LAPORAN MAGANG
FAKULTAS PERTANIAN
2017
2
LAPORAN MAGANG
FAKULTAS PERTANIAN
2017
HALAMAN PENGESAHAN
JURUSAN : PERIKANAN
Disetujui Oleh
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui :
Dekan,
Ketua,
Fakultas Pertanian
Jurusan Perikanan
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya Saya dapat menyelesaikan
Laporan Magang tentang “Pembenihan Ikan Betok (Anabas testudineus bloch )
Secara Semi Intensif di Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kelurahan Selat
Hilir Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Tujuan dan Manfaat...................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Ikan Betok...............................................................................4
2.2. Morfologi...................................................................................................4
2.3. Teknik Pemijahan Secara Semi Intensif....................................................5
2.4. Pemijahan Ikan Betok...............................................................................5
2.5. Kualitas Air...............................................................................................6
III. METODE MAGANG
3.1. Waktu dan Tempat....................................................................................7
3.2. Alat dan Bahan..........................................................................................7
3.3. Prosedur Praktek........................................................................................8
3.4. Desain Praktek.........................................................................................12
3.5. Pengumpulan Data..................................................................................12
3.6. Analisis Data...........................................................................................13
3.7. Jadwal Kegiatan......................................................................................15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil.........................................................................................................16
4.2. Pembahasan.............................................................................................27
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan..............................................................................................39
5.2. Saran........................................................................................................40
Daftar Pustaka
Lampiran
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
Perairan rawa memiliki kualitas air yang memiliki pH asam dan kandungan
oksigen yang rendah. Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam
dengan pH yang berkisar antara 3,0 - 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih
tinggi dengan pH yang berkisar antara 4,0 - 5,1 dibawah dengan gambut dalam
dengan pH yang berkisar antara 3,1 - 3,9. Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na)
dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah
sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total
termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N
tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun
kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
Pada perairan rawa terdapat beberapa jenis ikan lokal tertentu yang dapat
bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik sebagai habitat asli dan um
umnya didominasi oleh ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan Labyrinthici
(Firdaus et al., 2002) , salah satu ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan
(Labyrinthici) adalah Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch).
Dengan demikian ikan betok merupakan ikan yang dapat dibudidayakan dilahan
gambut.
Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) adalah jenis ikan yang pada umumnya
di peroleh dengan cara penangkapan di alam, akan tetapi dengan seringnya
penangkapan ikan betok dialam dari berbagai ukuran menyebabkan terjadi
overfishing yang berakibat berkurangnya produksi ikan betok di pasaran. Oleh
sebab itu diperlukan kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksi ikan betok
dengan melalui proses kegiatan pembenihan.
Dalam pembenihan ikan betok menyangkut dua yaitu, breeding dan seeding.
Breeding a dalah suatu perlakuan terhadap induk sehingga menghasilkan larva.
Sedangkan seeding adalah proses dari larva hingga benih dan siap dipasarkan
(Sutisna dan Sutarmanto, 1995).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Benih Ikan Sei Batang, bahwa
produksi ikan betok (Anabas testidineus Bloch) yang dapat dihasilkan adalah
berkisar antara 1000 – 2500 benih (Tim Penyusun Laporan. 2017) , sedangkan
menurut Asyari (2009), menyatakan bahwa ikan betok mempunyai potensi
menghasilkan benih yang tinggi berkisar antara 1.982 – 11.570 benih. Untuk
mendapatkan hasil benih yang memenuhi kualitas dan kuantitas yang berdasarkan
Asyari (2009) diperlukan pengelolaan yang baik terhadap induk ikan yang akan
dipijakan maupun persiapan pakan alami diwadah pendederan.
3
Manfaat dari kegiatan magang ini adalah dapat memberikan pengetahuan serta
wawasan yang bermanfaat bagi mahasiswa dalam kegiatan pembenihan ikan
betok atau jenis ikan lainnya dan dapat mengetahui bagaimana kegiatan sehari –
hari budid aya ikan pada Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang yang dapat di
terapkan mahasiswa dalam kegiatan budidaya ikan.
4
Ikan betok (Anabas testudineus bloch) merupakan salah satu jenis ikan air
tawar yang tergolong komersil, mempunyai nilai ekonomis penting dan sangat
digemari oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Menurut Saanin (1986), ikan betok
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Labyrinthici
Famili : Anabantidae
Genus : Anabas
Spesies : Anabas testudineus Bloch
II.2. Morfologi
Secara umum ikan betok berbentuk lonjong lebih ke belakang menjadi pipih
kepala relatif besar, mulut tidak dapat ditonjolkan. Gurat sisi sempurna dan di
bagian belakang di bawah sirip punggung yang berjari-jari lunak menjadi putus.
Sirip punggung terdiri dari 17 buah jari-jari keras dan lemah, sirip disokong oleh
10 buah jari-jari keras dan 15 buah jari-jari lemah sirip perut mempunyai 1 buah
jari-jari keras dan 3 buah jari-jari lemah.
Di alam, pemijahan ikan betok terjadi sekali setahun pada waktu musim
penghujan, dan ikan ini termasuk jenis ikan yang sangat sulit memijah secara
alami dalam lingkungan budidaya. pada saat musimnya ikan ini mampu memijah
2 – 3 kali dengan jumlah telur (fekunditas) 5.000 – 15.000 butir. Ikan betok
hingga saat ini belum dapat dibudidayakan, karena teknik perkembangbiakan dan
pembesaran yang belum diketahui dengan baik. Salah satu upaya untuk
pengembangan budidaya ini adalah dengan menyediakan benih melalui
reproduksi, dengan proses pemijahan induk di hatchery (Muhammad et al. 2003).
6
Kegiatan Magang ini dilaksanakan selama 1 bulan (30 hari) yang terhitung
dari tanggal 02 September 2017 sampai dengan 02 Oktober 2017. Tempat
pelaksanaan magang adalah Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten
Kapuas , Provinsi Kalimantan Tengah.
Alat yang digunakan dalam teknik pemijahan ikan betok secara semi intensif
beserta jumlah dan kegunaannya sebagaimana dapat dilihat pada (Tabel 1).
Bahan yang digunakan dalam Teknik pemijahan ikan betok secara semi alami
sebagaimana dapat dilihat (Table 2).
Tabel 2. Bahan yang digunakan pada kegiatan Pemijahan Ikan Betok beserta
keterangan kegunaan bahan tersebut.
Kultur pakan alami yang di uji coba pada kegiatan ini menggunakan
wadah akuarium berukuran 1,72m x 1,32m x 70m dengan tambahan alat aerasi
untuk menyuplai oksigen ke dalam media kultur, media kultur yang digunakan
pada uji coba ini adalah air sungai yang telah melalui proses filterisasi dengan
volume 2.060 liter . Persiapan alat dapat dilihat pada Lampiran 6.
Setelah persiapan alat dan bahan telah selesai , lakukan pengisian air
dalam wadah kultur dan diberi aerasi. Pupuk organik yang telah ditimbang
dibungkus menggunakan kain dan digantung di atas wadah kultur pakan alami.
Pupuk organik (Kapur , TSP , Urea) yang telah di hancurkan menggunakan
mangkok dengan diberi air agar mempermudah hancurnya bahan, lalu setelah
Pupuk organik telah dihancurkan kemudian di sebar rata di wadah kultur pakan
alami. Setelah dibiarkan selama 4 hari.
III.3.1.6. Panen
Induk ikan betok yang sudah matang kelamin di sortir untuk melihat induk
yang memiliki kualitas yang baik dan tidak terserang penyakit. Seleksi induk
dilakukan dengan menyesuaikan berdasarkan kriteria menurut Suriansyah (1991) ,
bahwa ciri ikan betok jantan yang telah matang gonad yaitu ; bentuk badan
langsing, warna tubuh agak cerah , perut rata dan bila dipijat pada bagian perut
akan mengeluarkan cairan putih susu (sperma) . Sedangkan ciri induk betina yaitu
; tubuh lebar kesamping (membesar) , warna agak gelap , pada bagian urogenital
berwarna kemerah merahan dan bila bagian perut di pijat akan mengeluarkan sel
telur. Seleksi induk dan ciri – ciri induk jantan dan betina ikan betok dapat dilihat
pada (Lampiran 7).
III.3.2.3. Pemberokan
Setelah penyuntikan kedua induk betina , maka ovulasi akan terjadi setelah
5 jam berikutnya. Masa ovulasi akan berlangsung selama 4 – 6 jam. Setelah
ovulasi selesai induk ikan betok dipisahkan dari telur dan dikembalikan dalam
wadah pemeliharaan pemeliharaan induk. Telur – telur ikan betok yang telah
dibuahi berbentuk bulat , transparan, dan menyebar didalam dan diluar permukaan
air. Jika telur berwarna putih susu berarti telur tidak dibuahi dan harus segera
dipisahkan ke wadah lain.
Telur Ikan Betok yang telah dibuahi akan menetas setelah 12 jam masa
inkubasi pada suhu 30oC. Selama proses penetasan suhu dan oksigen terlarut
dalam air harus disesuaikan dengan kebutuhan telur untuk menetas, hal ini
dilakukan agar memperkecil jumlah telur ikan yang tidak menetas.
Larva ikan betok setelah menetas masih memiliki kantong kuning telur
pada tubuhnya yang digunakan sebagai bahan makanannya. Kuning telur itu habis
setelah 2 -3 hari telur menetes. Setelah kuning telur habis harus segera diberikan
bahan makanan yang berupa pakan alami yang telah dikultur.
12
Pendederan Ikan dilakukan pada benih ikan betok yang telah berumur 2 –
3 minggu. Pada kolam pendederan telah di beri perlakuan untuk menumbuhkan
Pakan alami , sehingga pada kolam pendederan telah tersedia pakan alami untuk
menunjang pertumbuhan benih ikan betok. Pendederan larva ikan betok jantan
dan betina dapat dilihat pada (Lampiran 7).
Pada magang ini menggunakan pakan yang diberikan pada larva pada umur 4
– 20 hari dengan menggunakan pakan alami yang berasal dari kegiatan kultur
pakan alami. Pada kultur pakan alami menggunakan bahan dari pupuk organik
seperti : kotoran ayam, urea, tsp, dan kapur pertanian. Pada kultur ini diharapkan
akan tumbuh pakan alami berjenis alga hijau (fitoplankton) dan rotifera
(zooplankton), akan tetapi jika jenis pakan alami yang akan tetap diberikan
kepada larva ikan betok jika sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva ikan betok.
dan faktual mengenai data atau kegiatan yang tidak terbatas pada pengumpulan
dan penyusunan data semata. Pada kegiatan Magang ini metode observasi yang
digunakan terdiri dari uji coba laboratorium dan observasi lapangan. Uji coba
laboratorium menghasilkan data primer sedangkan observasi lapangan
menghasilkan data sekunder.
Data primer meliputi pakan alami yang kultur, kualitas induk, fekunditas
induk ikan, fertile rate, hatching rate, survival rate larva ikan dan pertumbuhan
mutlak benih ikan betok. Sedangkan untuk data sekunder meliputi cara
penanganan, kualitas air , dan pakan alami yang dihasilkan.
Data dan Informasi yang diperoleh dari kegiatan magang di BBI Sei Batang
akan di tabulasi dan dibahas secara deskriptif. Analisis data memiliki cara kerja
yaitu memasukan data hasil pembenihan , keberhasilan pembenihan dan jumlah
hasil larva yang menetas akan dicatat dan ditampilkan dalam bentuk perhitungan
hasil pencatatan data dan jumlah penetasan benih yang dihasilkan selama kegiatan
magang.
Untuk Fekunditas , Fertile Rate , Hatching Rate , Survival Rate dan
Pertumbuhan Mutlak dapat di Analisa menggunakan rumus sebagai berikut :
a. Rumus Fekunditas (Jumlah Total Telur):
Perhitungan Jumlah Total Telur Yang Keluar (hatching rate) berdasarkan
rumus Effendie (1979),
Mencari Luas Alas :
a=PxL
Keterangan : a = Luas Alas , P = Panjang, L = Lebar
Pengambilan Sample :
Fekunditas :
Un
Fekunditas= X Luas Penampang
Luas Ubin
Keterangan :
Un = Rata – rata sample yang diambil dari Ubin
a. Fertile Rate (Tingkat Pembuahan Telur)
Perhitungan tingkat pembuahan telur (fertile rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979) , yaitu :
Jumlah Telur Yang Terbuahi
FR= X 100
Jumlah Telur Yang Dikeluarkan
Nt
S= X 100
No
Keterangan : S = Survival Rate (%)
Nt = Jumlah Larva Yang Hidup
No = Jumlah Ikan Larva Yang Menetas
15
IV.1. Hasil
16
Hasil kegiatan magang di Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten
Kapuas diperoleh dari kegiatan pemijahan ikan betok (Anabas testidineus bloch)
sebagai berikut :
Balai Benih Ikan Sei Batang sebagai salah satu Unit Pembenihan dalam unit
kerja Dinas Perikanan Kabupaten kapuas mempunyai visi mewujudkan peran
Balai Benih Ikan (BBI) pemberi layanan prima sektor pembangunan perikanan
dan meningkatkan produksi benih dan induk ikan air tawar sesuai standar mutu
(SNI) dalam rangka mendukung usaha budidaya ikan air tawar yang berkelanjutan
dan berkeadilan, hal tersebut diimplementasikan dalam tugas dan fungsi Balai
Benih Ikan sebagai berikut yaitu
a) Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten Kapuas mempunyai tugas
dalam pengelolaan benih ikan.
b) Melaksanakan sebagian fungsi Dinas di bidang pengembangan benih dan
induk ikan.
17
IV.1.1.2. Geografis
Luas wilayah Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas adalah
46,228 km2 atau 4,6 Ha dengan letak Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten
Kapuas terletak pada posisi antara: 114° 22. 145’ Lintang Timur dan 03° 00 ,
653’ Lintang Selatan.
Balai Benih Ikan Sei Batang memiliki batas wilayah yang berbatasan pada
Sebelah Timur adalah Kelurahan Selat Barat , Sebelah Selatan adalah Sungai
Kapuas , Sebelah Utara Kelurahan Selat Barat serta pada sebelah Barat adalah
berbatasan dengan Kelurahan Selat Hilir (Tim Penyusun Laporan. 2017). Lokasi
wilayah BBI Sei Batang dapat dilihat pada (Gambar 2).
IV.1.1.3. Topografis
Secara topografis Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas, pada
bagian timur terdiri dari dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0 – 5 meter dari
permukaan air laut yang mempunyai elevasi 0 % – 8 % serta dipengaruhi oleh
18
pasang surut dan merupakan daerah yang mempunyai potensi banjir yang cukup
besar (air pasang surut laut) dan berbatasan langsung dengan Kelurahan Selat
Pada bagian barat terdiri dari dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0 – 5
meter dari permukaan air laut yang mempunyai elevasi 0 % – 8 % serta
dipengaruhi oleh pasang surut dan merupakan daerah yang mempunyai potensi
banjir yang cukup besar (air laut/pasang naik) dan berbatasan langsung dengan
Kelurahan Selat Hilir (Tim Penyusun Laporan. 2017).
IV.1.1.4. Iklim
Wilayah Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas pada umumnya
termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur berkisar antara 21
– 33 ºC dan maksimal mencapai 36 ºC. Intensitas penyinaran matahari selalu
tinggi dan sumberdaya air yang cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya
penguapan yang menimbulkan awan aktif / tebal. Curah hujan terbanyak jatuh
pada bulan Desember, berkisar diantara 886 – 1.789.mm tiap tahun, sedangkan
bulan kering/kemarau jatuh pada bulan April s/d Agustus (Tim Penyusun
Laporan. 2017).
Hasil pakan alami yang dapat diidentifikasi dan dilihat pada wadah
pendederan yang dapat di identifikasi yaitu , dari golongan zooplankton adalah
Dapnia , Rotifera dan Copepoda , sedangkan untuk fitoplankton adalah Spirogyra.
Klasifikasi pakan alami yang telah di identifikasi dapat dilihat pada (Lampiran 8).
Induk ikan betok yang digunakan pada pemijahan secara semi intensif
diseleksi secara morfologi, Tanda yang terdapat pada induk jantan yang telah
matang gonad dan siap untuk dipijahkan yaitu : Berbadan tidak cacat, agresif,
tidak terserang penyakit dan jika ditekan bagian perut akan mengekuarkan cairan
putih berupa sperma, sedangkan pada induk betina yang telah matang gonad dan
siap untuk dipijahkan yaitu : bagian perut membuncit , bagian perut jika di
pegang terasa lunak dan urogenital berwarna merah (Lampiran 7).
letakan di wadah pemberokan , sedangkan pada metode ke-2 (dua) adalah metode
di mana induk ikan betok dilakukan pemberokan selama 8 (delapan) jam dari
kegiatan seleksi induk dikolam pemeliharaan. Berikut adalah fekunditas pada
induk betina ikan betok dengan lama waktu pemberokan yang berbeda (Tabel 7)
Pada Pemberokan selama 8 jam hasil fekunditas dari 4 (empat) induk ikan
betina menghasilkan telur sebanyak 46.527 telur. Sedangkan pada perlakuan 48
jam fekunditas dari 6 (enam) induk yang dipijahkan tidak menghasilkan telur.
Ikan Betok merupakan jenis ikan yang mengeluarkan telur diluar tubuh,
setelah induk betina melepaskan telur maka induk jantan akan melepaskan
sperma. Data hasil pemijahan dapat dilihat di (Tabel 8).
Fekunditas
X 0
Teknik menghitung fekunditas dapat dilihat pada (Lampiran 3
Jumlah Telur yang terbuahi (Fertile Rate) pada masing – masing wadah yang
dapat dilihat pada (Tabel 9). Pada wadah pemijahan menggunakan Baskom (II
dan IV) memiliki presentase jumlah telur yang terbuahi yang lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan penggunaan wadah Akuarium (I dan III).
Jumlah telur yang menetas (Hatching Rate) pada masing – masing wadah
yang dapat dilihat pada Tabel 11. Pada wadah IV hasil hatching rate memiliki
presentase tertinggi yaitu 69.35% , jika di banding dengan wadah I , II , dan III.
Wadah Pemijahan
Pada wadah pemijahan induk ikan betok memiliki kualitas air yang dapat dilihat
pada (Tabel 14).
Wadah Pendederan
26
IV.2. Pembahasan
Jenis – jenis pakan alami yang berhasil diperoleh dan dapat dimakan oleh
larva betok adalah jenis Brachionus sp dari Kingdom rotifera (zooplankton) yang
memiliki ukuran tubuh 80-120 μm dan dapat dimakan oleh larva ikan betok.
Kalsifikasi Brachionus sp dapat dilihat pada lampiran 8.
Jumlah induk jantan yang digunakan dalam pemijahan ikan betok adalah
12 induk jantan , dengan berat rata – rata induk adalah 28.41 gr dan induk betina
yang digunakan dalam pemijahan adalah 4 induk betina dengan berat rata – rata
induk 90.4 gr. Perbandingan yang digunakan dalam kegiatan pemijahan ikan
betok adalah 3 (Jantan) : 1 (Betina). Pemberokan dilakukan selama 8 jam ,
sedangkan untuk pemberokan yang dilakukan selama 48 jam mengalami
kegagalan dalam Ovulasi telur.
Gambar 3. Ciri – ciri Induk Betina Gambar 4. Ciri – ciri Induk Jantan
Seleksi induk ikan betok dilakukan setelah dilakukan pengambilan induk
pada kolam pemeliharaan. Kegiatan seleksi induk harus dilakukan dengan hati -
hati agar tidak menimbulkan gangguan fisik atau psikis. Seleksi induk untuk ikan
jantan dilakukan dengan dengan melihat morfologis tubuh ikan dan untuk
memastikan kematangan induk , dilakukan penekanan pada bagian perut untuk
melihat apakah terdapat sperma pada induk tersebut. Penekanan pada bagian perut
29
induk jantan akan dapat merusak kantong sperma , sehingga penekanan tersebut
dilakukan secara pelan – pelan agar kantong sperma tidak rusak. Ciri - ciri induk
jantan ikan betok dapat dilihat pada (Gambar 4).
IV.2.2.2. Pemberokan
Pada kegiatan pemijahan ikan betok di BBI Sei Batang pemberokan induk
ikan dilakukan selama 8 jam dari kegiatan seleksi induk. Akan tetapi pada
kegiatan magang ini dilakukan pemberokan selama 48 jam, Hasil larva yang di
dapatkan dari dua metode tersebut bahwa induk di berok selama 8 jam dapat
menghasilkan telur yang lebih banyak, jika di bandingkan dengan induk ikan yang
diberok selama 48 jam pemberokan yang tidak terdapat induk yang menghasilkan
telur. Hal itu disebkan oleh lama waktu pemberokan yang digunakan pada setiap
daerah berbeda, hal itu dipengaruhi oleh kebiasaan hidup atau lingkungan pada
30
tempat ikan itu hidup. Sehingga lama waktu pemberokan juga dapat
menyesuaikan kondisi lingkungan pada masing – masing daerah.
Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh induk pada saat
pemijahan. Jumlah telur yang dikeluarkan merupakan satu mata rantai
penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya (Bagenal, 1978).
Berikut hasil fekunditas dari pemijahan ikan betok selama kegitan magang :
31
Fekunditas
15.73
15.12
16.000
14.000
12.000
10.000 8.62 Hasil (Butir Telur)
7.06
8.000
6.000
4.000
2.000 0
0.000
I II II IV X
Berdasarkan data diatas bahwa pemijahan ikan betok pada masing induk
dengan menggunakan wadah pemijahan yang berbeda , bahwa pemijahan ikan
menggunakan aquarium (label I dan III) menghasilkan fekunditas yang besar jika
dibandingkan pemijahan pada wadah Baskom (Label II dan IV). Hal itu diikuti
dengan perbedaan berat induk betina yang digunakan. Pada Aquarium ukuran
berat induk lebih besar dibandingkan dengan induk yang digunakan pada baskom.
Menurut Slamat (2012) bahwa semakin berat induk betina akan semakin banyak
juga telur yang dihasilkan, sehingga perbedaan jumlah telur pada wadah akuarium
dan baskom dikarena perbedaan berat induk.
15.728 (Gambar 5), sehingga nilai fekunditas yang diperoleh pada pelaksaan
kegiatan magang masih pada kisaran normal.
Fertile Rate
Fertile Rate
9.72
10.000
8.23
9.000
8.000
7.000 5.78
6.000 4.71
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000 0
0.000 Hasil (Butir Telur)
I II III IV X
Sex ratio yang tepat, akan membuat proses fertilisasi terjadi optimal
karena jumlah sel telur mampu terbuahi oleh sel sperma. Hal ini diduga karena
dengan sex ratio yang tepat, jumlah sel seimbang. Hasil penelitian Burmansyah. et
al (2013) menunjukkan bahwa jumlah sperma satu induk jantan cukup untuk
membuahi telur yang dihasilkan satu induk betina dengan ukuran bobot tubuh
yang seragam. Berdasarkan hasil pengamatan telur yang terbuahi terlihat bening
dan transparan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rustidja (2004) dalam
Arsianingtyas (2009),yaitu telur yang terbuahi memiliki ciri transparan, sehingga
mudah dibedakan dengan telur yang mati.
Hatching Rate
Hatching Rate
4.21
4.500
3.74
4.000
3.26
3.500 3.07
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
0.500 0
0.000 Hasil (Butir Telur)
I II III IV X
Menurut Prochazka (2009) dalam Nugraha et al., (2012) suhu yang rendah
akan menghasilkan waktu penetasan yang lambat sedangkan suhu yang dalam
kisaran optimum akan mempercepat proses penetasan. Menurut Nugraha et al.,
(2012) Suhu juga mempengaruhi aktivitas metabolisme pada embryogenesis dan
laju penyerapan kuning telur. Menurut Kamler (2002) dalam Budiardi et al.,
(2005) aktivitas metabolisme yang tinggi memerlukan energi yang besar sehingga
menyebabkan laju penyerapan volume kuning telur menjadi lebih cepat. Volume
kuning telur yang besar akan menghasilkan sumber energi yang mencukupi bagi
perkembangan embrio telur ikan sehingga telur cepat menetas.
Selain suhu dan volume kuning telur hormon juga berpengaruh terhadap
penetasan telur. Menurut Tishom, (2008) hormon akan bekerja normal (optimal)
pada dosis tertentu, penggunaan dosis yang lebih rendah atau lebih tinggi akan
menurunkan potensi biologis hormone terhadap tergetnya. Hasil penelitian Zalina
et al., (2012), menunjukkan bahwa persentase penetasan telur ikan betok yang
diberikan perlakuan hormone LHRH-a sebanyak 20µg/kg bobot tubuh
menghasilkan persentase penetasan tertinggi yaitu 68,57 - 73,11%.
September 2017 yang air diperoleh berasal dari Sungai terjadi penyurutan yang
diakibatkan datangnya musim kemarau. Hal ini yang menyebabkan kondisi
lingkungan perairan tersebut menjadi menurun dan mempengaruhi Hatching Rate
telur yang ditetaskan.
Jenis pakan alami yang dapat dikonsumsi oleh larva ikan betok adalah
pakan alami yang berbentuk hewani (zooplankton) , karena zooplankton dapat
bergerak sehingga dapat merangsang larva ikan untuk memakannya. Selain itu
menurut Yulintine (2012) bukaan mulut larva ikan betok dari umur 0 – 20 hari
adalah berkisar antara 0.4 – 0.9 mm. Sehingga jenis pakan alami yang dapat di
makan oleh larva ikan betok hanya pakan berjenis Rotifera (Brachionus sp) dari
keempat jenis pakan alami yang dapat di identifikasi.
Pada wadah pendederan kolam beton tidak terdapat larva ikan yang hidup.
Hal ini dikarenakan terdapat ikan jenis lain (Ikan Lele) yang pada wadah
pendederan, sehingga diperkirakan bahwa larva ikan yang terdapat pada wadah
tersebut telah habis di makan oleh ikan lele tersebut.
Pada wadah kolam terpal jumlah larva pada awal pendederan adalah 3071
dan pada akhir masa pendederan larva ikan betok tersisa 64 ekor atau dengan
survival rate 2.08% , jumlah mortalitas larva yang tinggi diduga karena
ketersedian pakan alami berjenis Rotifera (Brachionus sp ) yang terdapat wadah
tersebut mulai berkurang, sehingga larva memangsa larva yang lain untuk dapat
bertahan hidup.
Hal ini sesuai dengan yang di kemukakan oleh Mujiman (1998) dalam
Safrizal, Et al 2010 yang menyatakan bahwa pemupukan untuk ketersediaan
bahan makanan bagi Rotifera (Brachionus sp) dalam media pada umumnya
hanya tersedia untuk waktu 3 - 4 hari, jika dilakukan pemupukan susulan setiap 5
- 6 hari sekali maka kepadatan Brachionus plicatilis dapat di pertahankan tetap
tinggi lebih dari 1 bulan. Media tertinggi adalah media M3 yaitu dengan puncak
kepadatan populasi mencapai angka sebesar 8.667 Ind/ml. Menurut Topan et al.
(2011), pakan alami merupakan syarat utama yang harus disediakan untuk
meningkatkan kelangsungan hidup dan perkembangan larva ikan.
Berbeda pada wadah Pendederan Hapa I dan Hapa II , jumlah pada masing
wadah pendederan tersebut tingkat kelangsungan hidupnya tinggi , yaitu : Pada
Hapa I pada awal pendederan adalah 3.742 ekor larva dan pada akhir pendederan
37
adalah 2.886 ekor larva dengan presentase survival rate 76.59% dan Hapa II pada
awal pendederan adalah 3263 dan pada akhir pendederan 858 ekor larva dengan
presentase larva 26.29% .
Hal ini disebabkan pakan alami Rotifera (Brachionus sp) telah tersedia
sebelumnya pada wadah tersebut, jadi perlakuan pemberian pupuk pada wadah
tersebut berguna sebagai bahan makanan pakan alami guna meningkatkan
populasi. jika dibandingkan kolam beton dan terpal diperlukan perlakuan
pemberian inokulan sebagai induk pakan alami yang digunakan sebagai bahan
makanan. Shasmand (1986) dalam Safrizal, Et al 2010 menyatakan bahwa dalam
mengkultur Rotifera (Brachionus sp) pemberian pupuk Urea dan TSP yang
seimbang sangat menentukan terhadap pertumbuhan fitoplankton sebagai sumber
bahan makanan dari Rotifera (Brachionus sp), keadaan ini disebabkan karena
pupuk Urea dengan kandungan unsur (N) sekitar 14.20% dapat meningkatkan
metabolisme fitoplankton sangat tergantung kepada unsur N dan P disebabkan
mempunyai kandungan gizi yang sangat bagus untuk mendukung pertambahan
terhadap fitoplankton terdapat dalam media kultur tersebut. Sehingga dengan
mudah Brachionus plicatilis ini berkembangbiak dengan baik.
antara 1,7 ppm – 2,5 ppm. Kisaran DO tersebut sangat minim kepada kondisi
minimum yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan larva ikan.
Menurut Sutisna (1995) pH air 4-9 adalah kisaran yang optimum pada
pembenihan ikan air tawar.. Oleh sebab itu nilai pH suatu kolam budidaya harus
tetap dijaga pada kondisi optimum (Kordi, 2010). Kisaran pH yang terdapat pada
perairan di BBI Sei Batang yaitu berkisar 5 – 6.
39
V. PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Hasil Kegiatan magang di Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten Kapuas
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
V.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam pelaksanaan magang ini , yaitu :
1. Agar pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan betok harus benar-
benar tersedia , melalui pemberian pupuk organic agar dapat
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva ikan betok.
2. Pakan Alami yang disiapkan sebaiknya adalah pakan alami dengan jenis
Kingdom Rotifera (Brachionus sp)
3. Dalam kegiatan pemijahan ikan betok secara semi intensif, sebaiknya
induk jantan dan betina harus dipilih yang telah matang gonad secara
morfologi.
4.
41
Daftar Pustaka
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi .1997 , Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi
Aksara,
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung Press. 190 h.
Effendie M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri Bogor. 50 hal.
Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Yogyakarta.
163 hal
Effendie M.I . 2002. Biologi Perikanan.Yayasan Pustaka Nusantara.Yogyakarta.
Firdaus, Sarifin. Halim. S., Riswandi.,A.M., 2002. Pembesaran Ikan Betok
(Anabas testudineus bloch) Dengan Sistem Ragam Tancap Di Lahan Rawa
Sebagai Salah Satu Alternatif Usaha Pemanfaatan Lahan. Loka Budidaya
Air Tawar Kalimantan Selatan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya .
Departemen Kelautan dan Perikanan . Banjarbaru
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture.Breeding and Cultivation of Fish.Ryre
& Spottiswoode Ltd, at the Press Margate. England.
Kordi, K.M.G.H. dan Tamsil, A. 2010. Budidaya Ikan Laut Ekonomis Secara
Buatan. Lily Publisher. Yogyakarta
Kordi, K. M. Ghufran. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Masrizal dan Efrizal. 1997. Pengaruh Rasio Pengenceran sperma Terhadap
Fertilitas Sperma dan Daya Tetas Telur Ikan Mas (Cyprinus carpio). Fish
J. Garing 6 (1): 1 – 9.
Mahyuddin, K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Muhammad, H Sanusi dan I Ambas. 2003. Pengaruh donor dan dosis kelenjar
hipofisa terhadap ovulasi dan daya tetas telur ikan betok (Anabas
testudineus Bloch). Jurnal Sains and Teknologi 3, 87-94.
Murtidjo B.A. (2001), Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
43
Wotton, R.J. 1994. Ecology of Teleost Fishes. Chapman and Hall. London. p 67.