A.Pendahuluan
Cedera Kranioserebral (CK) atau trauma kranioserebral merupakan
cabang dari ilmu neurotraumatologi yang mempelajari pengaruh trauma
terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik
pada masa akut maupun sesudahnya. Cedera Kranioserebral dalam
berbagai literature disebutkan dengan berbagai macam istilah antara lain
Traumatic Brain injury (TBI), yang pada intinya menyatakan suatu cedera
akut pada susunan saraf pusat, selaput otak, saraf cranial termasuk
fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah,
baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak
langsung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik
bersifat sementara atau menetap.
Di Indonesia CK yang terjadi sebagian besar adalah CK tertutup
akibat kekerasan (rudapaksa) karena kecelakaan lalu lintas (96%), dan
sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya 16%
membutuhkan tindakan operatif. Data-data di Indonesia (1984), terjadi
55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak
34 orang dan 80% penyebabnya adalah karena cedera kepala.
Data-data yang didapat di Amerika dan mancanegara lain, dimana
kecelakaan terjadi hampir setiap 15 menit. Sekitar 60% diantaranya
bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera
kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada
usia < 35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang
memerlukan tindakan operasi.
B.Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan kesadaran:
1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15):
Catatan : CK dengan GCS 13-15, pingsan 10 menit, tanpa deficit neurology, tetapi pada hasil
scaning otak terlihat abnormal (perdarahan), maka doagnosis bukan CK ringan tetapi menjadi CK
sedang
Indikasi operasi
Sedangkan terapi operatif diindikasikan untuk kasus-kasus:
1. Pada cedera kranioserebral tertutup :
a. Fraktur impresi
b. Perdarahan epidural
c. Perdarahan subdural
d. Perdarahan intraserebral
e. Operasi dekompresi, misalnya pada kontusio berat dengan
edema serebri
2. Pada cedera kranioserebral terbuka :
a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukan luka kulit,
fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi otak
b. Liquorhea
c. Pneumoencephali
d. Corpus alienum
e. Luka tembak
F.Serebral Proteksi
Neuroprotektor yang diberikan diawal setelah cedera otak, dapat
menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak. Sejak awal
manajemen sudah harus dideteksi dan dilakukan pencegahan terhadap
efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya
komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi
intervensi non farmasi.
Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral adalah
kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang dapat
memperburuk kondisi serebral iskemia.
Adanya tenggang waktu antara cedera otak (primary insult) dengan
timbulnya kerusakan jaringan saraf (secondary effect), memberikan waktu
bagi kita untuk memberikan neuroprotektor. Obat-obatan yang dapat
digunakan antara lain antagonis kalsium (nimodipin) yang terutama
diberikan pada perdarahan subarahnoid (SAH), citikolin dan piracetam
dianggap berperan sebagai neuroproteksi.
G.Neurorehabilitasi
Posisi baring dirubah setiap 8 jam dan gerakan ekstremitas secara pasif
untuk mencegah pneumonia ortostatik dan decubitus.
Tindakan rehabilitasi meliputi:
1. Mobilisasi bertahap dilakukan setelah keadaan klinis stabil
2. Latihan otot untuk mencegah kontraktur
3. Terapi wicara jika ada gangguan bicara
4. Terapi okupasi
C.Patofisiologi
Menurut Grover (2001) trauma pada medula spinalis seringkali
menyebabkan gangguan langsung dan lengkap dari fungsi medula
spinalis, meskipun demikian secara anatomis medula sendiri jarang ter-
transeksi. Cedera primer ditimbulkan oleh adanya pengaruh kekuatan dan
tekanan langsung terhadap medula spinalis yang mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah kecil intrameduler, menyebabkan
G.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
a. Darah perifer lengkap.
b. Gula darah sewaktu, ureum, kreatinin.
MRI MRI
A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien, baik subyektif atau obyektif pada
gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera
kranioserebral tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injury dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Cedera kranioserebral meliputi:
bagian kulit, bagian kranium (tengkorak), dan serebral (otak)
Pengkajian keperawatan cedera kranioserebral meliputi identitas,
anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat. Rata rata usia yang
mengalami cedera adalah antara 15 tahun sampai 35 tahun yang
mana merupakan usia pertumbuhan dan usia produktif atau usia
muda. Cedera Kranioserebral pada anak-anak mempunyai
prognosis jangka panjang lebih baik daripada orang tua, besarnya
e. B4 (Bladder)
Pengkajian didapatkan: Perubahan eliminasi uri bisa terjadi
penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan akibat
menurunnya perfusi ginjal. Gejala awal mungkin ditemui retensi
urine akibat trauma atau terjadi penurunan kontrol sfingter
urinarius eksternal yang hilang atau berkurang.
f. B5 (Bowel)
Pengkajian didapatkan: Pemeriksaan rongga mulut
(ada/tidaknya lesi pada mulut, lembab/kering), muntah, kesulitan
menelan, nafsu makan menurun, konstipasi atau terjadi
perubahan eliminasi alvi serta adanya tanda-tanda penurunan
fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak
terdengar atau lemah.
g. B6 (Bone)
B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang direkomendasikan:
1. CT scan (tanpa/dengan kontras)
2. MRI
3. Foto polos kranium dan servikal
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa: Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan
dengan kehilangan fungsi otot-otot pernafasan, penurunan
ekspansi paru, dan depresi pada pusat pernafasan di otak
A. PENGKAJIAN
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat
trauma pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.
Pengkajian pada klien dengan cedera medula spinalis meliputi:
1. Identitas
Cedera Medula Spinalis kebanyakan (80%) terjadi pada usia sekitar
15-30 tahun. Kebanyakan dialami oleh laki-laki dari pada
perempuan dengan perbandingan 8:1, sebagian besar
penyebabnya karena kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja.
Sedangkan penyebab lainnya adalah karena jatuh dari ketinggian,
cedera olah raga, RA (Reumatoid Artritis) atau osteoporosis
bahkan akibat penganiayaan (community violence). Dari data yang
diperoleh dari RSUD Dr.Soetomo Surabaya Jawa timur ditemukan
111 kasus pertahun untuk kejadian cedera medula spinalis.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan
pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat
Cedera Medspin.
a. Keadaan Umum
Pada umumnya terjadi defisit neurologis dan status
kesadaran pada fase awal kejadian trauma, terutama pada
klien yang diindikasikan cedera spinal tidak stabil.
b. B1 (Breathing)
Pada klien dengan cedera Medspin beresiko tinggi
mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti
jantung-paru. Selain itu bila terjadi lesi diatas Cervikal 4
dapat terjadi depresi nafas. Pengkajian meliputi: penilaian
pada kepatenan jalan nafas, Penurunan kekuatan batuk
karena paralysis abdominal dan otot pernafasan sehingga
sulit membersihkan sekresi bronkial dan faring, nafas
pendek, sulit bernafas, pernafasan dangkal, periode apneu,
penurunan bunyi nafas, terdapat ronkhi, adanya pucat
maupun sianosis.
c. B2 (Blood)
Pengkajian didapatkan: Hipotensi, Hipotensi postural,
Hipotensi Ortostatik (fase akut), Bradikardi, extremitas dingin
dan pucat, gangguan kontrol suhu, hilangnya keringat pada
daerah yang terkena, rasa berdebar-debar serta pusing
disaat melakukan perubahan posisi atau bergerak.
Gambar 24.
Distribusi area
yang dipersarafi
oleh Saraf Tepi
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kehilangan fungsi
otot-otot interkostal akibat cedera Medspin
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penurunan refleks batuk
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan
ketahanan sekunder akibat paralisis parsial atau total
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilitas
5. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan hilangnya
persarafan kandung kemih atau penurunan spincter uri
6. Konstipasi berhubungan dengan ileus paralitik dan dilatasi gaster
selama spinal syok.
7. Perubahan persepsi-sensori: perabaan berhubungan dengan
kerusakan traktus sensori, penurunan rangsang lingkungan
8. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder akibat cedera Medspin.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kehilangan
fungsi otot-otot interkostal akibat cedera Medspin
a) Ajarkan Klien untuk melakukan latihan nafas dalam
b) Observasi warna kulit, adanya sianosis
DAFTAR PUSTAKA
ASUHAN KEPERAWATAN
Trauma Kepala
Saraf
Observasi 24 Jam
BLPL
Head CT Scan
Intra Cerebral Hematom > 30 cc (+) dan atau Intra Cerebral Hematom > 30 cc (-) dan
Sub Dural Hematom Luas (+) dan atau Sub Dural Hematom Luas (-) dan
Epidural Hematom (+) dan atau Epidural Hematom (-) dan
Fraktur depressed (+) dan atau Fraktur depressed (-) dan
Fraktur impressi (+) Fraktur impressi (-)
dr.Iwan Setiawan, MKes, Sp.S, kelahiran Bogor 6 Januari 1966, pendidikan SD,
SMP di Sukoharjo Surakarta, dan SMA negeri 3 Surakarta. Menyelesaikan
pendidikan dokter umum di FK Universitas Sebelas Maret Surakarta,
melanjutkan pendidikan S-2 dan Spesialisasi Saraf di FK Universitas Gadjah
Mada Jogjakarta. Saat ini bertugas di RSUD Pacitan dan sebagai tenaga
pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.