Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mempelajari bagaimana hubungan antara pemerintah dan rakyat yang berjalan

sesuai dengan sistem politik yang dianut oleh suatu negara tertentu, ilmu politik tidak hanya

mengacu pada teori-teori yang ada dalam ilmu politik saja, akan tetapi juga dapat mengadopsi

ilmu lintas politik seperti teori dalam ilmu akuntansi yaitu teori agensi atau agency theory.

Dimana teori ini bisa dikatakan relevan untuk menganalisa bagaimana kehidupan politik

berlangsung.

Menurut Jensen dan Meckling (1976) teori keagenan adalah sebuah kontrak antara

manajemen (agen) dengan pemilik (prinsipal). Agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan

lancar, pemilik akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada manajer.

Perencanaan kontrak yang tepat bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan

pemilik dalam hal konflik dan kepentingan, hal ini merupakan inti dari teori keagenan.

Sedangkan prinsip utama dari teori keagenan adalah adanya hubungan kerja antara pihak

yang memberi wewenang yaitu pemilik (principal) dengan pihak yang menerima wewenang

yaitu manajer (agent). Hubungan ini mengimplikasikan adanya potensi konflik kepentingan

antara pemilik dan manajer karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda.

Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para

pemegang saham (principal). Namun disisi lain manajer juga memiliki kepentingan

1
memaksimumkan kesejahteraan mereka, sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu

bertindak demi kepentingan terbaik principal.

Dari hal tersebut maka teori agensi ini dapat dianalogikan kedalam kehidupan politik

dimana terdapat hubungan yang serupa antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah diibaratkan

sebagai manajer, dalam hal ini meliputi 3 lembaga Negara seperti yang diungkapkan oleh

Montesquieu dalam Trias Politica tentang kekuasaan Negara yang terdiri atas lembaga

Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Sedangkan rakyat sebagai pemilik modal, modal tersebut

meliputi semua sumber daya yang dimiliki oleh rakyat yang tidak akan mungkin bisa untuk

dikelola sendiri. Dan ruang lingkup dari suatu perusahaan disamakan dengan suatu Negara

tertentu dalam teori agensi dalam kehidupan politik.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana penerapan teori agensi ( Agency Teori ) dalam kehidupan politik ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor privat maupun

sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur hubungan prinsipal dan agen untuk

menganalisis hubungan antara perusahaan dengan pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di

sektor publik, teori keagenan dipergunakan untuk menganalisis hubungan prinsipal-agen dalam

kaitannya dengan penganggaran sektor publik (Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Teori keagenan

menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi.

Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit

dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan

seperti yang diinginkan principal (Jensen and Meckling, 1976).

Hubungan yang terjadi antara owner dan manajer dapat digambarkan secara sederhana

sebagai berikut :

Kontraktual

Owner Manajer Tujuannnya - Untung

Kewajiban-kewajiban : Hak hak :

Keuntungan sesuai Gaji


target Mengangkat
Penyumbang Pegawai
usaha sesuai target Pola Manajerial
Fasilitas, dll

3
Dari gambaran sederhana tersebut kita dapat mengetahui bagaimana hubungan keduanya.

Akan tetapi pada penerapannya bisa saja terjadi moral hazard atau penyalahgunaan

kekuasaan/kewenangan dari hak-hak yang dimiliki oleh manajer. Sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh seorang ahli bahwa orang yang diberi kekuasaan pasti akan menyelewengkan

kekuasaannya.

Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan

tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self

interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded

rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat

dasar manusia

tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak mengutamakan

kepentingan pribadinya. Hal ini menimbulkan adanya konflik kepentingan antara principal dan

agent. Principal memiliki kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan mereka sedangkan

agent memiliki kepentingan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan

psikologisnya.

Konflik akan terus meningkat karena principal tidak dapat mengawasi aktivitas agent

sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai dengan keinginan dari principal.

Permasalahan dalam hubungan antara principal dan agen bersumber dari adanya perbedaan

tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi seperti regulasi dan kepemimpinan (Eisenhardt, 1989).

Adanya asimetri informasi juga menyebabkan terjadinya persoalan dalam hubungan prinsipal-

agen, bilamana agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang

berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection (Latifah, 2010). Adverse selection

terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki oleh principal dan agent

4
sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen melakukan sesuatu yang baik atau

tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks ini agen cenderung menyembunyikan informasi

untuk memperoleh manfaat yang lebih demi keuntungan pribadi.

Teori keagenan telah dipraktekkan pada sektor publik khususnya pemerintah pusat

maupun daerah. Organisasi sektor publik bertujuan untuk memberikan pelayanan maksimal

kepada masyarakat atas sumber daya yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang

banyak. Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan dan pengalokasian sumber daya secara

sendirian, sehingga pemerintah memberikan wewenang kepada pihak lain untuk mengelola

sumber daya. Pembuatan anggaran menjadi mekanisme yang penting untuk alokasi sumber daya

karena adanya keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah.

Implikasi teori keagenan muncul dalam proses penyusunan anggaran dilihat dari dua

perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan legislatif dengan eksekutif.

Ditinjau dari perspektif hubungan keagenan antara legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah

agent dan legislatif adalah principal (Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif

hubungan keagenan legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela

kepentingan rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan serta

pengendalian dalam pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatif.

Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh

legislatif sehingga anggaran tidak mencerminkan alokasi pemenuhan sumber daya kepada

masyarakat, melainkan cenderung mengutamakan self-interest para pihak legislatif tersebut. Jika

hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan adalah alat untuk melancarkan aksi

pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan istilah korupsi (Mauro, 1998; Keefer and

Khemani, 2003).

5
2.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)

Lupia and McCubbins (2000) menyatakan bahwa warga negara adalah principal yang

menunjuk perwakilannya untuk melayani mereka sebagai agen di parlemen, sementara Andvig et

al. (2001) menyebutkan voters adalah principal dari parlemen. Dalam hal pembuatan kebijakan,

Hagen (2002) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters)

dan legislative pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat

keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan

membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas

pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau

preferensi prinsipal atau pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak

selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).

Menurut Hagen (2002), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya

voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat keuntungan pribadi dengan

membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka

lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas dan

kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat.

Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye

pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain,

hubungan keagenan antara pemilih dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract

(Seabright, 1996).

6
Teori agensi untuk menganalisis kehidupan politik dapat dimaknai bahwa owner adalah

rakyat yang mempunyai sumber daya dan tidak mungkin mengelola sumber daya tersebut

sendiri. Pemerintah yang disini terdiri dari 3 lembaga Negara yang berwenang yaitu Eksekutif,

Legislatif, dan Yudikatif. Hak-hak yang dimiliki rakyat secara singkat tertuang dalam UUD 1945

dan juga UU lainnya. Sedangkan kewajiban dari pemerintah adalah mensejahterakan rakyat

dengan mengelola sumber daya secara efektif dan efisien.

Dalam hal ini juga dapat dikaitkan dengan salah satu jenis kekuasaan yaitu demokrasi.

Demokrasi dapat dikategorikan menjadi demokrasi langsung dang demokrasi tidak langsung. Di

Indonesia sendiri demokrasinya bersifat perwakilan, hal ini dibuktikan dengan adanya

DPR/DPRD. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan

berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana Negara untuk

memrintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.

Rakyat terlibat total di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota

parlemen) lewat pemilihan umum periodik sesuai dengan aturan yang ada, di Indonesia sendiri

dilakukan setiap 5 tahun sekali. Dengan memilih anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk

membentuk UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui wakil rakyat yang mendapat delegasi

wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili

300.000 orang pemilih.

Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU

Negara. Misalnya dari hampir 200 juta jiwa warga Negara Indonesia, proses pemerintahan

demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi

anggota DPR. Dalam demokrasi, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan

Negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentingannyalah yang terlebih dahulu

7
dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama (anggota

DPR) maka terjadilah probem kegenan antara hubungan tersebut dalam kehidupan politik.

2.3 Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif

Hubungan keagenan di pemerintahan antara legislatif dan eksekutif menunjukkan posisi

legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010;

Abdullah, 2012). Hubungan antara principal dan agen senantiasa menimbulkan masalah

keagenan yang disebut agency problems (Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam

Abdullah dan Asmara (2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau

kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali,

birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya.

Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan proyek yang membuatnya populer di

mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya

berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima manfaat dari pemerintah tanpa

harus membayar biayanya secara penuh. Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun

legislatif berupaya untuk memaksimalkan dan memanfaatkan perannya dalam penyusunan

anggaran demi memperoleh keuntungan individual maupun kepentingan kelompok yang

cenderung akan menimbulkan kerugian bagi rakyat.

8
2.4 Problem Keagenan (Agency Problem)

Dari penjelasan mengenai hubungan keagenan antara rakyat dan lembaga legislatif yang

sama-sama mempunyai kepentingan akan saling berlawanan agar kepentingannya didahulukan.

Rakyat mempunyai hak untuk itu, akan tetapi kewenangan yang dimiliki oleh DPR juga akan

memudahkan DPR untuk mendahulukan self-interestnya. Keadaan ini bisa berujung pada situasi

chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes-perang semua lawan semua).

Padahal tujuan keagenan tersebut pada dasarnya adalah untuk menciptakan situasi yang saling

menguntungkan dengan pencapaian tujuan realisasi kepentingan sesuai dengan hak dan

kewajiban masing-masing sesuai dengan teori keagenan. Situasi ini dapat disebut sebagai

mobokrasi yaitu suatu bentuk buruk dari demokrasi, dimana rakyat memang berdaulat, tetapi

Negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satupun kesepakatan dapat dibuat secara

damai dan tidak menimbulkan kerugian akibat egoism masing-masing pihak.

Problem keagenan yang terjadi diantara rakyat dan 3 lembaga pemerintah terjadi karena

adanya perbedaan kemampuan antara rakyat dan agen dalam hal pengawasan atau pelaksanaan

hak-hak manajer. Rakyat itu terdiri dari semua warga Negara tertentu yang jumlahnya sangat

banyak, akan tetapi lemah dalam mengawasi manajer ( tidak check and balance ). Sehingga yang

terjadi adalah moral hazard lebih mudah terjadi. Hak pengawasan rakyat diserahkan kepada

DPR/DPRD atau sebagai wakil rakyat.

9
Timbulnya problem keagenan berawal dari adanya perbedaan kepentingan antara

prinsipal dan agen, seperti yang terjadi pada hubungan keagenan antara pemerintah daerah

(eksekutif) dengan DPRD (legislatif). Kewenangan yang dimiliki legislatif menyebabkan

tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar. Posisi eksekutif yang sejajar dengan legislatif

membuat eksekutif sulit menolak rekomendasi legislatif dalam pengalokasian sumber daya yang

memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga menyebabkan outcome anggaran dalam

bentuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan publik. Menurut Eisenhardt (1989),

meskipun penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk

mengurangi oportunisme agen, kenyataannya dalam proses pengalokasian sumber daya selalu

muncul konflik kepentingan di antara pelaku (Abdullah dan Asmara, 2006). Permasalahan yang

terjadi biasanya didasarkan atas kepentingan masing-masing pribadi yang berdampak pada

timbulnya permasalahan keagenan antara pihak tersebut.

Masalah agensi disebabkan karena adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi,

maka perusahaan harus menanggung biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976),

menjelaskan biaya keagenan dalam tiga jenis yaitu:

1. Biaya Monitoring (monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan untuk

melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agen.


2. Biaya Bonding (bonding cost), merupakan biaya untuk menjamin bahwa agen tidak akan

bertindak merugikan principal, atau dengan kata lain untuk meyakinkan agen, bahwa

principal akan memberikan kompensasi jika agen benar-benar melakukan tindakan

tersebut.
3. Biaya Kerugian Residual (residual loss), yaitu nilai uang yang ekuivalen dengan

pengurangan kemakmuran yang dialami oleh principal akibat perbedaan kepentingan.

10
Untuk meminimalkan agency problem, dapat digunakan kontrak antara agen dan principal.

Adanya sistem informasi yang memadai dapat pula digunakan untuk meminimalkan agency

problem ini. Dengan adanya kontrak atau perjanjian dan informasi yang memadai ini maka agen

akan bertindak sesuai kepentingan principal.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari sub-pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan teori

agensi dalam melihat bagaimana kehidupan politik itu secara umum meliputi hubungan antara

rakyat dan 3 lembaga Negara yang diberi kewenangan oleh rakyat yaitu Eksekutif, Legislatif,

dan Yudikatif. Kemudian penulis menjelaskan secara khusus hubungan tersebut melalui

implikasi teori keagenan yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dilihat dari dua

perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan legislatif dengan eksekutif. Dari

hal tersebut kemudian muncul suatu problem keagenan yang dilihat dari penerapan teori agensi

dalam realita kehidupan politik yang terjadi.

Problem keagenan yang terjadi timbul karena adanya perbedaan kemampuan antara

rakyat dan agen dalam hal pengawasan atau pelaksanaan hak-hak manajer. Rakyat itu terdiri dari

semua warga Negara tertentu yang jumlahnya sangat banyak, akan tetapi lemah dalam

mengawasi manajer ( tidak check and balance ). Sehingga yang terjadi adalah moral hazard lebih

mudah terjadi. Sebab dari dampak tersebut tidak lain karena hak pengawasan rakyat diserahkan

kepada DPR/DPRD atau kepada wakil rakyat.

11
12
Daftar Pustaka

Basri, seta. 2011. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta : Indie Book Corner

Prodjodikoro. 1981. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. Bandung : PT. Eresco

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1391661039-3-BAB%20II.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai