Anda di halaman 1dari 65

CEDERA KRANIOSEREBRAL

A.Pendahuluan
Cedera Kranioserebral (CK) atau trauma kranioserebral merupakan
cabang dari ilmu neurotraumatologi yang mempelajari pengaruh trauma
terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik
pada masa akut maupun sesudahnya. Cedera Kranioserebral dalam
berbagai literature disebutkan dengan berbagai macam istilah antara lain
Traumatic Brain injury (TBI), yang pada intinya menyatakan suatu cedera
akut pada susunan saraf pusat, selaput otak, saraf cranial termasuk
fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah,
baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun tidak
langsung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik
bersifat sementara atau menetap.
Di Indonesia CK yang terjadi sebagian besar adalah CK tertutup
akibat kekerasan (rudapaksa) karena kecelakaan lalu lintas (96%), dan
sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya 16%
membutuhkan tindakan operatif. Data-data di Indonesia (1984), terjadi
55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak
34 orang dan 80% penyebabnya adalah karena cedera kepala.
Data-data yang didapat di Amerika dan mancanegara lain, dimana
kecelakaan terjadi hampir setiap 15 menit. Sekitar 60% diantaranya
bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera
kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada
usia < 35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang
memerlukan tindakan operasi.

B.Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan kesadaran:
1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15):

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 1


2. Pasien dengan gangguan kesadaran :
2.1. Cedera Kranioserebral Ringan (GCS 13-15)
2.2. Cedera Kranioserebral Sedang (GCS 9-12)
2.3. Cedera Kranioserebral Berat (GCS < 8)
Klasifikasi lain cedera kranioserebral berdasarkan :
1. Patologi :
1.1. Komosio serebri
1.2. Kontusio serebri
1.3. Laserasi serebri
2. Lokasi lesi :
2.1. Lesi difus jaringan otak
2.2. Lesi kerusakan vaskuler otak
2.3. Lesi fokal :
2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri
2.3.2. Hematoma intracranial :
2.3.2.1. Hematoma epidural/ ekstradura (EDH)
2.3.2.2. Hematoma subdural (SDH)
2.3.2.3. Hematoma subarachnoid (SAH)
2.3.2.4. Hematoma intraserebral (ICH), intraserebelar
3. Derajat kesadaran :
Kategori GCS Gambaran Klinik CT Scaning
CK Ringan 13-15 Pingsan 10 mnt, defisit Normal
neurologik (-)
CK Sedang 9 - 12 Pingsan > 10 mnt s/d 6 Abnormal
jam, defisit neurologik (+)
CK Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit Abnormal
neurologik (+)

Catatan : CK dengan GCS 13-15, pingsan 10 menit, tanpa deficit neurology, tetapi pada hasil
scaning otak terlihat abnormal (perdarahan), maka doagnosis bukan CK ringan tetapi menjadi CK
sedang

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 2


C.Pemeriksaan Fisik
1. Status Presen (Fungsi Vital)
Meliputi pemeriksaan kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma
Scale. Pemeriksaan fungsi vital: tekanan darah, nadi, respirasi, serta suhu
tubuh dipantau secara berkala.
2. Status Lokalis
Dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya jejas, vulnus,
fraktur ataupun laserasi pada bagian tubuh lainnya.
3. Status Neurologis
Dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal, harus hati-hati bila
ada kecurigaan trauma servikal. Pemeriksaan saraf otak dari N.I sampai
dengan N.XII dan pemeriksaan dolls eye phenomen, harus hati-hati bila
ada trauma servikal. Pemeriksaan motorik dicari kemungkinan adanya
parese pada ekstremitas, demikian juga pemeriksaan sensorik apakah
ada hipestesi atau anestesi. Pemeriksaan refleks fisiologis dilihat adakah
peningkatan refleks dan pemeriksaan refleks patologis apakah positif atau
negatif.

D.Gejala dan tanda-tanda klinis


Cedera kranioserebral (CK) akan menyebabkan kerusakan / lesi
primer dan sekunder:
Lesi primer ialah cedera kranioserebral yang timbul pada saat
rudapaksa, bersifat lokal maupun difus. Lokal seperti robekan kulit
kepala, otot-otot dan tendo pada kepala, fraktur tulang tengkorak,
dan Difus merupakan cedera axonal difus dan kerusakan
mikrovaskuler.
Lesi sekunder terjadi setelah rudapaksa akan timbul iskemia,
edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan
epidural, perdarahan subarakhnoid, rusaknya sawar darah otak,
iskemik jaringan, hipertermi, hipoksia dan infeksi.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 3


Bagan Efek cedera tertutup kranioserebral

Cedera kranioserebral primer dapat menimbulkan kerusakan pada :


1. Kulit kepala : laserasi, luka robek atau hematoma
2. Tulang tengkorak : fraktur linier, kompresi atau fraktur basis kranii.
Fraktur basis kranii, gejala klinisnya : perdarahan telinga (Otorrhoe),
perdarahan hidung (Rhinorrhoe), hemotimpanum atau laserasi liang
telinga luar, post-auricular ecchymosis (Battles sign), peri-orbital
ecchymosis (Raccoons eyes), dan ditemukan cedera saraf
kranialis. Pemeriksaan penunjang foto kepala dengan posisi basis
kranii atau CT scan kepala.

Gambar 1. Rontgen cranium


dengan gambaran fraktur di regio
temporal

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 4


Gambar 2.Tanda fraktur basis kranii

Gambar 3. Raccoons eyes Gambar 4. Battles sign

3. Wajah : fraktur os nasal, fraktur mandibula atau fraktur multiple


4. Jaringan otak : bisa timbul cedera fokal atau diffuse
a. Fokal : Terdiri dari Efek dari Coup dan kontra Coup.
Kerusakan otak menekan permukaan yang berlawanan.
Gerakan otak memutar membentur permukaan tulang.
Rotasi otak menyebabkan streching (penarikan paksa).

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 5


akan timbul edema, laserasi, perdarahan atau kontusio,
sering pada lobus temporal dan frontal, biasanya multipel
mungkin bilateral.

Gambar 5.Cedera Coup dan Kontra Coup

b. Diffuse : biasanya Diffuse Axonal Injury (DAI) lesi terutama di


daerah subcortical.
5. Selaput otak (duramater) : akibat cedera kranioserebral dapat
timbul perdarahan pada epidural, subdural, ataupun sub-arachnoid.

Pada cedera kranioserebral sekunder akan terjadi pelepasan


komponen-komponen yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi
seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium intrasel (Calcium Influx),
pelepasan radikal bebas. Disfungsi neuron terjadi akibat pertukaran ion

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 6


(sift ion), perubahan metabolisme, gangguan konektivitas dan perubahan
neurotransmisi.
Perubahan ion/metabolit akut meningkatkan kalium ekstra seluler
dan pelepasan neurotransmiter eksitatori glutamat, yang akan
meningkatkan kainate, NMDA, AMPA. Perubahan ion ini disebabkan
karena gangguan pada membran neuron dan peregangan aksonal.
Kaskade ini akan menyebabkan depresi neuronal yang menjadi dasar
penyebab penurunan kesadaran, amnesia, dan disfungsi kognitif yang lain.
Untuk mengkompensasi masuknya ion intra sel lebih lanjut dengan jalan
mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan penggunaan
glukosa (glicolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang
menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang
menyebabkan asidosis laktat, kerusakan mikrovaskuler, perubahan
permiabilitas Blood Brain Barier , edem dan iskemik. Akhirnya terjadi
kerusakan myelin atau axon.

Kaskade Cedera Sekunder setelah Cedera Otak dan Medula Spinalis


(Journal Neurosurgery.1986; 64:95-961)

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 7


Berat ringannya cedera kranioserebral ditentukan berdasarkan penurunan
tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran dapat dinilai secara kwanlitatif dan
dengan cara kwantitatif menggunakan skala koma Glasgow (GCS).
Menurut Advanced Neuro Critical Care Support (2009) berat ringannya
cedera kranioserebral dapat dibagi menjadi:
1. Minimal (Simple Head Injury) :
- nilai GCS = 15 (normal)
- tidak ada hilang kesadaran
- tidak ada amnesia
2. Cedera Kranioserebral Ringan (Komosio Serebri) yaitu:
- nilai GCS = 14 atau
- nilai GCS = 15, dengan amnesia pasca cedera < 24 jam atau
hilang kesadaran < 10 menit, dapat disertai gejala lain,
misalnya : mual, muntah, nyeri kepala, atau vertigo, tidak
ditemukan defisit neurologis.
3. Cedera Kranioserebral Sedang (Komosio Serebri atau Kontusio
Serebri) :
- nilai GCS 9 13
- hilang kesadaran lamanya > 10 menit tapi < 6 jam
- dapat atau tidak ditemukan defisit neurologis fokal
- amnesia post CK selama < 7 hari
4. Cedera Kranioserebral Berat
- nilai GCS 5-8
- hilang kesadaran > 6 jam
- ditemukan defisit neurologis
- amnesia post CK > 7 hari
5. Kondisi Kritis
- nilai GCS 3-4
- hilang kesadaran > 6 jam
- ditemukan defisit neurologis

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 8


E.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi konservatif (non bedah) bertujuan untuk :
1. Pasien yang tidak ada indikasi operasi
2. Mengobati simptom akibat trauma otak
3. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
4. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misalnya kejang,
nyeri kepala, vertigo, infeksi
5. Mencegah dan mengobati brain swelling
6. Mencegah dan meminimalisasi kerusakan sekunder
7. Pasien post operasi, untuk mengoptimalkan kemampuan jaringan
otak yang masih normal
Tujuan akhirnya adalah memberikan perbaikan optimal pada neuron.

Indikasi operasi
Sedangkan terapi operatif diindikasikan untuk kasus-kasus:
1. Pada cedera kranioserebral tertutup :
a. Fraktur impresi
b. Perdarahan epidural
c. Perdarahan subdural
d. Perdarahan intraserebral
e. Operasi dekompresi, misalnya pada kontusio berat dengan
edema serebri
2. Pada cedera kranioserebral terbuka :
a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukan luka kulit,
fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi otak
b. Liquorhea
c. Pneumoencephali
d. Corpus alienum
e. Luka tembak

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 9


Penanganan cedera berdasarkan berat ringannya cedera:
1. Simple Head Injury
a. Tanpa penurunan kesadaran
- perawatan luka
- pemeriksaan radiologi atas dasar indikasi
- tak perlu dirawat
- pesan pada keluarga : observasi kesadaran
b. Kesadaran terganggu sesaat
- Pasien sadar saat diperiksa, tidak ditemukan amnesia
- lakukan pemeriksaan radiologi
- observasi di rumah sakit/ IGD selama 6-8 jam
2. Cedera Kranioserebral Ringan (Komosio Serebri)
a. Tirah baring, lamanya disesuaikan dengan keluhan (vertigo,
sefalgia), bila tidak ada keluhan boleh mobilisasi
b. Observasi adanya lucid interval; dimana kesadaran makin
menurun atau adanya lateralisasi
c. Dilakukan pemeriksaan radiologi dan atau CT Scan (jika
tersedia)
d. Simptomatis : anti vertigo, antiemetik, analgetika
e. Perawatan luka dan antibiotika : jika terdapat luka
f. Pasien harus dirawat
g. Follow up GCS harus dilakukan secara berkala (tiap 30
menit)
3. Cedera Kranioserebral Sedang (Kontusio Serebri)
Pada keadaan ini pasien dapat mengalami gangguan
kardiopulmoner, urutan penatalaksanaan sebagai berikut :
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas (airway), pernafasan
(breathing) dan sirkulasi darah (circulation)
b. Nilai tingkat kesadaran, pupil, gejala fokal neurologis, dan
cedera organ lain
c. Bila curiga fraktur leher pasang cervical collar
d. Foto kepala dan leher, CT Scan (jika tersedia)

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 10


e. Observasi fungsi vital, GCS, pupil, defisit neurologi.
f. Pasien harus dirawat
4. Cedera Kranioserebral Berat
a. Pasien biasanya disertai cedera multipel
b. Biasanya disertai juga kelainan sistemik
c. Pasien sering dalam keadaan hipoksi, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardio-pulmonal, urutan
tindakan menurut prioritas sbb:
A (Airways)
B (Breathing)
C (Circulation)
d. Pemeriksaan fisik
e. Harus dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala (40% masa/
hematom intrakranial, midline shift > 5mm atau hematom >
25 cc indikasi operasi)

Urutan Penatalaksanaan Umum Cedera Kranioserebral :


A. Resusitasi JPO (tindakan A-B-C)
Airways (jalan nafas) bebaskan jalan nafas, pasang pipa
orofaring
Breathing (pernafasan) berikan oksigenasi, cari faktor penyebab,
ventilator jika diperlukan
Circulation (Sirkulasi) jaga euvolemia, hentikan perdarahan,
perbaiki fungsi jantung, ganti darah yang hilang, pertahankan
Tekanan darah > 100 mmHg untuk mencegah iskemik otak
B. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos kranium dan foto servikal dilakukan dalam
segala kondisi pasien
Pemeriksaan CT Scan kepala, untuk melihat : hematom, edema
serebri, fraktur kranium, midline shift. Untuk pasien dengan
kesadaran penuh (GCS 15) CT scan rutin tidak direkomendasikan,

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 11


kecuali didapatkan nyeri kepala berat yang menetap, muntah, dan
atau kelainan neurologi fokal.

Gambar 6.Epidural hematom Gambar 7.Subdural hematom

Gambar 8.Epidural hematom Gambar 9.Subdural hematom

Gambar 10.Subarakhnoid hematom Gambar 11.intracerebral hematom

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 12


C. Penatalaksanaan Tekanan Tinggi Intrakranial:
1. Hiperventilasi terkontrol dengan tekanan pCO2 27-30,
dimana terjadi vasokonstriksi, sehingga aliran darah ke
serebral akan berkurang.
2. Terapi diuretik (hiperosmoler) : mannitol 20% dosis 0,25-1
gram/kgbb (200cc-150cc-150cc-150cc selang 6 jam),
mannitol atau cairan osmotik lain mempunyai efek
vasokonstriksi pembuluh darah piamater dan arteri basiler,
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow.
Pemberian mannitol jangan melebihi 3 hari dan hindari drip
kontinyu. Efek samping berupa rebound peningkatan
tekanan intra kranial pada disfungsi sawar darah otak,
overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal
ginjal.
3. Terapi barbiturat : diberikan pada Pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter tanpa cedera
difus, autoregulasi baik dan fungsi kardiovaskuler adekuat,
diberikan dengan dosis 10 mg/kgbb selama jam.
Mekanisme kerja barbiturat : menekan metabolisme serebral,
menurunkan aliran darah ke otak, menurunkan volume darah
serebral, merubah tonus vaskuler.
4. Steroid : masih kontroversi, tidak direkomendasikan untuk
menurunkan tekanan intrakranial.
5. Posisi tidur 30o , dengan kepala dan dada pada 1 bidang,
untuk menjaga venous return. Hindari fleksi atau laterofleksi,
supaya vena leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak
menjadi lancar.
6. Suhu tubuh normal < 37,5o C
7. Mengatasi kejang
8. Mengatasi rasa nyeri
9. Menghilangkan rasa cemas

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 13


10. Hindari keadaan yang dapat meningkatakan TIK, seperti :
batuk, mengejan, penghisapan lendir berlebihan
D. Keseimbangan Cairan dan elektrolit
1. Dapat dipakai NaCl 0,9% atau RL hindari yang mengandung
glukosa hiperglikemi akan menambah edema
2. Batasi pemberian cairan 1500-2000 cc sehari (mencegah
pertambahan edema serebri)
E. Nutrisi
Cedera otak peningkatan kadar epinefrin hipermetabolisme
menyebabkan katabolisme protein
Hari pertama dan kedua sebaiknya Pasien dipuasakan
Hari 3-4 pemberian cairan parenteral, pemberian nutrisi lewat
sonde 2000-3000 kalori/hari
F. Kejang
Saat kejang : berikan diazepam 10 mg iv, dilanjutkan fenitoin 200
mg per oral, selanjutnya diberikan fenitoin 3x100mg/ hari.
Pada status epileptikus : diberikan diazepam 10 mg iv dapat
diulang 2-3 x selang 15 menit. Bila cenderung berulang diberikan
Fenitoin 50 100mg/ 250ml NaCl 0,9% dengan tetesan 20-30
tts/mnt.
Pemberian fenitoin profilaksis pada CKB (severe traumatic brain
injury) dengan risiko kejang tinggi, efektif menurunkan risiko kejang
pasca truama awal (dalam waktu 7 hari setelah trauma). Fenitoin
profilaksis diberikan dengan dosis 3-4 x 100 mg/ hari selama 7 hari.
G. Infeksi
Diberikan antibiotika profilaksis bila ada risiko tinggi infeksi,
misalnya fraktur terbuka dan luka.
H. Demam
Diberikan antipiretika dan dicari kemungkinan penyebabnya.
I. Gastrointestinal
Sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastrointestinal lain, 10-
40% akan terjadi perdarahan.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 14


J. Gelisah
Cari penyebab gelisah (kesulitan bernafas, kandung kencing penuh,
nyeri karena patah tulang, sakit kepala, dll). Dapat diberikan
penenang per oral dan tidak menimbulkan depresi pernafasan,
dapat juga diberikan antikonvulsan, antipsikotik

F.Serebral Proteksi
Neuroprotektor yang diberikan diawal setelah cedera otak, dapat
menekan kematian dan menambah perbaikan fungsi otak. Sejak awal
manajemen sudah harus dideteksi dan dilakukan pencegahan terhadap
efek sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya
komplikasi sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi
intervensi non farmasi.
Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral adalah
kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang dapat
memperburuk kondisi serebral iskemia.
Adanya tenggang waktu antara cedera otak (primary insult) dengan
timbulnya kerusakan jaringan saraf (secondary effect), memberikan waktu
bagi kita untuk memberikan neuroprotektor. Obat-obatan yang dapat
digunakan antara lain antagonis kalsium (nimodipin) yang terutama
diberikan pada perdarahan subarahnoid (SAH), citikolin dan piracetam
dianggap berperan sebagai neuroproteksi.

G.Neurorehabilitasi
Posisi baring dirubah setiap 8 jam dan gerakan ekstremitas secara pasif
untuk mencegah pneumonia ortostatik dan decubitus.
Tindakan rehabilitasi meliputi:
1. Mobilisasi bertahap dilakukan setelah keadaan klinis stabil
2. Latihan otot untuk mencegah kontraktur
3. Terapi wicara jika ada gangguan bicara
4. Terapi okupasi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 15


H.Komplikasi cedera Kranioserebral
1. Postconcussion Syndrome : sekitar 40% Pasien cedera otak
mengeluhkan nyeri kepala, dizzines, kelelahan, insomnia atau
hipersomnia, pandangan kabur, tinnitus, gangguan konsentrasi.
Gejala post traumatik ini paling banyak terjadi pada Pasien dengan
riwayat gejala psikiatrik sebelum terjadi cedera. Lamanya gejala
postconcussion ini tidak tergantung dari berat ringannya cedera,
Pasien dengan CK ringan dapat mengalami keluhan
postconcussion dalam waktu yang lama, demikian sebaliknya. Di
samping lesi fokal terdapat mekanisme lain ialah disfungsi HPA
axis (Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis) yang menyebabkan
depresi. Penanganan Pasien postconcussion meliputi psikoterapi,
terapi kognitif dan terapi kerja (occupational theraphy).
2. Post-Traumatic Seizure / Epilepsy : Bisa terjadi segera (immediate)
dalam 24 jam, atau dini (early) dalam minggu pertama, atau lambat
(late) setelah minggu pertama. Insiden bangkitan (seizure) setelah
trauma kranioserebral bervariasi 2,5% - 40%. Pada cedera otak
berat mempunyai peluang yang lebih besar untuk berkembang
terjadinya bangkitan. Beberapa faktor risiko adalah keadaan
sebagai berikut : fraktur tengkorak yang impressi, trauma penetrasi,
perdarahan intrakranial (epidural, subdural, intraparenkhim),
penurunan kesadaran yang lama (>24 jam)/ koma dan kejang.
3. Gangguan Fungsi Kognitif : bebapa pasien dengan cedera otak
berat menunjukkan perubahan kognitif setelah pulih sadar dari
koma yang lama. Perubahan yang biasa terjadi adalah agitasi dan
gangguan orientasi serta gangguan memori, atensi, konsentrasi,
gangguan bahasa dan gangguan kepribadian.
4. Post-Traumatic Movement disorder : gangguan gerak merupakan
sekuele yang jarang dijumpai pada cedera otak. Gangguannya
biasanya berupa intention tremor dan resting tremor.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 16


I.Prognosis
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20
mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20
mmHg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit CK berat
mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post
trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan
amnesia. Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera
kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area
kerusakan cedera pada otak, mekanisme cedera dan umur.
Glasgow Outcome scale (GOS)
v Good recovery :[G] :
Pasien pulih ketingkat fungsi sebelum cedera
v Moderately disabled :[MD] :
Pasien dengan defisit neurologis namun mampu merawat diri
sendiri
v Severely disabled :[SD] :
Pasien tidak mampu merawat diri sendiri
v Vegetative :[V] :
Tidak ada tanda-tanda berfungsinya mental luhur
v Dead :[D]

Outcome yang baik (G,MD)


Outcome yang buruk (SD,V, atau D).

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 17


CEDERA MEDULA SPINALIS
A.Pendahuluan
Cedera medula spinalis terjadi sekitar 10.000 kasus pertahun,
prevalensinya di Amerika kurang lebih 200.000 pasien, kira-kira 10.000
orang meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan cedera
medula spinalis. Kasus baru cedera medula spinalis diduga setiap tahun
terjadi sekitar 15-50 per sejuta penduduk, sementara angka prevalensi
sekitar 900 per sejuta. Cedera medula spinalis 80% terjadi pada pria usia
sekitar 15-30 tahun. Menurut Prihardadi dan Prijambodo (1990), cedera
tulang belakang yang masuk di RSUD Dr. Soetomo rata-rata 111 kasus
pertahun. Sejak tahun 19831997 terdapat 1592 kasus yang dirawat di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya (data Panitia Medik Pengembangan Tulang
Belakang).
Cedera medula spinalis (CMS) atau cedera spinal adalah cedera
pada tulang belakang yang menyebabkan penekanan pada medula
spinalis sehingga menimbulkan myelopati dan merupakan keadaan
darurat neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat
untuk mengurangi kecacatan.
Medula spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa
mekanisme. Cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan
gaya: kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
Mekanisme yang paling sering ditemui adalah kombinasi dari benturan
akut dan kompresi persisten yang terjadi pada burst fractur atau fraktur
dislokasi dengan kompresi persisten pada medula spinalis oleh tulang,
diskus, hematom atau kombinasinya.

B.Klasifikasi cedera medula spinalis


American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan
International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah
mengembangkan dan mempublikasikan standart international untuk
klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi ini
berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 18


dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan
komprehensif.

Skala kerusakan menurut ASIA / IMSOP


Grade A Komplit Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang
diinervasi oleh segmen sakral 4-5
Grade B Inkomplit Fungsi sensorik tetapi bukan motorik di
bawah tingkat lesi dan menjalar sampai
segmen sakral (S4-5)
Grade C Inkomplit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat
lesi dan mayoritas otot-otot penting dibawah
tingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3
Grade D Inkomplit Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat
lesi dan mayoritas otot-otot penting memiliki
nilai lebih dari 3
Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.

Gambar 12. Tingkat lesi dan disfungsi neurologis

C.Patofisiologi
Menurut Grover (2001) trauma pada medula spinalis seringkali
menyebabkan gangguan langsung dan lengkap dari fungsi medula
spinalis, meskipun demikian secara anatomis medula sendiri jarang ter-
transeksi. Cedera primer ditimbulkan oleh adanya pengaruh kekuatan dan
tekanan langsung terhadap medula spinalis yang mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah kecil intrameduler, menyebabkan

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 19


perdarahan pada substantia grisea dan mungkin vasospasme. Semua ini
mengakibatkan penurunan langsung aliran darah pada substantia grisea
kemudian diikuti oleh pengurangan yang serupa pada substantia alba.
Akibat selanjutnya akan terjadi iskemik yang memacu peristiwa kaskade
biokimiawi yang menandakan dimulainya proses cedera sekunder.
Mekanisme cedera sekunder dapat dikategorikan sebagai
mekanisme sistemik, ekstraseluler, intraseluler. Meskipun masih ada
tumpang tindih, mekanisme sistemik cedera sekunder mencakup
hemodinamika dan terjadinya hipoksia. Sementara mekanisme
ekstraseluler terutama edem dan cedera vaskuler yang mengakibatkan
vasospasme, iskemi dan perdarahan. Mekanisme intraseluler dalam
neuron dan glia terdiri atas banyak proses seperti eksitotoksisitas dan
produksi radikal bebas.

Gambar 13. Cedera medula spinalis pada fraktur dislokasi

Mekanisme trauma banyak tergantung pada jenis penyebab terjadinya


taruma, yaitu:
- Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi.
- Jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kali tinggi tubuh pasien.
- Beban aksial tinggi seperti seperti pada cedera saat menyelam.
- Kekerasan di daerah spinal : tikaman, tembakan.
- Kecelakaan olah raga.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 20


D.Cedera Whiplash
Gerakan tiba-tiba hiperekstensi kemudian diikuti hiperfleksi cervikal,
menyebabkan cedera jaringan lunak spinal, tidak ada kerusakan medula
spinalis. Cedera Whiplash tingkat I hanya berupa keluhan nyeri dan
kekakuan leher, sementara tingkat II disertai dengan terbatasnya ROM
(Range of Movement) dan adanya beberapa titik nyeri. Beberapa gejala
yang ditemukan pada cedera Whiplash adalah:
1. Nyeri leher yang bertambah pada 24 jam pertama.
2. Nyeri kepal, nyeri menjalar (radiating) ke arah kedua pundak dan
parestesi pada tangan.
3. Gerak fleksi lateral berkurang.
4. Fleksi ke depan (forward flexion) melawan tahanan menyebabkan
nyeri.
5. Sekitar 90% asimptomatik setelah 2 tahun, sementara 10% kasus
masih merasakan nyeri.

Gambar 14. Proses cedera Whiplash

E.Gejala dan Tanda-tanda klinis


Cedera medula spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda-
beda tergantung letak lesi dan luas lesi, dan dapat dibedakan menjadi 4
kelompok, yaitu :

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 21


Sindroma Kausa utama Gejala dan tanda klinis
Hemicord (Brown Cedera tembus, kompresi Gangguan kontralateral,
Sequard syndrome) ekstrinsik parese ipsilateral, ggn
propioseptif ipsilateral, rasa
raba normal
Sindroma Spinalis Infark a.spinalis anterior, Ggn sensorik bilateral,
Anterior (Anterior HNP iskemik akut propioseptif normal, parese
Cord syndrome) UMN dibawah lesi, parese
LMN setinggi lesi, disfungsi
spincter
Sindroma Spinalis Syringomyelia, hypotensive Parese LMN pada lengan,
sentral (Central spinal cord ischemic, parese tungkai, dan
Cord syndrome) trauma spinal (fleksi- spastisitas. Nyeri hebat dan
ekstensi), tumor spinal hiperpati, ggn sensorik pada
lengan, disfungsi spincter
atau retensio urin
Sindroma Spinalis Trauma, infark a.spinalis Gangguan propioseptif
Posterior (Posterior posterior bilateral, nyeri dan parestesi
Cord syndrome) pada leher, punggung dan
bokong, parese ringan

Gambar 15.Brown Sequard syndrome Gambar 16.Anterior Cord syndrome

Gambar 17.Central Cord syndrome Gambar 18.Posterior Cord syndrome

Berdasarkan letak tinggi lesi, cedera medula spinalis dapat dikelompokkan


menjadi :
1. Servikal
Cedera C1-C3:
- Fungsi: rotasi/ fleksi/ ekstensi leher, bicara dan menelan.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 22


- Lumpuh keempat anggota gerak, gerak kepala dan leher sangat
terbatas, aktifitas harian dependen total, pernafasan tergantung
pada ventilator.
- Pada trauma gantung (Hangmans fracture) terjadi fraktur pedikel
bilateral dan avulsi arkus lamina C2, serta dislokasi C2-C3 ke
depan.
Cedera C4:
- Fungsi: kontrol gerak kepala/ leher/ pundak, inspirasi (diafragma).
- Seperti lesi C1-C3 namun pernafasan tanpa respirator walaupun
refleks batuk menurun. Komunikasi lebih baik dari C1-C3
Cedera C5:
- Fungsi: gerak leher, pundak, supinasi tangan.
- Masih dapat makan, minum, gosok gigi namun untuk BAB, BAK
harus dibantu.
Cedera C6:
- Fungsi: ekstensi dan fleksi pergelangan tangan, ekstensi siku
(elbow).
- Mungkin dapat mendiri untuk BAB dan BAK.
Cedera C7:
- Fungsi: fleksi dan ekstensi siku (elbow).
- Semua gerak tangan dapat dilakukan.
Cedera C8-T1:
- Fungsi: fleksi dan ekstensi jari, gerak ibu jari, mengipaskan jari
tangan. Semua gerak tangan dapat dilakukan.
- Pasien dapat independent.
2. Torakal
Pada lesi tingkat torakal dapat terjadi peralisis flasid, gangguan fungsi
kemih dan gangguan sensasi dibawah tingkat lesi. Dapat terjadi ileus
paralitik temporer. Pada cedera T1-T2, pasien biasanya independen
dan hanya membutuhkan bantuan untuk pekerjaan rumah yang berat.
3. Lumbosakral

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 23


Cedera L1-L5 (fungsi: fleksi paha, ekstensi lutut, dorsofleksi ankle,
ekstensor ibu jari kaki) dan cedera S1-S5 (fungsi: plantar fleksi ankle,
fungsi BAB, BAK, seksual), biasanya pasien independent.

Gambar 19.Distribusi dermatom saraf spinalis

Terdapat beberapa hal khusus yang berkaitan dengan cedera medula


spinalis akut:
1. Sacral Spharing
Suatu keadaan utuhnya fungsi radiks saraf sakral seperti gerakan ibu
jari kaki atau sensasi peri-anal. Keadaan ini menunjukkan
kemungkinan dapat pulihnya fungsi saraf.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 24


2. Syok Neurogenik
Cedera yang menyebabkan hilangnya kontrol otak terhadap tubuh
sehingga terjadi keadaan vasoparalysis (tonus simpatis) yang
menyebabkan keadaan syok, yaitu:
- Lesi diatas Th-6 (lesi servikal atau thorakal tinggi).
- Terjadi dalam menit-jam (penurunan katekolamin dapat terjadi
dalam 24 jam).
- Terputusnya persarafan simpatis mulai Th-1 sampai L-2.
- Tonus vagal yang tidak sejalan.
- Vasodilatasi perifer (arteri dan vena) menyebabkan hipovolemi.
- Cardiac output menurun.
- Penurunan pelepasan epinefrin sehingga terjadi hipotensi,
bradikardi dan vasodilatasi dan hipotermi.
- Pertimbangankan suatu syok hemoragik jika cedera dibawah Th-6,
terdapat cedera mayor lain.
3. Syok Spinal
Merupakan suatu keadaan depresi refleks fisiologis (arefleksia) yang
sementara (gegar medula spinalis) dengan gejala:
- Mekanisme syok spinal belum jelas, diduga karena disfungsi
membran akson dan neuronal yang bersifat sementara,
menyebabkan gangguan kesetimbangan neurotransmiter dan
elektrolit.
- Hilangnya tonus anal, refleks, dan kontrol otonom dalam 24-72 jam
- Hipotensi, bradikardia, hiperemia pada kulit, akral hangat,
gangguan kontrol suhu.
- Paralisis flasid, gangguan kontrol BAK dan BAB, serta priapism
berkepanjangan.
- Dapat terjadi beberapa jam setelah cedera dan bertahan beberapa
hari hingga beberapa bulan hingga pulihnya lengkung refleks
neural dibawah lesi, kecuali jika terjadi kerusakan yang berat pada
medula spinalis.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 25


- Makin tinggi letak lesi dan makin berat cedera yang terjadi
menyebabkan syok spinal makin berat dan lama.
F.Kriteria Diagnosis
Tergantung dari letak dan tipe lesi medula spinalis dan vertebra.
Lesi medula spinalis:
a. Lesi komplit (total) medula spinalis
- hilangnya seluruh modalitas sensorik di bawah tempat lesi
- tetraplegi/ paraplegi.
- kontrol miksi dan defeksi menghilang.
- aktivitas refleks mula-mula menghilang kemudian meningkat
(hiper-refleksi).
- gangguan termoregulasi jika diatas segmen Th 9-Th10.
- hipotensi ortostatik dapat terjadi pada fase akut.
b. Lesi parsial :
- Lesi anterior : bilateral paresis dan hilangnya sensasi nyeri dan
temperatur, dengan sensasi posisi, sentuhan, dan vibrasi relatif
utuh, disebelah kranial dari lesi.
- Lesi unilateral (BrSeqSind): ipsilateral paresis, hilangnya
sensasi propioseptif, ipsilateral, hilangnya sensasi nyeri dan
temperatur kontralateral.
- Lesi sentral : paresis berat setinggi lesi, gangguan sensasi
nyeri dan temperatur bersifat segmental dan dissosiatif.
c. Lesi vertebral :
- Adanya deformitas.
- Pembengkakan.
- Nyeri setempat.
- Keterbatasan gerakan spinal.

G.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
a. Darah perifer lengkap.
b. Gula darah sewaktu, ureum, kreatinin.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 26


2. Radiologi:
a. Foto vertebra posisi AP/ lateral dengan sentrasi sesuai dengan
letak lesi.
b. CT scan atau MRI jika diperlukan tindakan operasi. MRI
menggambarkan keadaan jaringan dan medula spinalis dengan
lebih akurat.
c. Myelografi atau CT-mielografi dilakukan jika tidak tersedia MRI.
3. Neurofisiologi Klinik:
a. EMG (Electro Miography).
b. NCV (Nerve Conduction Velocity).
c. SSEP (Somato Sensoric Evoked Potential).

MRI MRI

Gambar 20. kompresi vertebra Gambar 21. dislokasi vertebra

Gambar 22. Dislokasi vertebra cervical

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 27


H.Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi cedera medula spinalis ditujukan untuk: 1)
melindungi medula spinalis dari kerusakan lebih lanjut, 2)
mempertahankan struktur tulang belakang yang memungkinkan
pemulihan maksimal pada lesi inkomplit, 3) mencapai stabilitas vertebra
yang memungkinkan rehabilitasi.
Satu hal penting dalam trauma medula spinalis adalah terjadinya
kerusakan sekunder menyusul terjadinya trauma mekanik yang
menyebabkan kerusakan langsung atau primer pada medula spinalis.
Meskipun cedera sekunder diawali sejak saat trauma, namun mempunyai
kecenderungan untuk memburuk selama beberapa jam pertama setelah
trauma. Terapi setelah rentang waktu tersebut potensial untuk mencegah
atau mengurangi proses kerusakan ini. Makin parah cederanya, maka
proses cedera sekundernya makin awal dan makin berat.
Perhatian khusus harus diberikan pada kelompok pasien tertentu,
yaitu pada:
- Pasien anak-anak.
- Orang tua lebih dari usia 55 tahun: risiko artritis servikal degeneratif.
- Sindrom Down : risiko instabilitas atlanto-aksial.
- Spina bifida.
- Penyakit tulang degeneratif.
- Tumor vertebra: risiko fraktur patologis.
Penatalaksanaan cedera medula spinalis meliputi :
1. Umum
a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis dan
torakal atas, imobilisasi servikal dan torakal saat transfer pasien
segera pasang kerah fiksasi leher (cervical coller).
b. Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis bawah, angkut pasien
dalam keadaan tertelungkup untuk menjamin ekstensi ringan
vertebra, lakukan fiksasi torakal (pakai korset).
c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 28


d. Kerusakan medula spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh
darah menurun karena paralisis fungsi sistem saraf simpatik,
akibatnya tekanan darah turun, beri infus bila mungkin plasma,
dextran-40 atau ekspafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan
cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu
berikan adrenalin 0,2 mg s.c, boleh diulang 1 jam kemudian. Bila
denyut nadi <44 kali/ menit, beri sulfas atropin 0,25 mg iv.
e. Gangguan pernafasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator
atau cara lain, dan jaga jalan nafas tetap longgar/ bebas.
f. Jika lesi diatas C-8, termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi
hiperhidrosis usahakan suhu badan tetap normal.
g. Jika ada gangguan miksi, pasang kondom kateter atau dauer
cateter dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma.
2. Medikamentosa
a. Berikan Metilprednisolon: dosis 30 mg/kg BB, iv perlahan-lahan
selama 15 menit. Metilprednisolon mengurangi kerusakan
membran sel yang berkontribusi terhadap kematian neuron,
mengurangi inflamasi dan menekan aktivitas sel-sel imun yang
mempunyai kontribusi serupa terhadap kerusakan neuron.
Kortikosteroid juga mencegah peroksidasi lipid dan peningkatan
sekunder asam arakidonat, mencegah peroksidasi lemak pada
membran sel.
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan:
diazepam 3 x 5-10 mg/hari,
baklofen 3x 5 mg hingga 3x 20mg sehari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan, antara lain:
analgetika
antidepresan
antianxietas
antikonvulsan
d. Bila terjadi hipertensi (tensi> 180/100 mmHg) dapat diberikan obat
antihipertensi.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 29


3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan bila:
a. Ada fraktur atau dislokasi vertebra yang labil, atau pecahan tulang
yang menekan medula spinalis.
b. Gangguan neurologis progresif memburuk.
c. Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla
spinalis.
4. Neuro-Rehabilitasi
Rehabilitasi dini untuk mencegah spasme fleksor bila perlu dengan
penggunaan splint khusus. Rehabilitasi medik termasuk terapi fisik,
okupasional dan vokasional.
Tujuan :
1. Penerangan & pendidikan kepada pasien dan keluarga
2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi & self-care dan atau
latihan langsung jika diperlukan.
3. Latih miksi dan defekasi rutine.
4. mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dll).
5. Nilai psikologis semangat hidup & hubungan komunitas.
6. Tentukan tujuan jangka panjang berdasarkan beratnya cedera dan
sumber keluarga/komunitas.
7. Mendorong untuk semaksimal mungkin untuk mandiri.
8. Waspada : atelektase paru atau pneumonia
9. Mencegah DVT (Deep Vein Thrombosis)
10. Mencegah dekubitus

I.Di Ruang Gawat Darurat


Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat, sebagai berikut:
1. Identifikasi pasien
2. Anamnesis: kualitas dan distribusi nyeri, hal yang meringankan dan
memperberat nyeri
3. Pemeriksaan Fisik

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 30


Penilaian awal (primary survey) dan penilaian lanjutan (secondary
survey)
a. A= Airway, B=Breathing, C=Circulation, D=Disability, E=Exposure
b. Pemeriksaan Neurologis cepat
c. Dokumentasi level cedera
d. Pikirkan kemungkinan cedera di tempat lain seperti abdomen,
thorak, anggota gerak dan kepala.
e. AMUST
A= Altered mental state. Adakah penggunaan alkohol atau drug
abuse?
M= Mechanism. Adakah keadaan potensial terjadinya cedera?
U= Underlying condition.Adakah risiko tinggi terjadinya fraktur?
S= Symptom. Adakah nyeri, parestesi, defisit neurologis?
T= Timing. Kapan gejala timbul setelah trauma?
f. Penatalaksanaan secara hati-hati dan cermat terutama bila pasien
tidak sadar. Pasien tidak sadar harus diamati : pernafasan
diafragmatik, tanda syok neurogenik (hipotensi, bradikardi), tanda
syok spinal (arefleksia flacid), hilangnya inervasi ekstensor dibawah
C5, respons nyeri hanya diatas klavikula, priapism
g. Dapat dilakukan manuver Jaw Thrust
h. Perbaiki deformitas umum vertebra
i. Konsultasi bagian anestesi jika ada paralisis diafragma atau
respirasi > 35 x/menit
j. Atasi bila ada hipotensi
k. Pertahankan tekanan arteri rerata 65-90 mmHg selama 7 hari
pertama perawatan untuk menghindari keadaan iskemia
l. Kateterisasi kandung kemih
m. Cairan intravena
n. Atasi segera nyeri dengan diberikan analgetik, bila perlu opiat dosis
kecil
o. Pertahankan suhu tubuh normal

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 31


J.Pasca Perawatan
Komplikasi yang sering terjadi saat perawatan adalah:
1. Lesi diatas C4 dapat terjadi depresi pernafasan.
2. Pada cedera servikal dan torakal dapat terjadi paralisis otot
interkostal dan otot abdomen.
3. Gangguan kardiovaskuler seperti bradikardia, vasodilatasi,
hipotensi terjadi pada lesi diatas Th-6 yang mempengaruhi sistem
saraf simpatis.
4. Retensi urin dapat terjadi karena atoni kandung kencing yang
menyebabkan overdistensi.
5. Lesi diatas Th-5 dapat menyebabkan hipomotilitas saluran
pencernaan, bila perlu berikan H2 blocker dan pasang NGT.
6. Gangguan BAB jika lesi dibawah Th-12.
7. Potensi luka pada kulit dan dekubitus.
8. Gangguan termoregulasi.
9. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis).
10. Autonomik disrefleksia, merupakan komplikasi utama dan keadaan
gawat darurat dengan gejala berat yang mengancam jiwa dengan
gejala: hipertensi akut, bradikardia, kemerahan (flushing) dan
berkeringat pada wajah, leher dan lengan, nyeri kepala hebat
berdenyut, berkeringat (diaforesis), penglihatan kabur.
Hal ini disebabkan adanya badai otonom yang terjadi pada fase
akut cedera medula spinalis.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 32


ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN CEDERA KRANIOSEREBRAL

Asuhan Keperawatan Cedera Kranioserebral merupakan salah satu


kegawatdaruratan. Mekanisme cedera mengacu pada terjadinya peristiwa
yang menimbulkan trauma, agens yang menyebabkan trauma, dan
informasi tentang tipe serta jumlah energi yang diubah pada saat kejadian
tersebut.
Informasi serta pengetahuan tentang cara terjadinya peristiwa akan
membantu identifikasi dini dan penatalaksanaan cedera yang mungkin
bisa mencegah Pasien jatuh pada keadaan yang lebih buruk. Penanganan
yang tepat dan cepat menjadi hal yang penting bagi kesembuhan dan
komplikasi yang dapat timbul pada Pasien dengan cedera kranioserebral
baik pre maupun intrahospital.

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien, baik subyektif atau obyektif pada
gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera
kranioserebral tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injury dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Cedera kranioserebral meliputi:
bagian kulit, bagian kranium (tengkorak), dan serebral (otak)
Pengkajian keperawatan cedera kranioserebral meliputi identitas,
anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat. Rata rata usia yang
mengalami cedera adalah antara 15 tahun sampai 35 tahun yang
mana merupakan usia pertumbuhan dan usia produktif atau usia
muda. Cedera Kranioserebral pada anak-anak mempunyai
prognosis jangka panjang lebih baik daripada orang tua, besarnya

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 33


potensi anak-anak dalam proses penyembuhan disebabkan oleh
plastisitas sistem saraf dan kemampuannya untuk terus tumbuh
dan berkembang. Selain identitas perlu diketahui tanggal dan jam
MRS (Masuk Rumah Sakit), nomor register dan Diagnosa Medis.

2. Anamnesis Riwayat Penyakit


a. Keluhan Utama
Berisi tentang alasan utama Pasien atau seseorang meminta
pertolongan kesehatan. Keluhan utama tergantung pada
seberapa jauh dampak cedera disertai perubahan tingkat
kesadaran
b. Riwayat Penyakit Saat ini :
Pengumpulan data yang tepat dan akurat tentang
mekanisme cedera akan berpengaruh dalam tindakan
keperawatan yang diberikan. Perlu kita kaji: Bagaimana Pasien
bisa mengalami cedera?, Bagaimana kondisi umum Pasien
saat kejadian (sadar/ tidak sadar, muntah/ tidak muntah,
disertai kejang atau tidak)? Ada atau tidak ada amnesia (hilang
ingatan)?, Durasi amnesia, Apakah mengalami kecelakaan lalu
lintas (tipe benturan tabrakan, lokasi Pasien dalam kendaraan,
pengaman berkendaraan, kecepatan berkendaraan)?, Apakah
mengalami luka karena jatuh (ketinggian tempat jatuh, bagian
kepala yang terbentuk, posisi saat jatuh, tipe permukaan
benturan)?, atau Apakah Pasien mengalami trauma langsung
pada bagian kepala (tipe trauma tumpul atau tajam)?.
Pengkajian yang didapat adalah penurunan tingkat
kesadaran, biasanya GCS<15, mengalami Interval lucida,
disorientasi orang/tempat dan waktu, konvulsi, mual-muntah,
adanya refleks babinski atau refleks patologis yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya kaku kuduk,
hemiparese / hemiplegia pada sisi kontralateral, dispnea/
takipnea, nyeri kepala atau pusing, wajah simetris/tidak, luka di

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 34


kepala, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor
dari hidung dan telinga, serta hipertermi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji mengenai riwayat penyakit yang terdahulu
meliputi: penyakit Hipertensi, riwayat cedera sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit hematologi,
penggunaan obat-obatan sebelumnya, serta konsumsi alkohol
berlebihan. Dari seluruh data yang dikaji ditambahkan kapan
waktu terjadinya serta tindakan apa yang sudah dilakukan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga dipandang sebagai bagian dari sistem sosial
terbuka dimana keluarga secara terus menerus berinteraksi
dengan Pasien. Pengkajian ditujukan pada keluarga apakah
ada anggota keluarga yang menderita penyakit degeneratif
seperti Hipertensi maupun diabetes mellitus yang dapat
mempengaruhi tingkat keparahan cedera maupun tindakan
keperawatannya.
e. Pengkajian Psiko-sosial-spiritual
Pengkajian meliputi: Bagaimana persepsi terhadap
penyakitnya?, mekanisme koping yang digunakan, ekspresi
yang ditunjukkan, Adakah Gangguan konsep diri?, Adakah
gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil,
iritabel, apatis, delirium, Apakah Pasien termasuk orang yang
suka mabuk-mabukan atau tinggal di lingkungan orang yang
suka minum alkohol?, Apakah Pasien termasuk orang yang
taat beribadah?, Apakah selama sakit Pasien tetap
menjalankan ibadahnya?. Bagaimana keyakinan Pasien
terhadap sakit yang dialaminya?

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 35


3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mengacu pada pengkajian
B1-B6 dengan pendekatan diagnosa keperawatan Lynda Juall
Carpenito dan 11 Pola fungsi Kesehatan Gordon (11 Gordons
Functional Health Patterns). Fokus keperawatan terletak pada B3 pada
pengkajian Brain sehingga pengkajian lebih terarah dan tepat.
a. Keadaan Umum
Keadaan yang sering kali terjadi adalah penurunan kesadaran
(GCS bernilai 14 termasuk dalam cedera kranioserebral ringan,
GCS bernilai 9-13 termasuk dalam cedera kranioserebral sedang,
GCS bernilai 5-8 termasuk dalam cedera kranioserebral berat,
serta kondisi kritis bila GCS Pasien bernilai 3-4)
b. B1 (Breathing)
Penyebab utama kematian pada Pasien cedera kranioserebral
adalah karena obstruksi jalan nafas akibat tersumbat oleh lidah,
penumpukan sekret, darah, dan atau edema fasial. Perubahan
pada sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral akibat trauma kepala.
Pada pengkajian didapatkan: peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman
maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur
(chyne stokes, ataxia breathing), bunyi napas ronchi, wheezing
atau stridor, selain itu tampak adanya ketidaksimetrisan dada yang
menunjukkan adanya atelektasis, obstruksi pada bronkus,
pneumothorak, fraktur tulang iga, fokal fremitus menurun,
c. B2 (Blood)
Pengkajian didapatkan: tekanan darah normal atau berubah,
bisa juga meningkat bila terjadi peningkatan TIK, denyut nadi
bradikardi, takikardi atau aritmia, sianosis serta bisa mengalami
hipertermi. Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi
jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok yang disebabkan
adanya perdarahan akibat cedera. Beberapa keadaan lain akibat

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 36


cedera kranioserebral akan merangsang pelepasan ADH sehingga
terjadi retensi garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan resiko
terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
sistem kardiovaskuler
d. B3 (Brain)
Pengkajian Brain menjadi fokus pengkajian pada cedera
kranioserebral yang meliputi:
1) Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran merupakan indikator untuk menilai
disfungsi sistem persarafan, kesadaran pada Pasien cedera
kranioserebral berkisar pada tingkat: letargi, stupor,
semikomatosa, sampai koma.
2) Pemeriksaan fungsi serebral

Struktur Tipe Cedera Gejala yang menyertai


Otak Konkusio/ cedera Hilang kesadaran, hilang daya
difus ingat, mual, muntah,
kebingungan, pusing, defisit
kognitif,
Intakranial Epidural Interval lusida, kehilangan
kesadaran, pupil ipsilateral
Subdural Penurunan kesadaran secara
berangsur-angsur,
peningkatan TIK
Subarakhnoid Peningkatan TIK, kaku kuduk,
dan dilatasi pupil ipsilateral
Tengkorak Fraktur Nyeri, perdarahan dan
pembengkakan
Sel-sel Cedera akson Kehilangan kesadaran yang
saraf yang difus segera, hipertermi, dekortikasi
atau deserebrasi, TIK yang
pada awalnya rendah dan
hipertensi.

3) Pemeriksaan saraf cranial

(a) Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan


daya penciuman dan anosmia bilateral.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 37


(b) Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :
memperlihatkan gejala berupa penurunan fungsi penglihatan
maupun lapang pandang (hematom palpebra). Pemeriksaan
fundus okuli sebagai salah satu indikator adanya peningkatan
TIK.

(c) Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan


Nervus VI (Abducens) ditandai: Gangguan mengangkat
kelopak mata, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.

(d) Nervus V (Trigeminus) ditandai: adanya paralisis nervus


trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah dan anestesi daerah dahi.

(e) Nervus VII (Fasialis) ditandai: hilangnya rasa pada 2/3


bagian lidah anterior lidah.

(f) Nervus VIII (Akustikus), pada Pasien sadar gejalanya


berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan
tubuh.

(g) Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan


Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena
Pasien akan meninggal apabila trauma mengenai saraf
tersebut. Gejala yang timbul ditandai: Adanya Hiccuping
(cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang
menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma (Hal ini
terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi,
biasanya yang beresiko peningkatan tekanan intrakranial),
serta kemampuan menelan kurang baik dan kesukaran
membuka mulut.

(h) Nervus XII (Hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah


jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria serta
bisa disertai perubahan pengecapan.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 38


4) Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan Reflek dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada
respon normal.
Pemeriksaan Refleks patologis, pada fase akut refleks
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.

Pemeriksaan Refleks Patologis


NO REFLEKS CARA PEMERIKSAAN
1 Babinski Penggoresan telapak kaki bagian
lateral dari arah posterior ke anterior.
2 Chaddok Penggoresan kulit dorsum pedis
bagian lateral, sekitar malleolus lateral
dari posterior ke anterior.
3 Oppenheim Pengurutan crista anteroir tibia dari
proksimal ke distal
4 Gordon Penekanan betis secara keras dengan
posisi tungkai bawah direfleksikan
pada sendi lutut
5 Schaeffer Melakukan pemencetat pada tendon
achilles secara keras
6 Gonda Penekanan (plantar fleksi) maksimal
jari kaki ke empat

7 Stransky Penekunan ke lateral secara maksimal


jari kaki ke lima
8 Rossolimo Pengetukan pada telapak kaki bagian
atas
9 Mendel-Bechterew Pengetukan dorsum pedis pada
daerah os.Cuboideum (lurus dengan
jari ke empat ke arah proksimal di
depan talus)
10 Hoffman Goresan pada kuku jari tengah (jari III)
pasien
11 Trommer Colekan pada ujung jari tengah (jari
III) pasien
12 Leri Posisikan tangan pasien dengan sikap
lengan diluruskan di bagian
volar/ventral menghadap ke atas
kemudian dilakukan fleksi maksimal
tangan pada pergelangan tangan.
13 Meyer Fleksikan maksimal jari tengah pasien
ke arah telapak tangan

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 39


4) Sistem sensorik-motorik
Pengkajian didapatkan: hemiplegia (paralisis pada salah
satu sisi), Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh),
penurunan atau hilangnya tonos otot, gangguan koordinasi
dan keseimbangan, Hemihipestesi (ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi), serta disfungsi persepsi
visual.

e. B4 (Bladder)
Pengkajian didapatkan: Perubahan eliminasi uri bisa terjadi
penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan akibat
menurunnya perfusi ginjal. Gejala awal mungkin ditemui retensi
urine akibat trauma atau terjadi penurunan kontrol sfingter
urinarius eksternal yang hilang atau berkurang.

f. B5 (Bowel)
Pengkajian didapatkan: Pemeriksaan rongga mulut
(ada/tidaknya lesi pada mulut, lembab/kering), muntah, kesulitan
menelan, nafsu makan menurun, konstipasi atau terjadi
perubahan eliminasi alvi serta adanya tanda-tanda penurunan
fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak
terdengar atau lemah.

g. B6 (Bone)

Pengkajian meliputi kulit dan tulang didapat: wajah pucat,


sianosis perifer atau sentral, turgor kulit menurun, adanya lesi atau
luka, kerusakan area motorik seperti hemiparesis/plegia,
munculnya gangguan gerak involunter, gangguan pada kekuatan
otot (gangguan mobilitas fisik). Dari foto Rontgen ditemukan
fraktur pada tulang kranium, seperti fraktur linier, kompresi atau
fraktur basis kranii. Fraktur basis kranii, gejala klinisnya :
perdarahan telinga (Otorrhoe), perdarahan hidung (Rhinorrhoe),

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 40


hemotimpanum atau laserasi liang telinga luar, post-auricular
ecchymosis (Battles sign), peri-orbital ecchymosis (Raccoons
eyes).

Pemeriksaan kekuatan otot:

+5 Bila dapat melawan tahanan kita

+4 Bila dapat melawan tahanan ringan

+3 Bila dapat melakukan gerakan melawan gaya gravitasi,


tapi tidak dapat melawan tahanan ringan

+2 Bila dapat melakukan gerakan ke samping, tidak dapat


melakukan gerakan melawan gaya gravitasi

+1 Bila hanya kontraksi saja

0 Bila tidak ada gerakan sama sekali (plegi)

B. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang direkomendasikan:
1. CT scan (tanpa/dengan kontras)
2. MRI
3. Foto polos kranium dan servikal

C. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN


1. Memaksimalkan perfusi atau fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal atau mengembalikan ke fungsi
normal
4. Mendukung proses pemulihan koping Pasien dan keluarga
5. Pemberian informasi bersama dengan tim medis tentang penyakit,
prognosis, pengobatan dan rehabilitasi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 41


D. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan


kehilangan fungsi otot-otot pernafasan, penurunan ekspansi
paru, dan depresi pada pusat pernafasan di otak.

2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan perfusi-ventilasi (Hiperkapni, hipoksia,
Takikardi).

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan


penumpukan sputum, ketidakmampuan batuk efektif .

4. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan


Edema Otak.

5. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial


berhubungan dengan adanya proses desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri.

6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan


dengan penurunan produksi ADH akibat terfiksasinya
hipotalamus

7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: berhubungan


dengan berkurangnya peningkatan kebutuhan metabolisme,
perubahan kemampuan mencerna makanan, berkurangnya
kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran
dan gangguan persepsi sensori pengecapan.

8. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya


kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak akibat
trauma

9. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi dan efek


toksin di jaringan otak.

10. Gangguan rasa nyaman: Nyeri Kranioserebral berhubungan


dengan kerusakan jaringan otak, perdarahan otak/peningkatan

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 42


tekanan intrakranial, dan refleks spasme otot sekunder.

11. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi,


penurunan kekuatan dan ketahanan

12. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan


daya penangkapan sensoris.

13. Ansietas (Pasien) berhubungan dengan krisis situasional;


ancaman terhadap konsep diri, takut mati, dan perubahan status
kesehatan.

14. Ansietas (keluarga) berhubungan dengan kondisi kritis yang


dialami klien.

15. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik


dan diskontinuitas jaringan kulit.

16. Resiko kejang berhubungan dengan Lesi pada korteks serebral.

17. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan


pada sistem saraf pusat.

18. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan berkurangnya


atau hilangnya sfingter uretra, trauma, gangguan sensori-
motorik.

19. Konstipasi berhubungan dengan keterbatasan aktivitas fisik,


menurunnya bising usus.

20. Gangguan kognitif berhubungan dengan kerusakan pada


serebral atau TBI: Traumatic Brain Injury (Korteks prefrontal
area 9 dan 12)

E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa: Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan
dengan kehilangan fungsi otot-otot pernafasan, penurunan
ekspansi paru, dan depresi pada pusat pernafasan di otak

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 43


a. Berikan informasi pada Pasien tentang tindakan dalam
melakukan asuhan keperawatan
b. Berikan posisinya yang nyaman yaitu posisi semifowler
c. Dorong Pasien untuk duduk dan mobilisasi miring kanan
miring kiri (mika-miki) bila kondisi memungkinkan
(Keadaan sadar)
d. Longgarkan pakaian atau celana yang dapat membuat
nafas Pasien terbatas (bebaskan sesuatu yang
memperberat ekspansi paru)
e. Observasi fungsi pernafasan (kecepatan, irama,
frekuensi, kedalaman, usaha respirasi dan ada tidaknya
dispnea, sesak nafas, sianosis) dan tanda-tanda vital
f. Ajarkan Batuk secara efektif
g. Kolaborasi dengan tim medis dan fisioterapi
h. Lakukan pemeriksaan Radiologi atau Foto Thorax

2. Diagnosa: Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan perfusi-ventilasi (Hiperkapni, hipoksia,
Takikardi)
a. Pantau pernafasan (bunyi nafas, frekuensi, kedalaman,
dan usaha nafas) serta auskultasi bunyi nafas
b. Pantau status mental (tingkat kesadaran, gelisah dan
konfusi)
c. Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
d. Pantau Hasil gas darah
e. Observasi terhadap sianosis terutama membran mukosa
mulut
f. Ajarkan teknik bernafas dan relaksasi
g. Kolaborasi dengan tim medis tentang penggunaan alat
bantu yang dianjurkan, bronkodilator, aerosol, dan
nebulasi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 44


3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan sputum, ketidakmampuan batuk efektif

a. Pantau keadaan jalan nafas

b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara nafas pada


kedua paru (bilateral)

c. Catat adanya batuk, bertambahnya sesak nafas

d. Lakukan penghisapan atau suction sesuai indikasi

e. Atur atau ubah posisi secara teratur

f. Berikan minum hangat bila memungkinkan

g. Ajarakan pengontrolan batuk dengan batuk efektif dan nafas


dalam serta perlahan

h. Berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk

i. Kolaborasi dengan tim medis (ekspektoran, antibiotik) dan


fisioterapi

4. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial


berhubungan dengan adanya proses desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri.

Gambar 23. Proses


desak ruang akibat
perdarahan intrakranial

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 45


Cara menghitung CPP (cerebral perfusion pressure):

CPP = MAP - ICP

MAP: Mean arterial pressure(tekanan arteri rata-rata)

ICP: Intrakranial Pressure (tekanan intracranial)

CPP normal: 50-130 mm Hg

a. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK

(a) Respon membuka mata, respon verbal, motorik

(b) Perubahan tanda tanda vital

(c) Perubahan pada respon pupil

(d) Adanya muntah atau sakit kepala

(e) Perubahan mental


b. Tinggikan kepala 300
c. Hindarkan untuk melakukan tindakan yang dapat
meningkatkan TIK
(a) Fleksi atau rotasi leher secara berlebihan
(b) Mengejan
(c) Batuk keras dan menahan nafas
(d) Perubahan posisi yang cepat

d. Anjuran untuk ekspirasi selama perubahan posisi untuk


mencegah manuver valsava

e. Berikan periode istirahat antara tindakan keperawatan

f. Observasi tanda-tanda vital

g. Batasi penghisapan atau suction yang berlebihan

h. Kolaborasi dengan tim medis pemberian laksadin yang


sesuai, diuretik osmotik, steroid (menurunkan permeabilitas

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 46


kapiler dan membatasi edema serebral)

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh:


berhubungan dengan berkurangnya peningkatan kebutuhan
metabolisme, perubahan kemampuan mencerna makanan,
berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya
kesadaran dan gangguan persepsi sensori pengecapan

a. Tentukan kebutuhan nutrisi Pasien

b. Berikan makanan dalam keadaan hangat dan sajikan dalam


bentuk yang menarik

c. Anjurkan memakan makanan secara MSS (Makan sedikit


tapi sering)

d. Pertahankan kebersihan Personal Hygiene terutama


kebersihan mulut

e. Bila diserta rasa mual atau muntah hindari makanan yang


merangsang asam lambung (pedas, santan, masam dsb)

f. Timbang berat badan jika memungkinkan

g. Pasang NGT bila Pasien mengalami kesulitan menelan atau


dalam keadaan tidak sadar

h. Kolaborasi dengan tim medis dan ahli gizi

6. Gangguan rasa nyaman: Nyeri Kranioserebral berhubungan


dengan kerusakan jaringan otak, perdarahan otak/peningkatan
tekanan intrakranial, dan refleks spasme otot sekunder

a. Berikan posisi yang nyaman

b. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi

c. Observasi tingkat nyeri dan respon motorik

d. Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian analgesik

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 47


7. Gangguan kognitif berhubungan dengan kerusakan pada serebral
atau TBI: Traumatic Brain Injury (Korteks prefrontal area 9 dan 12)

a. Meningkatkan keamanan Pasien (memberi pagar pada tempat


tidur)

b. Mengatasi kebingungan (bicara dengan sikap tenang, suara


pelan dan jelas, izinkan Pasien untuk mengambil keputusan
sesuai kemampuannya)

c. Mengendalikan lingkungan untuk mengurangi kelebihan


sensori (berikan lingkungan yang tidak berisik, validasi
ansietas yang dialami Pasien)

d. Meningkatkan tidur dan nutrisi yang tepat (pantau pola tidur,


pantau asupan makanan dan cairan)

e. Lakukan penguatan koping (ajarkan koping positif)

F. TINDAKAN YANG MENJADI TANGGUNG JAWAB PERAWAT


Tindakan dalam menghadapi Pasien dengan ventrikulostomi dan
pemantauan TIK di IRD: (Pasien cedera kranioserebral yang akan
dilakukan pemebedahan)
1. Menjelaskan pada Pasien/ keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan
2. Melakukan pengkajian neurologis
3. Mengatur kepala tempat tidur pada sudut 300
4. Menyiapkan prosedur Operasi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 48


ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN CEDERA MEDULA SPINALIS

Cedera Medula Spinalis (MedSpin) merupakan keadaan darurat


neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk
mengurangi kecacatan.

A. PENGKAJIAN
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat
trauma pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.
Pengkajian pada klien dengan cedera medula spinalis meliputi:
1. Identitas
Cedera Medula Spinalis kebanyakan (80%) terjadi pada usia sekitar
15-30 tahun. Kebanyakan dialami oleh laki-laki dari pada
perempuan dengan perbandingan 8:1, sebagian besar
penyebabnya karena kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja.
Sedangkan penyebab lainnya adalah karena jatuh dari ketinggian,
cedera olah raga, RA (Reumatoid Artritis) atau osteoporosis
bahkan akibat penganiayaan (community violence). Dari data yang
diperoleh dari RSUD Dr.Soetomo Surabaya Jawa timur ditemukan
111 kasus pertahun untuk kejadian cedera medula spinalis.

2. Anamnesis Riwayat Penyakit


a. Keluhan utama
Cedera medula spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama
yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan
utama yang timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada
leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas
maupun bawah. Ditanyakan pula aktivitas maupun posisi kepala
yang meningkatkan maupun mengurangi keluhan, adakah
riwayat cedera dan mekanismenya, adanya gangguan berjalan,
gangguan defekasi maupun BAK, dan gangguan sensorik.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 49


b. Riwayat Penyakit Saat ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat
kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologik. Medula
Spinalis dapat mengalami cedera melalui beberapa mekanisme,
cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan gaya:
kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
Mekanisme yang paling sering ditemui adalah kombinasi dari
benturan akut dan kompresi persisten yang terjadi pada burst
fractur atau fraktur dislokasi dengan kompresi persisten pada
medula spinalis oleh tulang, diskus, hematom atau
kombinasinya.
Riwayat Penyakit saat ini perlu dikaji tentang kapan cedera
terjadi?, Apa penyebab cedera?, Jatuh pada kepala atau
pukulan pada dahi?, Luka tusuk atau tembak?, Apakah klien
mengalami kehilangan kesadaran?, Durasi periode tidak sadar?,
Berespon terhadap rangsang verbal atau nyeri?, mekanisme
cedera?, Apakah sebelumnya meminum minuman keras
(alkohol) atau menggunakan obat-obatan terlarang?
Selain itu perlu dikaji tentang mekanisme cedera yang
tergantung pada jenis dan penyebab terjadinya cedera: Yaitu
kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi, jatuh dari
ketinggian, cedera saat menyelam, kekerasan (luka tikaman
maupun tembakan) di daerah spinal, dan kecelakaan olahraga
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien dengan cedera medula spinalis bisa disebabkan oleh
beberapa penyakit seperti Reumatoid Artritis,
Pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis, Osteoporosis,
maupun Tumor ganas.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat
memperberat cedera Medspin.
e. Riwayat Psiko-Sosio-Spiritual

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 50


Pengkajian meliputi: Bagaimana Emosi Klien?, Apakah klien
memiliki kebiasaan meminum minuman keras dan suka mabuk?,
Bagaimana keyakinan klien terhadap sakit yang dialaminya?,
Apakah ada penyangkalan tentang penyakitnya?, Bagaimana
emosi klien: sedih, marah, takut, cemas, gelisah, menarik diri
maupun tidak percaya?.

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan
pengkajian fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat
Cedera Medspin.
a. Keadaan Umum
Pada umumnya terjadi defisit neurologis dan status
kesadaran pada fase awal kejadian trauma, terutama pada
klien yang diindikasikan cedera spinal tidak stabil.
b. B1 (Breathing)
Pada klien dengan cedera Medspin beresiko tinggi
mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti
jantung-paru. Selain itu bila terjadi lesi diatas Cervikal 4
dapat terjadi depresi nafas. Pengkajian meliputi: penilaian
pada kepatenan jalan nafas, Penurunan kekuatan batuk
karena paralysis abdominal dan otot pernafasan sehingga
sulit membersihkan sekresi bronkial dan faring, nafas
pendek, sulit bernafas, pernafasan dangkal, periode apneu,
penurunan bunyi nafas, terdapat ronkhi, adanya pucat
maupun sianosis.
c. B2 (Blood)
Pengkajian didapatkan: Hipotensi, Hipotensi postural,
Hipotensi Ortostatik (fase akut), Bradikardi, extremitas dingin
dan pucat, gangguan kontrol suhu, hilangnya keringat pada
daerah yang terkena, rasa berdebar-debar serta pusing
disaat melakukan perubahan posisi atau bergerak.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 51


d. B3 (Brain)
Pengkajian didapatkan: perubahan fungsi motorik dan
sensorik serta gejala kerusakan neurologik progresif.
e. B4 (Bladder)
Pengkajian didapatkan: inkontinensia urin, retensi urin,
distensi kandung kemih, disfungsi spincter.
f. B5 (Bowel)
Pengkajian didapatkan: Peristaltik usus hilang atau menurun,
distensi abdomen, inkontinensia feses, konstipasi, disfungsi
spincter ani dan kehilangan refleks abdomen. Penting untuk
menguji ada tidaknya refleks primitif kulit anal dan sensori
perianal. Sekali refleks primitif muncul kembali, syok spinal
telah berakhir, bila semua fungsi motorik dan sensorik masih
tidak ada, lesi neurologis bersifat lengkap. Sensori perianal
yang utuh menunjukkan lesi yang tidak lengkap dan dapat
terjadi penyembuhan lebih jauh.
g. B6 (Bone)
Pengkajian didapatkan: kekakuan dan nyeri pada sisi otot
maupun radiks saraf yang terkena, hipertonus, spasme
pada sisi otot yang nyeri, lihat adanya deformitas pada leher,
adanya memar pada wajah, dagu atau mata (salah satu
tanda adanya cedera hiperekstensi pada leher), adanya
memar pada tulang belakang, palpasi Prosesus spinosus
dengan hati-hati (kadang-kadang suatu celah dapat teraba
bila ligamen tersobek, keadaan ini atau hematoma pada
spinal merupakan tanda yang menakutkan. Selama fase
syok spinal mungkin terdapat paralisis lengkap dan
hilangnya perasaan di bawah tingkat cedera, keadaan ini
dapat berlangsung selama 48 jam atau lebih dan selama
periode ini sulit diketahui apakah lesi neurologis lengkap
atau tidak lengkap.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 52


Pemeriksaan motorik sangatlah penting untuk menentukan
tingkat radiks servikal yang terkena sesuai dengan distribusi
myotomal.

Pemeriksaan Motorik pasien dengan Cedera Medula Spinalis


No Gejala Letak Kerusakan
1 Kelemahan pada abduksi bahu Radikulopati C5
2 Kelemahan pada fleksi siku dan ekstensi Radikulopati C6
pergelangan tangan
3 Kelemahan pada ekstensi siku dan fleksi Radikulopati C7
pergelangan tangan
4 Kelemahan pada ekstensi ibu jari dan Radikulopati C8
deviasi ulnar dari pergelangan tangan
5 Perubahan pada refleks bisep Mewakili tingkat radiks
C5-C6
6 Perubahanpada refleks Trisep Mewakili tingkat radiks
C7-C8

Gambar 24.
Distribusi area
yang dipersarafi
oleh Saraf Tepi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 53


4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
b. Radiologi
c. Neurofisiologi klinik
EMG
NCV
SSEP
d. MRI
e. CT Scan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kehilangan fungsi
otot-otot interkostal akibat cedera Medspin
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penurunan refleks batuk
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan
ketahanan sekunder akibat paralisis parsial atau total
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilitas
5. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan hilangnya
persarafan kandung kemih atau penurunan spincter uri
6. Konstipasi berhubungan dengan ileus paralitik dan dilatasi gaster
selama spinal syok.
7. Perubahan persepsi-sensori: perabaan berhubungan dengan
kerusakan traktus sensori, penurunan rangsang lingkungan
8. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder akibat cedera Medspin.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kehilangan
fungsi otot-otot interkostal akibat cedera Medspin
a) Ajarkan Klien untuk melakukan latihan nafas dalam
b) Observasi warna kulit, adanya sianosis

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 54


c) Monitoring adanya distensi abdomen dan spasme otot
d) Auskultasi suara nafas
e) Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian oksigen
f) Kolaborasi dengan fisioterapi

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan


Penurunan reflek batuk, immobilisasi
a) Pantau kedalaman pernafasan dan gerakan dada
b) Auskultasi area paru, catat area penurunan, dan bunyi nafas
c) Bantu pasien melakukan latihan nafas dan batuk efektif (bila
pasien sadar)
d) Melakukan penghisapan lendir sesuai indikasi
e) Berikan cairan sedikitnya 2500ml/hari (kecuali ada kontra
indikasi)
f) Berikan nebulizer sesuai indikasi
g) Kolaborasi dengan tim medis (bronkodilator, mukolitik,
ekspektoran) dan fisoterapi (Terapi dada)
h) Pantau efek samping obat dan respon pasien terhadap terapi

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan


ketahanan sekunder akibat paralisis parsial atau total ( Cedera
Medula Spinalis)
a) Bantu pasien melakukan latihan ROM pada semua ekstremitas
dan sendi secara perlahan dan lembut
b) Ukur dan pantau tekanan darah sebelum dan sesudah
melakukan aktifitas dalam fase akut sampai keadaan pasien
stabil
c) Ubah posisi pasien secara periodik
d) Persiapkan klien pada saat akan melakukan aktivitas yang
dapat membebani tubuh
e) Anjurkan klein untuk menggunakan teknik relaksasi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 55


f) Monitoring rasa nyeri, kemerahan, bengkak dan ketegangan
otot jari
g) Pantau secara teratur fungsi motorik (jika timbul syok spinal)
dengan menginstruksikan klien melakukan gerakkan seperti
mengangkat bahu, meregangkan jari, menggenggam tangan
pemeriksa
h) Kolaborasi:
Tim Medis: pemberian muscle relaxan
Fisioterapi / Rehabilitasi

4. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan


kehilangan sensori dan immobilisasi, tirah baring lama
a) Lakukan perubahan posisi sesering mungkin di tempat tidur
sesuai kemampuan pasien
b) Inspeksi seluruh area kulit, catat pengisian kapiler, adanya
kemerahan, pembengkakan
c) Berikan perhatian yang khusus pada daerah yang tertekan
seperti memberi bantalan air
d) Berikan tumpuan pada telapak kaki untuk mencegah terjadinya
drop foot
e) Lakukan masase dan lubrikasi pada kulit dengan minyak/Lotion
f) Bersihkan dan keringkan kulit khususnya pada daerah dengan
kelembapan tinggi
g) Jagalah alat tenun tetap kering dan bebas lipatan dan kotoran
h) Anjurkan pasien untuk melakukan latihan
i) Tinggikan ekstremitas bawah secara periodik
j) Ajarkan pengaturan posisi dan teknik pemberian bantalan yang
digunakan di tempat tidur untuk mengurangi maupun mencegah
iritasi
5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan hilangnya
persarafan pada kandung kemih dan lengkung refleks, maupun
kompresi medula spinalis

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 56


a) Pantau kemampuan berkemih pasien
b) Pantau frekuensi dan jumlah urine
c) Lakukan pemasangan kateter bila terjadi retensi atau
inkontinensia urine
d) Ajarkan Bladder Training
e) Lakukan perawatan kateter
f) Monitoring fungsi ginjal dengan pemeriksaan ureum, kreatinin,
BUN

6. Konstipasi berhubungan dengan perubahan bowel movement,


immobilisasi, penurunan bising usus
a) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya
b) Observasi adanya distensi abdomen jika bising usus tidak ada
atau berkurang
c) Catat adanya keluhan mual dan muntah
d) Catat frekuensi, karakteristik dan jumlah feses
e) Anjurkan pasien untuk makan makanan yang berserat dan
minum air putih yang cukup ( 8 gelas)
f) Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian terapi laksatif,
supositoria, enema

7. Perubahan persepsi-sensori:raba berhubungan dengan


kerusakan pada traktus sensori
a) Monitoring fungsi sensori dengan sentuhan atau tusukan peniti
b) Hindarkan tubuh dari bahaya atau cedera dengan memberi
pagar tempat tidur (bed pasien)
c) Berikan rangsangan taktil, sentuh pasien pada area dengan
sensori utuh
d) Berikan aktivitas hiburan untuk membantu mempertahankan
orientasi realitas dan memberikan rasa normal setiap hari
terhadap waktu
e) Berikan pasien istirahat yang cukup

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 57


f) Perhatikan adanya respon emosional yang berlebihan,
perubahan proses pikir

8. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme


otot sekunder akibat cedera medula spinalis
a) Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri non
farmakologi dan non invasif
b) Pertahankan asupan untuk berat badan ideal karena
pengendalian berat badan pada klien yang proposi berat badan
lebih (gemuk) akan meningkatkan tekanan pada titik lumbal
sehingga akan meningkatkan respon nyeri
c) Lakukan manajemen nyeri perawatan dengan mengajarkan
teknik relaksasi dan distraksi serta memberikan lingkungan yang
tenang, melakukan masase secara perlahan dan menggunakan
korset lumbosakral
d) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
e) Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian analgesik

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 58


DAFTAR PUSTAKA
CEDERA KRANIOSEREBRAL DAN MEDULA SPINALIS

Aarabi B, Eisenberg HM, Murphy K, Morrison C, Weinmann M, 2004.


Traumatic Brain Injury: Management and Complications in
Textbook Of NEUROINTENSIVE Care, by A.Joseph Layon et al,
Saunders
Adam RD, Victor M, 1993. PRINCIPLE OF NEUROLOGY, 5th edition. New
York. McGraw Hill
Alfa.A.Y,2009. Penatalaksanaan Medis (non Bedah) Cedera Kepala,
dalam KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI, Edisi 1, Bagian
Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin , Bandung
Basuki A, 2009. Cedera Medula Spinalis Akut (Acute Spinal Cord Injury)
dalam KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI, Edisi 1, Bagian
Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin , Bandung
Bracken MB, Collins WF, Freeman DF, Shepard MJ, Hunt WE, Silten MR,
Hellenbrand KG, 1985. Efficacy of Methylprednisolon in Acute
Spinal Cord Injury. JAMA; 25 (1): 45-51
Brust JCM, 2008. Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, McGraw
Hill
Bunge RP, 2001. Spinal Cord Injury Emerging Concept in HEALTH AND
MEDICAL PUB: 1-25
Chang BS., Lowenstein DH, 2003. Practice parameter: Antiepileptic drug
prophylaxis in severe traumatic brain injury, Neurology ; 60: 10-
16
Gilroy J, 2000. BASIC NEUROLOGY, Third Edition, McGraw-Hill
Grover VK, Tewari MK, Gupta SK, 2001. Anesthetic and Intensive Care
Aspect of Spinal Cord Injury, NEUROL INDIA, 49; 11-18
Perdossi, 2009. ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS),
Bagian Neurologi FK UI/ RSCM, Jakarta
Retnaningsih, 2008. CEDERA KEPALA TRAUMATIK, dalam Simposium
Trauma Kepala, Semarang

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 59


SIGN, 2000. EARLY MANAGEMENT OF PATIENTS WITH A HEAD
INJURY, A National clinical Guideline
Soertidewi.L,2002. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral,
dalam UPDATE IN NEUROEMERGENCIES, FK UI/RSCM,
Jakarta
Tator CH, 1996. Pathophysiology and pathology of Spinal Cord Injury in
Wilkins, RH & Rengachary SS. (eds): NEUROSURGERY ed 2 pp
2847-2859, McGraw-Hill New York
Tator CH, Fehlings MG, 1999. Review of Clinical Trial of Neuroprotection
in Acute Spinal Cord Injury, Neurosurg Focus: 6(1): 1-13
Wijoto, 2008. Cognitive Impairment in Traumatic Brain Injury dalam
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN ILMU
PENYAKIT SARAF, FK UNAIR, Surabaya

DAFTAR PUSTAKA
ASUHAN KEPERAWATAN

Carpineto, Lynda Juall.2007. Buku saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.


Jakarta:EGC
Doengoes, Marlyn E. 2000. Rencana Asuhan dan Dokumentasi
Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC
Heriyanto. 2003. Pemeriksaan fisik sistem Saraf.Makalah. Surabaya:
Fakultas Kedokteran UNAIR
Hudak,C.M dan Gallo. 1997. Keperawatan iritis: Pendekatan Holistik edisi
6: Yakarta: EGC
Kariasa, I Made, 2003. Asuhan Keperawatan pada klien Cedera
Sususnana saraf pusat. Jakarta:FKUI
Keliat, Budi dkk. 2008. Proses Asuhan Keperawatan Jiwa.Jakarta:EGC
Long Barbara C, 1996. Keperawatan Medika Bedah: Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan. Bandung: YIAPK
Muttaqin A, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
gangguan Sistem Persarafan.Jakarta:EGC

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 60


Oman Kathleen, dkk. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.
Jakarta:EGC
Price, Sylvia A.1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta:EGC
Videbeck L S. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Wilkinson M.J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.
Wong L.D. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik edisi 4.
Jakarta:EGC

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 61


Glasgow Coma Scale (Skala Koma Glasgow)

Membuka mata (Eye)


- Spontan 4
- Terhadap suara 3
- Dengan rangsang nyeri 2
- Tidak ada reaksi 1
Respon Verbal (Verbal)
- Baik dan tidak ada disorientasi 5
- Kacau (confused) 4
- Tidak tepat (inappropriate) 3
- Mengerang 2
- Tidak ada jawaban 1
Respon Motorik (Motoric)
- Menurut perintah 6
- Mengetahui lokasi nyeri 5
- Reaksi menghindar 4
- Fleksi (Dekortikasi, gbr B) 3
- Ekstensi (Deserebrasi, gbr A) 2
- Tidak ada reaksi 1

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 62


ALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KRANIOSEREBRAL

Trauma Kepala

Saraf

Faktor Penyulit (-) Faktor Penyulit (+)

CKR CKS CKB Konsultasi Sub Bagian Terkait

Observasi 24 Jam

Defisit Neurologis (-) Defisit Neurologis (+)

BLPL

Head CT Scan

Intra Cerebral Hematom > 30 cc (+) dan atau Intra Cerebral Hematom > 30 cc (-) dan
Sub Dural Hematom Luas (+) dan atau Sub Dural Hematom Luas (-) dan
Epidural Hematom (+) dan atau Epidural Hematom (-) dan
Fraktur depressed (+) dan atau Fraktur depressed (-) dan
Fraktur impressi (+) Fraktur impressi (-)

Bedah Saraf Saraf


Saraf

Pengawasan dan Penanganan Faktor Penyulit dan Komplikasi

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 63


Curiculum Vitae Penyusun

dr.Iwan Setiawan, MKes, Sp.S, kelahiran Bogor 6 Januari 1966, pendidikan SD,
SMP di Sukoharjo Surakarta, dan SMA negeri 3 Surakarta. Menyelesaikan
pendidikan dokter umum di FK Universitas Sebelas Maret Surakarta,
melanjutkan pendidikan S-2 dan Spesialisasi Saraf di FK Universitas Gadjah
Mada Jogjakarta. Saat ini bertugas di RSUD Pacitan dan sebagai tenaga
pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Intan Maulida, SKep.Ns, Kelahiran Sidoarjo 15 Desember 1984, menempuh


pendidikan SD, SMP di Sidoarjo, alumnus SMA negeri 1 Sidoarjo. Melanjutkan
DIII Keperawatan di POLTEKKES Surabaya, kemudian Menamatkan pendidikan
sarjana keperawatan di Fakultas Kedokteran program studi S-1 Ilmu
Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2006. Pada tahun
2009 menjadi staf pengajar di STIKES ICME (Insan Cendekia Medika) Jombang
dan bekerja menjalankan profesi keperawatannya di Rumah Sakit Umum Daerah
Pacitan hingga sekarang.

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 64


Lampiran 4

Cedera Saraf Pusat dan Asuhan Keperawatannya 65

Anda mungkin juga menyukai