Anda di halaman 1dari 31

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Broiler merupakan ternak unggas yang dapat menghasilkan daging dalam

waktu yang singkat serta dapat mengkonsumsi makanan menjadi daging secara

efisien. Salah satu faktor yang menentukan efisien tidaknya produksi ternak

adalah jumlah ransum yang dikonsumsi untuk memproduksi satu kilogram berat

badan, semakin kecil rasionya berarti semakin efisien produksi ternak tersebut.

Jadi, broiler adalah ayam yang sengaja dibibitkan dan dikembangkan untuk

menghasilkan daging yang cepat, dibandingkan dengan ternak unggas lainnya.

Ransum unggas adalah bahan pakan yang bagian-bagiannya dapat dicerna

dan diserap oleh unggas. Untuk mendapatkan pertumbuhan ayam broiler yang

baik, maka perlu diperhatikan zat nutrisi pada ransumnya sebab komposisi ransum

yang baik mempengaruhi pertumbuhan ayam tersebut, akan tetapi tidak semua zat

makanan yang diberikan akan dapat dimanfaatkan.

Daun katuk mempunyai banyak khasiat terhadap kehidupan unggas

apalagi daun katuk kaya akan besi, provitamin A dalam bentuk -carotene,

vitamin C, minyak sayur, protein dan mineral lainnya yang sangat dibutuhkan

oleh ternak unggas untuk pertumbuhannya (Agustal, 1997). Dengan demikian

penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh tepung daun katuk dalam

ransum broiler terhadap konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi

ransumnya.

1
Permasalahan

Mengingat harga pakan semakin meningkat, perlu untuk memanfaatkan

pakan alternatif yang lebih murah dan terjangkau namun tetap memiliki

kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Salah satu diantaranya adalah

pemanfaatan tepung daun katuk yang kaya akan zat besi, provitamin A dalam

bentuk -carotene, vitamin C, protein dan mineral lainnya yang sangat dibutuhkan

oleh ternak unggas untuk pertumbuhannya.

Tepung daun katuk diketahui mengandung komposisi gizi yang baik,

namun belum diketahui penggunaannya dalam ransum berpengaruh terhadap

pertambahan berat badan, konsumsi dan konversi pakan pada broiler.

Hipotesis

Diduga bahwa broiler yang mendapat ransum mengandung berbagai level

tepung daun katuk berpengaruh terhadap pertambahan berat badan, konsumsi, dan

konversi pakan.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian

berbagai level tepung daun katuk terhadap pertambahan berat badan, konsumsi,

dan konversi pakan pada broiler.

Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada

masyarakat khususnya peternak mengenai kegunaan tepung daun katuk dalam

ransum dan pengaruhnya terhadap pertambahan berat badan, konsumsi, dan

konversi pakan pada broiler.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Ayam Broiler

Broiler merupakan istilah untuk memberi sebutan kepada ayam ras potong

atau ayam pedaging jenis jantan atau betina yang berumur sekitar 6-8 minggu

yang dipelihara secara intensif agar diperoleh produksi optimal (Irawan, 1996).

Sedangkan menurut Murtidjo (2003), bahwa daging ayam broiler dipilih sebagai

salah satu alternatif, karena seperti yang telah diketahui bahwa broiler sangat

efisien diproduksi. Jangka waktu 6-8 minggu ayam tersebut sanggup mencapai

berat hidup 1,5 kg 2 kg dan secara umum dapat memenuhi selera konsumen.

Menurut Rasyaf (2004), ayam pedaging adalah ayam jantan dan betina

muda yang berumur di bawah 8 minggu ketika dijual dengan bobot tubuh tertentu,

mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan

timbunan daging yang baik dan banyak. Kelebihan broiler sebagai ayam

pedaging adalah broiler yang berusia 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam

kampung dewasa dan bila dipelihara hingga berusia 8 bulan, bobotnya dapat

mencapai 2 kg. Berat sebesar itu sulit dicapai oleh ayam kampung dewasa

maupun ayam ras afkir usia 1,5 tahun. Selain itu masyarakat juga mengenal

broiler karena mempunyai rasa yang khas, empuk dan dagingnya banyak.

Hardjoswaro dan Rukminasih (2000) menyatakan bahwa ayam broiler

dapat digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara

khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat,

lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.

3
Rasyaf (2004) juga menyatakan bahwa ayam dan jenis unggas lainnya

membutuhkan sejumlah nutrisi yang lengkap untuk menunjang hidupnya, untuk

pertumbuhan dan untuk berproduksi. Unggas membutuhkan lebih dari 40

material kimiawi yang diklasifikasikan ke dalam enam kelas yakni karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Semuanya harus ada dalam ransum yang

dimakan kemudian dinyatakan bahwa kandungan nutrisi pada fase starter

mengandung protein 19,5 21,2 %, energi metabolisme 2851 3180 kkal/kg

ransum sedangkan finisher protein 22,0 22,7 % dan energi metabolisme 3290

3399 kkal/kg ransum.

Daun Katuk

Katuk (Sauropus androgynus) merupakan tumbuhan sayuran yang banyak

terdapat di Asia Tenggara. Tinggi tanaman katuk mencapai dua sampai tiga

meter, tumbuh di dataran rendah hingga 1.300 di atas permukaan laut. Daun

kecil, berwarna hijau gelap dengan panjang 5-6 cm. Bunganya berwarna merah

gelap atau kuning dengan bercak merah gelap dan berbunga sepanjang tahun.

Tumbuhan ini termasuk dalam suku menir-meniran (Phyllanthaceae). Klasifikasi

tanaman katuk sebagai berikut (Anonim, 2011) :

Kerajaan : Plantae

Divisi: : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpighiales

Famili : Phyllanthaceae

4
Genus: : Sauropus

Spesies : S. androgynus

Tanaman katuk (Sauropus androgynus) juga merupakan tanaman obat

yang selain mempunyai zat gizi tinggi, mengandung zat antibakteri, serta tidak

berbahaya bagi kesehatan manusia dan mengandung beta-karotin sebagai zat aktif

untuk warna karkas. Katuk sebagai sayuran mengandung zat gizi yang baik,

vitamin A dalam bentuk karotin terkandung didalamnya sebanyak 10020

mikrogram, vitamin C 164 mg, mineral 334,5 mg, protein kasar 6,4%, dan energi

59 kalori dalam 100 g daun katuk (Anonim. 2011).

Menurut Agustal, dkk (1997) daun katuk kaya akan besi, provitamin A

dalam bentuk -carotene, vitamin C, minyak sayur, protein dan mineral lainnya.

Dalam 100 gram daun katuk mengandung 72 kalori, 70 gram air, 4,8 gram

protein, 2 gram lemak, 11 gram karbohidrat, 2,2 gram mineral, 24 mg kalsium, 83

mg fosfor, 2,7 mg besi, 31,11 g vitamin D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg

vitamin C.

Komposisi kimia daun katuk dapat dilihat pada Tabel 1. sebagai berikut :

Tabel 1. Komposisi Kimia Daun Katuk

Komponen gizi Kadar

Energi (kkal) 59

5
Protein (g) 4,8-6,4

Lemak (g) 1,0

Karbohidrat (g) 9,9-11,0

Serat (g) 1,5

Abu (g) 1,7

Kalsium (mg) 204

Fosfor (mg) 83

Besi (mg) 2,7-3,5

Vitamin A (SI) 10.370

Vitamin C (mg) 164-239

Vitamin B1 (mg) 0,1

Vitamin B6 (mg) 0,1

Vitamin D (g) 3.111

Karotin (mcg) 10.020

Air (g) 81

6
Sumber : Santoso (2009).

Selain zat-zat gizi tersebut di atas, daun katuk juga mengandung senyawa

metabolik sekunder yaitu monomethyl succinate dan cis-2-methyl cyclopentanol

asetat (ester), asam benzoat dan asam fenil malonat (asam karboksilat), 2-

pyrolodinon dan methyl pyroglutamate (alkaloid), saponin, flavonoid dan tanin.

Senyawa-senyawa tersebut sangat penting dalam metabolisme lemak, karbohidrat

dan protein dalam tubuh (Santoso, 1998).

Daun katuk mengandung tanin dan saponin yang patut mendapat

perhatian. Secara umum, tanin menyebabkan gangguan pada proses pencernaan

dalam saluran pencernaan sehingga dapat menurunkan pertumbuhan. Selain itu,

saponin menurunkan permeabilitas sel mukosa usus halus, yang berakibat

penghambatan transport nutrisi aktif dan menyebabkan pengambilan/penyerapan

zat-zat gizi dalam saluran pencernaan menjadi terganggu. Unggas lebih sensitif

terhadap saponin daripada ternak monogastrik lainnya. Hal ini yang mungkin

menyebabkan turunnya pertambahan berat badan (Sutedja. 1997).

Pertambahan Berat Badan

Pertumbuhan pada hewan bermula dari sel telur yang tselah dibuahi dan

berlanjut sampai dewasa. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran

7
kenaikan berat yang dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang tiap minggu

atau tiap waktu lain (Tilman dkk, 1986).

Pertumbuhan murni, mencakup pertumbuhan dalam bentuk berat jaringan-

jaringan pembangun seperti: tulang, jantung, otak, dan semua jaringan tubuh

lainnya (kecuali jaringan lemak) dan alat-alat tubuh. Selanjutnya dinyatakan oleh

Anggarodi (1994) bahwa pertumbuhan murni adalah suatu penambahan jumlah

protein dan zat-zat mineral yang tertimbun dalam tubuh, sedangkan penambahan

lemak/penambahan air bukanlah pertumbuhan murni.

Menurut Morison (1967), pertambahan berat badan adalah merupakan

akibat membesarnya jaringan-jaringan otot dan jaringan lainnya yang terbentuk

dengan peningkatan bahan-bahan seperti lemak, karbohidrat, mineral, dan air. Hal

ini terjadi pada ternak yang masih muda, sedang pada ternak yang dewasa dalam

bentuk penimbunan lemak yang lebih banyak.

Pertambahan berat badan kerap kali digunakan sebagai pegangan

produksi bagi peternak dan para ahli. Bila pertambahan berat badan yang

diperoleh peternak lebih baik dari standar maka menguntungkan peternak itu.

Namun, perlu diingat bahwa ada bibit ayam yang memang pertambahan berat

badannya tinggi tetapi tingkat konsumsinya juga tinggi, padahal biaya untuk

ransum adalah yang terbesar dalam suatu peternakan (biaya variabel). Oleh

karena itu, pertambahan berat badan harus pula dikaitkan dengan konsumsi

ransumnya (Rasyaf, 2004).

Pada masa pertumbuhan, broiler harus memperoleh makanan yang banyak

mengandung protein, zat ini berfungsi sebagai zat pembangun, pengganti sel yang

8
rusak dan berguna untuk pembentukan telur (Wibowo, 1996). Sedangkan Wahyu

(1992) menyatakan bahwa, kebutuhan protein per hari untuk broiler yang sedang

bertumbuh dibagi menjadi tiga bagian yaitu protein yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan jaringan, protein untuk hidup pokok dan protein untuk pertumbuhan

bulu.

Pertumbuhan sangat erat hubungannya dengan konsumsi, dan diperkirakan

63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan karena menurunnya konsumsi

ransum dari ayam. Temperatur tinggi dan saat ayam dalam keadaan stress, akan

menurunkan pertumbuhannya karena konsumsi ransum yang menurun (Leeson

dan Summer, 1991).

Waksito (1983) mengemukakan bahwa ransum merupakan salah satu

faktor yang menentukan kecepatan pertumbuhan, oleh karena itu untuk mencapai

pertumbuhan yang optimal sesuai dengan potensi genetik diperlukan suatu ransum

yang mengandung cukup unsur gizi secara kualitatif dan kuantitatif. Dengan

demikian ada hubungan antara pertumbuhan dengan konsumsi ransum. Sejalan

dengan itu Tilman, dkk (1986) menyatakan bahwa makanan merupakan suatu

masalah yang penting dalam suatu usaha peternakan, sebab untuk mencapai

perkembangan dan pertumbuhan dibutuhkan sejumlah zat makanan yang bermutu,

baik kualitas maupun kuantitasnya.

Konsumsi Ransum

Konsumsi pakan merupakan ukuran untuk mengetahui jumlah pakan yang

dikonsumsi seekor ternak setiap ekor per hari. Kebutuhan unggas yang paling

9
utama yaitu energi dan protein, sedikit vitamin dan mineral. Zat-zat tersebut

diperoleh unggas dari pakan/ransum yang dikonsumsi setiap hari (Wahyu, 1984).

Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi

yang ada di dalam ransum yang telah tersusun dari berbagai bahan makanan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi ayam broioler (Rasyaf, 1994). Menurut Tilman, dkk

(1986), sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi pakan untuk memperoleh

energi sehingga pakan yang dimakan tiap harinya cenderung berhubungan dengan

kadar energinya. Wahyu (1984) menyatakan bahwa konsumsi akan meningkat

bila diberi ransum yang berenergi rendah dan menurun bila diberi ransum yang

berenergi tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum broiler

diantaranya besar dan bangsa ayam, luas kandang, tingkat energi dan protein

dalam ransum. Church (1979), menyatakan bahwa faktor yang dapat

mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas dipengaruhi oleh bau,

rasa, tekstur dan warna pakan yang diberikan.

Konsumsi ayam dapat pula dipengaruhi oleh kapasitas tembolok.

Meskipun kebutuhan energinya belum terpenuhi, namun ayam akan berhenti

makan apabila temboloknya sudah penuh (Tilman, dkk, 1986). Rasyaf (1992),

menyatakan bahwa tembolok merupakan alat pencernaan pertama sebelum masuk

ke proses berikutnya. Sebagai alat pencernaan pertama yang sifatnya sebagai

penampung, kapasitas tembolok tidak banyak atau terbatas.

Cahyono (2001) menyatakan bahwa ransum yang baik harus mengandung

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah berimbang. Selain

memperhatikan kualitas pemberian ransum juga harus sesuai dengan umur ayam

10
karena nilai gizi dan jumlah ransum yang diperlukan pada setiap pertumbuhan

berbeda. Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi makanan yang diberikan pada

dasarnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, membentuk jaringan tubuh,

mengganti bagian-bagian yang rusak dan selanjutnya untuk keperluan produksi.

Bahan makanan yang tersedia dan terbanyak dimakan oleh bangsa unggas

berasal dari biji-bijian, limbah pertanian, dan sedikit dari hasil hewani serta

perikanan. Oleh karena itu, bahan makanan yang digunakan hendaknya tidak

bersaing dengan kebutuhan manusia dan mudah didapatkan serta harganya relatif

murah (Rasyaf, 2004).

Kebutuhan nutrisi broiler periode starter dan finisher sesuai Standar

Nasional Indonesia (2006) dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3, sebagai berikut :

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Broiler Periode Starter


No Parameter Satuan Persyaratan
.
1. Kadar air % Maks. 14,0
2. Protein kasar % Min. 19,0
3. Lemak kasar % Maks. 7,4
4. Serat kasar % Maks. 6,0
5. Abu % Maks. 8,0
6. Kalsium (Ca) % 0,90 1,20
7. Fosfor (P) total % 0,60 1,00
8. Energi Metabolisme (EM) Kkal/Kg Min. 2900
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2006)a

Tabel 3. Kebutuhan Nutrisi Broiler Periode Finisher

No Parameter Satuan Persyaratan


.
1. Kadar air % Maks. 14,0
2. Protein kasar % Min. 18,0
3. Lemak kasar % Maks. 8,0
4. Serat kasar % Maks. 6,0

11
5. Abu % Maks. 8,0
6. Kalsium (Ca) % 0,90 1,20
7. Fosfor (P) total % 0,60 1,00
8. Energi Metabolisme (EM) Kkal/Kg Min. 2900
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2006)b
Konversi Ransum

Konversi ransum adalah jumlah makanan yang habis dikonsumsi oleh

seekor ayam dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai bentuk dan berat badan

optimal (Irawan, 1996). Selanjutnya Rasyaf (2004) menyatakan bahwa, konversi

ransum (Feed Converse Ratio) adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum

pada satu minggu dengan pertambahan bobot badan yang dicapai pada minggu

itu, bila rasio kecil berarti pertambahan bobot badan ayam memuaskan atau ayam

makan dengan efisien. Hal ini dipengaruhi oleh besar badan dan bangsa ayam,

tahap produksi, kadar energi dalam ransum, dan temperatur lingkungan

Konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau

menyusun ransum yang berkualitas. Nilai konversi ransum minimal dipengaruhi

oleh tiga faktor yaitu : 1) kualitas ransum, 2) teknik pemberian pakan, 3) angka

mortalitas. Perlu disadari bahwa kunci keberhasilan usaha dalam budidaya broiler

adalah angka konversi ransum (Abidin, 2002).

Konversi ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunkan untuk

menilai efisiensi penggunaan ransum serta kualitas ransum. Konversi ransum

adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan

bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Salah satu ukuran efisiensi adalah

dengan membandingkan antara jumlah ransum yang diberikan (input) dengan

hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur (output) (Rasyaf, 1995).

12
Makin sehat broiler semakin baik konversi ransumnya dan jumlah ransum

yang dikonsumsi juga meningkat. Peningkatan konsumsi dan konversi ransum

bertujuan untuk memperoleh berat badan yang maksimal. Namun pada saat udara

panas, kebutuhan air lebih cenderung meningkat dibanding pada musim hujan,

akibatnya ayam tidak terlalu banyak mengkonsumsi ransum. Pada udara yang

dingin ransum yang dikonsumsi lebih banyak digunakan untuk mempertahankan

suhu badan dari pada diubah menjadi daging (Tobing, 2004).

Kemampuan ayam broiler mengubah ransum menjadi bobot hidup jauh

lebih cepat dibandingkan dengan ayam kampung. Nilai konversi makanannya

sewaktu dipanen dapat mencapai nilai dibawah 2. Nilai ini berarti bahwa jika

normalitas sekelompok ayam broiler hanya memerlukan ransum kurang dari 2 kg

untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup (Amrullah, 2003).

Konversi ransum sebaiknya rata-rata 2 kg pakan per kg daging atau bila

kurang dari 2 kg lebih baik. Beberapa contoh telah mencatat konversi 1,8

meskipun hal ini tidak terlalu umum (Blakely dan Bade, 1992). Sementara Rasyaf

(2004), menyatakan bahwa bila hendak memperbaiki sudut konversi, sebaiknya

dipilih angka konversi yang terendah. Akan tetapi, angka itu berada dari masa

awal ke masa akhir karena di masa akhir pertumbuhan broiler menjadi lambat atau

mulai menurun setelah usia 4 minggu sedangkan ransumnya bertambah terus.

Nilai konversi ransum berhubungan dengan biaya produksi, khususnya

biaya ransum, karena semakin tinggi konversi ransum maka biaya ransum akan

meningkat karena jumlah ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan bobot

badan dalam jangka waktu tertentu semakin tinggi. Nilai konversi ransum yang

13
tinggi menunjukkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan bobot

badan dan efisiensi ransum yang semakin rendah (Card and Nesheim, 1997).

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari

2012 di Laboratorium Industri dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin, Makassar. Analisa proksimat bahan pakan dilakukan di

14
Laboratorium Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah Day Old Chick (DOC)

strain Cobb sebanyak 64 ekor, jagung kuning, dedak padi, limbah udang, ampas

tahu, top mix, tepung ikan, kacang kedelai, minyak kelapa, bungkil kelapa, tepung

daun katuk,viterna, vaksin gumboro, vaksin ND B1 , dan vaksin ND lasota.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan, kandang koloni (colony cage)

yang terbuat dari kayu beralas ran kawat dan berukuran 4m x 2m yang terbagi

menjadi 16 petak dan ukuran tiap 1m x 0,5m, tiap petak masing-masing

dilengkapi dengan tempat makan dan minum, balon pijar 40 watt serta peralatan

lain seperti timbangan, oven, gilingan sampel, baskom, plastik, dan talang.

Metode Penelitian

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

(Gazper, 1991) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan, dimana 4 perlakuan

terdiri dari :

P0 : Ransum Dasar (Kontrol)

15
P1 : Ransum Dasar Mengandung 1% Tepung Daun Katuk

P2 : Ransum Dasar Mengandung 2% Tepung Daun Katuk

P3 : Ransum Dasar Mengandung 3% Tepung Daun Katuk

Kandungan nutrisi setiap jenis bahan pakan yang digunakan dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :

Tabel 4. Kandungan Nutrisi Setiap Bahan Pakan Yang Digunakan Selama


Penelitian
No PK EM LK SK Ca Tanin
Jenis pakan P(%)
. (%) (Kkal/kg) (%) (%) (%) (%)
1. Jagung** 9 3320 3.7 1.9 0.03 0.29 -
2. Dedak Padi** 12 1630 13 12 0.12 0.21 -
3. Limbah Udang* 21.14 912.75 2.34 29.49 14.63 1.75 -
4. Ampas Tahu* 28.73 2838.75 7.24 22.87 1.36 0.57 -
5. Tepung Ikan* 43.01 1904.25 10.42 1.09 11.75 5.37 -
6. Kacang Kedele* 42.73 4117.5 27.07 11.99 0.56 0.45 -
7. Minyak ** 0 9000 0 0 0 0 -
8. Bungkil Kelapa* 22.26 3292.5 11.65 18.47 0.29 0.53 -
9. Top Mix 0 0 0 0 0 0 -
10. T. Daun Katuk* 27.87 1834 6.09 14.72 3.28 0.95 1,03
Sumber : * = Analisis Laboratorium Kimia Makanan Ternak, 2011
** = Ichwan (2003)

Komposisi bahan pakan dan kandungan nutrisi ransum setiap perlakuan

pada broiler dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Nutrisi Ransum Setiap Perlakuan


PERLAKUAN
JENIS PAKAN P0 P1 P2 P3
(%) (%) (%) (%)
Jagung 54.5 54.5 54.5 54.5
Dedak Padi 9 9 9 9
Limbah Udang 0.7 0.7 0.5 0.5
Ampas Tahu 2.8 2.8 2 1.5
Tepung Ikan 13 13 12.5 12.5

16
Kacang Kedele 7.5 7 7.5 7
Minyak 1 1 1 1
Bungkil Kelapa 10.5 10 10 10
Top Mix 1 1 1 1
Total (%) 100 100 100 100
Tepung Daun Katuk 0 1 2 3
Kandungan Nutrisi Ransum
PK (%) 18.07 18.02 18.03 18,00
EM (Kkal/kg) 3034 3015 3020 3004
LK (%) 8.01 7.8 7.9 7.8
SK (%) 5.94 5.93 5.89 5.87
Ca (%) 1.76 1.79 1.73 1.76
P (%) 0.99 0.99 0.97 0.98
Keterangan : Hasil Perhitungan
Kandungan Nutrisi Setiap
Perlakuan Berdasarkan SNI
(2006)

B. Pembuatan Tepung Daun Katuk

Prosedur pembuatan tepung daun katuk dapat dilihat pada diagram alir di

bawah ini :

Daun katuk segar

Pengeringan dalam oven pada


suhu 50-60C selama 72 jam

Dihaluskan menggunakan
gilingan sampel

17
Tepung daun
katuk siap digunakan

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Daun Katuk.

C. Pemeliharaan Broiler

Day Old Chick (DOC) strain Cobb adalah hasil persilangan murni ayam

Cobb yang memang dikhususkan untuk memproduksi daging, DOC ini ditetaskan

di PT. Satwa Indo Perkasa, Gowa. Persiapan kandang penelitian dilakukan

sebelum DOC datang. Persiapan dilakukan dengan pengapuran lantai dan dinding

kandang, alas kandang menggunakan serbuk gergaji yang ditutup dengan surat

kabar, penyemprotan desinfektan untk membasmi mikroba atau parasit dalam

kandang, pemasangan alat pemanas dengan menggunakan balon pijar 40 watt

sebanyak 16 buah.

Day Old Chick (DOC) yang digunakan berjumlah 64 ekor. Pada saat

masuk DOC diistirahatkan dan diberi air gula pasir untuk memenuhi kebutuhan

energi yang hilang dalam perjalanan dan empat jam kemudian DOC diberi pakan

berupa butiran dan air minum. Day Old Chick (DOC) ditempatkan dalam kandang

litter yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum serta balon pijar.

Pemeliharaan broiler melalui 2 tahap pemeliharaan, pertama broiler

diberikan ransum butiran selama 10 hari dan pemeliharaan ke 2 yaitu umur 11

sampai 39 hari diberikan ransum mengandung perlakuan tepung daun katuk.

18
Broiler sebelum dimasukkan dalam petak kandang ditimbang untuk mendapat

berat badan homogen, dan setiap petak kandang diisi 4 ekor broiler. Penempatan

perlakuan dilakukan secara acak sebelum broiler dimasukkan dalam petak

kandang.

Vaksinasi ND dengan vaksin strain ND B1 melalui tetes mata pada umur 4

hari. Vaksin gumboro pada umur 12 hari melalui air minum dan vaksin ND lasota

pada umur 21 hari melalui air minum.

D. Parameter yang diukur

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah :

1. Konsumsi pakan. (Rasyaf, 2004) :


Ransum yang diberikan (g) Ransum sisa (g)
Konsumsi pakan (g/e/mg) =
Jumlah Ayam (e)

2. Pertambahan Berat Badan (Rasyaf, 2004 ):


PBB (g) = BBt (g) BBt-1 (g)
Keterangan :
PBB = Pertambahan berat badan
BBt = Berat badan akhir minggu (berat akhir)
BBt-1 = Berat badan minggu sebelumnya (berat awal)
t = Waktu pengukuran ( satu minggu )
3. Konversi ransum
Konsumsi Ransum (g/mg)
Konversi ransum =
Pertambahan Berat Badan (g/mg)

E. Pengolahan Data

Data yang diperoleh di analisis dengan menggunakan analisis ragam sesuai

dengan rancangan Acak Lengkap (RAL) dan jika ada perlakuan yang memberi

pengaruh nyata akan di uji dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Gasperz, 1991).

Adapun model matematikanya yaitu :

19
Yij = + + ij

Keterangan :

Yij = Hasil pengamatan dari perubah pada penggunaan tepung daun


katuk ke-i dengan ulangan ke-j.

= Rata-rata pengamatan

= Pengaruh perlakuan ke-i

ij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Dimana : i = 1, 2, 3 dan 4

J = 1, 2, 3 dan 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata konsumsi ransum, pertambahan berat badan, dan konversi

ransum broiler dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata Konsumsi Ransum, Pertambahan Berat Badan, dan Konversi


Ransum Broiler (g/ekor/minggu) Selama Penelitian.

PERLAKUAN
PARAMETER
P0 P1 P2 P3

Konsumsi Ransum
687,03 696,72 697,66 694,69
(g/ekor/minggu)

Pertambahan
Berat Badan 255,31a 325,94b 359,84c 308,28b
(g/ekor/minggu)

Konversi Ransum 2,13 2,22 2,29 2,24

Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
nyata ( P<0,05).

20
Konsumsi Ransum

Analisis ragam menunjukkan bahwa broiler yang mendapat ransum

mengandung berbagai level tepung daun katuk tidak berpengaruh nyata (P>0,05)

terhadap konsumsi ransum. Rata- rata konsumsi ransum broiler pada perlakuan

P0 = 687,03 g/ekor/minggu, P1 = 696,72 g/ekor/minggu, P2 = 697,66

g/ekor/minggu, P3 = 694,69 g/ekor/minggu.

Konsumsi ransum broiler yang mendapat perlakuan tepung daun katuk

lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Hal ini diduga karena pengaruh

kandungan senyawa fitokimia (saponin, flavonoid, dan tanin) yaitu suatu zat

kimia alami yang terdapat dalam tumbuhan atau tanaman yang mempunyai fungsi

faali luar biasa (Kumar et al, 2005) yang dapat meningkatkan konsumsi pakan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (2009), bahwa katuk (Sauropus

androgynus) merupakan tanaman obat-obatan tradisionil yang mempunyai zat gizi

tinggi, sebagai antibakteri, dan mengandung beta karoten sebagai zat aktif warna

karkas. Senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya adalah : saponin,

flavonoid, dan tanin. Hal ini didukung oleh Karyadi (1997), bahwa setiap

tanaman yang memiliki kandungan senyawa aktif seperti minyak atsiri, saponin,

flavonoid, dan tanin dapat meningkatkan kecernaan zat makanan didalam

saluran pencernaan sehingga zat makanan yang dikonsumsi akan dapat dicerna,

diserap dan dimanfaatkan secara optimal untuk pembentukan jaringan tubuh,

produksi dan reproduksi. Hal ini yang menyebabkan peningkatan konsumsi

ransum broiler selama pemeliharaan.

21
Pada Tabel 6. terlihat bahwa konsumsi pakan meningkat pada perlakuan

P0 hingga P2, namun cenderung menurun pada perlakuan P3. Hal ini diduga

karena rasa sepat atau pahit pada tanin yang terkandung dalam daun katuk.

Sebagaimana pernyataan Kumar et al (2005), bahwa tanin merupakan sejenis

kandungan tumbuhan yang bersifat fenol mempunyai rasa sepat dan mempunyai

kemampuan menyamak kulit. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai

pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak dan dapat

meracuni hati, karena tanin dapat mengikat protein, asam amino yang spesifik,

dan mineral fosfor sehingga menyebabkan penurunan konsumsi pakan.

Pertambahan Berat Badan

Analisis ragam memperlihatkan bahwa penambahan berbagai level tepung

daun katuk berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap pertambahan berat badan. Rata-

rata pertambahan berat badan broiler perlakuan P0 = 255,31 g/ekor/minggu, P1 =

325,94 g/ekor/minggu, P2 = 359,84 g/ekor/minggu, P3 = 308,28 g/ekor/minggu.

Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P0 nyata lebih rendah terhadap

perlakuan P1,P2, maupun P3, begitu pula antara perlakuan P1 terhadap P2 dan

perlakuan P3 terhadap P2, tetapi antara perlakuan P1 terhadap P3 tidak berbeda

nyata. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan yang menggunakan tepung

daun katuk pertambahan berat badan lebih tinggi dari perlakuan kontrol,

meskipun pertambahan berat badan menurun pada perlakuan P3 (Tabel, 6).

Kandungan tanin daun katuk dalam ransum, nampaknya tidak berpengaruh

terhadap pertambahan berat badan karena bila dihitung kandungan tanin daun

katuk tiap perlakuan ternyata masih dibawah batas toleransi yaitu P1 = 0,03%, P2

22
= 0,06%, dan P3 = 0,09% . Hal ini didukung oleh pendapat Widodo (2005),

bahwa pada unggas pemberian pakan yang mengandung tanin sebesar 0.33% tidak

membahayakan, akan tetapi apabila kadar tanin dalam pakan mencapai 0,5% atau

lebih akan memberikan pengaruhnya yaitu menekan pertumbuhan ayam, tanin

menekan retensi N dan menyebabkan menurunnya daya cerna asam-asam amino

yang sebenarnya dapat diserap oleh vili-vili usus dan dimanfaatkan untuk

pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Sedangkan Kumar et al (2005)

menyatakan bahwa batas toleransi kadar tanin dalam ransum ayam broiler sebesar

0,26%.

Kurva respon penambahan berbagai level tepung daun katuk terhadap

pertambahan berat badan broiler dapat dilihat pada Gambar 2.

Pertambahan Berat Badan

400.00

350.00
f(x) = - 30.55x^2 + 110.92x + 252.88
300.00 R = 0.86
250.00

200.00
polynomial
150.00

100.00

50.00

0.00
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Perlakuan

Gambar 2. Kurva respon pengaruh penambahan berbagai level tepung daun katuk
terhadap pertambahan berat badan.

23
Berdasarkan hasil analisis kurva respon di atas diketahui bahwa

pertambahan berat badan memberikan respon secara kuadratik terhadap

penambahan berbagai level tepung daun katuk. Besarnya hubungan korelasi

penambahan daun katuk terhadap pertambahan berat badan yaitu 85,8 %. Hal ini

memperlihatkan bahwa pada perlakuan P0 hingga P2 mengalami peningkatan

pertambahan berat badan, namun menurun pada perlakuan P3. Menurunnya

pertambahan berat badan pada perlakuan P3 diduga karena menurunnya juga

konsumsi ransum yang berarti bahwa tingginya pertambahan berat badan

dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi broiler. Hal ini sesuai pendapat

Rasyaf (2004), bahwa pertumbuhan yang cepat adakalanya didukung dengan

konsumsi ransum yang banyak pula. Hal ini didukung juga oleh pendapat Jull

(1978), bahwa untuk mencapai tingkat pertumbuhan optimal sesuai dengan

potensi genetik, diperlukan makanan yang mengandung unsur gizi secara

kualkitatif dan kuantitatif, denga demikian ada hubungan kecepatan pertumbuhan

dengan jumlah konsumsi makanan.

Konversi Ransum

Analisis ragam memperlihatkan bahwa penambahan berbagai level tepung

daun katuk tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap konversi ransum.

Konversi ransum berkaitan dengan konsumsi pakan dan pertambahan berat badan.

Konversi ransum pada P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 2,13 ; 2,22 ; 2,29 ;

2,26. Nilai konversi ransum pada penelitian ini kurang efisien, karena nilai dari

konversi ransum selama penelitian diatas 2 yang berarti bahwa ransum yang

dikonsumsi lebih banyak sementara pertambahan berat badan rendah. Hal ini

24
mungkin disebabkan karena kandungan nutrisi ransum yang dikonsumsi tidak

memenuhi kebutuhan untuk menaikkan berat badan yang lebih tinggi pada

minggu ke enam. Sedangkan pendapat Rasyaf (2004) bahwa konversi pakan yang

dianggap baik untuk ayam pedaging umur 5 minggu yaitu antara 1,91 sampai

2,06. Tingginya konversi ransum yang diperoleh dalam penelitian ini diduga

karena pemeliharaan lebih lama sehingga ransum yang dikonsumsi lebih banyak

sementara pertambahan berat badan menurun.

Semakin baik mutu ransum, maka semakin kecil pula konversi ransumnya.

Baik tidaknya mutu ransum ditentukan oleh seimbang tidaknya zat gizi pada

ransum itu dengan yang diperlukan. Hal ini didukung oleh pendapat Anggorodi

(1994) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya konversi ransum sangat

ditentukan oleh keseimbangan antara energi metabolisme dengan zat-zat nutrisi

terutama protein dan asam-asam amino. Menurut Card dan Neisheim (1972) nilai

konversi ransum yang tinggi menunjukkan jumlah ransum yang dibutuhkan untuk

menaikkan bobot badan semakin meningkat dan efisiensi ransum semakin rendah.

25
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Penambahan tepung daun katuk dalam ransum tiap perlakuan tidak berpengaruh

nyata terhadap konsumsi dan konversi ransum pada broiler.


2. Pertambahan berat badan paling tinggi diperoleh pada pemberian tepung daun

katuk level 2% .

Saran

Penambahan tepung daun katuk dapat digunakan hingga level 2 % ke

dalam ransum broiler, namun perlu dipertimbangkan konversi nilai kecernaannya

dan perlu perhitungan efisiensi ekonomisnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Pedaging. Agromedia


Pustaka, Jakarta.

Agustal, A., M. Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak
daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr dengan GCMS. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia 3 (3): 31-33.

Amrullah, I. K. 2003. Manajemen Ternak Ayam Broiler. IPB-Press, Bogor.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Anonim, 2011. Katuk. http://id.wikipedia.org/wiki/Katuk. Tanggal Akses : Senin,


17 Oktober 2011.

Blakely, J. dan H.D, Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Cahyono, B. 2001. Ayam Buras Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.

27
Card, L. E. and M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Ed. Lea and
Febiger. Philadelphia. California

Church, D. C. 1979. Livestock Feed and Feeding. Durhan and Cowney, Inc.
Portland. Oregon.

Cheeke, P. R. 1989. Toxicants of Plant Origin. Volume III, Protein and Amino
Acid. CRC Press, Inc., 2000 Corporate Blvd., N. W., Boca Raton, Florida.
UnitedState.

Gaspersz, A. 1991. Metode Perancangan Percobaan. CV.Armico, Bandung.


Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih, M.S., 2000. Meningkatkan Produksi Daging
Unggas. Penebar Swadaya. Yogyakarta.
Ichwan, W. 2003. Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Irawan, A. 1996. Ayam-Ayam Pedaging Unggul. CV. Aneka Solo.
Jull, M.A., 1978. Poultry Husbandry 4th Edition. M Graw. Hill Company Inc.,
Danville, Illionis.
Karyadi, E. l997. Khasiat Fitokimia Bagi Kesehatan. Hal : l5, Kol : 1-7, PT.
Gramedia, Jakarta.
Kumar, V, A. V. Elangovan, and A. B. Mandal. 2005. Utilization of reconstitued high-
tanin sorghum in the diets of broiler chicken. J. Anim. Sci. 18 (4): 538-544.

Lesson, S. and J. D. Summers 1991. Commercial Poultry Nutrition. University


Books. Guelph. Canada.

Morrison, F.B. 1967. Feed and Feeding. The Morrison Publishing Co. Clinton,
Iowa, USA.

Murtidjo, B.A., 2003. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.

Rasyaf, M. 1992. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging . Kanisius,


Yogyakarta.

_________. 1994. Makanan ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.

_________. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging. PT Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

_________. 2004. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.

28
Santoso, U. 1998. Effect of early feed restriction on growth, body composition and
lipid accumulation in mixed-sex broiler. Research Report. Bengkulu
University, Bengkulu.

_________, 2009. Manfaat Daun Katuk Bagi Kesehatan Manusia Dan


Produktivitas Ternak.Http://Uripsantoso.Wordpress.Com/2009/08/24/Manf
aat-Daun-Katuk-Bagi-Kesehatan-Manusia-Dan-Produktivitas-Ternak/.
Tanggal Akses : Senin, 17 Oktober 2011.

Standar Nasional Indonesia [SNI]a. 2006. Pakan Ayam Ras Pedaging (Broiler
Starter). http://ditjennak.go.id/regulasi%5CSNI%20PAKAN%20% AYAM
%20PEDAGING%20ANAK.pdf. Tanggal Akses: 16 Oktober 2011.

b
. 2006. Pakan Ayam Ras Pedaging Masa Akhir (Broiler Finisher).
http://ditjennak.go.id/regulasi%5CSNI%20PAKAN%20%AYAM
%20PEDAGING%20TUA.pdf. Tanggal Akses: 16 Oktober 2011.

Sutedja, L., L. B. S. Kardono dan H. Agustina. 1997. Sifat Antiprotozoa daun


katuk (Sauropus androgynus Merr). Warta Tumbuhan Obat 3(3): 47-49.

Tillman, A.P., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S.


Lebdosoekodjo, 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Tobing, V. 2004. Beternak Ayam Broiler Bebas Antibiotik Murah dan Bebas
Residu. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wahyu, J. 1984. Penuntun Praktis Beternak Ayam. Cetakan ke-4, Fakultas


Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

_________. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Penerbit Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Waskito, M.W. 1983. Pengaruh Berbagai Faktor Lingkungan Terhadap Gula


Tumbuhan Ayam Broiler. Disertasi. Universitas Padjajaran, Bandung.

Wibowo, S. 1996. Petunjuk Beternak Ayam Buras. Gramedia Press, Yogyakarta.

Widodo, W., 2005. Tanaman Beracun Dalam Kehidupan Ternak Edisi Pertama.
Universitas Muhammadiyah, Malang.

29
Makalah Hasil Penelitian

PERTAMBAHAN BERAT BADAN, KONSUMSI DAN


KONVERSI PAKAN BROILER YANG MENDAPAT RANSUM
MENGANDUNG BERBAGAI LEVEL TEPUNG DAUN KATUK
(Sauropus androgynus)

Oleh :

NURUL FAJRI
I 211 08 287

30
FAKULTAS PERTERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012

31

Anda mungkin juga menyukai