Anda di halaman 1dari 5

Saat langit masih biru sejak pertama kali diciptakan sampai sekarang,

Embunpun masih bening dan sejuk setiap kali hadir di dedaunan yang merindukannya tanpa henti
Namamu pun rupanya tak mau kalah masih tersimpan dihati ini sejak waktu mempertemukan
Akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan ruhku bertasbih pada tuhan semesta alam...
Isyarat cinta kepada_nya dan kepadamu

Ahmad Hizalul Fikri

Hari berganti waktupun berlalu tak mau memahami


Kisah yang kau berikan kepadaku kini kubingkai indah
Tak mau kuhapus walau dengan kehadiran pangeran lain

Leni Meysari

Kata hati Fikri saat Leni menikah:

Berkali kali sudah aku dapati bahwa rasa begitu menikamku


Memendam ini sangat menyakitkan untukku
Melihatmu... aku mampu tersenyum
Disaat bersamaan aku mampu untuk terbaring, hening, diam, luka ini begitu dalam
Hingga pasirpun tak dapat berkata apapun, hingga tangan tak mampu bergerak
Lupa aku... apa yang telah diciptakan

"Kesepian"

Aku menjadi sebait puisi yang


kesepian
Semakin ku coba bernyanyi, kian
sesak hatiku
Sabda-sabda Cintaku kini serasa tak
berwarna lagi
Adalah ketika yang kusanjung tak
mau lagi memahami arti bahasa
Tak kusalahkan Cinta
Aku pun seperti berdansa dengan
hantu-hantu
Tanpa rindu..
Tanpa Cinta..
Tanpa Drama..
Hampa..

"Masih adakah aku diruang hatimu"

Ketika jendela terbuka


Sinar Matahari mencubit manja
kulit wajahku
Membelaimu halus selembar
nyawaku
Setetes embun kujilat
Sejuk merasuk memberikan satu
kedamaian
Rumput ranun bersenda gurau
dengan sang bayu
Mereka seakan sedang tersenyum
padaku
Aku hidup di episode yang baru
Memiliki dialog baru yang kuyakin
lebih indah dari yang dulu
Aku bermain di atas kuntum rindu
yang besarnya tak terkira
Kutanya padamu embun..
Benarkah Dia Mencintaiku atau
hanya akan Mempermainkanku?
Kutanya kepadamu awan..
Benarkah Dia malaikat lucu yang
akan jadi penghias kesunyianku?
Terakhir kutanya padamu CintaaKU..
Adakah satu ruang di sudut hatimu
untukku yang mendambamu?

Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1


Langit adalah kitab yang terbentang,
Bumi adalah kitab yang terhampar,
Manusia adalah kitab yang berjalan,
Sedangkan Al-Quran adalah cahaya dalam kegelapan.
Tidakkah kau renungkan bahwa segala intrik yang terjadi
Di dalam hidup, hingga memaksa
Meneteskan air mata adalah
Pertanda ketika Tuhan jatuh cinta?
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Aku menjadi sebait puisi yang kesepian


Semakin kucoba bernyanyi, kian sesak hatiku
Sabda-sabda cintaku kini serasa tak bermakna lagi
Adalah ketika yang kusanjung tak mau lagi memahami arti bahasa hati
Tak kusalahkan cinta
Aku pun seperti berdansa dengan hantu-hantu telanjang
Tanpa rindu. . . .
Tanpa cinta. . . .
Tanpa drama. . . .
Hampa!
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Ketika jendela terbuka


Sinar matahari mencubit manja kulit wajahku
Membelai halus selembar nyawaku
Setetes embun kujilat
Sejuk merasuk memberikan satu kedamaian
Rumput ranum bersenda gurau dengan sang bayu
Mereka seakan sedang tersenyum kepadaku
Aku hidup di episode yang baru
Memiliki dialog baru yang kuyakin indah dari yang dulu
Aku bermain di atas kuntum rindu yang besarnya tak terkira
Kutanya padamu, embun
Benarkah dia mencintaiku atau hanya akan mempermainkanku?
Kutanya padamu, awan
Benarkah dia malaikat lucu yang akan jadi penghias kesunyianku?
Terakhir, kutanya padamu, cintaku
Adakah satu ruang di sudut hatimu unttukku yang mendambamu?
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Kau bingkai hari demi hari dengan sahajamu


Kau sematkan nama-nama cintamu di dalamnya
Langit bertasbih kepada Sang Raja Hari dan kupastikan mendoakanmu
Rembulan bisu menatapmu, namun kulihat ia tersenyum kepadamu

Cahayaku. . . .
Seribu puisi yang pernah kubuat tersimpan rapi di piala hatiku
Kupastikan semua berkisah tentang seorang lelaki baik
Tahukah kau siapa lelaki itu?
Dia yang sedang membaca puisi buruk ini
Kaulah sosoknya

Hari berganti hari, waktu pun berlalu


Tak mau memahami
Kisah yang telah kau berikan kepadaku kini kubingkai indah
Seperti kau membingkai hari
Tak mau kuhapus, walau dengan kehadiran pangeran lain
Tak mau kutinggalkan, meski sekejap saja dalam kesadaranku
Tapi kini kita telah jauh
Di tanah yang berbeda, kita berpijak

Kini kubuka semua


Kini kupaparkan segalanya
Bahwa sebenarnya dalam tatapanku ada cinta untukmu
Maafkan jika aku lancang menyerahkan diri
Disini aku menunggu kau datang
Untuk membawaku pergi menuju mimpi indahmu
Mengayuh daying melewati samudra hari yang penuh gelombang
Bersama mentari pagi aku menanti. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

langit masih biru sejak pertama kali diciptakan sampai sekarang


embun pun masih bening dan sejuk setiap kali hadir di dedaunan yang selalu merindunya tanpa henti
namamu pun rupanya tak mau kalah, masih tetap tersimpan di hati ini sejak waktu mempertemukan
indah, seperti indahnya kitab yang terhampar, yang dalam diamnya selalu bertasbih kepada Sang Maha Pemberi Cinta
malam diam dengan segala keanggunannya
enggan bicara, walau membisikkan sebuah kalimat cinta
islam menyatakan cinta harus diungkapkan, meski serupa sindiran
sedangkan tatapan mengisyaratkan untuk diterjemahkan
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan
ruhku bertasbih kepada Tuhan semesta alam
isyarat cinta kepada-Nya dan kepadamu. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Malam. . .
Aku ingin bercumbu denganmu
Karena siang telah menikamku
Bulan. . .
Aku ingin memelukmu
Karena matahari telah menamparku
Fajar. . .
Aku ingin kau sentuh jiwaku yang sedang membara
Hingga terasa sejuk dengan hawamu
Dan senja. . .
Aku ingin jadi kekasih abadimu
Karena dalam jinggamu ku dapati seutas jiwaku yang hilang asa. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Dari cinta, kita berasal


Karena cintaNya, Dia menciptakan kita
Karena tujuan cinta, kita mendatangiNya
Demi cinta pula, kita menghadapNya

Cinta sejati tak lahir dalam satu kejap


Ia lahir bukan oleh paksaan
Cinta sejati berjalan lambat dan pelan
Ia berjalan dalam rentang panjang
Cinta sejati lahir karena mantapnya niat dan teguhnya tujuan
Cinta sejati tak kan sirna, tak kan pudar tujuan. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Bayang wajahmu lindap di selendang hari


Kutikam dengan pedang kasmaran
Lampu-lampu memilih padam menikmati kelam
Duh Gusti, dengan apa kusandingkan cinta dan rindu yang menderu?

Dia kini ada dalam cerminku


Mentari sekarang masih seperti kemarin
Cahanya menerobos jendela hati
Bilakah tanganku menampar kehangatannya
Kembang setaman akan lebih mewangi
Dan, bayangnya tak lagi di belakangku

Aku ingin tanya


Kenapa harum pandan dia ciumkan padaku?
Dan, bisakah aku berdansa dengan keramaian sementara dalam sepi hatiku bahagia?

Dengarlah wahai angin. . .


Tentu kau bisa cium wanginya bait-bait kesepianku
Terbayangkanlah dan sentuhkan ke hidungnya

Lalu, kau kembali beri kabar padaku


Sebab di sini aku menunggu
Sebab telah kutengok jiwanya hingga aku tak mau mati tenggelam dalam lautan rindu. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Adalah ketika aku tersesat dalam janji yang tak kupahami


Ketika daun gugur menatap sayu pada manusia yang menyaksikannya
Seakan memohon pertolongan, satukan kembali aku dengan dahan tu walau aku sudah tak layak lagi bersamanya
Kenangan demi kenangan terlihat di balik mata
Setiap puisi yang terucap menjadi syair kessunyian yang jiwa rapuh saja dapat mendengar

Aku seperti Laila dalam sangkar Ibnu Salam


Bermahkota, tapi sejatinya merana
Ke manakah sang Majnun yang selalu jadi cahay mata ini?
Kata orang, bercinta setelah menikah adalah nikmat terbesar
Tapi, kataku adalah kesengsaraan abadi
Karena aku tak punya hati untuknya

Wahai pasir putih


Terbanglah kau tertiup angin, lalu kembali bawa kabar dari cintaku
Sedang apakah dirinya di sana?
Masihkah merinduku ataukah sudah melupakanku?
Masihkah berpuisi tentang diriku ataukah tentang Hawa lain?

Dan, kau matahari


Rengkuhlah rapuhnya jasad ini
Larutkan dalam cahaya garangmu hingga aku tak lagi meratapi kesunyian
Keluarkanlah tangan perkasamu, lalu naikkan aku permukaan
Biar napas panasku sempurna
Mati pun tak lagi berkalang cinta. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)

Malam ini seperti bercumbu dengan cerahnya kelam


Sementara dinginnya merasuk ke tulang sumsumku
Mungkin benar, luka adalah cintaku yang paling setia karena aku telah mencintai mata pisau. . .

Mengenalmu adalah saat dimana aku mendapatkan kelemahan dalam hidupku


Mencintaimu adalah kesempatan dimana aku menjadikan diriku terkurung teralis besi
Dan, menyayangimu adalah satu ketika dimana aku membunuh kebahagiaanku sendiri. . .

Tak ada kereta berbalik ke stasiun dengan alasan masih ada penumpang tertinggal
Pun tak ada penumpang yang berlari mengejar sejauh kereta melaju
Yang terdengar, penumpang kereta itu berkata, sudahlah, aku akan menunggu kereta berikutnya. . .
(puisi dalam novel: Ketika Tuhan Jatuh Cinta part 1)
Kau bingkai hari demi hari dengan sahajamu
Kau sematkan nama-nama cintamu di dalamnya
Langit bertasbih kepada Sang Raja Hari dan kupastikan mendoakanmu
Rembulan bisu menatapmu, namun kulihat ia tersenyum kepadamu

Cahayaku. . . .
Seribu puisi yang pernah kubuat tersimpan rapi di piala hatiku
Kupastikan semua berkisah tentang seorang lelaki baik
Tahukah kau siapa lelaki itu?
Dia yang sedang membaca puisi buruk ini
Kaulah sosoknya

Hari berganti hari, waktu pun berlalu


Tak mau memahami
Kisah yang telah kau berikan kepadaku kini kubingkai indah
Seperti kau membingkai hari
Tak mau kuhapus, walau dengan kehadiran pangeran lain
Tak mau kutinggalkan, meski sekejap saja dalam kesadaranku
Tapi kini kita telah jauh
Di tanah yang berbeda, kita berpijak

Kini kubuka semua


Kini kupaparkan segalanya
Bahwa sebenarnya dalam tatapanku ada cinta untukmu
Maafkan jika aku lancang menyerahkan diri
Disini aku menunggu kau datang
Untuk membawaku pergi menuju mimpi indahmu
Mengayuh daying melewati samudra hari yang penuh gelombang
Bersama mentari pagi aku menanti. . .

Anda mungkin juga menyukai