Anda di halaman 1dari 118

DOKUMEN

PENAWARAN TEKNIS

DOKUMEN PENAWARAN TEKNIS

BAB E
PENDEKATAN, METODOLOGI DAN
PROGRAM KERJA

JASA KONSULTANSI PERENCANAAN TEKNIS


JALAN DAN JEMBATAN PAKET 4

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-0


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

E.1. PENDEKATAN PEKERJAAN


Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari Jasa Konsultansi
Perencanaan Teknis Jalan Dan Jembatan Paket 4 yang ada di Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Purwakarta ini, telah
disusun pendekatan pelaksanaan pekerjaan yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan kegiatan yaitu:

E.1.1. Pendekatan Secara Umum


Metode pendekatan yang digunakan dalam Jasa Konsultansi Perencanaan
Teknis Jalan Dan Jembatan Paket 4, disesuaikan dengan aspek yang akan
dibahas dan tingkat keperluannya, disamping itu pendekatan dalam
perencanaan ini dimaksudkan untuk memudahkan penilaian baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, sesuai dengan kelengkapan data dan
pentingnya setiap permasalahan, agar tercapai maksud dan tujuannya sesuai
yang dijabarkan dalam Kerangka Acuan Kerja.

E.2. METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN


E.2.1. Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan
E.2.1.1. Standard dan Referensi
Standar dan referensi yang digunakan dalam perencanaan ini
beberapa referensi pedoman yang berlaku di lingkungan Dirjen Bina Marga,
Kementerian PUPR. Standar dan referensi yang digunakan adalah:

1. Undang-undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan


2. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan
3. Peraturan Menteri PU No. 19/PRT/M/2011 Tentang
PersyaratanTeknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
4. Keputusan Menteri No.53 Tahun 2000 tentang Perpotongan dan/atau
Persinggungan antara Jalan Kereta Api dengan Bagian Lain.
5. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 18 Tahun 2015,
tentang Ruang Bebas Dan Jarak Bebas Minimum Pada Saluran Udara

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-1


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tegangan Tinggi (SUTT), Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi


(SUTET), Dan Saluran Udara Tegangan Tinggi Arus Searah untuk
penyaluran tenaga listrik.
6. Pedoman Desain Geometrik Jalan No 20/SE/Db/2021
7. Pd T-20-2004-B tentang Perencanaan Bundaran Untuk Persimpangan
Sebidang
8. DJBM No. 02/M/BM/2017 tentang Manual Desain Perkerasan Jalan
(Revisi 2017)
9. A Policy on Geometric Design of Highway and Streets, AASHTO, Tahun
2011-6th edition.

E.2.1.2. Kriteria dan Desain


Kriteria desain geometrik jalan adalah parameter-parameter
geometrik yang nilainya ditetapkan pada awal desain dan menjadi dasar
untuk menetapkan desain elemen-elemen geometrik lainnya. Kriteria desain
dibedakan menjadi dua, yaitu kriteria desain utama, dan kriteria desain
lainnya yang elemen-elemennya ditetapkan berdasarkan kriteria desain
utama. Elemen kriteria desain meliputi:

1. Kriteria desain utama


a. Kecepatan rencana (VD)
b. Kelas penggunaan
2. Krieria desain teknis lainnya
a. Tipe jalan, ukuran dan spesifikasi penyediaan prasaran jalan
b. Jenis perkerasan
c. Ruang jalan
d. Geometrik pada bangunan pelengkap jalan
e. Perlengkapan jalan
Selanjutnya yang penting pula diperhatikan secara singkat sebagai berikut:

1. Kriteria desain geometrik sesuai ROW


2. Tabel superelevasi jalan
3. Kecepatan rencana

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-2


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

StandarDesain
No Parameter Geometrik Sat. Nasional/ Jalan Jalan Desa /
Propinsi Kabupaten Lokal
1. Kecepatan rencana kpj 60 40 20
2. Potongan melintang
 Lebar lajur lalu lintas m 2 @ 3,50 2 @ 3,00 3,00/4,50
 Lebar bahu luar m 1,00 1,00 1,00
 Kemiringan % 2 2 2
melintang normal
jalan
 Superelevasi % 8 10 10
maksimum
 Kemiringan % 4 4 4
melintang normal
bahu luar
 Tinggi ruang bebas m 5.10 5,10 5,1/4,60*
vertikal minimum
 Tinggi ruang bebas
minimumterhadap
sutet-sutt
 SUTT 66 kv 8.00 8.00 8.00
 SUTT 150 kv 9.00 9.00 9.00
m
 SUTET 500 kv 15.00 15.00 15.00
m
m
3. Jarak pandang
 Jarak pandang henti m 75 40 20
minimum
 Jarak pandang 250 150 70
menyiap m
4. Alinemen horizontal
 Jari-jari tikungan m 135 45 15
minimum
 Jari-jari tikungan m 600 250 60
minimum tanpa
peralihan
 Jari-jaritikungan m 2000 800 200
minimum
kemiringan normal
 Panjang tikungan m 700/ atau 100 500/ atau 70 280/ atau 40
minimum
 Panjang lengkung m 50 35 20
peralihan minimum
 Lansai relatif - 1/175 1/125 1/75
maksimum
5. Alinemen vertikal
 Landai maksimum % 5 5 5
 Jari-jari minimum
lengkung vertikal :
 Cembung m 1400 700 E200
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA -3
 Cekung m 1000 700 200
 Panjang minimum m 50 35 20
lengkung vertikal
DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Berdasarkan Ketentuan Peraturan Menteri PU No. 19/PRT/M/2011 Tentang


Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan pasal 4 dan
lampirannya, maka kecepatan rencana yang dipakai untuk jalan Nasional
antar kota 60 km/jam. Penjabaran teknis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel E. 1 Kriteria Desain Jalan Non-Tol


Keterangan:  = Sudut Perpotongan (derajat)

Batas ruang bebas horizontal dan vertical dari jalan tol dan jalan raya
mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri PU No. 19/PRT/M/2011
Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
pasal 16 (6), maka tinggi ruang bebas sebesar 5,10 m dipakai untuk jalan tol,
jalan arteri dan jalan kolektor, untuk jalan lokal adalah 4,60 m. Serta untuk
lintasan listrik yang berupa Saluran Udara Tegangan Tinggi dan Ekstra Tinggi
(SUTT) dan SUTET) mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Pertambangan
dan Energi Nomor 18 tahun 2015.

E.2.1.3. Kendaraan Desain


Semua elemen geometrik jalan harus dapat melayani semua pergerakan
kendaraan yang diwakili oleh kendaraan desain yang dipilih. Ada dua
karakteristik utama kendaraan desain. Perbedaan utamanya adalah:

1. Kendaraan penumpang (sedan, minibus/mikrobus, pickup/truk


kecil); dibandingkan dengan kendaraan besar (Bus dan Truk),
memiliki tinggi mata pengemudi yang lebih rendah, kecepatannya
relatif kurang terpengaruh oleh kelandaian jalan, dan dapat
berakselerasi lebih cepat (sehingga jarak pengeremannya lebih
pendek).
2. Kendaraan besar; dibandingkan dengan kendaraan penumpang,
memiliki tinggi mata pengemudi yang lebih tinggi, kecepatannya
langsung dipengaruhi oleh kelandaian jalan, dan kemampuan
berakselerasinya lebih rendah (sehingga jarak pengeremannya lebih
panjang); memerlukan lajur yang lebih lebar, radius tikungan yang

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-4


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

lebih besar, pelebaran lajur di tikungan yang lebih besar untuk


mengakomodasi jalur lapak roda dan jalur ruang bebas vertikal badan
kendaraan.
Kendaraan desain mewakili kelompok kendaraan yang diizinkan beroperasi
pada jalan yang didesain (sesuai dengan kelas penggunaan jalan yang
ditetapkan). Kendaraan desain dipilih dari jenis-jenis kendaraan yang
beroperasi di jalan yang sedang didesain yang memiliki dimensi dan atau
radius putar kendaraan yang terbesar. Hal ini tergantung dari jenis-jenis
kendaraan yang beroperasi dalam kawasan yang dilayani oleh jalan yang
akan didesain.

Dalam kondisi khusus (misal: untuk akses menuju kawasan industry,


pelabuhan, pertambangan, maupun perkebunan) kendaraan desain ditujukan
yaitu kendaraan terbesar yang memiliki volume maupun intensitas regular
melalui jalan tersebut. Kendaraan yang direncanakan perlu memperhatikan
dimensi lebar, radius tikungan dan pelebaran yang diperlukan, serta batasan
kelandaian maksimum yang diijinkan untuk operasional maupun
keselamatan. Kendaraan desain yang direncakana berdasarkan Pedoman
Desain Geometrik 2021 dapat dilihat sebagai berikut.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-5


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 1 Dimensi Kendaraan Rencana

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-6


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA


Gambar E. 2 Alur Lapak Ban Dan Badan Kendaraan Kecil Saat Membelok

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-7


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA
Gambar ARTHA
E. 3 Alur WIRATAMA
Lapak Ban Dan Badan Kendaraan Truk Sedang Saat
Membelok

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-8


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 4 Alur Lapak Ban Dan Badan Kendaraan Truk Besar Saat
Membelok

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E-9


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 5 Alur Lapak Ban Dan Badan Kendaraan Semi Trailer Saat
Mem

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 10


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

E.2.2. Perencanaan Geometrik Jalan


E.2.2.1. Umum
Perencanaan geometri jalan meliputi perencanaan alinyemen
horizontal, alinyemen vertikal, dan potongan melintang jalan. Geometrik
jalan didesain sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan seperti keselamatan
pengguna jalan, terhubungnya seluruh kawasan, serta mencegah adanya
genangan air di atas permukaan jalan.
Dalam mendesain deometri jalan tol ada beberapa langkah yang harus
dilalui terlebih dahulu. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam
flowchart desain geometri jalan pada gambar berikut.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 6 Diagram Alir Perencanaan Desain Geometri Jalan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 11


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 7 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 12


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tahap persiapan adalah tahapan dimana perencana melakukan


persiapan dan pendataan perlengkapan untuk kegitan survey awal.
Perlengkapan yang dibawa untuk kegiatan survey awal biasanya adalah alat
pengukur seperti kompas, altimeter (pengukur ketinggian), clinometer
(pengukur kemiringan medan), current meter (pengukur arus sungai),
kompas geolologi (pengukur arah kemiringan batuan), dan pita meteran baja.
Untuk melakukan survey, biasanya tim survey juga membawa peralatan
kemping, peralatan dokumentasi, peta topografi, peta muka bumi, peta
geologi regional, serta formulir data survey.
Sebelum kegiatan survey dimulai dilakukan pendataan terhadap siapa
saja tim ahli yang akan ikut serta dalam kegiatan survey. Biasanya dalam
mengadakan survey pembuatan jalan, tim ahli yang terlibat antara lain
seorang highway engineer, geotechnical engineer, geodetic engineer, bridge
engineer, dan hydrological engineer.
Setelah semua perlengkapan dan tim tersiapkan, maka mobilisasi
menuju tempat survey dapat dilakukan. Survey dimulai dengan menentukan
lokasi titik awal proyek dan titik akhir proyek. titik awa proyek dapat berupa
sambungan dari proyek lain atau titik baru yang ditentukan berdasarkan
survey. Dalam survey ini juga di tentukan rute yang diperkirakan dapat
digunakan sebagai rencana rute untuk menghubungkan titik awal dan akhir
proyek.
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
Dari hasil survey awal ini kemudian dapat disusun trase rencana awal.
Selajutnya dilakukan kajian untuk menyepakati rute yang didapat. Jika
ternyata dari hasil kajian dinyatakan rute tersebut tidak layak, maka harus
diadakan survey trase ulang. Jika telah disepakati rute yang akan digunakan,
maka diadakan survey lanjutan untuk mendapatkan deatai-detai mengenai
pembuatan jalan raya pada trase yang telah disepaati. Survey lanjutan ini
mengumpulkan data-data untuk kepentingan AMDAL, data hidrologi, data
geologi, data tanah dan material yang tersedia di sekitar wilayah proyek.
Setelah survey lanjutan selesai dilaksanakan, data hasil survey
tersebut kemudian dibahas bersama antara pihak perencana dan owner. Dari

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 13


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

data survey lanjutan tersebut dapat ditentukan desain geometrik jalan. Jika
nantinya rencana geometri jalan tersebut tidak di setujui, maka terpaksa
diadakan pendisainan ulang atau mungkin survey ulang. Proses ini dilakukan
hingga mendapat desain akhir yang rinci.

E.2.2.2. Alinyemen Horizontal


Alinemen horizontal jalan umumnya berupa serangkaian bagian-
bagian jalan yang lurus dan melengkung berbentuk busur lingkaran, dan
yang dihubungkan oleh lengkung peralihan atau tanpa lengkung peralihan.
Kecepatan kendaraan yang digunakan pengemudi untuk berjalan di jalan,
dipengaruhi terutama oleh persepsi pengemudi terhadap fitur alinemen
horizontal jalan selain fitur elemen-elemen jalan yang lainnya seperti rambu
batas kecepatan. Berdasarkan kenyataan ini, bilamana arah lintasan desain
alinemen harus diubah karena suatu hal atau karena menyesuaikan dengan
kondisi topografi, maka digunakan lengkung horizontal. Radius lengkungan
harus cukup besar untuk mengizinkan kecepatan tempuh di lengkungan
sama dengan pada bagian lurus atau di sepanjang ruas jalan yang sedang
didesain.
Desain alinemen horizontal hendaknya dipilih sebisa mungkin lurus
dengan radius tikungan sebesar mungkin, kecuali panjangnya yang perlu
dibatasi untuk menetralisir monotonitas bentuk jalan yang membosankan
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
pengemudi sehingga melalaikan kewaspadaan mengemudi.

E.2.2.2.1. Tahapan Desain


Langkah-langkah berikut ini hendaknya diikuti dalam melakukan
desain alinemen horizontal:
1. Dengan mengacu kepada kriteria desain, identifikasi semua PTJ yang
akan diterapkan di sepanjang alinemen;
2. Tentukan kecepatan rencana yang sesuai dengan klasifikasi medan
jalan dan kelas jalan, dan pilih radius minimum yang akan digunakan;

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 14


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

3. Siapkan alinemen-alinemen percobaan menggunakan serangkaian garis


lurus dan lengkung, pemilihan lengkungan harus konsisten sepanjang
alinemen. Perhatikan keberadaan lengkung di akhir segmen garis lurus
yang panjang terutama jika radiusnya minimum, karena cenderung
menjadi penyebab kecelakaan;
4. Siapkan draft alinemen vertikal dengan memperhatikan PTJ untuk
desain alinemen vertikal, koordinasi antara alinemen horizontal dan
vertikal, dan drainase;
5. Pertimbangkan untuk lengkung horizontal pada turunan, terutama
turunan tajam, mungkin radiusnya perlu diperbesar;
6. Atur alinemen horizontal sedemikian sehingga semua PTJ terpenuhi,
terutama semua radius lengkung yang harus sesuai dengan kecepatan
rencana, jarak antarpersimpangan dan antarakses yang harus
memenuhi PTJ, jarak pandang minimum yang harus terpenuhi pada
semua bagian alinemen jalan, jarak pandang mendahului yang harus
diadakan pada seluruh ruas jalan, kemiringan memanjang dan
melintang jalan yang semuanya harus memenuhi PTJ, dan pekerjaan
tanah yang harus diminimalkan;
7. Alinyemen-alinyemen hasil percobaan ini (butir 3 s.d. 6) kemudian
masing-masing perlu dikaji untuk menilai kelayakannya dari segi
teknis, ekonomi, dan lingkungan, serta jika diperlukan agar juga dikaji
sosial,
PT. politik,
TJIPTA ARTHA budaya, pertahanan, dan keamanan. Alinemen yang
WIRATAMA
paling layak atau memenuhi kriteria pemilihan yang ditentukan, maka
akan menjadi alinemen desain.
Pada bagian ini selanjutnya dijelaskan syarat teknis elemen-elemen alinemen
horizontal.

E.2.2.2.2. Lengkung Horizontal


Jenis lengkung horizontal yang paling umum digunakan untuk
menghubungkan bagian-bagian jalan yang lurus adalah kurva lingkaran.

E.2.2.2.2.1. Tikungan dengan kurva lingkaran

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 15


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Semua elemen geometrik harus ekonomis, berkeselamatan, dan pada saat


jalan dioperasikan, Pengguna Jalan dapat menggunakan kecepatan yang
mendekati kecepatan desain. Hal ini dapat dicapai dengan mendesain seluruh
komponen geometrik berdasarkan kecepatan desain. Desain kurva jalan
harus didasarkan pada hubungan antara kecepatan desain, kelengkungan
tikungan, superelevasi, dan gesekan melintang jalan antara ban kendaraan
dengan perkerasan jalan. Hubungan ini berasal dari hukum mekanika yang
nilai-nilai variablenya tergantung pada nilai praktis dan faktor-faktor empiris
pada rentang variabel yang digunakan.
Ketika sebuah kendaraan bergerak di jalur melingkar, kendaraan tersebut
akan mengalami percepatan sentripetal yang bekerja mengarah ke pusat
kelengkungan. Akselerasi ini ditopang oleh komponen bobot kendaraan
berupa superelevasi jalan dan gesekan ke samping yang berkembang antara
ban kendaraan dengan permukaan perkerasan jalan atau kombinasi
keduanya. Sebagai konsep, akselerasi sentripetal ini disamakan dengan gaya
sentrifugal. Namun, ini adalah gaya imajiner yang diyakini pengendara
mendorong kendaraan keluar tikungan saat menikung, yang pada kenyataan-
nya, pengendara benar-benar merasakan kendaraan dipercepat ke arah
dalam (ke arah pusat lengkungan). Istilah percepatan sentripetal ini sepadan
dengan akselerasi lateral yang secara fundamental benar.
Ketika sebuah kendaraan bergerak dengan kecepatan konstan pada kurva
dengan superelevasi
PT. TJIPTA ARTHAtertentu
WIRATAMA sehingga nilai friksi antara ban dan
perkerasannya menjadi nol, maka akselerasi sentripetal seluruhnya ditopang
oleh komponen bobot kendaraan dan, secara teori, tidak diperlukan gaya
kemudi (sering disebut hand off). Kendaraan yang melaju lebih cepat atau
lebih lambat dari kecepatan keseimbangan ini akan mengembangkan
gesekan ban dengan perkerasan jalan saat upaya kemudi diterapkan untuk
mencegah gerakan kendaraan ke luar atau ke dalam lintasan kurva. Pada
kurva tanpa superelevasi, laju kecepatan yang berbeda dari kecepatan
keseimbangan ini juga dimungkinkan, karena memanfaatkan gesekan
samping yang sesuai untuk mengimbangi percepatan sentripetal yang
bervariasi tersebut.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 16


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Dari hukum mekanika, persamaan (1) adalah rumus dasar


pengoperasian kendaraan pada kurva.
2
v (
= e +f ) g ……………………………………………………... (Persamaan 1)
R
Persamaan (1) diubah susunannya dan disesuaikan satuannya
menjadi persamaan (2).
2 2
v V
R= = ………………………………………………(Persamaan 2)
( e + f ) g 127 ( e +f )
Keterangan:
v = kecepatan kendaraan, dalam satuan m/detik
V = kecepatan kendaraan, dalam satuan Km/Jam
R = radius tikungan, m
e = superelevasi perkerasan, m/m
f = kekesatan melintang antara ban dan perkerasan
g = percepatan konstan gravitasi, 9,81 m/detik2.
Persamaan (1) dan (2) yang memodelkan kendaraan bergerak
sebagai suatu titik massa, sering disebut sebagai rumus kurva dasar.
Desain suatu lengkung horizontal diawali dengan penentuan V D.
Untuk kecepatan tersebut, nilai faktor kekesatan yang terkait juga ditentukan
dan umumnya fungsi turunan dari kecepatan. Desainer bisa memilih dari
berbagai kemungkinan pasangan nilai R dan e yang memenuhi persamaan di
atas, tergantung pada sejumlah batasan. Batasan terpenting adalah
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
superelevasi hendaknya berada di dalam rentang yang diatur oleh peraturan
yang berlaku.

E.2.2.2.2.2. Tikungan gabungan


Tikungan gabungan merupakan tikungan-tikungan horizontal dengan radius
yang berbeda dalam arah yang sama dan terhubung pada titik sambungnya.
Pada umumnya, penggunaan tikungan gabungan tidak disarankan karena
bisa menyebabkan masalah akibat pengemudi tidak melihat perubahan
tikungan dan tidak mengantisipasi perubahan kekesatan menyamping (side
friction). Bila mungkin, ganti tikungan gabungan dengan tikungan kurva

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 17


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

tunggal. Tetapi, jika tikungan gabungan tetap diperlukan, maka pedoman


berikut ini dapat diterapkan pada penggunaannya:
1. Tikungan gabungan tidak dikehendaki pada radius kurang dari
1.000m.
2. Jika radius kurang dari 1.000 m tidak bisa dihindari, maka
penurunan kecepatan operasional pada setiap tikungan tersebut
hendaknya tidak lebih dari 5Km/Jam, dan tetap di atas kecepatan
operasi minimumnya pada bagian jalan tersebut.
3. Tidak boleh ada lebih dari dua tikungan dengan radius mengecil.
4. Radius mengecil hendaknya dihindari pada turunan curam.
5. Pada jalan satu arah, sebaiknya tikungan dengan radius lebih kecil
mengawali tikungan dengan radius yang lebih besar.
Perubahan kekesatan antara tikungan dengan radius yang berbeda bisa
menyebabkan masalah ketidakstabilan untuk sepeda motor dan truk, atau
kendaraan lain yang titik gravitasinya tinggi. Pengendara sepeda motor tidak
bisa mengantisipasi perubahan kekesatan jika tidak mampu menangkap
perubahan radius tikungan, yang umumnya terjadi pada tikungan gabungan.
Jika diperlukan perlambatan untuk truk, terapkan jarak yang memadai bagi
pengemudi untuk bereaksi dan memperlambat kendaraannya.

E.2.2.2.2.2.1.Tikungan Gabungan Searah (Brokenback Curve)


Kurva brokenback adalah lengkung-lengkung horizontal yang berbelok
PT. TJIPTA
searah ARTHAoleh
disambungkan WIRATAMA
bagian lurus yang pendek atau dua tikungan
dengan radius relatif kecil berbelok searah yang dihubungkan oleh lengkung
dengan radius lebih besar yang juga berbelok searah. Lengkung broken back
hendaknya dihindari sebisa mungkin karena hampir mustahil untuk
menyediakan besaran superelevasi yang benar sepanjang bentangannya, dan
juga sama sulitnya untuk menghasilkan kemiringan tepi perkerasan yang
memadai. Ada dua kasus umum lengkung broken back.
Kasus 1
Panjang bagian lurus <0,6VD (± dua detik waktu tempuh), pemisahan dua
tikungan ini cukup kecil sehingga tidak ada komplikasi atau masalah visual

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 18


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

dengan superelevasi. Tikungan semacam ini dapat ditoleransi dalam daerah


perkotaan jika dibutuhkan menjaga perkerasan dan kerb eksisting. Tetapi,
lebih baik jika diganti oleh tikungan tunggal, dan ini tergantung pada kondisi
setempat. Bila tidak bisa digantikan oleh tikungan tunggal, maka bagian lurus
yang pendek dan perbedaan radius kedua tikungan yang dihubungkan ini
bisa menyebabkan ketidakstabilan bagi sepeda motor dan truk, akibat
perubahan kekesatan.
Kasus 2
Jika panjang bagian lurus ≥0,6VD dan < 2 (VD s.d. 4VD), penampilannya
dikompromikan oleh tidak cukupnya pemisahan tikungan. Dalam rentang
jarak ini, sering kali dimungkinkan dan lebih dikehendaki untuk
menggantinya oleh tikungan tunggal, tergantung pada perbedaan radius
tikungan. Panjang 2VD meter bisa diambil sebagai nilai minimal mutlak, dan
4VD meter sebagai nilai minimal yang dikehendaki. Bahkan jarak 4V D bisa
kurang mencukupi jika kedua tikungan terlihat pada saat yang sama dari
jarak yang jauh. Panjang bagian lurus yang lebih besar dari 3V D akan
menjadikan kembalinya kemiringan melintang normal pada bagian lurus
dalam waktu tempuh sekitar 4 detik. Jika nilai minimal tidak bisa diperoleh,
maka alinemen hendaknya diubah, baik dengan memperpanjang bagian lurus
atau menggantinya dengan tikungan gabungan yang menyisipkan lengkung
peralihan di antara lengkung-lengkung utamanya atau suatu alinemen
peralihan yang panjang.
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 8 Jenis-Jenis Tikungan Gabungan Broken Back

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 19


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 9 Pandangan Pengemudi Pada Tikungan Gabungan Broken


Back

E.2.2.2.2.2.2.Tikungan Gabungan Balik (Kurva S)


Tikungan gabungan balik adalah alinemen horizontal berbentuk huruf S yang
dibentuk dari gabungan dua tikungan sederhana yang berlawanan arah dan
dihubungkan pada titik singgung baik di akhir maupun di awal busur
lingkaran atau lengkung peralihan. Tikungan tersebut juga bisa disambung
oleh bagian lurus yang pendek.

Penyediaan bagian
PT. TJIPTA ARTHAlurusWIRATAMA
di antara dua tikungan dikehendaki agar rotasi
perkerasan bisa terjadi pada bagian jalan yang lurus dan lebih dikehendaki
agar panjangnya mencukupi untuk rotasi superelevasi penuh dan bisa
diterapkan pada laju rotasi yang diizinkan sesuai dengan kecepatan desain.

Di bawah ini beberapa ketentuan untuk diikuti dalam mendesain tikungan


gabungan balik:

1. Tikungan-tikungan yang membentuk tikungan gabungan hendaknya


dihindari sebisa mungkin. Namun jika tidak bisa dihindari, maka jarak
antar tikungan (bagian lurus) sebaiknya tidak kurang dari 0,7V D,

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 20


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

karena pada jalan dua lajur dua arah hal ini akan
menghasilkan/mencapai kemiringan melintang normal.
2. Jika antar tikungan dihubungkan dengan lengkung peralihan, maka
penggunaan lengkung peralihan akan memberikan peralihan yang
halus dan stabil saat perubahan arah dan superelevasi.
3. Jika antar tikungan tidak dihubungkan dengan lengkung peralihan,
maka antartikungan dipisahkan oleh bagian lurus yang panjangnya
tidak kurang dari 0,3VD bagi setiap tikungan tanpa peralihan.
4. Radius tikungan pada tikungan yang digabungkan, hendaknya lebih
besar dari radius minimum untuk superelevasi datar (e = 0), sesuai
dengan persamaan (3).
2
V0
R= f …………………………………………………………(Persamaan 3)
127 max

Keterangan:
fmax = kekesatan melintang paling besar
5. Jika suatu tikungan gabungan balik harus mengakomodasi pergerakan
truk, maka hendaknya disambungkan oleh bagian lurus yang
panjangnya paling sedikit 0,6VD, (akan lebih baik jika > 0,7VD), atau
dilengkapi oleh lengkung peralihan. Pada saat truk menghadapi kurva
beradius lebih kecil, maka diperlukan jarak yang memadai bagi
pengemudi untuk bereaksi dan memperlambat kendaraannya.
PT. TJIPTA
E.2.2.2.2.3. ARTHA
Panjang WIRATAMA
bagian alinyemen lurus
Jalan lurus dan panjang dalam waktu berkendaraan yang lama dengan
kecepatan tinggi dan tingkat konsentrasi yang tinggi, cenderung
menyebabkan kelelahan dan ngantuk. Berdasarkan hal ini dan beberapa
faktor lain, desain panjang alinemen jalan yang lurus perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1. Silau sorotan lampu di malam hari dari kendaraan yang berlawanan
arah menjadi mengganggu pada jarak lebih dekat dari 3.000m.
2. Pada jarak lebih dari 2.500m, pengemudi akan sulit memperkirakan
kecepatan kendaraan yang datang dari arah berlawanan, tanpa

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 21


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

komponen visual dari samping seperti saat kendaraan berada di


tikungan; dan
3. Silau sinar matahari pagi dan sore pada jalan dengan sumbu alinemen
arah timur-barat yang bisa menyilaukan mata pengemudi.
Desainer agar memperhatikan hal-hal di atas dan merencanakan suatu
alinemen yang mengurangi konsekuensi-konsekuensi tersebut dan
memberikan alinemen tikungan yang datar dengan mengikuti kontur medan
sedapat mungkin.
Memberi kesempatan mendahului jika memungkinkan, panjang bagian lurus
setidaknya setara dengan jarak pandang yang diperlukan untuk mendahului.

E.2.2.2.2.4. Lengkung peralihan


Lengkung peralihan digunakan untuk menghubungkan bagian lurus jalan
dengan busur lingkaran agar lintasan kendaraan dapat berubah mulus di
dalam lajur lalu lintas. Kegunaan utama lengkung peralihan adalah:
1. Lengkung peralihan akan memberikan jalur belok alami kendaraan
yang mudah dilalui dan menyebabkan gaya lateral meningkat dan
menurun secara gradual seiring gerakan kendaraan memasuki dan
keluar tikungan. Lengkung peralihan meminimalkan kemungkinan
kendaraan berpindah lajur ke lajur yang berdampingan dan
cenderung mendukung kecepatan lintasan yang konstan.
PT.
2. DiTJIPTA ARTHA
sepanjang WIRATAMA
lengkung peralihan merupakan lokasi yang cocok bagi
pembentukan superelevasi dari kemiringan melintang normal pada
bagian lurus ke bagian dengan superelevasi penuh pada tikungan, dan
dapat didesain sesuai dengan perbandingan kecepatan dan radius bagi
kendaraan yang melintasinya.
Lengkung peralihan tidak selalu diperlukan pada tikungan dengan radius
horizontal besar. Hal ini terjadi jika kecepatan operasi lebih dari 60Km/Jam
atau dimana pergeseran busur lingkaran lengkung peralihan kurang dari
0,25m-0,30m, karena pengemudi mempunyai cukup ruang untuk membuat
jalur transisi tanpa memasuki lajur yang berdampingan.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 22


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

E.2.2.2.2.5. Radius maksimum yang memerlukan lengkung peralihan


(spiral)
Pada busur lingkaran dengan radius lebih besar dari nilai-nilai yang
ditunjukkan dalam tabel di bawah, tidak diperlukan lengkung peralihan.
Nilai-nilai dalam tabel tersebut didasari atas kombinasi kecepatan operasi,
radius lengkungan, panjang minimal lengkung peralihan, panjang lengkung
peralihan yang dikehendaki untuk runoff superelevasi, dan kebutuhan akan
lengkung peralihan jika pergeseran lengkung peralihan lebih besar dari 0,25-
0,30m.

Tabel E. 2 Radius Maksimum Yang Memerlukan Lengkung Peralihan


Radius Maksimum Yang Memerlukan
Kecepatan Operasi
Lengkung Peralihan
(km/jam)
(m)
20 24
30 54
40 95
50 148
60 213
70 290
80 379
90 480
PT. TJIPTA
100 ARTHA WIRATAMA 592
110 716
120 852

E.2.2.2.2.6. Kekesatan melintang


Kendaraan yang melintasi suatu busur lingkaran horizontal akan mengalami
percepatan sentripetal yang bekerja menuju pusat lingkaran. Akselerasi
sentripetal ini disamakan dengan gaya sentrifugal yang bekerja pada pusat
“mass” kendaraan yang diimbangi oleh komponen berat kendaraan akibat
adanya superelevasi dan gaya gesek yang terjadi antara ban dan permukaan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 23


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

jalan. Jika gaya gesek tidak mencukupi, kendaraan akan cenderung bergeser
menyamping ke arah alinemen memanjang jalan.

Faktor kekesatan ke arah samping (kekesatan melintang) bervariasi


terhadap kecepatan desain yaitu dari 0,18 untuk kecepatan 20Km/Jam,
hingga sekitar 0,15 untuk kecepatan 70Km/Jam. Catatan, bahwa V D <
80Km/Jam dikategorikan sebagai kecepatan desain rendah dan V D ≥
80Km/Jam dikategorikan sebagai kecepatan desain tinggi.

Faktor kekesatan menyamping dapat bervariasi tergantung pada jenis dan


kondisi permukaan jalan, perilaku pengemudi dan jenis serta kondisi ban.
Nilai-nilai faktor gesekan samping pada gambar di bawah direkomendasikan
untuk digunakan dalam mendesain kurva horizontal.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 10 Faktor Kekesatan Melintang

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 24


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

E.2.2.2.2.7. Radius minimum untuk nilai superelevasi


Rmin lengkung horizontal untuk kecepatan desain yang ditetapkan dan emax
untuk rentang tipikal superelevasi e max 4%, 6%, dan 8%. Tabel untuk R min
disajikan pada subbab berikut.

E.2.2.2.2.8. Turunan curam


Pada turunan curam, terdapat kemungkinan sebagian pengemudi akan
melintas lebih cepat dari kecepatan desain sehingga R min hendaknya
diperpanjang 10% untuk setiap turunan 1% pada kelandaian memanjang
jalan yang melebihi 3%.

Tabel E. 3 Rmin Lengkung Horizontal Berdasarkan emax dan f yang


Ditentukan
Rmin
Kekesatan
VD emax = 4%
Samping
(km/jam) Khusus emax = 6% emax = 8%
(f)
Perkotaan
20 0,18 15 15 10
30 0,17 35 30 30
40 0,17 60 55 50
50 0,16 100 90 80
60 0,15 150 135 125
70TJIPTA ARTHA
PT. 0,14 WIRATAMA
215 195 175
80 0,14 280 250 230
90 0,13 375 335 305
100 0,12 490 435 395
110 0,11 - 560 500
120 0,09 - 755 665

E.2.2.2.2.9. Panjang minimum lengkung horizontal dan sudut defleksi


yang tidak memerlukan lengkung horizontal

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 25


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Panjang lengkung minimum diperlukan untuk menghindari terjadi tekukan


pada alinemen horizontal jalan dan menjaga penampilan yang memuaskan.
Namun, panjang tersebut bukan dianggap sebagai nilai minimum yang
mutlak dan dapat bervariasi sesuai kondisi medan. Sebagai contoh, pada
jalan dua arah, panjang minimum tersebut setidaknya 120 – 150 m, tetapi
pada jalan pegunungan panjang minimum tersebut dapat saja lebih pendek.
Pada JRY berstandar tinggi yang dilengkapi median, panjang lengkung yang
kurang dari 300m akan terlihat terlalu pendek.

Sebagai aturan, lengkung horizontal disediakan setiap kali jalan berubah


arah. Perubahan alinemen yang sangat kecil tanpa lengkung horizontal tidak
akan disadari pengendara dan dalam kasus semacam ini, tidak diperlukan
busur lingkaran.

Sudut defleksi maksimum yang diizinkan yang tidak membutuhkan lengkung


horizontal dijabarkan dalam tabel di bawah, dan berikut panjang lengkung
minimumnya. Perhatikan bahwa serangkaian sudut defleksi kecil tidak
digunakan untuk menghindari kebutuhan akan lengkung horizontal.

Tabel E. 4 Sudut Defleksi Maksimum Dimana Lengkung Horizontal


Tidak Diperlukan Dan Panjang Tikungan Minimum
Sudut Defleksi (°) Panjang lengkung
VD horizontal
(km/jam) Jalan 2 Lajur
PT. TJIPTA ARTHA Jalan 4 Lajur
WIRATAMA minimum (dari TS
ke ST) 1), 2) (m)
40 1,5 N/A 45
50 1,5 N/A 70
60 1,0 0,50 100
70 1,0 0,50 140
80 1,0 0,50 180
90 1,0 0,50 230
100 1,0 0,50 280
110 0,5 0,25 340

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 26


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

120 0,5 0,25 400


Sumber :1). Austroads, 2016.

2). Panjang minimum lengkung horizontal termasuk panjang busur


lingkaran dan lengkung transisi melingkar (spiral) TS = Tangent
to Spiral, ST= Spiral to Tangent. Dihitung dari Lh=V2/36, dimana
Lh = panjang lengkung horizontal dan V = kecepatan desain
(Km/Jam).

E.2.2.2.2.10. Superelevasi
E.2.2.2.2.10.1. Metode Pencapaian Superelevasi
Metode pencapaian superlevasi didasarkan kepada hubungan curvilinear
antara superelevasi dan kekesatan samping jalan dengan kebalikan radius
lengkung (Lihat AASHTO: Metode Modifikasi 5). Metode ini mempunyai
bentuk parabola asimetris dan mewakili sebaran praktis superelevasi
terhadap suatu rentang kelengkungan. Metode ini menerapkan “kecepatan
tempuh rata-rata” yang lebih rendah dari kecepatan desain untuk mencapai
superelevasi melebihi nilai untuk lengkung pertengahan pada metode
hubungan garis lurus. Metode ini berasumsi bahwa tidak semua pengendara
berkendaraan berjalan dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan
desain. Tabel berikut menunjukkan hubungan antara V D dengan kecepatan
tempuh rata-rataARTHA
PT. TJIPTA kendaraan (VTempuh Rata-rata).
WIRATAMA

Tabel E. 5 Hubungan VD dengan VKecepatan tempuh Rata-rata

VD VKecepatan tempuh Rata-rata 1)


(km/jam) (km/jam)

20 20
30 30
40 40
50 47
60 55

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 27


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

70 63
80 70
90 77
100 85
110 91
120 98

E.2.2.2.2.10.2. Nilai Superelevasi Maksimum dan Minimum


Superelevasi maksimum yang diterapkan adalah 8% untuk jalan Antarkota,
Jalan Perkotaan, dan JBH (Permen PU No.19/PRT/M/2011).

Pada kecepatan menengah dan rendah, lebih dikehendaki agar semua


tikungan memiliki nilai superevelasi setidaknya sama dengan kemiringan
melintang normal jalan pada bagian lurus (3% pada daerah dengan curah
hujan yang tinggi). Pada tikungan besar, kemiringan melintang jalan yang
normal (adverse) hendaknya dipertimbangkan tabel Subbab Kelandaian
Relatif.

E.2.2.2.2.10.3. Penerapan Superelevasi


Pada bagian
PT. jalan
TJIPTA lurus, perkerasan
ARTHA WIRATAMA jalur lalu lintas mempunyai kemiringan
melintang jalan normal untuk mengalirkan air. Kemiringan melintang ini
diterapkan pada kedua arah dari sumbu tengah jalan Antarkota yang tanpa
median. Pada jalan dengan median, setiap jalur lalu lintas biasanya
mempunyai profil kemiringan searah menjauhi median.

Perubahan dari kemiringan melintang normal ke superelevasi penuh terjadi


ketika jalan berubah dari lurus ke alinemen melengkung, kecuali jika
kemiringan melintang jalan adverse (tikungan dengan kemiringan normal)
diterapkan, atau dari radius lengkung sangat besar dengan kemiringan
melintang adverse ke lengkung radius lebih kecil.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 28


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Sumbu rotasi, titik dimana kemiringan melintang jalan berputar untuk


membentuk superelevasi, tergantung pada jenis fasilitas jalan, potongan
melintang jalan yang digunakan, medan dan lokasi jalan. Pada jalan dua lajur
dua arah, superelevasi dibentuk dengan rotasi setiap setengah potongan
melintang (termasuk bahu jalan) pada garis tengah atau sumbu rotasi. Lihat
ke Gambar 5-16.

Pada jalan yang dilengkapi median sempit (kurang dari 5 m), kedua badan
jalan bisa dirotasikan di garis tengah median (VicRoads, 2002). Jika median
jalan lebar, sumbu rotasi biasanya sepanjang tepi median dari setiap badan
jalan (terutama pada daerah datar), seperti digambarkan pada gambar di
pembahasan Subbab Panjang Pencapaian Superelevasi

E.2.2.2.2.10.4. Panjang Pencapaian Superelevasi


Panjang pencapaian superelevasi adalah transisi kemiringan melintang jalan
dari kemiringan badan jalan normal pada bagian jalan lurus hingga
kemiringan melintang jalan superelevasi penuh pada busur lingkaran.
Panjang total yang diperlukan untuk pencapaian superelevasi disebut
panjang pencapaian superelevasi (Ls). Panjang ini terdiri dari dua elemen
utama:

1. Panjang superelevation runoff (Sro) (AASHTO 2001; Austroads 2016)


adalah panjang jalan yang diperlukan untuk mencapai perubahan
PT.kemiringan melintang
TJIPTA ARTHA jalan dari yang datar (dalam gambar disebut
WIRATAMA
level) menjadi superelevasi penuh.
2. Panjang tangent runout (Tro) adalah panjang jalan yang diperlukan
untuk mencapai perubahan kemiringan melintang jalan dari
kemiringan normal menjadi datar.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 29


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 11 Profil Tipikal Pencapaian Superelevasi Pada Jalan Dua


Lajur

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 30


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

E.2.2.2.2.10.5. Laju Rotasi


Laju rotasi perkerasan dibatasi tidak melampaui 2,5% per detik waktu
tempuh pada kecepatan operasi. Panjang minimum pencapaian superelevasi
untuk memenuhi kriteria laju rotasi yang sesuai bisa diturunkan dari
persamaan (3) berikut:

Laju rotasi 3,5% (0,035) radian/detik adalah sesuai untuk VD < 80Km/Jam.

Laju rotasi 2,5% (0,025) radian/detik adalah sesuai untuk VD ≥ 80Km/Jam.

0,279 ( e1 −e3 ) V
R= ……………………………………………………(Persamaan 4)
r

Keterangan:

Lrr = panjang pencapaian superelevasi berdasarkan kriteria laju


rotasi, m

e1 = kemiringan melintang normal (%)

e2 = superelevasi penuh (%)

V = kecepatan operasi (Km/Jam)

r = laju rotasi (%).

Jika dibutuhkan meningkatkan laju rotasi sebagai upaya mengatur jalur


aliran air hujan, maka bisa dipertimbangkan menaikkan laju rotasi untuk
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
mengurangi panjang jalur aliran dan mengurangi kemungkinan kendaraan
mengalami aquaplaning. Laju 3,5% per detik bisa diperkenankan untuk jalan-
jalan berkecepatan lebih tinggi dan 4% untuk jalan-jalan yang dibangun pada
medan pegunungan.

E.2.2.2.2.10.6. Kelandaian Relatif


Untuk penampilan dan kenyamanan, panjang runoff superelevasi hendaknya
didasarkan atas perbedaan maksimum yang dapat diterima antara
kelandaian memanjang sumbu rotasi dan tepi perkerasan. Sumbu rotasi
biasanya adalah garis tengah jalan yang tanpa pemisah jalan, tetapi bisa tepi
dalam atau tepi luar perkerasan pada jalan yang dilengkapi median.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 31


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Kelandaian relatif maksimum bervariasi dengan kecepatan desain untuk


memberikan panjang runoff yang lebih panjang pada kecepatan lebih tinggi
dan lebih pendek pada kecepatan lebih rendah. Interpolasi kelandaian relatif
yang diterima antara 0,80% dan 0,35% masing-masing untuk kecepatan
desain 20 dan 130 Km/Jam memberikan kelandaian relatif maksimum untuk
rentang kecepatan desain.

Tabel E. 6 Kelandaian Relatif Maksimum


Kelandaian Relatif Kelandaian Relatif
VD (km/jam)
Maksimum (%) Ekivalen Maksimum
20 0,80 1:125
30 0,75 1:133
40 0,70 1:143
50 0,65 1:154
60 0,60 1:167
70 0,55 1:182
80 0,50 1:200
90 0,47 1:213
100 0,44 1:227
110 0,41 1:244
120 0,38 1:263
130 0,35 1:286
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Jika ada beberapa lajur yang akan dirotasi, faktor-faktor penyesuaian berikut
ini hendaknya diterapkan pada lajur-lajur yang akan dirotasi.

Tabel E. 7 Kelandaian Relatif Maksimum


Jumlah Lajur Kenaikan panjang
Faktor Penyesuaian
Rotasi relatif terhadap rotasi
(bw)
(n1) satu lajur (n1 bw)
1,0 1,00 1,00
1,5 0,83 1,25

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 32


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

2,0 0,75 1,50


2,5 0,70 1,75
3,0 ,067 2,00
3,5 0,64 2,25

Gambar E. 12 Faktor Penyesuaian Jumlah Lajur Dirotasi

E.2.2.2.2.10.7. Panjang Superelevasi


Dalam tabel – tabel berikut ditunjukkan panjang run-off atau transisi, radius
tikungan (R), dan superelevasi maksimum untuk kecepatan desain yang
berbeda. Metode 5 AASHTO digunakan untuk distribusi superelevasi (e) dan
friksi (f) dalam menghitung superelevasi yang tepat. Dalam kondisi cuaca
PT. TJIPTA
ektrim, ARTHA
kendaraan WIRATAMA
dapat melakukan perjalanan dengan aman pada
kecepatan lebih tinggi dari kecepatan desain pada tikungan. Hal ini
disebabkan perkembangan hubungan radius-superelevasi yang
menggunakan faktor friksi yang umumnya lebih rendah dari pada yang bisa
dicapai.

Panjang runoff superelevasi Lr di bawah ini berdasarkan lebar lajur yang


bervariasi 3,5 m, 3,0 m dan 2,75m. Untuk lebar lajur lainnya, panjang runoff
yang sesuai bervariasi secara proporsional. Akan tetapi panjang runoff
hendaknya digunakan untuk semua kasus agar konsisten dan praktis.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 33


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Untuk mendapatkan panjang lengkung peralihan (runoff) dapat digunakan


persamaan (5).

( wn1−e d ) b w
Lr = ……………………………………………………(Persamaan 5)

Keterangan:

Lr = Panjang minimum lengkung peralihan (runoff), m;

Δ = Kelandaian relatif maksimum, %;

n1 = Jumlah jalur yang diputar;

bw = Faktor penyesuaian untuk jumlah jalur yang diputar;

n = Lebar satu jalur lalu lintas, m

ed = Tingkat superelevasi desain, %

Sehubungan dengan kondisi permukaan jalan yang mempunyai kemiringan


normal berbeda maka disediakan Tabel Panjang Lengkung Peralihan dengan
2 kategori:

1. Kemiringan melintang normal 2 % (Tabel E.8 s.d. Tabel E.16)


2. Kemiringan melintang normal 3 % (Tabel E.17s.d. Tabel E.25)
Tabel E.1 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%, emax=8%, pada
jalan dengan lebar lajur=3,50m
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 34


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 8 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%, emax=8%,


pada jalan dengan lebar lajur=3,50m

Tabel E. 9 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%, emax=8%,


pada jalan dengan lebar lajur=3,00m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 35


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 10 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%,


emax=8%, pada jalan dengan lebar lajur=2,75m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 36


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 11 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%, emax=6%,


pada jalan dengan lebar lajur=3,50m

Tabel E. 12 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%,


emax=6%, pada jalan dengan lebar lajur=3,00m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 37


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 13 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%,


emax=6%, pada jalan dengan lebar lajur=2,75m

Tabel E. 14 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%,


emax=4%, pada jalan dengan lebar lajur=3,50m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 38


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 15 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%,


emax=4%, pada jalan dengan lebar lajur=3,00m

Tabel E. 16 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=2%, emax=4%,


pada jalan dengan lebar lajur=2,75m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 39


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 17 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%, emax=8%,


pada jalan dengan lebar lajur=3,50m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 40


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 18 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%,


emax=8%, pada jalan dengan lebar lajur=3,00m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 41


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 19 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%, emax=8%,


pada jalan dengan lebar lajur=2,75m

Tabel E. 20 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%,


emax=6%, pada jalan dengan lebar lajur=3,50m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 42


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 21 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%,


emax=6%, pada jalan dengan lebar lajur=3,00m

Tabel E. 22 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%,


emax=6%, pada jalan dengan lebar lajur=2,75m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 43


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 23 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%, emax=4%,


pada jalan dengan lebar lajur=3,50m

Tabel E. 24 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%,


emax=4%, pada jalan dengan lebar lajur=3,00m

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 44


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 25 Hubungan Ls (runoff) dengan VD, untuk R, en=3%,


emax=4%, pada jalan dengan lebar lajur=2,75m

E.2.2.2.2.11. Penempatan runoff superelevasi tanpa lengkung peralihan


Secara umum, penempatan runoff superelevasi pada tikungan tanpa
lengkung peralihan (full circle) adalah sebagai diuraikan berikut.

E.2.2.2.2.11.1. Lengkung busur lingkaran (tangent-lingkaran-tangent)


pada lengkung F-C
PT. umum
Secara TJIPTA ARTHA WIRATAMA
direkomendasikan agar 70% runoff superelevasi pada bagian
jalan lurus untuk kecepatan desain lebih dari 80Km/Jam. Ini merupakan yang
umumnya sesuai dengan mayoritas tikungan. Namun, runoff superelevasi
hendaknya tidak lebih dari 1 (satu) detik waktu tempuh (dengan nilai
maksimum 30 meter) ke dalam busur lingkaran.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 45


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 13 Profil tipikal pencapaian superelevasi (Tangent ke Busur


Lingkaran)

E.2.2.2.2.11.2. Tikungan Gabungan Balik


Tikungan gabungan balik adalah lengkung horizontal yang berputar
berlawanan arah. Dikehendaki agar tikungan gabungan balik mempunyai
jarak yang memadai antar tikungan agar ada pencapaian superelevasi penuh
bagi setiap tikungan pada kecepatan operasi tertentu. Jika panjang ini tidak
bisa tercapai, pencapaian superelevasi bisa diperpanjang hingga 1 detik
waktu tempuh (maksimum 30 m) ke dalam busur lingkaran. Kecepatan
PT. TJIPTA
operasi ARTHA
harus diatur agar WIRATAMA
sesuai geometrik tikungan.

E.2.2.2.2.11.3. Tikungan Gabungan Searah


Tikungan gabungan searah adalah lengkung horizontal dengan radius
berbeda yang berputar searah pada titik gabung. Jika terdapat tikungan
gabungan, superelevasi penuh pada tikungan lebih kecil harus dicapai pada
tikungan radius lebih besar sebelum titik gabung.

E.2.2.2.2.12. Penempatan runoff superelevasi dengan lengkung peralihan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 46


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Pada umumnya, penempatan runoff superelevasi pada tikungan dengan


lengkung peralihan (Spiral-Circle-Spiral) seperti diuraikan sebagai berikut.

E.2.2.2.2.12.1. Tangent-Peralihan-Lingkaran-Peralihan-Tangent (S-C-S)


Untuk busur lingkaran dengan lengkung peralihan, pada umumnya panjang
runoff superelevasi sama dengan panjang lengkung peralihan. Runoff
superelevasi kemudian ditempatkan hanya dalam sepanjang lengkung
peralihan. Contoh tipikal pencapaian superelevasi pada lengkung peralihan
horizontal pada jalan dua lajur ditunjukkan dalam Gambar 2.9. Runoff
superelevasi dimulai pada titik antara bagian lurus dan lengkung peralihan
dan berakhir pada titik antara lengkung peralihan ke busur lingkaran.

E.2.2.2.2.12.2. Lengkung Peralihan Balik


Pada lengkung peralihan balik, pembalikan superelevasi dilakukan secara
linier dan seragam. Dalam kasus lengkung peralihan yang panjang dan
superelevasi kecil, perlu menaikkan laju rotasi di sekitar titik superelevasi
nol agar meningkatkan drainase permukaan perkerasan dan meminimalkan
panjang jalur aliran air. Tidak dianjurkan penggunaan lengkung peralihan
panjang, selain di alinemen curvilinear berkecepatan tinggi karena adanya
potensi membingungkan pengendara terhadap radius lengkung lingkaran
berikutnya.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA


E.2.2.2.2.13. Panjang lengkung peralihan spiral yang dikehendaki
Panjang lengkung peralihan yang dikehendaki ditunjukkan dalam tabel
berikut. Jika lengkung peralihan yang diinginkan ternyata kurang dari
panjang minimum yang ditentukan dari persamaan (6) atau (7), maka
panjang lengkung peralihan minimum yang digunakan dalam desain adalah:

Ls min= √24 ( P min ) R.......................................................................


2
(Persamaan 6)

Atau,

2
0,0214 V
Ls min= ................................................................................ (Persamaan 7)
RC

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 47


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Keterangan:

Lsmin = Panjang minimum lengkung peralihan, m;

Pmin = Jarak offset lateral minimum antara bagian lurus dan busur
lingkaran (0,20m)

R = Radius busur lingkaran, m

V = Kecepatan desain, km/jam

C = Laju maksimum perubahan akselerasi lateral (1,20m/detik2)

Tabel E. 26 Panjang Lengkung Peralihan Yang Dikehendaki


VD Panjang Spiral
(km/jam) (m)
20 11
30 17
40 22
50 28
60 33
70 39
80 44
90 50
PT. TJIPTA100
ARTHA WIRATAMA 56
110 61
120 67

E.2.2.2.2.14. Radius minimum tikungan dengan kemiringan melintang


jalan normal
Penggunaan kemiringan melintang normal pada tikungan, dikenal sebagai
kemiringan melintang adverse, biasanya dihindari, kecuali pada tikungan
dengan radius besar yang bisa dianggap sebagai jalan lurus. Tabel 2.27

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 48


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

memberikan radius minimum tikungan untuk berbagai kecepatan operasi


dengan kemiringan melintang normal.

Kemiringan melintang adverse tidak melebihi 3%, kecuali untuk tikungan di


dalam perkotaan dengan kecepatan operasi ≤70Km/Jam pada daerah-daerah
yang terbatas, dan belokan persimpangan atau bundaran. Secara umum,
faktor kekesatan maksimum dibatasi menjadi setengahnya (atau dua
pertiganya jika faktor resultan < 0,08 (0,033 hingga 0,048 untuk AASHTO))
yang memperbolehkan tikungan dengan superelevasi.

Penggunaan kemiringan melintang adverse dibatasi pada jalan Antarkota dan


JBH, dimana kedalaman air pada perkerasan bisa dikurangi.

Kemiringan melintang normal sebaiknya dihindari dalam kondisi-kondisi


berikut:

1. Pada pendekat persimpangan atau daerah pengereman lainnya


2. Daerah yang rawan aquaplaning
3. Jalan berkecepatan tinggi dengan kelandaian menurun melebihi 4%
Tabel E. 27 Panjang Lengkung Peralihan Yang Dikehendaki
VD Lereng Normal (FC) Kemiringan
PT. TJIPTA
(km/jam) ARTHA
emax = 4% WIRATAMA
emax = 6% emax = 8% Melintang
20 163 194 184 -
30 371 421 443 -
40 679 738 784 80
50 951 1050 1090 130
60 1310 1440 1490 200
70 1740 1910 1970 300
80 2170 2360 2440 500
90 2640 2880 2970 900
100 3250 3510 3630 1600
110 - 4060 4180 2400

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 49


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

VD Lereng Normal (FC) Kemiringan


(km/jam) emax = 4% emax = 6% emax = 8% Melintang
120 - 4770 4900 2800

E.2.2.2.2.15. Pelebaran perkerasan pada tikungan horizontal


Perkerasan bisa diperlebar pada tikungan untuk menjaga ruang bebas
samping antar kendaraan, sejajar ruang bebas yang ada pada jalan lurus.
Pelebaran dibutuhkan untuk dua alasan:

1. Kendaraan yang melintasi tikungan memerlukan lebar perkerasan


jalan yang lebih dari saat melintasi jalan lurus, karena lintasan roda
belakang berada di sisi dalam roda depan dan julur depan kendaraan
mengurangi ruang bebas antara kendaraan yang didahului dan yang
mendahului.
2. Ketika pada tikungan kendaraan lebih banyak menyimpang dari garis
tengah lajur, dari pada di jalan lurus.
Besaran pelebaran yang dibutuhkan tergantung pada:

1. radius tikungan
2. lebar lajur pada jalan lurus
3. panjang dan lebar kendaraan
4. ruang bebas kendaraan.
Faktor-faktor
PT. TJIPTA lainnya
ARTHAseperti julur depan kendaraan, jarak sumbu roda, dan
WIRATAMA
lebar lintasan roda kendaraan juga ikut berperan. Akan tetapi, ada
pembatasan terhadap pelebaran akibat kelayakan konstruksi untuk jalan dua
lajur, pelebaran ditiadakan ketika total pelebaran kurang dari 0,50m.

Terdapat kebutuhan melebarkan perkerasan jalan pada tikungan horizontal


untuk digunakan oleh kendaraan yang lebih besar dari kendaraan desain,
seperti kendaraan semi trailer dengan lebar 2,5m dan panjang 18,0m.

Tidak ada komponen keleluasaan kemudi tambahan untuk kesulitan


mengemudi pada tikungan karena:

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 50


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

1. Terdapat lebih sedikit variasi kemudi dengan kendaraan desain


karena kendaraan niaga yang dikemudikan oleh pengemudi terlatih.
2. Lebar jalur lintasan kendaraan desain mengakomodasi lebar jalur
lintasan kendaraan lebih kecil ditambah tersedianya ruang untuk
variasi kemudi (dan variasi keahlian pengemudi) dengan kendaraan
lebih kecil.
3. Jika terdapat bahu jalan yang diperkeras berpenutup seluruh atau
sebagian, maka hal ini akan mengkompensasi atas tidak adanya
komponen keleluasaan kemudi untuk kendaraan desain.
Tabel E.28 menunjukkan pelebaran untuk suatu rentang radius busur
lingkaran dan kendaraan desain. Untuk pelebaran lajur dengan lengkung
peralihan, umumnya menerapkan setengah dari pelebaran tikungan pada
setiap sisi jalan. Namun, ini berarti pergeseran terkait dengan transisi harus
lebih besar dari pelebaran tikungan yang diterapkan pada sisi luar tikungan
sehingga kendaraan desain akan memanfaatkan pelebaran tersebut dan
untuk menjaga penampilan tikungan. Nilai pergeseran di tikungan ini dapat
dihitung menggunakan persamaan (8).

2
Lp
p= ............................................................................................... (Persamaan 8)
24 R

Keterangan:

p PT. =TJIPTA
Pergeseran, m;
ARTHA WIRATAMA
Lp = Panjang lengkung peralihan, m;

R = Radius busur lingkaran, m

Untuk tikungan tanpa lengkung peralihan, praktisnya semua pelebaran


tikungan di sisi dalam tikungan dengan garis marka tengah jalan kemudian
diimbangi (offset) dari garis kontrol agar lebar lajur semuanya sama. Dengan
ini membantu pengemudi menentukan peralihannya sendiri. Tikungan
radius kecil hendaknya didesain dengan bantuan template belokan atau
program komputer turn path. Ini karena sudut belokan mulai mempengaruhi

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 51


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

lebar jalur lintasan dan penerapan pelebaran tikungan yang harus diperiksa
terhadap jalur lintasan.

Secara umum pelebaran perkerasan di tikungan dapat diperoleh dari Tabel


E.29.

Tabel E. 28 Pelebaran Tikungan Per Lajur Unuk Kedaraan Desain


Radius Pelebaran tikungan untuk Pelebaran tikungan untuk
(m) Truk atau Bus Tunggal (m) Truk Semi-Trailer (m)
30 - -
40 1,03 -
50 0,82 -
60 0,71 1,27
70 0,59 1,03
80 0,52 0,91
90 0,46 0,81
100 0,41 0,71
120 0,36 0,63
140 0,32 0,56
160 0,28 0,49
180 0,24 0,42
200 - 0,35
250 TJIPTA ARTHA WIRATAMA
PT. - 0,29
300 - 0,23
Catatan:

Gunakan template belokan untuk daerah berwarna abu-abu sesuai


kendaraan desain.

Kebutuhan penggunaan template belokan ditentukan oleh variasi


pelebaran akibat sudut belokan.

Kebutuhan pelebaran tikungan berhenti saat pelebaran per lajur = 0,25m.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 52


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Pelebaran tikungan untuk badan jalan adalah pelebaran / lajur x jumlah


lajur.

Lebar total dari lajur lalu lintas bisa dibulatkan ke 0,25 m terdekat.

Pelebaran per lajur tidak tergantung pada lebar lajur di jalan lurus.

Pelebaran ditujukan untuk menjaga ruang bebas horizontal yang


digunakan jalan lurus.

Gambar E. 14 Ruang Bebas Untuk Kendaraan Panjang


PT.Tabel
TJIPTA
E. 29ARTHA WIRATAMA
Penambahan Lebar Penunjang (z) Pada Pelebaran

Radius VD, Km/Jam

(m) 20 30 40 50 60 70 80 90 100

20 0,45 0,68 0,90 1,12 1,34 1,57 1,79 2,02 2,25

30 0,37 0.55 0.74 0.92 1.10 1.27 1.46 1.64 1.83

40 0,32 0.48 0.63 0.79 0.95 1.10 1.26 1.41 1.57

50 0,28 0.42 0.56 0.70 0.84 0.98 1.12 1.25 1.39

60 0,26 0.39 0.52 0.65 0.78 0.90 1.03 1.16 1.29

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 53


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Radius VD, Km/Jam

(m) 20 30 40 50 60 70 80 90 100

70 0,24 0.36 0.48 0.60 0.72 0.83 0.94 1.06 1.18

80 0,22 0.34 0.45 0.56 0.67 0.78 0.89 1.00 1.10

90 0,21 0.32 0.42 0.52 0.63 0.73 0.84 0.94 1.04

100 0,20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.69 0.80 0.89 0.99

200 0,14 0.21 0.28 0.35 0.42 0.49 0.56 0.64 0.70

300 0,12 0.17 0.23 0.29 0.35 0.40 0.46 0.52 0.58

400 0,10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50

500 0,09 0.14 0.18 0.22 0.27 0.31 0.36 0.40 0.45

600 0,08 0.13 0.16 0.20 0.25 0.29 0.33 0.37 0.41

700 0,08 0.12 0.15 0.19 0.23 0.26 0.30 0.34 0.38

800 0,07 0.11 0.14 0.18 0.21 0.25 0.29 0.32 0.36

900 0,07 0.10 0.14 0.17 0.20 0.23 0.27 0.30 0.33

1000 0,07 0.10 0.13 0.16 0.19 0.22 0.26 0.29 0.32

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 54


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 15 Ruang Bebas Untuk Kendaraan Panjang


E.2.2.2.2.16. Desain alinemen curvilinear pada medan datar
Sebagaimana dibahas dalam pasal terdahulu bahwa, pendekatan tradisional
desain alinemen jalan pada medan datar adalah dengan menggunakan garis
lurus yang panjang dengan lengkung lengkung relatif pendek di antaranya.
Dalam beberapa kasus, panjang jalan lurus yang terlalu panjang, membuat
kondisi mengemudi monoton, yang mengarah ke kelelahan dan
berkurangnya konsentrasi.

Alinemen ideal adalah alinemen curvilinear yang didefinisikan terdiri dari


busur-busur lingkaran
PT. TJIPTA ARTHA besar yang dihubungkan oleh jalan lurus atau
WIRATAMA
lengkung peralihan. Alinemen ini biasanya terdiri dari serangkaian
lengkungan dengan radius bervariasi dari sekitar 6.000 m sampai dengan
maksimal 30.000 m, dan kebutuhan akan lengkung peralihan ditiadakan.

E.2.2.2.2.16.1. Pertimbangan Teoritis Curvilinear


Dasar penggunaan alinemen curvilinear adalah kebutuhan visual dan
dampak kecepatan terhadap persepsi dan penglihatan. Seiring kenaikan
kecepatan;

1. Konsentrasi meningkat

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 55


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

2. Titik konsentrasi mengecil


3. Penglihatan sekeliling berkurang
4. Latar depan mulai kabur, dan
5. Persepsi ruang menjadi terganggu.
Jadi, semakin tinggi kecepatan, semakin jauh pengemudi harus memfokuskan
pandangannya dan semakin menjadi terkonsentrasi sudut pandangnya.
Konsentrasi pandangan ini (disebut tunnel vision) bisa meningkatkan
kelelahan kecuali titik konsentrasi digeser dengan penataan jalan curvilinear.

Persepsi ruang dicapai dengan bantuan ingatan dan dengan menilai


perubahan-perubahan relatif terhadap ukuran dan posisi objek. Penyediaan
lengkung-lengkung horizontal memberikan komponen lateral yang
mengizinkan pengemudi memilah pergerakan dan arahnya. Laju pergerakan
demikian tergantung pada radius tikungan.

Radius yang diadopsi tergantung pada beberapa faktor termasuk jenis


topografi dan kecepatan lintasan yang diperkirakan dan radius yang
dikehendaki tergantung pada sejauh mana pengemudi bisa melihat jalan.
Pada kecepatan tinggi, pengemudi melihat 300 – 600 m ke depan dan
lengkungan setidaknya sepanjang ini, agar secara visual signifikan ketika
pengemudi berada di atasnya.

Penggunaan radius tikungan dari 3.000 ke 30.000 m tergantung pada sejauh


mana
PT.jalan bisaARTHA
TJIPTA terlihat,WIRATAMA
akan memberikan setidaknya sudut defleksi 30
derajat, yang merupakan nilai minimum. Pertimbangan selanjutnya adalah
keperluan jarak pandang mendahului. Dikehendaki agar jarak pandang
mendahului disediakan jika memungkinkan, dan pada medan datar hal ini
mudah dicapai. Tikungan radius 15.000 m memberikan jarak pandang
mendahului untuk kecepatan 120Km/Jam. Rentang optimal radius adalah
sekitar 16.000 hingga 18.000m.

Semakin besar radiusnya, semakin dekat alinemen menjadi garis lurus dan
semakin berkurang manfaatnya dan perlu dipertimbangkan panjang
maksimum tikungan pada lalu lintas searah yang dikehendaki. Atas alasan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 56


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

tersebut, tidak ada gunanya menggunakan radius lebih besar daripada


30.000m.

E.2.2.2.2.16.2. Kelebuhan Alinyemen Curvilinear


Jalan dengan alinemen curvilinear jauh lebih menyenangkan dikendarai
dibandingkan dengan jalan lurus yang panjang karena belokannya mulus
tanpa belokan tak terduga. Pengemudi lebih mampu menilai jarak terhadap
kendaraan yang mendekat dan menilai kecepatan mendekatnya karena
pengemudi dapat melihatnya dari satu sisi. Komponen lateral pergerakannya
memberikan informasi yang diperlukan bagi penilaian pengemudi.
Perhitungan terhadap keselamatan manuver mendahului lebih mudah
dilakukan dalam kondisi seperti ini.

Karena alinemen yang selalu berkelok, pandangan ke depan selalu berubah.


Hal ini meniadakan kemonotonan pada alinemen jalan yang lurus panjang
dan bisa menciptakan kesadaran antisipasi dari si pengemudi.

Di malam hari, alinemen curvilinear meniadakan sebagian besar masalah


silau sorotan lampu dari kendaraan berlawanan yang umum terjadi pada
jalan lurus panjang di daerah datar, yang bisa mengganggu dan mengalihkan
perhatian dari jarak lebih dari 3 kilometer. Pada alinemen curvilinear, jika
kendaraan saling mendekati cahaya lampu kendaraan yang mendekat dapat
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
dilihat dengan baik sebelum lampu tersebut terlihat, dan kecepatan
kendaraan mendekat bisa diperhitungkan.

Di siang hari ketika berkendara menuju arah sinar matahari, alinemen


curvilinear meniadakan sebagian besar masalah silau akibat sinar matahari
yang biasa terjadi pada jalan lurus panjang berorientasi barat/ timur.

Oleh karena itu, jauh lebih nyaman berkendara pada jalan dengan alinemen
curvilinear, baik pada siang hari maupun pada malam hari. Pada dataran
tanpa pepohonan, sebagian efek alinemen curvilinear hilang. Mungkin bahwa

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 57


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

dalam kondisi demikian, radius lebih kecil (optimum) akan lebih efektif
dalam hal meningkatkan persepsi pengemudi terhadap perubahan relatif.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 58


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

E.2.2.2.2.17. Desain tikungan


Ada dua bentuk tikungan yang sering digunakan, yaitu Full Circle (F-C) dan
Spiral-Circle-Spiral (S-C-S).

E.2.2.2.2.17.1. Full circle


Terdapat 3 kondisi pada tikungan F-C, sebagaimana dijelaskan dalam gambar
berikut.

Gambar E. 16 Diagram Superelevasi FC Saat e>1% dan <+2% atau +3%


(Nilai e Dibulatkan Menjadi +2% dan +3%)

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 17 Diagram Superelevasi FC Saat e<1% dan >-2% atau -3%


(Nilai e Dibulatkan Menjadi -2% dan -3%)

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 59


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 18 Diagram Superelevasi FC Saat e>e normal (Nilai e menjadi e


penuh)

E.2.2.2.2.17.2. Spiral circle spiral


Ada dua tipe yang dapat digunakan, pertama S-C-S dengan perubahan
kemiringan melintang normal ke superelevasi penuh seluruhnya berada
sepanjang lengkung peralihan (Gambar 2.15 atas) dan kedua S-C-S yang
perubahan kemiringan melintang normal ke superelevasi penuh diawali pada
bagian lurus (Gambar 2.16 bawah).

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 19 Diagram Superelevasi SCS Saat Perubahan Superelevasi


Berada Seluruhnya Dalam Lengkung Peralihan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 60


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 20 Diagram Superelevasi SCS Saat Perubahan Superelevasi Yang


Diawali di Bagian Lurus

E.2.2.2.2.17.3. Kriteria pemilihan penggunaan bentuk tikungan


Pemakaian tikungan diprioritaskan yang pertama pertama adalah F-C dan
kemudian S-C-S. Jika kondisi panjang minimum spiral tidak bisa diperoleh,
maka kecepatan desain untuk desain harus dikurangi. Secara umum pada
jalan dua lajur dua arah pada kondisi jalan datar, metode yang
direkomendasikan untuk pencapaian superelevasi adalah dengan memutar
garis tengah jalan seperti digambarkan di bawah (Gambar 2.17).

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 21 Diagram Superelevasi SCS Saat Perubahan Superelevasi Yang

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 61


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Sedangkan untuk kondisi jalan terbagi, pencapaian superelevasi bisa


menggunakan metode pencapaian dengan memutar sumbu di sisi dalam
perkerasan atau memutar sumbu di sisi luar perkerasan, tergantung kondisi
profil melintang jalan.

E.2.3. Alinyemen Vertikal


Alinemen vertikal merupakan profil memanjang sepanjang garis tengah jalan,
yang terbentuk dari serangkaian segmen dengan kelandaian memanjang dan
lengkung vertikal. Profilnya tergantung topografi, perencanaan alinemen
horizontal, kriteria desain, geologi, pekerjaan tanah, dan aspek ekonomi
lainnya.

Untuk membedakan topografi, medan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:


datar, bukit, dan gunung. Pada medan datar biasanya jarak pandang lebih
mudah dipenuhi tanpa kesulitan mengkonstruksinya atau tidak berbiaya
besar. Pada medan bukit, lereng alami naik dan turun secara konsisten
terhadap jalan. Kadang kala, lereng curam membatasi desain alinemen
horizontal dan vertikal yang normal.

Pada medan gunung, perubahan elevasi permukaan tanah baik memanjang


maupun melintang
PT. TJIPTA sepanjang
ARTHA alinemen jalan muncul secara mendadak,
WIRATAMA
sehingga sering menyebabkan dibutuhkannya penggalian yang terjal dan
pembuatan lereng bertangga (benching) untuk memperoleh alinemen
horizontal dan vertikal yang dapat diterima.

3.2.3.1 Kontrol Desain


Ketinggian alinemen vertikal jalan pada setiap lokasi di sepanjang rute
sebagian besar dikendalikan oleh fitur-fitur yang dilintasi jalan. Berikut ini
adalah hal hal yang harus diperhatikan dalam mendesain alinemen vertikal:

1. Topografi eksisting.
2. Kondisi geoteknis.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 62


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

3. Persimpangan eksisting.
4. Jalur masuk properti.
5. Overpass (ruang bebas vertikal, jarak pandang, dan pelapisan ulang).
6. Underpass.
7. Akses pejalan kaki.
8. Aset pelayanan utilitas dan persyaratan perlindungannya.
9. Bukaan median.
Desain harus memperhatikan dampak profil melintang badan jalan yang
berbatasan atau memotong jalan yang bisa mempengaruhi perencanaan
geometrik vertikal, khususnya ketika mempertimbangkan drainase, dan juga
perubahan-perubahan dalam:

1. Profil melintang atau superelevasi


2. Posisi puncak kemiringan melintang jalan
3. Penambahan atau pengurangan lajur lalu lintas
4. Sudut antara jalan dan objek

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA


Gambar E. 22 Ruang Bebas Untuk Kendaraan Panjang

Kesemuanya bisa berdampak pada ruang bebas vertikal dan harus diperiksa
terhadap pemenuhannya. Harus dipertimbangkan spesifikasi kendaraan
yang panjang bagi struktur di atas jalan. Objek-objek relatif besar seperti
overpass dan pepohonan harus diperiksa dampaknya terhadap jarak
pandang, terutama jika terjadi di dekat lengkung vertikal cekung, memakai
tinggi mata pengemudi truk sebesar 2,40m dan tinggi lampu belakang
kendaraan sebesar 0,80m.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 63


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

3.2.3.2 Muka Air Tanah dan Ketinggian Banjir


Kebanyakan perkerasan jalan dan tanah dasar jalan akan kehilangan
kekuatannya ketika jenuh air. Agar perkerasan tetap kering, level tanah dasar
hendaknya di atas ketinggian muka air tanah atau muka air banjir. Ketinggian
minimum tanah dasar di atas muka air tanah ini mengacu pada Manual
Desain Perkerasan 2017 dalam tabel berikut.

Tabel E. 30 Tinggi Minimum Tanah Dasar Di Atas Muka Air Tanah Banjir
Tinggi tanah dasar
Tinggi tanah dasar diatas muka air
Kelas Jalan diatas muka air banjir
tanah (mm)
(mm)
Jalan Bebas 1200 (jika ada drainase bawah 500 (banjir 50 tahunan)
Hambatan permukaan di median)
1700 (tanpa drainase bawah
permukaan di median)
Jalan Raya 1200 (tanah lunak jenuh atau gambut
tanpa lapis drainase)
800 (tanah lunak jenuh atau gambut
dengan lapis drainase)
600 (tanah dasar normal)
Jalan Sedang 600 500 (banjir 10 tahunan)
Jalan Kecil 400 NA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA


Pada medan berbukit, drainase bawah permukaan (atau cut-off) mungkin
diperlukan untuk memastikan bahwa konstruksi perkerasan berada di atas
muka air tanah. Pada jalan lainnya, atas pertimbangan biaya, bisa saja tinggi
ruang bebas di atas muka air tanah dikurangi. Jalan arteri harus bebas banjir,
tetapi dalam kondisi tertentu adanya air pada perkerasan jalan untuk sesaat
pada air hujan rencana masih bisa diterima. Untuk semua proyek jalan, ruang
bebas minimum di atas muka banjir dan muka air tanah ditentukan oleh
penyelenggara jalan.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 64


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

3.2.3.3 Ruang Bebas Vertikal


Tipikal ruang bebas vertikal untuk objek-objek yang dibangun di atas jalan
diuraikan dalam tabel di bawah. Dalam semua kasus, desainer bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa ruang bebas ini terpenuhi dan terkonfirmasi
terhadap fihak yang berwenang pengelola utilitas di atas jalan yang sedang
didesain.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 65


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 31 Ruang Bebas Vertikal Minimum Di Atas Badan Jalan dan Jalur
Pejalan Kaki

Lokasi Tinggi Ruang Bebas (m)


JBH dan jalan arteri 5,1
Jalan kolektor 5,1
Jalan lokal 5,1
Jembatan penyeberangan pejalan kaki 5,1
Underpass pejalan kaki 3,0
Struktur rambu-rambu di atas jalan 5,0
Jalur pengendara sepeda 3,0
Jalur Kereta Api – diukur dari puncak rel 6,5

3.2.3.4 Jaringan Layanan Utilitas Bawah Tanah


Semua jaringan layanan bawah tanah di sekitar pekerjaan jalan harus
diidentifikasi dan dipastikan bahwa ketentuan ruang bebas minimum
dipenuhi. Layanan yang umumnya terlibat meliputi:

1. Jaringan pipa gas


2. Jaringan pipa air
3. Drainase air hujan
4. Buangan air limbah
5. Kabel telekomunikasi
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
6. Kabel listrik bawah tanah
7. Aset pengelola jalan untuk sinyal lalu lintas dan penerangan jalan
Dalam setiap kasus, desainer agar berkonsultasi dengan pihak berwenang
terkait untuk menentukan ruang bebas minimum. Contohnya untuk pipa gas,
ruang bebasnya tergantung pada tekanan pipa.

3.2.3.5 Titik Grading


Titik grading adalah titik referensi desain pada penampang melintang jalan.
Pada jalan dua lajur dua arah, titik grading biasanya ditempatkan di atas
puncak kemiringan melintang pada titik persimpangan teoritis dan pada titik
ini dibentuk superelevasi.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 66


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 23 Titik Grading Tipikal Pada Jalan


Pada jalan yang dilengkapi median, perlu kehati-hatian ketika memilih lokasi
titik grading, terutama pada jalan yang akan dibangun bertahap, karena
posisi yang dipilih berdampak pada pekerjaan tanah, drainase, estetika, dan
tahapan pekerjaan. Perlu diperhitungkan pengembangan selanjutnya dari
jalan bermedian tersebut. Biasanya, badan jalan satu lajur dengan
kemiringan melintang searah dibangun terlebih dahulu dan seiring kenaikan
volume lalu lintas,
PT. TJIPTA lajur kedua
ARTHA dibangun.
WIRATAMA

Lebih baik jika badan jalan pertama dikonstruksi pada saat bersamaan
dengan kemiringan melintang jalan searah yang mengikuti arah lalu lintas.
Jika tidak, mungkin akan timbul permasalahan drainase di dalam median.
Kelebihan utama penampang melintang paling atas adalah menghemat
pekerjaan tanah dalam tahap pertama. Permasalahan yang bisa terjadi ketika
jalan ditingkatkan untuk melebarkan penampang melintang jalan meliputi:

1. Kemunculan titik-titik genangan drainase pada titik-titik grading.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 67


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

2. Kemunculan perbedaan level antara tepi perkerasan sepanjang


median dalam penampang melintang akhir. Kelandaian median harus
mengizinkan kebutuhan drainase di masa mendatang.
3. Perbedaan level pada median yang baru, bisa menyebabkan lereng
curam dan memerlukan penggunaan pagar pengaman.
Penampang melintang paling bawah memiliki lebih banyak pekerjaan tanah
pada bagian superelevasi jalan dan lebih mahal pada tahap pertama. Titik
grading ditetapkan pada level lebih tinggi sehingga berada di tepi perkerasan
ketika ditingkatkan dan menghindari permasalahan seperti dalam
penampang melintang teratas.

3.2.3.6 Kelandaian Memanjang Minimum


Jalan dengan kelandaian datar dan tanpa kerb biasanya bisa memberikan
drainase permukaan yang baik dimana kemiringan melintangnya mencukupi
untuk membuang air secara lateral melalui bahu dan kemudian ke saluran
samping. Kelandaian minimum yang pantas biasanya 0,3%. Akan tetapi,
drainase tepi jalan dan median mungkin memerlukan kelandaian lebih curam
daripada kelandaian jalan agar bisa mengalirkan air dengan baik.

Tabel E. 32 Ruang Bebas Vertikal Minimum Di Atas Badan Jalan dan Jalur
Pejalan Kaki
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Lokasi Kelandaian Minimum


1,0 % (ideal)
Jalan dengan kerb dan saluran
0,5 % (minimum)
Jalan pada daerah galian:
Saluran tanah 0,5%
Saluran pasangan 0,3%
Jalan tanpa kerb dan saluran, bukan
0,0%
daerah galian

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 68


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

3.2.3.7 Kelandaian Memanjang Maksimum


Semua jalan didesain dengan kecepatan operasi yang seragam di sepanjang
ruas jalan tersebut. Kendaraan penumpang (katagori Kendaraan Kecil)
umumnya dapat mengatasi kelandaian antara 4 – 5%, tetapi, tidak pada truk.
Umumnya kecepatan Truk pada turunan akan bertambah sampai dengan 5%
dan pada tanjakan akan menurun sampai dengan 7% atau bahkan lebih
dibandingkan kecepatannya di daerah datar. Dampak terhadap panjang dan
derajat kelandaian pada truk (dengan weight to power ratio, WPR=120
kg/kw). Dapat ditentukan, sejauh mana truk yang mulai menanjak dengan
kecepatan pada awal tanjakan 110Km/Jam, melalui variasi nilai kelandaian
(atau kombinasi kelandaian) sebelum mencapai kecepatan tertentu yang
stabil. Kinerja truk pada kelandaian yang mendekati kelandaian pada atau di
bawah kecepatan merayap. Grafik menunjukkan bahwa truk hanya bisa
berakselerasi hingga kecepatan 40Km/Jam atau lebih pada kelandaian
kurang dari 5,5%.

Grafik-grafik ini sangat berguna dalam menentukan dampak truk terhadap


lalu lintas pada kondisi-kondisi kelandaian tertentu. Sesuai dengan kemajuan
teknologi dewasa ini, truk wt/hp cenderung menurun yang berarti bahwa
truk-truk dewasa ini memiliki kemampuan menanjak yang lebih. AASHTO
(2001) menginformasikan bahwa penurunan wt/hp tersebut sampai dengan
kira-kira 85 kg/kw.
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 69


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 24 Kurva Kecepatan-Jarak Tempuh Pada Tanjakan Tipikal Truk


WPR 120 kg/kw

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

Gambar E. 25 Kurva Kecepatan-Jarak Tempuh Tipikal Truk Dengan WPR


120 kg/kw

Mengacu pada Permen PU No.19/PRT/M/2011, kelandaian maksimum yang


diterapkan menurut spesifikasi penyediaan prasarana jalan dengan jenis
medan yang berbeda. Perlu diperhatikan pada menetapkan kriteria desain

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 70


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

kelandaian maksimum, agar memperhatikan kendaraan desainnya terkait


dengan kemampuannya dalam melintasi tanjakan dengan kelandaian
maksimum. Pada jalan kelas I dengan kendaraan desain kendaraan besar
(Truk berat semi trailer), kemampuannya melintasi tanjakan dengan
kecepatan 40Km/Jam paling tinggi kira-kira 5,5% sehingga kelandaian
maksimum perlu dibatasi sesuai kemampuan tersebut. Jika kelandaian
maksimum lebih besar dari 5,5% sangat dimungkinkan akan ditemui
kendaraan besar dengan kecepatan ≤ 40Km/Jam.

Tabel E. 33 Ruang Bebas Vertikal Minimum Di Atas Badan Jalan dan Jalur
Pejalan Kaki

Kelandaian Maksimum (%)


Lokasi Medan
Medan Datar Medan Gunung
Berbukit
Jalan Bebas
4 5 6
Hambatan
Jalan Raya 5 6 10
Jalan Sedang 6 7 10
Jalan Kecil 6 8 12

3.2.3.8 Panjang Kelandaian Kritis


PT. TJIPTA
Kelandaian ARTHA WIRATAMA
maksimum yang ditentukan di atas bukan untuk kontrol
sepenuhnya karena harus dipertimbangkan terhadap pengoperasian
kendaraan. Istilah „Panjang Kelandaian Kritis‟ digunakan untuk
mengindikasikan panjang maksimum tanjakan dimana truk bermuatan bisa
beroperasi tanpa adanya pengurangan kecepatan berlebihan. Dalam
menentukan panjang kelandaian kritikal, direkomendasikan agar
pengurangan kecepatan truk sebesar 15 – 25 km/jam.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 71


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 26 Panjang kelandaian kritis tipikal truk dengan WPR 120 kg/kw
(Vawal=110Km/Jam)

Ringkasan panjang kelandaian kritis berdasarkan penurunan kecepatan 25


km/jam sebagai berikut.

Tabel E. 34 Panjang Kelandaian Kritis

Kelandaian Memanjang (%) Panjang Kelandaian Kritis (m)


4 600
5 450
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
6 350
7 300
8 250
9 230
≥10 200

3.2.3.9 Lajur Pendakian


Menambahkan lajur pendakian pada jalan dua lajur dua arah dapat
mengimbangi penurunan kecepatan operasi lalu lintas yang disebabkan oleh
efek kelandaian, peningkatan arus lalu lintas, dan keberadaan kendaraan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 72


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

berat (truk), serta menyediakan cara yang relatif murah untuk menunda
rekonstruksi dalam waktu lama.

1. Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang


bermuatan berat atau kendaraan lain yang lebih lambat dari
kendaraan-kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan-
kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa
harus berpindah lajur menggunakan lajur arah berlawanan.
2. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif
padat.
3. Penambahan lajur pendakian dilakukan dengan ketentuan:
a. Pada jalan arteri atau kolektor, dan
b. Apabila panjang tanjakan melampaui panjang kritis; memiliki
LHRTD ≥ 3.750 SMP/hari (ekivalen dengan Ratio Volume per
Kapasitas, RVK ≥ 0,3), dan persentase truk > 15%.
4. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.
5. Lajur pendakian dimulai 30m dari awal perubahan kelandaian dengan
serongan sepanjang 45m dan berakhir 50m sesudah puncak
kelandaian dengan serongan sepanjang 45m.
6. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5km.
7. Ketika panjang kelandaian kritis maximum tercapai, harus disediakan
PT. Bordes
TJIPTA dengan
ARTHA panjang
WIRATAMA tertentu sebelum tanjakan berikutnya
berlanjut.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 73


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 27 Tipikal Lajur Pendakian

3.2.3.10 Bentuk Lengkung Vertikal


Alinemen vertikal jalan terdiri dari serangkaian kelandaian memanjang
dengan lengkung vertikal, dimanfaatkan untuk menerapkan perubahan
gradual di antara profil memanjang. Hal ini bisa berupa lengkung cekung atau
cembung. Alinemen vertikal hendaknya mengikuti medan alami,
mempertimbangkan keseimbangan pekerjaan tanah, penampilan,
keselamatan, drainase, dan kelengkungan vertikal maksimum dan minimum
yang diizinkan; dinyatakan sebagai nilai K. Besaran nilai lengkung vertikal K
yang ditetapkan ini cukup ekonomis.

Nilai
PT.lengkung vertikal WIRATAMA
TJIPTA ARTHA K minimum, hendaknya dipilih berdasarkan tiga
faktor pengendali, yakni:

2. Jarak pandang: persyaratan dalam semua situasi untuk keselamatan


pengemudi.
3. Penampilan: biasanya diperlukan pada situasi timbunan rendah dan
topografi datar.
4. Kenyamanan berkendara.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 74


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 28 Jenis Lengkung Vertikal

Kriteria desain vertical lengkung untuk geometric jalan sebagai berikut:


PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
1. Lengkung vertical cembung
Pengendali utama lengkung vertikal cembung adalah penyediaan jarak
pandang yang cukup, untuk mendapatkan sudut pandang yang aman,
kenyamanan, dan penampilan. Panjang lengkung vertikal cembung
minimum untuk nilai-nilai per perubahan A yang menyediakan JPH
minimum untuk setiap VD ditunjukkan pada Gambar 5-40. Lengkung garis
putus-putus di kiri bawah yang melintasi garis-garis ini, menunjukkan S =
L. Perhatikan bahwa di sebelah kanan garis S = L, nilai K, atau panjang
lengkung vertikal per perubahan persen A, adalah bentuk sederhana dan
mudah untuk melakukan kontrol desain. Pemilihan lengkung desain

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 75


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

difasilitasi dengan panjang minimum lengkung dalam meter adalah sama


dengan K dikali perbedaan aljabar kemiringan jalan A dalam persen, L =
KA.

Untuk tujuan praktis, panjang minimal lengkung vertikal dapat dinyatakan


sekitar 0,6 kali VD (Km/Jam), Lmin = 0,6 VD, di mana VD Km/Jam dan L
adalah dalam meter. Secara praktis, jarak pandang lebih panjang mungkin
lebih dikehendaki, dimana lebih sesuai dengan kondisi medan dan tidak
berbenturan dengan pengendali desain lainnya. Lengkung vertikal yang
terlalu besar hendaknya dihindari untuk mencegah genangan air.
Lengkungan vertikal besar juga meningkatkan panjang jarak pandang
yang terbatas. Desainer hendaknya membatasi panjang lengkung cembung
yang memiliki kelandaian kurang dari 0,3% hingga 0,5% untuk panjang
sekitar 30m s.d. 50m.

2. Lengkung vertical cekung


Lengkung vertikal cekung biasanya dirancang untuk memenuhi kriteria
kenyamanan sebagai minimum. Untuk jalan Antarkota tanpa penerangan,
lengkung vertikal cekung lebih dikehendaki didesain untuk kriteria
sorotan lampu. Jalan-jalan berstandar lebih tinggi (JRY dan JBH) biasanya
didesain dengan lengkung cekung yang melebihi jarak pandang sorotan
lampu.

Pada jalan duaARTHA


PT. TJIPTA lajur, panjang lengkung cekung lebih dari 750m hendaknya
WIRATAMA
dihindari atas dasar alasan drainase. Untuk jalan dengan kerb, panjang
maksimum lengkung cekung dengan kelandaian kurang dari 0,5%
hendaknya dibatasi hingga 50m.

Untuk meminimalkan ketidak-nyamanan pengemudi dan penumpang


ketika melintasi suatu kelandaian ke lainnya, biasanya dilakukan
pembatasan akselerasi vertikal yang dibangkitkan pada lengkung vertikal
hingga nilai kurang dari 0,05g dimana g adalah percepatan gravitasi yang
nilainya adalah 9,81 m/detik2.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 76


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Jarak pandang pada lengkung cekung tidak dibatasi oleh geometrik


vertikal di siang hari atau malam hari dengan penerangan jalan lengkap,
kecuali bila ada halangan di atas jalan. Pada jalan tanpa penerangan di
malam hari, keterbatasan sorotan cahaya lampu kendaraan membatasi
jarak pandang antara 120m hingga 150m pada lengkung cembung. Pada
jalan berkecepatan tinggi tanpa penerangan jalan, perlu dipertimbangkan
jarak pandang sorotan lampu.

Efek pada kenyamanan penumpang dari perubahan alinemen vertikal


adalah lebih besar pada lengkung cekung dari pada lengkung cembung,
karena gaya gravitasi dan sentripetal berada dalam arah yang berlawanan,
dari pada dalam arah yang sama. Kenyamanan terhadap perubahan arah
vertikal tidak mudah diukur, karena dipengaruhi oleh suspensi, berat
kendaraan, fleksibilitas ban, dan faktor lainnya. Upaya terbatas pada
pengukuran tersebut, disimpulkan bahwa kenyamanan berkendara pada
lengkung vertikal cekung, apabila percepatan sentripetal tidak lebih dari
0,3m/detik2.

Panjang lengkung vertikal diperlukan untuk memenuhi faktor


kenyamanan ini di berbagai kecepatan rencana hanya sekitar 50 persen
dari yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria jarak pandang lampu
untuk rentang normal kondisi desain. Panjang lengkung vertikal
diperlukan untuk memenuhi faktor kenyamanan ini di berbagai kecepatan
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
rencana hanya sekitar 50 persen dari yang dibutuhkan untuk memenuhi
kriteria jarak pandang lampu untuk rentang normal kondisi desain.

Kriteria perkiraan untuk lengkung vertikal cekung adalah sama dengan


yang dinyatakan untuk kondisi cembung (yaitu, kemiringan minimum
0,30% harus disediakan dalam 15m).

3. Kontrol umum alinyemen vertical


Sebagai tambahan dari kontrol vertikal yang dibahas di atas, kontrol
umum berikut ini juga perlu diperhitungkan dalam desain:

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 77


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

a. Garis kelandaian yang halus dengan perubahan gradual konsisten


dengan kelas jalan dan medan hendaknya dicari daripada garis
dengan banyak patahan dan kelandaian yang pendek.
b. Profil jenis “roller coaster” atau “hidden dip” hendaknya dihindari.
Profil ini biasanya relatif lurus, alinemen horizontal dan profil jalan
mengikuti permukaan tanah asli yang naik-turun. Cekungan
tersembunyi menyulitkan pengemudi untuk mendahului. Bahkan
cekungan yang dangkal menyulitkan pengemudi melihat perkerasan
jalan dan tidak tahu apakah akan mendahului atau tidak. Hal ini bisa
dihindari dengan penggunaan lengkung horizontal atau kelandaian
yang lebih gradual.
c. Kelandaian memanjang bergelombang, terutama yang berkaitan
turunan panjang dan tidak diawali oleh tanjakan, menjadikan truk
untuk mendapatkan kecepatan berlebihan yang dapat menyebabkan
kecelakaan.
d. Kelandaian memanjang broken back atau dua lengkung vertikal
searah terpisah oleh ruas jalan yang pendek dengan kelandaian lurus
hendaknya dihindari, terutama pada lengkung cekung dimana
tampilan kedua lengkung tidak memuaskan. Jika panjang memanjang
lurus melampaui 0,4V (dimana V = kecepatan operasional) maka
lengkung tersebut tidak dianggap sebagai broken back.
e. Dimana
PT. terdapat WIRATAMA
TJIPTA ARTHA kelandaian memanjang yang cukup panjang,
mungkin lebih baik untuk mendatarkan kelandaian tersebut dekat
puncaknya tetapi tidak dengan menaikkan kelandaian dasar
f. Dimana persimpangan sebidang terdapat suatu kelandaian
memanjang jalan, kemiringan tersebut agar didatarkan pada
persimpangan untuk membantu pergerakan kendaraan berbelok pada
persimpangan.
g. Lengkung cekung hendaknya dihindari pada galian kecuali drainase
memadai bisa diterapkan.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 78


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

3.2.3.11 Penampang Melintang Jalan


Penampang melintang jalan yang didesain tergantung pada:

1. Lokasi
2. Fungsi jalan
3. Kelas penggunaan jalan
4. Spesifikasi penyediaan prasarana jalan
5. Volume lalu lintas harian rata-rata (LHRT) dan jenis-jenis kendaraan
(mobil, bus, truk, sepeda motor, fisik)
6. Jalan baru atau jalan lama yang ditingkatkan
7. Ketersediaan angkutan umum
8. Kondisi lingkungan (topografi, geologi, utilitas publik, lebar Rumija,
vegetasi)
9. Ketersediaan material untuk membuat jalan.
Tipikal penampang melintang jalan terdiri dari jalur lalu lintas, bahu luar
(dan bahu dalam pada jalan raya dan jalan bebas hambatan), verge (jika ada),
selokan samping, ambang pengaman, dan lereng (jika ada). Badan jalan
terdiri dari jalur lalu lintas dan bahu jalan. Lebar jalur lalu lintas dan bahu
jalan ditentukan oleh klasifikasi jalan dan volume lalu lintas.

Lebar lajur pada badan jalan mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan


pengemudi. Untuk desain, lebar lajur lalu lintas paling kecil yang diatur
dalam Permen PU No.19/20011. Penetapan lebar lajur yang lebih kecil dari
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
lebar lajur paling kecilnya ini, perlu dibuktikan dengan analisis kapasitasnya
dan mendapatkan persetujuan dari penyelenggara jalan. Di beberapa tempat,
mungkin perlu menyediakan penambahan lebar lajur hingga muka kerb
untuk menghilangkan dampak garis perkerasan dan garis mulut kerb yang
tidak rata, atau profil kerb yang memiliki kanal lebih lebar (misalnya 450
mm) karena di daerah tersebut curah hujannya tinggi.

Lebar jalur lalu lintas juga perlu diperlebar pada tikungan guna
mengakomodasi lintasan tambahan yang diperlukan oleh truk atau bus.
Radius lengkungan horizontal yang lebih besar dari 300m tidak memerlukan
pelebaran jalur. Jika diperlukan pelebaran, maka lebar lajur harus dibatasi

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 79


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

hingga maksimum 4,6m, karena dengan lebar tersebut memungkinkan dua


mobil berjalan berdampingan dalam lajur yang sama. Jika diperlukan lebar
jalan yang lebih besar dari 4,6m untuk membeloknya truk, maka marka garis
tepi dapat ditempatkan pada batas lebar lajur 3,5 m dan pelebaran lajur
diakomodasikan pada bahu jalan yang diperkeras dengan penuh (full depth).

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 80


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 35 Lebar Lajur Jalan

Lebar Jalur
Unsur Keterangan
(m)
Lebar lajur lalu lintas umum yang
Lajur umum 3,5 digunakan pada semua jalan dengan
batas kecepatan < 80Km/Jam
Lokasi dimana pengendara sepeda
Lajur paling tepi yang
4,2 – 4,5 motor dan Pengguna Jalan yang lain
diperlebar
berbagi lajur yang sama
Lebar satu lajur tunggal yang dapat
digunakan pada lajur membelok ke
Lebar minimum antara 5,0 kiri atau lebar satu jalur pada jalan
muka kerb dengan dua jalur dua arah dengan median
saluran/gutter (untuk yang dipertinggi.
tempat mendahului Lebar dua lajur yang memungkinkan
kendaraan yang mogok) dua kendaraan untuk secara pelan-
2 x 4,0 (8,0)
pelan mendahului kendaraan yang
mogok

E.2.4. Perencanaan Perkerasan Jalan


2.4.1 Umum
Desain perkerasan berpedoman kepada Manual Desain Perkerasan Jalan No.
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
02/M/BM/2017 dengan penajaman pada aspek – aspek sebagai berikut:

1. Penentuan umur rencana;


2. Penerapan minimalisasi discounted lifecycle cost;
3. Pertimbangan kepraktisan pelaksanaan konstruksi;
4. Penggunaan material yang efisien.
2.4.2 Umur Rencana
Umur rencana perkerasan baru seperti yang ditulis di dalam Tabel berikut

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 81


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 36 Umur Perencanaan Perkerasan Jalan Baru

2.4.3 Pemilihan Struktur Perkerasan


Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur
rencana, dan kondisi pondasi jalan. Batasan di dalam Tabel 4-30 tidak
absolut. Dengan mempertimbangkan biaya selama umur pelayanan terendah,
batasan dan kepraktisan konstruksi. Solusi alternatif diluar solusi desain
awal berdasarkan pada manual desain perkerasan jalan No. 02/M/BM/2013,
PT.didasarkan
harus TJIPTA ARTHA WIRATAMA
pada biaya biaya umur pelayanan discounted terendah.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 82


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 37 Pemilihan Jenis Perkerasan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA


a. Sumber Daya Lokal dan Nilai Pekerjaan
Sumber daya setempat dan nilai pekerjaan akan menentukan pilihan
jenis perkerasan. Kontraktor lokal tidak akan mempunyai sumber daya
untuk semua kelas pekerjaan. Pekerjaan kecil tidak akan menarik bagi
kontraktor besar untuk menawar, sehingga solusi yang kurang rumit
mungkin dibutuhkan. Solusi perkerasan yang kompleks dapat
dipertimbangkan untuk pekerjaan yang lebih besar. Lebih banyak pilihan
dapat dipertimbangkan pada pekerjaan yang ramah lingkungan daripada
pekerjaan pelebaran.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 83


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

b. AC dengan Cement Treated Base (CTB)


CTB menawarkan penghematan yang signifikan dibanding perkerasan
lapis pondasi berbutir untuk jalan yang dilewati lalu lintas sedang dan
berat. Biaya perkerasan berbasis CTB secara tipikal lebih murah daripada
perkerasan kaku atau perkerasan beraspal tebal konvensional untuk
kisaran beban sumbu 4 sampai 30 juta CESA, tergantung pada harga
setempat dan kemampuan kontraktor (catatan 3). CTB juga menghemat
penggunaan aspal dan material berbutir, dan kurang sensitif terhadap air
dibandingkan dengan lapis pondasi berbutir. LMC (Lean Mix Concrete)
dapat digunakan sebagai pengganti CTB, dan akan memberikan
kemudahan pelaksanaan di area kerja yang sempit misalnya pekerjaan
pelebaran perkerasan atau pekerjaan pada area perkotaan. Muatan
berlebih yang merupakan kondisi tipikal di Indonesia, menyebabkan
keretakan sangat dini pada lapisan CTB. Maka dari itu desain CTB hanya
didasarkan pada tahap desain post fatigue cracking tanpa
mempertimbangkan umur prefatigue cracking. Strubktur perkerasan
dalam desain 3 solusi perkerasan dengan CTB ditentukan menggunakan
CIRCLY dan metode desain perkerasan Austroad Guide 2004 dengan nilai
reliabilitas 95% (mengacu Austroads Guide 2004, Section 2.2.1.2).
Konstruksi CTB membutuhkan kontraktor yang kompeten dengan
PT. TJIPTA
sumber dayaARTHA WIRATAMA
peralatan yang memadai. Perkerasan CTB hanya bisa dipilih
jika sumber daya yang dibutuhkan tersedia.

c. AC dengan Lapis Pondasi Berbutir


AC dengan CTB cenderung lebih murah dari pada lapis AC yang tebal
dengan lapis pondasi berbutir untuk kisaran beban sumbu 4 - 10 juta
CESA, namun sangat sedikit kontraktor yang memliliki sumber daya
untuk konstruksi CTB.

d. AC dengan Aspal Modifikasi


Aspal modifikasi direkomendasikan digunakan untuk lapis aus
(wearing course) untuk jalan dengan repetisi lalu lintas selama 20

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 84


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

tahun melebihi 10 juta ESA. Tujuan dari penggunaan bahan pengikat


aspal modifikasi adalah untuk memperpanjang umur pelayanan dan
umur fatigue dan ketahanan deformasi lapis permukaan akibat lalu
lintas berat.

e. Lapis Aus Tipe SMA


Lapis aus (wearing course) tipe SMA dengan aspal modifikasi hanya
bisa dipertimbangkan jika agregat kubikal dengan gradasi dan
kualitas memadai tersedia yang memenuhi persyaratan campuran
SMA.

f. Lapis Pondasi dengan Aspal Modifikasi


Prosedur desain mekanistik dapat digunakan untuk menilai sifat
(property) dari lapis pondasi dengan aspal modifikasi.

g. Pelebaran Jalan dan Penambalan (Heavy Patching)


Untuk penanganan perkerasan eksisting umumnya dipilih struktur
perkerasan yang sama dengan struktur eksisting. Kehati-hatian
harus dilakukan untuk menjamin drainase mengalir dari struktur
eksisting dan lapisan berbutir baru. Jika perkerasan kaku digunakan
untuk pelebaran perkerasan lentur, terutama untuk jalan diatas
tanah lunak, maka rekonstruksi dengan lebar penuh harus
dipertimbangkan, karena jika tidak maka serangkaian pemeliharaan
lanjutan
PT. TJIPTApada perkerasan
ARTHA lentur akan menjadi lebih sulit.
WIRATAMA

h. Gambut
Perkerasan kaku tidak boleh digunakan diatas tanah gambut, dan
perkerasan lentur harus digunakan. Konstruksi bertahap harus
dipertimbangkan untuk membatasi dampak penurunan yang tak
seragam.

i. Pelaburan (Surface Dressing) diatas Lapis Pondasi


Surface dressing (Burda atau Burtu) sangat tepat biaya jika
dilaksanakan dengan benar. Sangat sedikit kontraktor yang memiliki
sumber daya peralatan dan kemampuan untuk melaksanakan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 85


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

pelaburan permukaan perkerasan dengan benar. Dibutuhkan


peningkatan dalam kapasitas dan kompetensi kontraktor dalam
teknologi ini.

j. AC-WC HRS-WC tebal ≤50 mm diatas Lapis Pondasi Berbutir


AC-WC HRS-WC tebal ≤50 mm diatas Lapis Pondasi Berbutir
merupakan solusi yang paling tepat biaya untuk rekonstruksi jalan
dengan volume lalu lintas sedang (mencapai 5 juta ESA atau lebih
tinggi tergantung kemampuan kontraktor namun membutuhkan
kualitas pelaksanaan terbaik khususnya untuk LPA Kelas A. Solusi ini
akan kurang tepat biayanamun harus dengan kompetensi kontraktor
yang lebih baik.

k. Lapis Pondasi Soil Cement


Digunakan di daerah dengan keterbatasan material berbutir atau jika
stabilisasi tanah dasar akan memberikan harga yang lebih murah.

2.4.4 Desain Pondasi Jalan


a. Pendahuluan
Desain pondasi jalan adalah desain perbaikan tanah dasar dan lapis
penopang (capping), tiang pancang mikro, drainase vertikal dengan
bahan strip (wick drain) atau penanganan lainnya yang dibutuhkan
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
untuk memberikan landasan pendukung struktur perkerasan lentur dan
perkerasan kaku dan sebagai akses untuk lalu lintas konstruksi pada
kondisi musim hujan.

Tiga faktor yang paling berpengaruh pada desain perkerasan adalah


analisis
lalu lintas, evaluasi tanah dasar dan penilaian efek kelembaban. Daya
dukung tanah dasar dan toleransi terhadap efek kelembaban akan
dibahas dalam sub bab ini. Pada perkerasan berbutir dengan lapisan
permukaan aspal tipis (≤ 100 mm), kesalahan dalam evaluasi tanah dasar
dapat menyebabkan perbedaan daya dukung lalu lintas sampai 10 kali

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 86


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

lipat (contoh: perkiraan CBR 6% namun kenyataan hanya 4%). Masalah


tersebut tidak akan memberikan perbedaan yang begitu besar pada
perkerasan dengan lapisan aspal yang tebal (≥ 100 mm), tetapi
perbedaan tersebut masih tetap signifikan. Artinya penetapan nilai
kekuatan tanah dasar yang akurat dan solusi desain pondasi jalan yang
tepat merupakan persyaratan utama untuk mendapatkan kinerja
perkerasan yang baik. Persiapan tanah dasar yang baik sangatlah penting
terutama pada daerah tanah dasar lunak.

Kerusakan perkerasan banyak terjadi selama musim penghujan. Kecuali


jika tanah dasar tidak dapat dipadatkan seperti tanah asli pada daerah
tanah lunak, maka daya dukung tanah dasar desain hendaknya didapat
dengan perendaman selama 4 hari, dengan nilai CBR pada 95%
kepadatan kering maksimum atau menggunakan Tabel 4-32.

Berdasarkan kriteria tersebut, CBR untuk timbunan biasa dan tanah


dasar dari tanah asli di Indonesia umumnya 4% atau berkisar antara
2,5% -7%.

Desain ersering berasumsi bahwa dengan material setempat dapat


dicapai CBR
untuk lapisan tanah dasar sebesar 6%, yang seringkali hal ini tidak
tercapai.
Karena
PT. itu ARTHA
TJIPTA perlu dilakukan pengambilan sampel dan pengujian yang
WIRATAMA
memadai. Perkerasan membutuhkan tanah dasar yang :

1. Memiliki setidaknya CBR rendaman minimum desain


2. Dibentuk dengan baik
3. Terpadatkan dengan benar
4. Tidak sensitif terhadap hujan
5. Mampu mendukung lalu lintas konstruksi.
Pada kegiatan konstruksi, untuk dapat melaksanakan pemadatan yang
benar pada setiap lapis pekerasan, maka sangat penting untuk

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 87


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

mengendalikan kadar air tanah dasar menggunakan sistem drainase,


pelapisan bahu jalan, dan geometri jalan.

Musim hujan yang cukup panjang serta curah hujan yang tinggi membuat

pekerjaan pemadatan tanah dasar relatif lebih sulit. Oleh sebab itu, Tabel
4-30 dan Tabel 4-33 memberikan solusi konservatif yang sesuai, untuk
semua kasus kecuali yang membutuhkan lapis penopang, maka tingkat
pemadatan yang disyaratkan harus dapat dicapai baik untuk tanah dasar
atau pada timbunan. Pemadatan tanah dasar sering kali diabaikan di
Indonesia. Kontraktor dan Supervisi harus memberikan perhatian lebih
pada masalah ini.

b. Umur Rencana Pondasi jalan


Umur rencana pondasi jalan untuk semua perkerasan baru maupun
pelebaran digunakan minimum 40 tahun karena:

1. Pondasi jalan tidak dapat ditingkatkan selama umur pelayanannya


kecuali dengan rekonstruksi total;
2. Keretakan dini akan terjadi pada perkerasan kaku pada tanah lunak
yang
pondasi-nya didesain lemah (under design);
3. Perkerasan lentur dengan desain pondasi lemah (under design),
umumnya
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
selama umur rencana akan membutuhkan perkuatan dengan
lapisan aspal
struktural, yang berarti biayanya menjadi kurang efektif bila
dibandingkan
dengan pondasi jalan yang didesain dengan umur rencana lebih
panjang.
c. Outline Prosedur Desain Pondasi jalan
Empat kondisi lapangan yang mungkin terjadi dan harus
dipertimbangkan dalam prosedur desain pondasi jalan adalah:

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 88


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

1. Kondisi tanah dasar normal, dengan ciri - ciri nilai CBR lebih dari
3% dan dapat dipadatkan secara mekanis. Desain ini meliputi
perkerasan diatas timbunan, galian atau tanah asli.
2. Kondisi tanah dasar langsung diatas timbunan rendah (kurang dari
3 m) diatas tanah lunak aluvial jenuh. Prosedur laboratorium untuk
penentuan CBR tidak dapat digunakan untuk kasus ini, karena
optimasi kadar air dan pemadatan secara mekanis tidak mungkin
dilakukan di lapangan. Lebih lanjutnya, tanah asli akan
menunjukkan kepadatan rendah dan daya dukung yang rendah
sampai kedalaman yang signifikan yang membutuhkan prosedur
stabilisasi khusus.
3. Kasus yang sama dengan kondisi B namun tanah lunak aluvial
dalam
kondisi kering. Prosedur laboratorium untuk penentuan CBR
memiliki validitas yang terbatas karena tanah dengan kepadatan
rendah dapat muncul pada kedalaman pada batas yang tidak dapat
dipadatkan dengan peralatan konvensional. Kondisi ini
membutuhkan prosedur stabilisasi khusus.
4. Tanah dasar diatas timbunan diatas tanah gambut.
Gambar 4-12 menggambarkan proses desain untuk desain pondasi
jalan untuk tanah selain gambut, dan Tabel 4-33 menyajikan solusi
pondasi
PT. TJIPTA jalan minimum
ARTHA selain kasus khusus untuk perkerasan kaku
WIRATAMA
diatas tanah lunak.

d. Metode A untuk Tanah Normal


Kondisi A1 : Apabila tanah tanah dasar bersifat plastis atau berupa lanau,
tentukan nilai batas-batas Atterberg (PI), gradasi, nilai Potensi
Pengembangan (Potential Swell), letak muka air tanah, zona iklim, galian
atau timbunan dan tetapkan nilai CBR dari BaganDesain1 atau dari uji
laboratorium perendaman 4 hari.

Kondisi A2 : Apabila tanah dasar bersifat berbutir atau tanah residual


tropis (tanah merah, laterit), nilai desain daya dukung tanah dasar harus

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 89


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

dalam kondisi 4 hari rendaman, pada nilai 95% kepadatan kering


modifikasi.

Untuk kedua kondisi, pilih tebal perbaikan tanah dasar dari Tabel 4-33.

e. Metode B untuk Tanah Aluvial Jenuh


Lakukan survei DCP atau survei resistivitas dan karakterisasi tanah
untuk mengidentifikasi sifat dan kedalaman tanah lunak dan daerah yang

membutuhkan perbaikan tambahan (sebagai contoh daerah yang


membutuhkan lapis penopang, konstruksi perkerasan khusus, pondasi
cakar ayam atau pancang mikro). Jika tanah lunak terdapat dalam
kedalaman kurang dari 1 m, maka opsi pengangkatan semua tanah lunak
perlu ditinjau keefektivitas biayanya. Jika tidak, tetapkan tebal lapisan
penopang (capping layer) dan perbaikan tanah dasar dari Tabel 4-33
dilakukan dengan waktu perkiraan awal pra-pembebanan dari Tabel 4-
31

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 90


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 38 Estimasi Waktu Pra-Pembebanan Timbunan diatas Tanah Lunak

Sesuaikan waktu perkiraan awal tersebut (umumnya primary settlement


time) jika dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan jadwal pelaksanaan
melalui analisis geoteknik dan pengukuran seperti beban tambahan
(surcharge) atau vertikal drain.

Jika waktu preload berlebihan atau terdapat batas ketinggian timbunan


(misal pada kasus pelebaran jalan eksisting atau untuk jalan dibawah
jembatan, maka bisa digunakan metode stabilisasi lainnya misal cakar
ayam, pemacangan atau pencampuran tanah dalam.
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
Jika tidak ada contoh atau pengalaman yang mendukung kecukupan
desain lapis penopang atau desain lainnya untuk kondisi sejenis, maka
perlu dilakukan uji timbunan percobaan dan pengujian pembebanan
untuk verifikasi.

f. Metode C untuk tanah alluvial kering


Tanah alluvial kering pada umumnya memiliki kekuatan sangat rendah
(misal CBR < 2%) di bawah lapis permukaan kering yang relatif keras.
Kedalaman lapisan permukaan tersebut berkisar antara 400 - 600 mm.
Identifikasi termudah untuk kondisi ini adalah menggunakan uji

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 91


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

DCP. Kondisi ini umumnya terdapat pada dataran banjir kering dan area
sawah kering.

Masalah terbesar dari kondisi tanah seperti ini adalah daya dukung yang
memuaskan dapat hilang akibat pengaruh dari lalu lintas konstruksi dan
musim hujan. Karenanya penanganan pondasi harus sama dengan
penanganan kasus tanah aluvial jenuh, kecuali jika perbaikan lanjutan
dilakukan setelah pelaksananpondasi jalan selesai pada musim kering,
jika tidak perbaikan metode B harus dilakukan. Metode perbaikan
lanjutan tersebut adalah:

1. Jika lapis atas dapat dipadatkan menggunakan pemadat pad foot


roller, maka tebal lapis penopang dari Tabel 4.35 dapat dikurangi
sebesar 200 mm.
2. Digunakan metode pemadatan dalam terbaru misal High energy
Impact Compaction (HEIC) atau pencampuran tanah dalam yang
dapat mengurangi kebutuhan lapis penopang.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 92


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Gambar E. 29 Bagan Alir Desain Pemilihan Metode Desain Pondasi Jalan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 93


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 39 Perkiraan Nilai CBR Tanah Dasar (Tidak Berlaku Untuk Gambut)

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 94


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 40 Solusi Desain Pondasi Jalan Minimum

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 95


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

g. Pondasi Jalan untuk Tanah Ekspansif


Tanah ekspansif didefinisikan sebagai tanah dengan Potensi
Pengembangan (Potential Swell) melebihi 5%. Persyaratan tambahan
untuk desain pondasi jalan diatas tanah ekspansif (prosedur AE) adalah
sebagai berikut:

1. Lapis penopang diatas lapisan ekspansif yang mempunyai Potensi


Pengembangan (Potential Swell) melebihi 5% harus diberi lapisan
penopang dengan tebal minimum seperti diberikan dalam Tabel 4.33
Potensi Pengembangan (Potential Swell) didefinisikan sebagai
pengembangan yang diukur dalam metode uji CBR (SNI No 03-1774-
1989 pada kadar air optimum dan 100% Kepadatan Kering
Maksimum). Bagian atas dari lapis penopang atau lapis timbunan
pilihan harus memiliki
2. Variasi kadar air tanah dasar harus diminimasi. Pilihannya termasuk
pemberian lapis penutup (seal) untuk bahu jalan, drainase permukaan
yang diberi pasangan, pemasangan saluran penangkap (cut off drains),
penghalang aliran. Drainase bawah permukaan digunakan jika
penggunaannya menghasilkan penurunan variasi kadar air.
h. Penanganan Tanah Gambut
Penyelidikan geoteknik dibutuhkan untuk semua daerah tanah gambut.
Analisis geoteknik harus sudah termasuk penentuan pembebanan awal
(preload)
PT. TJIPTAdan waktuWIRATAMA
ARTHA penurunan dan CBR efektif dari bagian atas lapis
penopang. Pondasi harus memenuhi ketentuan minimum Tabel 4-33,
namun ketentuan tersebut umumnya tidak mencukupi. Konstruksi harus
dilaksanakan bertahap untuk mengakomodasi terjadinya konsolidasi
sebelum penghamparan lapis perkerasan beraspal. Konsolidasi harus
dipantau dengan menggunakan pelat penurunan (settlement plate).
Tinggi timbunan harus diminimasi tapi harus memenuhi ketentuan,
termasuk akomodasi konsolidasi setelah konstruksi. Jika dibutuhkan
timbunan tinggi, contohnya untuk oprit jembatan, struktur jembatan
harus diperpanjang atau timbunan harus dipancang untuk mengurangi

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 96


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

beban lateral pada tiang pancang jembatan. Kemiringan timbunan tidak


boleh lebih curam dari 1 banding 3 kecuali terdapat bordes (berm).
Drainase lateral harus diletakkan pada jarak yang memadai dari kaki
timbunan untuk menjamin stabilitas. Bordes (berm) harus disediakan
jika dibutuhkan untuk meningkatkan stabilitas timbunan. Jika
pengalaman terdahulu dari kinerja jalan akibat lalu lintas diatas tanah
gambut terbatas, maka timbunan percobaan harus dilaksanakan.
Timbunan percobaan harus di monitor untuk memverifikasi stabilitas
timbunan, waktu pembebanan, dan data lainnya. Tidak boleh ada
pelaksanaan pekerjaan sebelum percobaan selesai.

Setiap lokasi memiliki waktu pembebanan awal yang berbeda.


Dibutuhkan
penyelidikan geoteknik untuk menentukan waktu pembebanan awal
tanah
gambut.

i. Perkerasan kaku tidak boleh dibangun diatas tanah gambut.


1. CBR Karakteristik
Prosedur dalam penentuan daya dukung untuk tanah normal adalah
sebagai berikut:

a) Tentukan CBR rendaman 4 hari dari permukaan tanah asli pada


elevasi tanah dasar untuk semua area di atas permukaan tanah,
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
untuk daerah galian yang mewakili jika memungkinkan, dan untuk
material timbunan biasa, timbunan pilihan dan material dari sumber
bahan (borrow material) atau ditentukan sesuai dengan Tabel 4-32.
Identifikasi awal seksi seragam (homogen) secara visual dapat
mengurangi jumlah sampel yang dibutuhkan. Daerah terburuk secara
visual harus dimasukkan dalam serangkaian pengujian. Perlu dicatat
apakah daerah terburuk tersebut diisolasi dan dapat dibuang maka
harus dicatat
b) Identifikasi segmen tanah dasar yang mempunyai daya dukung
seragam berdasarkan data CBR, titik perubahan timbunan/galian,

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 97


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

titik perubahan topografi lainnya dan penilaian visual. Variasi


segmen seringkali terjadi pada lokasi perubahan topografi.
c) Identifikasi segmen tanah dasar yang mempunyai daya dukung
seragam berdasarkan data CBR, titik perubahan timbunan/galian,
titik perubahan topografi lainnya dan penilaian visual. Variasi
segmen seringkali terjadi pada lokasi perubahan topografi).
Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang memerlukan perhatian
khusus seperti: lokasi dengan muka air tanah tinggi; lokasi banjir
(tinggi banjir 10 tahunan harus ditentukan) daerah yang sulit
mengalirkan air/drainase yang membutuhkan faktor koreksi m;
daerah yang terdapat aliran bawah permukan /rembesan (seepage);
daerah dengan tanah bermasalah seperti tanah alluvial lunak/tanah
ekspansif/tanah gambut.
2. Penentuan Segmen Tanah Dasar Seragam
Panjang rencana jalan harus dibagi dalam segmen-segmen yang
seragam (homogen) yang mewakili kondisi pondasi jalan yang sama:

a) Apabila data yang cukup valid tersedia (minimal 16 3 data


pengujian
persegmen yang dianggap seragam), formula berikut dapat
digunakan:
CBR karakteristik = CBR rata2 - 1.3 x standar deviasi
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
Data CBR dari segmen tersebut harus mempunyai koefisien
variasi 25% - 30% (standar deviasi/nilai rata-rata).

b) Bila set data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat

digunakan sebagai nilai CBR dari segmen jalan. Nilai yang rendah
yang tidak umum dapat menunjukkan daerah tersebut
membutuhkan
penanganan khusus, sehingga dapat dikeluarkan, dan penanganan

yang sesuai harus disiapkan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 98


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Nilai CBR karakteristik untuk desain adalah nilai minimum


sebagaimana ditentukan diatas untuk data valid dari:

1) Data CBR laboratorium rendaman 4 hari, atau


2) Data DCP yang disesuaikan dengan musim, atau
3) Nilai CBR yang ditentukan dari batas atterberg.
3. Alternatif Pengukuran Daya Dukung
Hasil pengujian DCP hanya dapat digunakan secara langsung
untuk memperkirakan nilai CBR bila pengujian kadar air tanah
mendekati kadar air maksimum. Tidaklah selalu dimungkinkan untuk
merencanakan program pengujian selama musim hujan, maka untuk
menentukan nilai CBR sebaiknya digunakan hasil uji CBR laboratorium
rendaman dari contoh lapangan, kecuali untuk tanah dengan kondisi:

a) Tanah rawa jenuh mempunyai sifat sulit untuk dipadatkan di


lapangan. Untuk kasus tanah rawa jenuh, CBR hasil laboratorium
tidak relevan. Pengukuran CBR dengan DCP akan menghasilkan
estimasi yang lebih handal.
b) Lapisan lunak atau kepadatan rendah (umumnya 1200-1500
kg/m3) yang terletak di bawah lapisan keras yang terletak di
bawah
muka tanah dasar desain. Kondisi ini sering terjadi pada daerah
alluvial kering terkonsolidasi. Kondisi ini harus diidentifikasi
PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
dengan
pengujian DCP dan harus diperhitungkan dalam penentuan
desain.
Data lendutan dapat juga digunakan untuk menentukan modulus
tanah
dasar dari tanah dasar yang dipadatkan sebelumnya. misalnya
dengan
menggunakan data LWD (light weight deflectometer), yang
dikalibrasi
baik dengan metode AASHTO atau metode mekanistik dengan

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 99


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

perhitungan mundur. Tapi metode ini harus digunakan dengan


hati-hati dan harus didukung dengan pengujian CBR
langsungJika modulus tanah dasar diestimasi dengan DCP atau
data lendutan maka sangat penting untuk menyesuaikan modulus
yang didapat dengan variasi musiman.Perbedaan antara modulus
musim kering dan musim hujan dapat bervariasi sebesar tiga kali
lipat atau lebih. Faktor penyesuaian harus diestimasi dengan data
lendutan musim kemarau dan musim hujan. Faktor penyesuaian
dari Tabel E.41 dapat digunakan sebagai nilai minimum.
Penyelidikan sangat diutamakan untuk dilaksanakan setelah
musim hujan yang panjang untuk mengurangi ketidakpastian
terkait dengan penentuan pada musim kemarau.

Tabel E. 41 Faktor Penyesuaian Modulus Tanah Dasar Akibat Variasi


Musiman

Nilai desain (CBR/lendutan) = (hasil bacaan DCP atau data lendutan) x


PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA
faktor penyesuaian

Pendekatan umum untuk desain pondasi harus diambil konservatif,


yang mengasumsikan kondisi terendam pada tingkat pemadatan yang
disyaratkan.

4. CBR Ekivalen untuk Tanah Dasar Normal untuk Perkerasan Kaku


Termasuk dalam perbaikan tanah dasar adalah penggunaan material
timbunan
pilihan,stabilisasikapur,ataustabilisasisemen.Pekerjaanpelebaran
perkerasan pada area galian sering terjadi pada daerahyang sempit atau

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 100


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

tanah dasar yang dibentuk tak teratur, yang sulit untuk


distabilisasi.Dalam kasus ini maka timbunan pilihan lebih diutamakan.

Jika stabilisasi kapur atau semen digunakan daya dukung dari material
stabilisasi yang digunakan untuk desain harus diambil konservatif dan
tidak lebih dari nilai terendah dari:

a) Nilai yang ditentukan dari uji laboratorium rendaman 4 hari;


b) Tidak lebih dari empat kali lipat daya dukung material asli yang
digunakan untuk stabilisasi;
c) Tidak lebih besar dari nilai yang diperoleh dari formula;
d) CBR lapis atas tanah dasar distabilisasi = CBR tanah asli x 2^(tebal tanah
dasar stabilisasi/150)
5. Formasi Tanah Dasar diatas Muka Air Tanah dan Muka Air Banjir
Tinggi minimum tanah dasar diatas muka air tanah dan muka air banjir
ditentukan dalam Tabel 3-42.

Tabel E. 42 Tinggi Minimum Tanah Dasar Diatas Muka Air Tanah dan Muka
Air Banjir

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 101


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

2.4.5 Desain Perkerasan


Solusi pekerasan yang banyak dipilih yang didasarkan pada pembebanan dan
pertimbangan biaya terkecil diberikan dalam Perkerasan Lentur, Pelaburan,
Tabel Perkerasan Tanah Semen, dan Perkerasan Berbutir dan Perkerasan
Kerikil. Solusi lain dapat diadopsi untuk menyesuaikan dengan kondisi
setempat tetapi disarankan untuk tetap menggunakan bagan sebagai
langkah awal untuk semua desain.

Proses desain untuk perkerasan kaku menurut Pd T-14-2003 atau metode 10


Austroad 2004 membutuhkan jumlah kelompok sumbu dan spektrum beban
dan tidak membutuhkan nilai CESA. Jumlah kelompok sumbu selama umur
rencana digunakan sebagai input pada.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 102


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 43 Desain Perkerasan Lentur Opsi Biaya Minimum Termasuk CTB

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 103


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 44 Desain Perkerasan Lentur Aspal Dengan HRS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 104


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 45 Desain Perkerasan Lentur Aspal Dengan Pondasi Berbutir

Tabel E. 46 Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi Agregat A Untuk Tanah Dasar CBR ≥ 7 %

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 105


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E - 106


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 47 Perkerasan Berbutir dengan Laburan

Tabel E. 48 Perkerasan Kaku Untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Berat

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 107


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

Tabel E. 49 Perkerasan Kaku Untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Rendah

Tabel E. 50 Perkerasan Dengan Stabilsasi Tanah Semen (Soil Cement)

Catatan:

1) Desain 6 digunakan untuk semua tanah dasar dengan CBR > 3%. Ketentuan
desain 2tetap berlaku untuk tanah dasar yang lebih lemah.
2) Stabilisasi satu lapis lebih 200 mm sampai 300 mm diperbolehkan jika
disediakan peralatan stabilisasi yang memadai dan untuk pemadatan digunakan
pad-foot roller berat statis minimum 18 ton.
3) Bila catatan 2 diterapkan, lapisan distabilisasi pada desain5atau desain6boleh
dipasang dalam satu lintasan dengan persyaratan lapisan distabilisasi dalam

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 108


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

desain 2 sampai maksimum 300 mm.


4) Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas A harus dengan ukuran nominal maksimum
30 mm jika dihamparkan dengan lapisan kurang dari 150 mm.
5) Hanya kontraktor berkualitas dan mempunyai peralatan diperbolehkan
melaksanakan pekerjaan Burda atau pekerjaan Stabilisasi.

E.3. PROGRAM KERJA


Untuk itu diperlukan suatu metoda dan rencana kerja yang baik untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang telah ditetapkan. Secara umum, rencana
kerja yang akan dilaksanakan untuk meliputi beberapa tahap kegiatan, yaitu :

a. Tahap Persiapan,
b. Tahap Pengumpulan dan Analisa Data Lapangan,
c. Tahap Perencanaan Awal dan Akhir,
d. Tahap Penggambaran,
e. Tahap Perhitungan Kuantitas,
f. Tahap Pelaporan dan Penyiapan Dokumen Lelang.

A. TAHAP PERSIAPAN
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengenali lingkup
pekerjaan, merumuskan pelaksanaan pekerjaan dan kondisi lapangan berikut
permasalahan- permasalahan yang ada. Segera setelah SPMK diterbitkan konsultan
akan memobilisasi tenaga-tenaga inti untuk melakukan survey pendahuluan serta
mengumpulkan data-data sekunder mengenai lokasi-lokasi daerah Jalan yang akan
direncanakan.

Selain itu konsultan akan langsung melakukan koordinasi dan persiapan


pelaksanaan pekerjaan, diantaranya :

(a) Menyiapkan data-data yang diperlukan guna pelaksanaan survey perencanaan


jalan seperti peta topografi, curah hujan, lalu lintas dan sebagainya yang
berhubungan dengan perencanaan jalan.

(b) Pengarahan cara kerja personil sehubungan dengan waktu yang disediakan.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 109


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

(c) Penyediaan peralatan yang akan dipakai untuk survey lapangan.

(d) Persiapan surat pengantar mobilisasi personil, dan lain-lain yang diperlukan.

Sebelum pekerjaan ” SURVAI PENDAHULUAN / RECONNAISSANCE SURVEY ”


dimulai, konsultan berkoordinasi dengan Tim Teknis Satuan Kerja Dinas untuk
mendapatkan pengarahan dan petunjuk-petunjuk mengenai pekerjaan yang akan
dilaksanakan, rencana-rencana pengembangan daerah, dan hal-hal lain yang perlu
diketahui untuk pelaksanaan pekerjaan tersebut.

B. TAHAP SURVEY LAPANGAN


Kegiatan awal yang akan dilaksanakan pada tahap ini adalah melakukan Survey
Pendahuluan, yang kemudian akan diikuti dengan pelaksanaan survey detail seperti
survey topografi, penyelidikan tanah dan material, dan survey detail lainnya.

• SURVEY PENDAHULUAN
Adapun kegiatan yang dilakukan pada survey ini antara lain :

1. Melakukan konfirmasi dan koordinasi dengan instansi terkait di daerah


sehubungan dengan akan dilaksanakan survai.
2. Mengumpulkan informasi tentang Harga Satuan Upah / Bahan Dasar dari Dinas
Bina Marga setempat dan dari Satuan Kerja yang sedang berjalan disekitar
lokasi pekerjaan.
3. Peninjauan lokasi, menentukan titik-titik referensi dan memasang patok-patok
yang diperlukan sebagai titik referensi pengukuran detail topografi / geometrik
dan penyelidikan tanah di lokasi pekerjaan yang akan diteliti.
4. Melaksanakan pengisian formulir survai pendahuluan.
5. Mempelajari dan menganalisa data curah hujan pada daerah rencana trase
jalan melalui stasiun-stasiun pengamatan yang telah ada ataupun pada Jawatan
Metereologi setempat.
6. Membuat peta sumber material (quarry) yang diperlukan untuk pekerjaan
konstruksi dan memperkirakan volumenya.

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 110


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

7. Membuat foto dokumentasi lapangan, meliputi kondisi jalan dari kedua arah
yang berlawanan / foto lokasi–lokasi tertentu yang dapat menggambarkan
kondisi jalan serta lokasi quarry.

• SURVEY LAPANGAN

Kegiatan Survey lapangan untuk pekerjaan ini akan meliputi :

A. SURVEY TOPOGRAPHY : Survey Topography dilakukan pada lokasi jalan yang


direncanakan dengan daerah cakupan, 100 m ke arah hulu dan hilir jembatan dan
sepanjang 200 m untuk jalan pendekat (oprit) kiri dan kanan dari arah alur sungai.

Survey Topografi untuk pekerjaan jalan akan meliputi :

• Pemasangan Patok – Patok

• Pengukuran Kerangka Dasar Horizontal (KDH)

• Pengukuran Kerangka Dasar Vertikal (KDV)

• Pengukuran Situasi

• Pengukuran Penampang Memanjang dan Melintang

• Pengukuran Khusus

B. PENYELIDIKAN TANAH/ GEOLOGI/ GEOTEKNIK DAN MATERIAL:

Survey ini dilakukan untuk mengetahui lapisan-lapisan dan jenis tanah yang dapat
mempengaruhi pembangunan jalan di daerah tersebut dengan melihat apakah ada
daerah patahan dan sebagainya. Juga mengenai frekuensi dan amplitudo dari gempa
bumi yang akan mempengaruhi pembebanan jalan pada tahap perencanaan. Gempa
bumi ini dapat berupa tektonik maupun vulkanik.

Selain itu pada lokasi jalan diadakan penyelidikan tanah untuk mengetahui sifat-sifat
tanah yang perlu untuk merencanakan bangunan bawah / pondasi. Penyelidikan ini
menggunakan alat sondir dan alat bor dimana perlu sesuai ketentuan yang
berlaku. Selain penyelidikan tanah juga dilakukan survey material lokal yang dapat

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 111


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

digunakan untuk pembangunan jalan tersebut. Lokasi quarry, jumlah serta kelayakan
aggregat.

C. TAHAP PERENCANAAN TEKNIS


Data-data hasil survey lapangan, baik untuk perencanaan teknis jalan, diolah dan
dianalisa oleh penanggung jawab masing-masing pekerjaan. Data-data hasil survey
lapangan yang sudah diolah, kemudian dibuatkan perencanaan teknisnya berupa
perencanaan bangunan bawah dan bangunan atas. Konsultan akan membuat konsep
detail perencanaan teknis dari pekerjaan perencanaan jalan yang ditanganinya untuk
dimintakan persetujuan kepada Pemberi Tugas.

D. TAHAP PENGGAMBARAN
Pembuatan gambar rencana trase jalan selengkapnya dilakukan setelah draft
Perencanaan Teknis mendapat persetujuan dari pengguna jasa dengan mencantumkan
koreksi-koreksi dan saran-saran yang diberikan oleh pengguna jasa, berikut posisi
alternatif trase yang pernah diteliti.

Gambar rencana detail perencanaan teknis yang perlu dibuat harus minimal
mencakup:

a. Sampul luar (cover) dan sampul dalam.


b. Daftar isi.
c. Peta lokasi proyek.
d. Peta lokasi sumber bahan material (quarry).
e. Daftar simbol dan singkatan.
f. Daftar rangkuman volume pekerjaan.
g. Potongan melintang Tipikal (Typical Cross Section) harus digambar dengan skala
yang pantas dan memuat semua informasi yang diperlukan antara lain:
1. Gambar konstruksi existing yang ada,
2. Penampang pada daerah galian dan daerah timbunan pada ketinggian yang
berbeda-beda,
3. Rincian konstruksi perkerasan,
4. Penampang bangunan pelengkap,

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 112


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

5. Bentuk dan konstruksi bahu jalan, median,


6. Bentuk dan posisi saluran melintang (bila ada).
h. Alinyment layout
i. Alinyemen Horisontal (plan) digambar diatas peta situasi 1 : 1.000 untuk jalan dan
1 : 500 untuk jembatan dengan interval garis tinggi 1 meter (kontur) dan
dilengkapi dengan data yang dibutuhkan.
j. Alinyemen Vertikal (profile) digambar diatas peta situasi 1 : 1.000 untuk jalan dan
1 : 500 untuk jembatan dan skala vertikal 1 : 100 yang mencakup data yang
dibutuhkan.
k. Potongan melintang (Cross Section) digambar untuk setiap titik STA (interval
paling tidak 50 meter), dengan skala horisontal 1 : 100 dan skala vertikal 1 : 50.
Dalam gambar potongan melintang harus mencakup :
- Tinggi muka tanah asli dan tinggi rencana muka jalan.

- Profil tanah asli dan profil/dimensi RUMIJA (ROW) rencana.

- Penampang bangunan pelengkap yang diperlukan.

- Data kemiringan lereng galian/timbunan (bila ada).

l. Gambar detail struktur jalan


m. Gambar drainase.
n. Gambar standar yang mencakup antara lain : gambar bangunan pelengkap, rambu
jalan, lampu penerangan jalan (PJU) dan sebagainya.
o. Keterangan mengenai mutu bahan dan kelas pembebanan.

E. TAHAP PERHITUNGAN KUANTITAS


Perencanaan harus membuat perhitungan kuantitas pekerjaan secara rinci dengan
ketentuan sebagai berikut :

a) Volume pekerjaan tanah dihitung dari gambar cross section setiap 25 - 100 meter,

b) Penyusunan mata pembayaran pekerjaan (pay item) harus sesuai dengan


Spesifikasi yang dipakai,

c) Perhitungan kuantitas pekerjaan harus dilakukan secara keseluruhan. Tabel


perhitungan harus mencakup lokasi dan semua jenis mata pembayaran (pay item),

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 113


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

d) Kuantitas pekerjaan harus dihitung/sesuai dengan yang ada dalam gambar rencana.

F. TAHAP PERKIRAAN BIAYA


Perkiraan biaya konstruksi rinci harus disiapkan untuk setiap tahapan konstruksi
yang direncanakan, sesuai item pekerjaan dan harga satuan yang disajikan secara
terpadu. Kuantitas akan disertai dengan data pendukung perhitungannya, sedangkan
harga satuan akan merujuk pada referensi harga satuan terbaru dan masih berlaku atau
berpedoman pada survey harga pasar.

Metode perhitungan harga satuan harus dibuat, analisis harga satuan menggunakan
metoda dan acuan yang baku berdasarkan faktor-faktor/parameter : tenaga, material,
peralatan, sosial, pajak, overhead, dan keuntungan yang berlaku di daerah setempat.
Perkiraan biaya yang diperoleh dari analisis ini dibandingkan dengan proyek-proyek
lainnya di daerah sekitar lokasi.

Engineer’s Estimate dibuat dalam bentuk :

Pelaksanaan setiap km

Pelaksanaan setiap tahapan perencanaan

Pelaksanaan total

G. KONSEP DETAIL PERENCANAAN


Konsultan akan membuat konsep detail perencanaan teknis dari pekerjaan
perencanaan jalan yang ditanganinya untuk dimintakan persetujuan kepada Pemberi
Tugas. Konsep detail perencanaan tersebut terdiri dari :

 Plan (Alinyemen Horizontal), skala 1 : 1000


 Profil (Alinyemen Vertikal), skala horizontal 1 : 1000, skala vertikal 1 : 100
 Potongan Melintang (Cross Section), skala horizontal 1 : 100, skala vertikal 1 : 50
 Potongan Melintang Standar (Typical Cross Section)
 Bangunan Standar dan Pelengkap

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 114


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

 Spesifikasi

H. GAMBAR PERENCANAAN AKHIR


Setelah draft design tersebut diatas mendapat persetujuan dari Pemberi Tugas,
tentunya dengan koreksi-koreksi dan saran-saran, maka perencanaan jalan siap
dipindahkan ke standar sheet.

E.4. STRUKTUR ORGANISASI DAN PERSONIL


E.4.1 Struktur Organisasi
Untuk menangani pekerjaan dibutuhkan organisasi pelaksana pekerjaan yang tepat
sesuai dengan lingkup dan keluaran pekerjaan, sebaran lokasi serta jangka waktu
pelaksanaan studi. Struktur organisasi ini dimaksudkan agar pelaksanaan pekerjaan
menjadi lebih mengarah dan membentuk mekanisme kerja yang solid dan terpadu
antar disiplin ilmu setiap tenaga ahli. Dengan demikian, wewenang dan tanggung
jawab setiap personil yang terlibat akan lebih jelas dan tidak tumpang tindih.
Kondisi ini diharapkan akan mampu menciptakan kerja yang efektif dan efisien.
Struktur organisasi pelaksana pekerjaan secara diagramatik diperlihatkan dalam
Gambar, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Konsultan akan menugaskan seorang Direktur Pelaksana dalam pekerjaan ini,
yang akan diwakili oleh salah seorang Manajer Teknik, yang akan senantiasa
siap untuk mengarahkan, mengawasi dan mengatur koordinasi back up support
bagi team kerja bilamana ditemukan kendala yang sulit dipecahkan oleh team.
Sehingga dengan demikian, perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Pemimpin
Proyek selaku pihak pemberi pekerjaan, berkenaan dengan lingkup pekerjaan
sebagaimana yang tertuang di dalam kontrak dan telah disepakati bersama,
dapat lebih terjamin realisasinya oleh team kerja Konsultan.
2. Dalam pelaksanaan pekerjaan ini, Konsultan juga akan melakukan koordinasi
sesuai keperluannya dengan berbagai pihak terkait, seperti misalnya pihak
Dinas atau Instansi Terkait lainnya.
3. Konsultan akan menugaskan seorang Tim Leader yang akan bertanggung
jawab penuh terhadap pelaksanaan pekerjaan, baik di bidang teknis maupun
administratif, sehingga pekerjaan ini dapat dilaksanakan tepat mutu dan waktu

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 115


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

sebagaimana yang disebutkan di dalam KAK. Tim Leader akan mengkoordinir


aktivitas seluruh anggota tim kerja, dan akan mengatur tata hubungan kerja
antar mereka. Tim Leader juga akan melaporkan progress pekerjaan, baik
kepada pihak pemberi kerja/pengguna jasa maupun kepada Direktur
Pelaksana, selain itu juga akan memimpin diskusi/presentasi yang akan
diadakan dan menghadiri rapat/ pertemuan lain yang berkaitan dengan
pekerjaan ini.
4. Tenaga Professional; Tenaga Professional terdiri dari Tenaga Ahli untuk
berbagai bidang, yang masing-masing sangat berpengalaman dalam menangani
pekerjaan sejenis sesuai dengan bidangnya.
5. Tenaga Pendukung untuk menunjang kelancaran pelaksanaan pekerjaan,
Konsultan juga akan menugaskan Drafter dan Operator Komputer. Drafter dan
Operator Komputer akan membantu Tim Leader dalam melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan administrasi kantor dan keuangan.

Dinas Perumahan Dan Kawasan PT. TJIPTA ARTHA


Permukiman Kabupaten Purwakarta WIRARTAMA

Tahun Anggaran 2023

S1 Teknik Sipil Jalan Raya


TIM TEKNIS
(Tim Leader)

Tenaga Ahli dan Tenaga Pendukung:

1. Ahli K3 Konstruksi
2. Asisten Ahli Teknik Jalan
3. Ahli Teknik Geodesi
4. Asisten Ahli Estimasi
5. Surveyor
6. Drafter
7. Administrasi

E.4.2. Personil (Tenaga Ahli dan Tenaga Pendukung)


Keahlian yang dibutuhkan untuk Perencanaan Peningkatan Jalan dan Jembatan, sebagai

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 116


DOKUMEN
PENAWARAN TEKNIS

berikut:
a. Team Leader/Ketua Tim adalah Sarjana Strata Satu (S1) Teknik Sipil Jalan raya
dengan pengalaman dalam bidang perencanaan jalan min 5 tahun yang mengetahui
dengan baik proses perencanaan dengan segala permasalahan, memiliki SKA Ahli
Madya – Ahli Teknik Jalan.

b. Ahli K3 Kontruksi
Adalah Sarjana Strata Satu (S1) Teknik Sipil, yang berpengalaman 1 tahun dalam
perencanaan jalan raya.

c. Asisten Ahli Teknik Jalan


Adalah Sarjana Strata Satu (S1) Teknik Sipil, yang berpengalaman 1 tahun dalam
perencanaan jalan raya.

d. Ahli Teknik Geodesi


Adalah Sarjana Strata Satu (S1) Teknik Geodesi, yang berpengalaman 1 tahun dalam
perencanaan jalan raya.

e. Asisten Ahli Estimasi


Adalah Sarjana Strata Satu (S1) Teknik Sipil, yang berpengalaman 1 tahun dalam
perencanaan jalan raya

f. Tenaga Pendukung yang diperlukan antara lain:


1. Surveyor
2. Drafter
3. Administrasi

PT. TJIPTA ARTHA WIRATAMA E- 117

Anda mungkin juga menyukai