Anda di halaman 1dari 3

Khutbah I

.

.

.

:

Jamah shalat jumat rahimakumullah,

Pada kesempatan khutbah kali ini, pertama-tama saya mengajak pribadi saya sendiri dan kaum
muslimin umumnya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Hanya dengan taqwalah
bekal yang untuk menghadap-Nya nanti. Fainna khairaz zadit taqwa. Jangan ragukan janji
Allah, bahwa ia hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya bukan dari sisi lainnya.

Manusia ditakdirkan sebagai ciptaan terbaik (ahsanu taqwm). Ia memiliki kecenderungan-


kecenderungan pribadi atau nafsu yang tidak dimiliki malaikat. Manusia juga mempunyai akal
sehat yang tidak dimiliki hewan. Dengan kedua karunia itulah manusia hidup di dunia ini
beraktivitas sedemikian rupa: bekerja, bergaul, belajar, makan, minum, bepergian, bersantai,
dan lain sebagainya.

Namun, seberapa besar apa yang kita lakukan itu tidak mendatangkan mudarat? Mudarat
berarti merugikan. Mudarat ada dua, yakni mudarat bagi diri sendiri dan mudarat bagi orang
lain. Banyak perbuatan yang tak mudarat bagi diri sendiri tapi mudarat bagi orang lain.
Contohnya, berbisnis dengan cara merugikan orang lain, menduduki kursi di angkutan umum
yang bukan haknya, atau sejenisnya. Sebaliknya, banyak pula yang tampak tak mudarat bagi
orang lain namun merugikan diri sendiri. Misalnya, mengonsumsi obat-obatan terlarang,
meninggalkan ibadah, dan lain-lain.

Kalau pun tidak menimbulkan mudarat, sudahkah aktivitas yang kita jalani bukan sesuatu yang
mubadzir alias sia-sia? Sikap malas kita, bersenang-senang secara berlebihan, berbelanja di
luar kebutuhan, membual ke sana kemari, bermain media sosial secara berlebihan, mungkin
secara kasat mata tak merugikan orang lain maupun diri sendiri tapi sukar menghindari dari
kemubadziran. Padahal, innal mubadzdzirna kn ikhwnasy syaythn (sesungguhnya orang-
orang berbuat boros/mubadzir adalah kawan-kawan setan).

Jamah shalat jumat rahimakumullah,

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya adalah bagian dari cara manusia


mengintrospeksi diri atau muhsabah. Muhasabah penting dilakukan untuk mencermati diri
sendiri bukan semata kelebihan-kelebihan yang membuat kita percaya diri, melainkan juga
kekurangan-kekurangan yang membuat kita memperbaiki diri. Muhasabah merupakan usaha
untuk mengoreksi kemampuan kita dalam mengelola karunia akal dan nafsu: apakah sudah
berjalan secara baik atau tidak.

Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur:





Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk
menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan
menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.

Sayyidina Umar menganggap bahwa evaluasi diri lebih dini akan menguntungkan kita pada
kehidupan kelak. Mengapa? Karena dengan mengevaluasi diri sendiri, manusia akan
mengenali kekurangan-kekurangannya yang diharapkan dapat diperbaiki sesegera mungkin.
Kondisi ini akan meminimalkan kesalahan sehinga tanggung jawab dalam kehidupan di akhirat
nanti menjadi sangat ringan.

Dalam hadits Rasulullah bersabda:



Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, Orang yang
cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal
untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang
mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT. ' (HR Tirmidzi. Ia berkata,
Ini hadits hasan).

Hadits ini secara tersirat mengungkapkan bahwa akallah yang seharusnya menundukkan nafsu
bukan sebaliknya. Nafsu merupakan sebuah potensi yang sejatinya hanya untuk memenuhi
kebutuhan wajar dan alamiah manusia, semisal makan, minum, kawin, tidur, atau sejenisnya.
Tatkala nafsu menunggangi akal sehat, maka yang terjadi adalah tamak dan kesewenang-
wenangan. Saat itulah muhasabah dibutuhkan untuk memperbaiki diri.

Dari penjelasan ini, setidaknya ada dua manfaat penting yang bisa dicatat dari introspeksi diri.
Pertama, ishlh atau semangan membenahi diri. Introspeksi membuka mata kita tentang
kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan, untuk di kemudian diperbaiki. Introspeksi juga
mengandaikan adanya perencanaan sebelum melakukan sesuatu agar kesalahan yang serupa
tidak terulang.

Sebagai hamba, manusia diwajibkan untuk memposisikan kehidupan di akhirat lebih utama
daripada alam duniawi ini. Dengan introspeksi diri mereka sesungguhnya sedang
mengejawantahkan ajaran bahwa kelak semua yang diperbuat anggota badan manusia akan
dipertanggungjawabkan di kehidupan kelak. Sebagiamana tertuang dalam Surat Yasin ayat 65:


Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan
memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan (Q. S.
Yasin/36 : 65)

Jamah shalat jumat rahimakumullah,

Yang kedua, introspeksi diri menghindarkan kita dari sifat ujub (bangga diri) atau sombong.
Muhasabah fokus pikiran tertuju pada kekurangan diri sendiri. Hal ini akan banyak mengurangi
perilaku manusia yang cenderung gemar menilai atau mengoreksi diri sendiri. Orang akan
disibukkan dengan mencermati kesalahan diri sendiri ketimbang memvonis salah orang lain;
mencari kesesatan pikiran dan perilaku diri sendiri ketimbang menghakimi sesat orang lain.
Sifat ini sebenarnya selaras dengan pesan Al-Quran yang mendorong setiap manusia agar
tidak sok suci. Allah berfirman,


Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang
)yang bertakwa. (QS An-Najm: 32

Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang senantiasa mengevaluasi diri demi
perbaikan kepada yang lebih baik.

.
. .
.
Khutbah II

.
.



.








.

. .
. !

Anda mungkin juga menyukai