FARIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Analisis Kinerja
Kredit Usaha Rakyat dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha Mikro di
Kabupaten Pati Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Farida
NRP H162100171
RINGKASAN
Kata kunci: usaha mikro, kredit mikro, logit, propensity score matching, DEA,
non performance loan
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KINERJA KREDIT USAHA RAKYAT DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHA MIKRO
DI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH
FARIDA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga disertasi yang berjudul Analisis Kinerja Kredit Usaha Rakyat dan
Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha Mikro di Kabupaten Pati Jawa Tengah
berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing,
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S
selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan dan dorongan
semangat, keramahan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
2. Prof. Dr Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Prof. Ir. Bunasor Sanim, PhD dan Prof. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS
yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji luar komisi pada saat
ujian prelim, ujian sidang tertutup sampai sidang promosi dan telah
memberi banyak masukan substansial, komentar dan saran-saran sehingga
meningkatkan kualitas disertasi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku ketua Program Studi PWD
beserta jajarannya atas arahan, fasilitas dan motivasi selama penulis
menempuh pendidikan di PS PWD IPB.
4. Ayahanda Bapak Muchson yang selalu mendukung dan mendoakan.
5. Teman-teman mahasiswa PWD khususnya angkatan 2010 terima kasih
atas bantuan dan kerjasamanya.
6. Semua pihak yang telah banyak memberi kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data
hingga tersusunnya disertasi ini.
Farida
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 9
1.4 Manfaat Penelitian 9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1 Konsep Perkreditan 10
2.2 Aspek Kelembagaan Program KUR 13
2.3 Pengaruh Subsidi Premi Pada Keseimbangan Pasar Kredit Usaha
Rakyat 14
2.4 Konsep Kemiskinan dan Kesejahteraan 16
2.5 Peranan Kredit dalam Pengembangan Usaha mikro 19
2.6 Lembaga Keuangan Mikro 20
2.7 Kajian Faktor-Faktor yang Mendorong Pengajuan KUR 22
2.8 Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelancaran
Pengembalian KUR 25
2.9 Kajian Dampak Kredit Usaha Rakyat 27
2.10 Kajian Keberlangsungan Penyalur Kredit Usaha Rakyat 29
2.11 Kebaruan Penelitian 32
3 METODOLOGI PENELITIAN 32
3.1 Kerangka Penelitian 32
3.1.1 Kerangka Konseptual Penelitian 32
3.1.2 Hipotesis Penelitian 33
3.2 Metode Penelitian 33
3.2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 33
3.2.2 Metode Pengumpulan Data 35
3.2.3 Tehnik Pengambilan Sampel 35
3.2.4 Regresi Logistik Biner 37
3.2.5 Variabel-Variabel untuk Akses KUR 39
3.2.6 Variabel-Variabel untuk Pembayaran KUR 40
3.2.7 Propensity Score Matching atau Pencocokan Nilai-Kedekatan 41
3.2.8 Data Envelopment Analysis atau DEA 44
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN PATI 47
4.1 Kondisi Geografis 47
4.2 Administrasi 48
4.3 Kondisi Topografi 48
4.4 Demografi, Sosial dan Budaya 49
4.5 Perbankan Penyalur KUR di Kabupaten Pati 50
5 AKSESIBILITAS USAHA MIKRO TERHADAP KUR 51
5.1 Karakteristik Rumah Tangga Usaha Mikro 51
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses KUR 60
6 PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN KUR 63
6.1 Karakteristik Rumah Tangga Usaha Mikro 63
6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembalian KUR 67
7 DAMPAK KUR TERHADAP PENDAPATAN
RUMAH TANGGA USAHA MIKRO 71
7.1 Kinerja Ekonomi Rumah Tangga Usaha Mikro 71
7.2 Dampak KUR pada Rumah Tangga Usaha Mikro 73
8 KEBERLANGSUNGAN PEMBIAYAAN KUR 78
8.1 Kinerja Bank-Bank Unit Penyalur Kredit Usaha Rakyat 78
8.2 Analisis Antar Peubah Kinerja Keuangan Menggunakan Biplot 85
8.3 Efisiensi Bank-Bank Unit Penyalur KUR 88
9 KREDIT USAHA MIKRO DALAM PERWILAYAHAN
KABUPATEN PATI 93
9.1 Inefisiensi Penyaluran KUR Berdasarkan Pola Tipologi
Wilayah Pati 93
9.2 Efisiensi Penyaluran KUR Berdasarkan Pola Tipologi
Wilayah Pati 99
10 IMPLIKASI KEBIJAKAN 104
10.1 Pemerintah Pusat: Kebijakan Terkait Keberlangsungan dan
Prioritas Target 104
10.1.1 Kebijakan Terkait Keberlangsungan 104
10.1.2 Kebijakan Terkait Gender 105
10.1.3 Kebijakan Terkait Bidang Usaha 106
10.2 Pemerintah Daerah: Kebijakan Terkait Penyampaian Informasi 106
10.2.1 Program KUR 106
10.2.2 Data Calon/Debitur 107
10.3 Perbankan: Kebijakan Terkait Kolateral 107
10.4 Calon/Debitur KUR Mikro: Kebijakan Terkait Graduasi 109
12 SIMPULAN DAN SARAN 109
12.1 Simpulan 109
12.2 Saran 110
DAFTAR PUSTAKA 112
LAMPIRAN 122
RIWAYAT HIDUP 132
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan realisasi KUR, debitur dan usaha mikro nasional
Penyerapan
Tenaga
KUR (Rp Usaha Kerja
Tahun Milyar) Debitur Mikro (unit) (orang)
2008-
2009 17.189,3 2.374.908 52.176.796 90.012.694
2010 17.228,6 1.437.650 53.207.500 93.014.759
2011 29.002,6 1.909.880 54.559.969 94.957.797
2012 34,230,5 1.962.153 55.254.899 95.877.900
Total 97.651,0 7.684.591
Sumber: Komite-KUR, 2012
Sampai saat ini plafon kredit usaha rakyat yang sudah disalurkan per 31
Desember 2012 sebesar Rp 97,6 trilyun dengan jumlah debitur mencapai 7,68
juta. Rata rata kredit per nasabah sekitar Rp 12,7 juta dan rata rata kredit usaha
mikro dari BRI KUR mikro Rp 6,6 juta per debitur. Penyalur kredit terbesar saat
ini adalah Bank Rakyat Indonesia atau 60,6 persen dari total seluruh realisasi
kredit, yang saat ini memiliki jaringan terbesar ke pelosok daerah. KUR yang
disalurkan oleh BRI kepada usaha mikro adalah terbesar mencapai 47,79 persen
dari total keseluruhan KUR yang disalurkan. Jumlah debitur mikro yang dilayani
juga mencapai sekitar 7,0 juta orang atau 91,84 persen dari seluruh debitur di
Indonesia. Dengan demikian, usaha mikro yang mendapatkan kredit usaha rakyat
sebesar 12,68 persen dari total usaha mikro di Indonesia. Debitur mikro dari BRI
juga menunjukkan tingkat kelancaran yang paling baik dengan ditunjukkan NPL
(non performance loan) nya sebesar 1,7 persen jauh dari yang diisyaratkan oleh
pemerintah sebesar 5 persen. Beberapa bank penyalur kredit usaha rakyat masih
menunjukkan tingkat NPL yang tinggi seperti BNI, BTN, Bukopin, Syariah
Mandiri, dan BPD. Rata-rata penyaluran kredit usaha rakyat oleh bank-bank lain
menunjukkan bukan kredit usaha rakyat mikro melainkan usaha menengah keatas
dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan oleh bank. Berikut adalah tabel 1.2
realisasi penyaluran KUR dan NPL.
3
Tabel 1.2 Realisasi penyaluran KUR dan NPL per 31 Desember 2012
Pulau Jawa adalah penerima penyaluran KUR terbesar sekitar 51,62 persen
karena jumlah usaha juga terbesar berada di Pulau Jawa. Dari total KUR yang
disalurkan tahun 2012 tersebut tiga provinsi penerima pembiayaan KUR terbesar
adalah Jawa Tengah (15,12 persen), Jawa Timur (15,09 persen), dan Jawa Barat
(12,71 persen). Sebagai provinsi yang memiliki plafon penyaluran KUR terbesar
sekitar Rp 14,7 trilyun, Jawa Tengah ternyata memiliki tingkat kemiskinan 16,56
persen pada tahun 2012 atau naik dari 16,21 persen dari tahun sebelumnya. KUR
yang disalurkan menunjukkan peningkatan namun tingkat kemiskinan justru
meningkat jauh diatas rata rata tingkat kemiskinan nasional 11,96 persen.
Menurut sektor ekonomi di gambar 1.2, penyaluran KUR didominasi oleh
sektor perdagangan dan sektor pertanian yang masing masing sebesar 56,75
persen dan 16,39 persen.
Pada tahun 2012, Kabupaten Pati merupakan daerah penyalur KUR terbesar
di Jawa Tengah sebesar Rp 235,38 milyar. Total KUR yang sudah disalurkan di
kabupaten Pati sejak pertama kali diluncurkan tahun 2007 mengalami peningkatan
yang luar biasa yaitu dari Rp 1,10 miliar, tahun 2008 sebesar Rp 27,23 miliar,
tahun 2009 sebesar Rp 22,15 milyar, tahun 2010 sebesar Rp 67,47 milyar, tahun
2011 sebesar Rp 128,26 milyar dan puncaknya pada tahun 2012 sebesar Rp
235,38 milyar yang menjadikan Kabupaten Pati sebagai daerah dengan penyerap
KUR terbesar nasional. Dengan demikian sepanjang 2007 - 2012 jumlah KUR
yang telah disalurkan di kabupaten Pati mencapai Rp 481,59 milyar.
Meningkatnya jumlah KUR yang disalurkan tersebut tentunya seiring dengan
meningkatnya jumlah nasabah setiap tahun yaitu dari 145 nasabah tahun 2007,
melonjak tajam menjadi 9.315 nasabah tahun 2008 namun sedikit turun pada
tahun berikutnya sebesar 7.484 nasabah dan naik menjadi 17.189 nasabah tahun
2010, 22.539 nasabah tahun 2011 dan pada akhirnya mencapai angka tertinggi
25.918 nasabah di tahun 2012. Dengan demikian selama 6 tahun terjadi lonjakan
atau kenaikan nasabah sebesar 17.774 persen. Dari total Rp 235,38 milyar tersebut
yang disalurkan kepada 25.918 pelaku usaha berarti rata rata menerima Rp 9.0
juta per pelaku usaha. Total tenaga kerja yang terserap dari pelaku usaha tersebut
sebesar 76.242 tenaga kerja pada tahun 2012 atau naik dari 67.791 orang tahun
2011. Sehingga rata rata tenaga kerja per usaha sebanyak 3 orang pada tahun
2012. Sektor terbesar penyerap KUR adalah sektor hulu yakni pertanian yang
mencapai 32 persen (8.126 orang), disusul sektor perikanan 27 persen atau
(6.856), sektor perindustrian 19 persen (4.825 orang), sektor perdagangan 13
persen (3.301 orang) dan usaha-usaha lainnya 9 persen (3.285 orang). Di
kabupaten ini, program KUR dilaksanakan oleh tiga bank, yakni Bank Rakyat
Indonesia, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.
Tingkat kemiskinan di Kabupaten Pati sebesar 14,48 persen pada tahun
2012, relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan di
Jawa Tengah 16,21 persen. Tingkat kemiskinan tersebut turun dari 19,79 persen
pada tahun 2007. Pada tahun 2007 angka pengangguran sebesar 8,38 persen turun
menjadi 5,8 persen pada tahun 2012.
dan tersedianya kredit pada tingkat pedesaan. Prosedur dan persyaratan yang
mudah juga menjadi alasan pelaku usaha untuk meminjam kredit. Kenyataannya,
persyaratan yang mudah biasanya diperoleh dari lembaga keuangan non formal.
Apabila KUR memberikan manfaat yang nyata maka diharapkan kebijakan
ini bisa berkelanjutan. Berkelanjutan berarti bahwa secara finansial maupun
material, pinjaman KUR tersebut dapat membiayai sendiri semua ongkos
pengeluarannya yang berasal dari pendapatan yang diperoleh dari biaya
administrasi (bunga) yang dibayar oleh usaha mikro dan meningkatkan usaha
produktifnya. Namun kenyataannya banyak terjadi bahwa kredit mikro
memberikan dampak positif terhadap usaha mikro tetapi lembaga keuangannya
yang mengalami ketidakberlanjutan (Syukur 2002; Tang 2009; Afonso et al.
2010; Latif et al. 2011). Tang dalam studinya tentang kredit mikro pedesaan di
China menemukan bahwa kredit memberikan keuntungan secara sosial dan
ekonomi, namun keberlangsungan lembaga finansialnya menghadapi kendala
kurangnya sumber pendanaan, resiko dan biaya kredit mikro masih mahal,
managemen dan prosedurnya belum sempurna. Penelitian mikro kredit di Portugis
yang dilakukan oleh Afonso et al. membuktikan adanya pengurangan kemiskinan
tetapi keberlangsungannya mengalami kontroversi. Keberlangsungan kredit mikro
akan terjadi jika rata rata tingkat bunga yang diberikan mencapai 25 persen per
tahun, sedangkan yang terjadi rata-rata masih sekitar 20 persen per tahun sehingga
masih berat untuk menutupi biaya yang dikeluarkan. Latif et al. di Pakistan juga
mengamati bahwa banyak LKM yang tidak mencapai viabilitas keuangan, karena
usaha mikro yang dibiayainya terlalu kecil skala usahanya dan tidak cukup
memberikan keuntungan bagi LKM. Namun bagi usaha mikro, pembiayaan
tersebut 80 persen mampu membuka usaha dan menambah kepemilikan ternak.
Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan adanya dampak mikro
kredit terhadap peningkatkan kesejahteraan, tidak dipungkiri banyak juga
penelitian yang menunjukkan sebaliknya, seperti penelitian yang dilakukan oleh
(Banerjee et al. 2013; Zinman 2009; Stewart et al. 2010). Pro-kontra dalam
program kredit mikro, pada kenyataannya menunjukkan kebutuhan akan kredit
mikro ataupun lembaga keuangan mikro tetap meningkat. Memang kredit mikro
bukanlah satu satunya alat dalam mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi banyak
faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Chowdhury (2009) mengatakan bahwa
bagaimanapun keuangan mikro memainkan peranan penting dalam menyediakan
jaringan pengaman bagi orang-orang miskin. Suatu kebijakan hendaknya
berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan, yang berbasis pada penciptaan
lapangan kerja yang produktif dan luas. Tugas Lembaga keuanganlah harus
mencari usaha mikro yang ada di sektor informal, bukan orang miskin tanpa aset
atau kewirausahaan (Easterly 2006). Kredit perbankan untuk usaha mikro
diharapkan mampu mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah
seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Sektor penyerap KUR terbesar di
Kabupaten Pati adalah sektor pertanian dan sektor perikanan.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian
adalah;
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi akses KUR pelaku usaha mikro ke
lembaga keuangan formal?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kelancaran pengembalian KUR?
3. Bagaimana dampak KUR pada peningkatan pendapatan usaha mikro?
9
Penelitian ini secara umum dilakukan untuk melihat dampak KUR pada
pendapatan pelaku usaha mikro. Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk
melihat perilaku usaha mikro akan permintaan KUR dan kelancaran dalam
mengembalikan KUR. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
10
2 TINJAUAN PUSTAKA
r
S
S1
r2
B
r C S2
r1 A
r3
D
D2
D1
Q1 Q2 Q3 Q Q
S0
Suku bunga
1
kredit
0
E0
r0 0
r1 E11
D0
1
D1
L1 L0 Kuantitas Kredit
0
13
S1 S0
Suku bunga
kredit
E
1 1
1r
1
0
r0 E0
L1 L0 Kuantitas Kredit
triliun kepada 2,4 juta debitur. Pencapaian ini telah melampaui target penyaluran
tahunan.
Perkembangan sektor jasa keuangan tahun 2014 memungkinkan pembiayaan
terhadap UMKM tidak hanya dapat dilakukan oleh perbankan namun juga oleh
Lembaga Jasa Keuangan Non Bank seperti Perusahaan Pembiayaan (multi finance),
Perusahaan Modal Ventura, dan juga Lembaga Keuangan Mikro yang lahir di
berbagai daerah.
Arah kebijakan di bidang UMKM dan koperasi dalam periode tahun 2015-
2019 adalah meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi sehingga mampu
tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar ("naik
kelas") dalam rangka mendukung kemandirian perekonomian nasional. Strategi
pembangunan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1) peningkatan
kualitas sumber daya manusia; 2) peningkatan akses pembiayaan dan perluasan
skema pembiayaan; 3) peningkatan nilai tambah produk dan jangkauan pemasaran;
4) penguatan kelembagaan usaha; 5) peningkatan kemudahan, kepastian dan
perlindungan usaha.
Plafon KUR Mikro yang baru adalah sampai dengan Rp 25 juta.
Penyaluran KUR bisa melalui Lembaga Linkage yaitu lembaga berbadan hukum
yang dapat menerus pinjamkan KUR dari Bank Pelaksana kepada Debitur, yaitu
Koperasi Sekunder, Koperasi Primer, Bank Perkreditan Rakyat/Syariah
(BPR/BPRS), perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, Lembaga
Keuangan Mikro pola konvensional atau syariah, LKBB lainnya, dan kelompok
usaha.
Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
Linkage pola executing adalah KUR Mikro yang diberikan oleh Bank
Pelaksana kepada lembaga linkage untuk diterus-pinjamkan kepada debitur (end
user). Kewajiban pengembalian KUR Mikro menjadi tanggung jawab dari lembaga
linkage selaku penerima KUR Mikro. Sedangkan linkage pola channeling adalah
KUR Mikro yang diberikan oleh Bank Pelaksana kepada Debitur melalui lembaga
linkage selaku agen. Kewajiban pengembalian KUR Mikro menjadi tanggung
jawab dari Debitur (end user)selaku penerima KUR Mikro.
Pada saat ini suku bunga kredit Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk skala
mikro sebesar 10-10,5 persen flat per tahun. Kredit Usaha Rakyat adalah kredit
program yang disalurkan menggunakan pola penjaminan. Kredit ini
diperuntukkan bagi pengusaha mikro yang tidak memiliki agunan tetapi memiliki
usaha yang layak dibiayai oleh bank. Pemerintah mensubsidi Kredit Usaha Rakyat
(KUR) dengan tujuan memberdayakan usaha mikro yang ada di Indonesia.
Subsidi yang diberikan pemerintah adalah premi asuransi. Dengan diasuransikan
kredit yang disalurkan, maka akan mengurangi kerugian apabila terjadi resiko
gagal bayar. Dengan diasuransikan kredit tersebut, maka penyaluran kredit mikro
15
D1
D0
pasar akar terjadi di Ekur+premi. Kurva penawaran akan menjadi Skur tanpa subsidi.
Namun pemerintah membayarkan premi asuransi (merupakan bagian item cost
yang membentuk besarnya biaya bunga) yang nilainya sebesar a.
Adanya subsidi spesifik berupa premi asuransi maka biaya produksi bank
akan berkurang maka kurva penawaran S akan bergeser sejajar ke bawah, dengan
penggal yang lebih kecil (lebih rendah) pada sumbu harga. Jika sebelum subsidi
penawarannya sebesar Sm maka sesudah subsidi ia akan menjadi Skur sehingga
kurva membengkok. Dengan rendahnya suku bunga KUR (10 persen), maka
permintaan terhadap kredit naik sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke
D1 dan keseimbangan baru terjadi pada saat Ekur dan jumlah kredit yang diminta
akan naik menjadi Ckur.
Subsidi premi yang diberikan oleh pemerintah menyebabkan ongkos
produksi yang dikeluarkan oleh bank menjadi, lebih sedikit dari pada ongkos
sesungguhnya untuk menghasilkan biaya bunga tersebut. Perbedaan antara ongkos
produksi nyata dan ongkos produksi yang dikeluarkan merupakan bagian subsidi
yang.dinikmati oleh produsen. Karena ongkos produksi yang dikeluarkan oleh
bank lebih kecil, bank bersedia menawarkan harga atau bunga KUR yang lebih
rendah, sehingga sebagian dari subsidi yang diterima, secara tidak langsung
dinikmati juga oleh nasabah.
BPD
BANK
BRI Unit BPR-
BKD
BPR/BPR
SS
BPR-
LKM L Non
BKD
LDKP
Formal
Non Kosipa
Bank & USP
m KSM, LSM,
Non Formal
BMT,
Arisan, dll
lebih tinggi dibandingkan dengan pasar kredit formal. (4) pasar kredit informal
terhubung dengan pihak lain seperti pemilik tanah, tenaga kerja ataupun pasar
hasil pertanian. (5) ada kecenderungan penyalur kredit bersifat monopoli (6) dan
ada credit rationing yang signifikan.
Pinjaman baik formal maupun informal merupakan imperfect substitutes.
Kapanpun tersedia kredit formal akan mengurangi tetapi tidak menghilangkan
pinjaman informal.
Usaha mikro yang jumlahnya banyak dan tersebar luas di semua sektor
dan wilayah, tidak bisa dipungkirin menghadapi permasalahan utama yaitu
permodalan. Masalah permodalan umumnya disebabkan karena usaha mikro
merupakan usaha perorangan yang mengandalkan modal sendiri dengan jumlah
yang terbatas dan keterbatasan akses ke sumber sumber permodalan, terutama
akses ke lembaga keuangan formal seperti bank. Menurut Siregar (2009)
mengungkapkan bahwa ketersediaan dana melalui berbagai skim kredit masih
terbatas, prosedur perolehan yang masih rumit, dan persyaratan yang cukup berat
seperti persyaratan administrasi dan jaminan menjadi hambatan dalam mengakses
dana tersebut. Hal ini mengundang hadirnya rentenir yang memberikan pinjaman
dengan mudah dan dengan tingkat bunga yang besar. Dengan demikian
sebenarnya unit usaha mikro tidak begitu mempermasalahkan bunga yang tinggi
namun yang penting akses yang mudah. Sedangkan di pihak perbankan,
keengganan bank untuk menyalurkan kreditnya kepada usaha mikro karena
adanya anggapan bahwa usaha mikro tidak bankable, yaitu usaha mikro tersebut
belum dapat memenuhi persyaratan pembiayaan dari bank. Padahal sasaran KUR
termasuk usaha mikro yang produktif (usaha untuk menghasilkan barang dan jasa
untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi pelaku usaha)
dan usaha layak (usaha calon debitur yang menguntungkan/memberikan laba
sehingga mampu membayar bunga/marjin dan mengembalikan seluruh hutang dan
bunga dalam jangka waktu yang telah disepakati). Tentu saja usaha mikro tersebut
yang belum bankable.
Ada beberapa orang memang tidak mau mengajukan kredit karena tidak
membutuhkan kredit atau karena orang enggan terhadap resiko kredit (risk averse).
Pengetahuan karakter ini sangat penting bagi perbankan untuk membantu
menganalisis apakah kredit akan diberikan atau tidak. Namun penelitian yang
dilakukan oleh Dwiwati (2008) yang mengkaji tentang penyaluran kredit usaha
kecil (KUK) melalui program kredit kemitraan BUMN (KKB - PT. BNI)
menyatakan bahwa proses penyaluran kredit dan pengembalian kredit KKB
sebetulnya hanya dipengaruhi oleh character, capacity dan condition of economy
atau 3C karena umumnya usaha mikro kecil (UMK) tidak memiliki capital
maupun collateral. Analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis matrik
internal factor evaluation (IFE), External Factor Evaluation (EFE) dan matrik
Internal External (IE) serta analisis SWOT. Berdasarkan hasil kajiannya
menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi program KKB adalah
prosedur pengajuan yang tidak berbelit dan syarat pengajuan yang mudah. Hal ini
berarti bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi orang meminjam adalah
23
kemudahan dalam akses dengan adanya kemitraan dan membentuk kelompok oleh
para calon nasabah.
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa prosedur dan persyaratan
yang tidak berbelit, waktu untuk mendapatkan pinjaman hingga cair, dan biaya
untuk mendapatkan pinjaman menjadikan pertimbangan orang untuk bisa akses ke
sumber kredit atau pembiayaan. Aplikasi pinjaman seharusnya yang sederhana
dan tidak berbelit belit yang tidak merepotkan baik mengenai waktu dan biaya.
Masyarakat juga terkadang kurang bisa mengakses informasi tentang bagaimana
dan kredit apa yang ada yang bisa mereka gunakan. Ketika rumah tangga miskin
atau pun pelaku usaha mikro memiliki akses kredit, hasil penelitian dari nasabah
Grameen bank menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi
untuk menggunakan dana tersebut sehingga mampu memberikan dampak yang
nyata seperti peningkatan ekonomi yang signifikan. Dengan adanya peningkatan
ekonomi yang bisa dirasakan, maka tingkat pengembalian kredit juga akan lancar.
Dari penelitian nasabah grameen tersebut faktor perempuan sebagai pelaku yang
terlibat secara langsung juga menentukan tingkat pengembalian kredit.
Faktor-faktor yang mendorong dalam pengajuan kredit atau akses ke
lembaga keuangan formal bisa ditentukan oleh pihak rumah tangga ataupun dari
penyalur kreditnya. Kadang pengajuan kredit bisa ditolak oleh bank atau kredit
dibatasi (credit rationed) oleh pihak bank tapi bisa juga karena dari rumah tangga
usaha mikro sendiri yang tidak mengajukan kredit. Menurut Maldonado (2004),
diantara para rumah tangga yang mengajukan kredit, beberapa memperoleh
pinjaman dan lainnya tidak. Bagi yang ditolak berarti masuk sebagai pihak yang
dibatasi (credit rationed) meskipun tidak diberitahu alasannya. Begitu juga bagi
yang memperoleh kredit namun dibawah jumlah yang diajukan juga dianggap
sebagai credit rationed. Bagi rumah tangga yang mengajukan kredit, memperoleh
pinjaman sesuai yang diajukan dikategorikan sebagai pihak yang tidak dibatasi
kredit (non-credit rationed). Sebaliknya ada juga rumah tangga yang memang
tidak mengajukan pinjaman yang berarti tidak dibatasi (non rationed). Kelompok
ini dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu rumah tangga yang tidak memerlukan
pinjaman (no need) misalnya karena rendahnya kesempatan produktifitas. Kedua,
risk averse, yaitu rumah tangga yang takut atau enggan terhadap resiko kredit.
Ketiga, rumah tangga yang menganggap bahwa pinjaman yang tersedia mahal
atau high cost, seperti tingginya tingkat suku bunga, jangka waktu pembayaran
pendek maupun terlalu banyak persyaratan. Keempat, rumah tangga yang dibatasi
oleh dirinya sendiri karena apriori dulu dan menganggap dirinya tidak akan
mendapat pinjaman sekalipun mengajukan. Tiga kelompok terakhir tersebut
dikategorikan sebagai rumah tangga yang dibatasi kreditnya.
Helsen dan Chmelar (2014) mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan
mikro sadar akan kemampuan kapasitasnya untuk memperoleh pembiayaan, yang
akhirnya mereka banyak perusahaan-perusahaan mikro tidak mengajukan kredit.
Ada beberapa orang memang tidak mau mengajukan kredit karena tidak
membutuhkan kredit atau karena orang enggan terhadap resiko kredit (risk averse).
Penelitian yang dilakukan oleh Mel et al. (2011) menemukan bahwa kebanyakan
alasan utama orang tidak mengajukan kredit karena tidak memenuhi kriteria. 25
persen mengatakan tidak bisa memenuhi jaminan baik aset atau penjamin, 21
persen tidak mampu memenuhi kriteria lainnya. 21 persen mengatakan bunganya
24
terlalu tinggi, 19 persen tidak suka hutang dan 13 persen tidak membutuhkan
hutang. Hanya 1 persen yang mengatakan alasan lokasi bank yang jauh.
Klasifikasi pembatasan kredit (credit rationing) menurut Maldonado
adalah sebagai berikut;
Did Apply
Yes No
Gambar 2.6 Klasifikasi pembatasan kredit rumah tangga oleh Maldonado (2005)
Dalam penelitian KUR ini, aksesibilitas usaha mikro pada kredit mikro,
didefinisikan sebagai kemampuan usaha mikro untuk mendapatkan pinjaman dari
bank (Li et al. 2011). Penelitian mengenai akses kredit dan determinannya oleh
rumah tangga telah banyak dilakukan (Mohamed et al. 2009; Li et al. 2011; Quoc
2012). Faktor-faktor yang menentukan yang diulas biasanya faktor sosial ekonomi
yang mempengaruhi rumah tangga untuk akses kredit. Li memasukkan faktor
demografi (usia, gender, pendidikan, ukuran keluarga), faktor sosial-ekonomi
(aset, pendapatan, luas tanah pertanian (farmland size), rasio ketergantungan
anggota keluarga (family dependent ratio), kepala rumah tangga merangkap
sebagai tenaga kerja (self-employment), anggota keluarga bekerja kantoran
(official worker), pemilikan saham di bank (bank share holder), pemilikan
tabungan) dan faktor lainnya seperti lokasi, jarak, sikap kepala rumah tangga
terhadap hutang (attitude toward debt), dan akses ke jenis kredit lain (credit
alternative). Faktor usia, jenis kelamin, pendidikan dan ukuran keluarga juga
25
diganti dengan suatu rekomendasi dan adanya sangsi sosial bagi peminjam yang
tidak mengembalikan pinjamannya.
Faktor-faktor lain dalam pengembalian kredit adalah berfungsinya
kelembagaan keuangan mikro sebagai mediasi dan pembinaan usaha mikro kecil.
Hasil penelitian Syukur (2008) menunjukkan bahwa keterlibatan aktif rembug
pusat dengan anggota meningkatkan pengembalian kredit. Trust building atau
personal contact yang dibangun oleh lembaga kredit non formal memiliki andil
yang besar dalam pengembalian kredit.
Jaringan komunikasi yang berkembang saat ini tampaknya bisa mengurangi
hambatan dari sisi biaya transaksi yang tinggi dari bank bank formal untuk
melakukan penagihan. Biaya komunikasi yang murah dirasa lebih efektif daripada
petugas datang langsung ke nasabah. Faktor-faktor lain lain yang mempegaruhi
keberhasilan pengembalian kredit adalah perilaku pelaku usaha rumah tangga itu
sendiri seperti pendidikan, persepsi tentang KUR, penyalahgunaan fungsi kredit,
pengalaman dalam menggunakan kredit, kebiasaan menabung maupun konsumsi
rumah tangga dsb. Karakteristik perilaku tersebut bisa dimasukkan sebagai faktor
internal dari pelaku usaha mikro. Sebaliknya ada juga faktor eksternal dimana
mereka tidak bisa mengontrolnya seperti adanya bencana alam, kecelakaan dan
sebagainya.
Jalaludin (2002) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
kelancaran pengembalian kredit pengusaha kecil adalah faktor ekonomi dan faktor
non ekonomi. Adapun faktor ekonomi meliputi; 1) penghasilan bersih yang
diterima oleh pengusaha kecil baik dari usaha taninya maupun dari kegiatan di
luar pertanian. 2) jumlah tanggungan keluarga. Semakin besar jumlah anggota
keluarga berarti semakin besar tanggung jawab rumah tangga dan semakin
mengurangi kemampuan untuk membayar kembali pinjaman. 3) Skala usaha,
yaitu diukur berdasarkan besarnya modal yang diperlukan untuk menjalankan
usaha. 4) frekwensi dan besarnya angsuran. Sedangkan faktor-faktor non ekonomi
adalah tingkat pendidikan, frekwensi pembinaan, dan bidang usaha.
Masalah utama skim kredit di Indonesia selama ini adalah kredit macet.
Program Bimbingan masal (Bimas), Intensifikasi masal (Inmas), Intensifikasi
khusus (Insus), dan Kredit Usaha Tani (KUT) mengalami tunggakan sehingga
konsekuensinya program tidak berlanjut. Skim selanjutnya adalah kredit
ketahanan pangan (KKP), namun penyalurannya pun belum optimal. Perbedaan
KUT dan KKP adalah sumber pendanaan dan tanggung jawab resikonya (Supadi
dan Sumedi 2004). Sumber pendanaan KUT dari kredit likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) dan resiko ditanggung pemerintah. Pendanaan KKP oleh bank pelaksana
dan resiko ditanggung 50 persen oleh bank pelaksana. Total jumlah tunggakan
KUT mencapai Rp 5,7 trilyun atau 81,4 persen (voice of Indonesia 2012).
Kegagalan KUT ini karena 1) penyalurannya salah sasaran, 2) lembaga-lembaga
penyalur fungsinya hanya sebatas penyaluran dana, setelah menyalurkan lembaga
tersebut sulit untuk dilacak. Kegagalan ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana
proses screening awal dalam penyaluran kredit. Peer-screening yang ketat
memiliki dampak untuk mengurangi resiko gagal bayar. Namun tidak dipungkiri
bahwa screening awal terkendala oleh asimetic informasi yang berarti tidak semua
informasi peminjam teramati (Ofonyelu et al. 2013).
Kredit formal lebih terorganisir dengan staf yang kualitas dan motivasi yang
tinggi dibandingkan dengan yang informal (Onyeagocha 2012). Meskipun tingkat
27
NPL rendah, namun pasar kredit tetap memiliki resiko yang melekat seperti
pembayaran yang tidak lancar atau mengalami keterlambatan. Sehingga aspek
manajemen risiko pembiayaan mikro tidak boleh diabaikan (Setargie 2013).
KUR disalurkan untuk tujuan pengurangan kemiskinan, termasuk
pemberdayaan perempuan. Namun, tampaknya total jumlah wanita yang memiliki
akses KUR dalam penelitian ini hanya sekitar 21,93 persen. Padahal resiko moral
hazard wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria (Despallier et al. 2011)
harusnya wanita mendapat prioritas untuk mendapatkan kredit. Penelitian
(Armendariz dan Morduch 2005; Chakravarty et al. 2013) menemukan bahwa
peminjam wanita menunjukkan pembayaran kembali yang lebih bagus baik di dua
komunitas yaitu masyarakat patriliniel maupun matriliniel. Namun studi empiris
ini biasanya untuk pinjaman informal, dimana wanita sebagai nasabah dominan.
Menurut (the microcredit summit campaign) lebih dari 70 persen nasabah
keuangan informal adalah wanita. Menurut Okojie et al. (2010) memperkirakan
bahwa 84.2 persen nasabah termiskin keuangan mikro adalah wanita.
Kenyataannya banyak pinjaman informal dengan pelanggan wanita yang
mengalami gagal bayar juga. Penelitian Godquin (2004) tidak membuktikan
bahwa peminjam wanita memiliki pembayaran kembali yang lebih baik. Koefisien
hasilnya positif namun tidak signifikan. Kredit usaha rakyat mikro ditujukan
kepada usaha mikro dari berbagai sektor, namun data di gambar 1.1 menunjukkan
yang terbanyak adalah usaha dagang atau ritel. Sektor pertanian tampaknya masih
kurang mendapatkan perhatian dilihat dari jatah kredit pertanian yang kecil.
Pertanian dianggap sektor yang memiliki tingkat default risk yang tinggi. Dalam
penelitian Gebeyehu (2013), para petani mengalami gagal bayar karena alasan
faktor-faktor sosial, ekonomi dan kelembagaan.
KUR disalurkan untuk membiayai modal kerja usaha dan atau investasi,
sehingga diharapkan usaha mikro mampu berkembang. Namun , bank-bank belum
mampu mengontrol sejauh mana pinjaman itu digunakan untuk kepentingan
produktif. Apakah untuk modal usaha atau keperluan lain, seperti konsumsi,
biaya keluarga sakit atau biaya anak sekolah. Ketika pengalihan kredit dilakukan
maka usaha mikro akan mengalami kesulitan dalam pembayaran. Pengalihan
kredit termasuk moral hazard yang dilakukan nasabah dari keperluan yang
produktif ke kepentingan yang tidak produktif.
kredit 9,46 persen lebih tinggi dari yg tidak medapat kredit mikro. Di Pakistan,
Noreen et al. (2011) menguji dampak pembiayaan mikro untuk mengurangi
kemiskinan dengan mengukur tingkat pendidikan anak, perumahan, ketahanan
makanan, pengeluaran rumah tangga dan aset rumah tangga. Pembiayaan mikro
juga memberikan dampak positif dan meningkatkan pendapatan dan pengeluaran
rumah tangga peminjam dilakukan oleh (Akram&Hussain 2011) di Pakistan dan
(Hossain 2012) di Bangladesh. Masih di Pakistan, Shirazi dan Khan (2009)
meneliti dampak positif mikro kredit telah mengurang kemiskinan sebesar 3.05
persen selama periode penelitiannya dan peminjam cenderung berpindah ke
kelompok yang berpenghasilan lebih tinggi. Kredit rumah tangga memiliki
dampak positif dan signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi rumah tangga di
Vietnam yaitu meningkat nya tingkat konsumsi per kapita baik makanan maupun
non makanan (Quarch et al 2005). Duong & Thanh (2015) meneliti dampak kredit
mikro terhadap kesejahteraan rumah tangga di pedesaan di Vietnam. Hasil
menunjukkan bahwa kredit mikro meningkatkan standar hidup dilihat dari sisi
pendapatan dan konsumsi. Namun untuk masyarakat miskin ternyata tidak ada
bukti yang menunjukkan adanya dampak pada pendapatan, hanya pada konsumsi
saja.
Wanita sering diabaikan dalam pembiayaan mikro sehingga sering dibatasi.
Vitor (2012) meneliti bahwa wanita yang menggunakan mikro kredit memiliki
pendapatan usaha lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan kredit mikro
dalam usahanya. Pembiayaan mikro memberikan dampak positif pada
pengurangan kemiskinan diantara usaha wanita di Nigeria Selatan (Ifelunini dan
Wosowei 2012).
Thoha (2000) meneliti tentang keefektivitas kukesra dalam pengentasan
kemiskinan dengan menyoroti beberapa aspek seperti umur, tingkat pendidikan,
jumlah anak, kondisi rumah, jenis pekerjaan, penghasilan, jumlah ternak dan jenis
peralatan rumah tangga yang dimiliki. Kredit tidak diberikan kepada nasabah yang
relatif tua (diatas 50 tahun) karena lebih beresiko, sehingga kemungkinan
terjadinya misalokasi kredit lebih besar. Semakin tinggi pendidikan seseorang,
maka semakin besar pula kemampuan dalam mengaktualisasi potensi dirinya
untuk mengelola usaha. Kondisi rumah merupakan salah satu indikator tingkat
kesejahteraan masyarakat. Ada 6 (enam) unsur pokok yang disoroti berkaitan
dengan kondisi tempat tinggal usaha mikro yaitu luas bangunan, luas tanah,
kondisi lantai, kondisi dinding, kondisi rumah (permanen dan tidak) dan status
pemilikan rumah. Indikator lainnya yang digunakan untuk mengetahu kondisi
sosial ekonomi adalah peralatan rumah tangga yang dimiliki karena merupakan
aset rumah tangga. Semakin banyak jumlahnya maka semakin baik kondisi sosial
ekonomi rumah tangga tersebut. Variabel ini digunakan skala likert dengan
memberikan bobot yang sama yaitu 1 pada setiap jenis peralatan tersebut dengan
demikian berdasarkan jumlah peralatan yang dimiliki. Thoha (2000) mengukur
perbedaan variabel variabel diatas sebelum dan setelah mendapat kredit.
Sebelum KUR ini diluncurkan masih banyak kredit usaha yang disalurkan
masih sekedar berdasarkan pendekatan proyek saja dan pendekatan top down.
Pendekatan ini belum mendasarkan pada aspirasi dari bawah sehingga belum
30
efisiensi perbankan antara efisiensi alokatif dan teknis. Efisiensi alokatif adalah
sejauh mana sumber daya yang ada dialokasikan untuk penggunaan dengan nilai
yang diharapkan tertinggi. Sebuah perusahaan secara teknis efisien jika
menghasilkan serangkaian output menggunakan sejumlah terkecil yang mungkin
dari input.
3 METODOLOGI PENELITIAN
uraian latar belakang dan tujuan diatas, maka disusunlah kerangka pemikiran yang
disajikan dalam gambar 3.1.
YA TIDAK
YA TIDAK
Faktor Faktor Determinan
utk akses/mengajukan
Jumlah Sesuai dg yang kredit; Modal Manusia,
diminta atau Sebagian Biaya Transaksi, Jaminan
Tingkat Suku Bunga
Bagaimana Dampak
KUR Terhadap IMPLIKASI KEBIJAKAN
Pendapatan?
LANCAR
B
Faktor Faktor Determinan E
Pengembalian Kredit ke LK; VIABLE
R
faktor ekonomi dan non L
ekonomi PEMBENTUKAN A
MODAL N
J
TDK LANCAR U
TIDAK BERLANJUT T
/DEFAULT
YA VIABLE
Efisien dan NPL
rendah?
TIDAK TIDAK BERLANJUT
n = N/(1 + N(e)2)
Dimana N adalah populasi atau total nasabah KUR yang ada di Kabupaten
Pati yaitu 82.080 orang dan dengan tingkat kesalahan pengambilan sampel yang
masih dapat ditolerir/diinginkan sebesar 8 persen maka diperoleh sampel sebesar
155 rumah tangga usaha mikro yang mendapatkan KUR. Teknik penarikan
sampel dengan teknik purposive sampling, yaitu tehnik pengambilan sampling
dengan pertimbangan tertentu. Jumlah sampel untuk kelompok rumah tangga
usaha mikro yang tidak mendapatkan KUR menurut Caliendo (2005) sebaiknya
lebih banyak daripada jumlah sampel rumah tangga usaha mikro dengan KUR,
dan dengan tehnik penarikan sampel tanpa peluang yaitu prosedur yang tidak
memungkinkan kita menghitung peluang terpilihnya anggota tertentu populasi ke
dalam sampel. Dalam tehnik ini, sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan
keleluasaan peneliti (convenient) maka terpilihlah 177 rumah tangga usaha mikro
tanpa KUR. Sehingga total sampling yang digunakan sebanyak 332 unit rumah
tangga usaha mikro. Kecamatan Margorejo memiliki 18 desa dan Kecamatan
Dukuhseti 12 desa, sehingga masing-masing desa diambil rata-rata sekitar 10
sampai 13 rumah tangga.
Untuk menentukan responden lembaga keuangan maka diambil bank umum
nasional unit yang ada di Kabupaten Pati yaitu ada 35 unit bank umum nasional.
Pengambilan responden terhadap bank tersebut dengan pertimbangan bahwa bank
tersebut sebagai penyalur KUR terbesar secara nasional untuk usaha mikro dan
yang melayani KUR kepada usaha mikro di wilayah kecamatan yang terbesar
adalah bank unit kecamatan tersebut. Proses penentuan dan pengambilan
responden dalam penelitian ini disajikan pada gambar 3.2.
36
Penyaluran KUR
Terbesar
Tahap II
Kabupaten Pati
Purposive
Tahap III
Purposive Kec.Margorejo Kec. Dukuhseti
35 bank unit
penyalur
KUR
18 Desa, 12 Desa
setiap desa setiap desa
10-13 RT 10-13 RT
usaha mikro usaha mikro
KUR dan KUR dan
tanpa KUR tanpa KUR
Gambar 3.2 Proses pengambilan sampel responden usaha mikro dan bank unit
)
g(xi) = In = (1)
)
Secara umum jika sebuah peubah berskala nominal atau ordinal mempunyai
k kemungkinan nilai, maka diperlukan k-1 peubah boneka (dummy variable),
sehingga model transformasi logitnya menjadi:
g(xi) = (3)
dimana:
u : 1,2,3,kj-1
Dju : kj-1 peubah boneka
: koefisien peubah boneka
: peubah bebas ke-j dengan tingkatan kj
38
() = In () = { [ )] ) [ )]
H0 : 1 = = k = 0
H1 : minimal ada j 0, untuk j = 2, 3,k
G = -2In[ ] = 2In[ ] )
) )
= ) )
Jumlah sampel dalam penelitian ini ada 155 responden rumah tangga usaha
mikro yang mendapat KUR. Dalam penelitian ini menggunakan regresi logistik
untuk menentukan faktor-faktor determinan yang mempengaruhi usaha mikro
membayar KUR. Penelitian lain menggunakan logit juga dilakukan oleh (Tundui
dan Tundui 2013; Mokhtar et al. 2012). Metode lain seperti dengan probit
(Godquin 2004; Vitor 2012; Setargie 2013; Wongnaa dan Vitor 2013), dan tobit
(Gebeyehu et al. 2013).
Dalam penelitian ini menggunakan karakteristik peminjam, karakteristik
usaha dan karakteristik pinjaman seperti yang ada di tabel 4.3 yang merujuk pada
penelitian Roslan and Karim (2009). Nawai dan Shariff (2013) menambahkah
karakteristik lembaga keuangan.
seperti; (1) nearest neighbor matching (NNM), (2) Radius matching, (3) Kernel
matching, dan (4) stratification matching. Dalam penelitian ini hanya digunakan
nearest neighbor without replacement, yang maksudnya adalah proses pencocokan
masing masing kovariat hanya memiliki satu kali kesempatan. Metode NNM ini
memilih skor terdekat dari covariat dari kelompok kontrol. Proses pencocokan
dengan metode NNM ini baik untuk kecenderungan antara kelompok treatment
dan kelompok kontrol yang serupa (Backer dan Ichino 2002). Untuk Pemilihan
metode pencocokan ini belum ditemukan literatur mana metode yang paling baik
diantaranya. Ketiga, melihat overlap dan common support antara kelompok
terpajan dengan kelompok tidak terpajan pada saat dibandingkan dengan melihat
distribusi keduanya. Dalam tahap ini beberapa observasi dikeluarkan karena
memiliki skor terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Bersamaan dengan itu uji
keseimbangan (the balancing test) dilakukan untuk mengecek rata-rata dari PSM
tersebut tidak terlalu berbeda antara kelompok treatment dengan kelompok
kontrol. Setelah itu perbedaan dari variabel hasil dilakukan dengan melihat
perbedaan rata-rata dari kelompok treatment dengan kontrol. Perbedaan inilah
yang mencerminkan dampak dari treatment tersebut, yang dikenal dengan istilah
average effect of treatment for the treated (ATT).
Keempat, mengukur kualitas pencocokan (assessing match quality).
Rosenbaum dan Rubin (1985) merekomendasikan dengan standardized bias (SB)
dan t-test. Jika covariates X terdisitribusi acak pada kelompok terpajan dan tidak
terpajan maka nilai pseudo-R2 harusnya cukup rendah.
Dalam model ekonometrika untuk melihat dampak ini, maka metode PSM
dan average treatment effect on the treated (ATT) diterapkan untuk mengukur
dampak pada variabel-variabel hasil yang merupakan pengembangan dari
penelitian Dino dan Regasa (2014) seperti modal kerja, penjualan, keuntungan,
tabungan, pendapatan sampingan, total pendapatan, pengeluaran untuk makanan,
penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat tinggal dan kondisi kepemilikan aset.
Hipotesa yang dibangun adalah KUR memberikan dampak pada peningkatan
modal kerja, penjualan, keuntungan, tabungan, pendapatan sampingan, total
pendapatan, pengeluaran untuk makanan, penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat
tinggal dan kondisi kepemilikan aset.
Dalam pemodelan, untuk mengukur dampak atas hasil pada kelompok
usaha mikro yang mendapat KUR (kelompok treatment) dengan yang tidak
dengan estimasi perbedaan menurut Rubin (1973) dalam Ghalib (2011) sebagai
berikut:
i = (5)
Dimana i adalah dampak treatment pada individu i , dimana i = 1,2, ,N.
dan merupakan potensi hasil dari usaha mikro partisipan dan usaha
mikro non partisipan. Persamaan (5) tersebut menggunakan data cross section dan
seharusnya menghitung perbedaan hasil antara sesudah dan sebelum treatment
masing masing pelaku usaha mikro. Namun tidak mungkin dilakukan
penghitungan langsung menggunakan cross section dan menghitung perbedaan
antara sebelum dan sesudah treatment pada tiap pelaku usaha yang sama. Oleh
karena itu persamaan (5) dimodifikasi dengan mengestimasi average treatment
effects on the treated, TT, sebagai berikut;
TT = E( |D=1) = E(Y1 |D=1) - E(Y0 |D=1) (6)
43
Max h0 =
(15)
s.t
=
45
yrj, xij semua positif sebagai output dan input dari DMU, dan ur, vi 0 adalah
masing-masing bobot dari output yr ke j dan input xi ke j.
Dari kedua pendekatan TE CRS dan TE VRS ini dapat diformulasikan
perhitungan kinerja efisiensi skala (Scale Efficiency = SE). Berdasarkan skor
kedua ET ini, Efisiensi skala didefinisikan sebagai:
SE = (16)
Nilai efisiensi DEA ini didefinisikan tidak oleh standar mutlak tetapi relatif
antara bank-bank unitnya. Fitur inilah yang membedakan DEA dari pendekatan
parametrik seperti stochastic frontier approach (SFA), yang membutuhkan bentuk
fungsi model tertentu. DEA dipakai dalam penelitian ini juga karena masing-
masing bank unit memiliki karakteristik yang sama. Tujuan dari DEA ini adalah
untuk menentukan bank-bank unit mana yang beroperasi pada efisien frontier atau
tidak. Jika kombinasi input-output bank-bank unit tersebut terletak di frontier set
maka dianggap efisien, dan sekaligus menjadi envelope yang menutupi seluruh set
data yang ada atau dengan kata lain menutupi bank-bank unit yang tidak efisien
yang terletak di dalam frontier atau dalam amplop (envelope) .
Efisien relatif dalam penelitian ini dengan ukuran efisiensi digambarkan
secara teknis berdasarkan output-oriented (gambar 3.3). Apabila terdapat 2 output,
yaitu Y1 san Y2, oleh karena itu kombinasi di titik A adalah tidak efisien karena
berada di bawah kurva kemungkinan produksi.
Y2
.A
Y1
Jarak A ke frontier set dalam penelitian ini merupakan fungsi jarak output
Farrel (Fo), dikenalkan oleh Farrel tahun 1957 yaitu mewakili ketidakefisien
secara teknis yang merupakan tingkat output-output yang seharusnya dapat
ditingkatkan tanpa menambah input yang ada. Ketika Fo adalah 1, maka bank unit
dianggap efisien. Tapi bila score Fo diatas 1 maka kondisi ini menunjukkan
keadaan output yang bisa ditingkatkan.
46
Secara matematis model efisiensi untuk bank-bank unit k dapat dilihat dari
persamaan dibawah ini yang diadopsi dari Vannesland (2005) dalam penelitian
pembangunan pedesaan:
) (18)
) (19)
Zk 0 (CRS) k = 1K (20)
berbagai biaya yang dikeluarkan seperti bunga bank, biaya tenaga kerja maupun
biaya operasional. Dalam penelitian Efendic (2009) menganalisis efisiensi dari
bank konvensional dan bank syariah dengan pendekatan intermediasi, maka
variabel input yang digunakan adalah total deposito, aset tetap dan tenaga kerja.
Sedangkan variabel outputnya adalah pinjaman bersih dan pendapatan aset
lainnya. Variabel output dan input yang digunakan Efendic mirip dengan
penelitian Varias dan sofianopoulou (2012) di Yunani yang mengevaluasi
efisiensi bank komersil. Tahir et al. (2009) mengevalusi efisiensi antara bank
domestik dan asing di Malaysia, dan ternyata bank domestik lebih efisiensi.
Variabel input yang digunakan adalah total deposito dan biaya overhead,
sedangkan outputnya adalah pendapatan dari aset bank. Sebaliknya untuk
pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan produksi dimana deposito diperlakukan
sebagai outputnya dan biaya operasional termasuk biaya tenaga kerja
diperlakukan sebagai inputnya. Sathye (2001) menggunakan tenaga kerja, modal
dan dana yang bisa dipinjamkan sebagai input, sedangkan pinjaman dan
permintaan deposito sebagai outputnya. Tidak dilakukan klasifikasi jenis
pinjaman dalam penelitiannya. Hasil penelitian Sathye menyimpulkan bahwa
efisiensi bank-bank Australia masih dibawah rata-rata efisiensi bank di dunia.
Beberapa peneliti yang menggunakan DEA ada yang lebih suka
memasukkan jumlah tenaga kerja ataupun jumlah nasabah dibandingkan dengan
jumlah nilainya, namun banyak yang menyukai menggunakan besarnya nilai
dalam mata uangnya, dengan alasan; pertama, bank bersaing untuk merebut
pangsa pasar secara nilai bukan jumlah accountnya. Kedua, account yang berbeda
memiliki biaya yang berbeda. Ketiga, bank memiliki multi servis yang ukurannya
hanya bisa dinilai dengan jumlah uangnya.
Dalam penelitian ini, output yang digunakan dalam program DEA adalah
jumlah KUR yang disalurkan, pendapatan provisi dan jasa serta pendapatan bunga
bersih. Sedangkan input dimasukkan total deposit, beban bunga, beban
hadiah/penjaminan, beban penyisihan kerugian, biaya tenaga kerja, biaya umum
dan administrasi serta beban operasi.
4.2 Administrasi
Tabel 4.1 Nama-nama kecamatan, jumlah kelurahan dan luas wilayah Pati
No. Nama Kecamatan Jumlah Luas wilayah
kelurahan/desa (Ha) % thd total
1. Sukolilo 16 15.874 10,56
2. Kayen 17 9.603 6,39
3. Tambakromo 18 7.247 4,82
4. Winong 30 9.994 6,65
5. Pucakwangi 20 12.283 8,17
6. Jaken 21 6.852 4,56
7. Batangan 18 5.066 3,37
8. Juwana 29 5.593 3,72
9. Jakenan 23 5.304 3,52
10. Pati 5/24 4.249 2,83
11. Gabus 23 5.551 3,69
12. Margorejo 18 6.181 4,11
13. Gembong 11 6.730 4,48
14. Tlogowungu 15 9.446 6,28
15. Wedarijaksa 18 4.085 2,72
16. Trangkil 16 4.284 2,85
17. Margoyoso 22 5.997 3,99
18. Gunungwungkal 15 6.180 4,11
19. Cluwak 13 6.931 4,61
20. Tayu 21 4.759 3,16
21. Dukuhseti 12 8.159 5,43
Jumlah 5/401 150.368 100%
Sumber: BPS, 2011
Tabel 4.2 Jumlah penduduk, penduduk miskin, jumlah rumah di Kab. Pati
No Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah rumah
penduduk miskin (unit)
1. Sukolilo 84.660 18.413 24.153
2. Kayen 70.093 13.551 19.227
3. Tambakromo 47.946 11.177 19.227
4. Winong 49.385 12.972 15.783
5. Pucakwangi 41.328 10.865 12.994
6. Jaken 42.214 13.564 13.277
7. Batangan 40.879 9.084 12.119
8. Juwono 90.190 10.491 25.087
9. Jakenan 40.298 11.625 12.671
10. Pati 103.243 12.661 28.806
11. Gabus 51.930 9.543 15.526
12. Margorejo 55.780 5.973 16.376
13. Gembong 42.236 7.973 12.240
14. Tlogowungu 49.199 10.438 14.440
50
Untuk mendukung kegiatan usaha dan investasi baik transaksi dalam negeri
dan luar negeri di wilayah Kabupaten Pati terdapat lembaga keuangan/perbankan
milik pemerintah maupun swasta seperti: BNI 46, BRI, BCA, BTPN, Bank Jateng,
Bank Mandiri, Bnak Mega, Rabo Bank, Bank Danamon, Bank CIMB Niaga dan
Bank Perkreditan Rakyat, yang menjangkau ke pelosok wilayah kecamatan.
Kabupaten Pati menjadi salah satu daerah yang berhasil melaksanakan
program Kredit Usaha Rakyat (KUR), terbukti pada tahun 2012 merupakan
daerah penyerap KUR terbesar secara nasional. Hal ini didukung wilayah Pati
yang sangat luas dan banyak usaha yang memerlukan pembiayaan untuk
pengembangan usahanya, diantaranya adalah sektor pertanian, perdagangan,
perindustrian dan perikanan. Di kabupaten ini, program KUR dilaksanakan oleh
tiga bank, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.
Bank Jateng membuka kantor kas di beberapa kecamatan di Kabupaten Pati
untuk meningkatkan pelayanan dan mendekatkan kepada nasabah dan masyarakat.
Di Tahun 2015, diharapkan seluruh kecamatan sudah dibuka layanan Bank jateng.
Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun Bank Jateng Cabang Koordinator Pati
mencapai sekitar Rp 814 miliar pada tahun 2012. DPK dalam bentuk giro,
tabungan, dan deposito ini mengalami pertumbuhan sebesar 45 persen dibanding
dengan tahun sebelumnya. Penyaluran kredit oleh Bank Jateng pada tahun 2012
mencapai sekitar Rp 712 miliar.
Untuk pinjaman, Bank Jateng menyediakan kredit untuk koperasi, kredit
bidan sejahtera (KBS), kredit khusus untuk kendaraan bermotor (KKB), kredit
pembayaran masyarakat desa (KPMD), kredit pundi, kredit ketahanan pangan dan
energi (KKPE), kredit usaha pembibitan usaha sapi (KUPS), kredit kepemilikan
rumah (KPR), kredit usaha rakyat (KUR), kredit siaga, rekening koran, kredit
karya sejahtera dan personal loan (PLO).
Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Kabupaten Pati memiliki 35 bank unit yang
tersebar di 21 kecamatan. Pada tahun 2012, BRI mampu menyerap dana dari
pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 905,6 miliar dan meningkat menjadi Rp 1.056
miliar di tahun 2013.
51
Tabel 5.2 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro Kec. Margorejo
Deskripsi Non-KUR (N1=107) KUR (N2=69 ) Total Responden
(N3=176)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dr
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Demografi;
Jenis kelamin
Pria 32 29,91 51 73,91 83 47,16
Wanita 75 70,09 18 26,09 93 52,84
Usia
Rata-rata pria,th 40,41 40,29 40,35
Rata-rata wanita, th 45,20 36,55 40,87
Pendidikan
SD 42 39,25 25 36,2 67 38,07
SMP 31 28,98 17 24,6 48 27,27
SMA 32 29,91 26 37,7 58 32,95
Universitas 2 1,86 1 1,4 3 1,7
Tabel 5.3 Karakteristik demografi rumah tangga usaha mikro Kec. Dukuhseti
Deskripsi Non-KUR (N1=70) KUR (N2=86 ) Total Responden
(N3=156)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dr
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Demografi;
Jenis kelamin
Pria 29 41,43 70 81,39 99 63,46
Wanita 41 58,57 16 18,61 57 36,54
Usia
Rata-rata pria,th 40,96 38,1 39,53
Rata-rata wanita, th 41,68 46,18 43,93
Pendidikan
SD 28 40,00 21 24,42 49 31,41
SMP 18 25,71 29 33,72 47 30,13
SMA 23 32,86 32 37,21 55 35,26
Universitas 1 1,43 4 4,65 5 3,20
yaitu 0,89 dibandingkan dengan usaha mikro tanpa KUR sebesar 0,40. Sayangnya,
tidak semua tenaga kerja tersebut dibayar karena alasan sebagai anggota keluarga.
Jadi, rata-rata tenaga kerja yang dibayar yang mampu terserap dalam usaha mikro
hanya sebesar 20,34 persen untuk non-KUR dan 34,34 persen untuk usaha mikro
yang meminjam KUR. Rata-rata lama usaha mikro non-KUR adalah 9,08 tahun.
Ini lebih lama dibandingkan rata-rata usaha mikro yang meminjam KUR 5,47
tahun. Sebagai usaha rumah tangga mikro yang biasanya dikategorikan sebagai
usaha informal, maka tidak ada batasan jam kerja yang berlaku. Secara
keseluruhan, jam kerja usaha informal ini memiliki rata-rata jam kerja yang
panjang yaitu kurang lebih 59,85 jam per minggu. Jumlah ini jauh lebih lama
dibandingkan dengan dengan jam kerja formal yang biasanya hanya sampai 40
jam per minggu. Rata-rata jam kerja per minggu untuk usaha mikro non-KUR
lebih lama yaitu 61,33 jam dibandingkan dengan usaha mikro yang menggunakan
KUR sebesar 58,15 jam per minggu. Rata-rata jam kerja usaha mikro ini bisa
bertambah lama, jika diakumulasikan dengan pekerjaan sampingan yang mereka
kerjakan. Dari total 332 usaha mikro dalam penelitian ini, sekitar 26,51 persen
memiliki pekerjaan sampingan. Semakin lama jam kerja bisa menunjukkan
semakin tinggi pendapatan yang akan diperoleh, namun bisa juga menunjukkan
ketidak efisiensinya suatu usaha.
Tabel 5.4 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro di Pati
Deskripsi Non-KUR KUR (N2=155 ) Total Responden
(N1=177) (N3=332)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Sosial ekonomi;
Tenaga kerja 71 40,11 138 89,03 209 62,95
(orang)
Tenaga kerja 36 20,34 78 50,32 114 34,34
yang dibayar
Rata-rata lama 9,08 5,47 7,4
usaha (th)
Rata-rata jam 61,33 58,15 59,85
kerja/mgg
Jenis Usaha:
Dagang/retail 130 73,45 70 45,16 200 60,24
Produksi 23 12,99 26 16,77 49 14,76
Jasa 16 9,04 30 19,36 46 13,86
Peternakan 5 2,83 12 7,74 17 5,12
Perikanan 3 1,69 12 7,74 15 4,52
Pertanian 0 0,0 5 3,23 5 1,50
Jarak:
Jarak ke pasar 4,83 4,27 4,58
kec. (km)
Jarak ke bank 4,23 4,23 4,23
(km)
Produk di
pasarkan:
54
Jenis usaha yang banyak ditekuni oleh rumah tangga usaha mikro adalah
perdagangan atau ritel mencapai 60,24 persen. Dalam penelitian ini, usaha yang
dimaksud dalam sektor ini adalah usaha informal seperti warung kebutuhan
sehari-hari, warung bakso, mie ayam dan jenis-jenis usaha lainnya yang umum di
pedesaan. Usaha-usaha tersebut memiliki karakteristik barrier to entry yang
rendah, bahkan bisa diabaikan dengan tingkat pengembalian modal kerja sampai
70 persen (Grimm et al. 2011). Sehingga banyak orang baik dengan pendidikan
tinggi maupun rendah dengan mudah untuk memasuki usaha ini. Untuk usaha
mikro yang pinjam KUR, jenis usaha terbanyak juga sektor perdagangan dan ritel
(45,16 persen) diikuti jasa (19,36 persen), sektor pengolahan (16,77 persen),
peternakan dan perikanan masing-masing 7,74 persen. Sebaran jenis usaha
memiliki proporsi yang seiring dengan masing masing kecamatan yaitu di
Kecamatan Margorejo dan Kecamatan Dukuhseti, dimana sektor ritel
mendominasi pinjaman KUR seperti terlihat di tabel 5.5 dan 5.6.
Di tabel 5.5 terlihat bahwa di Kecamatan Margorejo, jenis usaha mikro
terbanyak baik yang menggunakan KUR maupun tidak menggunakan KUR
adalah dagang. Hambatan terbanyak yang dihadapi oleh usaha mikro tanpa
menggunakan KUR adalah hambatan pemasaran, sedangkann yang menggunakan
55
Tabel 5.5 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga usaha mikro di Kec.
Margorejo
Deskripsi Non-KUR (N1=107) KUR (N2=69 ) Total Responden
(N3=176)
Jumlah % dari Jumlah % dari Sub-Total % dari
(n1) N1 (n2) N2 (N4=n1+n2) N3
Jenis Usaha:
Dagang/retail 86 80,37 45 65,22 131 74,43
Produksi 11 10,28 9 13,04 20 11,36
Jasa 6 5,61 8 11,59 14 7,95
Peternakan 2 1,87 3 4,35 5 2,84
Perikanan 2 1,87 1 1,45 3 1,70
Pertanian 0 0,0 3 4,35 3 1,70
Hambatan usaha:
Modal 44 41,12 40 57,97 84 47,73
Pemasaran 63 58,88 29 42,03 92 52,27
Rata-rata modal 2.323.430 3.936.594 3.130.012
kerja (Rp)/minggu 412
Kepemilikan
rekening bank:
Ya 23 21,50 36 52,17 59 33,52
Tidak 84 78,50 33 47,82 117 66,48
Pekerjaan
sampingan
Ya 30 28,04 21 30,43 51 28,98
Tidak 77 71,96 48 69,59 125 71,02
Pasangan kerja
Ya 60 56,07 29 42,03 89 50,57
Tidak 47 43,93 40 57,97 87 49,43
Pinjaman selain
KUR
Ya 48 44,86 54 78,26 102 57,95
Tidak 59 55,14 15 21,74 74 42,05
Cote dIvoire juga menjelaskan secara statistik bahwa pembiayaan mikro terbesar
bukan sektor pertanian tetapi sektor perdagangan sekitar 30 persen. Gambar 5.1
menunjukkan sebaran jenis usaha mikro baik pinjam KUR maupun tidak.
Pada tabel 5.4 di atas rata-rata lokasi usaha atau rumah tangga usaha mikro
berjarak 4,58 kilometer (km) dari pasar kecamatan. Lokasi usaha mikro yang
meminjam KUR rata-rata memiliki jarak 4,27 km dari pasar kecamatan. Jarak ini
lebih dekat dibandingkan dengan rata-rata lokasi usaha mikro non-KUR sekitar
4,83 km. Sedangkan rata-rata jarak lokasi usaha mikro dengan lokasi bank, baik
yang meminjam KUR maupun non-KUR adalah 4,23 km. Berdasarkan data
penelitian, sebagian besar produk dipasarkan di rumah atau di tempat usaha,
keliling dan pasar (termasuk toko/warung/bengkel yang berada di luar rumah).
Baik rumah tangga usaha mikro yang meminjam KUR maupun bukan KUR
tempat produk dipasarkan di rumah hampir 80 persen. Terbanyak kedua, produk
dipasarkan di pasar/toko/warung/bengkel sekitar 15 persen, dan sisanya pelaku
usaha mikro memasarkan produknya dengan cara keliling.
57
80
70
60
50
Non-KUR
40
KUR
30 Total MB
20
10
0
Trade/retail Production Service Farming Fishing Agricultural
lebih dari separuh rumah tangga usaha mikro bekerja. Dari total 332 unit usaha
mikro, ada sekitar 131 rumah tangga usaha mikro atau 39,46 persen yang
memiliki rekening di bank. Usaha mikro yang meminjam KUR lebih tinggi
tingkat kesadaran menabungnya di bank dibandingkan dengan rumah tangga
usaha mikro non-KUR. Dari total usaha mikro yang meminjam KUR, ada 51,61
persen yang memiliki rekening di bank, dan untuk usaha mikro non-KUR baru
23,73 persen. Dengan memiliki rekening di bank, maka rumah tangga usaha
mikro akan lebih mengenal atau melek keuangan karena akses terhadap produk
keuangan termasuk tawaran kredit lebih terbuka.
Sumber kredit tidak hanya dari bank saja, masih ada sumber lain seperti
koperasi, PNPM, saudara, tetangga maupun rentenir. Dari total usaha mikro dalam
penelitian, selain meminjam KUR, rumah tangga usaha mikro yang juga
meminjam dari sumber lain sebesar 33,43 persen. Peminjam KUR yang juga
meminjam dari sumber lain mencapai 38 rumah tangga atau 24,52 persen.
Sedangkan kelompok rumah tangga usaha non-KUR ysng memiliki sumber
pinjaman lainnya mencapai 41,24 persen.
Selain karakteristik demografi, sosial dan ekonomi, masih ada beberapa
variabel yang belum dibahas diatas, yang akan dikelompokkan ke dalam
karakteristik lain-lain yang ada di tabel 5.7. Dalam penelitian ini, penulis
memasukkan faktor persepsi dari rumah tangga usaha mikro untuk mengetahui
pendapat dari sisi rumah tangga usaha mikro. Persepsi, berarti pendapat subyektif
dari seseorang. Untuk objek yang sama, persepsi dua orang akan menjadi berbeda.
Namun, persepsi ini juga penting untuk mengetahui apa yang diharapkan dari
orang lain. Skim pengajuan atau persyaratan KUR dari sisi perbankan memang
sederhana, yaitu hanya kartu identitas (KTP), dan ada usaha. Begitu juga tingkat
suku bunga kredit untuk usaha mikro maksimal 12 persen per tahun. Ini jauh lebih
kecil dibandingkan dengan mereka meminjam rentenir. Namun demikian,
beberapa rumah tangga usaha mikro, dengan tingkat suku bunga yang sama akan
memiliki persepsi yang berbeda-beda pula.
Dari data tabel 5.7 di atas, persepsi terbanyak atau 44,28 persen dari rumah
tangga usaha mikro menganggap bahwa persyaratan untuk pengajuan KUR tidak
sulit, namun juga tidak gampang. Namun untuk rumah tangga usaha mikro yang
tidak meminjam KUR, menganggap bahwa persyaratan kredit di bank adalah
berat sekitar 54,8 persen. Persepsi subyektif mereka karena faktor ketidaktahuan
tentang program dan cara mengajukan, dengan kata lain kurang informasi sebesar
40,36 persen alasan rumah tangga tidak meminjam KUR (tabel 5.4). Untuk rumah
tangga usaha mikro yang meminjam KUR pun menganggap bahwa persyaratan
untuk mendapatkan pinjaman sekitar 49,63 persen menjawab sedang, dengan
alasan harus memiliki agunan. Namun untuk persepsi tingkat suku bunga, 71,61
persen nasabah KUR menjawab bahwa tingkat suku bunga KUR rendah. Untuk
tingkat suku bunga tinggi, tidak ada satu pun nasabah yang memiliki persepsi
tingkat suku bunga KUR tinggi. Sebaliknya, untuk rumah tangga usaha mikro non
KUR yang memiliki persepsi tingkat suku bunga tinggi sebesar 54,8 persen dan
persepsi tingkat suku bunga sedang 40,68 persen. Rumah tangga tersebut pun
karena tidak mengetahui dengan pasti program KUR yang sebenarnya. Sedangkan
yang menganggap tingkat suku bunga rendah adalah sebagian yang memang
mengetahui program KUR.
Dengan karakteristik-karakteristik yang sudah diuraikan di atas, belum
nampak alasan apa yang menjadikan rumah tangga usaha mikro meminjam KUR
atau tidak. Berdasarkan data yang dikumpulkan, ini menjelaskan bahwa dari total
332 unit rumah tangga usaha mikro tersebut, ada 166 unit rumah tangga atau 50
persen yang pernah mengajukan kredit. Dari jumlah ini, terdapat 134 units rumah
tangga (80,72 persen) yang permohonan dan jumlah kreditnya disetujui semua.
Kelompok ini berarti kredit tidak dibatasi secara kuantitas (non quantity rationed).
Sedangkan 21 unit rumah tangga usaha mikro (12,65 persen) disetujui, namun
tidak menerima semua kredit yang diajukan. Kelompok ini masuk sebagai
kategorikan kredit dengan sebagian kuantitasnya dibatasi (partially quantity
rationed). Pembatasan kredit oleh pihak bank tersebut, tanpa memberikan alasan
kepada nasabah. Sedangkan sisanya 11 unit rumah tangga usaha mikro atau 6,63
persen permohonannya ditolak oleh bank tanpa memberikan alasan. Kelompok
yang ditolak ini masuk sebagai kategori yang dibatasi kreditnya secara penuh
(fully quantity rationed). Dari 332 rumah tangga usaha mikro yang tidak pernah
mengajukan KUR ada 166 unit (50 persen). Dari total ini, terdapat 40 rumah
tangga (24,1 persen) memberikan alasan tidak membutuhkan modal tambahan
atau kredit. Kelompok ini tidak termasuk juga yang dibatasi kreditnya (non
quantity rationed). Tidak butuh kredit di sini (no need) bukan berarti rumah
tangga usaha mikro tersebut memiliki cukup modal untuk mengembangkan usaha,
namun karena alasan tidak mampu mengembangkan skala ekonomi atau
produksinya karena keterbatasan pelanggan yang dimiliki.
Alasan terbanyak tidak mengajukan KUR adalah alasan tidak tahu program
KUR karena kurangnya informasi yaitu sebanyak 67 unit (40,36 persen) rumah
tangga usaha mikro. Kelompok ini masuk yang fully quantity rationed. Sebagian
pernah mendengar tentang KUR, namun tidak tahu bagaimana proses untuk
mengajukan kredit tersebut. Alasan lain rumah tangga tidak mengajukan KUR
adalah rasa takut akan resiko kredit (risk averse) yaitu sekitar 56 units (33,73
persen) rumah tangga usaha mikro. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan,
memberikan persepsi bahwa persyaratan, tingkat suku bunga dan jaminan yang
60
besar untuk mendapatkan kredit bank. Termasuk juga kategori takut yaitu kuatir
jika tidak bisa membayar, maka rumah atau sawah akan langsung disita. Beberapa
rumah tangga juga memberikan alasan takut bank adalah berkaitan dengan
ketidaknyamanan diri memiliki hutang. Terakhir, terdapat 3 rumah tangga usaha
mikro yang tidak mengajukan kredit karena merasa diri tidak memiliki jaminan
apapun, sehingga dirinya yakin kalau mengajukan pun juga ditolak (subjective
self-selected out). Dua terakhir alasan tidak mengajukan kredit termasuk dalam
kelompok fully quantity credit-rationed.
Dari uraian diatas maka jumlah kelompok yang kredit tidak dibatasi (non
quantity credit-rationed) adalah 174 (=134 dan 40 unit) rumah tangga mikro atau
52,41 persen dan partially quantity credit-rationed 21 unit (6,33 persen) begitu
juga fully quantity rationed 137 (=11,67,56 dan 3 unit) atau 41,26 persen.
Penelitian lain tentang credit rationed juga dilakukan oleh (Dufhues and
Buchenrieder, 2005; Fletschner, 2008; Mohamed and Temu 2009; Shoji et al.
2012; Helsen and Chmelar 2014). Shoji mengklasifikasikan sebagai credit
constrained (15,9 persen) dan credit unconstrained (84,1 persen) untuk akses
kredit. Berdasarkan data Household Finance and Consumption Survey (HFCS),
Helsen dan Chmelar menulis bahwa 8,1 persen rumah tangga orang Eropa dibatasi
kredit dan 5-7 persen tidak mengajukan kredit karena beranggapan akan ditolak.
yang signifikan adalah jenis kelamin, hambatan usaha yang dihadapi (business
barrier) dan kepemilikan rekening bank. Sedangkan yang memberikan arah
negatif signifikan pada tingkat kepercayaan 1 persen adalah sumber pinjaman lain.
Lama usaha memberikan arah negatif signifikan pada tingkat kepercayaan 5
persen.
Jenis Kelamin. Jenis kelamin yaitu mewakili pria dan wanita menunjukkan
sangat signifikan mempengaruhi rumah tangga usaha mikro untuk meminjam
KUR. Pria memiliki peluang 2,4 kali lebih untuk mengakses KUR dibandingkan
dengan wanita. Hasil ini sejalan dengan penelitian (Mpuga 2008; Messah and
Wangai 2011; Ololade et al. 2013). Ololade menyebutkan bahwa wanita
mengurangi peluang untuk akses kredit sebesar 71,3 persen. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tujuan dari keuangan inklusi dan pemberdayaan perempuan
tampaknya belum menjadi prioritas di Indonesia. Kredit formal tampaknya belum
menjadikan perempuan sebagai target program untuk meningkatkan pendapatan
usaha mikro mendampingi program-program pemberdayaan perempuan lainnya.
Perempuan kurang memiliki aset yang bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan
kredit formal. Hal ini berkaitan dengan property right yang biasanya banyak
dikuasai oleh pria pada rumah tangga usaha mikro. Faktor pendidikan dan literasi
keuangan juga mempengaruhi wanita untuk akses ke kredit formal. Mayoritas
pendidikan wanita dalam penelitian ini hanya lulusan sekolah dasar mencapai
47,33 persen. Roomi & parrott (2008) mengidentifikasikan bahwa wanita kurang
memiliki akses modal, tehnologi dan kuatnya dominasi laki-laki di lingkungan
masyarakat yang patriliniel (patriarchal society) yang cenderung mempengaruhi
keputusan investasi (Akpalu et al. 2012). Menurut Okoji et al. (2010) wanita
62
tidak bisa akses ke formal bank karena tidak memiliki rekening tabungan, jaminan
dan tidak mengetahui prosedur pengajuan kredit. Berbeda dengan akses kredit ke
lembaga kredit informal yang biasanya didominasi oleh nasabah wanita (Syukur
2002). Dari total 332 rumah tangga dalam penelitian ini, lebih dari 45 persen
usaha mikro dikelola oleh wanita. Namun, hanya sekitar 10,2 persen yang
mengakses KUR.
Hambatan usaha (business barrier). Dalam penelitian ini secara garis
besarnya dibagi dua yaitu hambatan yang berkaitan dengan modal dan hambatan
yang berkaitan dengan pemasaran. Faktor ini sangat signifikan dan menjelaskan
bahwa usaha mikro yang menghadapi hambatan modal memiliki peluang 2,06 kali
lebih besar untuk mengakses KUR dibandingkan dengan usaha mikro yang
mengalami kesulitan pemasaran. Usaha mikro yang mengalami hambatan modal,
biasanya ketika masalah modal teratasi, maka peluang usaha untuk berkembang
lebih besar. Namun jika masalah pemasaran, karena keterbatasan pelanggan yang
dimiliki maka tanpa ada kemampuan untuk menarik pelanggan lebih banyak maka
akan lebih sulit berkembang.
Rekening bank. Kepemilikan rekening di bank merupakan faktor yang
sangat signifikan untuk mengakses KUR. Usaha mikro yang memiliki rekening di
bank akan memiliki peluang 3,05 kali lebih besar untuk mengakses KUR daripada
yang tidak memiliki rekening. Dengan memiliki rekening di bank, akses informasi
produk tabungan maupun kredit akan lebih cepat diperoleh karena interaksi
langsung dengan pegawai bank. Data menunjukkan bahwa alasan terbanyak 40,36
persen usaha mikro tidak mengakses KUR karena tidak tahu program KUR, yang
berarti informasi yang tidak sampai kepada mereka. Sejalan dengan penelitian
Okojie et al. (2010) salah satu faktor yang menyebabkan wanita tidak mengakses
kredit mikro karena kebanyakan wanita tidak punya rekening bank. Namun, hasil
ini berlawanan dengan (Li et al. 2011; Khoi et al. 2013) yang memberikan alasan
bahwa rumah tangga yang memiliki tabungan di bank akan mampu memenuhi
kebutuhan modalnya dengan memanfaatkan tabungan yang ada, sehingga tidak
memerlukan pinjaman dari bank. Masyarakat juga terkadang kurang bisa
mengakses informasi tentang bagaimana dan kredit apa yang ada yang bisa
mereka gunakan (Mel et al. 2011). Ketika rumah tangga miskin atau pun pelaku
usaha mikro memiliki akses kredit, hasil penelitian dari nasabah Grameen bank
menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang tinggi untuk
menggunakan dana tersebut sehingga mampu memberikan dampak yang nyata
seperti peningkatan ekonomi yang signifikan.
Lama usaha. Lamanya usaha mikro merupakan faktor yang signifikan
dalam mengakses KUR. Dengan tingkat signifikansi 5% dapat disimpulkan bahwa
semakin lama usaha berjalan, maka maka kecenderungan usaha mikro tersebut
untuk mengakses KUR sebesar 0.93 kali. Dengan kata lain, semakin lama usaha
berdiri maka peluang untuk tidak mengakses kredit sebesar 1,07 kali dibanding
dengan usaha yang baru berdiri. Semakin lama usaha berjalan, maka semakin
besar kemampuan usaha mikro untuk mengumpulkan modal, aset, maupun
keuntungan. Sehingga kemandirian usaha semakin tinggi dibandingkan dengan
usaha mikro yang baru berdiri masih sering mengalami kesulitan modal.
Sumber pinjaman lain. Terdapat beberapa sumber pembiayaan yang ada
desa seperti program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), koperasi,
Baitul Mal Wattamwil (BMT), tetangga, saudara maupun rentenir. Dari estimasi
63
Secara keseluruhan, jenis usaha yang ditekuni oleh peminjam KUR adalah
ritel/dagang yang biasanya berjualan kebutuhan sehari-hari, mie dan bakso,
warung dan kios-kios baik yang ada di pasar maupun bertempat usaha di rumah.
Jenis usaha jasa meliputi bengkel, salon, catering dan jasa lainnya. Untuk jenis
66
usaha yang masuk kategori lainnya adalah pertanian, peternakan, dan perikanan.
Jenis usaha tersebut terbanyak yang mengalami kesulitan pembayaran pinjaman
kembali.
Lebih dari 65 persen hambatan usaha yang dihadapi oleh usaha mikro
adalah karena masalah modal. Termasuk didalamnya adalah mesin sering rusak,
sulitnya bahan baku, maupun gagal panen. Sedangkan masalah pemasaran yang
dihadapi meliputi terbatasnya skala ekonomi, atau kemampuan usaha mikro untuk
memperluas atau meningkatkan produksi, begitu juga kurangnya pelanggan.
Rata-rata perputaran penjualan usaha mikro setiap minggunya berkisar
antara Rp 4,54 juta dan rata-rata modal kerja sebesar Rp 3,74. Dari total penerima
KUR usaha mikro, 62,58 persen menerima KUR untuk pertama kalinya. Sisanya
sebesar 37,42 persen menerima KUR lebih sekali atau melakukan suplesi. Suplesi
tersebut bisa dilakukan, sepanjang sisa pinjaman dan pinjaman baru tidak
melebihi Rp 20 juta. Tujuan dari KUR adalah untuk modal kerja atau modal
investasi, namun tidak semua peminjam KUR benar-benar digunakan untuk
tujuan tersebut. Sekitar 17,42 persen, peminjam KUR mengalihkan kreditnya
untuk kepentingan yang tidak menghasilkan keuntungan, seperti membayar uang
sekolah, kebutuhan sehari-hari, maupun membayar cicilan motor. Rumah tangga
usaha mikro sebagian tidak mengandalkan hanya KUR saja, tapi sumber pinjaman
lain seperti koperasi, program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM),
tetangga, keluarga, rentenir dan sebagainya. Tercatat 25,16 persen usaha mikro
nasabah KUR memiliki sumber pinjaman lain. Dari pengguna KUR, ditanyakan
apakah memiliki keinginan untuk mendapatkan pinjaman lagi dari bank untuk
mendukung usahanya, sekitar 59,35 persen atau lebih separuhnya menjawab ingin
mendapat pinjaman bank lagi.
Karakteristik pinjaman dalam penelitian ini bisa juga dimaksudkan sebagai
karakteristik kelembagaannya, karena karakteristik yang melekat pada faktor-
faktor berikut mewakili karakteristik pinjaman sekaligus karakteristik
kelembagaannya. Faktor-faktor tersebut dilihat dari jenis jaminan yang diserahkan
ke bank, lama proses pengajuan sampai dinyatakan diterima atau ditolak, apakah
pinjaman disetujui semua apa sebagian begitu pula periode atau lama angsuran
pinjaman sampai lunas. Karakteristik-karakteristik ini bisa dilihat di tabel 6.4.
Dengan melihat nilai-p ( = 1 persen) dari hasil estimasi logit di atas kita
dapat mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi secara positif terhadap
pembayaran kembali pinjaman KUR usaha mikro dengan tingkat kepercayaan 99
persen adalah usaha mikro memiliki pekerjaan sampingan. Sedangkan modal
kerja mempengaruhi secara negatif. Pengeluaran makanan mempengaruhi secara
negatif pembayaran kembali KUR dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Jenis
usaha produksi atau pengolahan, sumber pinjaman lain, tidak memiliki agunan
mempengaruhi secara negatif pembayaran kembali KUR dengan nilai-p ( = 10
persen). Jaminan BPKB motor dan pengajuan kredit disetujui semua (tidak
dibatasil) berpengaruh secara positif terhadap pembayaran kembali KUR dengan
nilai-p ( = 10 persen dan 5 persen).
Jenis usaha pengolahan/produksi dan modal kerja. Jenis lapangan usaha
dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 4, yaitu ritel, jasa, pengolahan, dan
pertanian yang didalamnya termasuk peternakan dan perikanan. Jenis usaha
pengolahan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap pembayaran kembali
pinjaman dengan lancar. Peluang usaha pengolahan untuk membayar kembali
pinjaman dengan lancar sebesar 0,087 kali dibandingkan dengan jenis usaha
lainnya. Dengan kata lain, jenis usaha pengolahan memiliki peluang untuk
membayar terlambat sebesar 11,56 kali dibandingkan dengan jenis usaha lain.
Jenis usaha pengolahan termasuk yang rentan dengan perubahan harga bahan
bakunya. Meningkatnya bahan bakar misalnya, akan langsung meningkatkan
biaya produksi tetapi usaha mikro tidak bisa serta merta langsung menaikkan
harga jual produknya. Sehingga yang bisa dilakukan hanya mengurangi marjin
labanya. Akibatnya usaha mikro pengolahan mengalami kesulitan dalam
pembayaran kembali pinjaman. Faktor jenis usaha pengolahan erat kaitannya juga
dengan modal kerja. Semakin tinggi biaya produksi maka semakin tinggi modal
kerja yang diperlukan untuk usaha mikro. Akibatnya keuntungan perusahaan akan
turun jika usaha mikro tersebut tidak mampu menaikkan nilai dan volume
penjualan. Dengan demikian semakin tinggi modal kerja maka usaha mikro
semakin mengalami kesulitan dalam membayar kembali pinjamannya jika tidak
diimbangi dengan kemampuan menjual lebih dengan harga yang lebih tinggi.
Faktor kinerja usaha digunakan juga oleh Setargie (2013) yang menemukan hasil
penelitiannya bahwa kinerja usaha yang buruk sebagai faktor utama yang
menyebabkan kegagalan kredit. Setiap kenaikan modal kerja maka peluang usaha
mikro untuk membayar KUR sebsar 0,999 atau dengan kata lain setiap terjadi
kenaikan modal kerja maka peluang usaha mikro untuk terlambat membayar KUR
sebesar 1,001 kalinya. Kecuali kenaikan modal kerja juga diikuti oleh kemampuan
untuk meningkatkan penjualan sehingga marjin keuntungan tidak turun.
69
terhadap calon nasabah tersebut tinggi atas dasar ekpektasi pinjaman akan
kembali juga besar. Peluang nasabah KUR yang kreditnya disetujui semua atau
tidak mendapatkan pembatasan kredit (credit constrained) sebesar 6,9 kali akan
membayar pinjaman dengan lancar dibandingkan dengan nasabah KUR yang
mendapat credit constrained. Ini berarti informasi tentang nasabah bisa diperoleh
oleh bank, kalau tidak biasanya bank menggunakan jaminan yang dianggap layak
untuk mencegah timbulnya wan-prestasi dari nasabah. Adanya asimetrik
informasi bisa juga diatasi dengan mengenakan tingkat suku bunga yang tinggi,
namun untuk program KUR tidak bisa dilakukan karena tingkat bunga sudah
ditentukan oleh pemerintah. Menaikkan tingkat suku bunga pun bukan jalan
terbaik karena akan meningkatkan beban usaha mikro yang akibatnya akan
menyulitkan pembayaran kembali pinjaman. Untuk pasar kredit informal,
menaikkan suku bunga sering dilakukan untuk mengatasi asimetrik informasi
tersebut. Ketepatan penyaringan nasabah sangat penting agar kejadian yang
diperkirakan sama dengan resiko ex-post default. Efisiensi pendekatan
penyaringan bisa dilihat dari sejauh mana mampu memperkirakan dan
mengamankan peminjam beresiko untuk meminimalkan gagal bayar (Ofonyelu
dan Alimi, 2013).
Faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik peminjam yang tidak
mempengaruhi signifikan terhadap pembayaran kembali pinjaman adalah jenis
kelamin, usia, pendidikan. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil Wongnaa dan
Vitor (2013) dan Setargie (2013) yang melihat bahwa faktor pendidikan sangat
penting mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman. Semakin tinggi
pendidikan semakin tinggi bisa berefisiensi dan lebih produktif. Sedangkan faktor
gender, Roslan dan Karim (2009) mengatakan bahwa gender berpengaruh positif
terhadap pembayaran kembali pinjaman atau dengan kata lain kegagalan pria
untuk membayar pinjaman lebih besar dibandingkan dengan wanita (wongnaa dan
Vitor, 2013).
Jumlah tanggungan keluarga. Semakin besar tanggungan keluarga maka
semakin besar pengeluaran untuk makanan. Namun jumlah tanggungan
tampaknya tidak signifikan mempengaruhi usaha mikro untuk tidak membayar
pinjaman. Dalam penelitian ini, memang sebagian besar atau lebih dari 75 persen
nasabah memiliki anak kurang dari tiga. Jumlah tanggungan yang diukur dalam
penelitian ini hanya jumlah anak yang masih menjadi tanggungan orang tua.
Barangkali berbeda jika jumlah tanggungan dimasukkan siapa saja yang memang
menjadi tanggungan suatu keluarga seperti orang tuanya atau pasangan yang tidak
bekerja dan lainnya. Meskipun tidak signifikan jumlah tanggungan dalam estimasi
logit menunjukkan tanda positif yang barangkali jumlah tanggungan identik
dengan besarnya ukuran keluarga. Semakin besar ukuran keluarga akan semakin
meningkatkan kemampuan untuk membayar kembali pinjaman karena besarnya
keluarga bisa sebagai tenaga tambahan tanpa dibayar untuk menghasilkan
keuntungan yang lebih. Hal ini seperti penelitian (Ojiako dan Ogbukwa 2012,
Wongnaa dan Vitor 2013)
Untuk karakteristik usaha, faktor-faktor yang tidak signifikan
mempengaruhi pembayaran kembali pinjaman adalah faktor lama usaha dan jarak.
Lama usaha bisa diasumsikan dengan pengalaman. Ini berarti tidak sejalan dengan
penelitian Wongnaa dan Vitor (2013) dan Tundui (2013) dimana pengalaman,
memiliki hubungan yang signifikan positif dalam pembayaran kembali pinjaman.
71
Dampak kredit usaha rakyat pada rumah tangga usaha mikro dalam
penelitian berikut mencoba melihat kinerja usaha mikro dan ekonomi rumah
tangga yaitu terhadap modal kerja, penjualan, keuntungan, tabungan, pendapatan
sampingan, pendapatan pasangan, total pendapatan, pengeluaran makanan,
penyerapan tenaga kerja, kondisi tempat tinggal, dan kepemilikan aset. Sedangkan
variabel-variabel yang digunakan selama prosedur pencocokan adalah jenis
kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan, jumlah tanggungan, jenis usaha,
lama usaha, jarak rumah ke bank, jumlah jam kerja per minggu, hambatan usaha,
kepemilikan rekening bank, memiliki pekerjaan sampingan, pasangan bekerja,
dan sumber alternatif pinjaman yang dimiliki. Deskripsi karakteristik-karakteristik
tersebut sudah terangkum di tabel 5.4. Sedangkan deskripsi dari variabel-variabel
hasil atau kinerja ekonomi rumah tangga usaha mikro terangkum dalam tabel
berikut.
Modal kerja per minggu adalah modal yang digunakan untuk membiayai
kegiatan atau operasional usaha selama seminggu. Rata-rata modal kerja usaha
mikro per minggu mencapai Rp 2,9 juta. Sebenarnya setiap usaha memiliki biaya
awal atau modal kerja yang digunakan untuk beroperasi atau beraktifitas. Namun
dalam penelitian ini ternyata terdapat 2 responden yang memiliki modal kerja
minimal yaitu Rp 0. Setelah dilakukan penelusuran data, ternyata jenis usaha yang
dilakukan orang tersebut adalah sebagai makelar. Dalam kenyataan, sebenarnya
makelar pun membutuhkan modal kerja meskipun sedikit seperti biaya pulsa
maupun bahan bakar yang digunakan. Namun, karena keterbatasan responden
dalam memberikan jawaban maka bias ini diabaikan. Modal kerja rumah tangga
usaha mikro tanpa KUR kurang dari Rp 5 juta per minggu sebanyak 159 unit,
antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta sebanyak 14 unit, sisanya diatas Rp 10 juta
sebanyak 3 orang. Sedangkan rumah tangga usaha mikro yang membutuhkan
modal kerja sampai Rp 5 juta per minggu sebanyak 123 unit, antara Rp 5 juta
sampai Rp 10 juta sebanyak 21 unit, sisanya 11 unit membutuhkan modal kerja
diatas Rp 10 juta per minggunya.
Omset adalah perputaran penjualan oleh rumah tangga usaha mikro dengan
rata-ratanya sebesar Rp 3,5 juta per minggu. Rumah tangga usaha mikro baik
yang menggunakan KUR maupun tidak memiliki omset sampai Rp 5 juta per
minggu sebanyak 267 unit, omset antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta mencapai 50
73
unit dan sisanya sebanyak 15 unit. Keuntungan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah laba kotor tanpa memasukkan biaya-biaya operasional yang mungkin
ada. Tidak semua rumah tangga usaha mikro mendapatkan keuntungan, ada satu
rumah tangga usaha mikro yang mengalami kerugian. Sedangkan usaha mikro
yang mendapatkan keuntungan dalam penelitian ini tidak ada yang mencapai Rp 5
juta per minggunya.
Total pendapatan merupakan penjumlahan dari keuntungan usaha yang
diperoleh ditambah pendapatan sampingan dan pendapatan pasangan. Total
pengeluaran adalah penjumlahan dari pengeluaran untuk makanan dan
pengeluaran non makanan. Terdapat 1 responden yang menjawab tidak
mengeluarkan biaya baik untuk makanan dan non makanan dengan alasan segala
kebutuhan masih ditanggung oleh kedua orang tuanya. Rata-rata rumah tangga
usaha mikro mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 0,69 orang, dengan
maksimal tenaga kerja ada 5 orang per usaha mikro. Sedangkan kondisi tempat
tinggal merupakan proksi dari status kepemilikan rumah (milik sendiri =1, lainnya
0), jenis atap rumah terluas (genting=1, 0 lainnya), jenis dinding terluas
(tembok=1, 0 lainnya), jenis lantai terluas (bukan tanah=1, dan tanah =0), cara
memperoleh air minum (jika membeli = 1, dan lainnya = 0), fungsi buang air
besar (1= memiliki, 0= lainnya). Hasilnya berkisar 0 sampai 6, semakin besar
skornya maka semakin bagus kondisi rumahnya. Rumah tangga usaha mikro yang
memiliki skor tempat tinggal antara 1 sampai 3 sebanyak 15, sedangkan sisanya
atau 317 rumah tangga memiliki skor diatas 3 yang berarti kebanyakan rumah
tangga usaha mikro memiliki tempat tinggal yang layak/baik.
Sedangkan indikator untuk kepemilikan aset merupakan proksi dari
memiliki kendaraan baru atau tidak pada saat dilakukan penelitian (1 = membeli
baru, 0 lainnya), memiliki alat telekomunikasi HP (1 = memiliki HP, 0 lainnya),
kepemilikan ternak baik unggas, maupun ternak besar (1= memiliki,0 lainnya).
Terakhir, apakah responden memiliki sawah/ladang/kebun. Skor kepemilikan aset
ini mendapatkan range dari 0 sampai dengan 4. Semakin tinggi semakin bagus.
Terdapat 15 unit yang memiliki skor 0 yang berarti indikator kepemilikan asetnya
rendah, tidak memiliki kendaraan atau kendaraan baru, tidak memiliki HP, ternak
maupun sawah/ladang/kebun. Yang memiliki skor 1 sampai 2 sebanyak 216 unit
dan yang memiliki skor 3 sampai 4 sebanyak 101 unit.
Pada tabel di atas, dampak KUR yang diukur adalah pada kinerja ekonomi
rumah tangga usaha mikro seperti modal kerja, sebelum dilakukan pencocokan
memiliki perbedaan sebesar Rp 1,58 juta, namun setelah dilakukan pencocokan,
perbedaan yang ditunjukkan pada ATTnya sekitar Rp 195,901. Dari hasil olahan
tersebut KUR memberikan dampak kenaikan pada modal kerja, penjualan,
keuntungan, dan tabungan namun tidak signifikan. Untuk dampak pada
pendapatan dari pekerjaan sampingan, sebelum dilakukan pencocokan terjadi
perbedaan sebesar Rp 13,880 namun setelah dilakukan pencocokan maka dampak
KUR terhadap pendapatan sampingan turun sebesar Rp 185. Total pendapatan
mengalami kenaikan dengan adanya KUR, namun untuk share pengeluaran
makanan mengalami penurunan. Jumlah pekerja atau penyerapan tenaga kerja
mengalami kenaikan juga diikuti oleh kondisi tempat tinggal, namun mengalami
penurunan untuk indikator kepemilikan aset. Dalam proses pencocokan PSM ini,
banyaknya kovariat yang mendapatkan pasangan pencocokan atau common
support (tabel 7.4) totalnya sebesar 258 unit terdiri dari 177 unit kelompok
kontrol dan 81 unit kelompok treatment. Ada sekitar 74 unit kelompok treatment
yang dibuang selama pencocokan.
Hasil perbedaan rata-rata dalam tahap awal tabel 7.3 perlu dilakukan tes
untuk menguji bias dari masing-masing variabel yang digunakan dalam proses
pencocokan atau balancing test antara kelompok yang mendapatkan KUR dengan
kelompok tanpa KUR untuk melihat kemungkinan bias yang ada. Berdasarkan
balancing test di lampiran 4, ternyata masih ada perbedaan yang masih signifikan
antara dua kelompok meskipun sudah dilakukan pencocokan. Bias yang terjadi
masih sangat tinggi diantara semua variabel-variabel. Sehingga bias yang tinggi
tersebut apalagi negatif, dibuang dari proses pencocokan. Oleh karena itu, variabel
76
yang akan digunakan untuk analisis pencocokan skor propensity adalah jenis
kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan, jenis usaha, jam kerja dan pekerjaan
sampingan. Dengan hanya menggunakan tujuh variabel-variabel tersebut maka
hasil perbedaan (ATT) yang baru tersaji pada tabel 7.5 berikut.
Dari hasil tabel 7.5 di atas maka dampak KUR dengan tingkat signifikansi
1 persen adalah share pengeluaran untuk makanan. KUR juga memberikan
77
dampak pada keuntungan, total pendapatan, dan jumlah pekerja dengan nilai
signifikan sebesar 5 persen. Sedangkan dampak KUR dengan tingkat signifikan
10 persen adalah kepemilikan aset.
Keuntungan. Dengan metode pencocokan menggunakan the nearest
neighbor, beda keuntungan sebelum dilakukan pencocokan sebesar Rp 310.900
dan setelah proses pencocokan bedanya Rp 179.560, dimana keuntungan
kelompok treatment Rp 740.439 dan kelompok kontrol Rp 560.879 yang berarti
bahwa KUR memberikan dampak meningkatkan keuntungan usaha mikro sebesar
32 persen dibandingkan dengan usaha mikro tanpa menggunakan KUR.
Total pendapatan. KUR memberikan dampak pada peningkatan
pendapatan rumah tangga usaha mikro yang meminjam KUR sebesar Rp 208.310
dimana total pendapatan usaha mikro dengan KUR Rp 931.504 dan pendapatan
usaha mikro tanpa KUR sebesar Rp 723.194 atau dengan kata lain pendapatan
usaha mikro yang menggunakan KUR naik 28,8 persen dibanding dengan usaha
mikro yang tidak pinjam KUR. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Diro dan
Regasa (2014) dan Hossain (2012). Diro dan Regasa dalam penelitiannya
mengatakan bahwa partisipan mikro kredit di Ethiopia meningkatkan pendapatan
dengan tingkat signifikan sebesar 1 persen. Hossain juga menemukan bahwa
pendapatan peminjam setelah bergabung dengan BRAC di Bangladesh meningkat.
Share pengeluaran untuk makanan. Dampak KUR terhadap share
pengeluaran makanan dalam penelitian ini menunjukkan dampak negatif atau
pengurangan dengan tingkat signifikasi 1 persen. Share pengeluaran makanan
untuk kelompok kontrol adalah 36,92 persen dari total pendapatan. Seiring dengan
meningkatnya pendapatan, share pengeluaran makanan untuk kelompok treatment
berkurang menjadi 28,26 persen atau berkurang sebesar 8,67 persen dibanding
kelompok kontrol. Hal ini berkebalikan dengan penelitian (Getaneh & Garber
2007, Nooren et al. 2011; Hossain 2012; Guush & Gardebroek 2012; Diro dan
Regasa 2014) yang menyimpulkan bahwa kredit mikro memberikan dampak
positif ada peningkatan pengeluaran makanan. Namun, bisa jadi peningkatan
pengeluaran makanan tetapi share pengeluaran makanan turun. Begitu juga, dalam
penelitian ini share pengeluaran makanan berkurang tetapi pengeluaran
nominalnya bertambah. Perbedaan ukuran saja yang membedakan hasil antara
penelitian ini dengan penelitian lainnya. Akan tetapi hasil penelitian ini sesuai
dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa semakin meningkat pendapatan
seseorang maka share pengeluaran untuk makanan akan semakin berkurang.
Rumah tangga usaha mikro bukanlah kelompok masyarakat yang berada di bawah
garis kemiskinan, sehingga rata-rata pengeluaran makanan mereka pun jauh diatas
standar garis kemiskinan yaitu rata-rata sudah terpenuhi makan 2-3 kali sehari
dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 136 ribu sampai 218 ribu per minggu.
Dengan demikian, semakin meningkat pendapatan mereka maka meningkatnya
pengeluaran makanan tidak signifikan lagi sehingga share pengeluaran makanan
akan berkurang seiring dengan meningkatnya pendapatan seseorang.
Perbedaan kedua, antara penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah
obyek penelitian mereka adalah memang kelompok masyarakat miskin dimana
masyarakat miskin biasanya kebutuhan makanan belum terpenuhi, sehingga ketika
pendapatan naik maka pengeluaran makanan mereka akan naik lebih besar terkait
dengan pemenuhan kebutuhan pokok. Ketiga, penurunan share pengeluaran untuk
makanan turun barangkali adanya perbedaan pola pikir antara rumah tangga usaha
78
dengan rumah tangga bukan usaha adalah rumah tangga yang memiliki usaha
akan mengurangi pengeluaran untuk berhemat agar mampu membayar cicilan atau
meningkatkan perputaran modal agar meningkatkan pendapatannya. Sedangkan
pola rumah tangga tanpa usaha biasanya akan lebih konsumtif.
Indikator dampak KUR lainnya yang signifikan pada level 5 persen adalah
jumlah penyerapan tenaga kerja rumah tangga usaha mikro yang menggunakan
KUR akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,37 pekerja. Ini
konsisten dengan penelitian Diro dan Regasa (2014), bahwa kredit mikro mampu
menyerap tenaga kerja. Kemampuan rumah tangga usaha mikro menyerap tenaga
kerja lebih mengindikasikan bahwa peranan KUR mampu mengurangi tingkat
kemiskinan melalui penciptaan lapangan pekerja dan mengurangi pengangguran.
Kepemilikan aset juga signifikan pada level 10 persen sehingga hipotesis
diterima bahwa KUR memberikan dampak peningkatan pada aset. Rumah tangga
usaha mikro dengan KUR meningkatkan aset sebesar 0,25 unit dibandingkan
dengan rumah tangga usaha mikro tanpa menggunakan KUR. Kepemilikan aset
disini merupakan proxi dari kepemilikan kendaraan baru, kepemilikan HP
maupun kepemilikan ternak.
Dalam penelitian ini KUR belum memberikan dampak KUR yang
signifikan, namun memiliki arah positif pada peningkatkan modal kerja, penjualan,
tabungan dan kondisi tempat tinggal rumah tangga usaha mikro.
Jumlah KUR yang disalurkan di wilayah Pati selama periode 2012 dan 2013
di gambar 8.1 berikut.
30.000
25.000
20.000
5.000
-
J1
J2
TK
JK
TR
GS
PW
PL
PH
MH
PK1
WN
KW
NGP
MR
PK2
BM
CS
Jumlah KUR yang disalurkan pada tahun 2013 masing masing mengalami
kenaikan dibanding tahun sebelumnya, kecuali 4 unit bank yang mengalami
penurunan, yaitu unit Pati Kota 1, Juwana 1, Mulyoharjo dan Gabus. Penurunan di
Pati kota I terjadi karena penurunan jumlah nasabah meskipun rata-rata KUR per
nasabah naik dari Rp 12,3 juta di tahun 2012 menjadi 12,8 juta di tahun 2013.
Sebaliknya Juwana I, jumlah nasabah meningkat namun rata-rata KUR yang
diterima nasabah mengalami penurunan dari Rp 13,4 juta menjadi Rp 12,3 juta.
Sedangkan Mulyoharjo dan Gabus selain mengalami penurunan nasabah sekaligus
mengalami penurunan rata-rata KUR per nasabah.
Dari 35 unit bank, yang memiliki kinerja terbaik dilihat dari jumlah nasabah
dan jumlah KUR yang disalurkan pada tahun 2013 bisa dilihat dari gambar
kuadran yang tersaji di gambar 8.2. Dari 35 unit bank, terlihat 3 bank yang
memiliki nasabah dan jumlah KUR yang disalurkan terbesar di kuadran pertama
yaitu bank unit Dukuhseti, Sukolilo dan Kayen. Terbesar kedua dari jumlah KUR
yang disalurkan adalah Karaban dan Juwono II di kuadran ke-2. Sisanya bank-
bank unit tersebut berada di kuadran IV dengan jumlah KUR yang disalurkan
dibawah Rp 15 milyar per tahun dengan jumlah nasabah dibawah 1.500 debitur.
Tambaharjo merupakan bank unit yang memiliki jumlah nasabah terendah dan
Ngablak merupakan bank unit yang memiliki jumlah KUR yang terendah. Dari
gambar 3 diatas, tampaknya bahwa tidak ada satu pun bank unit yang berada di
kuadran III. Kuadran III berarti jumlah nasabah tinggi namun jumlah KUR yang
disalurkan rendah. Dengan tidak adanya bank-bank yang berada dikuadran ini
berarti rata-rata KUR per nasabahnya tidak rendah.
Gambar 8.2 Kuadran jumlah nasabah dan KUR yang disalurkan, 2013
80
Jumlah KUR yang disalurkan pada tahun 2013 sebesar Rp 319,9 milyar atau
meningkat 35,92 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini seiring
dengan kenaikan nasabah sebesar 20,59 persen dari 25.918 nasabah di tahun 2012
menjadi 31.254 di tahun 2013. Secara keseluruhan, rata-rata KUR per nasabah
adalah Rp 10,2 juta atau naik 12 persen dari tahun 2012 sebesar Rp 9,1 juta per
nasabah. Dengan kata lain, jangkauan KUR dilihat dari besarnya pinjaman
mencapai rata-rata Rp 10,2 juta pada tahun 2013. Tingkat non performance
loannya pun menurun dari 1,5 persen tahun 2012 menjadi 0,5 persen pada tahun
2013. Tingkat NPL ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat NPL ritel
atau nasabah bukan mikro yaitu secara nasional sekitar 4 persen. Pada tahun
2013, KUR terbesar disalurkan oleh bank unit Dukuhseti sebesar Rp 26,4 milyar
dengan jumlah nasabah sebesar 2.631. Sebaliknya jumlah nasabah terbesar 3.161
dicapai oleh bank unit Sukolilo dengan total KUR yang disalurkan sebesar Rp
23,1 milyar. Hal ini berarti rata-rata KUR per nasabah di bank unit Dukuhseti
lebih besar dibandingkan dengan bank unit di Sukolilo yaitu Rp 10 juta per
nasabah dibanding Rp 7,3 juta per nasabah. Jumlah KUR terendah yang
disalurkan sebesar Rp 3,4 milyar oleh bank unit Ngablak dengan total nasabah
sebesar 467 nasabah. Sedangkan nasabah terendah sebesar 431 diperoleh bank
unit Gabus dengan jumlah KUR sebesar Rp 5,0 milyar. Hal ini berarti rata-rata
KUR per nasabah di Gabus Rp 11,8 juta, lebih tinggi dari pada Ngablak Rp 7,4
juta per nasabah di tahun 2013.
Keberhasilan penyaluran kredit bank juga dilihat dari tingkat kredit
macetnya atau dikenal non-performance loan (NPL). Tingkat NPL tahun 2013
turun 49,9 persen dari Rp 3,6 milyar di tahun 2012 menjadi Rp 1,8 milyar. NPL
tertinggi pada tahun 2012 adalah Rp 2,4 milyar atau 213 nasabah yang mengalami
kredit macet oleh bank unit Juwana I. Sebaliknya pada tahun 2013, NPL tertinggi
dicapai oleh bank unit Pati kota I sebesar Rp 399 juta dengan nasabah tertinggi
81
yang NPL yaitu 33 nasabah. Kinerja terbagus dengan tingkat NPL nol persen
adalah bank unit Sukolilo, padahal jumlah nasabah terbesar juga diperoleh oleh
Sukolilo. Selain kinerja bank dilihat dari pencapaian KUR yang disalurkan,
kinerja bank unit penyalur KUR juga dilihat dari operasionalnya bank-bank unit
tersebut seperti di tabel 8.2 berikut.
10.000
9.000
8.000
7.000
6.000 Pendapatan operasional (Rp
5.000 juta), 2012
Gambar 8.5 menunjukkan penurunan dan kenaikan total biaya operasional masing
masing bank unit penyalur KUR. Dari gambar tersebut terlihat sebagian besar
biaya operasional meningkat di tahun 2013, kecuali bank unit Bulumanis, Kayen,
Margorejo, Karangwotan dan Pucakwangi. Bank unit Pucakwangi dan Margorejo
menurun seiring dengan menurunnya pendapatan operasionalnya.
6.000
5.000
4.000
Biaya operasional (Rp
3.000 juta), 2012
Biaya operasional (Rp
2.000 juta), 2013
1.000
-
TM
NG
PH
PK2
PW
BT
MR
NGP
BM
KY
MH
KW
Kinerja bank-bank unit penyalur KUR dilihat dari beban yang dikeluarkan
terdapat di tabel 8.3. Secara keseluruhan, beban atau biaya operasional mengalami
peningkatan kecuali beban operasional lainnya mengalami penurunan sebesar 2,4
85
persen di tahun 2013. Kenaikan terbesar terjadi pada biaya tenaga kerja sebesar
35,6 persen dari Rp 23,2 milyar di tahun 2012 menjadi Rp 31,5 milyar di tahun
2013. Biaya tenaga kerja terbesar dari bank unit Juwono I. Kenaikan ini
mencerminkan kurang efisiennya tenaga kerja yang dimiliki, terlihat dari
menurunnya jumlah KUR yang disalurkan maupun jumlah simpanan
berjangkanya. Beban bunga secara keseluruhan menunjukkan peningkatan seiring
dengan meningkatnya jumlah simpanan pihak ketiga maupun simpanan berjangka.
Jumlah pengamatan dalam analisis Biplot ini ada 35 unit dengan peubah
sebanyak 20 unit. Jumlah pengamatan terdiri dari 35 unit bank-bank penyalur
KUR (lampiran 6) dan untuk 20 peubahnya terdiri dari tingkat efisiensi di masing-
masing bank unit (Y1), BOPO yaitu perbandingan antara biaya operasional
terhadap pendapatan operasional (Y2), pendapatan operasional lainnya (Y3), Nilai
NPL (Y4), jumlah nasabah (Y5), jumlah NPL (Y6), simpanan pihak ketiga (Y7),
simpanan berjangka (Y8), biaya umum (Y9), pendapatan bunga (Y10),
pendapatan provisi (Y11), pendapatan jasa (Y12), beban operasional lainnya
(Y13), biaya non operasional (Y14), beban bunga (Y15), beban hadiah (Y16),
86
beban penyisihan kerugian (Y17), biaya tenaga kerja (Y18), modal usaha AL/AT
(Y19), dan KUR yang disalurkan (Y20).
Berdasarkan hasil analisis kluster dari gambar 8.6 di atas dengan parameter
sebanyak 20 diperoleh 4 kluster wilayah bank-bank unit yang mengindikasi
kedekatan bank unit berdasarkan peubah-peubah yang ada. Empat kluster tersebut
adalah;
Kluster 1 terdiri dari 6 unit bank; Mulyoharjo (MH), Bulumanis (BM),
Jakenan (JKN), Pekalongan (PL), Winong (WN), dan Pucakwangi (PW). Kluster
II terdiri dari 14 unit bank; Batangan (BT), Angkatan Lor (AL), Gunung Wungkal
(GW), Ngablak (NG), Ngemplak (NGP), Pakis (PK), Gembong (GB), Tlogorejo
(TR), Karangwotan (KW), plaosan (PS), Pagerharjo (PH), Tambahmulyo (TM),
Tambaharjo (TH), dan Cengkalsewu (CS). Kluster III terdiri dari 9 bank unit;
Dukuhseti (DS), Karaban (KB), Sukolilo (SL), Tambakromo (TK), Kayen (KY),
Jaken (JK), Juwono II (J2), Pati 2 (PK2) dan Kajar (KJ). Sedangkan kluster IV
terdiri dari 6 unt bank; Tayu (TY), Gabus (GS), Margorejo (MR), Juwono 1 (J1),
Pati 1 (PK1) dan Wedarijaksa (WR).
Keragaman antar keempat kluster diatas tinggi sedangkan keragaman di
dalam kluster kecil atau homogen. Pengelompokan ini menunjukkan bahwa bank-
bank unit di setiap kelompok memiliki persamaan yang cukup dekat
dibandingkan dengan bank bank unit yang berada di kelompok lain. Klusterisasi
dalam 4 kuadran ini untuk melihat kemiripan relatif antar obyek pengamatan
berdasarkan 20 peubah yang digunakan. Obyek-obyek dengan karakteristik yang
sama akan digambarkan dalam titik-titik yang posisinya berdekatan atau sama
dalam kuadran. Analisis Biplot juga bisa digunakan untuk melihat hubungan antar
20 peubah seperti dalam gambar 8.7 berikut.
Jika sudut dua peubah < 90 derajat maka korelasi bersifat positif. Jika sudut
dua peubah >90 derajat maka korelasi bersifat negatif. Semakin kecil sudutnya
maka semakin kuat korelasinya.
Berdasarkan gambar 8.7 di atas maka peubah Y1(efisien) dengan Y2
(BOPO) sangat bertolak belakang atau korelasi negatif sempurna. Jika bank unit
memiliki tingkat efisiensi yang tinggi maka nilai BOPOnya rendah. Peubah Y1
(efisiensi) memiliki hubungan negatif juga (sudut > 90 derajat) adalah dengan Y4
(nilai NPL), Y6 (jumlah NPL), Y17 (beban penyisihan kerugian), Y9 (biaya
umum), Y8 (simpanan berjangka), Y13 (biaya operasional lainnya), Y14 (beban
non operasional), Y 18 (biaya tenaga kerja), Y15 (beban bunga), dan Y7
(simpanan pihak ke-3). Sebaliknya Y2 memiliki hubungan positif dengan peubah-
peubah tersebut. Misalnya, peubah efisien berhubungan negatif dengan peubah
nilai NPL artinya semakin efisien suatu bank unit maka nilai non performance
loannyanya semakin rendah. Semakin tinggi biaya tenaga kerja maka semakin
tidak efisien. Sebaliknya, semakin tinggi biaya-biaya maka semakin tinggi rasio
BOPOnya.
Peubah Y1 (efisiensi) antara lain memiliki hubungan positif dengan KUR
yang disalurkan (Y20), pendapatan provisi (Y11), jumlah nasabah (Y5),
pendapatan bunga (Y10), pendapatan operasional lainnya (Y3) maupun
pendapatan jasa (Y12). Semakin tinggi pendapatan bunga maka semakin efisien.
Sebaliknya peubah Y2 memiliki hubungan negatif dengan peubah-peubah tersebut.
Misalnya, semakin tinggi pendapatan, maka semakin efisien atau semakin banyak
jumlah nasabah maka semakin efisien. Sebaliknya semakin tinggi pendapatan
makan rasio BOPOnya makin kecil.
Gambar 8.8 Biplot Keragaman dan nilai peubah pada suatu objek pengamatan
88
Berdasarkan gambar 8.8 di atas karakteristik suatu obyek (bank unit) bisa
disimpulkan dari posisi relatifnya yang paling dekat dengan suatu peubah. Titik
titik biru diatas menggambarkan posisi bank-bank unit berada seperti pada gambar
8.6 klusterisasi bank-bank unit. Sedangkan keragaman peubah ditunjukkan
dengan panjang pendeknya vektor. Peubah dengan keragaman kecil digambarkan
dengan vektor yang pendek. Sedangkan peubah dengan keragaman yang tinggi
digambarkan dengan vektor yang panjang. Peubah Y1 (efisiensi) satu-satunya
yang memiliki vektor yang pendek, yang berarti keragaman n vektornya kecil.
Tingkat efisiensinya tertinggi 1 dan terendahnya 0,861 atau rentangnya hanya
sebesar 0,129 dan rata-ratanya 0,987.
Gambar 8.8 di atas bisa juga untuk melihat positioning bank-bank unit
terhadap parameter yang diukur. Bank-bank unit yang berada di sebelah kiri, tidak
menunjukkan dominasi. Tidak ada satu pun vektor yang mengarah ke daerah kiri,
yang berarti bank-bank unit yang berada di kudran tersebut tidak mendominasi
akan berbagai peubah yang dimiliki. Beberapa vektor peubah mengarah pada
obyek atau bank-bank unit tertentu yang berarti bank tersebut mendominasi
parameter tersebut. Sebagai contoh bank unit Karaban dan Sukolilo (gambar 8.6)
mendominasi peubah pendapatan bunga (Y10) atau memiliki pendapatan bunga
terbesar yaitu Rp 13,4 Milyar dan Rp 15,3 Milyar. Tingkat keragaman pendapatan
bunga ini cukup tinggi ditunjukkan oleh panjangnya garis vektornya Y10 (gambar
8.7). Pendapatan bunga tertinggi sebesar Rp 15,3 Milyar, pendapatan terendah Rp
1,6 Milyar. Dengan range yang tinggi ini bisa disimpulkan bahwa keragaman
peubah atau variabel tersebut tinggi.
Model DEA CRS (constant return scale) dan DEA VRS (variable return
scale) digunakan untuk menentukan kecenderungan tren pada bak-bank unit
penyalur KUR di lokasi penelitian yang tergolong pada increasing return to scale
(IRS) atau peningkatan output lebih besar dripada peningkatan input ada 11 unit
(31,43 persen), decreasing return to scale (drs) atau peningkatan input lebih besar
daripada peningkatan output ada 6 unit (17,14 persen) dan sisanya 18 unit (51,43
persen) berada pada tingkat efisien.
Berdasarkan tabel 8.4 di atas, nilai rata-rata dari constant return to scale
technical efficiency (CRSTE), variable return scale technical efficiency (VRSTE)
dan scale efficiency (SE) dari bank-bank unit penyalur KUR dapat diringkas
ditabel 8.5 berikut;
Bank-bank unit yang efisien menjadi titik acuan bagi seluruh bank unit yang
tidak efisien sekaligus menjadi amplop (envelope) yang menutupi seluruh set data
yang ada. Bank bank unit yang tidak efisien dapat mempelajari dan mengacu
sistem yang dilaksanakan di bank bank unit yang efisien. Bank bank unit yang
efisien yang memiliki karakteristik yang sama dapat digunakan sebagai acuan atau
rujukan (peer). Dari hasil olahan (tabel 8.6) dapat dilihat kelompok terdekat
(peer unit) untuk masing masing bank unit. Bank-bank unit yang tidak efisien bisa
mengacu lebih dari satu unit bank. Sebagai contoh, bank unit Bulumanis (BM)
yang tidak efisien bisa mengacu pada bank unit Tambaharjo (TH), Pati kota 2
(PK2), Karang Wotan (KW), Kayen (KY), Dukuhseti (DS), Pakis (PK), dan
Plaosan (PS).
Bank-bank unit yang efisien telah melaksanakan sistem kinerja yang baik.
Diantara bank-bank unit yang efisien tersebut menunjukkan ada beberapa bank-
bank unit yang lebih baik dari yang lainnya. Dari daftar bank-bank unit rujukan
tersebut di atas dapat dilihat ada beberapa bank unit yang paling sering muncul
yaitu bank unit Kayen (KY) sebanyak 11 kali, bank units Pati kota 2 sebanyak 7
kali, bank unit Dukuhseti (DS), Pakis (PK), dan Tambaharjo (TH) masing-masing
sebanyak 6 kali. Hal ini menunjukkan bahwa bank unit Kayen mampu
92
menghasilkan output yang paling optimal dari input yang dimilikinya. Paling
seringnya nama bank unit muncul dari tabel di atas menunjukkan bank unit
tersebut paling banyak menjadi acuan yaitu bank unit Kayen.
Beberapa alasan yang mendorong bank unit Kayen mampu beroperasi
paling efisien pada tahun 2013 diantaranya adalah; 1) mampu menyerap dana dari
pihak ketiga yang paling tinggi (Rp 66,7 milyar), 2) sekaligus mampu
menyalurkan dananya ke masyarakat (KUR) terbesar ketiga (Rp 17,7 milyar), 3)
mampu menyerap nasabah KUR terbesar ketiga, 4) sebagai salah satu bank unit
yang berada di kuadran pertama (gb 7.2) yang berarti pencapaian KUR yang
disalurkan dan nasabah yang diperolehnya tinggi, 5) biaya operasionalnya
mengalami penurunan meskipun pendapatan operasionalnya mengalami
peningkatan. Bank-bank unit yang tidak efisien harus mampu belajar dari bank-
bank unit lain bagaimana mengoptimal output dengan input yang dimilikinya.
Return to scale (RTS) menunjukkan bahwa semua bank-bank unit yang
efisien (berdasarkan skala efisiensi) beroperasi secara efisien dan untuk bank-bank
unit yang tidak efisien perlu melakukan perubahan secara teknis untuk
meningkatkan output atau meningkatkan penyaluran KUR mikronya. Oleh karena
itu perlu mengetahui tingkat output yang optimal atau besarnya KUR yang masih
bisa disalurkan meskipun tanpa meningkatkan input yang sudah ada. Penyaluran
KUR yang belum optimal perlu ditingkatkan baik dengan memperluas jangkauan
nasabah baik jumlah nasabah maupun kualitas nasabah. Jangan sampai pula
jumlah nasabah meningkat namun non performance loannya juga meningkat lebih
tinggi, yang berarti kualitas kreditnya tidak bagus. Seberapa jauh penyaluran KUR
perlu ditingkatkan dari masing masing bank unit terlihat di table 8.7.
Berdasarkan tabel 8.7 di atas terlihat bahwa bank unit Gabus memiliki
alokasi dana yang terbesar yang perlu disalurkan sebesar Rp 11,3 milyar.
Kemampuan Gabus dalam menyerap dana pihak ketiga paling besar kedua
(setelah Kayen) dibandingkan dengan bank-bank unit lainnya, namun kemampuan
untuk menyalurkan dalam bentuk kredit masih jauh dari yang optimal.
Produktifitas bank unit Gabus hanya sekitar 30,92 persen dari kapasitas yang ada.
Dengan begitu, tantangan bank unit Gabus untuk menyalurkan KUR semakin
besar, kecuali biaya yang harus dikeluarkan kepada pihak ketiga akan lebih besar
daripada pendapatan yang diterima.
Bank unit Gabus tidak mampu beroperasi secara efisien karena beberapa
alasan sebagai berikut; 1) penyerapan dana pihak ketiga tinggi tertinggi nomor
dua setelah Kayen dan meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun
penyaluran KUR nya mengalami penurunan. 2) Jumlah nasabah mengalami
penurunan sekaligus rata-rata KUR per nasabahnya juga menurun. 3) Jumlah
nasabah KUR paling rendah dibandingkan dengan bank bank unit lainnya. Secara
ringkas alasan bank unit Kayen menjadi acuan bagi bank-bank lain dan alasan
Gabus beroperasi dengan efektifitas yang rendah berkaitan dengan penyaluran
KUR tersaji di tabel 8.8 berikut:
93
Tabel 8.8 Perbandingan Bank Unit Kayen dan Bank Unit Gabus
Bank Unit Kayen Bank Unit Gabus
1. Mampu menyerap dana pihak ke- 1. Mampu menyerap dana pihak ke-3
3 terbesar Rp 66,7 miyar, terbesar no 2 setelah Kayen Rp
sekaligus mampu menyalurkan 66,27 milyar, namun penyaluran
KUR terbanyak no 3 sebesar Rp KUR menurun dan hanya Rp 5,0
17,7 milyar milyar.
2. Optimasi KUR yang disalurkan 2. Optimasi KUR yang disalurkan
tercapai dan tingkat efektifitasnya tidak tercapai dengan tingkat
100 persen efektifitas terendah 30,92%
3. Mampu menyerap nasabah KUR 3. Penyerapan nasabah KUR terendah
terbesar ketiga 1.861 setelah SL hanya 431
dan DS
4. Salah satu bank unit yang berada 4. Salah satu bank unit yang berada di
di kuadran pertama, merupakan kuadran keempat, yaitu kuadran
kuadran dimana nasabah dan dimana nasabah dan KUR yang
KUR yang disalurkan tinggi disalurkan paling rendah
5. Pendapatan operasionalnya 5. Baik pendapatan maupun biaya
meningkat, sebaliknya biaya operasional mengalami peningkatan.
operasional menurun.
Dari tabel 8.4 di atas angka 1 dalam skala efisiensi berarti unit bank efisien,
sedangkan nilai dibawah 1 berarti inefisien. Rata-rata inefisiensi dalam skala
efisiensi adalah 0,987, dan inefisiensi tertinggi dicapai oleh bank unit JKN sebesar
0, 861. Untuk inefisiensi terendah dicapai oleh bank unit WN sebesar 0,999.
Dengan demikian inefisien dikategorikan ke dalam 2 kelompok yaitu inefisiensi
tinggi dan inefisiensi rendah seperti di tabel 9.1 berikut.
kedua adalah inefisen yang rendah (warna hijau) sebanyak 15 unit (42,86
persen) dan sangat inefisien (warna kuning) sebanyak 2 atau 5,71 persen yaitu
bank unit JKN dan PW (gambar 9.1). Terdapat 21 kecamatan di Kabupaten Pati.
Kedua bank unit yang memiliki inefisien yang tinggi berada di bawah wilayah
Pati atau bagian selatan. Wilayah Pucakwangi merupakan wilayah tenggara paling
ujung berbatasan dengan Kabupaten Blora yang dipisahkan oleh gunung kapur.
Wilayah Jakenan juga berada di bagian tenggara kabupaten Pati. Berdasarkan
gambar peta dibawah, wilayah Pati bagian Selatan yang tidak efisien (warna
hijau) adalah kecamatan Jaken, Winong, Tambakromo dan sebagian Gabus.
Sisanya berada dalam kondisi efisien untuk wilayah selatan kabupaten Pati.
Kecamatan Pucakwangi. Kecamatan Jakenan, Jaken, Pekalongan dan
Pucakwangi dulu merupakan wilayah dengan kawedanan yang sama yaitu
Jakenan. Di kecamatan ini terdapat dua bank unit yaitu (PW dan KW) dimana
KW tercapai efisiensi namun PW tidak efisien. Wilayah-wilayah ini merupakan
wilayah dengan tipologi yang sama yang berada di wilayah selatan dan timur
kabupaten Pati. Kecamatan Pucakwangi merupakan wilayah tenggara paling
ujung yang berbatasan dengan kabupaten Blora yang dibatasi oleh pegunungan
Kapur. Sebagai wilayah paling ujung menyebabkan wilayah ini kurang aktifitas
ekonominya dibandingkan dengan wilayah lain, sehingga mendorong penyaluran
KUR yang kurang optimal dan sangat tidak efisien apalagi penyaluran KUR
diperebutkan oleh dua bank unit.
Kecamatan Jakenan. Kecamatan Jakenan terletak di bagian timur
Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di ketinggian
antara 10-25 meter dpl. Di sebelah barat berbatasan dengan Pati kota yang dibatasi
oleh sungai terbesar di Kabupaten Pati, yaitu Sungai Juwana. Seluruh wilayahnya
terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis "aluvial". Daerah barat yang
menjadi Daerah Aliran Sungai Sungai Juwana setiap tahun pada musim penghujan
menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Pada awal tahun 2008,
banjir menenggelamkan daerah barat Kecamatan Jakenan hingga kedalaman 3,5
meter yang berlangsung selama lebih dari satu bulan. Faktor ini yang mendorong
penyaluran KUR di kecamatan ini tidak optimal dan sangat tidak efisien.
Secara administratif, Kecamatan Jakenan terdiri atas 23 desa yang terbagi ke
dalam 58 Rukun Warga (RW) dan 341 Rukun Tetangga (RT). Mata pencaharian
penduduk Kecamatan Jakenan sebagian besar adalah bertani dengan
memanfaatkan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi
menggantungkan hidup sebagai buruh pada berbagai industri yang ada di kota
Juwana dan Pati Kota. Karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia maka
tidak sedikit warga yang pergi merantau ke lain daerah bahkan ke luar negeri,
seperti umumnya warga Kabupaten Pati lainnya. Selain padi, produk pertanian
daerah ini adalah kedelai dan kacang hijau.Perekonomian Kecamatan Jakenan
mepunya tiga pasar : pertama Pasar Jakenan yang diberi nama Pasar "GO REJO"
Pasar ini digunakan sebagai Pasar Orang dan Pasar Hewan namun pasar ini mulai
sepi. Kedua Pasar Sembaturagung yang disebut Pasar Jagan bertempat di Desa
Sembaturagung dibuka setiap hari. Ketiga Pasar Banglean yang terdapat di desa
Tambahmulyo.
Wilayah lain yang tidak efisien atau inefisien rendah ada 15 dari bank unit
yaitu BM, GS, GB, JK, MR, MH, TK, WR, WN, J1, PK1, TY, NG, PH dan PL.
96
Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir ini sangat besar. Dengan kondisi seperti ini
mempengaruhi penyaluran KUR karena bank menghindari gagal kredit.
Gambar 9.1 Peta tipologi wilayah berdasarkan efisiensi KUR di Kabupaten Pati
98
utara kecamatan ini menjadi langganan banjir setiap tahun akibat meluapnya
Sungai Juwana. Dahulunya kecamatan ini menjadi bagian dari Kawedanan Kayen.
Kecamatan Gabus seluas 5.551 ha (55,51 km). Merupakan daerah dataran yang
sebagian besar merupakan tanah berjenis aluvial yang terletak di ketinggian antara
5 sampai dengan 30 meter dpl. Mengingat banjir di wilayah ini mengakibatkan
sering terjadinya kerugian pertanian, perikanan maupun usaha-usaha mikro, maka
diperkirakan penyaluran KUR kurang optimal dan efisien di wilayah ini. Selain
itu di kecamatan ini terdapat 3 bank unit yaitu KB, TM dan GB sehingga
penyaluran KUR semakin ketat. Hanya bank unit GB saja yang kinerjanya tidak
efisien.
Kecamatan Tayu. Kecamatan Tayu merupakan kecamatan termaju ketiga
di Kabupaten Pati setelah kecamatan Pati dan kecamatan Juwana. Terletak lebih
kurang 27 km ke arah utara kota Pati, tepat di jalur yang menghubungkan Pati
dengan Jepara.
Kecamatan ini berada di keinggian antara 1 - 41 meter dpl dan sebagaimana
daerah lain di kabupaten Pati bagian utara, Tanah di Kecamatan Tayu terdiri atas
tanah Aluvial, Red Yellow dan regosol. dengan luas 4.759 ha yang terdiri atas
2.038 ha lahan sawah dan sisanya seluas 2.721 ha lahan non sawah. Secara
administratif, Tayu terbagi dalam 21 desa yang memiliki 72 Rukun Warga (RW)
dan 368 Rukun Tetangga (RT). Di kecamatan ini terdapat dua bank unit penyalur
KUR yaitu (TY dan PK). Bank unit PK mengalami optimal dan efisien dalam
penyaluran KUR karena tingkat aktifitas ekonomi di daerah ini tinggi didorong
keberadaannya pabrik gula di wilayah ini. Sebaliknya bank unit TY kurang efisien.
Kecamatan Tayu mempunyai penduduk sebanyak 68.545 jiwa yang terdiri atas
34.074 penduduk laki-laki dan 34.471 penduduk perempuan.
Kecamatan Tambakromo. Kecamatan Tambakromo terletak di bagian
selatan Kabupaten Pati. Bagian selatannya merupakan bagian dari Pegunungan
Kapur Utara yang sekaligus menjadi pembatas dengan Kabupaten Grobogan.
Dahulunya kecamatan ini menjadi bagian dari Kawedanan Kayen. Di kecamatan
ini terdapat dua bank unit yaitu AL dan TK. Bank unit AL mencapai penyaluran
KUR yang optimal sebaliknya bank unit TM kurang efisien. Kecamatan ini
mempunyai luas wilayah sekitar 72,47 km/2 dengan sebagian besar adalah daerah
persawahan. sementara jumlah penduduk daerah tersebut sekitar 47.660 jiwa,
terdiri dari 22.909 jiwa laki-laki dan 24.751 jiwa perempuan serta berkepadatan
730,29jiw/km2. Dari luas wilayah tersebut penduduknya tersebar di 18 desa.
Pendduk tersebut sebagian besar adalah petani, selain itu juga adalah pedagang
dan sebagian besar sebagai perantau atau buruh migran. Perekonomian daerah
tersebut tergolong maju, karena di topang oleh banyaknya buruh migran.
sementara untuk pendidikan daerah ini tidak begitu menonjol di banding
kecamatan-kecamatan pati lainya. Sebagai daerah pegunungan daerah ini
mempunyai beberapa tempat wisata yang menjadikan kegiatan ekonomi semakin
meningkat.
efisien. Kegiatan ekonomi yang tinggi dan didukung oleh tipologi wilayah
mendorong bank-bank unit mencapai optimal. Namun biasanya di suatu wilayah
dimana memiliki lebih dari satu bank unit maka salah satunya tidak efisien. Hanya
kecamatan Sukolilo saja yang memiliki lebih dari satu bank unit namun keduanya
mengalami optimal dan efisien.
Kecamatan Sukolilo. Di kecamatan ini terdapat dua bank unit (SL dan CS)
yang keduanya mencapai efisien dalam penyaluran KURnya. Kecamatan ini
terletak di paling selatan kabupaten Pati, di bagian selatan berbatasan langsung
dengan Kabupaten Blora, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Kayen. Kecamatan sukolilo merupakan kecamatan terbesar di
Kabupaten Pati dengan luas wilayah 158,74 km2, dengan jumlah penduduk
sekitar 84.426 terdiri dari 41.641jiwa laki-laki dan 42.785 jiwa perempuan dengan
kepadatan 531,85 jiwa/ km2. yang tersebar di 16 desa yang terdiri dari 483 RT
dan 80 RW. Dengan luasnya wilayah dan jumlah penduduk yang tinggi
mendorong penyaluran KUR kedua bank unit mampu mencapai optimal dan
efisien. Kecamatan Sukolilo sebagaian besar terdiri areal perbukitan dan
pegunungan. Secara administratif terdiri dari 7.253 hektar lahan sawah dan 8.621
hektar lahan bukan sawah. Dengan wilayah persawahan yang begitu luas tak pelak
pertanian menjadi sektor utama dalam menopang perekonomian masyarakat
tersebut, selain merantau. Pertambangan Karst serta wisata, baik wisata alam atau
wisata budaya Sukolilo. Potensi pertanian yang cukup besar meliputi pertanian
tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, dan peternakan.
Kecamatan Dukuhseti. Terletak kurang lebih 36 km ke arah utara dari
pusat kota Pati. Merupakan daerah dataran rendah dan berada di pesisir laut Jawa
dengan ketinggian tanah antara 1-40 meter dpl. Secara administratif, kecamatan
Dukuhseti terdiri atas 12 desa, dengan 46, Rukun Warga (RW) dan 342 Rukun
Tetangga (RT). Berpenduduk sebanyak 57.723 jiwa yang terdiri atas 29.184 jiwa
berkelamin laki-laki dan 28.539 berkelamin perempuan. Di Kecamatan ini
berbatasan dengan laut Jawa sehingga banyak usaha rumah tangga berkaitan
dengan perikanan. Sebelah timur kecamatan inilah menjadi sumber pendapatan
masyarakat Dukuhseti. Industri rumah tangga juga banyak tumbuh di wilayah ini
seperti Batik Bakalan. Industri kecil dan mikro yang terbanyak adalah industri
gerabah/keramik/batu bata denga jumlah 499 unit disusul industri makanan dan
minuman. Seiring dengan pesatnya ekonomi di wilayah kecamatan Dukuhseti ini
diperkirakan yang mendorong permintaan terhadap KUR tinggi dan
pencapaiannya bisa optimal dan efisien.
Kecamatan Cluwak (bank unit PS dan NG). Terletak kurang lebih 39 km
ke arah utara dari pusat kota Pati. Berada di lereng Gunung Muria dengan tanah
berjenis "latosol" kecamatan ini berada di ketinggian antara 15-282 m dpl. Secara
administratif, kecamatan Cluwak terdiri atas 13 desa, 74, Rukun Warga (RW) dan
287 Rukun Tetangga (RT). Kecamatan Cluwak berpenduduk sebanyak 44.079
jiwa yang terdiri atas 22.014 jiwa berkelamin laki-laki dan 22.065 berkelamin
perempuan. Dalam bidang kesehatan, mayarakat kecamatan Cluwak dilayani oleh
sebuah Puskesmas dan 2 buah Puskesmas Pembantu. Sedangkan di bidang
perekonomian, kecamatan Cluwak memiliki 3 buah pasar tradisional. Pasar
tersebut terdapat di desa Ngablak. Kecamatan Cluwak memiliki kegiatan ekonomi
yang tinggi. Dengan adanya dua unit bank penyalur KUR di kecamatan ini, maka
salah satu mampu mencapai penyaluran yang optimal dan efisien yaitu bank unit
PS dan yang satunya kurang efisien yaitu bank unit NG.
Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan terletak di ujung timur
Kabupaten Pati yang berjarak lebih kurang 22. Merupakan salah satu kecamatan
yang terletak di pesisir Laut Jawa. Dahulunya kecamatan ini menjadi bagian dari
Kawedanan Juwana. Dengan wilayah daratan seluas 5.066 ha menjadikan
102
Kayen. Tanah di kecamatan ini berjenis tanah latosol dan red yellow mediteran.
Secara administratif, kecamatan Tlogowungu hanya terdiri atas 15 desa yang
terbagi dalam 70 Rukun Warga (RW) dan 318 Rukun Tetangga (RT).
Dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Pati, kecamatan
Tlogowunggu, bersama kecamatan Gunungwungkal merupakan kecamatan
dengan jumlah desa paling sedikit keempat setelah kecamatan Gembong,
kecamatan Dukuhseti dan kecamatan Cluwak. Penduduk kecamatan Tlogowungu
berjumlah 49.556 jiwa (2006) dengan komposisi 24.625 jiwa laki-laki dan sisanya
24.391 jiwa perempuan.
Sebagian besar penduduk kecamatan Tlogowungu berprofesi sebagai petani
dengan komoditas utama padi, tanaman buah dan tanaman keras. Dalam bidang
ekonomi, masyarakat kecamatan Tlogowungu memiliki 2 buah pasar tradisional
yang salah satunya terletak di pusat kota kecamatan.
Tempat-tempat pariwisata di kecamatan Tlogowungu antara lain:
Sendang Tirta Marta Sani terletak di Desa Tamansari Kecamatan Tlogowungu.
Bumi Perkemahan Regaloh salah satu bumi perkemahan di Pati yang masih
terawat terletak di desa Regaloh, sekitar 1 km ke arah utara ibu kota kecamatan
Tlogowungu. Bumi Perkemahan yang mampu menampung ribuan peserta ini
merupakan salah satu tempat berkemah tervaforit di Kabupaten Pati selain Bumi
Perkemahan Jolong. Air terjun Santi Tretes, satu dari dua air terjun Santi. Satunya
lagi disebut Jenar terletak di pada lereng gunung Muria di desa Tlogosari
kecamatan Tlogowungu. Air terjun kedua dinamakan "Jenar" terletak di sebelah
atas. Air terjun kedua ini lebih besar dan tinggi dari pada air terjun yang pertama.
Dengan kondisi tanah pertanian yang subur dan banyaknya tempat wisata di
wilayah ini diperkirakan yang mendorong semakin meningkatnya kegiatan
ekonomi dan penyaluran KUR bisa optimal dan mencapai efisien apalagi di
wilayah ini hanya ada satu bank unit TR
Kecamatan Gunung Wungkal. Bank unit GW yang berada di kecamatan
ini mampu mencapai kinerja penyaluran KUR yang optimal dan efisien. Dengan
luas wilayah 61,80 m2 kecamatan ini menjadi salah satu kecamatan yang
terhitung kecil di kabupaten pati, dengan wilayah sebagian adalah persawahan dan
perbukitan. Dengan jumlah penduduk sekitar 34.950 jiwa terdiri dari 17.559 jiwa
laki-laki dan 17.391 jiwa perempuan, menjadikan kecamatan terkecil
penduduknya di kabupaten Pati. Meski demikian satu-satunya bank penyalur
KUR di wilayah ini, bank unit GW mampu mencapai efisien.
Kecamatan Pati Kota. Desa yang berada di kecamatan pati ini banyak
sekitar 29 desa. Aktifitas di tengah kota sangat tinggi, sehingga kehadirannya
KUR sangat diharapkan oleh rumah tangga usaha mikro. Permintaan KUR
pastilah sangat luas sehingga di kecamatan ini terdapat 4 bank unit yaitu (PK1, PK
2, MH dan TH). PK 2 dan Tambaharjo merupakan bank unit yang mampu
beroperasi secara optimal sedangkan PK1 dan MH tidak efisien. Jumlah penduduk
di kecamatan ini hampir 2 kalinya dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan
lainnya yaitu sekitar 108.930 jiwa yang tersebar di wilayah seluas 42,49 km2
dengan kepadatan mencapai 2.564 jiwa/km2.
Kecamatan Kayen. Di kecamatan ini hanya terdapat satu bank unit saja
yaitu bank unit KY dan mampu menyalurkan KUR terbanyak di Kabupaten Pati.
Bank unit ini mampu menekan biaya operasionalnya semakin hemat, namun
pendapatannya malah meningkat. Sektor pertanian di Kecamatan Kayen memiliki
104
hasil yang cukup melimpah. Luasnya areal pertanian, cukupnya ketersediaan air
irigasi, dan suburnya tanah merupakan beberapa contoh faktor pendukung di
sektor ini. Padi, jagung, ubi-ubian, sayur mayur, buah-buahan, dan ikan air tawar
adalah beberapa hasil dari sektor pertanian dan perikanan.
10 IMPLIKASI KEBIJAKAN
bank-bank unit yang belum mencapai efisiensi bisa mengacu ke bank-bank unit
yang sudah efisien. Bank unit Kayen bisa menjadi role model bagi bank-bank unit
lainnya, selain juga bank unit Pati 2, Dukuhseti, Pakis dan Tambaharjo. Bank-
bank unit yang tidak efisien, terutama bank unit Gabus tetap memiliki potential
improvement untuk dapat menjadi efisien karena memiliki kondisi input yang
memadai, sebagai contoh memiliki dana simpanan pihak ke-3 yang jauh memadai
selain juga memiliki sumber daya manusia dengan sistem perekrutan, training dan
pengembangan yang sama dengan bank-bank unit lain yang efisen. Barangkali
dengan sistem rotasi karyawan atau dengan pelatihan akan mendorong dalam
pencapaian target kembali. Karena menurut Khanmohammadiotaqsara et al.
(2012) tujuan suatu organisasi tergantung pada kemampuan karyawan untuk
melakukan tugas dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi.
Dengan pelatihan sumber daya manusia, maka akan mendorong individu untuk
berkegiatan secara efektif dan efisien.
Jangkauan (outreach) dilihat dari besarnya pinjaman KUR yang disalurkan
mencapai rata-rata Rp 10,2 juta per nasabah, yang berarti sasaran KUR terhadap
usaha rumah tangga mikro mencapai targetnya dan ternyata tingkat NPLnya
hanya mencapai 0,5 persen. Peluang untuk menyalurkan KUR masih terbuka luas
karena baru sekitar 13 persen usaha mikro yang terlayani KUR dari total usaha
mikro yang ada. Ini menunjukkan keberlangsungan KUR dari sisi bank penyalur
KUR menunjukkan mampu berlanjut, hanya diperlukan inovasi SDM selain
tehnologi. Singkatnya, tidak terjadi trade off antara outreach dan sustainability
dalam penelitian ini, sejalan dengan penelitian (zerai & Rani 2012) namun tidak
sejalan dengan Hermes et al. (2011). Ketersediaan bank unit ini di hampir setiap
kecamatan memungkinkan mampu menjangkau nasabah sampai tingkat desa.
Dari uraian diatas maka sustainability dari dua sisi baik nasabah maupun
penyalur KUR tercapai, maka sebaiknya program KUR dilanjutkan oleh
pemerintah. Diperlukan inovatif yang kreatif agar jangkauan penyaluran KUR
semakin luas. Untuk lebih profesional dan spesialis, maka sebaiknya bank
pelaksana penyaluran KUR sebaiknya ditunjuk kepada bank-bank yang selama ini
mampu menyalurkan kredit mikro kepada usaha rumah tangga usaha mikro.
Selama ini, banyak bank pelaksana penyalur KUR yang ditunjuk dan diberi
kesempatan tidak melakukan penyaluran sesuai dengan yang diharapkan, namun
hanya melayani usaha-usaha besar yang bagi mereka lebih menguntungkan saja
padahal NPLnya malah tinggi.
Dengan demikian, implikasi kebijakan untuk keberlanjutan program KUR
tersebut bahwa program KUR harus tetap dilanjutkan dan untuk meningkatkan
dan mempercepat penyaluran KUR maka penting pemerintah menetapkan
kewajiban bagi bank-bank penyalur KUR untuk lebih berkomitmen dalam
menyalurkan KUR mikro dengan mewajibkan sekian persen dari dana pihak
ketiganya untuk disalurkan sebagai KUR.
pembiayaan selain KUR yang ada di masyarakat seperti PNPM, koperasi, BMT,
tetangga, rentenir maupun saudara. Total usaha mikro yang menggunakan sumber
pinjaman lain sebanyak 33,4 persen. Tidak semua rumah tangga usaha mikro yang
mendapatkan pinjaman KUR sesuai dengan yang diminta, bahkan ada yang
ditolak. Sebagian malah memang tidak mengajukan KUR karena tidak
membutuhkan, tidak tahu program, takut maupun apriori dengan bank. Secara
keseluruhan, tampaknya masih ada gap yang besar atas permintaan kredit dengan
yang mampu mengakses kredit. Penolakan kredit sebaiknya diberikan alasan
secara obyektif kepada nasabah sehingga mereka bisa memperbaiki di kemudian
hari. Informasi mengenai produk tampaknya belum sampai ke semua masyarakat,
karena alasan tidak mengakses KUR karena ketidaktahuan program (40,36persen)
termasuk ketidaktahuan bagaimana cara pengajuan KUR. Chau et al. (2012)
mengatakan bahwa di wilayah pedesaan, informasi dari penyedia kredit sangat
penting bagi peminjam untuk memperoleh pinjaman.
Alasan lain rumah tangga tidak mengajukan KUR adalah rasa takut akan
resiko kredit (risk averse) dan karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan,
memberikan persepsi bahwa persyaratan, tingkat suku bunga dan menganggap
dibutuhkan jaminan yang besar untuk mendapatkan kredit bank.
Disinilah pentingnya peran pemerintah daerah melalui instansi terkait ikut
memperkenalkan program KUR kepada masyarakat. Misalnya penyampaian
informasi melalui organisasi-organisasi baik formal maupun informal baik yang
ada di pedesaan maupun di kecamatan. Melalui koperasi-koperasi yang ada
wilayah kabupaten, maka program KUR ini diperkenalkan.
Informasi kredit bisa melalui staf atau organisasi kemasyarakatan. Dengan
begitu staf-staf penyedia KUR sebaiknya lebih gencar dalam memperkenalkan
produk-produk perbankan kepada masyarakat baik produk tabungan maupun
produk pinjaman. Iklan-iklan di televisi penting juga sebagai sarana promosi.
beberapa nasabah rumah tangga usaha mikro tetap ada yang mengalami kesulitan
dalam pengembalian pinjaman meskipun tidak sampai terjadi gagal bayar atau
default. Nasabah yang mengalami pembayaran tidak lancar atau terlambat lebih
dari dua kali mencapai 13,55 persen. Secara umum, faktor-faktor karakteristik
peminjam seperti gender (wanita), peningkatan usia dan pendidikan yang lebih
tinggi dianggap memiliki moral hazard yang lebih baik dalam pembayaran
pinjaman, namun kenyataannya tidak signifikan mempengaruhi dalam
pembayaran pinjaman. Sehingga berkaitan dengan utang piutang, moral hazard
tidak mampu diandalkan untuk menilai seseorang jujur atau tepat waktu dalam
pembayaran hutang.
Screening awal yang dilakukan oleh bank penyalur KUR untuk menentukan
apakah nasabah perlu dibatasi kreditnya atau tidak, bisa dilihat dari kinerja
kegiatan ekonomi rumah tangga usaha mikro seperti tingkat penjualan, tingkat
pendapatan yang dihasilkan oleh rumah tangga usaha mikro maupun jenis
usahanya. Proses screening awal yang tepat tetap menjadi prioritas pihak penyalur
pinjaman untuk menghindari gagal bayar di kemudian hari. Proses monitoring
penting, namun tampaknya belum menjadi prioritas yang dilakukan oleh pemberi
pinjaman KUR. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pengalihan kredit, bisa dikatakan
sebagai moral hazard juga yang seharusnya untuk modal kerja dan investasi tapi
digunakan untuk keperluan lain, belum sepenuhnya terkontrol oleh bank.
Untungnya, pengalihan ini tidak signifikan mempengaruhi dalam pengembalian
kredit, karena sebagian besar pengalihan kredit digunakan untuk mencicil motor.
Alat transportasi ini masih bisa diperdebatkan sebagai alat yang menunjang usaha
juga.
Dengan demikian proses screening awal dari penyedia KUR sangat penting,
sehingga apakah nasabah KUR harus menyediakan jaminan atau tidak tergantung
hasil dari analisis kredit oleh bank. Meskipun kebijakan KUR oleh pemerintah
tidak menggunakan jaminan dalam meminjam KUR, sebaiknya keputusan apakah
nasabah harus dikenakan jaminan atau tidak diserahkan oleh bank pelaksana KUR.
Namun persyaratan kredit yang mudah dan kecepatan pencairan kredit sangat
penting agar tidak menghambat masyarakat dalam berusaha. Terkadang banyak
pola kredit yang diberikan tanpa adanya agunan, tetapi malah tidak berhasil
karena masyarakat menganggapnya sebagai bantuan. Ternyata dampaknya malah
memberikan etos kerja yang berbeda. Hal ini juga menyangkut moral hazard,
dimana ketika orang tidak dikenakan agunan maka kemungkinan orang tersebut
justru memiliki insentif untuk kurang memberikan perhatian pada usahanya (sifat
ini mencerminkan kualitas/sikap seseorang) yang dapat mengarah kepada
tindakan sub-optimal (kurang acuh) terhadap kegiatannya . Target nasabah KUR
ini bukanlah the poors, tetapi rumah tangga usaha mikro dengan rata-rata modal
kerja maupun jumlah pinjaman KUR sekitar Rp 10 jutaan. Dengan demikian rata-
rata mereka memiliki sesuatu untuk diagunankan. Potensi penyaluran KUR untuk
usaha mikro masih sangat luas karena yang sudah mendapatkan KUR masih
dibawah 13 persen. Sehingga kebijakan pengenaan kolateral sewajarnya
diserahkan kepada bank pelaksana KUR yang mengetahui kondisi calon nasabah.
Akan tetapi screening awal apakah calon nasabah akan disetujui pengajuan
kreditnya atau tidak bukan hanya semata-mata karena kemampuannya untuk
menyediakan jaminan, tetapi hendaknya dilihat dari potensi usaha rumah tangga
usaha mikro tersebut. Dalam hal ini, aktifitas usahanya juga bisa menjadi
109
11.1 Simpulan
11.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Coelli TJ. 1996. A guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis
(Computer) Program, No 8/96. Centre for Efficiency and Productivity
Analysis Department of Econometric University of New England
Armidale, NSW. Australia
Coleman BE. 2002. Microfinance in Northeast Thailand: Who benefits and How
much?.
Cooper RN. 2005. A Half-Century of Development. CID Working Paper No. 118,
Harvard University.
Cotler P, Woodruff C. 2008. The impact of short term credit on microenterpriser:
Evidence from the Fincomun-Bimbo program in Mexico. Economic
Development and Cultural Change, 830-849. JSTOR
Demirguc-Kunt A, and Klapper L. 2012. Financial inclusion in Africa: an
overview. Policy research working paper 6088, the world bank,
Washington DC
Despallier B, Guerin I, Mersland R. 2011. Woman and Repayment in
Microfinance: A Global Analysis. World Development Vol. 39, No. 5. Pp
758-772. 2011
Dewayati R. 2003. Memahami Persoalan Perempuan Pengusaha Kecil. Jurnal
analis sosial 8 (1).
Diro BA, and Regasa DG. 2014. Impact of micro credit on the livehood of
borrowers: Evidence from Mekelle City, Ethiopia. Journal of research in
economics and international finance, vol. 3 (1) pp.25-32
Dufhues T, Buchenriede G. 2005. Outreach of Credit Institution and Householdss
Access Constraints to Formal Credit in Northern Vietnam. Institute of
Agricultural Economics and Social Sciences in the Tropics and Subtropics
(Ed.), Research in Development Economics and Policy, Discussion Paper
No. 01/2005
Dwiwati Y. 2008. Kajian Program Penyaluran Kredit Usaha kecil melalui
Program Kemitraan. Tidak dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB.
Bogor
Easterly W. 2006. The White Mans Burden: Why the West Efforts to Aid the
Rest Have Done So Much Ill and So Little Good. Penguin Press, New
York.
Endarwati M, Rahmawati P, dan Musaroh (2009). Kemiskinan dan
Pengembangan Model Kredit Mikro bagi Perempuan Miskin di Kota
Jogjakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.
Efendic V. 2009. Efficiency of banking sector of Bosnia-Herzegovina with special
reference to relative efficiency of existing Islamic bank. International
conference on Islamic economics and finance, 1-13
Falkena H, Davel G, Hawkins P, Llewellyn D, Luus C, Masilela E, Parr G,
Pienaar J, and Shaw H. 2004. Competition in South African banking, task
group report for the national treasury & the south African Reserve Bank,
April 2004
Fre R, and Grosskopf S. 2000. Reference Guide to ONFRONT 2. Economic
Measurement and Quality Corporation, Sweden.
Fethi MD and Pasiouras F. 2010. Assessing bank efficiency and performance with
operational research and artificial intelligence techniques: a survey.
European journal of operational research, vol. 204, no. 2, pp. 189-198
115
Fernando NA. 2006. Understanding and Dealing with High Interest Rates on
Microfinance.13. ADB
Fletscher D. 2008. Rural Womens Access to Credit; Market Imperfections and
Intrahousehold Dynamics. World Development, Vol. 37, No. 3. Pp 618-631
Gebeyehu Z, Beshire H, and Haji J. 2013. Determinants of Loan Repayment
Performance of Smallholder Farmers: The Case of Kalu District, South
Wollo Zone, Amhara National Regional State, Ethiopia. International
Journal of Economics, Business and Finance Vol. 1, No. 11, December
2013, PP: 431- 446, ISSN: 2327-8188 (Online) Available online at
http://ijebf.com/
Gemari. 2008. UMKM Jadi Primadona Entaskan Kemiskinan. Edisi 90/ Tahun
IX/ Juli 2008.
Ghalib A, et al. 2011. The Impact of Microfinance and its Role in easing Poverty
of Rural Households: Estimations from Pakistan. RIEB. Kobe University
Ghosh P, Mookherjee D, Ray D. 1999. Credit Rrationing in Developing
Countries: An overview of the theory.
https://www.nyu.edu/econ/user/debraj/Papers/Gmr.pdf
Goetz AM, and Gupta R. 1995. Who Takes the Credit? Gender, Power and
Control Over Loan Use in Rural Credit Programmers in Bangladesh.
World Development. Vol. 24
Godquin, M. 2004. Micro Finance Repayment Performance in Bangladesh: How
to Improve the Allocation of Loan by MFIs. World Development, Vol. 32,
No. 11, pp. 1909-1926
Gordo, G.M. 2013. Timating Philippine bank efficiencies using frontier analysis.
Philippine management Review, Vol. 20, 17-36
Grimm M, Kruger J, Lay J. 2011. Barriers to Entry and Returns to Capital in
Informal Activities: Evidence for sub-Saharan African. The Review of
Income and Wealth. The World Bank
Hartono R. 2013. Model Kelembagaan Kredit Usaha Pertanian Perdesaan. Tidak
dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Hastuti dkk. 2002. Pendanaan Usahatani Padi Pasca KUT, Kredit Ketahanan
Pangan (KKP). Laporan SMERU
Heckman J, et al. 1998. Matching As An Econometric Evaluation Estimator.
Review of Economic Studies 65. 261-294.
Heidari MD, Omid M, Akram A. 2011. Using Nonparametric Analysis (DEA) for
Measuring Technical Efficiency in poultry Farms. Rev. Bras. Cienc. Avic.
Campinas Vol 13. No 4. http://dx.doi.org/10.1590/S1516-
635X2011000400009
Helsen F, Chmelar A. 2014. Collateral and Credit Rationing. ECRI Policy Brief
No. 7, Feb 2014
Hermes N, Lensink R, and Meesters A. 20011. Outreach and efficiency of
microfinance institution. World development, 39 (6), 938-948
Hoque R, and Rayhan I. 2013. Efficiency measurement on banking sector in
Bangladesh. Dhaka Univ. J. Sci. 61(1): 1-5, 2013 (january).
Hossain MK. 2012. Measuring the impact of BRAC microfinance operation: a
case study of a village. J. Int. Bus. Res. 5(4)
116
Hussein M dan Hussain S. 2003. The impact of Micro Finance on Poverty and
Gender Equity Approaches and Evidence From Pakistan. Islamabad,
Pakistan Microfinance Network.
Ibeme, Sylvester NO, Okpara G, and Chukwudi J. 2013. Determinants of Loan
Size and Repayment Performance of Small Oil Producers in Nigeria: The
Case Study of Abia State. International Journal of Business Management
and Administration Vol. 2 (3). Pp. 043-054
Ibtissem B, Bouri A. 2013. Credit Risk Management in Microfinance: The
Conceptual Framework. ACRN Journal of Finance and Risk Perspectives,
Vol. 2 (1), November 2013, p. 9-24
Ismawan B dan Budiantoro S. 2005. Mapping Microfinance in Indonesia. Jurnal
ekonomi Rakyat. Edisi Maret 2005.
Jalaludin. 2002. Studi Komparasi Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang
Berdasarkan Syariah dengan BPR Konvensional dalam Pemberian kredit
untuk Pengusaha Kecil Perdesaan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak
dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press.
Juanda B.2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press.
Kadouamai S. 2013. Opacity of Governance and Lack of Access SME Bank
Financing in Sub-Saharan Africa: Determinants of positions. International
Journal of Current Research and Academic Review. 2013; 1(3): 58-70
Karim L. 2008. Demystifying Microcredit: The Grameen Bank, NGOs, and
Neoliberalism in Bangladesh. SAGE Publication. Vol. 20 (1). P 5-29
Kassie M, et al. 2010. Adoption and Impact of Improved Groundnut Varieties on
Rural Poverty. The environment for Development.EfD DP 10-11
Kausar A. 2013. Factors Affect Microcredits Demand in Pakistan. International
Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management
Science. Vol.3, No. 4 pp. 11-17
Khan MA and Rahaman MA. 2007. Impact of Microfinance on Living Standards,
Empowerment and Poverty Alleviation of Poor People: Case Study on
Microfinance in the Chittagong District of Bangladesh. Thesis. Umea
School of Business (USBE). Bangladesh.
Khanmohammadiotaqsara M, Khalili M, and Mohseni A. 2012. The role of
practical training in productivity and profitability of organizations in the
third millennium. Social and behavioral sciences 47 (2012). 1970 1975
Khoi PD, Gan C, Nartea GV, and Cohen, DA. 2013. Formal and Informal Rural
Credit in the Mekong River Delta of Vietnam: Interaction and Accessibility.
Journal of Asian Economics. 26 (2013. 1-13
Kijima Y, et al. 2008. Assessing the Impact of NERICA on Income and Poverty
in Central and Western Uganda. Agricultural Economics 38. P 327-337
Kusumosudjono E. 2009. Analisis Penjatahan Kredit (Credit Rationing) pada
Pasar Kredit Pedesaan. Universitas Diponegoro. Semarang
Latif A, et al. 2011. Sustainability of Micro Credit System in Pakistan and its
Impact on Poverty Alleviation. Journal of Sustainable Development. Vol.
4 No.4.August 2011
Li X, Gan C, Hu B. 2011. Accessibility to Microcredit by Chinese Rural
Household. Journal of Asian Economics 22 (2011), 235-246.
117
Pradhan NC. 2013. Persistance of Informal Credit in Rural India: Evidence from
All-India Debt and Investment Survey and Beyond. Reserve Bank of India
(RBI) working paper, 05(2013).
Quach MH, Mullineux AW and Murinde V. 2005. Access to Credit and
Household Poverty Reduction in rural Vietnam. The University of
Birmingham. Reduction. NYU Wagner Working Paper No. 1014
Quoc DV. 2012. Determinants of Household Access to Formal Credit in the Rural
Areas of the Mekong Delta, Vietnam. Munic Personal RePEc Archive.
MPRA paper No. 38202. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/38202/
Rangan K. 2010. Types of risks faced by Microfinance Institutions. India
Microfinance Business News. Available at
http://indiamicrofinance.com/types-risks-faced-microfinance-
institutions.html accessed on March 12, 2014.
Ravallion M and Jalan J. 2012. Estimating the Benefit Incidence of an
Antipoverty Program by Propensity Score Matching. Journal of busness
and Economic Study.
Robinson M. 2001. The microfinance revolution: Sustainable finance for the poor.
World Bank
Roomi MA, and Parrott. (2008). Barriers to Development and Progression of
Woman Entrepreneurs in Pakistan. Journal of Entrepreneurship, 17 (1), 59-
72
Rosenbaum P and Rubin D. 1983. The Central Role of the Propensity Score in
Observational Studies for Casual Effects. Biometrika. Vol. 70, No. 1. Pp
41-55. http://www.jstor.org/journals/bio.html
Rosenbaum P and Rubin D. 1985. Constructing a control Group using
multivariate matched Sampling Methods that Incorporate the Prospensity
Score. The American Statistician 39.
Roslan AH and Karim MZ. 2009. Determinants of Microcredit Repayment in
Malaysia: The Case of Agrobank. Humanity and Social Science Journal.
Vol. 4 (1). 45-52
Sathye M. 2001. X-efficiency in Australian banking: An empirical investigation.
Journal of banking & finance 25 (2001) 613-630
Schoombee A. 2000. Getting South African Bank to Serve Micro-entrepreneurs:
An Analysis of Policy Options. Development Southern Africa. Vol. 17 (5).
751-767
Setargie S. 2011. Credit Default Risk and its Determinants of Microfinance
Industry in Ethiopia. Thesis. Addis Ababa University. Ethiopia.
Setargie S. 2013. Credit Default Risk and its Determinants of Microfinance
Industry in Ethiopia. The Journal of Young Economists.
http://joyeconomists.com/2014/07/19/setargie-2013-credit-default-risk-
and-microfinance-in-ethiopia/
Setboonsarng, et al. 2004. Microfinance and The Millenium Development Goals
in Pakistan: Impact Assessment Using Propensity Score Matching. ADB
Discussion paper, No. 104
Setyowati A. 2010. Pengentasan Kemiskinan Melalui Peningkatan Produk
Pembiayaan Perbankan Syariah pada UMKM Perempuan.
http://arumsetyowati.staff.uns.ac.id/2011/06/17/pengentasan-kemiskinan-
120
melalui-peningkatan-produk-pembiayaan-perbankan-syariah-pada-umkm-
perempuan/09/10/2013.
Shafitranata. 2011. Tingkat Efisiensi Bank Umum Syariah Menggunakan Metode
Data Envelopment Analysis. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
Shirazi NS and Khan AU. 2009. Role of Pakistan Poverty Alleviation Funds
Micro Credit in Poverty Alleviation. Pakistan Economic and Social Review,
Vol 47, No. 2. Pp 215-228
Shoji M, Aoyagi K, Kasahara R, Sawada Y. 2012. Social Capital Formation and
Credit Access: Evidence from Sri Lanka. World Development. Vol 40, No.
12, pp. 2522-2536. 2012
Simanowitz A. 2003. Appraising the Poverty Outreach of Microfinance: A review
of the CGAP Poverty Assessment Tool (PAT). Occasional Paper 1. Imp-
Act, Institute of Development Studies.
Siregar H. 2006. Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi: Mendorong
Investasi dan Menciptakan Lapangan Kerja. Bisnis dan Ekonomi Politik.
29-45, 2006.
Siregar H. 2009. Makro-Mikro Pembangunan. IPB Press
Situmorang J. 2007. Model Perkreditan dan Komitmen Bank Dalam Mendukung
Pemberdayaan UMKM.Indonesia
Stewar R, Van Rooyen C, Dickson K, Majoro M, De Wet T. 2010. What is the
Impact of Microfinance on Poor People?. EPPI-Centre, Social Science
Research Unit. Institute of Education. University of London
Suman A. 2007. Pemberdayaan Perempuan, Kredit Mikro, dan Kemiskinan:
Sebuah Studi Empiris. Jurusan Ekonomi Manajemen, FE. Universitas
Kristen Petra.
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
Supadi dan Sumedi. 2004. Tinjauan Umum Kebijakan Kredit Pertanian.
ICASERD working paper No. 25. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian
Sutawijaya A dan Lestari EP. 2009. Efisiensi Teknik Perbankan Indonesia Pasca
Krisis Ekonomi: Sebuah Studi Empiris Penerapan Model DEA. Jurnal
Ekonomi Pembangunan. Vol. 10. No.1
Suzuki Y. and Sastrosuwito S. 2011. Efficiency and productivity change of the
Indonesia commercial banks. International conference on economics, trade
and development. IPEDR vol. 7
Syukur M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim
Kredit Rumah Tangga Miskin. Tidak dipublikasikan. Program Pasca
Sarjana IPB. Bogor
Tahir IM, Mazlina, NAB, and Haron S. 2009. Evaluating efficiency of Malaysian
banks using data envelopment analysis. International journal of business
and management, vol. 4 No.8
Tahir IM, and Haron S. 2010. Cost and profit efficiency of Islamic banks:
international evidence using the stochastic frontier approach. Banks and
bank systems, vol 5, issue 4
Tambunan T. 2007. Enterpreneurship development: SMEs in Indonesia. Journal
of Developmental Enterpreneurship. Vo. 12 (1). 95-118.
Tang L. 2009. Study on Chinas Sustainable Development of Rural Micro Credit.
International Journal of Business and Management. Vol. 4 (8).
121
LAMPIRAN
.
124
Note: S.E. does not take into account that the propensity score is estimated.
Note: S.E. does not take into account that the propensity score is estimated.
EFFICIENCY SUMMARY:
firm output: 1 2 3 4
1 13131.000 7765.000 269.000 516.000
2 5998.000 4837.000 113.000 331.000
3 10681.063 4431.664 91.155 471.492
4 26444.000 9108.000 116.000 720.000
5 16464.735 7182.594 197.546 851.095
6 9992.578 5165.318 73.707 498.300
7 10432.000 7233.000 135.000 475.000
8 6624.000 4402.000 62.000 403.000
9 14858.000 7560.000 146.000 326.000
10 9792.000 8022.000 168.000 540.000
11 14838.000 12868.000 407.000 718.000
12 17707.000 5019.000 108.000 965.000
13 15110.640 6133.683 115.175 572.414
14 7760.000 5455.000 99.000 314.000
15 6975.000 5606.000 101.000 493.000
16 23125.000 14866.000 196.000 935.000
17 15196.788 9105.430 187.439 766.962
18 8372.000 4528.000 88.000 462.000
19 12921.169 4797.988 97.746 648.559
20 14418.417 5872.051 152.077 615.601
21 13098.845 5777.190 125.202 496.513
22 16254.414 5505.040 88.199 700.182
23 6481.000 4487.000 97.000 318.000
24 7301.000 5081.000 76.000 348.000
25 5349.000 2977.000 44.000 309.000
26 8774.948 5604.522 81.954 385.884
27 7335.470 3139.998 59.325 326.560
28 6111.000 3186.000 36.000 363.000
29 10058.818 5099.180 114.995 497.534
30 7751.000 4065.000 71.000 302.000
31 4734.000 3338.000 44.000 394.000
32 6026.000 3225.000 61.000 326.000
33 10986.000 5649.000 75.000 433.000
34 4766.000 1709.000 31.000 156.000
35 3987.000 1569.000 20.000 141.000
131
RIWAYAT HIDUP