Science Frontier
Research Agriculture and Veterinary Science. 2013. Vol 13. Issues 2
version 1.0
Onyeagocha SUO, Chidebelu SAND, Okorji ECO, Ukoha AH, Osuji MN and
Korie OC. 2012. Determinants of Loan Repayment of Microfinance
Institutions in Southeast States of Nigeria. International Journal of Social
Science and Humanities Vol.1 No.1 April 2012 ISSN 2166-7721
Panjaitan RDM and Cloud K. 1999. Gender. Self-Employment and Microcredit
Program: An Indonesian Case Study. The quartely Review of Economics
and Finance 39: 769-79
Parajuli D, Acharya G, Chaudhury N and Thapa B. 2012. Impact of Social Fund
on The Welfare of Rural Households. The World Bank. South East Region.
Working paper
Parasuraman, A. 2010. Service productivity, quality and innovation: Implications
for service-design practise and research. International journal of quality
and service sciences, vol. 2: 277-286
119

Pradhan NC. 2013. Persistance of Informal Credit in Rural India: Evidence from
All-India Debt and Investment Survey and Beyond. Reserve Bank of India
(RBI) working paper, 05(2013).
Quach MH, Mullineux AW and Murinde V. 2005. Access to Credit and
Household Poverty Reduction in rural Vietnam. The University of
Birmingham. Reduction. NYU Wagner Working Paper No. 1014
Quoc DV. 2012. Determinants of Household Access to Formal Credit in the Rural
Areas of the Mekong Delta, Vietnam. Munic Personal RePEc Archive.
MPRA paper No. 38202. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/38202/
Rangan K. 2010. Types of risks faced by Microfinance Institutions. India
Microfinance Business News. Available at
http://indiamicrofinance.com/types-risks-faced-microfinance-
institutions.html accessed on March 12, 2014.
Ravallion M and Jalan J. 2012. Estimating the Benefit Incidence of an
Antipoverty Program by Propensity Score Matching. Journal of busness
and Economic Study.
Robinson M. 2001. The microfinance revolution: Sustainable finance for the poor.
World Bank
Roomi MA, and Parrott. (2008). Barriers to Development and Progression of
Woman Entrepreneurs in Pakistan. Journal of Entrepreneurship, 17 (1), 59-
72
Rosenbaum P and Rubin D. 1983. The Central Role of the Propensity Score in
Observational Studies for Casual Effects. Biometrika. Vol. 70, No. 1. Pp
41-55. http://www.jstor.org/journals/bio.html
Rosenbaum P and Rubin D. 1985. Constructing a control Group using
multivariate matched Sampling Methods that Incorporate the Prospensity
Score. The American Statistician 39.
Roslan AH and Karim MZ. 2009. Determinants of Microcredit Repayment in
Malaysia: The Case of Agrobank. Humanity and Social Science Journal.
Vol. 4 (1). 45-52
Sathye M. 2001. X-efficiency in Australian banking: An empirical investigation.
Journal of banking & finance 25 (2001) 613-630
Schoombee A. 2000. Getting South African Bank to Serve Micro-entrepreneurs:
An Analysis of Policy Options. Development Southern Africa. Vol. 17 (5).
751-767
Setargie S. 2011. Credit Default Risk and its Determinants of Microfinance
Industry in Ethiopia. Thesis. Addis Ababa University. Ethiopia.
Setargie S. 2013. Credit Default Risk and its Determinants of Microfinance
Industry in Ethiopia. The Journal of Young Economists.
http://joyeconomists.com/2014/07/19/setargie-2013-credit-default-risk-
and-microfinance-in-ethiopia/
Setboonsarng, et al. 2004. Microfinance and The Millenium Development Goals
in Pakistan: Impact Assessment Using Propensity Score Matching. ADB
Discussion paper, No. 104
Setyowati A. 2010. Pengentasan Kemiskinan Melalui Peningkatan Produk
Pembiayaan Perbankan Syariah pada UMKM Perempuan.
http://arumsetyowati.staff.uns.ac.id/2011/06/17/pengentasan-kemiskinan-
120

melalui-peningkatan-produk-pembiayaan-perbankan-syariah-pada-umkm-
perempuan/09/10/2013.
Shafitranata. 2011. Tingkat Efisiensi Bank Umum Syariah Menggunakan Metode
Data Envelopment Analysis. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
Shirazi NS and Khan AU. 2009. Role of Pakistan Poverty Alleviation Funds
Micro Credit in Poverty Alleviation. Pakistan Economic and Social Review,
Vol 47, No. 2. Pp 215-228
Shoji M, Aoyagi K, Kasahara R, Sawada Y. 2012. Social Capital Formation and
Credit Access: Evidence from Sri Lanka. World Development. Vol 40, No.
12, pp. 2522-2536. 2012
Simanowitz A. 2003. Appraising the Poverty Outreach of Microfinance: A review
of the CGAP Poverty Assessment Tool (PAT). Occasional Paper 1. Imp-
Act, Institute of Development Studies.
Siregar H. 2006. Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi: Mendorong
Investasi dan Menciptakan Lapangan Kerja. Bisnis dan Ekonomi Politik.
29-45, 2006.
Siregar H. 2009. Makro-Mikro Pembangunan. IPB Press
Situmorang J. 2007. Model Perkreditan dan Komitmen Bank Dalam Mendukung
Pemberdayaan UMKM.Indonesia
Stewar R, Van Rooyen C, Dickson K, Majoro M, De Wet T. 2010. What is the
Impact of Microfinance on Poor People?. EPPI-Centre, Social Science
Research Unit. Institute of Education. University of London
Suman A. 2007. Pemberdayaan Perempuan, Kredit Mikro, dan Kemiskinan:
Sebuah Studi Empiris. Jurusan Ekonomi Manajemen, FE. Universitas
Kristen Petra.
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
Supadi dan Sumedi. 2004. Tinjauan Umum Kebijakan Kredit Pertanian.
ICASERD working paper No. 25. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian
Sutawijaya A dan Lestari EP. 2009. Efisiensi Teknik Perbankan Indonesia Pasca
Krisis Ekonomi: Sebuah Studi Empiris Penerapan Model DEA. Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Vol. 10. No.1
Suzuki Y. and Sastrosuwito S. 2011. Efficiency and productivity change of the
Indonesia commercial banks. International conference on economics, trade
and development. IPEDR vol. 7
Syukur M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim
Kredit Rumah Tangga Miskin. Tidak dipublikasikan. Program Pasca
Sarjana IPB. Bogor
Tahir IM, Mazlina, NAB, and Haron S. 2009. Evaluating efficiency of Malaysian
banks using data envelopment analysis. International journal of business
and management, vol. 4 No.8
Tahir IM, and Haron S. 2010. Cost and profit efficiency of Islamic banks:
international evidence using the stochastic frontier approach. Banks and
bank systems, vol 5, issue 4
Tambunan T. 2007. Enterpreneurship development: SMEs in Indonesia. Journal
of Developmental Enterpreneurship. Vo. 12 (1). 95-118.
Tang L. 2009. Study on Chinas Sustainable Development of Rural Micro Credit.
International Journal of Business and Management. Vol. 4 (8).
121

Thoha M. 2000. Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Model Grameen Bank.


Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan. LIPI. Jakarta
Thoha M. 2000. Peranan dan Efektivitas Model Grameen Bank dan Model
Kukesra dalam Pengentasan Kemiskinan. Puslitbang Ekonomi dan
Pembangunan. LIPI. Jakarta
Togba EL. 2012. Microfinance and Households Access to Credit: Evidence from
C te dlvoire. Structural Change and Economic Dynamics 23 (2012) 473-
486.
Tundui C, and Tundui H. 2012. Microcredit, Micro Enterprising and Repayment
Myth: The Case of Micro and Small Women Business Entrepreneurs in
Tanzania. American Journal of Business and Management Vol. 2, No. 1,
2013, 20-30
Umar H. 2004. Metode Penelitian untuk skripsi dan teknis bisnis. Cetakan ke-6.
Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Varias AD, and Sofianopoulou S. 2012. Efficiency evaluation of Greek
commercial banks using DEA. Journal of applied operational research 4
(4), 183-193
Vennesland B. 2005. Measuring rural economic development in Norway using
data envelopment analysis. Forest policy and economic 7 (2005), 109-119

Vitor DA and Abankwah V. 2012. Substitutes or Compliment: Formal and


Informal Credit Demand by Maize farmers in Ashanti and Brong Ahafo
Regions of Ghana. The Journal of Agricultural Science. Vol 7 (1)
Vitor DA. 2012. Determinants of Loan Repayment Default among Farmers in
Ghana. Journal of Development and Agricultural Economics Vol. 4(13),
pp. 339-345, November 2012. Available online at
http://www.academicjournals.org/JDAE
Voice of Indonesia. 2012. Kredi Usaha Tani Macet. . http://www.id.voi.co.id/voi-
komentar/1853-kredit-usaha-tani-macet
Wenner MD. 2010. Innovations in Rural and Agricultural Finance: Credit Risk
Management in Financing Agriculture. International Food Policy Research
Institute and the World Bank. Focus 18, Brief 10. July 2010
Widarjono A. 2010. Analisis Statistika: Multivariat Terapan. STIM YKPN.
Yogyakarta.
Wijono W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah satu
pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Rantai
Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan (Edisi Khusus). Pusat
Pengkajian Ekonomi dan keuangan. Departemen Keuangan.
Wongnaa CA., and Vitor DA. 2013. Factors Affecting Loan Repayment
Performance Among Yam Farmers in the Sene District, Ghana. Agris on-
line Papers in Economics and Informatics. Volume V Number 2, 2013
Wu H, et al. 2010. Assessing the Impact of Agricultural Technology adoption on
Farmers Well-being Using Prospensity-Score Matching Analysis in Rural
China. Asian Economic Journal. Vol. 24 No. 2. 141-160
Zerai B., and Rani L. 2012. Is there a tradeoff between outreach and sustainability
of micro finance institutions? Evidence from Indian microfinance
institutions (MFIs). European journal of business and management, vol. 4,
No. 2, 2012
122

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil olahan logit faktor-faktor yang mempengaruhi pembayaran


KUR
123

Lampiran 2: Hasil olahan diskripsi variabel-variabel hasil untuk dampak

Variable Obs Mean Std. Dev. Min Max

modal_kerj~g 332 2903304 4715212 0 4.80e+07


omzet_mgg 332 3530505 5116605 150000 5.00e+07
keuntungan~g 332 627200.3 643026.7 -300000 4000000
tabungan_mgg 326 131564.4 199354 0 1750000
pendap~__mgg 332 49503.01 143178.7 0 2000000

pendap~n_mgg 332 120997 172156.3 0 1200000


total_pend~g 332 797700.3 619289.9 50000 4000000
pengeluara~g 332 218139.3 136129 0 1239750
pengeluarn~n 332 944996.7 695232.7 0 5000000
total_peng~n 332 1816560 1087205 0 9059000

jml_tenaker 332 .686747 1.157429 0 5


score_temp~l 332 4.987952 .8584955 1 6
score_indi~e 332 1.945783 1.035655 0 4

Lampiran 3: Hasil olahan propensity score matching

Logistic regression Number of obs = 332


LR chi2(14) = 105.68
Prob > chi2 = 0.0000
Log likelihood = -176.55442 Pseudo R2 = 0.2303

kur Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

sex 2.404364 .7236765 2.91 0.004 1.332913 4.337093


age .9965483 .0192515 -0.18 0.858 .9595216 1.035004
marital__s 1.983483 1.185859 1.15 0.252 .6145018 6.40227
educ .8313569 .1398208 -1.10 0.272 .5979009 1.155968
no_of_dependt .9831042 .1174364 -0.14 0.887 .7778924 1.242452
b_line 1.329529 .2037286 1.86 0.063 .984612 1.795273
b_length .9332982 .0268728 -2.40 0.017 .882087 .9874825
distance .9826895 .0394154 -0.44 0.663 .9083953 1.06306
working_hr_w .9985858 .0059467 -0.24 0.812 .9869983 1.010309
b_barrier 2.068806 .6071856 2.48 0.013 1.163847 3.677424
bank_acc 3.053698 .8529749 4.00 0.000 1.766298 5.279443
side_job .6750014 .2184693 -1.21 0.225 .3579372 1.272924
spousal_working 1.244647 .3670531 0.74 0.458 .6982681 2.218554
other_loan .3458877 .1048198 -3.50 0.000 .1909775 .6264524
_cons .3655058 .4256284 -0.86 0.387 .0372973 3.581882

.
124

Probit regression Number of obs = 332


LR chi2(14) = 105.70
Prob > chi2 = 0.0000
Log likelihood = -176.54466 Pseudo R2 = 0.2304

kur Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

sex .514993 .1797997 2.86 0.004 .162592 .8673939


age -.0037549 .011457 -0.33 0.743 -.0262101 .0187004
marital__s .3875013 .3406685 1.14 0.255 -.2801966 1.055199
educ -.1047917 .1005407 -1.04 0.297 -.3018479 .0922645
no_of_dependt -.0069678 .0707526 -0.10 0.922 -.1456403 .1317048
b_line .1600514 .0913551 1.75 0.080 -.0190013 .3391041
b_length -.039715 .016511 -2.41 0.016 -.0720759 -.0073541
distance -.0059691 .023452 -0.25 0.799 -.0519341 .0399959
working_hr_w -.0011672 .0034744 -0.34 0.737 -.0079769 .0056425
b_barrier .4538475 .1752011 2.59 0.010 .1104598 .7972353
bank_acc .662692 .1664891 3.98 0.000 .3363793 .9890046
side_job -.2532719 .1908508 -1.33 0.184 -.6273326 .1207889
spousal_working .1244723 .175165 0.71 0.477 -.2188447 .4677893
other_loan -.6209565 .1768543 -3.51 0.000 -.9675845 -.2743284
_cons -.5099271 .6849646 -0.74 0.457 -1.852433 .8325788
125

Variable Sample Treated Controls Difference S.E. T-stat

wc_week Unmatched 3748193.55 2163429.38 1584764.17 512109.668 3.09


ATT 2695432.1 2499530.86 195901.235 579418.022 0.34

sales_week Unmatched 4541145.16 2645480.23 1895664.94 553966.667 3.42


ATT 3305277.78 3054567.9 250709.877 630880.614 0.40

profit_week Unmatched 792951.613 482050.847 310900.765 68745.572 4.52


ATT 609845.679 555037.037 54808.642 79421.9259 0.69

saving_week Unmatched 165000 97824.8588 67175.1412 21533.9195 3.12


ATT 130308.642 103827.16 26481.4815 29150.7387 0.91

side_income_week Unmatched 56903.2258 43022.5989 13880.6269 15755.848 0.88


ATT 40185.1852 40370.3704 -185.185185 14926.058 -0.01

spousal_income Unmatched 112548.394 128395.48 -15847.0867 18946.8364 -0.84


ATT 138827.173 136666.667 2160.50617 27737.925 0.08

total_income_w~k Unmatched 962403.232 653468.927 308934.306 66075.3522 4.68


ATT 788858.037 732074.074 56783.963 75738.6389 0.75

share_of_food_~p Unmatched 27.162879 38.1043595 -10.9414806 1.71011961 -6.40


ATT 29.3879721 35.8391106 -6.45113849 2.41649551 -2.67

non_food_exp_w~k Unmatched 1015367.1 883372.881 131994.215 76250.1723 1.73


ATT 915813.58 1010740.74 -94927.1605 99384.8917 -0.96

total_exp_month Unmatched 1867070.32 1772327.68 94742.639 119666.592 0.79


ATT 1699838.27 1958543.21 -258704.938 154181.398 -1.68

no_of_worker Unmatched .980645161 .429378531 .55126663 .123853499 4.45


ATT .728395062 .604938272 .12345679 .183998254 0.67

housing_cond Unmatched 5.12258065 4.8700565 .252524148 .093555574 2.70


ATT 4.97530864 4.86419753 .111111111 .140247131 0.79

asset_own_ship Unmatched 2.12258065 1.79096045 .331620193 .11263096 2.94


ATT 2.02469136 2.0617284 -.037037037 .161322646 -0.23

Note: S.E. does not take into account that the propensity score is estimated.

psmatch2: psmatch2: Common


Treatment support
assignment Off suppo On suppor Total

Untreated 0 177 177


Treated 74 81 155

Total 74 258 332


126

Mean t-test V(T)/


Variable Treated Control %bias t p>|t| V(C)

sex .45679 .44444 2.6 0.16 0.875 1.00


age 39.691 40.975 -13.8 -0.95 0.341 0.78
marital__s .93827 .96296 -9.1 -0.72 0.471 1.62*
educ 2.1235 2.037 9.8 0.65 0.515 1.23
no_of_dependt 1.9753 1.9506 2.2 0.14 0.890 1.34
b_line 1.5926 1.5926 0.0 0.00 1.000 0.94
b_length 6.1728 6.7654 -9.2 -0.69 0.488 0.92
distance 4.2284 4.321 -2.7 -0.16 0.876 0.67
working_hr_w 64.148 62.79 5.3 0.34 0.735 0.90
b_barrier .45679 .50617 -10.3 -0.63 0.532 0.99
bank_acc .35802 .40741 -10.7 -0.64 0.521 0.95
side_job .2716 .22222 11.2 0.73 0.469 1.14
spousal_working .54321 .61728 -14.8 -0.95 0.343 1.05
other_loan .33333 .37037 -8.0 -0.49 0.624 0.95

* if variance ratio outside [0.64; 1.55]

Ps R2 LR chi2 p>chi2 MeanBias MedBias B R %Var

0.023 5.25 0.982 7.8 9.1 36.0* 1.29 7

* if B>25%, R outside [0.5; 2]


127
Probit regression Number of obs = 332
LR chi2(6) = 47.85
Prob > chi2 = 0.0000
Log likelihood = -205.47183 Pseudo R2 = 0.1043

kur Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

sex .6415128 .1579646 4.06 0.000 .3319078 .9511178


educ .0685236 .0836237 0.82 0.413 -.0953759 .2324231
no_of_dependt -.0069234 .0638022 -0.11 0.914 -.1319735 .1181266
b_line .2424093 .0804886 3.01 0.003 .0846544 .4001641
working_hr_w -.0004058 .0031204 -0.13 0.897 -.0065217 .0057101
side_job -.1950977 .1703649 -1.15 0.252 -.5290068 .1388113
_cons -.8849444 .3278627 -2.70 0.007 -1.527544 -.2423452

There are observations with identical propensity score values.


The sort order of the data could affect your results.
Make sure that the sort order is random before calling psmatch2.

Variable Sample Treated Controls Difference S.E. T-stat

wc_week Unmatched 3748193.55 2163429.38 1584764.17 512109.668 3.09


ATT 3575092.59 2566157.41 1008935.19 734842.983 1.37

sales_week Unmatched 4541145.16 2645480.23 1895664.94 553966.667 3.42


ATT 4315532.41 3127037.04 1188495.37 788171.192 1.51

profit_week Unmatched 792951.613 482050.847 310900.765 68745.572 4.52


ATT 740439.815 560879.63 179560.185 86374.3682 2.08

saving_week Unmatched 165000 97824.8588 67175.1412 21533.9195 3.12


ATT 141157.407 117453.704 23703.7037 23868.3926 0.99

side_income_week Unmatched 56903.2258 43022.5989 13880.6269 15755.848 0.88


ATT 61990.7407 34027.7778 27962.963 21937.9926 1.27

spousal_income Unmatched 112548.394 128395.48 -15847.0867 18946.8364 -0.84


ATT 129074.083 128287.037 787.046296 23868.1391 0.03

total_income_w~k Unmatched 962403.232 653468.927 308934.306 66075.3522 4.68


ATT 931504.639 723194.444 208310.194 82434.0027 2.53

share_of_food_~p Unmatched 27.162879 38.1043595 -10.9414806 1.71011961 -6.40


ATT 28.2584203 36.9299308 -8.67151052 2.04668781 -4.24

non_food_exp_w~k Unmatched 1015367.1 883372.881 131994.215 76250.1723 1.73


ATT 927563.889 977750 -50186.1111 89892.5211 -0.56

total_exp_month Unmatched 1867070.32 1772327.68 94742.639 119666.592 0.79


ATT 1784045.37 1946351.85 -162306.481 150097.435 -1.08

no_of_worker Unmatched .980645161 .429378531 .55126663 .123853499 4.45


ATT .888888889 .509259259 .37962963 .15832101 2.40

housing_cond Unmatched 5.12258065 4.8700565 .252524148 .093555574 2.70


ATT 5 4.86111111 .138888889 .123731594 1.12

asset_own_ship Unmatched 2.12258065 1.79096045 .331620193 .11263096 2.94


ATT 2.15740741 1.90740741 .25 .142116642 1.76

Note: S.E. does not take into account that the propensity score is estimated.

psmatch2: psmatch2: Common


Treatment support
assignment Off suppo On suppor Total

Untreated 0 177 177


Treated 47 108 155

Total 47 285 332


128

Lampiran 4: Hasil olahan DEA


Results from DEAP Version 2.1

Output orientated DEA


Scale assumption: VRS
Two-stage DEA method

EFFICIENCY SUMMARY:

firm crste vrste scale

1 1.000 1.000 1.000 -


2 1.000 1.000 1.000 -
3 0.947 0.954 0.993 irs
4 1.000 1.000 1.000 -
5 0.917 0.928 0.988 drs
6 0.950 0.963 0.987 drs
7 0.980 1.000 0.980 irs
8 0.861 1.000 0.861 irs
9 1.000 1.000 1.000 -
10 1.000 1.000 1.000 -
11 1.000 1.000 1.000 -
12 1.000 1.000 1.000 -
13 0.839 0.847 0.990 drs
14 0.982 1.000 0.982 irs
15 1.000 1.000 1.000 -
16 1.000 1.000 1.000 -
17 0.915 0.948 0.965 drs
18 0.961 1.000 0.961 irs
19 0.890 0.891 0.999 irs
20 0.941 0.944 0.997 drs
21 0.877 0.884 0.992 irs
22 0.930 0.934 0.996 irs
23 1.000 1.000 1.000 -
24 1.000 1.000 1.000 -
25 1.000 1.000 1.000 -
26 0.935 0.948 0.986 drs
27 0.989 0.995 0.993 irs
28 1.000 1.000 1.000 -
29 0.883 0.929 0.951 irs
30 1.000 1.000 1.000 -
31 0.926 1.000 0.926 irs
32 1.000 1.000 1.000 -
33 1.000 1.000 1.000 -
34 1.000 1.000 1.000 -
35 1.000 1.000 1.000 -

mean 0.964 0.976 0.987


Note: crste = technical efficiency from CRS DEA
vrste = technical efficiency from VRS DEA
scale = scale efficiency = crste/vrste
129

PEER COUNT SUMMARY:


(i.e., no. times each firm is a peer for another)

firm peer count:


1 7
2 0
3 0
4 9
5 0
6 0
7 0
8 0
9 0
10 0
11 4
12 11
13 0
14 0
15 3
16 4
17 0
18 0
19 0
20 0
21 0
22 0
23 0
24 1
25 3
26 0
27 0
28 7
29 0
30 3
31 0
32 0
33 1
34 4
35 1
130

SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:

firm output: 1 2 3 4
1 13131.000 7765.000 269.000 516.000
2 5998.000 4837.000 113.000 331.000
3 10681.063 4431.664 91.155 471.492
4 26444.000 9108.000 116.000 720.000
5 16464.735 7182.594 197.546 851.095
6 9992.578 5165.318 73.707 498.300
7 10432.000 7233.000 135.000 475.000
8 6624.000 4402.000 62.000 403.000
9 14858.000 7560.000 146.000 326.000
10 9792.000 8022.000 168.000 540.000
11 14838.000 12868.000 407.000 718.000
12 17707.000 5019.000 108.000 965.000
13 15110.640 6133.683 115.175 572.414
14 7760.000 5455.000 99.000 314.000
15 6975.000 5606.000 101.000 493.000
16 23125.000 14866.000 196.000 935.000
17 15196.788 9105.430 187.439 766.962
18 8372.000 4528.000 88.000 462.000
19 12921.169 4797.988 97.746 648.559
20 14418.417 5872.051 152.077 615.601
21 13098.845 5777.190 125.202 496.513
22 16254.414 5505.040 88.199 700.182
23 6481.000 4487.000 97.000 318.000
24 7301.000 5081.000 76.000 348.000
25 5349.000 2977.000 44.000 309.000
26 8774.948 5604.522 81.954 385.884
27 7335.470 3139.998 59.325 326.560
28 6111.000 3186.000 36.000 363.000
29 10058.818 5099.180 114.995 497.534
30 7751.000 4065.000 71.000 302.000
31 4734.000 3338.000 44.000 394.000
32 6026.000 3225.000 61.000 326.000
33 10986.000 5649.000 75.000 433.000
34 4766.000 1709.000 31.000 156.000
35 3987.000 1569.000 20.000 141.000
131

Lampiran 5: Nama-nama unit kerja bank umum nasional penyalur KUR

No. Unit kerja Initial No. Unit kerja Initial


1 Cengkal Sewu CS 19 Tambakromo TK
2 Tambaharjo TH 20 Sukolilo SL
3 Tlogorejo TR 21 Ngemplak NGP
4 Tambahmulyo TM 22 Mulyoharjo MH
5 Pucakwangi PW 23 Margorejo MR
6 Plaosan PS 24 Kayen KY
7 Pekalongan PL 25 Karaban KB
8 Pakis PK 26 Kajar KJ
9 Pagerharjo PH 27 Juwana 2 J2
10 Ngablak NG 28 Jakenan JKN
11 Karangwotan KW 29 Jaken JK
Gunung
12 Wungkal GW 30 Gembong GB
13 Angkatan Lor AL 31 Gabus GS
14 Tayu TY 32 Dukuhseti DS
15 Pati Kota 1 PK1 33 Bulumanis BM
16 Juwana 1 J1 34 Batangan BT
17 Winong WN 35 Pati II PK2
18 Wedaruaksa WR
132

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten Jawa Tengah pada tanggal 3 Desember 1971


sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari pasangan Muchson dan (Alm)
Masylahatun. Pada tahun 1990 penulis lulus dari SMA 1 Klaten dan melanjutkan
di Universitas Diponegoro di Jurusan Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi,
lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2004 penulis lulus program Magister
Manajemen di Universitas Persada YAI di Jakarta. Pada tahun 2010, penulis
menempuh pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.
Sejak tahun 2004 penulis bekerja di perusahaan swasta PT. Dataindo Inti
Swakarsa sampai saat ini. Sejak tahun 2008 penulis juga mengajar di Fakultas
Ekonomi Universitas Persada YAI Jakarta sampai saat ini.

Anda mungkin juga menyukai