Anda di halaman 1dari 52

PEMBENIHAN IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch ) SECARA SEMI INTENSIF

DI BALAI BENIH IKAN (BBI) SEI BATANG KELURAHAN SELAT HILIR


KECAMATAN SELAT KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN
TENGAH

LAPORAN MAGANG

Dalam Bidang Keahlian Budidaya Perairan

IRFAN KURNIAWAN SIDIK

CDB 114 005

KEMENTERIAN RISET , TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

2017
2

PEMBENIHAN IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch ) SECARA SEMI INTENSIF


DI BALAI BENIH IKAN (BBI) SEI BATANG KELURAHAN SELAT HILIR
KECAMATAN SELAT KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN
TENGAH

LAPORAN MAGANG

Dalam Bidang Keahlian Budidaya Perairan

IRFAN KURNIAWAN SIDIK

CDB 114 005

KEMENTERIAN RISET , TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

2017
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : Pembenihan Ikan Betok (Anabas testudineus


Bloch )
Secara Semi Intensif Di Balai Benih Ikan (BBI) Sei
Batang Kelurahan Selat Hilir Kecamatan Selat
Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah
NAMA : Irfan Kurniawan Sidik
NIM : CDB 114 005

JURUSAN : PERIKANAN

PROGRAM STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN

Disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Uras Tantulo , M.Sc Irawadi Gunawan , S.Pi, MP


NIP. 19670228 199203 1 002 NIP. 19681225 199512 1 001

Mengetahui :

Dekan,
Ketua,
Fakultas Pertanian
Jurusan Perikanan

Ir. Cakra Birawa, M.P


Ir. Natallo Bugar, M.P
NIP. 19640212 199002 1 002
NIP. 19581224 198701 1 001
i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya Saya dapat menyelesaikan
Laporan Magang tentang “Pembenihan Ikan Betok (Anabas testudineus bloch )
Secara Semi Intensif di Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kelurahan Selat
Hilir Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak


Dr. Ir. Uras Tantulo , M.Sc dan Irawadi Gunawan, S.Pi, M.P selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran serta masukan
yang bermanfaat di dalam penyusunan laporan magang ini.

Semoga Laporan ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Sekirannya Proposal yang telah tersusun ini dapat berguna bagi Saya sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila Laporan
magang ini belum sempurna dan saya memohon kritik dan Saran yang bersifat
membangun.

Palangka Raya , Oktober 2017

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Tujuan dan Manfaat...................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Ikan Betok...............................................................................4
2.2. Morfologi...................................................................................................4
2.3. Teknik Pemijahan Secara Semi Intensif....................................................5
2.4. Pemijahan Ikan Betok...............................................................................5
2.5. Kualitas Air...............................................................................................6
III. METODE MAGANG
3.1. Waktu dan Tempat....................................................................................7
3.2. Alat dan Bahan..........................................................................................7
3.3. Prosedur Praktek........................................................................................8
3.4. Desain Praktek.........................................................................................12
3.5. Pengumpulan Data..................................................................................12
3.6. Analisis Data...........................................................................................13
3.7. Jadwal Kegiatan......................................................................................15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil.........................................................................................................16
4.2. Pembahasan.............................................................................................27
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan..............................................................................................39
5.2. Saran........................................................................................................40
Daftar Pustaka
Lampiran
iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam kegiatan pemijahan Ikan Betok…… 7

Tabel 2. Bahan yang digunakan pada kegiatan pemijahan ikan betok…… 8

Tabel 3. Jadwal Kegiatan………………………………………………… 15

Tabel 4. Wadah Aquarium………………………………………………… 19

Tabel 5. Wadah Baskom…………………………………………………… 19

Tabel 6. Label Wadah Pendederan………………………………………… 20

Tabel 7. Lama Waktu Pemberokan……………………………………….. 21

Tebel 8. Berat Induk Betina Ikan Betok…………………………………… 22

Tabel 9. Hasil Fekunditas………………………………………………….. 23

Tabel 10. Hasil Fertile Rate……………………………………………….. 23

Tabel 11. Hasil Hatching Rate…………………………………………….. 24

Tabel 12. Lokasi Wadah Pendederan……………………………………… 24

Tabel 13. Hasil Larva Pada Wadah Pendederan……………………………24

Tabel 14. Kualias Air Pada Wadah Pemijahan…………………………….. 26

Tabel 15. Kualitas Air Pada Wadah Pendederan…………………………... 26


iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ikan Betok (Anabas testidineus Bloch)……………………… 4

Gambar 2. Perbatasan Wilayah BBI Sei Batang………………………… 17

Gambar 3. Ciri – ciri Induk Betina……………………………………… 28

Gambar 4. Ciri – ciri Induk Jantan……………………………………… 28

Gambar 5. Grafik Hasil Fekunditas……………………………………... 31

Gambar 6. Grafik Hasil Fertile Rate…………………………………….. 32

Gambar 7. Grafik Hasil Hatching Rate………………………………….. 33


1

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang sebagian besar


produksi ikannya berasal dari perairan umum (darat), seperti : Sungai, danau dan
rawa. Dengan Luas daerah perairan rawa seluas 1.811.500 Ha (BPS, 2008 ). Pada
perairan rawa terdapat beberapa jenis ikan lokal di Kalimantan Tengah yang dapat
bertahan hidup pada lingkungan rawa yang memiliki kualitas air dengan pH yang
rendah.

Perairan rawa memiliki kualitas air yang memiliki pH asam dan kandungan
oksigen yang rendah. Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam
dengan pH yang berkisar antara 3,0 - 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih
tinggi dengan pH yang berkisar antara 4,0 - 5,1 dibawah dengan gambut dalam
dengan pH yang berkisar antara 3,1 - 3,9. Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na)
dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah
sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total
termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N
tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun
kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).

Pada perairan rawa terdapat beberapa jenis ikan lokal tertentu yang dapat
bertahan hidup dan berkembang biak dengan baik sebagai habitat asli dan um
umnya didominasi oleh ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan Labyrinthici
(Firdaus et al., 2002) , salah satu ikan yang memiliki alat pernafasan tambahan
(Labyrinthici) adalah Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch).

Ikan betok memiliki banyak keunggulan dibandingkan ikan-ikan lokal


lainnya, karena dapat hidup dalam kondisi perairan yang minim oksigen, karena
memiliki kemampuan dalam mengambil oksigen di permukaan air, memiliki
toleransi terhadap perubahan pH yang cukup luas dengan kisaran pH 4-8 dan
mampu hidup dalam kondisi perairan yang hampir kering (Widodo et al. 2007).
2

Dengan demikian ikan betok merupakan ikan yang dapat dibudidayakan dilahan
gambut.

Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) adalah jenis ikan yang pada umumnya
di peroleh dengan cara penangkapan di alam, akan tetapi dengan seringnya
penangkapan ikan betok dialam dari berbagai ukuran menyebabkan terjadi
overfishing yang berakibat berkurangnya produksi ikan betok di pasaran. Oleh
sebab itu diperlukan kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksi ikan betok
dengan melalui proses kegiatan pembenihan.

Dalam pembenihan ikan betok menyangkut dua yaitu, breeding dan seeding.
Breeding a dalah suatu perlakuan terhadap induk sehingga menghasilkan larva.
Sedangkan seeding adalah proses dari larva hingga benih dan siap dipasarkan
(Sutisna dan Sutarmanto, 1995).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Benih Ikan Sei Batang, bahwa
produksi ikan betok (Anabas testidineus Bloch) yang dapat dihasilkan adalah
berkisar antara 1000 – 2500 benih (Tim Penyusun Laporan. 2017) , sedangkan
menurut Asyari (2009), menyatakan bahwa ikan betok mempunyai potensi
menghasilkan benih yang tinggi berkisar antara 1.982 – 11.570 benih. Untuk
mendapatkan hasil benih yang memenuhi kualitas dan kuantitas yang berdasarkan
Asyari (2009) diperlukan pengelolaan yang baik terhadap induk ikan yang akan
dipijakan maupun persiapan pakan alami diwadah pendederan.
3

I.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari kegiatan magang ini adalah :

1. Melakukan kultur pakan alami alga (fitoplankton) dan rotifera


(zooplankton) yang digunakan sebagai pakan awal pada stadia larva
ikan betok.
2. Mengetahui ciri – ciri induk ikan betok yang telah matang gonad
secara morfologi dan siap untuk dipijahkan
3. Untuk mengetahui jumlah Fekunditas telur yang dikeluarkan oleh
induk Betina Ikan Betok.
4. Mengetahui jumlah telur yang terbuahi (Fertile Rate) telur ikan betok
pada saat dilakukan pemijahan.
5. Mengetahui (Hatching Rate) telur ikan betok pada saat pemijahan.
6. Untuk mengetahui Survival Rate larva ikan Betok pada akhir
pemeliharaan.

Manfaat dari kegiatan magang ini adalah dapat memberikan pengetahuan serta
wawasan yang bermanfaat bagi mahasiswa dalam kegiatan pembenihan ikan
betok atau jenis ikan lainnya dan dapat mengetahui bagaimana kegiatan sehari –
hari budid aya ikan pada Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang yang dapat di
terapkan mahasiswa dalam kegiatan budidaya ikan.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Klasifikasi Ikan Betok

Ikan betok (Anabas testudineus bloch) merupakan salah satu jenis ikan air
tawar yang tergolong komersil, mempunyai nilai ekonomis penting dan sangat
digemari oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Menurut Saanin (1986), ikan betok
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Labyrinthici
Famili : Anabantidae
Genus : Anabas
Spesies : Anabas testudineus Bloch

II.2. Morfologi

Menurut Djuhanda (1981), ikan betok (Anabas testudineus bloch) ditutupi


oleh sisik yang berwarna hijau kehitaman pada bagian punggung dan putih
mengkilat/putih kehijau-hijauan dibagian perut. Ikan ini termasuk ordo
labyrinthici dikenal sebagai ikan labirin karena di dalam rongga insang bagian
atas insang tersebut terdapat alat pernapasan berbentuk labirin setiap ruang pada
labirin tersebut terdapat pembuluh-pembuluh darah yang dapat (mengekstrasi)
oksigen dari udara yang masuk ke dalam labirin, ikan betok dapat dilihat pada
(Gambar 1).
5

Gambar 1. Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch)

Secara umum ikan betok berbentuk lonjong lebih ke belakang menjadi pipih
kepala relatif besar, mulut tidak dapat ditonjolkan. Gurat sisi sempurna dan di
bagian belakang di bawah sirip punggung yang berjari-jari lunak menjadi putus.
Sirip punggung terdiri dari 17 buah jari-jari keras dan lemah, sirip disokong oleh
10 buah jari-jari keras dan 15 buah jari-jari lemah sirip perut mempunyai 1 buah
jari-jari keras dan 3 buah jari-jari lemah.

II.3. Teknik Pemijahan Secara Semi Intensif

Pemijahan Semi Intensif Menurut Mahyuddin (2008), apabila akan dipijahkan


dengan cara semiintensif, prosedur pemijahannya hampir sama dengan pemijahan
secara alami. Perbedaannya adalah pada pemijahan secara semiintensif, baik
induk jantan maupun betina, disuntik dengan menggunakan hormon perangsang
untuk pematangan dan ovulasi sel telur. Induk yang sudah disuntik, baik jantan
maupun betina dimasukkan ke dalam bak atau wadah pemijahan dan induk akan
melakukan pemijahan sendiri (alami) dalam wadah. Jadi, proses pemijahan dan
pembuahannya berjalan secara alami. Hormon perangsang dapat berupa Hormon
GnRH (Ovaprim).

II.4. Pemijahan Ikan Betok

Di alam, pemijahan ikan betok terjadi sekali setahun pada waktu musim
penghujan, dan ikan ini termasuk jenis ikan yang sangat sulit memijah secara
alami dalam lingkungan budidaya. pada saat musimnya ikan ini mampu memijah
2 – 3 kali dengan jumlah telur (fekunditas) 5.000 – 15.000 butir. Ikan betok
hingga saat ini belum dapat dibudidayakan, karena teknik perkembangbiakan dan
pembesaran yang belum diketahui dengan baik. Salah satu upaya untuk
pengembangan budidaya ini adalah dengan menyediakan benih melalui
reproduksi, dengan proses pemijahan induk di hatchery (Muhammad et al. 2003).
6

Kegiatan pemijahan ikan betok, ditandai dengan kegiatan saling kejar


mengejar terutama yang jantan selalu mengejar untuk menghalangi gerakan
induk betina dari depan dilakukan terus menerus sampai terjadi kontak body
selama kurang lebih 10–15 detik yang dilakukan berulang kali. Pada waktu terjadi
kontak body induk betina mengeluarkan telur dan jantan mengeluarkan sperma
(pemijahan). Penetasan telur yang telah dipijahkan oleh induk ikan dilakukan pada
bak pemijahan yang diberi aerasi sebagai penambah oksigen terlarut di dalam air.
Telur ikan Betok akan menetas antara 10 – 12 jam.

II.5. Kualitas Air


Air merupakan faktor terpenting dalam budidaya ikan, tanpa air ikan tidak
akan bisa hidup. Oleh karena itu, kualitas air harus diperhatikan agar budidaya
ikan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kualitas air merupakan faktor
penting selama pembesaran berlangsung. Baik buruknya kualitas air sangat
menentukan hasil yang akan dicapai. Kualitas air yang memenuhi syarat
merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan (Afrianto dan Liviawaty,
2005). Kualitas air yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pemijahan ikan betok
adalah Suhu , pH dan Dissolved Oxygen (DO)

Suhu optimal untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 28-32ºC.


Sedangkan Kriteria pH yang ideal bagi pertumbuhan ikan menurut Pescod (1973)
adalah 6,5-8,5. Pada Dissolved Oxygen (DO) Kadar oksigen terlarut terendah
yang dapat ditolerir ikan adalah 2-3 mg/L (Huet 1971).
7

III. METODE MAGANG

III.1. Waktu dan Tempat

Kegiatan Magang ini dilaksanakan selama 1 bulan (30 hari) yang terhitung
dari tanggal 02 September 2017 sampai dengan 02 Oktober 2017. Tempat
pelaksanaan magang adalah Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten
Kapuas , Provinsi Kalimantan Tengah.

III.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam teknik pemijahan ikan betok secara semi intensif
beserta jumlah dan kegunaannya sebagaimana dapat dilihat pada (Tabel 1).

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam kegiatan pemijahan Ikan Betok

No. Nama Alat Jumlah Kegunaan


1 Happa / Serok Induk 2 Seleksi induk ikan betok
2 Spuit 1 ml 2 Alat Menyuntik Ikan Betok
dan menyebar insektisida
3 Kain 1 Memegang Induk saat
dilakukan penyuntikan
4 Serok Kecil 1 Untuk mengambil Larva Ikan
5 Timbangan 1 Untuk menimbang berat tubuh
ikan betok dan bahan kultur
pakan alami
6 Baskom (60cm x 55 5 Sebagai wadah pemijahan
cm)
7 Aquarium (1,5 m x 1 Untuk Kultur Pakan Alami
1,5m)
8 Aerasi 6 Media Suplai Oksigen ke
Perairan
8

Bahan yang digunakan dalam Teknik pemijahan ikan betok secara semi alami
sebagaimana dapat dilihat (Table 2).

Tabel 2. Bahan yang digunakan pada kegiatan Pemijahan Ikan Betok beserta
keterangan kegunaan bahan tersebut.

No Nama Bahan Keterangan


1 Hormon GnRH (Ovaprim) Hormon Perangasang
2 Aquabides Sebagai Pengencer Hormon
3 Induk Jantan Kondisi Sehat
4 Induk Betina Kondisi Sehat
5 Pupuk Organik Kultur Pakan Alami
6 Bahan Kimia (TSP , Urea , dan Media Tambahan Kultur Pakan
Kapur) Alami
7 Jerami Pada Kering Untuk media tempat berkumpul
pakan alami.

III.3. Prosedur Praktek

III.3.1.Kultur Pakan Alami


III.3.1.1. Persiapan Alat Kultur Pakan Alami

Kultur pakan alami yang di uji coba pada kegiatan ini menggunakan
wadah akuarium berukuran 1,72m x 1,32m x 70m dengan tambahan alat aerasi
untuk menyuplai oksigen ke dalam media kultur, media kultur yang digunakan
pada uji coba ini adalah air sungai yang telah melalui proses filterisasi dengan
volume 2.060 liter . Persiapan alat dapat dilihat pada Lampiran 6.

III.3.1.2. Persiapan Bahan dan Menghitung Dosis Bahan

Bahan pokok yang digunakan adalah pupuk organik (kotoran ayam)


dengan dosis yang di timbang adalah 1000 gram. Bahan lain yang digunakan
sebagai penunjang dengan dosisnya, yaitu : Kapur Tani (100gr), Urea (100 gr) ,
Poska (100 gr) dan TSP (50 gr), Persiapan alat dapat dilihat pada Lampiran 6.

III.3.1.3. Perlakuan Air


9

Setelah persiapan alat dan bahan telah selesai , lakukan pengisian air
dalam wadah kultur dan diberi aerasi. Pupuk organik yang telah ditimbang
dibungkus menggunakan kain dan digantung di atas wadah kultur pakan alami.
Pupuk organik (Kapur , TSP , Urea) yang telah di hancurkan menggunakan
mangkok dengan diberi air agar mempermudah hancurnya bahan, lalu setelah
Pupuk organik telah dihancurkan kemudian di sebar rata di wadah kultur pakan
alami. Setelah dibiarkan selama 4 hari.

III.3.1.4. Pemberian jerami dan inokulan

Setelah 1 hari dari pemberian Insektisida dapat memberikan jerami pada


kering sebanyak 75 gram dan Inokulan (bibit) alga dan rotifera sebanyak 5 liter.
Pengambilan Inokulan dapat dilihat pada (Lampiran 6).

III.3.1.5. Perkembangbiakan pakan alami

Perkembangbiakan pakan alami (alga dan rotifera) berlangsung selama 5


hari dari pemberian inokulan ke wadah kultur pakan alami. Selama 5 hari tersebut
lakukan perawatan wadah dari gangguan larva nyamuk dan serangga yang dapat
masuk ke wadah kultur pakan alami.

III.3.1.6. Panen

Pemanenan alga dan rotifera dilakukan dengan mengambil air yang


terdapat pada wadah kultur yang diberikan kepada larva ikan betok.

III.3.2.Pemijahan Ikan Betok


III.3.2.1. Persiapan wadah pemijahan

Wadah Pemijahan menggunakan media bak berbentuk bulat berukuran


tinggi 60 cm dan lebar 55 cm dengan air yang isi dalam wadah sebanyak 40 liter.
Air yang digunakan merupakan air yang berasal dari sungai Kahayan yang telah
melalui proses filter air terlebih dahulu. Persiapan wadah dapat dilihat pada
(Lampiran 7).
10

III.3.2.2. Seleksi Induk

Induk ikan betok yang sudah matang kelamin di sortir untuk melihat induk
yang memiliki kualitas yang baik dan tidak terserang penyakit. Seleksi induk
dilakukan dengan menyesuaikan berdasarkan kriteria menurut Suriansyah (1991) ,
bahwa ciri ikan betok jantan yang telah matang gonad yaitu ; bentuk badan
langsing, warna tubuh agak cerah , perut rata dan bila dipijat pada bagian perut
akan mengeluarkan cairan putih susu (sperma) . Sedangkan ciri induk betina yaitu
; tubuh lebar kesamping (membesar) , warna agak gelap , pada bagian urogenital
berwarna kemerah merahan dan bila bagian perut di pijat akan mengeluarkan sel
telur. Seleksi induk dan ciri – ciri induk jantan dan betina ikan betok dapat dilihat
pada (Lampiran 7).

III.3.2.3. Pemberokan

Sebelum ikan betok dipijahkan terlebih dahulu induk ikan dilakukan


pemberokan, selama pemberokan induk jantan dan induk betina dipuasakan
selama beberapa hari. Pemberokan dilakukan untuk mengurangi lemak dalam
tubuh ikan , Selain itu pemberokan juga berguna untuk mengetahui berat
sesungguh dari tubuh ikan. Lama waktu pemberokan menurut Sirodjudin dan
Arsyad (1979) yang baik adalah 2 – 3 hari lamanya. Pemberokan induk jantan dan
betina ikan betok dapat dilihat pada (Lampiran 7).

III.3.2.4. Penimbangan berat badan induk dan dosis hormon Perangsang


GnRH

Untuk mengetahui dosis hormone perangsang GnRH dengan merek


dagang Ovaprime dilakukan penimbangan menggunakan timbangan digital untuk
mengetahui dosis yang disuntikan kepada induk ikan patin. Dosis yang digunakan
dalam pemijahan induk ikan betok adalah Ikan Jantan 0.1 ml/kg dari berat tubuh
ikan , sedangkan untuk ikan betina penyuntikan dilakukan dengan dosis 0.3 ml/kg
dibagi menjadi 2 kali penyuntikan. Penyuntikan pertama ¾ cc dan penyuntikan
kedua ¼ cc. Penimbangan induk jantan dan betina ikan betok dapat dilihat pada
(Lampiran 7).
11

III.3.2.5. Penyuntikan Induk

Penyuntikan dilakukan pada induk pada bagian otot punggung (intra –


muscular) 3 – 4 keeping dibawah sisik dengan kemiringan jarum suntik 45 o
dengan jarum suntik kearah bagian kepala. Untuk induk Ikan Betina dilakukan
penyuntikan sebanyak 2 kali dengan interval waktu selama 8 jam dari penyuntikan
pertama. Sedangkan untuk ikan jantan dilakukan penyuntikan sebanyak 1 kali
yang waktu penyuntikannya dilakukan bersamaan dengan penyuntikan ke dua
induk betina. Penyuntikan Induk jantan dan betina ikan betok dapat dilihat pada
(Lampiran 7).

III.3.2.6. Perkawinan dan Pembuahan Telur

Setelah penyuntikan kedua induk betina , maka ovulasi akan terjadi setelah
5 jam berikutnya. Masa ovulasi akan berlangsung selama 4 – 6 jam. Setelah
ovulasi selesai induk ikan betok dipisahkan dari telur dan dikembalikan dalam
wadah pemeliharaan pemeliharaan induk. Telur – telur ikan betok yang telah
dibuahi berbentuk bulat , transparan, dan menyebar didalam dan diluar permukaan
air. Jika telur berwarna putih susu berarti telur tidak dibuahi dan harus segera
dipisahkan ke wadah lain.

III.3.2.7. Penetasan Larva

Telur Ikan Betok yang telah dibuahi akan menetas setelah 12 jam masa
inkubasi pada suhu 30oC. Selama proses penetasan suhu dan oksigen terlarut
dalam air harus disesuaikan dengan kebutuhan telur untuk menetas, hal ini
dilakukan agar memperkecil jumlah telur ikan yang tidak menetas.

III.3.2.8. Penanganan Larva

Larva ikan betok setelah menetas masih memiliki kantong kuning telur
pada tubuhnya yang digunakan sebagai bahan makanannya. Kuning telur itu habis
setelah 2 -3 hari telur menetes. Setelah kuning telur habis harus segera diberikan
bahan makanan yang berupa pakan alami yang telah dikultur.
12

III.3.2.9. Pendederan Larva Ikan

Pendederan Ikan dilakukan pada benih ikan betok yang telah berumur 2 –
3 minggu. Pada kolam pendederan telah di beri perlakuan untuk menumbuhkan
Pakan alami , sehingga pada kolam pendederan telah tersedia pakan alami untuk
menunjang pertumbuhan benih ikan betok. Pendederan larva ikan betok jantan
dan betina dapat dilihat pada (Lampiran 7).

III.4. Desain Praktek

Pada magang ini menggunakan pakan yang diberikan pada larva pada umur 4
– 20 hari dengan menggunakan pakan alami yang berasal dari kegiatan kultur
pakan alami. Pada kultur pakan alami menggunakan bahan dari pupuk organik
seperti : kotoran ayam, urea, tsp, dan kapur pertanian. Pada kultur ini diharapkan
akan tumbuh pakan alami berjenis alga hijau (fitoplankton) dan rotifera
(zooplankton), akan tetapi jika jenis pakan alami yang akan tetap diberikan
kepada larva ikan betok jika sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva ikan betok.

Pada kegiatan Pembenihan menggunakan desain wadah bak berbentuk bulat


sebanyak 5 buah dengan induk betina 5 ekor dan induk jantan 10 , dengan
perbandingan antara induk jantan dan betina adalah 2:1. Penyuntikan dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan penimbangan berat induk untuk mengetahui
dosis hormon perangsang GnRH dengan merek dagang Ovaprime. Penyuntikan
dilakukan pada bagian otot punggung (intra – muscular), penyuntikan dilakukan 2
kali pada induk betina dan 1 kali untuk induk jantan.

III.5. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kegiatan magang ini


menggunakan teknik Observasi. Pengumpulan data melalui Observasi menurut
Narbuko dan Achmadi (1999) adalah alat pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis gejala-gejala yang
diselidiki yaitu metode yang memberikan gambaran secara lengkap , sistematis
13

dan faktual mengenai data atau kegiatan yang tidak terbatas pada pengumpulan
dan penyusunan data semata. Pada kegiatan Magang ini metode observasi yang
digunakan terdiri dari uji coba laboratorium dan observasi lapangan. Uji coba
laboratorium menghasilkan data primer sedangkan observasi lapangan
menghasilkan data sekunder.

Data primer meliputi pakan alami yang kultur, kualitas induk, fekunditas
induk ikan, fertile rate, hatching rate, survival rate larva ikan dan pertumbuhan
mutlak benih ikan betok. Sedangkan untuk data sekunder meliputi cara
penanganan, kualitas air , dan pakan alami yang dihasilkan.

III.6. Analisis Data

Data dan Informasi yang diperoleh dari kegiatan magang di BBI Sei Batang
akan di tabulasi dan dibahas secara deskriptif. Analisis data memiliki cara kerja
yaitu memasukan data hasil pembenihan , keberhasilan pembenihan dan jumlah
hasil larva yang menetas akan dicatat dan ditampilkan dalam bentuk perhitungan
hasil pencatatan data dan jumlah penetasan benih yang dihasilkan selama kegiatan
magang.
Untuk Fekunditas , Fertile Rate , Hatching Rate , Survival Rate dan
Pertumbuhan Mutlak dapat di Analisa menggunakan rumus sebagai berikut :
a. Rumus Fekunditas (Jumlah Total Telur):
Perhitungan Jumlah Total Telur Yang Keluar (hatching rate) berdasarkan
rumus Effendie (1979),
 Mencari Luas Alas :
a=PxL
Keterangan : a = Luas Alas , P = Panjang, L = Lebar
 Pengambilan Sample :

Menggunakan ubin berukuran 2 cm x 2 cm , pengambilan sample dilakukan


sebanyak 5 kali dan diambil rata – rata .
14

 Fekunditas :
Un
Fekunditas= X Luas Penampang
Luas Ubin
Keterangan :
Un = Rata – rata sample yang diambil dari Ubin
a. Fertile Rate (Tingkat Pembuahan Telur)
Perhitungan tingkat pembuahan telur (fertile rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979) , yaitu :
Jumlah Telur Yang Terbuahi
FR= X 100
Jumlah Telur Yang Dikeluarkan

b. Hatching Rate (Tingkat Penetasan Telur)


Perhitungan tingkat penetasan telur (hatching rate) berdasarkan rumus
Effendie (1979), yaitu :

Jumlah Telur Yang Menetas


HR= X 100
Jumlah Telur Yang Terbuahi

c. Rumus Survival Rate (Tingkat Kelangsungan Hidup):


Menurut Effendie (1979), bahwa untuk menghitung kelangsungan hidup
ikan dapat dilakukan dengan rumus berikut :

Nt
S= X 100
No
Keterangan : S = Survival Rate (%)
Nt = Jumlah Larva Yang Hidup
No = Jumlah Ikan Larva Yang Menetas
15

III.7. Jadwal Kegiatan

Jadwal kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan magang yang bertempat di


Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas. Jadwal kegiatan dapat dilihat
pada (Tabel 3).
Tabel 3. Jadwal Kegiatan

No. Sub Kegiatan Agustus September Oktober


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1   Proposal                        
  1.1. Konsultasi Proposal dengan Kaprodi BP                        
  1.2. Konsultasi Proposal dengan Pembimbing                        
  1.3. Survei Lokasi Magang                        
  1.4. Pengumpulan Data Lokasi Magang                        
  1.5. Pembuatan Proposal Magang                        
  1.6. Revisi proposal Magang                        
2   Pelaksanaan Magang                        
  2.1. Persiapan Keberangkatan Magang                        
  2.2. Membersihkan tempat penginapan                        
  2.3. Kultur Pakan Alami                        
  2.4 Persiapan Wadah Pemijahan Ikan                        
  2.5 Seleksi Induk                        
  2.6 Pemberokan                        
  2.7 Penimbangan Berat Badan Induk                        
  2.8 Penyuntikan Induk                        
  2.9 Proses Pembuahan                        
  2.10 Penanganan Larva                        
  2.11 Pendederan Benih                        
  2.12 Pencegahan Penyakit                        
  2.13 Pengumpulan Data                        
  2.14 Analisa Data                        
  2.15 Persiapan Penyelesaian Magang                        
3   Laporan Magang                        
  3.1. Pembuatan Laporan Magang                        
  3.2. Revisi Laporan Magang                        
  3.3. Ujian Magang                        
  3.4. Distribusi Laporan                        
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil
16

Hasil kegiatan magang di Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten
Kapuas diperoleh dari kegiatan pemijahan ikan betok (Anabas testidineus bloch)
sebagai berikut :

IV.1.1. Keadaan Umum Wilayah Magang

IV.1.1.1. Pembangunan BBI Sei Batang


Pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan diarahkan untuk
memenuhi tiga pilar yang saling terintegrasi, yakni kedaulatan (sovereignty),
keberlanjutan (sustainability), dan kemakmuran (prosperity). tiga pilar tersebut
terangkum dalam visi KKP, yakni Terwujudnya Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan secara Berdaulat, Mandiri dan Berkelanjutan untuk
Kemakmuran Rakyat, dan Pembangunan Poros Maritim Indonesia terus didukung
untuk meningkatkan pemanfaatan potensi maritim bangsa dan kesejahteraan
masyarakat.

Pengembangan usaha perikanan budidaya sangat tergantung pada ketersediaan


induk dan benih unggul, karena benih dan induk merupakan prasarana produksi
yang mutlak dan akan menentukan keberhasilan usaha budidaya. Sehubungan
dengan fungsi penyediaan induk dan benih tersebut, maka keberadaan Balai Benih
Ikan menjadi sangat penting terkait dengan misi dan tupoksi yang diembannya.

Balai Benih Ikan Sei Batang sebagai salah satu Unit Pembenihan dalam unit
kerja Dinas Perikanan Kabupaten kapuas mempunyai visi mewujudkan peran
Balai Benih Ikan (BBI) pemberi layanan prima sektor pembangunan perikanan
dan meningkatkan produksi benih dan induk ikan air tawar sesuai standar mutu
(SNI) dalam rangka mendukung usaha budidaya ikan air tawar yang berkelanjutan
dan berkeadilan, hal tersebut diimplementasikan dalam tugas dan fungsi Balai
Benih Ikan sebagai berikut yaitu

a) Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten Kapuas mempunyai tugas
dalam pengelolaan benih ikan.
b) Melaksanakan sebagian fungsi Dinas di bidang pengembangan benih dan
induk ikan.
17

c) Sebagai sumber PAD Kabupaten Kapuas dari sektor perikanan.


d) Sebagai sarana untuk memproduksi benih ikan unggul dan bermutu
e) Sebagai sarana untuk mendapatkan informasi teknologi pembenihan

IV.1.1.2. Geografis
Luas wilayah Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas adalah
46,228 km2 atau 4,6 Ha dengan letak Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten
Kapuas terletak pada posisi antara: 114° 22. 145’ Lintang Timur dan 03° 00 ,
653’ Lintang Selatan.

Gambar 2. Perbatasan Wilayah BBI Sei Batang

Balai Benih Ikan Sei Batang memiliki batas wilayah yang berbatasan pada
Sebelah Timur adalah Kelurahan Selat Barat , Sebelah Selatan adalah Sungai
Kapuas , Sebelah Utara Kelurahan Selat Barat serta pada sebelah Barat adalah
berbatasan dengan Kelurahan Selat Hilir (Tim Penyusun Laporan. 2017). Lokasi
wilayah BBI Sei Batang dapat dilihat pada (Gambar 2).

IV.1.1.3. Topografis
Secara topografis Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas, pada
bagian timur terdiri dari dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0 – 5 meter dari
permukaan air laut yang mempunyai elevasi 0 % – 8 % serta dipengaruhi oleh
18

pasang surut dan merupakan daerah yang mempunyai potensi banjir yang cukup
besar (air pasang surut laut) dan berbatasan langsung dengan Kelurahan Selat

Pada Bagian Selatan merupakan Sungai Kapuas dengan panjang ± 640.000


km dan lebar 1000 m. Sungai Kapuas ini merupakan sumber air yang digunakan
dalam kegiatan pemeliharaan maupun pemijahan ikan yang terdapat di Balai
Benih Ikan Sei Batang.

Pada bagian utaratara merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara


100 – 500 m dari permukaan air laut dan mempunyai tingkat kemiringan 8 – 15º,
dan merupakan daerah perbukitan/ penggunungan dengan tingkat kemiringan ± 15
– 25º. Dan berbatasan langsung dengan Kelurahan Selat Barat.

Pada bagian barat terdiri dari dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0 – 5
meter dari permukaan air laut yang mempunyai elevasi 0 % – 8 % serta
dipengaruhi oleh pasang surut dan merupakan daerah yang mempunyai potensi
banjir yang cukup besar (air laut/pasang naik) dan berbatasan langsung dengan
Kelurahan Selat Hilir (Tim Penyusun Laporan. 2017).

IV.1.1.4. Iklim
Wilayah Balai Benih Ikan Sei Batang Kabupaten Kapuas pada umumnya
termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur berkisar antara 21
– 33 ºC dan maksimal mencapai 36 ºC. Intensitas penyinaran matahari selalu
tinggi dan sumberdaya air yang cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya
penguapan yang menimbulkan awan aktif / tebal. Curah hujan terbanyak jatuh
pada bulan Desember, berkisar diantara 886 – 1.789.mm tiap tahun, sedangkan
bulan kering/kemarau jatuh pada bulan April s/d Agustus (Tim Penyusun
Laporan. 2017).

IV.1.2. Jenis Wadah Pemijahan dan Pendederan


IV.1.2.1. Wadah Pemijahan
19

Wadah pemijahan yang digunakan pada kegiatan magang ini yaitu


menggunakan wadah akuarium dan baskom. Pada wadah pemijahan akuarium
menggunakan 3 (tiga) akuarium dengan diberi label I , III , dan X yang dapat
dilihat pada (Tabel 4). Sedangkan pada wadah pemijahan baskom menggunakan 2
(dua) baskom dengan diberi label II dan IV yang dapat dilihat pada (Tabel 5) .
Pada label X merupakan wadah dengan perlakuan pemberokan induk selama 48
jam , sedangkan label I , II , III , dan IV adalah perlakuan pemberokan selama 8
jam.

Tabel 4. Wadah Aquarium

Label Wadah Panjang Lebar Tinggi


I 60 cm 45 cm 17 cm
III 60 cm 45 cm 17 cm
X 60 cm 45 cm 17 cm

Tabel 5. Wadah Baskom

Label Wadah Jari – jari Tinggi


II 20 cm 15 cm
IV 20 cm 15 cm

IV.1.2.2. Wadah Pendederan

Wadah pendederan menggunakan 4 (empat) wadah pendederan dengan


tempat yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Masing – masing
wadah pendederan diberi label yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Label Wadah Pendederan

Label Wadah Jenis Wadah Panjang Lebar Tinggi


A Kolam Beton 215 cm 135 cm 71 cm
20

B Kolam Terpal 157 cm 60 cm 40 cm


C Hapa I 363 cm 246 cm 53,5 cm
D Hapa II 367 cm 136 cm 43 cm

Wadah Pendederan diberikan perlakuan pemberian pupuk organik sebagai


pemumbuh pakan alami pada wadah pendederan tersebut. Pada Wadah
Pendederan di 3 (tiga) Wadah (A, B , dan C) yang berbeda diberikan perlakuan
pemberian pupuk organik sebagai media tumbuh pakan alami , sedangkan pada 1
(satu) wadah (D) sebagai kontrol yang tanpa ada pemberian pupuk organik.

IV.1.3. Kultur Pakan Alami

Hasil pakan alami yang dapat diidentifikasi dan dilihat pada wadah
pendederan yang dapat di identifikasi yaitu , dari golongan zooplankton adalah
Dapnia , Rotifera dan Copepoda , sedangkan untuk fitoplankton adalah Spirogyra.
Klasifikasi pakan alami yang telah di identifikasi dapat dilihat pada (Lampiran 8).

IV.1.4. Pemijahan Ikan Betok


IV.1.4.1. Seleksi Morfologi Ikan Betok Yang Telah Matang Gonad

Induk ikan betok yang digunakan pada pemijahan secara semi intensif
diseleksi secara morfologi, Tanda yang terdapat pada induk jantan yang telah
matang gonad dan siap untuk dipijahkan yaitu : Berbadan tidak cacat, agresif,
tidak terserang penyakit dan jika ditekan bagian perut akan mengekuarkan cairan
putih berupa sperma, sedangkan pada induk betina yang telah matang gonad dan
siap untuk dipijahkan yaitu : bagian perut membuncit , bagian perut jika di
pegang terasa lunak dan urogenital berwarna merah (Lampiran 7).

IV.1.4.2. Pemberokan Induk Ikan Betok

Pemberokan Induk jantan dan betina di lakukan dengan 2 (dua) metode ,


Metode ke-1 adalah pemberokan selama 48 jam tanpa diberikan pakan dan di
21

letakan di wadah pemberokan , sedangkan pada metode ke-2 (dua) adalah metode
di mana induk ikan betok dilakukan pemberokan selama 8 (delapan) jam dari
kegiatan seleksi induk dikolam pemeliharaan. Berikut adalah fekunditas pada
induk betina ikan betok dengan lama waktu pemberokan yang berbeda (Tabel 7)

Tabel 7. Lama Waktu Pemberokan

No. Waktu Pemberokan Jumlah Induk Hasil Telur


(Jam) (ekor) (Fekunditas)
1. 8 4 46527
2. 48 6 0

Pada Pemberokan selama 8 jam hasil fekunditas dari 4 (empat) induk ikan
betina menghasilkan telur sebanyak 46.527 telur. Sedangkan pada perlakuan 48
jam fekunditas dari 6 (enam) induk yang dipijahkan tidak menghasilkan telur.

IV.1.4.3. Penyuntikan Ikan Betok

Hormon GnRH yang digunakan adalah hormone dengan merek dagang


Ovaprime. Pemberian hormone GnRH dilakukan dengan menggunakan suntik.
Dalam kegiatan pemijahan ini terdapat dua metode perlakuan terhadap induk
betina. Pada perlakuan pertama dilakukan 2 (Dua) kali penyuntikan dengan
interval waktu 8 jam dari penyuntikan pertama dan perlakuan ke 2 (dua) dengan
sekali penyuntikan. Penyuntikan hormon GnRH (Ovaprime) dosis yang
digunakan dalam satu ekor induk betina ikan betok adalah 0,3 ml/kg dan jantan
0,1 ml/kg , Perhitungan jumlah dosis penyuntikan terdapat pada (Lampiran 5).

Pemijahan ikan betok yang telah disuntik hormon GnRH (ovaprime)


dipindahkan di 2 (dua) wadah pemijahan yang berbeda. Jenis wadah pemijahan
yang pertama adalah jenis aquarium sebanyak 3 (tiga) buah dan baskom sebanyak
2 (dua) buah. Pemilihan induk yang diletakan di wadah pemijahan dengan label A
, C dan X adalah induk memiliki berat yang lebih besar dibandingkan ikan yang
lain., sedangkan untuk induk dengan label B dan D adalah induk yang berat lebih
kecil.
22

IV.1.4.4. Pemijahan Ikan Betok

Ikan Betok merupakan jenis ikan yang mengeluarkan telur diluar tubuh,
setelah induk betina melepaskan telur maka induk jantan akan melepaskan
sperma. Data hasil pemijahan dapat dilihat di (Tabel 8).

Tabel 8. Berat Induk Betina Ikan Betok

No. Wadah Pemijahan Berat Per Induk Betina (gram)


1 I 97.4
2 II 87.1
3 III 91.6
4 IV 85.5
5 X 94.4

Fekunditas

Pembagian tempat pemijahan diatur dengan sesuai kepada berat tubuh


induk ikan betina. Ikan betina yang memiliki berat yang lebih besar memiliki
jumlah telur yang lebih banyak dibanding dengan Induk ikan betok yang lebih
kecil. Hasil Fekunditas dari 5 (lima) wadah pemijahan dapat dilihat pada (Tabel
8), dari hasil pemijahan tersebut pada wadah I dan III menghasilkan jumlah telur
yang lebih banyak di bandingkan wadah II dan IV. Hal itu disebabkan oleh berat
induk yang berbeda pada masing – masing wadah yang dapat dilihat pada (Tabel
7) , sehingga jumlah telur yang dihasilkan juga mengalami perbedaan yang
signifikan.).

Tabel 9. Hasil Fekunditas

Label Wadah Pemijahan Hasil (Butir Telur)


I 15.728
II 8.617
III 15.124
IV 7.058
23

X 0
Teknik menghitung fekunditas dapat dilihat pada (Lampiran 3

Fertile Rate (Jumlah Telur Yang Terbuahi)

Jumlah Telur yang terbuahi (Fertile Rate) pada masing – masing wadah yang
dapat dilihat pada (Tabel 9). Pada wadah pemijahan menggunakan Baskom (II
dan IV) memiliki presentase jumlah telur yang terbuahi yang lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan penggunaan wadah Akuarium (I dan III).

Tabel 10. Hasil Fertile Rate

Label Wadah Hasil (Butir Presentase


Pemijahan Telur) (%)
I 9.723 61.82%
II 5.784 67.12%
III 8.226 54.39%
IV 4.705 66.66%
X 0 0%
Teknik menghitung telur yang terbuahi dapat dilihat pada (Lampiran 3).

Hatching Rate (Jumlah Telur Yang Menetas)

Jumlah telur yang menetas (Hatching Rate) pada masing – masing wadah
yang dapat dilihat pada Tabel 11. Pada wadah IV hasil hatching rate memiliki
presentase tertinggi yaitu 69.35% , jika di banding dengan wadah I , II , dan III.

Tabel 11. Hasil Hatching Rate

Label Wadah Hasil (Butir Presentase


Pemijahan Telur) (%)
I 4.209 43,28%
II 3.071 53,09%
III 3.742 45,48%
IV 3.263 69.35%
X 0 0
Teknik menghitung fekunditas dapat dilihat pada (Lampiran 3).

IV.1.4.5. Pendederan Larva Ikan Betok


24

Pendederan larva ikan betok dilakukan pendedran setelah berumur 3 hari.


Pendederan larva ikan betok di bagi menjadi 4 (empat) wadah pendederan dari 4
(empat) wadah pemijahan yang disusun berdasarkan tabel berikut :

Tabel 12. Lokasi Wadah Pendederan

No. Label Wadah Jenis wadah Label Jenis Tempat


Pemijahan Pemijahan Tempat Pendederan
Pendedran
1. I Aquarium A Kolam Beton
2. II Baskom B Kolam Terpal
3. III Aquarium C Hapa I
4. IV Baskom D Hapa II

Pendederan dilakukan dengan menempatkan masing – masing wadah pada


tempat pendederan yang berbeda yang dapat dilihat pada (Tabel 12). Susunan
formasi tempat pendederan adalah Wadah pemijahan I ditempatkan pada Wadah
Pendederan A dengan jenis wadah Kolam Beton , Wadah pemijahan II ditempat
pada wadah pendederan B dengan jenis wadah Kolam Terpal, Wadah Pemijahan
III ditempatkan pada wadah pendederan C dengan jenis wadah Kolam Tanah yang
diberi Hapa (Hapa I) , dan Wadah Pemijahan IV ditempatkan pada wadah
Pendederan D dengan jenis wadah Kolam Tanah yang diberi hapa (Hapa II).

Survival Rate (Kelangsungan Hidup)

Hasil dari masing – masing tempat pendederan terdapat perbedaan yang


signifikan yang dapat dilihat pada tabel 13 berikut :

Tabel 13. Hasil Larva Pada Wadah Pendederan

Label Pendederan Jenis Wadah Pendederan Jumlah (Hasil Larva)


A Kolam Beton 0
B Kolam Terpal 64
C Hapa I 2.866
D Hapa II 2.146
Teknik menghitung Survival Rate dapat dilihat pada (Lampiran 4).
25

Pengambilan sample untuk menghitung kelangsungan hidup larva yang di


tebar yaitu pada saat akhir masa kegiatan magang, data tersebut dapat dilihat
pada tabel 13. Pada pengambilan sample di wadah pendederan A tidak terdapat
larva ikan betok yang hidup. Pada Wadah pendederan B jumlah ikan yang tersisa
adalah 64 ekor larva dari 3071 ekor larva ikan yang ditebar , sehingga survival
rate nya adalah 2,08 %. Pada wadah pendederan C jumlah ikan yang hidup
adalah 2.866 ekor dari 3.742 ekor larva ikan dengan presentase survival rate
yaitu 76,59%. Sedangkan pada wadah pendederan D terdapat 858 ekor larva dari
3.263 ekor larva sehingga prentase survival rate yaitu 26,29%.

IV.1.4.6. Kualitas Air

Hasil pengukuran parameter kualitas air pada saat dilakukan keegiatan


pemijahan ikan betok dan wadah Pendederan larva ikan betok di Balai Benih
Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten Kuala Kapuas sebagaimana tabel .

Wadah Pemijahan

Pada wadah pemijahan induk ikan betok memiliki kualitas air yang dapat dilihat
pada (Tabel 14).

Tabel 14. Kualitas Air Pada Wadah Pemijahan

No. Label Wadah Suhu (oC) Oksigen Derajat


(Jenis Wadah) Terlarut Keasaman
(DO) (ppm) (pH)
1 I (Aquarium) 28,5 2,51 6
2 II (Baskom) 29,1 2,14 6
3 III (Aquarium) 28,5 2,37 6
4 IV (Baskom) 28,4 1,78 6

Wadah Pendederan
26

Sebelum dilakukan pendederan larva ikan betok telah dilakukan pengukuran


Kualitas Air yang dapat dilihat pada (Tabel 15).

Tabel 15. Kualitas Air Pada Wadah Pendederan

No. Label Wadah Suhu (oC) Oksigen Derajat


(Jenis Wadah) Terlarut Keasaman
(DO) (ppm) (pH)
1 A (Kolam Beton) 28,2 2.25 6
2 B (Kolam Terpal) 29.0 2.25 6
3 C (Hapa I) 31.3 2,21 6
4 D (Hapa II) 31,2 2,14 6
27

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Kultur Pakan Alami

Ukuran bukaaan mulut larva ikan betok bertambah sesuai dengan


perubahan morfologi tubuh dan bertambahnya umur. Pada larva berumur 3 hari
(ukuran bukaan mulut 103,1 μm) sampai larva berumur 23 hari (ukuran bukaan
mulut 162,5 μm), menunjukkan pertambahan ukuran bukaan mulut tidak begitu
nyata. Setelah larva berumur 23-31 hari (ukuran bukaan mulut 1019,2 μm),
peningkatan ukuran bukaan mulut terlihat nyata (Rukmini et al. 2013).
Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa tidak semua jenis pakan alami dimakan
oleh larva ikan betok, Larva ikan betok hanya memakan pakan alami yang sesuai
dengan bukaan mulutnya.

Jenis – jenis pakan alami yang berhasil diperoleh dan dapat dimakan oleh
larva betok adalah jenis Brachionus sp dari Kingdom rotifera (zooplankton) yang
memiliki ukuran tubuh 80-120 μm dan dapat dimakan oleh larva ikan betok.
Kalsifikasi Brachionus sp dapat dilihat pada lampiran 8.

Kelimpahan plankton/pakan alami yang tinggi di habitat larva ikan bila


sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva, maka akan memperbesar peluang pakan
alami dikonsumsi oleh larva, karena itu jumlah yang termakan merupakan fungsi
dari densitas pakan. Menurut Wootton (1994), faktor yang menentukan seleksi
mangsa (pakan alami) adalah tersedianya pakan, dimana pengambilan pakan
alami akan meningkat dengan meningkatnya densitas plankton, karakteristik
mangsa dan predator, mudah tidaknya pakan dicerna serta pengalaman predator
terhadap pakan.

Identifikasi jenis – jenis plankton terkendala kurangnya alat pendukung


yang baik untuk digunakan selama pengamatan, sehingga proses identifikasi
menjadi tidak dilakukan secara sepenuhnya dan perhitungan kepadatan pakan
alami pada masing – masing wadah pendederan tidak dapat dilakukan.
28

IV.2.2. Pemijahan Ikan Betok


IV.2.2.1. Seleksi Morfologi Ikan Yang Telah Matang Gonad

Jumlah induk jantan yang digunakan dalam pemijahan ikan betok adalah
12 induk jantan , dengan berat rata – rata induk adalah 28.41 gr dan induk betina
yang digunakan dalam pemijahan adalah 4 induk betina dengan berat rata – rata
induk 90.4 gr. Perbandingan yang digunakan dalam kegiatan pemijahan ikan
betok adalah 3 (Jantan) : 1 (Betina). Pemberokan dilakukan selama 8 jam ,
sedangkan untuk pemberokan yang dilakukan selama 48 jam mengalami
kegagalan dalam Ovulasi telur.

Gambar 3. Ciri – ciri Induk Betina Gambar 4. Ciri – ciri Induk Jantan
Seleksi induk ikan betok dilakukan setelah dilakukan pengambilan induk
pada kolam pemeliharaan. Kegiatan seleksi induk harus dilakukan dengan hati -
hati agar tidak menimbulkan gangguan fisik atau psikis. Seleksi induk untuk ikan
jantan dilakukan dengan dengan melihat morfologis tubuh ikan dan untuk
memastikan kematangan induk , dilakukan penekanan pada bagian perut untuk
melihat apakah terdapat sperma pada induk tersebut. Penekanan pada bagian perut
29

induk jantan akan dapat merusak kantong sperma , sehingga penekanan tersebut
dilakukan secara pelan – pelan agar kantong sperma tidak rusak. Ciri - ciri induk
jantan ikan betok dapat dilihat pada (Gambar 4).

Seleksi pada induk betina dilakukan dengan melihat kondisi morfologis


tubuh induk ikan, hal pertama yang dapat terlihat adalah bagian perut terlihat
membuncit besar dan jikan disentuh akan terasa lunak. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah warna bag ian urogenital yang berwarna merah tua yang
menunjukan ikan telah matang gonad. Bagian perut yang membuncit dapat
disebabkan karena terdapat penumpukan lemak pada bagian tubuh ikan bukan
penumpukan telur pada induk yang telah matang gonad, sehingga akan
mempersulit pengeluaran telur dari dalam tubuh ikan saat dilakukan pemijahan.
Ciri – ciri induk betina ikan betok dapat dilihat pada (Gambar 5).

IV.2.2.2. Pemberokan

Pemberokan adalah kegiatan pelemahan ikan dengan tidak memberikan


pakan selama beberapa hari. Pemberokan merupakan proses pengosongan
lambung/usus (pemuasaan) sehingga jumlah feses yang dikeluarkan dan
metabolisme pencernaan ikan setelah dilakukan pemberokan akan berkurang
,sehingga akan mempermudah pengeluaran telur dari dalam tubuh induk ikan
betok betina. Selain itu pemberokan juga berguna untuk mengetahui berat
sesungguh dari tubuh ikan. Lama waktu pemberokan menurut Sirodjudin dan
Arsyad (1979) yang baik adalah 2 – 3 hari lamanya.

Pada kegiatan pemijahan ikan betok di BBI Sei Batang pemberokan induk
ikan dilakukan selama 8 jam dari kegiatan seleksi induk. Akan tetapi pada
kegiatan magang ini dilakukan pemberokan selama 48 jam, Hasil larva yang di
dapatkan dari dua metode tersebut bahwa induk di berok selama 8 jam dapat
menghasilkan telur yang lebih banyak, jika di bandingkan dengan induk ikan yang
diberok selama 48 jam pemberokan yang tidak terdapat induk yang menghasilkan
telur. Hal itu disebkan oleh lama waktu pemberokan yang digunakan pada setiap
daerah berbeda, hal itu dipengaruhi oleh kebiasaan hidup atau lingkungan pada
30

tempat ikan itu hidup. Sehingga lama waktu pemberokan juga dapat
menyesuaikan kondisi lingkungan pada masing – masing daerah.

IV.2.2.3. Penyuntikan Ikan Betok

Keberhasilan proses pemijahan ditentukan oleh kegiatan seleksi induk


dengan memilih induk dengan kondisi yang baik. Setelah itu dapat di rangsang
dengan menggunakan hormon GnRH dengan merek dagang Ovaprim. Hormon
GnRH yang diberikan melalui suntikan akan bekerja menuju otak untuk
memberikan perintah pada kelenjar hipofisa untuk memproses gonadotropin
menuju gonad.

Menurut Suriansyah (2003) Pemberian rangsangan hormone dengan


kelenjar hipofisa dapat meningkatkan gonado somatic indeks pada ikan, karena
adanya rangsangan hormon yang diberikan dari luar tubuh untuk mengontrol
pematangan gonad ikan betok dan pemberian hormone GnRH dalam Ovaprime
dapat memicu perkembangan diameter telur ikan betok yang dikeluarkan pada
saat terjadi pemijahan.

IV.2.2.4. Pemijahan Ikan Betok

Kegiatan Pemijahan Ikan betok di BBI Sei Batang menggunakan 4 wadah


pemijahan yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas dari jenis
wadah tersebut dalam kegiatan pemijahan ikan betok. Hasil dari kegiatan
pemijahan adalah sebagai berikut :

Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh induk pada saat
pemijahan. Jumlah telur yang dikeluarkan merupakan satu mata rantai
penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya (Bagenal, 1978).
Berikut hasil fekunditas dari pemijahan ikan betok selama kegitan magang :
31

Fekunditas
15.73
15.12
16.000
14.000
12.000
10.000 8.62 Hasil (Butir Telur)
7.06
8.000
6.000
4.000
2.000 0
0.000
I II II IV X

Gambar 5. Grafik Hasil Fekunditas

Berdasarkan data diatas bahwa pemijahan ikan betok pada masing induk
dengan menggunakan wadah pemijahan yang berbeda , bahwa pemijahan ikan
menggunakan aquarium (label I dan III) menghasilkan fekunditas yang besar jika
dibandingkan pemijahan pada wadah Baskom (Label II dan IV). Hal itu diikuti
dengan perbedaan berat induk betina yang digunakan. Pada Aquarium ukuran
berat induk lebih besar dibandingkan dengan induk yang digunakan pada baskom.
Menurut Slamat (2012) bahwa semakin berat induk betina akan semakin banyak
juga telur yang dihasilkan, sehingga perbedaan jumlah telur pada wadah akuarium
dan baskom dikarena perbedaan berat induk.

Berdasarkan penelitian Burmansyah. et al (2013) menggunakan induk ikan


betok dengan kisaran bobot 20 - 30 gram menghasilkan nilai fekunditas berkisar
18167 - 18533 butir. Selain itu Menurut Zalina et al., (2012),induk ikan betok
dengan kisaran bobot 9 - 53,1 gram menghasilkan nilai fekunditas berkisar 3.481-
42.564 butir telur. Hal ini juga didukung oleh Suriansyah (2009), yang
menyatakan bahwa ikan betok dengan kisaran bobot tubuh 15 - 110 gram
mempunyai nilai fekunditas 4.882-19.248 butir telur. Pada pelaksaan pembenihan
ikan betok di BBI Sei Batang dengan menggunakan induk dengan kisaran bobot
27.9 – 97.4 gram (Lampiran 5) dapat menghasilkan nilai fekunditas 7.058 –
32

15.728 (Gambar 5), sehingga nilai fekunditas yang diperoleh pada pelaksaan
kegiatan magang masih pada kisaran normal.

Fertile Rate

Fertile Rate adalah jumlah keseluruhan telur yang terbuahi. Dengan


menghitung jumlah fertile rate dapat mengetahui jumlah telur-telur yang terbuahi
dan tidak terbuahi. Berikut data hasil fertile rate selama kegiatan magang :

Fertile Rate
9.72
10.000
8.23
9.000
8.000
7.000 5.78
6.000 4.71
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000 0
0.000 Hasil (Butir Telur)
I II III IV X

Gambar 6. Grafik Hasil Fertile Rate

Berdasarkan data grafik presentase pada (Gambar 6) bahwa pada masing -


masing wadah tingkat telur yang terbuahi terdapat pada wadah Baskom (Label II)
dengan presentase pembuahan yaitu 67,12% , sedangkan pembuahan telur pada
wadah akuarium yaitu 61,82%. Presentase jumlah telur yang terbuahi berbanding
terbalik dengan hasil fekunditas yang dihasilkan pada akuarium.

Presentase telur yang terbuahi pada penelitian Burmansyah. et al (2013)


bahwa presentase telur ikan betok yang terbuahi ada masing – masing perlakuan
adalah 100%. Sedangkan kegiatan pembenihan ikan betok di BBI Sei Batang
memiliki presentase telur yang terbuahi (Fertile Rate) adalah 54.49% - 67.12%.
Sehingga pada kegiatan pembenihan yang dilakukan di BBI Sei Batang memiliki
tingkat pembuahan telur ikan yang kurang baik jika dibandingkan dengan
33

pemijahan yang dilakukan Burmansyah. et al (2013). Menurut Subagjaet al.,


(2003) dalam Burmansyah. et al (2013) faktor yang mempengaruhi persentase
pembuahan antara lain kualitas telur, kualitas sperma dan sex ratio.

Sex ratio yang tepat, akan membuat proses fertilisasi terjadi optimal
karena jumlah sel telur mampu terbuahi oleh sel sperma. Hal ini diduga karena
dengan sex ratio yang tepat, jumlah sel seimbang. Hasil penelitian Burmansyah. et
al (2013) menunjukkan bahwa jumlah sperma satu induk jantan cukup untuk
membuahi telur yang dihasilkan satu induk betina dengan ukuran bobot tubuh
yang seragam. Berdasarkan hasil pengamatan telur yang terbuahi terlihat bening
dan transparan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rustidja (2004) dalam
Arsianingtyas (2009),yaitu telur yang terbuahi memiliki ciri transparan, sehingga
mudah dibedakan dengan telur yang mati.

Hatching Rate

Hatching Rate merupakan salah satu indikator yang penting dalam


pemijahan ikan. HR juga dapat menentukan berapa peresentase dari jumlah telur
yang menetas. Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang
menetas.

Hatching Rate
4.21
4.500
3.74
4.000
3.26
3.500 3.07
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
0.500 0
0.000 Hasil (Butir Telur)
I II III IV X

Gambar 7. Grafik Hasil Hatching Rate


34

Persentase penetasan merupakan kemampuan telur yang telah dibuahi oleh


sperma untuk menetas (Murtidjo, 2001). Faktor pembuahan sangat ditentukan
oleh seberapa banyak telur yang dapat dibuahi oleh sperma, semakin banyak telur
yang dibuahi oleh sperma semakin tinggi daya tetasnya dan sebaliknya. Hal ini
didukung Masrizal dan Efrizal (1997) bahwa daya tetas telur ikan selalu
ditentukan oleh pembuahan sperma, kecuali bila ada faktor lingkungan yang
mempengaruhinya.

Berdasarkan data pada (Gambar 7), bahwa pada wadah IV memiliki


presentase paling tinggi dibandingkan 3 (tiga) wadah pemijahan lain , Tingginya
nilai persentase penetasan diduga dipengaruhi oleh faktor suhu, volume kuning
telur dan hormon.

Menurut Prochazka (2009) dalam Nugraha et al., (2012) suhu yang rendah
akan menghasilkan waktu penetasan yang lambat sedangkan suhu yang dalam
kisaran optimum akan mempercepat proses penetasan. Menurut Nugraha et al.,
(2012) Suhu juga mempengaruhi aktivitas metabolisme pada embryogenesis dan
laju penyerapan kuning telur. Menurut Kamler (2002) dalam Budiardi et al.,
(2005) aktivitas metabolisme yang tinggi memerlukan energi yang besar sehingga
menyebabkan laju penyerapan volume kuning telur menjadi lebih cepat. Volume
kuning telur yang besar akan menghasilkan sumber energi yang mencukupi bagi
perkembangan embrio telur ikan sehingga telur cepat menetas.

Selain suhu dan volume kuning telur hormon juga berpengaruh terhadap
penetasan telur. Menurut Tishom, (2008) hormon akan bekerja normal (optimal)
pada dosis tertentu, penggunaan dosis yang lebih rendah atau lebih tinggi akan
menurunkan potensi biologis hormone terhadap tergetnya. Hasil penelitian Zalina
et al., (2012), menunjukkan bahwa persentase penetasan telur ikan betok yang
diberikan perlakuan hormone LHRH-a sebanyak 20µg/kg bobot tubuh
menghasilkan persentase penetasan tertinggi yaitu 68,57 - 73,11%.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi penetasan telur adalah faktor


lingkungan. Lingkungan perairan di Balai Benih Ikan Sei Batang pada bulan
35

September 2017 yang air diperoleh berasal dari Sungai terjadi penyurutan yang
diakibatkan datangnya musim kemarau. Hal ini yang menyebabkan kondisi
lingkungan perairan tersebut menjadi menurun dan mempengaruhi Hatching Rate
telur yang ditetaskan.

IV.2.2.5. Pendederan Larva Ikan Betok

Pendederan larva merupakan kegiatan pemeliharaan larva hingga


mencapai ukuran benih yang di inginkan untuk dapat di budidayakan pada wadah
pembesaran. Wadah pendederan harus telah disiapkan terlebih dahulu ketersedian
pakan alami yang terdapat pada wadah tersebut maupun pakan buatan (Pellet) jika
umur larva telah mencukupi. Pakan merupakan faktor yang menentukan
keberlangsungan hidup larva pada wadah pendederan.

Pendederaan larva ikan betok yang dipijahkan dilakukan pada 4 tempat


berbeda yaitu kolam beton, kolam terpal, Hapa I dan Hapa II (tanpa perlakuan) ,
hal ini dilakukan untuk mengetahui kelangsungan hidup ikan betok pada masing –
masing wadah tersebut. Pendederan dilakukan setelah larva ikan betok berumur 2
– 3 hari , dimana pada saat itu kuning telur yang terdapat dalam tubuh ikan yang
digunakan sebagai makanan bagi larva ikan betok telah habis. Ciri – ciri larva
ikan betok yang telah habis kuning telurnya yaitu warna tubuh larva telah berubah
menjadi hitam dan siap untuk dilakukan kegiatan pendederan.

IV.2.2.6. Survival Rate (Kelangsungan Hidup Ikan)

Survival rate atau biasa dikenal dengan SR dalam perikanan budidaya


merupakan indeks kelulushidupan suatu jenis ikan dalam suatu proses budidaya
dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan dipanen (wirabakti , 2006). SR ini
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan.
jika ikan yang hidup saat panen banyak  dan yang mati hanya sedikit tentu nila SR
akan tinggi, namun sebaliknya jika jumlah ikan yang mati banyak sehingga
jumlah ikan yang masih hidup saat dilakukan pemanenan tinggal sedikit tentu
nilai SR ini akan rendah.
36

Jenis pakan alami yang dapat dikonsumsi oleh larva ikan betok adalah
pakan alami yang berbentuk hewani (zooplankton) , karena zooplankton dapat
bergerak sehingga dapat merangsang larva ikan untuk memakannya. Selain itu
menurut Yulintine (2012) bukaan mulut larva ikan betok dari umur 0 – 20 hari
adalah berkisar antara 0.4 – 0.9 mm. Sehingga jenis pakan alami yang dapat di
makan oleh larva ikan betok hanya pakan berjenis Rotifera (Brachionus sp) dari
keempat jenis pakan alami yang dapat di identifikasi.

Pada wadah pendederan kolam beton tidak terdapat larva ikan yang hidup.
Hal ini dikarenakan terdapat ikan jenis lain (Ikan Lele) yang pada wadah
pendederan, sehingga diperkirakan bahwa larva ikan yang terdapat pada wadah
tersebut telah habis di makan oleh ikan lele tersebut.

Pada wadah kolam terpal jumlah larva pada awal pendederan adalah 3071
dan pada akhir masa pendederan larva ikan betok tersisa 64 ekor atau dengan
survival rate 2.08% , jumlah mortalitas larva yang tinggi diduga karena
ketersedian pakan alami berjenis Rotifera (Brachionus sp ) yang terdapat wadah
tersebut mulai berkurang, sehingga larva memangsa larva yang lain untuk dapat
bertahan hidup.

Hal ini sesuai dengan yang di kemukakan oleh Mujiman (1998) dalam
Safrizal, Et al 2010 yang menyatakan bahwa pemupukan untuk ketersediaan
bahan makanan bagi Rotifera (Brachionus sp) dalam media pada umumnya
hanya tersedia untuk waktu 3 - 4 hari, jika dilakukan pemupukan susulan setiap 5
- 6 hari sekali maka kepadatan Brachionus plicatilis dapat di pertahankan tetap
tinggi lebih dari 1 bulan. Media tertinggi adalah media M3 yaitu dengan puncak
kepadatan populasi mencapai angka sebesar 8.667 Ind/ml. Menurut Topan et al.
(2011), pakan alami merupakan syarat utama yang harus disediakan untuk
meningkatkan kelangsungan hidup dan perkembangan larva ikan.

Berbeda pada wadah Pendederan Hapa I dan Hapa II , jumlah pada masing
wadah pendederan tersebut tingkat kelangsungan hidupnya tinggi , yaitu : Pada
Hapa I pada awal pendederan adalah 3.742 ekor larva dan pada akhir pendederan
37

adalah 2.886 ekor larva dengan presentase survival rate 76.59% dan Hapa II pada
awal pendederan adalah 3263 dan pada akhir pendederan 858 ekor larva dengan
presentase larva 26.29% .

Hal ini disebabkan pakan alami Rotifera (Brachionus sp) telah tersedia
sebelumnya pada wadah tersebut, jadi perlakuan pemberian pupuk pada wadah
tersebut berguna sebagai bahan makanan pakan alami guna meningkatkan
populasi. jika dibandingkan kolam beton dan terpal diperlukan perlakuan
pemberian inokulan sebagai induk pakan alami yang digunakan sebagai bahan
makanan. Shasmand (1986) dalam Safrizal, Et al 2010 menyatakan bahwa dalam
mengkultur Rotifera (Brachionus sp) pemberian pupuk Urea dan TSP yang
seimbang sangat menentukan terhadap pertumbuhan fitoplankton sebagai sumber
bahan makanan dari Rotifera (Brachionus sp), keadaan ini disebabkan karena
pupuk Urea dengan kandungan unsur (N) sekitar 14.20% dapat meningkatkan
metabolisme fitoplankton sangat tergantung kepada unsur N dan P disebabkan
mempunyai kandungan gizi yang sangat bagus untuk mendukung pertambahan
terhadap fitoplankton terdapat dalam media kultur tersebut. Sehingga dengan
mudah Brachionus plicatilis ini berkembangbiak dengan baik.

IV.2.2.7. Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses


pemijahan dan pemeliharaan larva. Menurut Sutisna dan Sutarmanto (1995) dalam
Safrizal, Et al 2010, suhu air optimal untuk pembenihan ikan air tawar berkisar
antara 25-30OC , suhu merupakan parameter kualitas air yang sangat
mempengarungi dalam kegiatan pemijahan maupun pemeliharaan larva. Suhu air
pada lingkungan BBI Sei Batang berkisar antara 28 – 31OC.

Menurut Swingle dalam Boyd (1982) konsentrasi oksigen terlaurut yang


dapat menunjang pertumbuhan dan proses reproduksi yaitu lebih dari 5 ppm.
Sedangkan menurut Suyanto (1995) dalam Kordi et al (2007), kadar oksigen yang
baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 2-10 ppm. Pada wadah
pemijahan dan pendederan memiliki Dissolved Oksigen (DO) yang berkisar
38

antara 1,7 ppm – 2,5 ppm. Kisaran DO tersebut sangat minim kepada kondisi
minimum yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan larva ikan.

Menurut Sutisna (1995) pH air 4-9 adalah kisaran yang optimum pada
pembenihan ikan air tawar.. Oleh sebab itu nilai pH suatu kolam budidaya harus
tetap dijaga pada kondisi optimum (Kordi, 2010). Kisaran pH yang terdapat pada
perairan di BBI Sei Batang yaitu berkisar 5 – 6.
39

V. PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Hasil Kegiatan magang di Balai Benih Ikan (BBI) Sei Batang Kabupaten Kapuas
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kultur Pakan Alami pada wadah pendederan dapat meningkatkan tingkat


kelangsungan hidup ikan (Survival Rate) yang dilihat pada wadah tanpa
perlakuan kultur pakan alami , jumlah larva yang hidup lebih sedikit
dibandingkan dengan wadah yang dilakukan kultur pakan alami.
2. Seleksi induk yang dilihat secara morfologi pada induk jantan dan betina,
induk jantan memiliki ciri – ciri bentuk tubuh memanjang dan bila ditekan
pada bagian perut akan mengeluarkan cairan putih (sperma) , sedangkan
pada induk betina memiliki ciri – ciri Bentuk tubuh membulat , bagian
perut bila ditekan terasa lunak , dan berwarna kemerahan.
3. Penyuntikan Hormon GnRH (Ovaprime) dengan dosis 0,3 ml/kg (betina)
dan 0,1 (Jantan) dapat memacu dan mempercepat tejadinya ovulasi baik
induk betina maupun induk jantan.
4. Dari 4 (empat) wadah pendederan ikan , Survival Rate wadah C (Hapa I)
yang memiliki jumlah larva yang lebih besar dibandingkan 3 (tiga) wadah
yang lain. Hal ini diduga akibat ketersedian pakan alami dari jenis
Kingdom Rotifera (Brachionus sp) tidak dapat tumbuh secara maksimal,
sehingga ketersedian untuk larva ikan betok menjadi terbatas.
40

V.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam pelaksanaan magang ini , yaitu :
1. Agar pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan betok harus benar-
benar tersedia , melalui pemberian pupuk organic agar dapat
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva ikan betok.
2. Pakan Alami yang disiapkan sebaiknya adalah pakan alami dengan jenis
Kingdom Rotifera (Brachionus sp)
3. Dalam kegiatan pemijahan ikan betok secara semi intensif, sebaiknya
induk jantan dan betina harus dipilih yang telah matang gonad secara
morfologi.

4.
41

Daftar Pustaka

Achmadi dan Narbuko. 2009. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara


Amali, TFI. 2005. Pengaruh Pemberian Nannochloropsis sp., Natan, dan
Coccolith pada Rotifera terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan
larva ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Instuti Pertanian. Bogor.
Aprilia, T. 2008. Aplikasi Pengkayaan Rotifera Dengan Asam Amino Bebas
Untuk Larva Kerapu Bebek Cromileptes altivelis. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Hal 8; 27.
Arsianingtyas, H. 2009. Pengaruh kejutan suhu panas dan lama waktu setelah
pembuahan terhadap daya tetas dan abnormalitas larva ikan nila
(Oreochromisni loticus). Fakultas Perikanan dan kelautan Universitas
Airlangga. Skripsi. (Tidak dipublikasikan)
Asyari, 2009. Pakan Alami dan Biologi Reproduksi Ikan Rawa di Sungai
Sembujur Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Forum
Perairan Umum Indonesi VI. Palembang
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kalimantan Tengah Tahun 2008. Palangka
Raya : Badan Pusat Statistik
Bagenal, T.B. and E. Braum. 1978. Eggs and Early Life History, dalam W.E.
Ricker ed.Methods for Assessment of Fish Production in Fresh Water.
Blackwell Scientific Publication
Boyd, C. E. And F. Lichtkoppler, (1982), Water Quality Management in
Pond Fish Cultur e, Auburn University, Auburn.
Budiardi, T. W. Cahyaningrum dan I. Effendi. 2005. Efisiensi pemanfaatan
kuning
telur embrio dan larva ikan mannvis (Ptherophyllum scalare) pada suhu
inkubasi berbeda. Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jurnal Akuakultur Indonesia 4
(1) : 57-61
Burmansyah, 2013. Pemijahan Ikan Betok (Anabas Testudineus) Semi Alami
Dengan Sex Ratio Berbeda. Universitas Sriwijaya, Indralaya
42

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi .1997 , Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi
Aksara,
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung Press. 190 h.
Effendie M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sri Bogor. 50 hal.
Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Yogyakarta.
163 hal
Effendie M.I . 2002. Biologi Perikanan.Yayasan Pustaka Nusantara.Yogyakarta.
Firdaus, Sarifin. Halim. S., Riswandi.,A.M., 2002. Pembesaran Ikan Betok
(Anabas testudineus bloch) Dengan Sistem Ragam Tancap Di Lahan Rawa
Sebagai Salah Satu Alternatif Usaha Pemanfaatan Lahan. Loka Budidaya
Air Tawar Kalimantan Selatan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya .
Departemen Kelautan dan Perikanan . Banjarbaru
Huet, M. 1971. Textbook of Fish Culture.Breeding and Cultivation of Fish.Ryre
& Spottiswoode Ltd, at the Press Margate. England.
Kordi, K.M.G.H. dan Tamsil, A. 2010. Budidaya Ikan Laut Ekonomis Secara
Buatan. Lily Publisher. Yogyakarta
Kordi, K. M. Ghufran. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Masrizal dan Efrizal. 1997. Pengaruh Rasio Pengenceran sperma Terhadap
Fertilitas Sperma dan Daya Tetas Telur Ikan Mas (Cyprinus carpio). Fish
J. Garing 6 (1): 1 – 9.
Mahyuddin, K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Muhammad, H Sanusi dan I Ambas. 2003. Pengaruh donor dan dosis kelenjar
hipofisa terhadap ovulasi dan daya tetas telur ikan betok (Anabas
testudineus Bloch). Jurnal Sains and Teknologi 3, 87-94.
Murtidjo B.A. (2001), Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
43

MT Kamil, Suriansyah, Rahmanuddin, 2011. Teknologi Rekayasa Pembenihan


Ikan Betok (Anabas testudinneus Bloch) Dalam Mempertahankan
Ketersedian Benih Secara Kontinyu. Laporan Penelitian Hibah Beraing
Universitas Palangka Raya
Nirarita, CH. P. Wibowo, S. Susanti, D. Padmawinata, Kusmarini, M. Syarif, Y.
Hendriani , Kusnianingsih, L. Sinulingga, 1996. Ekosistem Lahan Basah
Indonesia (Buku Panduan Untuk Guru dan Praktisi Pendidikan). Wetland
International Indonesia Programme , Bogor , Indonesia. 84 halaman.
Nugraha, D., M.N. Supardjo, dan Subiyanto. 2012. Penagaruh perbedaan suhu
terhadap perkembangan embrio, daya telur tetas dan kecepatan penyerapan
kuning telurikan black ghost (Apteronotus albifrons) pada skala
Laboratorium. Semarang. Jurnal of Management of Aquatic Resources. 1
(1) : 1-6
Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standard for
Tropical Countries. London: AIT.
Pennak, R.W. 1989. Coelenterata Fresh-water Invertebrates of the United Sates
Protozoa to Molusca, 3rd edition. John Wiley and Sons, Inc, New York.
Rukmini, Marsoedi, Arfiati. D, Mursyid. A, 2013. Jenis Pakan Alami Larva Ikan
Betok (Anabas Testudineus Bloch) Di Perairan Rawa Monoton Danau
Bangkau, Kalimantan Selatan. Universitas Lambung Mangkurat. Banjar
Baru
Saanin, H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta. Hal
520 .
Safrizal, Elita, Rindhira Humairani.. 2010. Peningkatan Laju Pertumbuhan
Populasi Rotifera (Brachionus Plicatilis) Sesudah Diberikan Penambahan
Makanan Pada Media Perlakuan
Sutisna, D.H.dan Sutarmanto, R., 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius.
Yogyakarta.
44

Suriansyah, 1991. Pengaruh Kelenjar Hipofisa Ikan Lele Lokal


(Clarias batracgus L) Dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Pembenihan
Ikan Betok (Anabas tetudineus bloch) Di Dalam Baskom Plastik. Upaya
Banjar Baru.
Suriansyah , 2003. Pemijahan Ikan Betok (Anabas testudineus bloch) dalam
Baskom Plastik Dengan Kelenjar Hipofisa yang Berbeda.Analisis
Procrustes (Laporan Penelitian). Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Palangka Raya.
Suriansyah., A.O. Sudrajat, dan M. Zairin Jr. 2009. Studi pematangan gonad ikan
betok (Anabas Tesudineus Bloch) dengan rangsangan hormon. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Jurnal of Tropical Fisheries 4 (1) : 386- 396.
Sirodjudin , dan Arsyad. 1979. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bandung
Swingle, H. S. 1990. In: C. E. Boyd (Ed.). Water Quality in Ponds for
Aquacultuyre. Birmingham Publishing Co., Alabama.
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor
Pertanian, serta strategi antisipasi dan teknologi adaptasi. Pengembangan
Inovasi Pertanian 1 (2), 2008 : 138-140
Tim Penyusun Laporan. 2017. Laporan Kegiatan Semester Pertama Balai Benih
Ikan Sei Batang. Dinas Perikanan. Kapuas
Tishom, R.I. 2008. Pengaruh sGnRHa + domperidon dengan dosis pemberian
yang
berbeda terhadap ovulasi ikan mas (Cyprinus carpioL) strain punten.
Departemen Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya. Berkala Ilmiah Perikanan 3 (1): 9-16
Widodo, P., Budiman, U., dan Ningrum, M., 2007. Kaji Terap Pembesaran Ikan
Papuyu (Anabas testudineus Bloch) dengan Pemberian Kombinasi Pakan
Pelet dan Keong Mas dalam Jaring Tancap di Perairan Rawa. DKP.
Wirabakti, C.M. 2006. Laju Pertumhan Ikan Nila Merah Yang Dipelira Pada
Perairan Rawa Dengan Keramba dan Kolam.
http://google.com,/jurnal.upr.ac.id.
45

Wotton, R.J. 1994. Ecology of Teleost Fishes. Chapman and Hall. London. p 67.

Yulintine. 2012. Perkembangan Saluran Pencernaan Larva Ikan Betok Anabas


testudineus (Bloch). Repositor IPB. Bogor
Zalina, I., C.R. Saad., Christianus, dan S.A. Harmin. 2012. Induced breeding and
embryonic development of climbing perch (Anabas
testudineus).Department of Aquaculture, Faculty Of Agriculture Universiti
Putra Malaysia. Selangor. Journal of Fisheries and Acuatic Science 7(5) :
291-306.

Anda mungkin juga menyukai