2
2.1 Perencanaan Geometrik Jalan
2.1.1 Umum
Dalam mendesain deometri jalan tol ada beberapa langkah yang harus dilalui terlebih
dahulu. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam flowchart desain geometri jalan pada
Gambar 2.1 berikut.
1
Gambar 2.2 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan.
2
Tahap persiapan adalah tahapan dimana perencana melakukan persiapan dan pendataan
perlengkapan untuk kegitan survei awal. Perlengkapan yang dibawa untuk kegiatan survei
awal biasanya adalah alat pengukur seperti kompas, altimeter (pengukur ketinggian),
clinometer (pengukur kemiringan medan), currentmeter (pengukur arus sungai), kompas
geologi (pengukur arah kemiringan batuan), dan pita meteran baja. Untuk melakukan survei,
biasanya tim survei juga membawa peralatan kemping, peralatan dokumentasi, peta
topografi, peta muka bumi, peta geologi regional, serta formulir data survei.
Sebelum kegiatan surveidimulai dilakukan pendataan terhadap siapa saja tim ahli yang akan
ikut serta dalam kegiatan survei. Biasanya dalam mengadakan survei pembuatan jalan, tim
ahli yang terlibat antara lain seorang highway engineer, geotechnical engineer, geodetic
engineer, bridge engineer, dan hydrological engineer.
Setelah semua perlengkapan dan tim tersiapkan,maka mobilisasi menuju tempat survei
dapat dilakukan. Survei dimulai dengan menentukan lokasi titik awal proyek dan titik akhir
proyek. titik awa proyek dapat berupa sambungan dari proyek lain atau titik baru yang
ditentukan berdasarkan survei. Dalam survei ini juga di tentukan rute yang diperkirakan
dapat digunakan sebagai rencana rute untuk menghubungkan titik awal dan akhir proyek.
Dari hasil survei awal ini kemudian dapat disusun trase rencana awal. Selanjutnya dilakukan
kajian untuk menyepakati rute yang didapat. Jika ternyata dari hasil kajian dinyatakan rute
tersebut tidak layak, maka harus diadakan survei trase ulang. Jika telah disepakati rute yang
akan digunakan, maka diadakan survei lanjutan untuk mendapatkan detail-detail mengenai
pembuatan jalan raya pada trase yang telah disepakati.
Setelah survei lanjutan selesai dilaksanakan, data hasil survei tersebut kemudian dibahas
bersama antara pihak perencana dan owner. Dari data survei lanjutan tersebut dapat
ditentukan desain geometrik jalan. Jika nantinya rencana geometri jalan tersebut tidak
disetujui, maka akan dilakukan desain ulang atau survei ulang. Proses ini dilakukan hingga
mendapat desain akhir yang rinci.
Pada tahap persiapan dilakukan pengumpulan data sekunder berupa standar perencanaan
untuk jalan yaitu:
Standar Perencanaan Geometrik Jalan, AASHTO 2001
Tata Cara Perencanaan Persimpangan Sebidang Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal
Bina Marga, 1992
Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina
Marga, 1992
Standar Produk Untuk Jalan Perkotaan Volume II, Direktorat Jenderal Bina Marga, 1992
Design of Pavement Structures, American Association of State Highway and
Transportation Official, 1993
Guidelines For Mine Haul Road Design, University of British Columbia, 2001
Standar Perencanaan Perkerasan Lentur Tahun 2002, Direktorat Jenderal Bina Marga,
Pedoman Pt T-01-2002-B.
3
2.1.2 Perencanaan Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal adalah potongan menampang jalan dengan garis potong sejajar
permukaan jalan. Perencanaan alinyemen horizontal meliputi perencanaan tikungan pada
suatu ruas jalan raya. Pada perencanaan alinyemen horizontal terdapat 2 macam tikungan,
yaitu tikungan ke kanan dan tikungan ke kiri.
Tikungan memiliki 2 buah komponen penting yaitu bagian lurus dan bagian lengkung.
Berdasarkan hubungan antara kedua komponen tersebut, tikungan di bagi dalam 3 jenis
yaitu tikungan jenis spiral-circle-spiral, full circle, dan spiral-spiral. Dasar dari pemilihan
penggunaan ketiga tipe tikungan ini adalah hubungan antara jari-jari tikungan, superelevasi
dan gaya gesek menyamping.
Berikut ini akan dipaparkan langkah-langkah dalam penentuan desain alinyemen horizontal.
1. Lajur jalan yang akan direncanakan adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang,
dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan
bermotor sesuai kendaraan rencana. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada
MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih
dari 0,80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pads alinemen lurus
memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut:
a. Kelandaian 2 3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton
b. Kelandaian 3 5% untuk perkerasan granular (kerikil/sirtu)
4
Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Fungsi
Datar Bukit Pengunungan
Arteri 3000 2500 42000
Kolektor 2000 1750 1500
Tabel 2.2 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan
Penentuan kemiringan melintang (e) tergantung kondisi yang ada dan pertimbangan praktis
(misalnya untuk kemudahan pelaksanaan). Penentuan nilai e maks didasarkan pada:
5
Untuk keperluan praktis, maka di Indonesia, digunakan empat jenis nilai e maks, yaitu 6%,
8%, 10%, dan 12%. Nilai ini diadopsi dari hasil pendekatan yang dilakukan oleh AASHTO.
Untuk jalan dalam kota (urban) digunakan e maks 6% dan 8% (saat ini e maks 6% lebih
sering digunakan). Sedangkan untuk jalan antar kota (rural) digunakan e maks 10% dan
12% (saat ini e maks 10% lebih sering digunakan).
Dimana:
Rmin = Radius minimum (m)
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
emax = Superelevasi maksimum (%)
f = Koefisien gesek permukaan jalan
Berdasarkan rumus di atas, maka dapat dipakai pula penyederhanaan dalam tabel
berikut.
6
3. Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus jalan dan
bagian lengkung jalan berjari jari tetap R; berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen
jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R
sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan
berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun
meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral
(clothoid). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral. L S ditentukan dari 3 rumus di
bawah ini dan di ambil nilai yang terbesar:
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan
VR
LS = T
3,6
Dimana:
T = waktu tempuh pada LS, ditetapkan 3 detik
7
3
V V e
LS =0,022 R 2,727 R
R C C
c.Berdasarkan tingkat perubahan kelandaian
( em en ) V R
LS =
3,6 r e
Dimana:
en = superelevasi normal
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan (m/m/dtk)
4. Jenis lengkung/alinyemen horizontal dibagi 3, yaitu:
a. Lengkung lingkaran (full circle, FC)
b. Lengkung spiral spiral (SS)
c.Lengkung spiral circle spiral (SCS)
Bagan, rumus dan diagram superelevasi yang digunakan untuk penentuan lengkung SCS
adalah sebagai berikut:
8
Gambar 2.4 Bagan Lengkung SCS
LS 360
S =
2 R 2
c =2 S
c
Lc= 2 R
360
2
Ls
Yc=
6R
Ls3
Xc=Ls
40 R2
k =XcR sin S
p=YcR ( 1cos S )
Ts=( R+ p ) tan +k
2
( R+ p )
Es= R
cos
2
Ltotal=Lc+ 2 Ls
9
Gambar 2.5 Diagram Superelevasi Lengkung SCS
Bagan, rumus dan diagram superelevasi yang digunakan untuk penentuan lengkung SS
adalah sebagai berikut:
1
S =
2
c =0
Lc=0
Ls 2
Yc=
6R
Ls3
Xc=Ls
40 R2
k =XcR sin S
p=YcR ( 1cos S )
Ts=( R+ p ) tan +k
2
10
( R+ p )
Es= R
cos
2
Ltotal=2 Ls
1
Tc=R tan
2
Lc= 2 R
360
1
Ec=Tc tan
4
11
Gambar 2.9 Diagram Superelevasi Lengkung FC
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus dan bagian
lengkung yang berjari-jari tetap, R. Lengkung ini adalah sebagai antisipasi perubahan
alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tidak berhingga) sampai bagian lengkung jalan dengan
jari-jari tetap demikian sehingga gaya sentrifugal yang terjadi pada kendaraan pada saat
melewati tikungan berubah secara berangsur, baik pada saat masuk tikungan maupun keluar
tikungan.
12
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan,
Vrencana 70 km/jam re-maks = 0,035 m/m/detik
Vrencana 80 km/jam re-maks = 0,025 m/m/detik
C = perubahan percepatan, diambil 1 3 m/det2
R = jari-jari busur lingkaran (m)
Peralihan dari kemiringan melintang normal sampai ke superelevasi dilakukan secara
berangsur di sekitar titik awal tikungan dan peralihan dari superelevasi ke kemiringan
melintang normal dilakukan di sekitar titik akhir tikungan. Yang paling umum dan sering
digunakan adalah dengan cara sumbu perkerasan sebagai sumbu putar yang pertama.
Untuk tikungan S-C-S peralihan superelevasi digambarkan secara grafis dalam bentuk
diagram superelevasi seperti pada Gambar berikut
TS SC CS ST
Pot. 2
e%
Pot. 1
+3 %
0%
-3 %
Pot. 3
e%
Pot. 4
Ls Lc Ls
+3% +e%
-3% -3% 0% -3% -3%
-e%
Pot. 2
Pot. 1 Pot. 1
+3%
0% 0%
-3%
-3%
Pot. 3
Pot. 1
e%
e% 2%
TC CT
Pot. 4
Gambar 2.11 Diagram Superelevasi Lengkung FC
13
5. Untuk memberikan kebebasan mengemudi di tikungan (jejak kendaraan tetap di
dalam tikungan dan dalam lajurnya) maka setiap tikungan (R<1200m dan atau
<10) diperlukan pelebaran perkerasan.
B=n ( b ' +C ) + ( n1 ) Td + z
Dimana:
n = jumlah lajur lalu lintas
b = lebar lintasan truk di tikungan
T = lebar melintang akibat tonjolan depan
z = lebar tambahan akibat kelainan pengemudi
C = kebebasan samping = 0,8 m
Pada tikungan full circle, pencapaian superelevasi (Potongan 4) dilakukan secara linier, yang
diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai pada bagian lingkaran penuh sepanjang
1/3 Ls. Nilai lengkung peralihan (Ls) kadang diberi notasi Ls, yang artinya lengkung
peralihan fiktif. Hal ini untuk menandakan bahwa dalam perhitungan lengkung full circle tidak
dibutuhkan data Ls. Panjang peralihan ini hanya diberikan pada saat pembuatan diagram
superelevasi dan konstruksi.
Alinyemen vertikal adalah potongan penempang jalan memanjang dengan sumbu potong
tegak lurus garis tengah jalan. Perencanaan alinyemen vertikal ini melingkupi perencanaan
lengkung vertikal dan tinggi daerah galian dan timbunan. Ada dua macam lengkung vertikal
dalam perencanaan alinyemen vertikal, yaitu lengkung vertikal cekung dan alinyemen
vertikal cembung. Lengkung vertikal cembung memiliki bentuk seperti mangkuk terbalik,
sedangkan lengkung vertikal cekung berbentuk seperti mangkuk yang terbuka ke atas.
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Kontrol
yang umum digunakan dalam perencanaan lengkung vertikal adalah sebagai berikut:
Landai maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk dengan muatan penuh
masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan
awal tanpa penurunan gigi atau pindah ke gigi rendah, seperti pada Tabel berikut.
14
Gambar 2.12 Ilustrasi Lengkung Vertikal Cembung dan Cekung
15
Untuk merencanakan lengkung vertikal, pertama-tama kita harus mendesain jarak pandang.
Jarak pandang adalah jarak yang memungkinkan bagi pengemudi untuk mengambil tindakan
ketika pengemudi melihat rintangan di depanya. Ada dua jenis jarak pandang yang
digunakan dalam perencanaan alinyemen vertikal ini, yaitu jarak pandang henti dan jarak
pandang mendahului.
2
VR
V
J h= R T +
( )
3,6
3,6 2 gf
Alinyemen jalan yang optimal diperoleh dari satu proses iterasi pemilihan alinyemen. Berikut
urutan dalam perencanaan alinyemen vertikal.
1. Dengan menggunakan data dasar, dibuat beberapa alternatif alinyemen horizontal (lebih
dari satu) yang dipandang dapat memenuhi kriteria perencanaan.
2. Setiap alternatif alinyemen horizontal dibuat alinyemen vertikal dan potongan
melintangnya.
3. Semua alternatif alinyemen dievaluasi untuk memilih alternatif yang paling efisien.
Khusus untuk jalan khusus area perloggingan maupun logging mengacu kepada desain jalan
hauling. Desain panjang kritis maksimum dengan gradient hingga 10% diijinkan sepanjang
500 600 meter dan jalan dengan gradient 2% sepanjang 25 meter.
16
Catatan :
V atau PVI adalah titik perpotongan kelandaian
g1 dan g2 adalah kelandaian jalan dalam %
Analisa dilakuan dari kiri ke kanan dan nilai g(+) jika naik dan g(-) jika tu
(g2 - g1) adalah Perbedaan aljabar kelandaian, A (%)
Nilai e atau Ev adalah nilai y pada x = L
L atau Lv adalah panjang lengkung
Nilai y(-) untuk lengkung Cembung dan y(+) untuk lengkung Cekung
17
Jika jarak pandang yang lebih kecil dari panjang
lengkung vertikal (SL):
Jika jarak pandang yang lebih besar dari panjang lengkung vertikal (S>L):
Jika jarak pandang yang lebih besar dari panjang lengkung vertikal (S>L):
Perencanaan untuk beberapa alternatif bertujuan mencari alinyemen jalan yang paling
efisien yaitu alinyemen dengan kriteria sebagai berikut:
1. Alinyemen terpendek;
2. Semua kriteria perencanaan harus dipenuhi. Jika tidak ada alternatif alinyemen yang
memenuhi kriteria perencanaan, maka kriteria perencanaan harus dirubah;
3. Memiliki pekerjaan tanah yang paling sedikit atau paling murah. Yang dimaksud
pekerjaan tanah di sini melingkupi volume galian, volume timbunan, dan volume
perpindahan serta pengoperasian tanah galian dan timbunan; dan
4. Memiliki jumlah dan panjang jembatan paling sedikit atau paling pendek atau paling
murah.
Pada alternatif yang paling efisien, perlu dievaluasi koordinasi antara alinyemen horizontal
dan alinyemen vertikal. Perubahan kecil pada alinyemen terpilih ini dapat dilakukan, tetapi
18
jika perubahan alinyemen tersebut menyebabkan penambahan pekerjaan tanah yang besar
maka proses seleksi alinyemen perlu diulang.
Potongan melintang adalah gambaran jalan yang dipotong secara vertikal dan tegak lurus
sumbu jalan. Potongan melintang jalan digunakan untuk menunjukan aplikasi nilai
superelevasi yang digunakan pada perencanaan jalan. Pada suatu kegiatan perencanaan
jalan, potongan melintang jalan biasanya diambil gambarnya untuk tiap jarak 25 meter, atau
lebih rapat sesuai dengan kebutuhannya.
1. Gambar alinyemen horizontal jalan yang digambar pada peta topografi berkontur;
2. Gambar alinyemen vertikal jalan;
3. Diagram superelevasi;
4. Gambar potongan melintang jalan untuk setiap titik Sta.;
5. Diagram pekerjaan tanah (mass diagram);
6. Bagian bagian lain yang dianggap perlu.
19
Gambar 2.16 Sketsa Potongan Melintang Tipikal
Lapis Granular
Timbunan Pilihan
Tanah Dasar, CBR>5%
20
4) Rural Road Design A Guide to the Geometric Design of Rural Roads, Austroroads,
Sydney 2003
5) AASHTO 2001 Geometric Design of Highways and Streets
b. Perencanaan Badan Jalan
1) Tujuan Pembangunan Jalan
Dalam hal tujuan pembangunan jalan ini kendaraan yang dominan akan melewati
jalan ini adalah jenis Truk yang akan digunakan untuk mengangkut kayu bulat
walaupun nantinya ada beberapa kendaraan kecil seperti Wagon, Kijang yang juga
akan melewati jalan tersebut untuk keperluan inspeksi dan beberapa jenis truk kecil
untuk keperluan maintenance jalanKlasifikasi Jalan
2) Kendaraan Rencana (Design Vehicle)
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai
sebagai acuan dalam perencanaan geometrik jalan yang akan dibangun.
Berdasarkan Pedoman Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota Tahun 1997, kendaraan rencana dikelompokkan menjadi 3
katagori, yaitu:
Kendaraan ringan/kecil, diwakili oleh mobil penumpang
Kendaraan sedang, diwakiili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2
as
Kendaraan besar, diwakili oleh truk semi trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing katagori tersebut ditunjukkan dalam tabel
berikut:
Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak owner atau pemilik pekerjaan, spesifikasi
kendaraan rencana yang akan digunakan untuk aktifitas pengangkutan kayu di lokasi
pekerjaan ini adalah sebagai berikut:
A. Kendaraan Rencana 1
Lebar kendaraan : 2.52 m
Lebar axle : 2.1 m
Jumlah axle (trailler) : 1.22 + 22.22
Jumlah roda : 2 + 8 + 8 + 8
Kapasitas Mesin : MB 4043 S (6x4) 428 HP
Gross Vehicle Weight (GVW) : 60 ton
Net weight : 40 ton
Panjang kendaraan : 20 m
21
Sketsa dimensi kendaraan rencana yang akan digunakan dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
Sketsa dimensi kendaraan rencana yang akan digunakan dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
22
Gambar 2.20 Alternatif Truk 2 Logging truck panjang total 20 m
1. Kendaraan Rencana 3
Lebar kendaraan : 2.52 m
Lebar axle : 2.1 m
Jumlah axle (trailler) : 1.22
Jumlah roda : 2 + 8
Kapasitas Mesin : MB 4043 S (6x4) 428 HP
Gross Vehicle Weight (GVW) : 40 ton
Net weight : 25 ton
Panjang kendaraan : 12 m
Sketsa dimensi kendaraan rencana yang akan digunakan dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
23
Yang dimaksud dengan badan jalan yaitu bagian jalan yang meliputi jalur lalu lintas
(traffic lane), median dan bahu jalan. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.23.
Beberapa referensi memberikan pedoman dalam hal merencanakan lebar jalan untuk Jalan
2 lajur 2 arah (2 lane 2 way traffic), yaitu :
Lebar lajur kendaraan (travelled way width) 4,0 m dan bahu jalan (shoulder) antara
1,0 m sampai 2,0 m.
Dari beberapa pertimbangan diatas dan dengan kendaraan rencana (haul truck) selebar
2.52 m , lebar jalan direncanakan 12,0 meter.
Perencanaan lebar jalur lalu lintas tergantung dari jumlah, jenis dan kecepatan
kendaraan yang akan dilayani. Biasanya lebar jalur lalu lintas untuk 2 lajur 2 arah adalah
antara 7 m dan 7,2 m, dengan masing masing lebar lajur kendaraan (travelled way)
adalah 3,5 m dan 3,6 m.
Dengan pertimbangan nantinya volume kendaraan besar yang akan meningkat secara
signifikan maka lebar lajur kendaraan ini dapat diperlebar sampai maksimum 4,0 m,
atau pada bagian bahu jalan (shoulder) masing masing selebar 2 m diperkeras (seal
shoulder) dan ini akan menjadi alternatif yang paling efisien dengan pertimbangan
bahwa pada saat 2 kendaraan besar yang berlawanan arah berpapasan dengan
24
kecepatan yang tinggi untuk mempertahankan Clearence antar kendaraan, maka roda
sebelah luar kendaraan akan berada di bahu jalan yang diperkeras ini.
Bahu jalan adalah bagian dari jalan yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk
menampung kendaraan yang berhenti pada situasi darurat, meningkatkan jarak
pandang pada tikungan, pada situasi darurat untuk ruang menghindar dari tabrakan dari
kendaraan yang berlawanan dan untuk pendukung terhadap struktur perkerasan pada
jalur lalu lintas. Bahu jalan direncanakan masing masing selebar 2 meter, dengan
pemadatan tanah asli.
25
FAKTOR K FAKTOR F
VLHR
(%) (%)
>50.000 4-6 0,9 - 1
30.000 - 50.000 6-8 0,8 - 1
10.000 - 30.000 6-8 0,8 - 1
5.000 - 10.000 8 - 10 0,6 - 0,8
1.000 - 5.000 10 - 12 0,6 - 0,8
<1.000 12 - 16 <0,6
26
a. Kondisi topografi medan (Terrain Condition)
Berdasarkan peta topografi dari Bakosurtanal dan kategori diatas, maka lokasi rencana
jalan ini termasuk dalam kondisi daerah yang Berbukit (Rolling / Hilly).
Dalam menentukan kecepatan rencana dipengaruhi oleh klasifikasi jalan, kondisi medan
lokasi jalan (terrain condition) serta jenis kendaraan yang akan dilayani oleh jalan
tersebut.
Berdasarkan pedoman Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan
V R ).
Antar kota, untuk menentukan kecepatan rencana (
Tabel 2.9
V R berdasarkan fungsi dan kondisi medan jalan.
V R , Km/jam
Kecepatan Rencana,
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 - 120 60 - 80 50 - 70
Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
27
Ketentuan yang umum dipakai dalam menentukan landai maksimum dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Khusus untuk jalan khusus area pertambangan maupun logging mengacu kepada
desain jalan hauling. Desain panjang kritis maksimum dengan gradient hingga 10%
diijinkan sepanjang 500 600 meter dan jalan dengan gradient 2% sepanjang 25 meter.
Alinyemen vertical terdiri dari bagian lurus dan bagian lengkung, pada bagian lurus
dapat berupa landai positif (tanjakan), landai negatif (turunan) atau landai nol (datar).
1) Landai Maksimum
Dari uraian dan pertimbangan yang disebutkan diatas, Landai (vertical grade)
maksimum yang digunakan dalam perencanaan ini ialah +8%, untuk tanjakan
dan -8% untuk turunan ( +8% dan -8% ).
2) Landai Minimum
Dengan mempertimbangkan biaya dan kelancaran drainase samping jalan (side
ditch), maka pada daerah galian landai minimum direncanakan sebesar 0.5%.
Sedangkan pada daerah timbunan yang tidak ada drainase samping jalan, landai
minimum sebesar 0%.
3) Panjang Landai maksimum
Panjang maksimum tanjakan/turunan, tidak disyaratkan secara explisit, dengan
pertimbangan efisiensi waktu tempuh dan keamanan dari kendaraan yang lewat,
panjang tanjakan harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit ( dengan
28
asumsi pada tanjakan maksimum, kecepatan truk 30 km/jam), maka panjang
maksimum tanjakan / turunan adalah 1.250 meter.
4) Lengkung Vertical
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian, dengan tujuan untuk :
- Kenyamanan berkendaraan dengan mengurangi terjadinya goncangan
akibat perubahan landai.
- Menyediakan jarak pandang henti.
Lengkung vertikal dapat berupa cembung (Crest) atau Cekung (sag), sesuai
dengan kecepatan rencana 30 km/jam diatas, maka panjang lengkung minimum
adalah 30 meter.
Berdasarkan perarturan-peraturan di atas, serta ketentuan dari pemilik pekerjaan, kriteria
desain jalan yang digunakan pada pekerjaan ini dapat dilihat pada Tabel 2.11 berikut:
Kriteria Nilai
km/ja
Design Speed m 30
R min (lengkung minimum) m 30
Normal Crossfall % 2
Max Superelevation % 4
Max Vertical Grade % +8/-8
Road Dimension
Carriageway m 13
Forming m 17
Slope
Batter Slope 1(V) : 1(H)
1. Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan
modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam
perencanaan Modulus Resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari
CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan
nilai CBR (Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir
halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.
MR (psi) = 1.500 x %CBR, jika %CBR<10
MR (psi) = 3.000 x %CBR0,65, jika %CBR>10
Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :
29
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu
sebagai akibat beban lalu-lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
c. Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan konstruksi.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas
untuk jenis tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.
3. Lapis Pondasi
Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak
langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis
pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di
atas tanah dasar.
Fungsi lapis pondasi antara lain :
a. Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.
b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat
menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan
sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan
sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.
30
Bermacam-macam bahan alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan
sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang
distabilisasi dengan semen, aspal, pozzolan, atau kapur.
4. Lapis Permukaan
Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat
dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya
terletak di atas lapis pondasi.
Fungsi lapis permukaan antara lain :
a. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.
b. Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course)
Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi
dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar
lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan
bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap
beban roda.
Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan,
umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-
besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
2. Beban lalu-lintas
Beban lalu lintas didasarkan pada cummulative expected 80 kN (18-kip)
Dimana:
DD = faktor distribusi arah (0,3 s/d 0,7)
DL = faktor distribusi lajur
Jumlah Lajur Pada Kedua Arah % 18-kip ESAL Pada Lajur Rencana
1 100
2 80 100
31
Jumlah Lajur Pada Kedua Arah % 18-kip ESAL Pada Lajur Rencana
3 60 80
4 atau lebih 50 75
Beban lalu lintas rencana adalah jumlah kumulatif beban sumbu standar
selama umur rencana (Wt)
(1+ g )n1
W t =W 18
g
Dimana:
n = umur rencana perkerasan
g = tingkat pertumbuhan lalu lintas rata rata per tahun
Angka ekivalen untuk kendaraan berat berdasarkan jumlah sumbu dan beban
per sumbu dapat ditentukan sebagai berikut:
Pangkat 4
Pangkat 5
32
STdRG
STRG STrRG
STRT
33
Gambar 6.25 Ilustrasi Distribusi Pembebanan Sumbu Roda
Metode NAASRA
34
Dimana:
Wtx = jumlah aplikasi beban sumbu seberat x hingga umur t
Wt18 = jumlah aplikasi beban sumbu tunggal seberat 18-kip hingga umur t
Lx = beban sumbu tunggal atau sumbu ganda atau sumbu triplet (lbs)
L2 = axle code (1 untuk sumbu tunggal; 2 untuk sumbu ganda; 3 untuk
sumbu tridem)
SN = structural number dari perkerasan (inch)
Pt = terminal serviceability
Gt = fungsi dari Pt
18 = nilai dari x jika Lx =18 dan L2 =1
3. Reliabilitas
Reliabilitas Merupakan suatu variabel yang ditujukan untuk mengakomodasi
derajat kepastian pada proses perencanaan untuk menjamin dahwa besain
yang dibuat akan dapat bertahan sepanjang perioda analisis. Tingkat
reliabilitas seharusnya makin tinggi untuk jalan bervolume lalu lintas tinggi.
Arteri 80 99 75 95
Kolektor 80 95 75 95
Lokal 50 80 50 80
Tingkat Reliabilitas (R) berhubungan dengan nilai Deviasi Standar Normal (ZR)
seperti diberikan pada tabel dibawah ini.
35
4. Kapasitas Struktur (Structural Number) Perkerasan
Perhitungan nilai kapasitas struktur merupakan inti dari perencanaan
perkerasan jalan. Nilai ini didapat dengan menggunakan nomogram dan
grafik atau menggunakan persamaan sebagai berikut (AASHTO, 1993)
log 10
{
PSI
(4,21,5) }
Log (W18) = ZRSO + 9,36 Log10 (SN + 1) 0,20 + 1094 +2,32
0,4 +
( SN +1)5,19
Dimana:
a1 , a2 , a3 = koefisien kekuatan relatif lapisan
m2 , m 3 = koefisien drainase
D1 , D2 , D3 = tebal lapisan
Dengan ketentuan sebagai berikut:
36
Dimana:
a, D, m dan SN didefinisikan sebagai nilai minimum yang ditentukan
D atau SN menandakan nilai yang dapat mewakili nilai aktual, nilai tersebut
harus sama atau lebih besar dari nilai yang disarankan
Catatan:
a. Koefisien kekuatan relatif lapisan perkerasan merupakan ukuran
kemampuan relatif material untuk dapat berfungsi sebagai komponen
struktural dari perkerasan.
b. Koefisien kekuatan relatif suatu material diambil sebagai fungsi dari
Modulus Elastis (E) dari material tersebut.
c.Modulus Elastis didapatkan dari pengujian:
AASHTO T 274 untuk granular material
ASTM D 4123 untuk AC dan material yang distabilisasi
37
Tabel 2.16 Kendaraan Truck
- Indeks Permukaan
Lapis Permukaan merupakan lapisan terbuka dari bahan batuan gunung sehingga
direncanakan memiliki Indeks Permukaan Awal 2,4. Untuk Indeks Permukaan Akhir
adalah 2,0.
- Karakteristik material
Pemilihan material yang digunakan menentukan biaya, tebal serta tingkat pelayanan
yang diberikan. Struktur pekerasan jalan dihitung berdasarkan Indeks Tebal Perkerasan
(ITP).
d = tebal lapisan
Karena struktur yang digunakan hanya dua lapis yaitu bagian Sub Base (Lapis Pondasi
Bawah) dan Base (Lapis Pondasi Atas) maka rumus tersebut menjadi
SN = a2.d2 + a3.d3
Koefisien kekuatan relatif lapisan sub base (pondasi bawah) yang menggunakan Agregat
kelas B dengan nilai a3 = 0,13.
38
Sedangkan untuk lapisan base (Pondasi Atas) yang direncanakan menggunakan Agregat
Kelas A dengan nilai a2 = 0,14.
SN = Angka struktural
39
Survei dan Desain Rinci Jalan Koridor 20,6 km, Jembatan Sungai Tunan,
dan Overpass Jalan Provinsi di Kab. Penajam Paser Utara, Prov. Kalimantan Timur
1
2
3
40
Survei dan Desain Rinci Jalan Koridor 20,6 km, Jembatan Sungai Tunan,
dan Overpass Jalan Provinsi di Kab. Penajam Paser Utara, Prov. Kalimantan Timur
Asumsi d2 = 11,81 in = 30 cm
Maka tebal d3 = 22,69 in 60 cm
Lapisan Base (Agregat Kelas A) 30 cm
Lapisan Sub Base (Agregat Kelas B) 60 cm
Lapisan Perkerasan Tanpa Ikatan ditunjukkan pada Gambar berikut untuk melayani Truck
Tipe C max 40 ton.
Umur rencana jalan direncanakan selama 15 tahun dengan rencana pembangunan secara
bertahap. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah ditampilkan pada sub bab sebelumnya.
Maka usulan yang dapat diberikan oleh konsultan adalah sebagai berikut :
41
Survei dan Desain Rinci Jalan Koridor 20,6 km, Jembatan Sungai Tunan,
dan Overpass Jalan Provinsi di Kab. Penajam Paser Utara, Prov. Kalimantan Timur
Pada tahun ke-6 hingga ke-15, dilakukan penambahan lapisan (overlay) dengan
lapisan Agregat Kelas A. Maka tebal perkerasan yang diperlukan adalah sebagai
berikut:
42