Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi atau yang sering disebut
EQ sebagai himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau
perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilih kesemuanya
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing fikiran dan tindakan. (Shapiro,
1998:8).
Sebuah model pelapor lain tentang kecerdasan emosi diajukan oleh Bar-On
pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan
tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosional adalah suatu
bentuk kemampuan (abiliti) untuk memahami emosi diri sendiri dan orang lain, serta
mengetahui bagaimana emosi diri sendiri diespresikan untuk meningkatkan EQ sebagai
kekuatan pribadi.
Selain itu, Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahawa kecerdasan emosi
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan
kepekaan emosi sebagai sumber kekuatan dan pengaruh yang manusia. Kecerdasan
emosi menuntut perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan
orang lain serta menanggapnya dengan tepat, menerapkan secara efektif kekuatan
emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Guru merupakan profesi yang sangat mulia yang berperan mendidik siswa ke
arah yang lebih baik. Untuk membimbing, guru perlu memiliki ciri-ciri tersendiri yang
mungkin tidak sama dengan profesion lain. Guru perlu mengusai ilmu dalam bidang
kepakaranya dengan baik, dan guru juga perlu menguasai ilmu dan kemahiran
mengenai kaedah yang boleh membuat suasana pengajaran yang lebih efektif
(McNergney dan Herbert 1998; Mohd. Sani 2002; Kamarul Azmi & Ab. Halim 2008).
Justeru, ciri kedua ini mengisyaratkan guru perlu kepada ilmu psikologi, agar tugas
mendidik dapat dilaksanakan dengan lebih efektif.
Guru yang baik adalah guru yang sentiasa membina keunggulan akhlak
siswanya. Justeru, guru tidak hanya mementingkan nilai akademik siswa, tetapi mereka
perlu mendidik secara seimbang (Tajul Arifin & Nor Aini Dan 2002; Kamarul Azmi & Ab.
Halim 2008). Guru profesional sentiasa siap untuk meningkatkan kualiti dan prestasi diri
melalui latihan profesionalisme (Tajul Arifin & Nor Aini Dan 2002; Rohaty 2002; Mohd.
Sani, Izham & Jainabee 2008). Rohaty (2002) menggariskan beberapa ciri kepribadian
guru untuk membantu mereka mencapai cita-cita yang digariskan melalui tujuan
pendidikan, seperti guru mestilah bersikap ramah, memiliki sifat empati, suka belajar,
amanah, bertanggungjawab dan mempertahankan etika professional.
Kemahiran guru dalam aspek psikologi, seperti kemahiran EQ perlu ditingkatkan untuk
tujuan memperkukuhkan ciri-ciri yang disebutkan itu. Kemahiran EQ dimaksudkan
adalah seperti kesedaran guru terhadap diri sendiri, kemampuan guru mengendalikan
diri, selalu memotikan diri, empati, memiliki cara bersosial yang baik, memiliki kekuatan
spritual dan selalu belajar melalui pengalaman yang disebut dengan istilah
kematangan.
Menurut Dadang Hawari (2003) pendidik yang memiliki EQ yang tinggi mampu
mengendalikan diri dengan baik, sabar dalam mendidik, tekun, tidak mudah bertindak
secara agresif apa lagi sampai mencederakan pelajar, serta sentiasa berfikiran positif
dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Untuk memperoleh EQ yang tinggi individu
sepatutnya mendapatkan bimbingan semenjak dari awal lagi, cara yang paling
sederhana adalah melalui contoh yang ditunjukkan oleh ibubapa di rumah. Ketika
memasuki alam persekolahan, pelajar banyak menghabiskan masanya di sekolah,
untuk itu guru-guru sepatutnya tidak hanya pandai memindahkan ilmu pengetahuan
tetapi juga dapat memberikan contoh yang baik kepada pelajar