5.1 UMUM
Perencanaan Geometrik Jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap,
meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada
atau dari hasil survei lapangan dan telah dianalisis, serta mengacu pada ketentuan yang
berlaku.
Kriteria desain geometrik secara ringkas disajikan seperti pada Tabel 5.1, untuk itu
Kecepatan Rencana pada Perencanaan Teknis dan DED Prasarana Infrastruktur Transportasi
– Perencanaan Teknis Jalan aKses Keluar Jatibening Caman ditetapkan dengan Kecepatan
Rencana sebesar VR = 30 km.
a. Lalu Lintas
Satuan Mobil Penumpang (SMP) : Nilai perbandingan untuk berbagai jenis kendaraan
pada kondisi jalan pada daerah datar adalah sebagai berikut :
b. Volume Rencana
1. Klasifikasi perencanaan jalan-jalan kota ditentukan oleh volume lalu lintas. Volume
lalu lintas rencana (DTV) dinyatakan dalam SMP (Satuan Mobil Penumpang), yang
menyatakan volume harian lalu lintas kedua arah.
2. Beberapa elemen perencanaan jalan tertentu sangat tergantung pada volume lalu
lintas pada jam puncak, yang dinyatakan dalam Volume Perjam Perencanaan
(DHV). Volume per jam dihitung sebagai berikut :
Dimana :
DHV = Volume per Jam Perencanaan
= (PCU/ 2 arah/ jam) untuk jalan 2 jalur
= (PCU/ arah/ jam) untuk jalan berjalur banyak
DTV = Volume Lalu Lintas Rencana (PCU/ 2 arah/ hari)
K = Koefisien Puncak (%)
Arteri - 1
PRIMER Kolektor > 10.000 1
< 10.000 2
Arteri > 20.000 1
< 20.000 2
SEKUNDER Kolektor > 6.000 2
< 6.000 3
Jalan pada pekerjaan ini masuk didalam klasifikasi Perencanaan Tipe II Kelas 1, yaitu
: Standard tertinggi bagi jalan-jalan dengan 4 lane atau lebih, memberikan
pelayanan angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota, dengan
kontrol.
Kendaraan
Penumpang 4.7 1.7 2.0 0.8 2.7 1.2 6.0
Truck/ Bus
Tanpa gandengan 12 2.5 4.5 1.5 6.5 4.0 12.0
c. Jumlah Jalur
1. Jumlah jalur jalan di mana volume lalu lintas rencana (DTV) yang lebih kecil dari
nilai pada tabel di bawah ini (standar perencanaan lalu lintas harian) sebaiknya 2
jalur kecuali jumlah jalur belok dan jalur percepatan/ perlambatan.
Kelas 1 20.000
Tipe 1
Kelas 2 20.000
Kelas 1 18.000
Tipe 2 Kelas 2 17.000
Kelas 3 15.000
Catatan : Bila pada jalan tipe II banyak terdapat persimpangan maka nilai pada
tabel di atas harus dikalikan 80%
2. Jumlah jalur pada jalan-jalan lainnya yang tidak termasuk didalam paragraf di atas
sebaiknya 4 jalur atau lebih, dengan standard volume lalu lintas seperti pada tabel
di bawah ini.
Kelas 1 20.000
Tipe 1
Kelas 2 20.000
Kelas 1 18.000
Tipe 2 Kelas 2 17.000
Kelas 3 15.000
Catatan : Bila pada jalan tipe II banyak terdapat persimpangan maka nilai pada
tabel di atas harus dikalikan 60%
d. Lebar Jalur
Lebar jalur untuk berbagai klasifikasi perencanaan sebaiknya sesuai dengan Error:
Reference source not found bawah ini.
3. Komposisi Median
Pada umumnya median terdiri dari jalur tepian dan pemisah tengah
Pemisah dengan lebar sampai 5.0 m sebaiknya ditinggikan dengan kereb atau
dilengkapi dengan pembatas fisik agar tidak dilanggar kendaraan.
f. Bahu Jalan
1. Ketentuan Bahu Jalan
Jalur lalu lintas hendaknya dilengkapi dengan bahu jalan. Hanya bila jalur lalu lintas
telah dilengkapi dengan median, jalur pemisah atau jalur parkir maka bahu jalan
tidak diperlukan lagi.
g. Jalur Parkir
Pada umumnya jalan tipe kelas I, kelas II dan kelas III dilengkapi dengan trotoar
kecuali jalan kelas seperti misalnya jalan pintas (bypass) di mana memang tidak
disediakan akses samping.
Pada daerah pinggiran kota di mana volume pejalan kaki lebih dari 300 orang
per 12 jam dan volume kendaraan melebihi 1000 kendaraan per 12 jam maka
perlu disediakan trotoar.
Selokan tertutup dapat dianggap sebagai bagian dari trotoar bila tertutup baik
dengan slab beton.
Trotoar harus ditinggikan setinggi kereb
4. Ruang Bebas Kendaraan
a) Ketentuan Ruang Bebas
Ruang bebas dalam bab ini hendakknya dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perencanaan mengenai potongan melintang jalan.
Bangunan, fasilitas utilitas, pohon dan benda-benda yang tidak bergerak tidak
diperkenankan berada dalam ruang bebas ini.
Gambar 5.1 Ruang Bebas untuk Jalur Lalu Lintas dengan Bahu Jalan.
Kasus 2 : Ruang bebas untuk jalur lalu lintas pada jalan tidak ada bahunya
Gambar 5.2 Ruang Bebas untuk Jalur Lalu Lintas pada Jalan tidak Ada Bahunya
H= 5,1 m pada jalan tipe I, kelas I dan tipe II kelas I,kelas II, dan kelas III. Untuk
jalan tipe II kelas III di mana bus tingkat tidak boleh lewat, H dapat diperkecil
menjadi 4.6 m.
a = 1.0 m atau lebih kecil dari lebar diambil = 4.1 m
b= 4.6 m, bila H 4.6 m maka dapat diambil = 4.1 m.
d= 0.75 m untuk jalan-jalan tipe I
0.50 m untuk jalan-jalan tipe II.
c) Pengukuran Garis bebas
Tinggi ruang bebas diukur antara garis sejajar permukaan jalan dan permukaan
itu sendiri.
Lebar ruang bebas diukur di antara garis tegak lurus permukaan kemiringan
normal jalan. Pada bagian dengan superelevasi, garis batas vertikal harus
diukur tegak lurus terhadap permukaan jalur lalu lintas.
l. Jarak Pandang
1. Jarak Pandang Henti
Jarak pandang henti minimum harus selalu diberikan pada setiap bagian jenis. Jarak
pandang henti ini dinyatakan pada Error: Reference source not found.
3. Penerapan
Disarankan untuk senantiasa menyediakan jarak pandang menyiap yang cukup
dalam merencanakan jalan dua jalur. Tetapi oleh karena adanya kendala-kendala
dalam memenuhi kondisi tersebut, menimbang besar biaya pembangunannya,
hanya bagian-bagian jalan tertentu, yang disebut berikut ini, harus mempunyai
jarak pandang yang cukup.
Untuk jalan tipe I kelas II, persentasi panjang dengan jarak pandang lebih
besar daripada jarak pandang menyiap standar sebaiknya lebih besar dari
30%.
Untuk jalan tipe II kelas II, persentasi panjang dengan jarak pandang lebih
besar daripada jarak pandang menyiap minimum sebaiknya lebih besar dari
30%.
Untuk jalan tipe II kelas III, persentasi panjang dengan jarak pandang lebih
besar daripada jarak menyiap minimum sebaiknya lebih besar dari 10%.
Alinyemen Horisontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal. Alinyemen
horisontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”.
Pada perencanaan Alinyemen horisontal, umumnya akan ditemui dua jenis bagian jalan,
yaitu bagian lurus, dan bagian lengkung atau umum disebut tikungan yang terdiri dari :
Pada Review Desain Fly Over Permata Hijau yang mana menggunakan Spiral – Lingkaran –
Spiral (Spiral – Circle – Spiral = S – C – S).
Keterangan :
∆ = Sudut tikungan
O = Titik pusat lingkaran
Tc = Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT
Rc = Jari-jari lingkaran
Lc = Panjang busur lingkaran
Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Keterangan :
Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus
lengkung peralihan).
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak luruske titik
SC pada lengkung.
Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST).
Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS)
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
TS = Titik dari tangen ke sepiral
SC = Titik dari spiral ke lingkaran
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran
s = Sudut lengkung spiral
Rc = Jari-jari lingkaran
p = Pergeseran tangen terhadap spiral
k = Absis dari ”p” pada garis tangen
Kecepatan rencana pada Perencanaan teknis dan DED Prasarana Infrastruktur Transportasi –
Perencanaan Teknis Jalan Akses Keluar Jatibening - Caman ditetapkan kecepatan rencana VR
= 30 km/jam.
Untuk kecepatan tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum
dan koefisien gesekan maksimum.
V
R2
R min=
127( e mak + f mak )
V
R2
R min=
127( e mak + f mak )
402
= =56 . 750 m
127 (0 .06 +0 .162 )
Tabel 5.21 Jari-jari Minimum untuk Bagian-bagian Jalan dengan Kemiringan Normal
Kecepatan Rencana Jari-jari Minimum pada Kemiringan Normal
(km/jam) (m)
i = 2.0%
100 5000
80 3500
60 2000
50 1300
40 800
30 500
20 200
b) Untuk sudut = 7 derajat, panjang as jalur jalan minimum sebaiknya seperti yang
dinyatakan pada Tabel 5.22 kolom ketiga sesuai dengan kecepatan rencananya.
Tabel 5.22 Panjang Tikungan Minimum
Kecepatan Rencana Panjang Tikungan Minimum (m)
(km/jam) Standar Keadaan terpaksa
100 1200/a 170
80 1000/a 140
60 700/a 100
50 600/a 80
40 500/a 70
30 350/a 50
20 280/a 40
Catatan : a = sudut potongan (derajat), dimana jika = 2 derajat, untuk perhitungan pada kolom
kedua diambil a = 2
6. Superelevasi
a) Superelevasi Maximum
Jalan-jalan tikungan yang ramai dilalui, bahu-bahu jalan yang ditepinya dan
garis batas tepi jalan, di mana jari-jari lengkungnya lebih kecil sebaiknya diberi
superelevasi.
Superelevasi maksimum sebaiknya seperti yang dinyatakan sebagai berikut :
1) Jalan type I superelevasi 10%
2) Jalan type II superelevasi 6%
7. Bagian Peralihan
a) Ketentuan Bagian Peralihan
Bagian peralihan pada prinsipnya harus disediakan antara bagian lurus dan kurva
lingkungan.
Bila kelandaian melebihi maksimum kendaraan, maka panjang kelandaiannya harus dibatasi.
Dalam hal ini yang dibatasi adalah waktu tempuh pada kelandaian yang melebihi maksimum
standar hingga 1 menit.
Kelandaian yang digunakan pada Review Desain Fly Over Permata Hijau adalah kelandaian
maksimum 5 % dengan kecepatan rencana 40 km/jam.
5.5.2 Kelandaian
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian berikutnya, dilakukan dengan
mempergunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal direncanakan sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari titik perpotongan kedua bagian yang lurus (tangens),
adalah :
a. Lengkung vertikal cekung, adalah suatu lengkung dimana titik perpotongan antara
kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
b. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
d. Jalur Pendakian
1. Persyaratan dari jalur Pendakian
Pada bagian tanjakan dengan landai 5% atau lebih (3% atau lebih untuk jalan yang
kecepatan rencana) 100 km/jam atau lebih, jalur pendakian untuk kendaraan
berat hendaknya disediakan, tergantung pada panjang landai dan karakteristik
lalu lintas.
e. Lengkung Vertikal
1. Syarat-syarat Lengkung Vertikal
Pada setiap perubahan kelandaian dapat diberikan lengkung vertikal. Lengkung
vertikal hendaknya merupakan lengkung parabola yang sederhana.
Guna menghindari hal ini, batas minimum panjang lengkung vertikal harus
ditentukan juga berdasarkan kecepatan rencana.
5.7 PERAMBUAN
1. Standar Perencanaan
Standar perencanaan perangkat pengendali lalu lintas atau perambuan yang digunakan
sebagai acuan dalam perencanaan adalah sebagai berikut :
a. Keputusan Menteri Perhubungan No.60 tahun 1993 tentang Marka Jalan
b. Keputusan Menteri Perhubungan No.61 tahun 1993 tentang Rambu–rambu Lalu
Lintas di Jalan.
2. Jenis Rambu
Secara umum jenis rambu di jalan tol dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Rambu Peringatan
b. Rambu peringatan standar (sesuai Tabel I pada Keputusan Menteri Perhbungan No.
KM 61 thun 1993).
c. Rambu peringatan berupa kata-kata.
3. Rambu Larangan
a. Rambu larangan standar (sesuai Tabel II A pada Keputusan Menteri Perhbungan
No. KM 61 thun 1993)
b. Rambu larangan berupa kata-kata.
4. Rambu Petunjuk
a. Rambu Petunjuk Jurusan (RPJ) untuk menyatakan arah agar dapat mencapai suatu
tujun antara lain kota, daerah/wilayah.
b. Rambu Petunjuk bukan Jurusan untuk menyatakan fasilitas umum, batas wilayah
suatu daerah, situasi jalan dan sebagainya.
5. Ukuran Rambu
Rambu lalu lintas terbagi atas dua ukuran, yaitu:
Ukuran huruf yang digunakan mengacu pada Standard Alphabets for Highway Sign
and Pavement Marking dari Federal Highway Administration (FHWA 1977).
Rambu Petunjuk selain Jurusan (warna dasar biru) Menggunakan jenis huruf
kapital seri D atau E.
Rambu Petunjuk Jurusan (warna dasar hijau) Menggunakan jenis huruf kapital
seri E (m) untuk huruf awal dan selanjutnya huruf kecil seri Lc (lower case).
Rambu larangan (warna dasar putih) Menggunakan jenis huruf kapital seri D
atau E.
Rambu peringatan (warna dasar kuning) Menggunakan jenis huruf kapital seri
D atau E.
6. Warna Rambu
Warna yang digunakan dalam panel rambu sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
Kepmenhub No. 61 tahun 1993 tentang Rambu Lalu Lintas di Jalan. Warna-warna
tersebut adalah :
a. Rambu Peringatan
Warna dasar yang digunakan adalah kuning (reflektif) dengan tulisan, gambar
lambang dan garis tepi berwarna hitam.
b. Rambu Larangan
Warna dasar yang digunakan adalah putih (reflektif) dengan tepi berwarna merah
(reflektif) dan gambar lambang dan tulisan huruf berwarna hitam (reflektif).
Untuk rambu larangan berupa kata-kata warna dasar yang digunakan putih
(reflektif) dan garis tepi berwarna merah (reflektif) tebal 8 cm yang dimulai dari tepi
panel.
c. Rambu Perintah
Warna dasar yang digunakan adalah biru (reflektif) dan lambang atau tulisan putih
(reflektif) dan garis tepi berwarna putih (relflektif) dengan ketebalan 3 cm untuk
panel ukuran 2,0 x 3,0 m dan 5 cm untuk panel ukuran lebih besar. Garis tepi
dimulai dari tepi panel.
d. Rambu Petunjuk
Rambu petunjuk terdapat beberapa macam warna yang digunakan yaitu :
b. High Intensity (HI), digunakan pada tulisan, panah, garis tepi dan logo pengelola
jalan tol yaitu pada :
Rambu-rambu di road side, rambu bentuk standar dan rambu berupa kata-
kata.
Semua rambu–rambu di overhead (portal, kupu-kupu dan cantilever)
Semua rambu pada jalan dengan lajur lalu lintas lebih dari 2 lajur tiap arah.
a. Kantilever
Digunakan untuk Rambu Petunjuk Jurusan (RPJ) jalan tol luar kota 2 lajur.
b. Kupu – kupu
Digunakan untuk rambu petunjuk jurusan (RPJ) di gore atau pada titik diverging.
9. Penempatan Rambu
Agar tidak saling menutupi maka penempatan dan jarak antar rambu dengan rambu
lainnya diatur sebagai berikut :
Sistem Dimming
Pada saat Volume Traffic relatif rendah, yaitu antara jam 23.00 malam sampai
dengan 6.00 pagi maka secara otomatic timer system pada masing-masing
ballast lampu akan mengurangi daya pemakaian lampu hingga 50%, sehingga
seluruh lampu akan menyala lebih redup (tidak secara selang-seling), sehingga
ada penghematan daya listrik 50%.
Eav Emax
E av = Flux rata-rata
b. Sistem Timer
Penerangan lampu jalan secara otomatis akan hidup dan padam dengan memakai
systim timer (jam 18.00 – 6.00 hidup dan am 6.00 – 18.00 padam).
3. Perlengkapan Penerangan
a. Luminaire/Lampu
Lampu untuk penerangan jalan diperlukan persyaratan : umur panjang / awet,
efficiensi tinggi, warna yang bagus / tidak silau, fluktuasi temperture yang aman dan
mempunyai kapasitas lumen per lampu yang tinggi.
Untuk keperluan diatas dapat dipakai lampu “high pressure Sodium” dengan alasan
sebagai berikut :
c. Tiang Lampu
Tiang lampu adalah hot dip galvanis tiang baja berdasarkan Standard pada
”Perencanaan Jalan Kota”. Warna cat adalah warna netral alami sesuai dengan
“Peraturan cat Indonesia”.
Secara umum hubungan antara tinggi tiang dan jarak tiang Sesuai dengan panduan
dari Dirjen Bina Marga dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada lokasi memotong jalan maka kabel diberi pelindung ducting pipa besi
galvanis.
Tipe Kabel
1. NYY (3x2,5) mm2 : Didalam tiang
2. NYY + BCC 6 mm2 : Didalam parapet
3. NYFGBY : - Tiang ke tiang dan ke panel Distribusi
Maximum drop voltage / penurunan voltage yang terjadi pada kabel maximum
= 5%.
Grounding
Kabel grounding terdiri dari kawat tembaga telanjang dengan cross area yang
sama dengan kabel jaringan pada sistem, dengan minimum cross area = 6 mm2,
(BCC).
Batang tembaga dipakai ukuran : 10 mm 3 x 1,5 M dibenam sedalam minimum
1,20 M dibawah finished grade. Tahanan grounding maximum 5 ohm.
Adapun lokasi pemasangan rambu – rambu pada trase jalan rencana dapat dilihat pada
Gambar di bawah ini.
Gambar 5.17 Rencana Rambu dan Marka pada STA 0+000 – STA 0+300
Gambar 5.18 Rencana Rambu dan Marka pada STA 0+300 – STA 0+529