Swamedikasi
Swamedikasi
Keinginan untuk merawat diri, mengurus keluarga yang sakit, kurang puas terhadap
pelayanan kesehatan yang tersedia, dan semakin banyaknya pilihan obat merupakan
beberapa contoh faktor yang mendukung pelaksanaan praktik
swamedikasi (Phalke et al., 2006). Masyarakat berharap dapat lebih terlibat aktif
dalam pengelolaan kesehatan diri dan keluarga. Di zaman modern hal tersebut dapat
disimpulkan dengan dua alasan utama, yaitu ketersediaan informasi yang dapat
diakses bebas melalui media manapun serta keterbatasan waktu yang dimiliki oleh
masyarakat. Dengan begitu, dimanapun berada, masyarakat cenderung dapat mengatasi
masalah kesehatan yang sifatnya sederhana dan umum diderita. Selain itu, cara ini
terbukti lebih murah dan lebih praktis (BPOM, 2004).
Agar penggunaan obat tanpa resep dapat berjalan aman dan efektif, masyarakat harus
melaksanakan beberapa fungsi yang biasanya dilakukan secara profesional oleh dokter
saat mengobati pasien dengan obat etikal. Fungsi tersebut antara lain : mengenali gejala
dengan akurat, menentukan tujuan dari pengobatan, memilih obat yang akan digunakan,
mempertimbangkan riwayat pengobatan pasien, penyakit yang menyertai dan penyakit
kambuhan, memonitor respon dari pengobatan dan kemungkinan terjadinya ADR (WHO,
2000).
Berdasarkan dua kriteria diatas, kelompok obat yang baik digunakan untuk
swamedikasi adalah obat-obat yang termasuk dalam obat Over the Counter (OTC)
dan Obat Wajib Apotek (OWA). Obat OTC terdiri dari obat-obat yang dapat
digunakan tanpa resep dokter, meliputi obat bebas, dan obat bebas terbatas.
Sedangkan untuk Obat Wajib Apotek hanya dapat digunakan dibawah pengawasan
Apoteker (BPOM, 2004).
a. Obat Bebas Obat bebas
adalah obat yang dijual secara bebas diwarung kelontong, toko
obat dan apotek. Pemakaian obat bebas ditujukan untuk mengatasi penyakit ringan
sehingga tidak memerlukan pengawasan dari tenaga medis selama diminum sesuai
petunjuk yang tertera pada kemasan, hal ini dikarenakan jenis zat aktif pada obat
bebas relatif aman. Efek samping yang ditimbulkan pun minimum dan tidak
berbahaya. Karena semua informasi penting untuk swamedikasi dengan obat bebas
tertera pada kemasan atau brosur informasi di dalamnya, pembelian obat sangat
disarankan dengan kemasannya. Logo khas obat bebas adalah tanda berupa lingkaran
hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Yang termasuk obat golongan ini contohnya
adalah analgetik antipiretik (parasetamol), vitamin dan mineral (BPOM, 2004).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan obat bebas adalah :
lihat tanggal kedaluwarsa obat; baca dengan baik keterangan tentang obat pada
brosur; perhatikan indikasi penggunaan karena merupakan petunjuk kegunaan obat
untuk penyakit; perhatikan dengan baik dosis yang digunakan, untuk dewasa atau
anak-anak; perhatikan dengan baik komposisi zat berkhasiat dalam kemasan obat;
perhatikan peringatan-peringatan khusus dalam pemakaian obat, perhatikan tentang
kontraindikasi dan efek samping obat (Depkes, 2006).
a. Pemilihan obat tidak tepat, maksudnya obat yang dipilih bukan obat yang
terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan paling ekonomis.
b. Penggunaan obat yang tidak tepat, yaitu tidak tepat dosis, tidak tepat cara
pemberian obat, dan tidak tepat frekuensi pemberian.
c. Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai, kepada pasien atau
keluarga.
d. Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan tidak
diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau
tidak langsung.
e. Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak
seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan pemberian suatu obat.
7. Efek samping obat dalam swamedikasi
Efek samping obat adalah efek tidak diinginkan dari pengobatan dengan
pemberian dosis obat yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis maupun terapi
(WHO, 1972). Beberapa reaksi efek samping obat dapat timbul pada semua orang,
sedangkan ada beberapa obat yang efek sampingnya hanya timbul pada orang tertentu
(Mariyono dan Suryana, 2008). Secara umum obat-obat yang digunakan dalam
praktik swamedikasi cenderung aman, tidak berbahaya dan memiliki angka kejadian
timbul efek samping yang rendah (BPOM, 2004).
Pada swamedikasi, efek samping yang biasa terjadi : pada kulit, berupa rasa
gatal, timbul bercak merah atau rasa panas; pada kepala, terasa pusing; pada saluran
pencernaan, terasa mual, dan muntah, serta diare; pada saluran pernafasan, terjadi
sesak nafas; pada jantung terasa dada berdetak kencang (berdebar-debar); urin
berwarna merah sampai hitam (Depkes 2008)
Pengertian rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA
(Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah
kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
berlangsungnya
(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi
rinitis alergi
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu
atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau
lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas
harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001).
Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).
Penyebab
rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari
atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban
yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai
pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang
dan perubahan
cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan
dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma)
paparan
alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico,
Sunshine, 2000)
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Gejala lain
ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar
(lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan,
Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena
faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon
terhadap pengobatan,
kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin
lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu
jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif
(Rusmono,
Kasakayan, 1990).
Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan
allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena
stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah.
Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan
(allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang
encer dan banyak.
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya
seperti sinusitis
dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan
adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
c. In vivo