Anda di halaman 1dari 15

1

TRANSPORTASI IKAN HIDUP PADA MEDIA BASAH

Pendahuluan

Besarnya potensi produksi perikanan, baik dari sektor perikanan tangkap maupun
budidaya berimplikasi pada besarnya potensi sumbangan gizi bagi masyarakat,
karena ikan dikenal sebagai sumber gizi yang bernilai tinggi baik secara kuantitas
maupun kualitas. Untuk mewujudkan tersedianya produk perikanan yang bermanfaat,
diperlukan dukungan teknologi produksi dan teknologi pascapanen. Teknologi
produksi meliputi teknologi perikanan tangkap dan teknologi budidaya, keduanya
harus efektif dan efisien, tapi tetap berbasis pada kelestarian sumberdaya . Adapun
teknologi pascapanen meliputi teknologi penanganan ikan hidup, penanganan ikan
segar, pengolahan tradisional, pengolahan non tradisional, pengolahan makro dan
mikro alga, pengolahan produk fortifikasi, dan pemanfaatan limbah hasil samping
olahan perikanan. Di samping itu, karena mutu dan keamanan pangan telah menjadi
tuntutan dunia, teknologi untuk mendukung pengujian dan jaminan mutu produk
perikanan pun sangat diperlukan Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang
mudah membusuk. Hal ini dapat dilihat pada ikan-ikan yang baru ditangkap dalam
beberapa jam saja jika tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka ikan
tersebut mutunya menurun.

Penanganan ikan hidup pada media basah harus dimulai segera setelah ikan
diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rendah dan
memeperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan (Irianto, 1993). Kerusakan ikan
segar, bukan hanya disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob dan kapang,
melainkan juga oleh enzim yang ada dalam tubuh ikan itu sendiri. Di laut, upaya
mencegah kerusakan yang paling mudah dan murah adalah dengan es. Sebab upaya
ini bisa dilakukan terhadap ikan dengan volume yang besar. Selain dengan
2

pendinginan, mencegah kerusakan ikan segar juga bisa dilakukan dengan pemanasan.
Misalnya dengan perebusan, pemanggangan atau pengasapan. Tetapi upaya ini sulit
untuk dilakukan secara massal di laut. Kecuali eksplorasi ini dilakukan dengan kapal
penangkapan, yang didukung oleh kapal produksi (pabrik) dan kapal kargo.

Pengangkutan benih maupun ikan konsumsi hidup antar lokasi, antar pulau
bahkan antar negara sudah biasa dilakukan oleh para pedagang. Hal ini terjadi karena
adanya perbedaan lokasi antara tempat produksi dengan konsumsi. Pengangkutan
dimaksud untuk memindah dengan jumlah sebanyak-banyaknya, hidup dan sehat
sampai tujuan. Alat transportasi jarak jauh digunakan: kendaraan bermotor, kereta
api, kapal laut ataupun pesawat terbang. Pesawat terbang merupakan sarana
transportasi ikan jarak jauh yang paling cepat, khususnya untuk induk, telur atau
benih kecil dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.

Pasaran internasional saai ini terjadi suatu kecenderungan permintaan pasar yang
mengharapkan ikan konsumsi yang sangat segar dan dapat diperoleh dalam keadaan
hidup. Pengankutan ikan konsumsi sangat diharapkan dapat mempertahankan
kualitas ikan mulai dari saat pemanenan sampai pada daerah pemasaran. Menurut
Purwaningsih (1998), ikan untuk ukuran kosumsi ukurannya yang biasa dipasarkan
adalah 500 sampai 1000 gram. Pada transportasi ikan ukuran konsumsi ini dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan ikan dalam air dan tanpa air atau
dalam kondisi lembab (Martyshew, 1983).

Penggolongan Sistem Transportasi Media Basah

Menurut Barka (1986) sistem transportasi media basah dibagi kedalam dua
sistem yakni:
3

1. Sistem Terbuka

Pada sistem terbuka ini, air dalam wadah dapat berhubungan langsung dengan
daerah luar, sistem ini banyak dilakukan untuk pengangkutan jarak yang relative
dekat. Wadah berupa plastik atau logam untuk jarak yang agak jauh dilakukan aerasi.
Penerapannya adalah ikan diangkut dalam wadah terbuka atau tertutup tetapi secara
terus menerus diberikan aerasi untuk mencukupi kebutuhan oksigen selama
pengangkutan. Biasanya sistem ini hanya dilakukan dalam waktu pengangkutan yang
tidak lama. Berat ikan yang aman diangkut dalam sistem ini tergantung dari efisiensi
sistem aerasi, lama pengangkutan, suhu air, ukuran, serta jenis spesies ikan. Sistem
ini sangat berkaitan dengan kondisi udara bebas, sehingga suhu dan cahaya memiliki
intensitas yang tinggi untuk mengalami perubahan. Pada kondisi ini biasanya ikan
diberikan wadah terbuka dengan pemberian aerasi dan pengatur suhu secara opsional
tergantung jenis ikan yang tidak tahan terhadap kondisi ekstrim.

2. Sistem Tertutup

Sistem tertutup mempunyai tingkat efesiensi yang relative tinggi pada jarak dan
waktu teruama penggunaan tempat. Wadah dapat menggunakan kantong plastik atau
kemasan lain yang tertutup rapat. Penerapannya adalah ikan diangkut dalam wadah
tertutup dengan suplai oksigen secara terbatas yang telah diperhitungkan sesuai
kebutuhan selama pengangkutan. Wadah dapat berupa kantong plastik atau kemasan
lain yang tertutup. Menurut Berka (1986), pada pengangkutan dengan jarak yang
lebih jauh biasanya digunakan sistem tertutup, cara yang paling sederhana adalah
dengan menggunakan kantong plastik yang diisi air dan oksigen yang diikat rapat.
Jumlah ikan yang diangkut tergantung pada ukuran ikan, jenis alat angkut dan lama
waktu pengangkutan. Kepadatan ikan yang tinggi dalam pengangkutan menyebabkan
semakin meningkatnya kompetisi ruang gerak dan aktivitas tersebut membutuhkan
energi. Meningkatnya kebutuhan energi menyebabkan laju metabolisme meningkat.
Disisi lain peningkatan laju metabolisme akan menyebabkan semakin memperbanyak
produk buangan metabolisme ikan seperti NH3 dan karbondioksida bebas. Produk
4

buangan metabolisme tersebut dalam konsentrasi tinggi merupakan racun bagi ikan
yang dapat menyebabkan ikan stres dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
ikan. Selain itu juga, kekurangan oksigen mungkin terjadi bila kepadatan ikan
demikian tinggi atau waktu angkut lebih lama dari yang ditentukan (Berka, 1986).

Prinsip dasar dalam sistem transportasi ikan menggunakan media basah adalah
dengan prinsip memaksa menempatkan dalam suatu lingkungan baru yang berlainan
dengan lingkungan asalnya dengan cara lingkungan asalnya dimanupulasi sedemikian
rupa meyerupai lingkungan asalnya. Selain itu, prinsip pengangkutan juga
mendefiniskan bahwa proses transportasi ikan menggunakan media basah dimulai
dari tahap persiapan, pengepakan, perlakuan dan pengangkutan. Untuk menjamin
keberhasilan pengangkutan ikan adalah menekan aktivitas metabolisme ikan
(mempuasakan, anestesia, menurunkan suhu), menambah oksigen dan membuang
gas-gas beracun. namun dalam sistem transportasi basah juga terdpat kekurangan
seperti :

1. Produk yang dapat diangkut relative kecil/sedikit dengan ongkos angkut yang
relative tinggi karena disertai dengan media basah (air atau es).

2. Terjadi kebocoran media saat terjadi pengangkutan.

3. Kerusakan fisik pada produk mungkin juga terjadi akibat benturan selama
pengangkutan berlangsung.

4. Tingkat mortalitas yang tinggi yakni sekitar 20%-30%, bahkan dapat


mencapai 50-100%, hal ini disebabkan oleh tingginya kadar CO 2, terjadinya
akumulasi NH3, hiperoaktifitas ikan, infeksi bakteri dan luka fisik oleh akibat
penanganan yang kasar.

Menurut Huet (1970), faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan


pengangkutan ikan hidup adalah spesies, temperature air, lama pengangkutan, umur,
5

ukuran ikan, ketahanan relatif ikan, sifat alami wadah pengangkutan ikan dan kondisi
klimatologi.

Penanganan Sebelum Pengangkutan

1. Penampungan

a. Jenis dan pengaruh penampungan

Jenis penampungan pada media basah dapat dibagi menjadi dua yakni
penampungan untuk waktu yang pendek (provisional storing) atau waktu yang lama
(prolonged storage). Provisional storing sering dilakukan pada waktu sedang
dilakukan panenan yaitu ikan ditampung, kemudian ikan disortasi. Selanjutnya ikan
dikemas dan segera dikirim ke tujuan akhir menggunakan prolonged storage. Lama
penampungan dilakukan selama 2-3 hari atau Iebih diawali dengan sorting dan
grading selain itu syarat saat penampungan ikan harus terlindung.

b. Teknik Penampungan

Beberapa teknik penampungan yang sering digunakan pada saat provisional


storing maupun prolonged storage adalah kantong jaring, keramba jaring, bak/kolam
permanen.

c. Kuantitas ikan penampung


6

Jumlah ikan yang ditampung bervariasi tergantung pada spesies, ukuran ikan,
aliran air, kandungan oksigen dan suhu air. Tangki volume 150 liter dengan suplai air
0,5 liter per detik dan aerasi cukup dan suhu 10C dapat menampung selama
beberapa minggu untuk ikan trout: 8-12 kg ikan ukuran 200-300 gram/ekor, 6-8 kg
ukuran 100 gram, 1000 ekor ukuran 8-10 cm. Huet (1970), tiap meter kubik tangki
dapat digunakan untuk menyimpan 150 kg ukuran 300-400 gram/ekor.

2. Pra kondisi ikan sebelum diangkut

Penanganan ikan hidup sebelum diangkut sangat menentukan keberhasilan


pengangkutan. Setelah ikan dipanen dengan cara yang benar, kemudian ditampung
dalam air bekualitas baik dan tidak diberi pakan (dipuasakan) selama 1-2 hari.
Penampungan ini dimaksud untuk menghilangkan lumpur, parasit, bakteri pada
permukaan kulit dan kotoran (ekskresi) dan dalam tubuh. Parasit dan bakteri ini akan
menjadi penyaing ikan dalam konsumsi oksigen selama pengangkutan. Penampungan
tanpa pemberian pakan bertujuan agar proses metabolisme dan aktivitas gerak ikan
selama pengangkutan menjadi lemah, sehingga laju konsumsi oksigennya rendah.

Teknik Pengangkutan Selama Transportasi

a. Hibernasi

Penurunan suhu tubuh ikan hidup ke arah batas terendah akan menurunkan
kecepatan metabolismenya dan ikan akan mengalami hibernasi (penghentian
aktivitas). Hibernasi mempunyai beberapa keuntungan: wadah pengangkutan tidak
perlu besar karena ikan tidak aktif berenang, kematian ikan karena tekanan fisik
7

maupun stres akibat vibrasi (getaran), kebisingan dan sinar tidak ada, tidak terjadi
penurunan berat dan ikan tidak menghasilkan faeses karena ikan tidak butuh makan.
Teknologi pengangkutan hidup menggunakan kondisi hibernasi banyak diterapkan
untuk udang kuruma (Penaeus japonicus).

b. Pemingsanan/Imotilisasi

Pemingsanan/imotilisasi adalah membuat kondisi ikan sedemikian rupa sehingga


kondisi tidak sadar yang dihasilkan dari sistem saraf pusat yang mengakibatkan
turunnya kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan rendahnya respon gerak dari
rangsangan tersebut. Pingsan atau mati rasa pada ikan berarti sistem saraf kurang
berfungsi. Pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu melalui
penggunaan suhu rendah, pembiusan menggunakan zat-zat kimia dan penyetruman
menggunakan arus listrik.

Metode pemingsanan dengan penggunaan suhu rendah dapat dilakukan dengan


dua cara yaitu penurunan suhu secara langsung, dimana ikan langsung dimasukan
dalam air yang bersuhu 10 15 C., sehingga ikan akan pingsan. Penurunan suhu
dilakukan secara bertahap sampai ikan pingsan.

Pemingsanan juga dilakukan melalui metode penggunaan obat-obatan anestesia


(pembius) yang berfungsi lenih efektif menekan aktivitas ikan. Beberapa jenis obat
anaesthesis dan dosis yang dianjurkan untuk Karper terlihat pada tabet 3 di bawah ini:

Tabel 1. Jenis dan dosis obat pembius untuk pengangkutan karper


No Jenis obat bius Dosis
1 Novacaine 50 mg/kg ikan
2 Amobarbital Natrium 85 mg/kg ikan
3 Barbital Natrium 50 mg/kg ikan
4 Tertiary amil alcohol 52-172 mg/liter
5 Metil parafinol (Dormison) 2 ,l/4,5 liter
6 Kloral hidrateum 1 2 ml/4,5 liter
8

No Jenis obat bius Dosis


7 Uratane 3-3,5 g/4,5 liter
8 Tiorasil 100 mg/liter
9 Hidroksi quanaldine 100 mg/liter
10 MS 222 (Trikaine m etansulfo-nat) + buffer 25 ppm
11 2 Fenoksi-etanol 10 ppm
12 Quinaldite* 10 ppm
(Sumber : Jhingran dan Pullin 1985)

Selain bahan-bahan anestasi sintetik diatas pembiusan juga dapat dilakukan


dengan menggunakan zat caulerpin dan caulerpicin yang berasal dari ekstrak rumput
laut Caulerpa sp.

Metode berikutnya adalah menggunakan arus listrik. Daya arus listrik yang
aman digunakan untuk pemingsanan ikan adalah 12 volt, karena pada 12 Volt ikan
mengalami keadaan pingsan lebih cepat dan tingkat kesadaran setelah pingsan juga
cepat.

c. Pengangkutan dengan kantong plastik (benih/induk ikan).

Pengangkutan yang berjarak tempuh kurang dari 4 jam perjalanan dapat


menggunakan wadah secara terbuka, misalnya ember plastik, bak, jeregen, dan lain-
lain. Untuk membantu tambahan oksigen dapat menggunakan aerator batere atau
selama perjalanan wadah digoyang agar terjadi difusi oksigen. Pengangkutan yang
memakan waktu lebih dari 5 jam sebaiknya menggunakan kantong plastik
beroksigen. Kantong plastik mempunyai ketebalan 0,2 mm, panjang dan besarnya
disesuaikan. Untuk mencegah kebocoran, kantong plastik dibuat rangkap dua. Dalam
pengangkutan sebaiknya kantong plastik yang sudah berisi ikan dimasukkan ke dalam
kardus atau karung goni. Perbandingan antara air dan oksigen tidak melebihi 1 : 3
(Berka, 1986). Hasil penelitian Sunarno et al, (1990) pengangkutan benih ikan patin
hidup dalam kantong plastik dengan perbandingan air dan oksigen 1 : 2, diangkut
menggunakan kendaraan darat selama 8, 11, dan 14 jam.
9

Gambar 1. Ilustrasi sistem transportasi ikan (benih)

Pengangkutan harus dilakukan pada kondisi suhu rendah (18C). Untuk


mempertahankan supaya suhu rendah, dapat ditambahkan es yang dimasukkan ke
dalam kantong plastik kecil supaya tidak bocor dan diletakkan di dekat kantong ikan.
Apabila pengangkutan menggunakan mobil atau kapal sebaiknya alas atau lantai
diberi lapisan karung basah atau kain basah agar dapat menjaga kelembaban dan
mempertahankan suhu. Pengangkutan dilakukan pagi atau sore hari dan jika musim
panas lakukan pada malam hari. Pergunakan transportasi yang paling cepat dan aman,
sedikit goncangan pada waktu pengangkutan adalah baik untuk menggerakkan air
10

dalam wadah. Lamanya waktu pemberokan, waktu pengangkutan dan kepadatan


dalam pengangkutan benih ikan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Ukuran, Kepadatan, Lama Pemberokan dan Lama Pengangkutan

Ukuran Benih Kepadatan Lama Lama


Pengangkutan
Ikan (cm) (jumlah ekor/L) Pemberokan (jam)

3-5 100 2 hari, 2 malam (24 jam) 5-24

5-8 75 2 hari, 3 malam (60 jam) 5-24

8-12 50 3 hari, 3 malam (72 jam) 5-24

100 g 2 4 hari, 4 malam (96 jam) 5-24

Sumber: Anonim (1996)

Sarana Transportasi Ikan Hidup

Beberapa sarana yang digunakan dalam transportasi ikan hidup dalam media basah,
banyak ditemui dalam kehidupan sehari hari dan mudah diperoleh. Sarana tersebut tidak
lain adalah untuk menampung media basah seperti air atau es, kemudahan dalam
pemindahan dan melindungi ikan dari potensi kontaminan dari luar. Sarana tersebut
digunakan baik pada sistem terbuka maupun tertutup. Berikut sarana yang biasa digunakan
dalam transportasi ikan hidup dengan menggunakan media basah.
1. Jerigen dan drum. Ikan konsumsi lele dan kaper dimasukkan ke dalam jerigen
atau drum terbuka dengan air cukup membasahi diangkut dan produsen ke
11

pendagang pengecer dan warung-warung. Pengangkutan dilakukan pada malam


han dan bertujuan untuk menjaga kesegaran.
2. Keranjang brokoh atau jerigen. Benih ikan gurameh, lele, karper dan ikan lain
yang relatif tahan dimasukkan ke wadah berisi air dalam kepadatan tertentu,
diangkut dan dipasarkan, sewaktu-waktu air diganti.
3. Drum atau tangki atau coolbox yang disuplai aerasi. Metode ini drum atau
tangki terbuka yang dapat dipasang dan dilepas dari kendaraan pengangkut. Ikan
hidup dimasukkan dalam wadah dan pengudaraan dihembuskan melalui agitasi
permukaaan, gelembunggelembung udara lewat pipa udara pada dasar atau dan
pemompaan air keluar dan kembali ke wadah.
4. Tangki tertutup (suplai oksigen murni). Metode ini cukup populer pada
pembudidaya ikan. Gelembung-gelembung oksigen murni dikeluarkan dari pipa-
pipa plastik halus ke dalam air dalam tangki yang berisi ikan angkutan. Meskipun
metode ini cukup mahal, tetapi kerusakan mekanis dapat dihindarkan.
5. Kantong plastik. Pengangkutan ikan dengan kantong plastik adalah paling luas
digunakan. Kantong plastik sepertiga bagian dilsi air dan ikan. Oksigen
ditambahkan dan tabung untuk mengisi duapertiga bagian kantong dan dmikat
dengan karet.
6. Mobil pengangkut. Biasanya dilengkapi dengan kap penutup dari bahan terpal
untuk menghindari kontak lamgsug dengan cahaya matahari selama pengiriman.
12

Gambar 2. Sarana Transportasi Ikan Hidup dengan Media Basah

Faktor Keberhasilan Pengangkutan

Faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pengangkutan adalah


kualitas ikan, oksigen, suhu, pH, CO2, amoniak, kepadatan dan aktivitas ikan
(Berka, 1986).
(1). Kualitas Ikan
Kualitas ikan yang ditransportasikan harus dalam keadaan sehat dan baik.
Ikan yang kualitasnya rendah memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dalam
waktu pengangkutan yang lebih lama dibandingkan dengan ikan yang kondisinya
sehat.

(2). Oksigen
13

Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat


toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO2 dan
hasil metabolisme seperti amoniak. Biasanya dasar yang digunakan untuk mengukur
konsumsi O2 oleh ikan selama transportasi adalah berat ikan dan suhu air. Jumlah
O2 yang dikonsumsi ikan selalu tergantung pada jumlah oksigen yang tersedia. Jika
kandungan O2meningkatikan akan mengkonsumsi O2 pada kondisi stabil dan ketika
kadar O2 menurun konsumsi O2 oleh ikan lebih rendah dibandingkan konsumsi pada
kondisi kadar O2 yang tinggi.
(3). Suhu
Suhu merupakan faktor yang penting dalam transportasi ikan. Suhu optimum
untuk transportasi ikan adalah 6 8 0C untuk ikan yang hidup di daerah dingin dan
suhu 15 20 0 untuk ikan di daerah tropis.

(4). Nilai pH, CO2, dan amonia


Nilai pH air merupakan faktor kontrol yang bersifat teknik akibat kandungan
CO2 dan amoniak. CO2 sebagai hasil respirasi ikan akan mengubah pH air menjadi
asam selama transportasi. Nilai pH optimum selama transportasi ikan hidup adalah 7
sampai 8. Perubahan pH menyebabkan ikan menjadi stres, untuk menanggulanginya
dapat digunakan larutan bufer untuk menstabilkan pH air selama transportasi ikan.
Amoniak merupakan anorganik nitrogen yang berasal dari eksresi organisme
perairan, permukaan, penguraian senyawa nitrogen oleh bakteri pengurai, serta
limbah industri atau rumah tangga.
(5). Kepadatan dan aktivitas ikan selama transportasi
Perbandingan antara volume ikan dan volume air selama transportasi tidak
boleh lebih dari 1 : 3 . Ikan-ikan lebih besar, seperti induk ikan dapat ditrasportasi
dengan perbandingan ikan dan air sebesar 1 : 2 sampai 1 : 3 , tetapi untuk ikan-ikan
kecil perbandingan ini menurun sampai 1 : 100 atau 1 : 200. Kesegaran ikan juga
dipengaruhi oleh kondisi apakah ikan dalam keadaan meronta-ronta dan letih selama
transportasi. Ketika ikan berada dalam wadah selama transportasi, ikan-ikan selalu
berusaha melakukan aktivitas. Selama aktivitas otot berjalan, suplai darah dan
14

oksigen tidak memenuhi, sehingga perlu disediakan oksigen yang cukup sbagai
alternatif pengganti energi yang digunakan.
Beberapa permasalahan dalam pengangkutan sistem basah adalah
selalu terbentuk buih yang disebabkan banyaknya lendir dan kotoran ikan yang
dikeluarkan. Kematian diduga karena pada saat diangkut, walaupun sudah diberok
selama satu hari, isi perut masih ada. Sehingga pada saat diangkut masih ada kotoran
yang mencemari media air yang digunakan untuk transportasi. Disamping itu, bobot
air cukup tinggi, yaitu 1 : 3 atau 1 : 4 bagian ikan dengan air menjadi kendala
tersendiri untuk dapat meningkatkan volume ikan yang diangkut.

Daftar Pustaka
15

Anonim., 1996. Pengangkutan benih ikan. Lembar Informasi Pertanian. Instalasi


Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. No-20,
Bulan Pebruari 1996.
Berka, R. 1986. The Transportaion of Live Fish. A Review. EUFAC Tecnology Paper,
48:1-52
Huet, M. 1970. Texbook of Fish Culture, Breeding and Cultivation of Fish. Fishing
News Ltd, London
Irianto, H.E. 1993 . Kemungkinan pemanfaatan minyak ikan Indonesia untuk
konsumsi manusia . Jur. Fak. Perik . Unsrat. 11(2) : 45-54 .
Jhingan, V. G. and R. S. Pullin. 1985. A Hatchery Manual for Common Chinese and
Indian Mayor Carps. Asian Development Bank. International Center
for Living Aquatic Resource Management.
Martyshew, F.G. 1983. Pond Fisheries. Ameerican Publishing Company. PVT
Limited. New Delhi
Purwaningsih, S. 1998. Sistem Transportasi Ikan Hidup. Buletin Teknologi Hasil
Perikanan. Vol. V
Sunarno, M.T.D; Anang, H.K, dan Zainal A., 1990. Pengaruh Lama Pengangkutan
Sistem Tertutup Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Patin
(Pangasius pangasius). Bulletin Penelitian Perikanan Darat. Volume
9. No-1, Juni 1990. Hal 52 55.

Anda mungkin juga menyukai