PENDAHULUAN
Dalam mempelajari bagaimana hubungan antara pemerintah dan rakyat yang berjalan
sesuai dengan sistem politik yang dianut oleh suatu negara tertentu, ilmu politik tidak hanya
mengacu pada teori-teori yang ada dalam ilmu politik saja, akan tetapi juga dapat mengadopsi
ilmu lintas politik seperti teori dalam ilmu akuntansi yaitu teori agensi atau agency theory.
Dimana teori ini bisa dikatakan relevan untuk menganalisa bagaimana kehidupan politik
berlangsung.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan adalah sebuah kontrak antara
manajemen (agen) dengan pemilik (prinsipal). Agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan
Perencanaan kontrak yang tepat bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan
pemilik dalam hal konflik dan kepentingan, hal ini merupakan inti dari teori keagenan.
Sedangkan prinsip utama dari teori keagenan adalah adanya hubungan kerja antara pihak
yang memberi wewenang yaitu pemilik (principal) dengan pihak yang menerima wewenang
yaitu manajer (agent). Hubungan ini mengimplikasikan adanya potensi konflik kepentingan
antara pemilik dan manajer karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda.
Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para
pemegang saham (principal). Namun disisi lain manajer juga memiliki kepentingan
1
memaksimumkan kesejahteraan mereka, sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu
Dari hal tersebut maka teori agensi ini dapat dianalogikan kedalam kehidupan politik
dimana terdapat hubungan yang serupa antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah diibaratkan
sebagai manajer, dalam hal ini meliputi 3 lembaga Negara seperti yang diungkapkan oleh
Montesquieu dalam Trias Politica tentang kekuasaan Negara yang terdiri atas lembaga
Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Sedangkan rakyat sebagai pemilik modal, modal tersebut
meliputi semua sumber daya yang dimiliki oleh rakyat yang tidak akan mungkin bisa untuk
dikelola sendiri. Dan ruang lingkup dari suatu perusahaan disamakan dengan suatu Negara
Dari latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
2
BAB II
PEMBAHASAN
Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor privat maupun
sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur hubungan prinsipal dan agen untuk
menganalisis hubungan antara perusahaan dengan pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di
sektor publik, teori keagenan dipergunakan untuk menganalisis hubungan prinsipal-agen dalam
kaitannya dengan penganggaran sektor publik (Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Teori keagenan
menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi.
Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit
dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan
Hubungan yang terjadi antara owner dan manajer dapat digambarkan secara sederhana
sebagai berikut :
Kontraktual
3
Dari gambaran sederhana tersebut kita dapat mengetahui bagaimana hubungan keduanya.
Akan tetapi pada penerapannya bisa saja terjadi moral hazard atau penyalahgunaan
kekuasaan/kewenangan dari hak-hak yang dimiliki oleh manajer. Sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh seorang ahli bahwa orang yang diberi kekuasaan pasti akan menyelewengkan
kekuasaannya.
Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan
tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat
dasar manusia
kepentingan pribadinya. Hal ini menimbulkan adanya konflik kepentingan antara principal dan
psikologisnya.
Konflik akan terus meningkat karena principal tidak dapat mengawasi aktivitas agent
sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai dengan keinginan dari principal.
Permasalahan dalam hubungan antara principal dan agen bersumber dari adanya perbedaan
tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi seperti regulasi dan kepemimpinan (Eisenhardt, 1989).
Adanya asimetri informasi juga menyebabkan terjadinya persoalan dalam hubungan prinsipal-
agen, bilamana agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang
berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection (Latifah, 2010). Adverse selection
terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki oleh principal dan agent
4
sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen melakukan sesuatu yang baik atau
tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks ini agen cenderung menyembunyikan informasi
Teori keagenan telah dipraktekkan pada sektor publik khususnya pemerintah pusat
maupun daerah. Organisasi sektor publik bertujuan untuk memberikan pelayanan maksimal
kepada masyarakat atas sumber daya yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang
banyak. Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan dan pengalokasian sumber daya secara
sendirian, sehingga pemerintah memberikan wewenang kepada pihak lain untuk mengelola
sumber daya. Pembuatan anggaran menjadi mekanisme yang penting untuk alokasi sumber daya
Implikasi teori keagenan muncul dalam proses penyusunan anggaran dilihat dari dua
perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan legislatif dengan eksekutif.
Ditinjau dari perspektif hubungan keagenan antara legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah
agent dan legislatif adalah principal (Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif
hubungan keagenan legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela
kepentingan rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan serta
Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh
legislatif sehingga anggaran tidak mencerminkan alokasi pemenuhan sumber daya kepada
masyarakat, melainkan cenderung mengutamakan self-interest para pihak legislatif tersebut. Jika
hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan adalah alat untuk melancarkan aksi
pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan istilah korupsi (Mauro, 1998; Keefer and
Khemani, 2003).
5
2.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)
Lupia and McCubbins (2000) menyatakan bahwa warga negara adalah principal yang
menunjuk perwakilannya untuk melayani mereka sebagai agen di parlemen, sementara Andvig et
al. (2001) menyebutkan voters adalah principal dari parlemen. Dalam hal pembuatan kebijakan,
Hagen (2002) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters)
dan legislative pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat
keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan
membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas
pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau
preferensi prinsipal atau pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak
selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).
Menurut Hagen (2002), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya
membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka
lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas dan
kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat.
Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye
pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain,
hubungan keagenan antara pemilih dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract
(Seabright, 1996).
6
Teori agensi untuk menganalisis kehidupan politik dapat dimaknai bahwa owner adalah
rakyat yang mempunyai sumber daya dan tidak mungkin mengelola sumber daya tersebut
sendiri. Pemerintah yang disini terdiri dari 3 lembaga Negara yang berwenang yaitu Eksekutif,
Legislatif, dan Yudikatif. Hak-hak yang dimiliki rakyat secara singkat tertuang dalam UUD 1945
dan juga UU lainnya. Sedangkan kewajiban dari pemerintah adalah mensejahterakan rakyat
Dalam hal ini juga dapat dikaitkan dengan salah satu jenis kekuasaan yaitu demokrasi.
Demokrasi dapat dikategorikan menjadi demokrasi langsung dang demokrasi tidak langsung. Di
Indonesia sendiri demokrasinya bersifat perwakilan, hal ini dibuktikan dengan adanya
DPR/DPRD. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan
berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana Negara untuk
parlemen) lewat pemilihan umum periodik sesuai dengan aturan yang ada, di Indonesia sendiri
dilakukan setiap 5 tahun sekali. Dengan memilih anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk
membentuk UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui wakil rakyat yang mendapat delegasi
wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU
Negara. Misalnya dari hampir 200 juta jiwa warga Negara Indonesia, proses pemerintahan
demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi
anggota DPR. Dalam demokrasi, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan
Negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentingannyalah yang terlebih dahulu
7
dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama (anggota
DPR) maka terjadilah probem kegenan antara hubungan tersebut dalam kehidupan politik.
legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010;
Abdullah, 2012). Hubungan antara principal dan agen senantiasa menimbulkan masalah
keagenan yang disebut agency problems (Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam
Abdullah dan Asmara (2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau
kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali,
Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan proyek yang membuatnya populer di
berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima manfaat dari pemerintah tanpa
harus membayar biayanya secara penuh. Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun
8
2.4 Problem Keagenan (Agency Problem)
Dari penjelasan mengenai hubungan keagenan antara rakyat dan lembaga legislatif yang
Rakyat mempunyai hak untuk itu, akan tetapi kewenangan yang dimiliki oleh DPR juga akan
memudahkan DPR untuk mendahulukan self-interestnya. Keadaan ini bisa berujung pada situasi
chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes-perang semua lawan semua).
Padahal tujuan keagenan tersebut pada dasarnya adalah untuk menciptakan situasi yang saling
menguntungkan dengan pencapaian tujuan realisasi kepentingan sesuai dengan hak dan
kewajiban masing-masing sesuai dengan teori keagenan. Situasi ini dapat disebut sebagai
mobokrasi yaitu suatu bentuk buruk dari demokrasi, dimana rakyat memang berdaulat, tetapi
Negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satupun kesepakatan dapat dibuat secara
Problem keagenan yang terjadi diantara rakyat dan 3 lembaga pemerintah terjadi karena
adanya perbedaan kemampuan antara rakyat dan agen dalam hal pengawasan atau pelaksanaan
hak-hak manajer. Rakyat itu terdiri dari semua warga Negara tertentu yang jumlahnya sangat
banyak, akan tetapi lemah dalam mengawasi manajer ( tidak check and balance ). Sehingga yang
terjadi adalah moral hazard lebih mudah terjadi. Hak pengawasan rakyat diserahkan kepada
9
Timbulnya problem keagenan berawal dari adanya perbedaan kepentingan antara
prinsipal dan agen, seperti yang terjadi pada hubungan keagenan antara pemerintah daerah
tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar. Posisi eksekutif yang sejajar dengan legislatif
membuat eksekutif sulit menolak rekomendasi legislatif dalam pengalokasian sumber daya yang
bentuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan publik. Menurut Eisenhardt (1989),
meskipun penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk
mengurangi oportunisme agen, kenyataannya dalam proses pengalokasian sumber daya selalu
muncul konflik kepentingan di antara pelaku (Abdullah dan Asmara, 2006). Permasalahan yang
terjadi biasanya didasarkan atas kepentingan masing-masing pribadi yang berdampak pada
Masalah agensi disebabkan karena adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi,
maka perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976),
bertindak merugikan principal, atau dengan kata lain untuk meyakinkan agen, bahwa
tersebut.
3. Biaya Kerugian Residual (residual loss), yaitu nilai uang yang ekuivalen dengan
10
Untuk meminimalkan agency problem, dapat digunakan kontrak antara agen dan principal.
Adanya sistem informasi yang memadai dapat pula digunakan untuk meminimalkan agency
problem ini. Dengan adanya kontrak atau perjanjian dan informasi yang memadai ini maka agen
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari sub-pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan teori
agensi dalam melihat bagaimana kehidupan politik itu secara umum meliputi hubungan antara
rakyat dan 3 lembaga Negara yang diberi kewenangan oleh rakyat yaitu Eksekutif, Legislatif,
dan Yudikatif. Kemudian penulis menjelaskan secara khusus hubungan tersebut melalui
implikasi teori keagenan yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dilihat dari dua
perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan legislatif dengan eksekutif. Dari
hal tersebut kemudian muncul suatu problem keagenan yang dilihat dari penerapan teori agensi
Problem keagenan yang terjadi timbul karena adanya perbedaan kemampuan antara
rakyat dan agen dalam hal pengawasan atau pelaksanaan hak-hak manajer. Rakyat itu terdiri dari
semua warga Negara tertentu yang jumlahnya sangat banyak, akan tetapi lemah dalam
mengawasi manajer ( tidak check and balance ). Sehingga yang terjadi adalah moral hazard lebih
mudah terjadi. Sebab dari dampak tersebut tidak lain karena hak pengawasan rakyat diserahkan
11
12
Daftar Pustaka
Basri, seta. 2011. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta : Indie Book Corner
Prodjodikoro. 1981. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. Bandung : PT. Eresco
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1391661039-3-BAB%20II.pdf
13