Anda di halaman 1dari 19

1

KATA PENGANTAR
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 5

1.3. Tujuan dan Manfaat .................................................................................. 6

II. PEMBAHASAN ............................................................................................. 7

2.1. Pengertian Transportasi Ikan Hidup ..................................................... 7

2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Transportasi Ikan Hidup ........... 9

2.3. Janis – Jenis Transportasi Ikan Hidup ................................................ 10

2.4. Pengertian Transportasi Ikan Hidup Sistem Kering ........................... 11

2.5. Media Transportasi Ikan Hidup .......................................................... 12

2.6. Imotilisasi............................................................................................ 14

2.7. Pemingsanan Secara Langsung ........................................................... 15

2.8. Pengemasan ........................................................................................ 16

III. PENUTUP .................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18


4

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peningkatan konsumsi pada ikan air tawar maupun ikan air laut sejalan dan

akan terus bertambah akibat terjadinya kecenderungan pergeseran permintaan

pasar untuk komoditas perikanan yaitu dari bentuk mati (beku) atau olahan lain ke

bentuk hidup terutama untuk kebutuhan stok indukan pada komoditas unggulan.

Penanganan dalam sistem transportasi diperlukan untuk menjaga tingkat kelulus

hidupan ikan tetap tinggi sampai tempat tujuan. Stres dan aktivitas fisik selama

proses transportasi ikan dapat menyebabkan hilangnya kualitas produk, seperti

mengurangi kesegaran ikan, pelunakan tekstur otot dan menurunkan kualitas hasil

fillet. Akibat yang dapat ditimbulkan dari stres akan berdampak ekonomis pada

hasil produksi budidaya ikan (Abid, Masithah, and Prayoga 2014)

Untuk pengangkutan ikan ukuran konsumsi misalnya, sangat diharapkan

dapat mempertahan kualitas ikan rnelalui dari daerah pemanenan sampai daerah

pemasaran. Ikan untuk ukuran konsumsi ukurannya yang biasa dipasarkan adalah

500 sam~ai 1000 gram. Pada transportasi ikan ukuran konsumsi ini dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan ikan dalam air dan tanpa air atau

sistem kering (Purwaningsih 1998)

Transportasi ikan hidup sistem kering dapat menjadi pilihan untuk distribusi

hidup dengan waktu pengangkutan yang relatif lebih lama. Ikan lele, nila, patin

dan mas sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara

berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara, ikan air banyak

dibudidayakan, terutama Filipina, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Di


5

Indonesia, ikan ini sudah tersebar hampir ke seluruh pelosok wilayah tanah air

(Mafrian Kris, Netty, and Jenki 2017).

Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses

penanganan atau pemingsanan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan

mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen.

Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi rendah sehingga

memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat

meningkat. Metode pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan cara menggunakan

zat anestesi atau dapat juga menggunakan penurunan suhu.

Proses pemingsanan menggunakan suhu rendah memiliki dua metode yaitu

pemingsanan dengan penurunan suhu bertahap dan pemingsanan dengan

penurunan suhu langsung. Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode

pemingsanan dengan penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan

dengan penurunan suhu secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan

memerlukan waktu yang panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan

penurunan suhu secara langsung dapat mengurangi stress selama proses

pemingsanan dan mempercepat proses pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).

Teknologi transportasi ikan hidup sistem kering ini tidak dapat distandarkan untuk

semua jenis ikan, karena tingkat kelulusan hidup (survival rate) ikan selama

transportasi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga setiap jenis ikan

memerlukan perlakuan yang spesifik (Pratisari 2010)

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah tersebut yaitu:
a. Pengertian transportasi ikan hidup.

b. Faktor – faktor yang mempengaruhi transportasi ikan hidup.


6

c. Janis – jenis transportasi ikan hidup.

d. Pengertian transportasi ikan hidup sistem kering.

e. Media transportasi ikan hidup.

f. Pengertian imotilisasi.

g. Pemingsanan ikan secara langsung.

1.3. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui

transportasi ikan hidup dengan sistem kering dengan menggunakan pemingsanan

suhu rendah secara bertahap pada ikan.

Manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu dapat memberikan informasi

pada pembaca tentang transportasi ikan hidup dengan sistem kering dengan

menggunakan pemingsanan suhu rendah secara bertahap pada ikan.


7

II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Transportasi Ikan Hidup

Transportasi ikan hidup pada dasarnya adalah memaksa menempatkan

ikan dalam suatu lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan

disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak (Pratisari

2010).

Transportasi ikan hidup pada dasarnya memaksa dan menempatkan ikan

dalam suatu lingkungan yang berlainan dengan lingkungan asalnya, disertai

dengan perubahan sifat lingkungan yang mendadak. Ikan hidup yang akan dikirim

dipersyaratkan dalam keadaan sehat dan tidak cacat untuk mengurangi kematian

selama pengangkutan (Kusyairi, Hayati, and Madyowati 2015).

Prinsip dari penanganan ikan hidup adalah mempertahankan

kelangsungan hidup ikan semaksimal mungkin sampai ikan tersebut diterima oleh

konsumen. Terdapat beberapa tahap penanganan untuk mencapai maksud tersebut

yaitu penanganan ikan sebelum diangkut, selama pengangkutan dan setelah

pengangkutan (Junianto 2003).

Menurut Arie (2000), terdapat beberapa kegiatan penanganan ikan hidup

setelahdilakukan pemanenan, yaitu: penyeleksian, penimbangan, pemberokan dan

pengangkutan.

a. Penyeleksian, dilakukan karena dalam satu periode pemanenan biasanya ukuran

ikan sangat beragam. Ikan perlu diseleksi dan dipisahkan menurut ukurannya.

Ikan yang berukuran kecil sebaiknya dipelihara kembali dalam kolam

pembesaran.
8

b. Penimbangan, ikan yang telah diseleksi ditimbang untuk mengetahui bobot ikan

dari satu periode pemeliharaan, maka dari bobot tersebut dapat diketahui

pendapatan dan keuntungan yang diperoleh.

c. Pemberokan, dapat diartikan sebagai kegiatan penyimpanan sementara sebelum

ikan dipasarkan dengan tujuan untuk membuang kotoran dalam tubuh ikan.

Pemberokan dapat dilakukan dalam bak, selama pemberokan ikan tidak diberi

pakan. Pemberokan dilakukan selama 24 jam untuk perjalanan yang lebih dari

12 jam (Mangunkusumo 2009). Pemberokan dilakukan 1-2 hari untuk ikan

ukuran konsumsi (Junianto 2003)

d. Pengangkutan, untuk ikan konsumsi dapat diangkut dengan berbagai cara,

tergantung tujuan pasar lokal, luar daerah ataupun ekspor. Angkutan lokal

biasanya menggunakan sistem basah, sedangkan untuk luar daerah yang jauh

dan ekspor dilakukan dengan sistem kering

Ada dua metode yang dapat digunakan untuk transportasi ikan hidup yaitu

transportasi sistem basah dengan menggunakan media air dan transportasi sistem

kering menggunakan media tanpa air (Wibowo et al., 1994). Penggunaan sistem

basah untuk transportasi yang dekat karena semua aktivitas seperti metabolisme

dan respirasi sama dengan kondisi sebelum dilakukan transportasi. Namun sistem

ini memiliki kelemahan yaitu air yang digunakan sebagai media memberikan

tambahan beban selama transportasi dan kualitas air juga harus terjaga. Berbeda

halnya dengan transportasi sistem kering, sistem ini tidak menggunakan media air

sehingga lebih mudah, ekonomis, dan tanpa harus menjaga kualitas airnya serta

merupakan alternatif yang paling baik untuk digunakan terutama untuk kegiatan
9

ekspor dibandingkan dengan transportasi sistem basah (Sandrayani, Lumbessy,

and Damayanti 2013).

Transportasi sistem kering pada umumnya menggunakan prinsip hibernasi

yaitu menekan metabolisme organisme dalam kondisi lingkungan yang minimum

sehingga organisme tersebut mampu bertahan. Kendala yang dihadapi dalam

transportasi hidup, terutama untuk ekspor adalah jarak tempuh yang cukup jauh,

sehingga diperlukan media pengisi yang cocok dan ikan masih dapat bertahan

hidup sampai di tempat tujuan. Walaupun menurut Anonim (2007) ikan dapat

bertahan cukup lama hingga 24 jam, jika suhu tetap rendah dan lingkungan cukup

lembab

2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Transportasi Ikan Hidup

Faktor-faktor yang mempengaruhi transportasi ikan hidup dapat dibagi

menjadi beberapa macam diantaranya jenis ikan dan kepadatan. Kepadatan ikan

adalah bobot ikan yang berada pada suatu wadah dan waktu tertentu. Kepadatan

ikan yang dapat diangkut tiap wadah, dengan atau tanpa kematian ikan merupakan

persoalan penting dalam pengangkutan.

Kepadatan ikan tidak boleh teralu tinggi agar tidak berdesak-desakan.

Sediakan sedikit areal, atau sekitar setengah bagian dari tubuhnya. Kepadatan

dalam satu wadah sangat tergantung dari ukuran ikan. Ikan yang berukuran kecil,

jumlahnya lebih banyak dari ikan besar.

Kepadatan juga sangat tergantung dari lamanya pengangkutan. Ikan yang

diangkut dalam waktu yang lebih lama, kepadatannya harus lebih rendah,

dibanding ikan yang diangkut dalam waktu yang singkat. Ini sangat tergantung

dari ketersediaan oksigen selama pengangkutan.


10

Waktu pengangkutan juga harus diperhatikan. Karena ikan hidup pada

kisaran suhu tertentu. Suhu yang melebihi ambang batas hidupnya bisa berakibat

fatal. Demikian juga dengan suhu yang kurang dari ambang batas hidupnya.

Namun yang sering terjadi adalah melebihi ambang batas, karena selama

pengangkutan, suhu akan naik.

Menentukan waktu pengangkutan harus tepat. Ini berkaitan erat jarak yang

akan tempuh dan lamanya pengangkutan. Selain itu juga berkaitan erat dengan

prinsip pengangkutan, yaitu bagaimana menciptakan suasana yang nyaman bagi

ikan. Tentu saja itu terjadi pada suhu rendah. Karena itu pengangkutan ikan harus

dilakukan pada malam hari, sehingga bila terjadi kenaikan suhu selama

pengangkutan, kenaikan itu tidak terlalu tinggi. Bila ikan akan diangkut selama 12

jam, maka berangkatnya harus sore hari, sehingga tiba di tempat tujuan pada

malam atau pagi hari.

2.3. Janis – Jenis Transportasi Ikan Hidup

Ada dua sistem transportasi yang digunakan untuk hasil perikanan hidup di

lapangan. Sistem transportasi tersebut terdiri dari transportasi sistem basah dan

transportasi sistem kering (Junianto 2003).

Menurut Jailani (2000), pada transportasi sistem basah, ikan diangkut

didalam wadah tertutup atau terbuka yang berisi air laut atau air tawar tergantung

jenis dan asal ikan. Pada pengangkutan dengan wadah tertutup, ikan diangkut di

dalam wadah tertutup dan suplai oksigen diberikan secara terbatas yang telah

diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan selama pengangkutan. Pada

pengangkutan dalam wadah terbuka, ikan diangkut dengan wadah terbuka dengan

suplai oksigen secara terus menerus dan aerasi selama perjalanan. Transportasi
11

basah biasanya digunakan untuk transportasi hasil perikanan hidup selama

penangkapan di tambak, kolam dan pelabuhan ke tempat pengumpul atau dari satu

pengumpul ke pengumpul lainnya.

Menurut Achmadi (2005), transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem

kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan

bukan air. Pada transportasi ikan hidup tanpa media air, ikan dibuat dalam kondisi

tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Transportasi sistem

kering ini biasanya menggunakan teknik pembiusan pada ikan atau ikan

dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas dalam media tanpa air

(Suryaningrum et al. 2007).

2.4. Pengertian Transportasi Ikan Hidup Sistem Kering

Sufianto (2008) menyatakan bahwa transportasi ikan hidup tanpa media air

merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan

air. Ikan dibuat dalam kondisi tenang atau akifitas respirasi dan metabolismenya

rendah karena tidak menggunakan air. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila ikan

dalam kondisi pingsan. Pemingsanan ikan merupakan suatu tindakan yang

membuat kondisi dimana tubuh ikan kehilangan kemampuan untuk merasa

(insensibility) (Miranti, Abadi, and Marlinda 2010).

Transportasi sistem kering merupakan transportasi yang tidak menggunakan

air sebagai media transportasi, namun demikian bisa membuat lingkungan atau

wadah dalam keadaan lembab. Sistem basah terbagi atas dua metode, yakni

metode terbuka dan metode tertutup (Hermawan, Raharjo, and Hasan 2014).

Saat ini transportasi ikan hidup sistem kering semakin berkembang terutama

untuk crustacea, tetapi untuk ikan masih merupakan hal yang baru dan belum
12

berkembang di masyarakat. Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu

dilakukan proses penanganan atau pemingsanan terlebih dahulu. Kondisi ikan

yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan

konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi rendah

sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut

dapat meningkat. Metode pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan cara

menggunakan zat anestesi atau dapat juga menggunakan penurunan suhu.

2.5. Media Transportasi Ikan Hidup

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan berbagai bahan

pengisi mampu mempertahankan kondisi udang tetap dalam keadaan imotil

sehingga mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Prasetiyo (1993)

menyatakan bahwa bahan pengisi harus memiliki kriteria yaitu sifat berongga,

dapat menyimpan air, mampu menjaga suhu serta mampu menahan ikan.

Serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan

pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk gergaji dapat

digunakan sebagai media pengisi karena mempunyai panas jenis yang lebih besar

daripada sekam padi atau serutan kayu. Serbuk gergaji juga memiliki tekstur yang

baik dan seragam serta nilai ekonominya relatif rendah. Serbuk gergaji yang

digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang sedikit mengandung getah atau

resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun, tidak berbau tajam dan bersih

(Junianto 2003)

Menurut Hastarini (2006) dalam Ahdiyah (2011) spon memiliki daya serap

air yang tinggi sebanyak 14 kali berat sponnya. Menurut Junianto (2003) dan

Wibowo (1993) serbuk gergaji memiliki kemampuan dalam mempertahankan


13

suhu. Menurut Anonim (2012) sabut kelapa memiliki kemampuan menahan beban

sedangkan menurut Suryaningrum et al., (2000) selain memiliki bentuk berupa

tabung, jerami mampu menyerap air dan mampu mempertahankan suhu lebih

lama.Bahan pengisi seperti serbuk gergaji, serutan kayu, kertas koran, busa, dan

lain sebagainya berfungsi sebagai penahan ikan hidup agar tidak bergeser dalam

kemasan, menjaga suhu kemasan tetap rendah dan ikan tidak imotil, serta

memberikan lingkungan dalam kemasan yang memadai untuk kelangsungan

hidup ikan.

Busa merupakan media pengisi yang dapat mempertahankan dingin dan

kelembaban dengan baik, karena mempunyai daya serap air yang baik. Selain itu

busa tersebut mempunyai bobot yang ringan sehingga akan memperbesar nilai

efisiensi kemasan (Sufianto, 2008). Untuk itu pada studi ini akan dilihat efektifitas

dari bahan pengisi kemasan seperti busa dalam mempertahankan suhu agar tetap

rendah dan ikan tetap dalam kondisi pingsan yang lebih lama (Miranti, Abadi, and

Marlinda 2010).

Sekam padi merupakan media pengisi yang memiliki tekstur yang baik dan

seragam. Bentuknya menyerupai kantong yang dapat berfungsi menyimpan air

(Muslih 1996). Sekam padi merupakan salah satu media pengisi yang paling

efektif selain serbuk gergaji, akan tetapi penggunaan sekam padi memiliki resiko

yang tinggi terhadap adanya residu pestisida. Sebelum digunakan, sekam padi

harus diberi perlakuan terlebih dahulu untuk menghilangkan residu pestisida

tersebut yaitu dengan pencucian dan perendaman (Junianto 2003).

Serutan kayu adalah bahan pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih

besar dibandingkan serbuk gergaji maupun sekam padi, akan tetapi serutan kayu
14

masih kurang efektif jika digunakan untuk transportasi lobster ataupun udang

hidup. Hal ini karena serutan kayu dapat menyebabkan kerusakan fisik pada biota

yang ditransportasikan. Serutan kayu tidak dapat mempertahankan suhu rendah

dalam waktu yang relatif lama sehingga suhu kemasan transportasi menjadi cepat

meningkat. Bahan pengisi ini juga memiliki tekstur yang kasar dan tidak seragam

(Prasetyo 1993).

Bahan lain yang dapat digunakan sebagai media kemasan adalah rumput

laut. Jenis rumput laut yang biasa digunakan sebagai media pengisi kemasan

adalah Gracilaria sp., rumput laut jenis ini mampu mempertahankan suhu rendah

lebih lama daripada bahan pengisi lainnya misalnya serbuk gergaji, serutan kayu

maupun sekam padi (Prasetyo 1993). Daya serap air yang dimilikinya lebih tinggi

dibandingkan dengan serbuk gergaji, sekam padi, serutan kayu maupun busa

sehingga mampu mempertahankan kelembapan udang atau lobster yang diangkut.

Rumput laut juga dipercaya mengandung daya awet alami yang dapat

berpengaruh positif terhadap lobster atau udang (Junianto 2003; Sufianto 2008).

2.6. Imotilisasi

Suhu adalah faktor pengontrol yang dapat mempengaruhi kelangsungan

hidup biota perairan. Ikan adalah hewan berdarah dingin (poikilothermal) yaitu

suhu tubuhnya dipengaruhi suhu lingkungan habitatnya sehingga metabolisme

maupun kekebalan tubuhnya sangat tergantung dari suhu lingkungan (Panjaitan

2004). Pengaruh suhu berdampak pada proses kimia fisika dan biologi organisme

akuatik. Pengaruh suhu rendah pada biota perairan yaitu kemampuannya dalam

mengambil oksigen (hypoxia). Menurunnya kemampuan ini disebabkan oleh

menurunnya detak jantung dan terganggunya osmoregulasi ikan. Suhu yang


15

diturunkan secara mendadak dapat mengakibatkan degenerasi sel darah merah

sehingga proses respirasi terganggu, perubahan suhu yang melebihi 3-4 °C dapat

mengakibatkan kejutan suhu dan kematian ikan (Boyd 1990).

Imotilisasi berprinsip hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme suatu

organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama

(Suryaningrum et al. 2008). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya dengan suhu

rendah (Ikasari et al.2008). Suhu air yang rendah dapat menurunkan aktivitas dan

tingkat konsumsi oksigen (Coyle et al. 2004). Pada imotilisasi udang dengan suhu

rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kondisi udang

dengan aktivitas yang minimal namun tetap hidup dan sehat setelah mengalami

pembugaran kembali (Wibowo dan Soekarto 1993).

2.7. Pemingsanan Secara Langsung

Penurunan suhu secara langsung, yaitu dilakukan dengan cara memasukkan

ikan hidup dalam media air dingin pada suhu tertentu selama waktu tertentu

sampai ikan imotil. Waktu dan suhu imotilisasi dipengaruhi oleh ukuran, umur

dan jenis ikan. Melalui imotilisasi dengan penurunan suhu secara langsung ini

ikan akan mengalami shock dan langsung berada dalam tingkat aktivitas, respirasi

dan metabolisme yang rendah. Selain itu, pada kondisi imotil tersebut aktivitas

ikan sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani

untuk transportasi (Nitibaskara et al. 2006).

Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode imotilisasi dengan

penurunan suhu langsung dan dengan penurunan suhu secara langsung dapat

mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses

pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).


16

2.8. Pengemasan

Menurut Hambali et al. (1990), diacu dalam Jailani (2000), pengemasan

merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan

maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan

produk yang dikemas, tetapi juga merupakan penunjang bagi transportasi,

distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan

dalam pemasaran.

Menurut Subasinghe (1997), kebanyakan eksportir mengemas ikan dalam

satu kotak pengemas sebanyak empat sampai lima lapis yang masing-masing

diselingi busa, setelah itu kotak pengemas disegel dengan lakban. Suhu kemasan

yang berukuran 50x50x50 cm3 agar dapat dipertahankan sama dengan suhu

pembiusan maka disarankan untuk menggunakan es seberat 0,5-1 kg yang

dibungkus dengan plastik. Es ini diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan.

Cara lainnya adalah meletakkan es ini di sudut kemasan. Es ini dimasukkan ke

dalam plastik kemudian dibungkus dengan kertas koran. Suhu kotak styrofoam

yang berukuran 40x60x40 cm3 dapat dipertahankan sama dengan suhu pembiusan

dengan menambahkan es seberat 0,5 kg sedangkan yang berukuran 30x30x40 cm3

dan 40x30x30 cm3 dengan menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang

dibungkus dengan plastik. Es ini diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi

et al. 1995; Jailani 2000; Suryaningrum et al. 2004; Handini 2008).


17

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Transportasi ikan hidup pada dasarnya adalah memaksa menempatkan ikan

dalam suatu lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan

disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak.

Transportasi ikan hidup terdiri dari dua metode yaitu sistem basah menggunakan

air dan sistem kering tanpa air.

Transportasi sistem kering pada umumnya menggunakan prinsip hibernasi

yaitu menekan metabolisme organisme dalam kondisi lingkungan yang

minimum sehingga organisme tersebut mampu bertahan. Pemingsanan ikan dapat

dilakukan dengan melakukan penurunan suhu secara bertahap dan secara langsung

serta menggunakan zat anestesi.

Ikan yang telah dipingsankan langsung dikemas dengan styrofoam,

styrofoam berisi media pengisi seperti busa, sekam padi, jerami, rumput alang –

alang, serut kayu, rumput laut, dan serbuk gergaji. Dalam transpotasi ikan suhu

dalam kemasan harus diperhatikan guna untuk mempertahankan kelangsungan

hidup ikan.

3.2. Saran
18

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi D. 2005. Pembiusan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan tegangan


listrik untuk transportasi sistem kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Amri K, Khairuman. 2003. Budi daya Ikan Nila Secara Intensif. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Andasuryani. 2003. Pengendalian suhu dan pengukuran oksigen pada peti kemas
transportasi sistem kering udang dan ikan dengan kendali fuzzy [tesis].
Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arie U. 2000. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Jakarta: Penebar Swadaya.

Abid, Muhammad Sholihul, Endang Dewi Masithah, and Prayoga. 2014. “Potensi
Senyawa Metabolit Sekunder Infusum Daun Durian (Durio Zibethinus)
Terhadap Kelulusanhidupaan Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Pada
Transportasi Ikan Hidup Sistem Kering” 6 (1): 93–99.

BPPAT DKP ] Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Departemen Kelautan dan
Perikanan.2001.NilaGift(Tilapias)http://suharjawanasuria.tripd.com/index.ht
m. [01 Januari 2009].

Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. USA:
Department of Fisheries and Allied Aquaqultures, Agricultural Experiment
Station Auburn University, Alabama.

Coyle SD, Durborow RM, Tidwell JH. 2004. Anesthetics in Aquaculture.


Southern Regional Aquaculture Center. Publication No 3900.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Bagi Pengolahan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta: Kanisius.

Gayatri D.2000. Studi pola penurunan suhu pada bak pemingsanan udang windu
(Penaeus monodon Fab.) tipe batch [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Handini W. 2008. Teknik pembiusan menggunakan suhu rendah pada sistem


transportasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Hermawan, Victorius Bagus, Eka Indah Raharjo, and Hastiadi Hasan. 2014.
“Teknik Pembiusan Menggunakan Suhu Rendah Pada Sistem Kering
Terhadap Ikan Tenggadak (Barbonemus Schanenfeldii).” Jurnal Ruaya 2:
39–43.

Jailani. 2000. Mempelajari pengaruh penggunaan pelepah pisang sebagai bahan


19

pengisi terhadap tingkat kelulusan hidup ikan mas (Cyprinus carpio)


[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kusyairi, Nurul Hayati, and Sri Oetami Madyowati. 2015. “Efektivitas Sistem
Transportasi Kering Tertutup Pada Pengangkutan Ikan Lele Dumbo (Clarias
Gariepinus)” 1 (1): 39–45.

Mafrian Kris, Maraja, Salindeho Netty, and Pongoh Jenki. 2017. “Penanganan
Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Hidup Dengan Mengunakan Es Sebagai
Pengawet” 5 (3): 174–79.

Miranti, Shavika, Reky Marian Abadi, and Shella Marlinda. 2010. “Studi
Transportasi Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Menggunakan Sistem Kering
Dengan Menggunakan Media Busa.” Journal Ilmiah, 1–9.

Nitibaskara R, Wibowo S, Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup


untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Pratisari, D A N. 2010. “Transportasi Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Hidup


Sistem Kering Dengan Menggunakan Pembiusan Suhu Rendah.” Skripsi, 61
hal.

Purwaningsih, Sri. 1998. “Sistim Transportasi Ikan Hidup” V (I).

Sandrayani, Salnida Yuniarti Lumbessy, and Ayu Adhita Damayanti. 2013.


“Pengaruh Media Pengisi Terhadap Kelangsungan Hidup Udang Vaname (
Litopenaeus Vannamei ) Pada Transportasi Sistem Kering” 1 (2): 20–27.

Suryaningrum TD, Setiabudi E, Muljanah I, Anggawati AM. 1994. Kajian


penggunaan metode pembiusan secara langsung pada suhu rendah dalam
transportasi lobster hijau pasir (Panulirus homarus) dalam media kering.
Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan 79: 56-72.

Suyanto AR. 2003. Nila. Jakara: Penebar Swadaya

Syamsudin U. 2001. Bubidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus).


http://pustakaserpong.blogspot.com/. [01 Januari 2009]

Utomo SP. 2001. Penerapan teknik pemingsanan menggunakan bahan anestetik


alga laut Caulerpa sp. dalam pengemasan ikan kerapu (Epinephelus suillus)
hidup tanpa media air [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Wibowo S. 1993. Penerapan Teknologi Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup


di Indonesia. Jakarta: Sub Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen
Kelautan dan Perikanan.

Anda mungkin juga menyukai