Anda di halaman 1dari 42

PERENCANAAN JALAN

2
2.1 Perencanaan Geometrik Jalan

2.1.1 Umum

Perencanaan geometri jalan meliputi perencanaan alinyemen horizontal, alinyemen vertikal,


dan potongan melintang jalan. Geometrik jalan didesain sedemikian rupa sehingga tujuan-
tujuan seperti keselamatan pengguna jalan, terhubungnya seluruh kawasan, serta
mencegah adanya genangan air di atas permukaan jalan.

Dalam mendesain deometri jalan tol ada beberapa langkah yang harus dilalui terlebih
dahulu. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam flowchart desain geometri jalan pada
Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Diagram Alir Perencanaan Desain Geometri Jalan.

1
Gambar 2.2 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan.

2
Tahap persiapan adalah tahapan dimana perencana melakukan persiapan dan pendataan
perlengkapan untuk kegitan survei awal. Perlengkapan yang dibawa untuk kegiatan survei
awal biasanya adalah alat pengukur seperti kompas, altimeter (pengukur ketinggian),
clinometer (pengukur kemiringan medan), currentmeter (pengukur arus sungai), kompas
geologi (pengukur arah kemiringan batuan), dan pita meteran baja. Untuk melakukan survei,
biasanya tim survei juga membawa peralatan kemping, peralatan dokumentasi, peta
topografi, peta muka bumi, peta geologi regional, serta formulir data survei.

Sebelum kegiatan surveidimulai dilakukan pendataan terhadap siapa saja tim ahli yang akan
ikut serta dalam kegiatan survei. Biasanya dalam mengadakan survei pembuatan jalan, tim
ahli yang terlibat antara lain seorang highway engineer, geotechnical engineer, geodetic
engineer, bridge engineer, dan hydrological engineer.

Setelah semua perlengkapan dan tim tersiapkan,maka mobilisasi menuju tempat survei
dapat dilakukan. Survei dimulai dengan menentukan lokasi titik awal proyek dan titik akhir
proyek. titik awa proyek dapat berupa sambungan dari proyek lain atau titik baru yang
ditentukan berdasarkan survei. Dalam survei ini juga di tentukan rute yang diperkirakan
dapat digunakan sebagai rencana rute untuk menghubungkan titik awal dan akhir proyek.

Dari hasil survei awal ini kemudian dapat disusun trase rencana awal. Selanjutnya dilakukan
kajian untuk menyepakati rute yang didapat. Jika ternyata dari hasil kajian dinyatakan rute
tersebut tidak layak, maka harus diadakan survei trase ulang. Jika telah disepakati rute yang
akan digunakan, maka diadakan survei lanjutan untuk mendapatkan detail-detail mengenai
pembuatan jalan raya pada trase yang telah disepakati.

Setelah survei lanjutan selesai dilaksanakan, data hasil survei tersebut kemudian dibahas
bersama antara pihak perencana dan owner. Dari data survei lanjutan tersebut dapat
ditentukan desain geometrik jalan. Jika nantinya rencana geometri jalan tersebut tidak
disetujui, maka akan dilakukan desain ulang atau survei ulang. Proses ini dilakukan hingga
mendapat desain akhir yang rinci.

Pada tahap persiapan dilakukan pengumpulan data sekunder berupa standar perencanaan
untuk jalan yaitu:
Standar Perencanaan Geometrik Jalan, AASHTO 2001
Tata Cara Perencanaan Persimpangan Sebidang Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal
Bina Marga, 1992
Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina
Marga, 1992
Standar Produk Untuk Jalan Perkotaan Volume II, Direktorat Jenderal Bina Marga, 1992
Design of Pavement Structures, American Association of State Highway and
Transportation Official, 1993
Guidelines For Mine Haul Road Design, University of British Columbia, 2001
Standar Perencanaan Perkerasan Lentur Tahun 2002, Direktorat Jenderal Bina Marga,
Pedoman Pt T-01-2002-B.

3
2.1.2 Perencanaan Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal adalah potongan menampang jalan dengan garis potong sejajar
permukaan jalan. Perencanaan alinyemen horizontal meliputi perencanaan tikungan pada
suatu ruas jalan raya. Pada perencanaan alinyemen horizontal terdapat 2 macam tikungan,
yaitu tikungan ke kanan dan tikungan ke kiri.

Tikungan memiliki 2 buah komponen penting yaitu bagian lurus dan bagian lengkung.
Berdasarkan hubungan antara kedua komponen tersebut, tikungan di bagi dalam 3 jenis
yaitu tikungan jenis spiral-circle-spiral, full circle, dan spiral-spiral. Dasar dari pemilihan
penggunaan ketiga tipe tikungan ini adalah hubungan antara jari-jari tikungan, superelevasi
dan gaya gesek menyamping.

Tata cara dalam perencanaan alinyemen horizontal yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan kriteria perencanaan, ditetapkan:


a)Jari jari minimum lengkung horizontal;
b)Kelandaian jalan maksimum;
c) Panjang maksimum bagian jalan yang lurus;
d)Jarak pandang henti dan jarak pandang mendahului.
2. Dengan memperhatikan kriteria perencanaan dan Rumija, pada peta dasar perencanaan,
rencanakan alinyemen horizontal jalan untuk beberapa alternatif lintasan.
3. Pada setiap gambar alternatif alinyemen, bubuhkan "nomor station", disingkat Sta. Dan
ditulis Sta. XXX+YYY, di mana XXX adalah satuan kilometer dan YYY satuan meter.
Penomoran Sta. ditetapkan sebagai berikut:
a) Sta. dibubuhkan untuk setiap 25 meter, kecuali pada kondisi khusus;
b) Penulisan Sta. pada gambar dilakukan disebelah kiri dari arah kilometer kecil ke
kilometer besar.

Berikut ini akan dipaparkan langkah-langkah dalam penentuan desain alinyemen horizontal.

1. Lajur jalan yang akan direncanakan adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang,
dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan
bermotor sesuai kendaraan rencana. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada
MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan
dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih
dari 0,80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pads alinemen lurus
memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut:
a. Kelandaian 2 3% untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton
b. Kelandaian 3 5% untuk perkerasan granular (kerikil/sirtu)

2. Penentuan kecepatan rencana (VR) dan nilai superelevasi maksimum (emax)


Kecepatan rencana dan nilai superelevasi maksimum dimaksudkan untuk menentukan
radius minimal (Rmin) tikungan. Berikut ini klasifikasi kecepatan rencana berdasarkan
fungsi jalan.

Tabel 2.1 Panjang Bagian Lurus Maksimum

4
Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Fungsi
Datar Bukit Pengunungan
Arteri 3000 2500 42000
Kolektor 2000 1750 1500

Tabel 2.2 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan

Kecepatan Rencana (VR), km/jam


Fungsi
Datar Bukit Pengunungan
Arteri 70 120 60 80 40 70
Kolektor 60 90 50 60 30 50
Lokal 30 60 30 50 20 30

Tabel 2.3 Jari-Jari Minimum

(VR), km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20


Jari-jari minimum
600 370 210 110 80 50 30 15
Rmin (m)
Jari-jari minimum
tanpa lengkung 2500 1500 900 500 350 250 130 60
peralihan (m)
Jari-jari minimum
5000 2000 1250 700 - - - -
tanpa superelevasi (m)

VR (km/jam) emax (%) fmax Rmin (m)


15 4,0 0,40 5
20 4,0 0,35 10
30 4,0 0,28 30
40 4,0 0,23 50
50 4,0 0,19 90
60 4,0 0,17 140
70 4,0 0,15 210
80 4,0 0,14 280
90 4,0 0,13 380
100 4,0 0,12 500
110 4,0 0,11 640
120 4,0 0,09 880
130 4,0 0,08 1110

Penentuan kemiringan melintang (e) tergantung kondisi yang ada dan pertimbangan praktis
(misalnya untuk kemudahan pelaksanaan). Penentuan nilai e maks didasarkan pada:

1) Kondisi iklim : frekuensi hujan


2) Kondisi terrain/topografi: datar, bukit atau gunung
3) Kondisi daerah : urban atau rural
4) Kondisi lalu lintas : frekuensi lalu lintas berkecepatan rendah.

5
Untuk keperluan praktis, maka di Indonesia, digunakan empat jenis nilai e maks, yaitu 6%,
8%, 10%, dan 12%. Nilai ini diadopsi dari hasil pendekatan yang dilakukan oleh AASHTO.
Untuk jalan dalam kota (urban) digunakan e maks 6% dan 8% (saat ini e maks 6% lebih
sering digunakan). Sedangkan untuk jalan antar kota (rural) digunakan e maks 10% dan
12% (saat ini e maks 10% lebih sering digunakan).

Sedangkan Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi


mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan
pads kecepatan VR. Nilai superelevasi maksimum ditetapkan sebesar 10%.

Berdasarkan kecepatan rencana dan nilai superelevasi maksimum, maka radius


minimum dapat ditetapkan sebagai berikut:
2
VR
Rmin =
127 ( 0,01 e max + f )

Dimana:
Rmin = Radius minimum (m)
VR = Kecepatan rencana (km/jam)
emax = Superelevasi maksimum (%)
f = Koefisien gesek permukaan jalan
Berdasarkan rumus di atas, maka dapat dipakai pula penyederhanaan dalam tabel
berikut.

Tabel 2.4 Panjang Radius Minimum Tikungan


(Sumber: Design of Pavement Structures, American Association of State Highway
and Transportation Official, 1993, hal 17)

6
3. Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus jalan dan
bagian lengkung jalan berjari jari tetap R; berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen
jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R
sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan
berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun
meninggalkan tikungan. Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral
(clothoid). Dalam tata cara ini digunakan bentuk spiral. L S ditentukan dari 3 rumus di
bawah ini dan di ambil nilai yang terbesar:
a. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan

VR
LS = T
3,6

Dimana:
T = waktu tempuh pada LS, ditetapkan 3 detik

b. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal

7
3
V V e
LS =0,022 R 2,727 R
R C C
c.Berdasarkan tingkat perubahan kelandaian
( em en ) V R
LS =
3,6 r e

Dimana:
en = superelevasi normal
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan (m/m/dtk)
4. Jenis lengkung/alinyemen horizontal dibagi 3, yaitu:
a. Lengkung lingkaran (full circle, FC)
b. Lengkung spiral spiral (SS)
c.Lengkung spiral circle spiral (SCS)

Berikut ini bagan alir dalam penentuan jenis alinyemen horizontal.

Gambar 2.3 Diagram Alir Perencanaan Alinyemen Horizontal

Bagan, rumus dan diagram superelevasi yang digunakan untuk penentuan lengkung SCS
adalah sebagai berikut:

8
Gambar 2.4 Bagan Lengkung SCS

LS 360
S =
2 R 2
c =2 S

c
Lc= 2 R
360
2
Ls
Yc=
6R

Ls3
Xc=Ls
40 R2
k =XcR sin S

p=YcR ( 1cos S )


Ts=( R+ p ) tan +k
2

( R+ p )
Es= R

cos
2
Ltotal=Lc+ 2 Ls

9
Gambar 2.5 Diagram Superelevasi Lengkung SCS

Bagan, rumus dan diagram superelevasi yang digunakan untuk penentuan lengkung SS
adalah sebagai berikut:

Gambar 2.6 Bagan Lengkung SCS

1
S =
2
c =0
Lc=0

Ls 2
Yc=
6R

Ls3
Xc=Ls
40 R2
k =XcR sin S

p=YcR ( 1cos S )


Ts=( R+ p ) tan +k
2

10
( R+ p )
Es= R

cos
2
Ltotal=2 Ls

Gambar 2.7 Diagram Superelevasi Lengkung SS


Bagan, rumus dan diagram superelevasi yang digunakan untuk penentuan lengkung FC
adalah sebagai berikut:

Gambar 2.8 Bagan Lengkung FC

1
Tc=R tan
2

Lc= 2 R
360
1
Ec=Tc tan
4

11
Gambar 2.9 Diagram Superelevasi Lengkung FC

Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus dan bagian
lengkung yang berjari-jari tetap, R. Lengkung ini adalah sebagai antisipasi perubahan
alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tidak berhingga) sampai bagian lengkung jalan dengan
jari-jari tetap demikian sehingga gaya sentrifugal yang terjadi pada kendaraan pada saat
melewati tikungan berubah secara berangsur, baik pada saat masuk tikungan maupun keluar
tikungan.

Beberapa pendekatan untuk menghitung panjang lengkung peralihan adalah sebagai


berikut:

Berdasarkan waktu tempuh di lengkung peralihan:

Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal:

Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian:


keterangan:
Vrencana = kecepatan rencana (km/jam)
Ls = panjang lengkung peralihan (m)
T = waktu tempuh di Ls, diambil 3 detik
em = superelevasi maksimum
en = superelevasi normal (umumnya 2%)

12
re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan,
Vrencana 70 km/jam re-maks = 0,035 m/m/detik
Vrencana 80 km/jam re-maks = 0,025 m/m/detik
C = perubahan percepatan, diambil 1 3 m/det2
R = jari-jari busur lingkaran (m)
Peralihan dari kemiringan melintang normal sampai ke superelevasi dilakukan secara
berangsur di sekitar titik awal tikungan dan peralihan dari superelevasi ke kemiringan
melintang normal dilakukan di sekitar titik akhir tikungan. Yang paling umum dan sering
digunakan adalah dengan cara sumbu perkerasan sebagai sumbu putar yang pertama.
Untuk tikungan S-C-S peralihan superelevasi digambarkan secara grafis dalam bentuk
diagram superelevasi seperti pada Gambar berikut

TS SC CS ST
Pot. 2

e%
Pot. 1
+3 %
0%
-3 %
Pot. 3
e%

Pot. 4
Ls Lc Ls

+3% +e%
-3% -3% 0% -3% -3%
-e%

Pot. 1 Pot. 2 Pot. 3 Pot. 4

Gambar 2.10 Diagram Superelevasi untuk Tikungan S-C-S


Pot. 4 TC CT
Pot. 3
-3% -3%

Pot. 2

Pot. 1 Pot. 1
+3%

0% 0%
-3%
-3%

Pot. 2 1/3 Ls' 2/3 Ls'


+3% 2/3 Ls' 1/3 Ls' Lc
-3%

Pot. 3
Pot. 1
e%

e% 2%

TC CT
Pot. 4
Gambar 2.11 Diagram Superelevasi Lengkung FC

13
5. Untuk memberikan kebebasan mengemudi di tikungan (jejak kendaraan tetap di
dalam tikungan dan dalam lajurnya) maka setiap tikungan (R<1200m dan atau
<10) diperlukan pelebaran perkerasan.
B=n ( b ' +C ) + ( n1 ) Td + z
Dimana:
n = jumlah lajur lalu lintas
b = lebar lintasan truk di tikungan
T = lebar melintang akibat tonjolan depan
z = lebar tambahan akibat kelainan pengemudi
C = kebebasan samping = 0,8 m

Pada tikungan full circle, pencapaian superelevasi (Potongan 4) dilakukan secara linier, yang
diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai pada bagian lingkaran penuh sepanjang
1/3 Ls. Nilai lengkung peralihan (Ls) kadang diberi notasi Ls, yang artinya lengkung
peralihan fiktif. Hal ini untuk menandakan bahwa dalam perhitungan lengkung full circle tidak
dibutuhkan data Ls. Panjang peralihan ini hanya diberikan pada saat pembuatan diagram
superelevasi dan konstruksi.

2.1.3 Perencanaan Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah potongan penempang jalan memanjang dengan sumbu potong
tegak lurus garis tengah jalan. Perencanaan alinyemen vertikal ini melingkupi perencanaan
lengkung vertikal dan tinggi daerah galian dan timbunan. Ada dua macam lengkung vertikal
dalam perencanaan alinyemen vertikal, yaitu lengkung vertikal cekung dan alinyemen
vertikal cembung. Lengkung vertikal cembung memiliki bentuk seperti mangkuk terbalik,
sedangkan lengkung vertikal cekung berbentuk seperti mangkuk yang terbuka ke atas.

Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Kontrol
yang umum digunakan dalam perencanaan lengkung vertikal adalah sebagai berikut:

Kelandaian diusahakan mengikuti bentuk permukaan tanah asli sebanyak mungkin


untuk mengurangi galian dan timbunan untuk menekan biaya
Perencanaan harus dilakukan sebaik karena sulit dan mahal untuk memperbaiki suatu
kelandaian jalan dikemudian hari
Penggunaan landai maksimum sebaiknya dihindari dan jika kondisi harus
menggunakan landai maksimum maka perlu ditambahkan jalur pendakian khusus
Perencanaan alinyemen vertikal dikoordinasikan dengan alinyemen horizontal.

Landai maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk dengan muatan penuh
masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan
awal tanpa penurunan gigi atau pindah ke gigi rendah, seperti pada Tabel berikut.

14
Gambar 2.12 Ilustrasi Lengkung Vertikal Cembung dan Cekung

Gambar 2.13 Lengkung Vertikal Cembung

Gambar 2.14 Lengkung Vertikal Cekung

15
Untuk merencanakan lengkung vertikal, pertama-tama kita harus mendesain jarak pandang.
Jarak pandang adalah jarak yang memungkinkan bagi pengemudi untuk mengambil tindakan
ketika pengemudi melihat rintangan di depanya. Ada dua jenis jarak pandang yang
digunakan dalam perencanaan alinyemen vertikal ini, yaitu jarak pandang henti dan jarak
pandang mendahului.
2
VR
V
J h= R T +
( )
3,6
3,6 2 gf

Alinyemen jalan yang optimal diperoleh dari satu proses iterasi pemilihan alinyemen. Berikut
urutan dalam perencanaan alinyemen vertikal.

1. Dengan menggunakan data dasar, dibuat beberapa alternatif alinyemen horizontal (lebih
dari satu) yang dipandang dapat memenuhi kriteria perencanaan.
2. Setiap alternatif alinyemen horizontal dibuat alinyemen vertikal dan potongan
melintangnya.
3. Semua alternatif alinyemen dievaluasi untuk memilih alternatif yang paling efisien.

Tabel 2.5 Kelandaian Maksimum yang Diizinkan

VR 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaia
n Maks 3 3 4 5 8 9 10
10
(%)

Perencanaan lengkung/alinyemen vertikal bertujuan sebagai:

1. Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian


2. Menyediakan jarak pandang henti

Khusus untuk jalan khusus area perloggingan maupun logging mengacu kepada desain jalan
hauling. Desain panjang kritis maksimum dengan gradient hingga 10% diijinkan sepanjang
500 600 meter dan jalan dengan gradient 2% sepanjang 25 meter.

Di dalam perencanaan panjang lengkung vertikal, perhitungannya mengikuti persamaan


parabola sederhana, seperti dapat dilihat pada Gambar berikut.

16
Catatan :
V atau PVI adalah titik perpotongan kelandaian
g1 dan g2 adalah kelandaian jalan dalam %
Analisa dilakuan dari kiri ke kanan dan nilai g(+) jika naik dan g(-) jika tu
(g2 - g1) adalah Perbedaan aljabar kelandaian, A (%)
Nilai e atau Ev adalah nilai y pada x = L
L atau Lv adalah panjang lengkung
Nilai y(-) untuk lengkung Cembung dan y(+) untuk lengkung Cekung

Panjang lengkung vertikal didasarkan kepada kecepatan rencana, jarak pandang


(khususnya jarak pandang henti), dan perbedaan aljabar kemiringan. Untuk bentuk lengkung
cembung didasarkan keamanan, kenyamanan, drainase dan estetika dengan
mempertimbangkan jarak pandang yang dapat dicapai. Sedangkan untuk lengkung cekung
perlu diperhatikan jarak lampu sorot dan drainase. Jika jarak pandang dinyatakan dengan S,
khususnya jarak pandang henti Jh, yang besarnya untuk setiap kecepatan rencana telah
dibahas pada bab sebelumnya, h1 adalah tinggi mata pengemudi, h2 adalah tinggi
halangan, serta selisih aljabar kelandaian, maka beberapa rumus yang dapat digunakan
untuk mementukan lengkung vertikal adalah sebagai berikut:

- Lengkung Vertikal Cembung

17
Jika jarak pandang yang lebih kecil dari panjang
lengkung vertikal (SL):

Jika jarak pandang yang lebih besar dari panjang lengkung vertikal (S>L):

- Lengkung Vertikal Cekung

Jika jarak pandang yang lebih kecil dari panjang lengkung


vertikal (SL):

Jika jarak pandang yang lebih besar dari panjang lengkung vertikal (S>L):

2.1.4 Pemilihan Alinyemen yang Optimal

Perencanaan untuk beberapa alternatif bertujuan mencari alinyemen jalan yang paling
efisien yaitu alinyemen dengan kriteria sebagai berikut:

1. Alinyemen terpendek;
2. Semua kriteria perencanaan harus dipenuhi. Jika tidak ada alternatif alinyemen yang
memenuhi kriteria perencanaan, maka kriteria perencanaan harus dirubah;
3. Memiliki pekerjaan tanah yang paling sedikit atau paling murah. Yang dimaksud
pekerjaan tanah di sini melingkupi volume galian, volume timbunan, dan volume
perpindahan serta pengoperasian tanah galian dan timbunan; dan
4. Memiliki jumlah dan panjang jembatan paling sedikit atau paling pendek atau paling
murah.

Pada alternatif yang paling efisien, perlu dievaluasi koordinasi antara alinyemen horizontal
dan alinyemen vertikal. Perubahan kecil pada alinyemen terpilih ini dapat dilakukan, tetapi

18
jika perubahan alinyemen tersebut menyebabkan penambahan pekerjaan tanah yang besar
maka proses seleksi alinyemen perlu diulang.

Gambar 2.15 Gambaran Kordinasi Alinyemen Horizontal dan Vertikal

2.1.5 Perencanaan Potongan Melintang

Potongan melintang adalah gambaran jalan yang dipotong secara vertikal dan tegak lurus
sumbu jalan. Potongan melintang jalan digunakan untuk menunjukan aplikasi nilai
superelevasi yang digunakan pada perencanaan jalan. Pada suatu kegiatan perencanaan
jalan, potongan melintang jalan biasanya diambil gambarnya untuk tiap jarak 25 meter, atau
lebih rapat sesuai dengan kebutuhannya.

Bagian-bagian perencanaan yang disajikan meliputi:

1. Gambar alinyemen horizontal jalan yang digambar pada peta topografi berkontur;
2. Gambar alinyemen vertikal jalan;
3. Diagram superelevasi;
4. Gambar potongan melintang jalan untuk setiap titik Sta.;
5. Diagram pekerjaan tanah (mass diagram);
6. Bagian bagian lain yang dianggap perlu.

19
Gambar 2.16 Sketsa Potongan Melintang Tipikal

Lapis Granular
Timbunan Pilihan
Tanah Dasar, CBR>5%

Gambar 2.17 Sketsa Potongan Melintang Rencana

2.1.6 Desain Rencana Jalan

1. Perencanaan Right Of Way (ROW)


a. Standar dan referensi
Standar dan referensi yang digunakan adalah:
1) Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, September 1997.
2) Design of Surface Mine Haulage Road A Manual. By Walter W. Kaufman and
James C. Ault.
3) Guidelines for Mine Haul Road Design, Dwayne D. Tannant & Bruce Regensburg.
School of Mining and Petroleum Engineering Department of Civil and
Environmental Engineering University of Alberta 2001

20
4) Rural Road Design A Guide to the Geometric Design of Rural Roads, Austroroads,
Sydney 2003
5) AASHTO 2001 Geometric Design of Highways and Streets
b. Perencanaan Badan Jalan
1) Tujuan Pembangunan Jalan
Dalam hal tujuan pembangunan jalan ini kendaraan yang dominan akan melewati
jalan ini adalah jenis Truk yang akan digunakan untuk mengangkut kayu bulat
walaupun nantinya ada beberapa kendaraan kecil seperti Wagon, Kijang yang juga
akan melewati jalan tersebut untuk keperluan inspeksi dan beberapa jenis truk kecil
untuk keperluan maintenance jalanKlasifikasi Jalan
2) Kendaraan Rencana (Design Vehicle)
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai
sebagai acuan dalam perencanaan geometrik jalan yang akan dibangun.
Berdasarkan Pedoman Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota Tahun 1997, kendaraan rencana dikelompokkan menjadi 3
katagori, yaitu:
Kendaraan ringan/kecil, diwakili oleh mobil penumpang
Kendaraan sedang, diwakiili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2
as
Kendaraan besar, diwakili oleh truk semi trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing katagori tersebut ditunjukkan dalam tabel
berikut:

Tabel 2.6 Dimensi kendaraan rencana


Dimensi Kendaraan
Tonjoloan (cm) Radius Putar Radius
Katagori (cm)
Tonjolan
Kendaraan Panjan (cm)
Tinggi Lebar g Depan Belakang Min. Maks.
Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Kendaraan
410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Sedang
Kendaraan Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak owner atau pemilik pekerjaan, spesifikasi
kendaraan rencana yang akan digunakan untuk aktifitas pengangkutan kayu di lokasi
pekerjaan ini adalah sebagai berikut:

A. Kendaraan Rencana 1
Lebar kendaraan : 2.52 m
Lebar axle : 2.1 m
Jumlah axle (trailler) : 1.22 + 22.22
Jumlah roda : 2 + 8 + 8 + 8
Kapasitas Mesin : MB 4043 S (6x4) 428 HP
Gross Vehicle Weight (GVW) : 60 ton
Net weight : 40 ton
Panjang kendaraan : 20 m

21
Sketsa dimensi kendaraan rencana yang akan digunakan dapat dilihat pada gambar
berikut ini:

Gambar 2.18 Alternatif Truk 1 Logging truck panjang total 20 m

Gambar 2.19 Logging truck panjang total 20 m


(Sumber : , 2015)
B. Kendaraan Rencana 2
Lebar kendaraan : 2.52 m
Lebar axle : 2.1 m
Jumlah axle (trailler) : 1.22 + 2.22
Jumlah roda : 2 + 8 + 4 + 8
Kapasitas Mesin : MB 4043 S (6x4) 428 HP
Gross Vehicle Weight (GVW) : 60 ton
Net weight : 40 ton
Panjang kendaraan : 20 m

Sketsa dimensi kendaraan rencana yang akan digunakan dapat dilihat pada gambar
berikut ini:

22
Gambar 2.20 Alternatif Truk 2 Logging truck panjang total 20 m

Gambar 2.21 Logging truck panjang total 20 m


(Sumber : , 2015)

1. Kendaraan Rencana 3
Lebar kendaraan : 2.52 m
Lebar axle : 2.1 m
Jumlah axle (trailler) : 1.22
Jumlah roda : 2 + 8
Kapasitas Mesin : MB 4043 S (6x4) 428 HP
Gross Vehicle Weight (GVW) : 40 ton
Net weight : 25 ton
Panjang kendaraan : 12 m
Sketsa dimensi kendaraan rencana yang akan digunakan dapat dilihat pada gambar
berikut ini:

Gambar 2.22 Logging truck panjang total 20 m


(Sumber : , 2015)
3) Lebar Badan Jalan ( Carriageway Road Widths )

23
Yang dimaksud dengan badan jalan yaitu bagian jalan yang meliputi jalur lalu lintas
(traffic lane), median dan bahu jalan. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.23.

Gambar 2.23 Tipikal Melintang Jalan

Beberapa referensi memberikan pedoman dalam hal merencanakan lebar jalan untuk Jalan
2 lajur 2 arah (2 lane 2 way traffic), yaitu :

Lebar jalan biasanya 3 4 kali lebar kendaraan yang terbesar.

Lebar jalan = 2 x Lebar kendaraan (W) + Clearence Tengah .W+Clearence tepi 2 x


.W, Jadi Total Lebar jalan 3,5 W.

Lebar lajur kendaraan (travelled way width) 4,0 m dan bahu jalan (shoulder) antara
1,0 m sampai 2,0 m.

Dari beberapa pertimbangan diatas dan dengan kendaraan rencana (haul truck) selebar
2.52 m , lebar jalan direncanakan 12,0 meter.

Bagian bagian dan fungsi dari jalan adalah sebagai berikut:

a. Lebar Jalur Lalu Lintas ( Traffic Lanes Widths )

Perencanaan lebar jalur lalu lintas tergantung dari jumlah, jenis dan kecepatan
kendaraan yang akan dilayani. Biasanya lebar jalur lalu lintas untuk 2 lajur 2 arah adalah
antara 7 m dan 7,2 m, dengan masing masing lebar lajur kendaraan (travelled way)
adalah 3,5 m dan 3,6 m.

Dengan pertimbangan nantinya volume kendaraan besar yang akan meningkat secara
signifikan maka lebar lajur kendaraan ini dapat diperlebar sampai maksimum 4,0 m,
atau pada bagian bahu jalan (shoulder) masing masing selebar 2 m diperkeras (seal
shoulder) dan ini akan menjadi alternatif yang paling efisien dengan pertimbangan
bahwa pada saat 2 kendaraan besar yang berlawanan arah berpapasan dengan

24
kecepatan yang tinggi untuk mempertahankan Clearence antar kendaraan, maka roda
sebelah luar kendaraan akan berada di bahu jalan yang diperkeras ini.

b. Bahu Jalan ( Shoulder )

Bahu jalan adalah bagian dari jalan yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk
menampung kendaraan yang berhenti pada situasi darurat, meningkatkan jarak
pandang pada tikungan, pada situasi darurat untuk ruang menghindar dari tabrakan dari
kendaraan yang berlawanan dan untuk pendukung terhadap struktur perkerasan pada
jalur lalu lintas. Bahu jalan direncanakan masing masing selebar 2 meter, dengan
pemadatan tanah asli.

4) Satuan Mobil Penumpang (SMP)


a. SMP merupakan angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan, di mana
mobil penumpang ditetapkan memiliki satu SMP.
b. Detail nilai SMP untuk jenis kendaraan dan kondisi medan lain dapat dilihat pada
tabel ekivalen mobil penumpang (EMP) berikut:

Tabel 2.7 Ekivalen mobil penumpang


No Datar/Perbukita Pegununga
Jenis Kendaraan
. n n
Sedan, Jeep, Station
1 1,0 1,0
Wagon.
Pick-Up, Bus Kecil, Truk
2 1,2 - 2,4 1,9 - 3,5
Kecil.
3 Bus dan Truk Besar. 1,2 - 5,0 2,2 - 6,0

5) Volume Lalu Lintas Rencana


a. Volume lalu lintas rencana harian rencana (VLHR) adalah perkiraan volume lalu
lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari.
b. Volume jam rencana (VJR) adalah perkiraan volume lalu lintas pada jam sibuk
tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dan dihitung dengan
menggunakan persamaan:
K
VJR=VLHR
F
Dimana:
K (faktor K), merupakan faktor volume lalu lintas pada jam sibuk, dan
F (faktor F), merupakan faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam
dalam satu jam.
c. VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas
lainnya yang diperlukan.
d. Tabel berikut ini menyajikan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu lintas
harian rata-rata yang diperoleh dari data Pedoman Bina Marga mengenai Tata
Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Tahun 1997.

Tabel 2.8 Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan VLHR

25
FAKTOR K FAKTOR F
VLHR
(%) (%)
>50.000 4-6 0,9 - 1
30.000 - 50.000 6-8 0,8 - 1
10.000 - 30.000 6-8 0,8 - 1
5.000 - 10.000 8 - 10 0,6 - 0,8
1.000 - 5.000 10 - 12 0,6 - 0,8
<1.000 12 - 16 <0,6

2.2 Rencana Trase Jalan Logging

Rencana trase jalan yang direncanakan ditunjukan pada

Gambar 2.24 Layout Trase Jalan Logging.

2.3 Perencanaan Alinyemen Horizontal dan Vertikal

26
a. Kondisi topografi medan (Terrain Condition)

Diklasifikasikan menjadi 3 golongan yaitu :

Daerah datar (Flat) dengan tingkat kemiringan medan (transverse terrain


slope) < 3%

Daerah Berbukit (Rolling/Hilly) dengan tingkat kemiringan medan


(transverse terrain slope) 3 sampai 25%

Daerah Pegunungan ( Mountain ) dengan tingkat kemiringan medan (


transverse terrain slope ) > 25%

Berdasarkan peta topografi dari Bakosurtanal dan kategori diatas, maka lokasi rencana
jalan ini termasuk dalam kondisi daerah yang Berbukit (Rolling / Hilly).

b. Kecepatan rencana (Design Speed)

V R ) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih


Kecepatan rencana (
sebagai acuan atau dasar untuk perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang
cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

Dalam menentukan kecepatan rencana dipengaruhi oleh klasifikasi jalan, kondisi medan
lokasi jalan (terrain condition) serta jenis kendaraan yang akan dilayani oleh jalan
tersebut.

Berdasarkan pedoman Bina Marga tentang Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan
V R ).
Antar kota, untuk menentukan kecepatan rencana (

Tabel 2.9
V R berdasarkan fungsi dan kondisi medan jalan.

V R , Km/jam
Kecepatan Rencana,
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 - 120 60 - 80 50 - 70
Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

c. Landai (Vertical grade) maksimum

Kriteria pemilihan landai maksimum terkait dengan kemampuan kendaraan terberat


yang akan lewat, waktu tempuh yang direncanakan serta pertimbangan biaya pekerjaan
tanah yang optimum. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang
bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak sampai
setengah dari kecepatan semula pada segmen jalan yang datar tanpa harus
menggunakan gigi rendah. Selain itu juga dipengaruhi oleh Kondisi topografi medan,
jenis perkerasan jalan dan kecepatan rencana yang diinginkan.

27
Ketentuan yang umum dipakai dalam menentukan landai maksimum dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel 2.10 Kelandaian Maksimum yang Diizinkan

VR 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaia
n Maks 3 3 4 5 8 9 10 10
(%)

Khusus untuk jalan khusus area pertambangan maupun logging mengacu kepada
desain jalan hauling. Desain panjang kritis maksimum dengan gradient hingga 10%
diijinkan sepanjang 500 600 meter dan jalan dengan gradient 2% sepanjang 25 meter.

d. Kemiringan galian dan timbunan

Pertimbangan utama dalam merencanakan kemiringan galian dan timbunan adalah


dengan memperhatikan kestabilan struktur lereng galian atau timbunan tersebut.
Stabilitas dari lereng galian dan timbunan ditentukan dari kondisi geoteknik lapaisan
tanah tersebut. Sebagai pedoman awal (sebelum dilakukan survei geoteknik
dilapangan), dapat menggunakan beberapa cara dibawah ini yaitu:

Melihat atau mengamati lereng alam ( natural slope ) di lokasi rencana


jalan
Melihat jenis tanah yang dominan dari peta geologi lokasi setempat.
Dari referensi umum untuk jenis tanah tertentu dan beberapa proyek
terdahulu yang berdekatan lokasinya dengan rencana jalan.
Berdasarkan data penyelidikan dan analisa geoteknik, batter slope untuk timbunan dan
galian direncanakan dengan kemiringan sebesar 1 (vertikal) : 1 (horisontal).

e. Perencanaan alinyemen vertikal

Alinyemen vertical terdiri dari bagian lurus dan bagian lengkung, pada bagian lurus
dapat berupa landai positif (tanjakan), landai negatif (turunan) atau landai nol (datar).

1) Landai Maksimum
Dari uraian dan pertimbangan yang disebutkan diatas, Landai (vertical grade)
maksimum yang digunakan dalam perencanaan ini ialah +8%, untuk tanjakan
dan -8% untuk turunan ( +8% dan -8% ).
2) Landai Minimum
Dengan mempertimbangkan biaya dan kelancaran drainase samping jalan (side
ditch), maka pada daerah galian landai minimum direncanakan sebesar 0.5%.
Sedangkan pada daerah timbunan yang tidak ada drainase samping jalan, landai
minimum sebesar 0%.
3) Panjang Landai maksimum
Panjang maksimum tanjakan/turunan, tidak disyaratkan secara explisit, dengan
pertimbangan efisiensi waktu tempuh dan keamanan dari kendaraan yang lewat,
panjang tanjakan harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit ( dengan

28
asumsi pada tanjakan maksimum, kecepatan truk 30 km/jam), maka panjang
maksimum tanjakan / turunan adalah 1.250 meter.
4) Lengkung Vertical
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian, dengan tujuan untuk :
- Kenyamanan berkendaraan dengan mengurangi terjadinya goncangan
akibat perubahan landai.
- Menyediakan jarak pandang henti.
Lengkung vertikal dapat berupa cembung (Crest) atau Cekung (sag), sesuai
dengan kecepatan rencana 30 km/jam diatas, maka panjang lengkung minimum
adalah 30 meter.
Berdasarkan perarturan-peraturan di atas, serta ketentuan dari pemilik pekerjaan, kriteria
desain jalan yang digunakan pada pekerjaan ini dapat dilihat pada Tabel 2.11 berikut:

Tabel 2.11 Kriteria desain jalan.

Kriteria Nilai
km/ja
Design Speed m 30
R min (lengkung minimum) m 30
Normal Crossfall % 2
Max Superelevation % 4
Max Vertical Grade % +8/-8
Road Dimension
Carriageway m 13
Forming m 17
Slope
Batter Slope 1(V) : 1(H)

2.4 Perencanaan Perkerasan Jalan

2.1.7 Perencanaan Tebal Perkerasan

Langkah-langkah perencanaan tebal perkerasan lentur berdasarkan metoda


AASHTO 1993 adalah sebagai berikut:

1. Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan
modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam
perencanaan Modulus Resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari
CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan
nilai CBR (Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir
halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.
MR (psi) = 1.500 x %CBR, jika %CBR<10
MR (psi) = 3.000 x %CBR0,65, jika %CBR>10
Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :

29
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu
sebagai akibat beban lalu-lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
c. Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan konstruksi.
d. Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas
untuk jenis tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.

2. Lapis Pondasi Bawah


Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak
antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material
berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau
lapisan tanah yang distabilisasi.
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar
beban roda.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-
lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya
konstruksi).
c. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.
Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya
dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat
pelaksanaan konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus
segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif
lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah.
Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland, dalam
beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan yang efektif terhadap
kestabilan konstruksi perkerasan.

3. Lapis Pondasi
Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak
langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis
pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di
atas tanah dasar.
Fungsi lapis pondasi antara lain :
a. Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.
b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat
menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan
sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan
sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.

30
Bermacam-macam bahan alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan
sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang
distabilisasi dengan semen, aspal, pozzolan, atau kapur.

4. Lapis Permukaan
Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat
dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya
terletak di atas lapis pondasi.
Fungsi lapis permukaan antara lain :
a. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.
b. Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.
c. Sebagai lapisan aus (wearing course)
Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi
dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar
lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan
bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap
beban roda.
Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu mempertimbangkan kegunaan,
umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-
besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

Langkah perhitungan untuk metoda AASHTO 1993 adalah sebagai berikut:

1. Penentuan umur perkerasan


Umur pelayanan (performance period) adalah perioda dimana struktur
perkerasan berfungsi sebelum struktur perkerasan tersebut memerlukan
rehabilitasi. Hal ini merupakan penentuan strategi konstruksi perkerasan,
apakah dikonstruksi langsung sehingga dapat bertahan selama umur rencana
atau dikonstruksi secara bertahap. Umur rencana (analysis period/design
period) adalah perioda dimana analisis akan dilakukan.

2. Beban lalu-lintas
Beban lalu lintas didasarkan pada cummulative expected 80 kN (18-kip)

equivalent single axle loads (ESAL) selama umur rencana


^ 18 D D D L
W 18=W

Dimana:
DD = faktor distribusi arah (0,3 s/d 0,7)
DL = faktor distribusi lajur

= kumulatif 18-kip ESAL untuk dua arah

Tabel 2.12 Faktor Distribusi Lajur

Jumlah Lajur Pada Kedua Arah % 18-kip ESAL Pada Lajur Rencana
1 100
2 80 100

31
Jumlah Lajur Pada Kedua Arah % 18-kip ESAL Pada Lajur Rencana
3 60 80
4 atau lebih 50 75

Beban lalu lintas rencana adalah jumlah kumulatif beban sumbu standar
selama umur rencana (Wt)
(1+ g )n1
W t =W 18
g
Dimana:
n = umur rencana perkerasan
g = tingkat pertumbuhan lalu lintas rata rata per tahun
Angka ekivalen untuk kendaraan berat berdasarkan jumlah sumbu dan beban
per sumbu dapat ditentukan sebagai berikut:

Pangkat 4

Pangkat 5

32
STdRG

STRG STrRG

STRT

33
Gambar 6.25 Ilustrasi Distribusi Pembebanan Sumbu Roda

Metode NAASRA

Tabel 2.13 Angka Ekivalen (AE) Sumbu Kendaraan Metode NAASRA

Beban sumbu Angka Ekivalen sumbu kendaraan (AE)


(ton) STRT STRG SDRG STrRG
1 0,00118 0,00023 0,00003 0,00001
2 0,01882 0,00361 0,00045 0,00014
3 0,09526 0,01827 0,00226 0,00070
4 0,30107 0,05774 0,00714 0,00221
5 0,73503 0,14097 0,01743 0,00539
6 1,52416 0,29231 0,03615 0,01118
7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072
8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535
9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662
10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630
11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635
12 24,38653 4,67697 0,57843 0,17895
13 33,58910 6,44188 0,79671 0,24648
14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153
15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690
16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558
17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079
18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595
19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468
20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081

Faktor ekivalensi AASHTO 1993

34
Dimana:
Wtx = jumlah aplikasi beban sumbu seberat x hingga umur t
Wt18 = jumlah aplikasi beban sumbu tunggal seberat 18-kip hingga umur t
Lx = beban sumbu tunggal atau sumbu ganda atau sumbu triplet (lbs)
L2 = axle code (1 untuk sumbu tunggal; 2 untuk sumbu ganda; 3 untuk
sumbu tridem)
SN = structural number dari perkerasan (inch)
Pt = terminal serviceability
Gt = fungsi dari Pt
18 = nilai dari x jika Lx =18 dan L2 =1

3. Reliabilitas
Reliabilitas Merupakan suatu variabel yang ditujukan untuk mengakomodasi
derajat kepastian pada proses perencanaan untuk menjamin dahwa besain
yang dibuat akan dapat bertahan sepanjang perioda analisis. Tingkat
reliabilitas seharusnya makin tinggi untuk jalan bervolume lalu lintas tinggi.

Tabel 2.14 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas (%)

Rekomendasi tingkat reliabilitas (%)


Klasifikasi Jalan
Perkotaan Antar kota

Bebas hambatan 85 99,9 80 99,9

Arteri 80 99 75 95

Kolektor 80 95 75 95

Lokal 50 80 50 80

Tingkat Reliabilitas (R) berhubungan dengan nilai Deviasi Standar Normal (ZR)
seperti diberikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.15 Standard Deviasi Berdasarkan Nilai Reliabilitas

35
4. Kapasitas Struktur (Structural Number) Perkerasan
Perhitungan nilai kapasitas struktur merupakan inti dari perencanaan
perkerasan jalan. Nilai ini didapat dengan menggunakan nomogram dan
grafik atau menggunakan persamaan sebagai berikut (AASHTO, 1993)
log 10
{
PSI
(4,21,5) }
Log (W18) = ZRSO + 9,36 Log10 (SN + 1) 0,20 + 1094 +2,32
0,4 +
( SN +1)5,19

Log10 (MR) 8,07


Dimana :
ZR = Standard deviasi
S0 = Overall Standard Deviation (0,4 ~ 0,5 for flexible pavement)
R = Overall Design Reliability
PSI = Design PSI Loss (P0-P1)(PSI = 4,2 2,5)
P0 = 4,2 - the original serviceability index (AASHTO Road Test for
flexible pavement)
P2,5 = 2,5 - terminal serviceability index, the lowest PSI before
rehabilitation for arterial road
Persamaan ini dicari nilai SN dengan trial and error hingga didapat nilai W18
sama dengan nilai Design ESAL (SN),

5. Penentuan Tebal Lapis Perkerasan


Penentuan tebal dilakukan dengan cara pembagian koefisien kekuatan relatif
lapisan dengan koefisien drainase agar didapat tebal yang diharapkan.

Gambar 6.26 Distribusi Tebal Lapis Perkerasan Berdasarkan Nilai Struktur


(Structural Number, SN)

Dimana:
a1 , a2 , a3 = koefisien kekuatan relatif lapisan
m2 , m 3 = koefisien drainase
D1 , D2 , D3 = tebal lapisan
Dengan ketentuan sebagai berikut:

36
Dimana:
a, D, m dan SN didefinisikan sebagai nilai minimum yang ditentukan
D atau SN menandakan nilai yang dapat mewakili nilai aktual, nilai tersebut
harus sama atau lebih besar dari nilai yang disarankan
Catatan:
a. Koefisien kekuatan relatif lapisan perkerasan merupakan ukuran
kemampuan relatif material untuk dapat berfungsi sebagai komponen
struktural dari perkerasan.
b. Koefisien kekuatan relatif suatu material diambil sebagai fungsi dari
Modulus Elastis (E) dari material tersebut.
c.Modulus Elastis didapatkan dari pengujian:
AASHTO T 274 untuk granular material
ASTM D 4123 untuk AC dan material yang distabilisasi

2.1.8 Hasil Perhitungan Tebal perkerasan

- Lalu Lintas Rencana


Persentase Kendaraan pada Lajur Rencana adalah besarnya volume kendaraan yang
melewati penampang lajur rencana jalan. Adapun umur rencana jalan logging ataupun
akan direncanakan dengan umur rencana 15 tahun. Data lalu lintas jalan logging
diperlihatkan pada Tabel berikut.
Perhitungan volume kendaraan logging (Articulated Truck) berdasarkan studi terdahulu
dengan masa operasional di mulai pada tahun 2017 s.d. 2032. Jumlah kendaraan
logging per hari diasumsikan sama sepanjang umur rencana.

37
Tabel 2.16 Kendaraan Truck

- Indeks Permukaan
Lapis Permukaan merupakan lapisan terbuka dari bahan batuan gunung sehingga
direncanakan memiliki Indeks Permukaan Awal 2,4. Untuk Indeks Permukaan Akhir
adalah 2,0.

- Karakteristik material
Pemilihan material yang digunakan menentukan biaya, tebal serta tingkat pelayanan
yang diberikan. Struktur pekerasan jalan dihitung berdasarkan Indeks Tebal Perkerasan
(ITP).

SN = a1.d1 + a2.d2 + a3.d3

Keterangan : a = koefisien kekuatan relatif bahan

d = tebal lapisan

Karena struktur yang digunakan hanya dua lapis yaitu bagian Sub Base (Lapis Pondasi
Bawah) dan Base (Lapis Pondasi Atas) maka rumus tersebut menjadi

SN = a2.d2 + a3.d3

Keterangan : a2 = koefisien kekuatan realitf lapisan base

d2 = tebal lapisan base

a3 = koefisien kekuatan realitf lapisan sub base

d3 = tebal lapisan sub base

Koefisien kekuatan relatif lapisan sub base (pondasi bawah) yang menggunakan Agregat
kelas B dengan nilai a3 = 0,13.

38
Sedangkan untuk lapisan base (Pondasi Atas) yang direncanakan menggunakan Agregat
Kelas A dengan nilai a2 = 0,14.

Nilai ITP diperoleh berdasarkan rumus :

Keterangan : W18 = Jumlah beban ekivalen

ZR = Deviasi standard normal

S0 = Deviasi standard keseluruhan

PSI = Kehilangan kemampuan pelayanan

MR = Modulus resilien tanah dasar (psi)

SN = Angka struktural

Berdasarkan rumus di atas, maka akan ditampilkan sebagai berikut

39
Survei dan Desain Rinci Jalan Koridor 20,6 km, Jembatan Sungai Tunan,
dan Overpass Jalan Provinsi di Kab. Penajam Paser Utara, Prov. Kalimantan Timur

Tabel 2.17 Perhitungan SN

1
2
3

40
Survei dan Desain Rinci Jalan Koridor 20,6 km, Jembatan Sungai Tunan,
dan Overpass Jalan Provinsi di Kab. Penajam Paser Utara, Prov. Kalimantan Timur

Contoh perhitungan Truk Tipe C Max 40 ton:

Log W18 = 7,159


Maka SN diperoleh sebesar = 4,60
SN = a2.d2 + a3.d3
4,60 = (0,14 x d2) + (0,13 x d3)

Asumsi d2 = 11,81 in = 30 cm
Maka tebal d3 = 22,69 in 60 cm
Lapisan Base (Agregat Kelas A) 30 cm
Lapisan Sub Base (Agregat Kelas B) 60 cm

Lapisan Perkerasan Tanpa Ikatan ditunjukkan pada Gambar berikut untuk melayani Truck
Tipe C max 40 ton.

Lap. Pondasi Atas (Base) Batu Pecah Kelas B 30 cm

Lap. Pondasi Bawah (Sub Base) Sirtu Kelas B 60 cm

Gambar 2.27 Lapis Perkerasan Tanpa Ikatan untuk Truck 40 Ton

2.1.9 Usulan Teknis Tebal Perkerasan

Umur rencana jalan direncanakan selama 15 tahun dengan rencana pembangunan secara
bertahap. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah ditampilkan pada sub bab sebelumnya.
Maka usulan yang dapat diberikan oleh konsultan adalah sebagai berikut :

a) Desain 5 tahun pertama


Pada 5 tahun pertama, jalan direncanakan hanya dilapisi perkerasan granular
dengan material agregat kelas B. Maka tebal perkerasan yang diperlukan adalah
sebagai berikut:

Tebal Perkerasan (cm)

Lapis Perkerasan Truk A Truk B Truk C

Aggregat Kelas B 30.00 40.00 60.00

b) Desain tahun ke-6 hingga tahun ke-15

41
Survei dan Desain Rinci Jalan Koridor 20,6 km, Jembatan Sungai Tunan,
dan Overpass Jalan Provinsi di Kab. Penajam Paser Utara, Prov. Kalimantan Timur

Pada tahun ke-6 hingga ke-15, dilakukan penambahan lapisan (overlay) dengan
lapisan Agregat Kelas A. Maka tebal perkerasan yang diperlukan adalah sebagai
berikut:

Tebal Perkerasan (cm)

Lapis Perkerasan Truk A Truk B Truk C

Aggregat Kelas B 30.00 40.00 60.00

42

Anda mungkin juga menyukai