Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan


kehidupan. Selama manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan
direkonstruksi dari waktu ke waktu. Sebagai makhluk yang paling sempurna antara makhluk-
makhluk yang lain, manusia dituntut untuk menggunakan akalnya dalam memikirkan segala
sesuatu, baik yang berkaitan dengan agama, hablum minannas maupun hablum minallah.
Adapun cara untuk melatih berpikir adalah dengan pengetahuan (ilmu), dan ilmu itu wajib
dipelajari oleh setiap muslim, terutama ilmu yang berkaitan dengan agama.

Al-Zarnuji adalah salah satu tokoh pendidikan Islam dengan karyanya yang terkenal
Taliim al-Mutaallim Thariiq al-Taallum. Konsep pendidikan Islam Al-Zarnuji
dirangkum dalam buku tersebut kedalam tiga belas pasal yang singkat-singkat. Sebuah
analisa yang diajukan Abdul Muidh Khan dalam bukunya The Muslim Theories of Education
During the Middle Ages, menyimpulkan bahwa inti kitab ini mencakup tiga hal, yaitu The
Division of Knowledge, The Purpose of Learning, and The Method of Study.

Al-Zarnuji telah memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang


tidak hanya berorientasi pada keduniawian saja, tetapi juga berorientasi keakhiratan.
Sebagaimana tujuan sentral pendidikan menurut Al-Zarnuji adalah mencari ridha Allah SWT.
serta kebahagiaan di akhirat.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI
Al-Zarnuji mempunyai nama lengkap Burhanuddin al-Islam Al-Zarnuji. Di kalangan
ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Adapun mengenai
kewafatannya, ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa
Burhanuddin Al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H./1195 M. Sedangkan pendapat yang
kedua mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H./1243 M. Sementara itu ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin hidup semasa dengan Rida ad-Din an-
Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H. Grunebaum dan Abel mengatakan bahwa
Burhanuddin al-Zarnuji adalah toward the end of 12th and beginning of 13th century AD.
Tidak ada keterangan pasti mengenai daerah tempat kelahirannya. Namun jika dilihat dari
nisbahnya, yaitu Al-Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa ia berasal dari
Zaradj. Dalam hubungan ini Mochtar Affandi mengatakan: it is a city in Persia which
was formally a capital and city of Sadjistan to the south of earth (now Afghanistan).
Pendapat senada juga dikemukakan Abd al-Qadir Ahmad yang mengatakan bahwa Al-
Zarnuji berasal dari sutau daerah yang kini dikenal dengan nama Afghanistan. 1

Mengenai riwayat pendidikannya dapat diketahui dari keterangan yang dikemukakan


para peneliti. Djudi misalnya mengatakan bahwa Al-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara
dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan, pengajaran dan lain-
lain. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan
talim yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajdi
Muhammad bin Muhammad bin Abd as-Sattar al-Amidi dan lain-lain. Selain itu,
Burhanuddin Al-Zarnuji juga belajar kepada Rukmanuddin al-Firgiani, seorang ahli Fiqih,
sastrawan dan penyair (w.594 H / 1196 M); Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu
kalam di sampan sebagai sastrawan dan penyair (w. 564 H / 1170 M); dan Rukn al-Islam
Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti
Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair (w.573 H / 1177 M).2

1 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 103.

2 Ibid., hlm.104

2
Berdasarkan informasi tersebut, ada kemungkinan besar bahwa Al-Zarnuji selain ahli
dalam bidang pendidikan dan tasawuf, juga menguasi bidang-bidang lain, seperti sastra,
fiqih, ilmu kalam, dan lain sebagainya, sekalipun belum diketahui dengan pasti bahwa
untuk bidang tasawuf ia memiliki seorang guru tasawuf yang masyhur. Namun dapat
diduga bahwa dengan memilki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih dan ilmu kalam
disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam, seseorang telah memperoleh akses
(peluang) yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia tasawuf.3

B. CORAK PEMIKIRAN
Pemikiran Al-Zarnuji berpusat pada pendidikan Islam. Adapun konsep pendidikan
yang dikemukakan Al-Zarnuji dituangkan dalam bukunya Talim al-Mutaallim Thuruq
al-Taallum. Dalam karyanya ini, Al-Zarnujji mengemukakan tiga belas pasal mengenai
konsep pendidikan Islam, yaitu; (1) Pengertian ilmu dan keutamaannya; (2) Niat di kala
belajar; (3) Memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar; (4)
Menghormati ilmu dan ulama; (5) Ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur; (6)
Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya; (7) Tawakkal kepada Allah; (8) Masa
belajar; (9) Kasih sayang dan memberi nasihat; (10) Mengambil pelajaran; (11) Wara
(menjaga diri dari yang haram dan syubhat); (12) Penyebab hafal dan lupa; dan (13)
Masalah rezeki dan umur.4
1. Pengertian ilmu dan keutamaannya
Ilmu adalah suatu sifat yang dengannya dapat menjadi jelas pengertian suatu hal
yang disebut.5 Pentingnya ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi, sebab ilmu
merupakan sesuatu khusus (ciri khas) bagi manusia. Sebab segala hal selain ilmu bisa
dimiliki manusia dan juga binatang, seperti keberanian, kekuatan, kasih sayang, dan
lain sebagainya.6 Keutamaan ilmu adalah sebagai perantara (sarana) menuju

3 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 104-105.

4 Ibid., hlm. 108.

5 Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Taliimul Mutaallim, terj. Abu Shofia dan Ibnu
Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 11.

6 Ibid., hlm. 6.

3
ketakwaan yang akan menyebabkan seseorang berhak mendapatkan kemuliaan di sisi
Allah SWT. dan kebahagiaan yang abadi.7

2. Niat di kala belajar


Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar, karena niat merupakan
pokok dalam segala hal.8 Dalam menuntut ilmu seorang pelajar seharusnya berniat
untuk mencari ridha Allah, mengharap kebahagiaan di akhirat, menghilangkan
kebodohan dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan
agama dan melestarikan Islam, karena sesungguhnya kelestarian Islam hanya dapat
dipertahankan dalam ilmu dan perilaku zuhud serta takwa tidaklah sah dengan
kebodohan.9
3. Memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar
Para pelajar hendaknya memilih ilmu yang terbaik baginya dan ilmu yang
dibutuhkannya dalam urusan agama pada masa sekarang, serta ilmu yang
dibutuhkannya pada masa mendatang. Sebaiknya seorang pelajar memprioritaskan
pada ilmu tauhid dan mengenal Allah dengan dalil-dalilnya.10 Adapun dalam memilih
guru sebaiknya memilih orang yang lebih alim (pandai), yang bersifat wara (menjaga
harga diri) dan lebih tua.11 Kemudian dalam memilih teman atau sahabat, sebaiknya
memilih orang yang tekun belajar, bersifat wara dan berwatak istiqamah (lurus) dan
mudah paham (tanggap). Hindarilah orang yang malas, penganggur, pembual, suka
berbuat onar dan suka memfitnah.12 Disamping itu, ketahuilah bahwa kesabaran dan
ketekunan adalah modal yang besar dari segala urusan. Tetapi jarang sekali orang
yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, seorang pelajar harus berani

7 Ibid., hlm. 7.

8 Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Taliimul Mutaallim, terj. Abu Shofia dan Ibnu
Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 13.

9 Ibid., hlm. 14.

10 Ibid., hlm. 21.

11 Ibid., hlm. 22.

12 Ibid., hlm. 27.

4
bertahan dan bersabar dalam belajar kepada seorang guru dan mempelajari sebuah
kitab, jangan sampai meninggalkannya sebelum tamat (selesai).13
4. Menghormati ilmu dan ulama
Seorang pelajar tidak dapat meraih ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali
dengan menghormati ilmu dan ulama. 14 Cara menghormati ilmu adalah menghormati
guru dan memuliakan kitab. Adapun cara menghormati guru antara lain; tidak berjalan
kencang di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak mulai percakapan dengannya
kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara di hadapan guru, dan lain sebagainya.
Sedangkan cara memuliakan kitab , sebaiknya tidak memegang kitab kecuali dalam
keadaan suci dari hadas. Dikisahkan dari Syekh al-Imam Syamsul Aimma Al-
Khulwani, ia berkata: Sesungguhnya aku dapat memperoleh ilmu karena aku
mengagungkannya, aku tidak pernah mengambil kertas belajarku kecuali dalam
keadaan suci.15
5. Ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur
Para pelajar harus tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Pelajar harus berjaga
(tidak banyak tidur) pada malam hari.16 Kemudian, adalah suatu keharusan bagi
pelajar untuk kontinue atau rutin dalam belajar serta mengulang pelajarannya pada
setiap awal dan akhir malam, karena antara waktu maghrib dan isya serta waktu sahur
adalah waktu yang penuh berkah.17 Pelajar juga harus memiliki cita-cita luhur dalam
berilmu. Sebab modal paling pokok untuk mencapai segala sesuatu adalah kerja keras
dan cita-cita luhur.18
6. Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Syaikh Burhanuddin memulai belajar pada hari Rabu. Beliau melakukan hal itu
berdasarkan hadis Nabi sebagai berikut:
Tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari Rabu kecuali akan berakhir sempurna.19

13 Ibid., hlm. 25.

14 Ibid., hlm. 31.

15 Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Taliimul Mutaallim, terj. Abu Shofia dan Ibnu
Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 37.

16 Ibid., hlm. 8

17 Ibid., hlm. 51.

18 Ibid., hlm. 53.

5
Hari Rabu merupakan hari diciptakannya cahaya (nur) oleh Allah dan hari naas
(hari sial) bagi orang-orang kafir. Dengan demikian hari Rabu merupakan hari yang
penuh berkah orang-orang mukmin. Adapun intensitas (ukuran) belajar bagi orang
yang baru memulai (tahap awal), Abu Hanifah berpendapat sesuai yang didengarnya
dari Syaikh al-Qadhi al-Imam Umar bin Abi Bakar Az-Zanji: Guru-guru kami
berpendapat bahwa sebaiknya ukuran pelajaran bagi tingkat dasar adalah sesuatu yang
kira-kira dapat dikuasai dengan mengulanginya dua kali, kemudian setiap hari
ditambahkan kalimat demi kalimat, sehingga bila pelajaran sudah banyak, ia bias
menguasainya dengan hanya mengulangnya dua kali. Begitulah terus ditambah tahap
demi tahap. Adapun bila tahap awal langsung diberikan pelajaran yang panjang,
dimana ia harus mengulanginya sepuluh kali untuk bias menguasai, maka sampai
pelajaran terakhir akan tetap begitu, sehingga menjadi kebiasaan yang sulit dan tidak
dapat ditinggalkan kecuali dengan usaha yang berat.20
Sebaiknya murid membuat catatan sendiri mengenai pelajaran yang telah
dipahaminnya dan mengulanginya berkali-kali, hal ini sangat berguna sekali. Jangan
mencatat sesuatu yang belum dipahami, sebab hal ini akan membuat bosan,
menghilangkan kecerdasan dan membang-buang waktu. Murid hendaknya berusaha
memahami pelajaran dari guru dan menganalisa, memikirkan dan sering
mengulanginya. Disamping bersungguh-sungguh sebaiknya disertai dengan
bersungguh-sungguh kepada Allah dan merendahkan diri dihadapan-Nya.
Sesungguhnya Allah akan mengabulkan orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak
menolak orang yang berharap kepada-Nya.21
7. Tawakkal kepada Allah
Seorang pelajar diharuskan bertawakkal (berserah diri kepada Allah) di dalam
menuntut ilmu.22
8. Masa belajar
Masa terbaik untuk belajar adalah ketika muda. Waktu paling baik untuk belajar
yaitu saat-saat menjelang Subuh dan waktu antara Maghrib dan IIsya. Yang terbaik

19 Ibid., hlm. 69.

20 Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Taliimul Mutaallim, terj. Abu Shofia dan Ibnu
Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm.

21 Ibid., hlm. 86

22 Ibid., hlm. 89.

6
adalah menghabiskan seluruh waktu untuk belajar. Apabila merasa jenuh menghadapi
satu ilmu untuk dipelajari, maka beralihlah kepada ilmu yang lain.23
9. Kasih sayang dan memberi nasihat
Sebagai ahli ilmu hendaklah memiliki kasih sayang, bersedia memberi nasehat
tanpa disertai rasa hasud (dengki), karena hasud tidak ada manfaatnya bahkan
membawa bahaya.24
10. Mengambil pelajaran
Mengambil pelajaran bagi pelajar haruslah dilakukan di setiap saat hingga
memperoleh kemuliaan, dengan cara selalu menyediakan alat tulis untuk mencatat
segala pengetahuan yang baru didapatkan.25

11. Wara (menjaga diri dari haram dan syubhat)


Termasuk perbuatan wara yaitu mejauhkan diri dari golongan yang berbuat
kerusakan, maksiat dan penganggur, karena perkumpulan itu pengaruhnya sangat
besar.26
12. Penyebab hafal dan lupa
Hal-hal yang berperan menunjang hafalan adalah kesungguhan, terus menerus,
sedikit makan dan shalat di malam hari. Membaca Al-Quran adalah termasuk sebab-
sebab mudah menghafal.27 Adapun yang dapat menyebabkan lupa antara lain: banyak
berbuat maksiat, banyak dosa, khawatir dan disibukkan oleh urusan dunia.28
13. Masalah rezeki dan umur
Di antara yang dapat menghambat rezeki ialah, meyapu rumah pada malam hari,
membiarkan sampah di dalam rumah, memanggil orang tua dengan namanya, duduk
diambang pintu, dan lain sebagainya.29 Sedangkan yang dapat mendatangkan rezeki

23 Ibid., hlm. 95.

24 Ibid., hlm. 98.

25 Ibid., hlm. 105.

26Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Taliimul Mutaallim, terj. Abu Shofia dan Ibnu
Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 113.

27 Ibid., hlm. 118.

28 Ibid., hlm. 121.

29 Ibid., hlm. 127.

7
antara lain: bangun di waktu pagi, berwajah ramah, berkata baik, menegakkan shalat
dengan penuh hormat, dan lainnya.30 Adapun yang dapat menyebabkan umur panjang,
yaitu takwa, tidak menyakiti, hormat kepada orang yang tua dan bersilaturrahmi.31

C. KARYA ILMIAH
Karya Al-Zarnuji yang terkenal adalah kitab Taliim al-Mutaallim Thuruq al-
Taallum. Kitab ini banyak dijadikan sebagai bahan penelitian dan rujukan dalam
penulisan karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya
dipergunakan di kalangan ilmuan Muslim, tetapi juga oleh para orientalis dan para penulis
Barat.32
Keistimewaan lainnya dari kitab Taliim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum adalah
terletak pada materi dan kandungannya. Sekalipun kecil dan judul yang seakan-akan
hanya membicarakan tentang metode belajar, namun sebenarnya membahas tentang
tujuan belajar, strategi belajar dan lain sebagainya yang secara keseluruhan didasarkan
pada moral religius. Keterkenalan kitab Taliim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum terlihat
dari tersebarnya kitab ini hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini telah dicetak dan
diterjemahkan serta dikaji di berbagai Negara, baik di Timur maupun di Barat. Kitab ini
juga menarik perhatian beberapa ilmuan untuk memberikan komentar atau syarah
terhadapnya. Di Indonesia, kitab Taliim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum dikaji dan
dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pendidika klasik
tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern sekalipun, seperti di
pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur.33

D. PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN


1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan sesuatu yang bernilai ibadah dan menghantarkan seseorang
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan menurut Al-
Zarnuji adalah untuk mencari keridhaan Allah, memperoleh kebahagiaan di akhirat,

30 Ibid., hlm. 129.

31 Ibid., hlm. 135.

32 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 107

33 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 108.

8
berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan
dan melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri nikmat Allah.34
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari
tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial
dan tujuan-tujuan professional.35 Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam
konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar,
mencerdaskan akal, mensyukuri nikmat, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat
individual. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan pada
orang lain (mencerdaskan masyarakat), dan melestarikan Ajaran Islam adalah
merupakan tujuan-tujuan social. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan
tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada
pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan
tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Ketiga tujuan tersebut haruslah
atas dasar memperoleh keridhaan Allah dan kebahagiaan akhirat.

2. Materi dan Kurikulum


Al-Zarnuji membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori. Pertama ilmu
fardhu ain, yaitu ilmu yang setiap Muslim secara individual wajib mempelajarinya,
seperti ilmu fiqih dan ilmu ushul (dasar-dasar agama). Kedua ilmu fardhu kifayah,
yaitu ilmu dimana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas, bukan sebagai individu
diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi dan lain
sebagainya.36

3. Metode Pendidikan
Berdasarkan analisa Mochtar Affandi, bahwa dari segi metode pembelajaran yang
dimuat Al-Zarnuji dalam kitabnya meliputi dua kategori. Metode yang bersifat etik,
dan metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat

34 Ibid., hlm. 109.

35 Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan


Langgulung, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.

36 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 109.

9
dalam belajar; sedangkan metode yang bersifat strategi meliputi cara memilih
pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar. 37

BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Zarnuji adalah salah seorang tokoh
pendidikan yang telah memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada keduniawian saja, tetapi juga berorientasi pada keakhiratan.
Perhatiannya terhadap pendidikan sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari karyanya
Taliimul Talim Thuruq al-Taallum yang merupakan hasil pemikirannya mengenai
pendidikan Islam, seperti tujuan belajar, strategi belajar, prinsip belajar, dan lain sebagainya,
yang tidak terpisahkan dari moral religius. Adapun tujuan sentral dari pendidikan menurut Al-
Zarnuji adalah mencari ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat. Namun tujuan pendidikan
menurut Al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan

37 Ibid.

10
keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan
keagamaan.

11
BAB III

LANDASAN MORAL DALAM BELAJAR MENGAJAR MENURUT

KH HASYIM ASYARI STUDI KITAB

ADAB AL-ALIM WA AL-MUTAALLIM

A. Sejarah Singkat KH.Hasyim Asyari

Beliau bernama Muhammad Hasyim Asyari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim yang

dijuluki dengan pengeran Benawa bin Abdur-Rohman yang dijuluki dengan Joko Tingkir

Sultan Hadi Wijaya bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishaq ayah

dari Raden Ainul Yaqin yng terkenal dengan Sunan Giri.38[70]

Beliau di lahirkan di daerah Gedang. Sekitar dua kilo meter sebelah timur kota

jombang pada hari selasa 24 Dzul Qodah 1287 Hijrah atau bertepatan dengan 14 Februari

1871 Masehi. 39[71]

Kiai Hasyim Asyari adalah sosok yang tumbuh dewasa dan menghabiskan masa

hidupnya di pesantren. Pendidikan pesantren yang begitu khas telah membesarkannya

menjadi sosok yang alim dalam hal keagamaan, juga mempunyai kontribusi besar terhadap

pemberdayaan umat.

Saat masih dalam kandungan, Nyai Halimah, ibu kiai Hasyim asyari, melihat tanda-

tanda yang luar biasa. Pada suatu malam, ia bermimpi bulan jatuh dari langit dan hingga di

kandungannya.

38[70] Muhammad Isham Hadziq, Muqoddimah Adobal Alim Wa al Mutaallim,


Maktabah At-Turats Al-Islami, Tebu Ireng, Jombang, 1415 H, hal3

39[71] Ibid, Hal 3

12
Tentu mimpi itu merupakan sebuah pertanda yang sangat baik, bahwa anak yang akan

lahir merupakan sosok istimewa di kemudian hari, yang mempunyai kecerdasan, talenta, dan

bimbingan berada di kandungan ibunya lebih kurang 14 bulan, yang juga di tafsirkan oleh

banyak orang sebaghai sebuah keistimewaan, kiai hasyim Asyari di ramalkan akan menjadi

tokoh besar, dan ramalan itu terbukti benar di kemudian hari,40[72]

KH. Hasyim Asyari pada usia muda merupakana sosok yang sangat sederhana dan

gemar bergaul. Teristimewa, jiwa kepamimpinanananya dan kebriliannya sudah bisa dilihat

pada masa kecilnya. Diantara teman-temannya, ia di kenal sebagai teladan yang baik ia suka

menegur teman-temannya apabila ada sebuah kejanggalan, tetapi tetapi hal itu tidak membuat

mereka tersinggung. Disampingitu ia juga di kenal suka melindungi, menolong dan

membangun kebersamaan.41[73]

Solihin Salam sebagaimana di kutip oleh Zulhairin Misrawi menggambarkan tentang

KH. Hasyim Asyari muda di pesantren keras. Ia adalah seorang murid yang rajin, ulet dan

sungguh-sungguh dalam belajar untuk menggapai cita-cita. Semua pelajaran dapat di tangkap

dengan mudah, baik dan sempurna. Hal tersebut menimbulkan kekaguman banyak orang.

Satu hal yang juga merupakan keistimewaannya sejak muda adalah kemandirian. Tidak

seperti putra kiai lain, ia adalah sosok yang mempunyai etoskerja yang tinggi. 42[74]

Kiai usman, sang kakek kerap mendidiknya agar mandiri dan tidak mudah

bergantung pada orang lain. Karena itu, KH. Hasyim Asyari sejak kecil terbiasa mencari

40[72] Zuhoirini Misrawi, Hadra Tussyekh Hasyim Asyari, kompas. Jakarta. 2010,
hal 35

41[73] Ibid, Hal 38

42[74] Ibid, Hal 40

13
nafkah sendiri dengan cara bertani dan berdagang. Hasil yang di terimanya digunakan untuk

menuntut ilmu. 43[75]

Meskipun sudah di tunjuk sebagai pengajar di pesantren dalam usia yang sangat

muda, ia tidak pernah mengurungkan niatnya untuk mengurangi lautan ilmu, pada usia 15

tahun, ia berinisiatif menimba dan menambah ilmu di pesantren lain. Mula-mula menjadi

santri di pesantren wonorejo, jombang. Lalu, ia melanjutkan perjalanan ilmidinya ke

pesantren wono kayo, Probolinggo. Kemudian, langitan, tuban, hingga ahirnya ia mendalami

ilmu keagamaan di pesantren kademangan, bangkalan, madura. Pesantren ini menjadi salah

satu pesantren sangat popular di kalangan muslim tradisional karena pendirinya adalah KH.

Kholil bin Abdul Latif, seorang kiai yang pertama kali mempopulerkan kitab babon Bahasa

Arab, yaitu Alfiyah Ibnu Malik, dan juga di anggap sebagai waliyullah. 44[76]

Pada tahun 1891, KH. Hasyim Asyari melanjutkan petualangan ilmiahnya di jawa

setelah 3 tahun belajar di pulau garami, bangkalan, madura. Kini pilihannya adalah

pesantren siwalan, panji, sidoarjo, di bawah asuhan kiai yokub. Sebagaimana di madura, kiai

Hasyim belajar agak lama di pesantren ini selama lebih kurang 5 tahun. Hingga akhirnya kiai

yokub menyampaikan proposal untuk menikahkan putrinya, khadijah, dengankiah Hasyim. 45

[77]

KH. Hasyim Asyari kemudian pergi ke hijaz untuk melanjutkan pelajarannya. Beliau

tinggal di sana selama berapa tahun dan beliau mendapatkan bimbingan dari pembesar-

pembesar ulama makkah. Di antaranya beliau belajar kepada syekh Muhammad Nawawi

Banten, Syekh Khotib al minangkabauwi, syekh Suiaib bin Abdurrohman dalam berbagai

disiplin ilmu. Kemudian kitab hadits nabawi, lalu belajar kepada syekh Muhammad mahfudz

43[75] Ibid, Hal 41

44[76] Ibid, hal 41

45[77] Ibid, Hal 42

14
at turmusi tentang ilmu-ilmu syariat, ilmu-ilmu alat, sastra arab dan ilmu-ilmu baru hingga

beliau maupun menemukan banyak sekali hal-halyang maqul dan mongul. Setelah itu beliau

kembali ke tanah air untuk menyebarkan ilmunya, mengajar, mengarang, dan

mengembangkan misi perjuangannya yang penuh kebaikan.46[78]

Setelah beliau kembali dari tanah haramMakkah, beliau membangun pesantren Tebu

Ireng, Jombang. Yakni pada tanggal 26 Robiul Awal 1317H/1899M. selanjutnya beliau

membuat madrasah solafiyah syafiiyah. Beliau membimbing dan mengajar di sana, maka,

banyak sekali manusia-manusia dengan berbondong-bondong menimba ilmu dari beliau dan

16 rojab H/31Januari 1926 M, beliau bersama teman-temannya di antaranya pada tanggal

wahab Hasbullah, KH. Bishri sansuri dan ulama-ulama besar jawa lainnya merintis jamiyah

Nahdotul Ulama (NU), sebuah organisasi islam yang menyerukan kaum muslimin untuk

selalu berpegang teguh kepada al-Quran dan as sunnah, menjauhi kesesatan dan bidah dan

menyemangati mereka untuk berjuang demi meninggikan kalimat Allah.47[79]

KH. Hasyim Asyari wafat tanggal 7 Romadhon 1366 mijriah atau 25 juli 1947

masehi, di tebu ireng, jombang dan di makam di sana. Semoga Allah menempatkan beliau

dalam surganya yang terbaik yaitu surga Firdaus. Amin. 48[80]

46[78] Muhammad Isham Hadziq, Op.Cit, Hal4

47[79] Ibid, Hal 4-5

48[80] Ibid, Hal 7

15
B. Riwayat Pendidikan KH. Hasyim Asyari

Pendidikan KH. Hasyim Asyari sama dengan yang di alami oleh kebanyakan santri

muslim seusianya. Kita telah mendengar bahawa pendidikan awal beliau, sampai berumur

15 tahun, di peroleh dengan bimbingan ayahnya. Ia mendapat pelajaran dasar-dasar tauhid.

Fiqih, tafsir dan hadits. KH. Hasyim Asyari kemudian meneruskan studi ke beberapa

pesantren di jawa dan madura, yaitu pesantren wonokoyo (Probolinggo), Pesantren langitan

(tuban), Pesantren Trenggilis, pesantren kademangan (Bangkalan, Madura), dan pesantren

siwalan panji (Sidoarjo) 49[81]

KH. Hasyim Asyari kemudian pergi ke hijaz (makkah) untuk melanjutkan

pelajarannya. Selama di makkah, ia waktu sebaik mungkin untuk beribadah dan menambah

ilmu sebelum akhirnya kemblai ke Tanah Air. Sederetan syaikh ternama pernah menjadi

gurunya, yaitu syekh syuaib lain Abdurrohman, syekh nahfudz al turmusi, syekh khotib al

minangkabowi, syekh amin al aththar, syekh ibrahi arab, syekh said al yamani, syekh

rahmatullah, syekh bafadhol. 50[82]

Di samping itu, ada juga sejumlah syaaid yang menjadi gurunya, antara lain sayyid

abbas al maliki, sayyid sulthan hasyim al Daghistani, sayyid Abdullah al zamawi, sayyid

ahmad bin hasan al athos, sayyid alwi as segaf, sayid abu baker syatha al dimyati, dan sayyid

husain al habysi yang pada waktu itu di kenal sebagai juru fatwa (mufti) di makkah 51[83]

Kegemaran dan kesungguhan KH. Hasyim Asyari dalam menuntut ilmu

membuahkan hasil yang manis. Ia di tuntut sebagai salah satu guru di masjidil Haram

bersama para ulama asal Indonesia.

49[81] Lathiful Khuluq, Fajar kebangunan Ulama, Biografi KH. Hasyim Asyari. Lkis,
Bantul, Yogyakarta, 2000, hal 28

50[82] Zuhairini Misrawi, OP, Cit, Hal 46

51[83] Ibid, Hal 47

16
Diantara nama-nama ulama itu adalah syekh nawawi albantani dan sekhkhotib al

minangkabowi. Selama mengajar di masjidil harom, KH. Hasyim Asyari mempunyai

sejumlah murid, antara lain syeikh sadullah al maimoni (Mufti India), syeikh umar hamdan

(ahli hadits di makkah) al syihab Ahmad bin Abdullah (Suriah), KH. Wahab Hasbullah

(Jombang), KH.R.Asnawi (Kudu), KH.Dahlan (Kudus), KH.Bisri Syansuri (Jombang), dan

KH.Sholeh (Tayu).52[84]

C. Tinjauan Karya-Karyanya

KH. Hasyim Asyari telah membuktikan dirinya sebagai sosok ulama yang mampu

mewariskan ilmu dan amal. Karya-karyanya telah membentuk sebuah karakter keberagamaan

yang khas keindonesiaan, yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan local dan tradisi-

tradisi yang berkembang, khususnya tradisi jawa.

Adapun karya-karya KH. Hasyim Asyari yang berhasil di dokumentasikan, terutama

oleh cucunya, almarhum ishom hadziq, adalah sebagai berikut:

1. Adab al Alim wa al mutoallim fima yahtaju ilaihil mutaallim fi ahwali talimihi wa

ma yatawaqqafu alaihi al muallim fi maqomati talimihi. Kitab ini berisi hal-hal

yang dipedomani oleh seorang pelajar dan pengajar sehingga proses belajar mengajar

berlangsung dengan bik dan mencapai tujuan pendidikan yang di inginkan.

2. Ziyadatu taliqot, raddun fiha mandzumah syeik Abdullah bin yasin al fasuruani.

Kitab ini berisi perdebatan antara KH. Hasyim Asyari dan Syeikh Abdullah bin yasin

3. Al-Tanbihat al wajibat liman yashna al mauled bi al munkarot. Kitab ini berisi

peringatan tentang hal-hal yang harus di perhatikan saat merayakan mauled nabi

Muhammad SAW.

52[84] Ibid, Hal 49

17
4. Al Risalah al jamiah. Kitab ini menjelaskan tentang kondisi orang-orang mati dan

tanda-tanda kiamat serta menjelaskan tentang mafhum sunnah dan bidah

5. AlNur almubin fi mahabbati sayyidi al mursalin. Kitab ini menjelaskan tentang makna

cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW. Dan hal-hal yang berkaitan dengannya

yaitu dari mengikuti dan menjalankan sunnah-sunah nabi.

6. Hasyiah Ala Fathi Al Rohman bi Syarhi Risalah al Wali Ruslan Li Syaikh Al Islam

Zakaria al Anshori.

7. Al Duror Al Muntatsiroh Fi Al Masail Al Tisa Asyaroh. Kitab ini berisi 19 masalah

tentang kajian thoriqih dan wali

8. Al Tibyan Fi Al Nahy an Muqothoat al Ikhwan. Secara umum kitab ini berisi

pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta bahaya memutus tali

persaudaraan

9. AlRisalah Al Tauhidiyah, kitab kecil yang berisi tentang aqidah ahlus sunnnah wa al

jamaah

10. Al Qolaid Fi Bayani Ma Yajibu Min Al Aqoid. Kitab yang berisikan tentang aqidah-

aqidah yang wajib di ketahui. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang lainnya. 53[85]

D. Landasan Moral Dalam Belajar Mengajar Menurut KH. Hasyim Asyari Studi Atos

Kitab Adab Al Alim Wa Al Mutaallim

1. Landasan Moral Belajar

53[85] Muhammad Ishom Hadziq, Op,Cit, hal6-7

18
Dalam kitabnya adab alAlim wa al mutaallim, KH. Hasyim Asyari

mengklasifikasikan konsep landasan moral belajar dalam 3 sub bahasan yaitu:

a. Bentuk nilai moral pelajar terhadap dirinya sendiri

Dalam sub pembahasan tentang nilai moral pelajar terhadap diri sendiri ini KH.

Hasyim Asyari memasukkan 10 kategori nilai moral, yaitu: pertama, hendaknya seorang

pelajar itu selalu membersihkan hatinya dari segala bentuk kelalaian, kotoran-kotoran,

keinginan-keinginan jelek, dengki, akidah yang menyimpang dan ahlak yang buruk. Semua

itu di lakukan agar mampu menerima ilmu dengna biak, mudah menghafalkan, dan mampu

menyelami kerumitan-kerumitan makna serta kefahaman-kefahaman yang dalam. 54[86]

Kedua, memurnikan niat semata-mata hanya karena Allah SWT, niat mengamalkan

ilmu, menghidupkan syariah menyinari hati membersihkan bathin dan mendekatkan diri

kepada Allah SWT. Tidak mencari ilmu dengan tujuan dunyawiah seperti agar di jadikan

pemimpin. Mendapatkan jabatan, harta, agar di anggap lebih hebat dari orang lain, mencari

popularitas, atau yang lainnya. 55[87]

Ketiga, Segera mencari ilmu di masa muda dan seluruh umurnya, tidak menunda-

nundanya serta tertipu dengan harapan-harapan kosong, karena waktu yang telah lewat tidak

akan kembali lagi, kesempatan yang tertinggalkan tidak akan datang kedua kalinya.

Demikian juga bagi pelajar hendaknya memutuskan diri dari tali kaitan yang menyibukkan

dan hal-hal yang dapat menghalangi dari mendapatkan kesempurnaan ilmu. Begitu pula harus

mengerahkan seluruh jerih payahnya, kesungguhannya untuk menghasilkan ilmu. Karena

keterkaitan-keterkaitan seperti itulah yang mampu menggagalkan proses belajar.56[88]

54[86] Hasyim Asyari, Adab Al Alim Wa Al Mutaallim, Maktabah Taurats Al Islami,


Tebu Ireng, Jombang, 1415 H, Hal 24

55[87] Ibid, Hal 25

56[88] Ibid, Hal 25

19
Ke empat, mau menerima apa adanya dalam hal makanan dan pakaian, karena

bersikap qonaah dalam hal ini akan mampu mencapai keluasan ilmu, mampu menyatukan
57
hati dari berbagai macam angan dan mampu menumbuhkan ilmu hikmah. [89] Kaitannya

dalam hal ini Imam SyafiI berkata : Tidak akan bahagia orang yang mencari ilmu

denganketinggian hati dan kemewahan, namun kebahagiaan itu akan muncul bagi orang-

orang yang mencarinya dengan kerendahan hati, kekurangan dari segi maisyah

(pencaharian), dan melayani (khidmah) para ulama. 58[90]

Kelima, membagi waktu dengan baik, tidak menyisakan waktu kecuali untuk

kebaikan, karena sisa-sisa waktu itu tidak akan pernah ternilai. Adapun waktu yang paling

baik untuk menghafal adalah waktu sahur dan untuk membahas pelajaran adalah waktu pagi

waktu yang tepat menulis adalah pertengahan siang danwkatu yang tepat untuk mutholaah

(mempelajari ulang) dan mudzakaroh (diskusi) adalah malam hari. Adapun tempat yang

paling biak untuk menghafal adalah kamar-kamar atau tempat-tempat yang jauh dari

keramaian. Tidak baik menghafal di sekitar pepohonan, tanaman-tanaman, sungai-sungai,

atau tempat-tempat yang penuh kegaduhan. 59[91]

Ke enam, menyedikitkan makan dan minum, karena kenyang itu akan memberaktkan

dalam ibadah dan memberatkan badan. Termasuk faidah dari sedikit makan adalah kesehatan

badan, menolah penyakit-penyakit tubuh (anti body). Karena sebab timbulnya penyakit dalam

tubuh adalah banyaknya makanan dan minuman yang di konsumsi dalam tubuh. Para auliya

dan ulama-ulama pilihan tidak pernah menganggap bahwa banyak makan adalah hal yang

57[89] Ibid, Hal 25

58[90] Ibid, hal 26

59[91] Ibid, hal 26

20
baik bahkan mereka menyamakannya dengan binatang yang tak berakal yang di siapkan

untuk bekerja. 60[92]

Ke tujuh, bersikap wiraI (menghindari hal-hal yang di haramkan), berhati-hati dalam

setiap tingkahlakunya, bersungguh-sungguh dalam mengupayakan yang halal dalam

makanan, minuman, pakaian, tempat, dan lainnya. Demikian itu agar hati bercahaya dan bisa

menerima ilmu yang bermanfaat 61[93]

Ke delapan, mengurangi makanan-makanan yang ringan yang menyebabkan

kelambatan dalam berfikir dan kelemahan panca indra. Seperti apel yang asam, kacang-

kacangan, cuka. Begitu pula yang menyebabkan banyaknya lender yang bisa menutupi akal

dan memberatkan badan seperti banyak menghkonsumsi susu dan ikan atau yang sejenis. Dan

juga bagi pelajar hendaknya menjuuhi hal-hal yang menyebabkan kelupaan, seperti memakan

bekas makanan yang di makan tikus, membaca papan nisan, dan membuang kutu hidup-

hidup. 62[94]

Ke seimbilan, menyedikitkan tidur, tidak melebihi waktu 8 jam dalam sehari semalam.

Begitu pula di perbolehkan sesekali mengistirahatkan diri dan hati atau fikiran dengan

mengunjungi tempat-tempat yang menyenangkan (rekreasi) agar fikiran tidak terlalu lelah

danjenuh. 63[95]

Kesepuluh, menjauhi pergaulan yang tidak berguna, khususnya pergaulan lain jenis

dan pergaulan-pergaulan yang penuh permainan dan kelalaian. Karena hal itu akan menyia-

nyiakan umur tanpa faidah. Jikalaupun harus bergaul, maka bergaullah denganorang yang

60[92] Ibid, Hal 26-227

61[93] Ibid, Hal 27

62[94] Ibid, Hal 27

63[95] Ibid, Hal 28

21
solih, yang kuat agamnaya, bertaqwa, wiraI, bersih hati, penuh kebaikan, jauh dari

keburukan dan orang yang memiliki sifat muruah (harga diri). Orang-orang seperti itulah

yang akan mengingatkan kita ketika lupa dan menolong kita ketika kita dalam kebenaran.
64
[96]

b. Bentuk Nilai Moral pelajar Terhadap Guru

Dalam sub bagian ini KH. Hasyim Asyari telah membaginya kedalam 12 katagori

yaitu:

Pertama, seorang pelajar sebelum memulai pencariannya, hendaknya memikirkan

terlebih dahulu, meminta petunjuk sebagai guru, begitu pula hendaknya seorang pelajar

mencari guru yang benar-benar ahli dalam bidangnya, penuh kasih saying, memiliki harga

diri dan sudah di kenal tentang keterjagaannya dari maksiat. Begitu pula memilih guru yang

memiliki pengajaran dengan baik dan kefahaman yang mudah. 65[97]

Kedua, benar-benar memilih guru yang memiliki kompetensi sempurna dalam ilmu

syariat melalui guru-guru sebelumnya. Bukan hanya orang-orang yang mengambil ilmu dari

buku-buku atau kitab-kitab. Imam syafiI berkata Barang siapa yang mendalami agama

hanya dari buku-buku maka dia akan menyia-nyiakan hokum. 66[98]

Ketiga, patuh kepada guru tentang apa yang harus di kerjakan oleh pelajaran atau

dengan kata lain memposisikan diri seperti seorang pasien di tangan dokter yang ahli. Selalu

meminta bimbingan kepada guru tentang apa harus di lakukan, selalu mencari ridho guru,

menghormatinya serta mendekatkan diri kepada Allah dengan khidmah (melayani) guru.

64[96] Ibid, Hal 28

65[97] Ibid, Hal 29

66[98] Ibid, Hal 29

22
Karena sesungguhnya merendahkan diri dihadapan guru adalah kemulyaan, tunduk kepada

guru adalah kebanggan dan tawadlu kepada guru adalah keluluhuran. 67[99]

Keempat, memandang guru dengan pandangan mengagumkan dan meyakini

kesempurnaan dalam diri guru. Syekh Abu Yusuf berkata siapa yang tidak meyakini

keagungan guru dengan cara yang tidak sopan, memanggil dengan namanya (jambal : bahasa

jawa), namun harus dengan panggilan seperti tuanku, guruku, atau udztadku.68[100]

Kelima, mengetahui hak-hak guru dan tidak meluapakan keutamannya, selalu

mengingatnya selama-lamanya, baik ketika ia masih hidup atau sudah wafat. Begitu pula

selalu menjaga hubungan dengan kuluarga gurudan orang-orang terkasihnya, menziarahi

makamnya, meminta ampun atau sedekah untuk guru dan selalu meneladani sikap dan

kepribadian guru.69[101]

Keenam, selalu bersifat sabar menghadapi watak guru yang keras dan tidak

menjadikan hal itu sebagai absan kita untuk tidak mengikutinya dan meyakini

kesempurnaannya.70[102]

Ketujuh, ketika hendak menamui guru diselain majelis umum maka harus meminta

izin dahulu hingga mendapatkan izin dari beliau. Begitu pula bertemu dengan guru dalam

kondisi yang bersih dan baik.71[103]

67[99] Ibid, hal 30

68[100] Ibid, Hal 30

69[101] Ibid, hal 31

70[102] Ibid, hal 31

71[103] Ibid, Hal 32-33

23
Kedelapan, duduk didepan guru dengan penuh adab, tidak menengok kecuali jika

dibutuhkan, bahkan menghadap dengan keseluruhan dan memperhatikan perkataannya.72

[104]

Kesembilan, bersikap baik dan sopam saat berkomunikasi dengan guru dan

sekedarnya saja. Tidak membantah ucapannya dan tidak menyinggung perasaannya.73[105]

Kesepuluh, ketika guru menyampaikan suatu hukum tentang suatu masalah atau

faidah ataupun juga sedang menceritakan suatu hikayat dan kita ternyata sudah pernah

menhetahuinya atau mendengarkan sebelumnya, maka hendaklah kita tetap memperhatikan

dengan seksama seakan-akan kita belum pernah mengetahuinya. Syekh Atho r.a. berkata

suatu saat saya pernah mendengarkan suatu hadis dari seseorang dan saya lebih tahu tentang

hadis itu, namun saya berusaha menampakkan pada orang itu bahwa saya tidak begitu faham

tentang hadis itu.74[106]

Ke sebelas , tidak mendahului guru dalam menjelaskan masalah atau menjawab soal,

tidak di erkenankan pula menampakkan pengetahuannya tentang masalah itu. Begitu pula

tidak di perkenankan memotong pembicaraan guru, mendahului ataupun membarenginya.

Namun seorang pelajar harus bersabar hingga guru selesai berbicara.75[107]

Keduabelas, ketika guru memberikan sesuatu , maka hendaklah di terima dengan

tangan kanan, juga ketika murid ingin memberikan kitab atau buku maka hendaklah dalam

kondisi terbuka dan siap di baca .76[108] dalam sebuah majalah di katakan : empat yang

72[104] Ibid, Hal 34

73[105] Ibid, hal 36

74[106] Ibid, hal 37

75[107] Ibid,hal 38

76[108] Ibid , hal 39

24
tidak boleh di remehkan oleh siapapun juga, meski dia adalah seorang pemimpin, yaitu :

berdiri dari majlis untuk orang tuanya, berkhidmad kepada orang alim yang telah

mengajarinya, bertanya tentang hal yang tidak di ketahui, dan melayani tamunya. 77[109]

Adapun ketika seorang pelajar bertemu dengan gurunya di jalan,maka hendaklah

terlebih dahulu ia memulain salam. Namun tidak memberi salam dalam jarak yang jauh atau

memanggilnya. Bahkan hendaklah ia mendekati gurunya lalu mengucapkan salam

kepadanya, dan tidakl di perkenankan pula bertanya di jalan.78[110]

c. Bentuk Nilai Moral Pelajar Terhadap Pelajaran Dan Interaksinya Dengan Guru Dan Teman.

Dalam kitabnya adab al-alim wa al- mutaalim , KH. Hasyim asyari telah

menuangkan bentuk-bentuk moral pelajar terhadap pelajaran dan interaksinya dengan guru

dan teman. Beliau membaginya dalam 13 poin penting yaitu :

1. Memulai dari ilmu-ilmu yang bersifat fardhu ain . maka hendaklah pelajar itu memulainya

dari enpat macam ilmu, yaitu: ilmu dzat, secara umum yaitu meyakini bahwa allah itu maujud

(ada), dahulu dan abadi, allah lepas dari semua sifat kurang dan memiliki semua sifat

sempurna , seperti qirodah,irodah, ilmu, hayat, sama, bashor, dan kalam. Ilmu fiqh, seperti

mempelajari thoharoh, sholat, puasa, haji,zakat, dan lain-lain. Ilmu ahwal, yaitu mempelajari

kondisi-kondisi hati, tipu daya setan dan segala yang mengantarkannya.79[111]

2. Menguatkan fardu ainnya dengan mempelajari kitab-kitab allah, mempelajari tafsir-tafsirnya

berikut ilmu-ilmu yang terkait dengan al-quran. Begitu pula selalu melanggengakan tadarus

al-quran tiap hari dan tidan melupakan ayat-ayat yang telah di hafal.80[112]

77[109] Ibid, hal 40-41

78[110] Ibid, hal 42

79[111] Ibid, hal 43

80[112] Ibid, hal 44

25
3. Pada permulaan belajar hendaklah pelajar tidak tersibukkan dengan mempelajari perbedaan-

perbedaan para ulama tentang suatu pembahasan. Namun hendaklah memilih satu kitab atau

satu pemdahasan dan mempelajarinya secara sempurna . begitu pula dalam satu pembahasan

pilihlah yang paling penting dan selalu berusaha untuk mengamalkannya, karna itu adalah

tujuan utama ilmu.81[113]

4. Mentashihkan ilmu yang telah di baca dengan benar sebelum melafalkannya, baik kepada

gurunya mauun kepada orang yang telah di percaya. Setelah itu lantas menghafalkannya dan

terus mengulangnya.82[114]

5. Selalu bergegas untuk mendengarkan ilmu, terlebuh mendengarkan hadits, serta ilmu-ilmu

yang terkait dengannya. Imam syafii berkata: barang siapa yang mempelajari hadits ,maka

kuatlah hujjahnya.83[115]

6. Ketika terjadi kemusykilan atau kejanggalan dalam memahami materi pelajaran, maka

hendaklah beranjak mencari refrensi dari buku atau kitab yang lebih luas pembahasannya,

sekaligus menulis mencatatan-catatan penting tentang suatu masalah agar tidak terlupakan .

seorang pelajar juga harus memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu, berusaha

meraih sebanyak mungkin warisan para nabi dan tidak menunda kesempatan yang ada.84[116]

7. Sesering mungkin halaqoh pembelajaran guru, karna hal itu akan menambah

kebaikan,kesuksesan,etika dan keutamaan. Selalu berusaha untuk melayani guru , karna itu

akan menambah kemulyaan bagi pelajat,85[117]

81[113] Ibid, hal 45-46

82[114] Ibid, hal 46

83[115] Ibid, hal 46-47

84[116] Ibid, hal 47

85[117] Ibid, hal 48

26
Kedelapan, ketika menghadiri majlis guru hendaklah menyampaikan salam kepada

para hadirin dengan suara yang lantang, terlebih kepada guru dengan penuh kehormatan, dan

juga tidak melangkahi para hadirin yang datang sebelumnya, namun duduk di tenpat yang ia

dapatkan.86[118]

Kesembilan, tidak malu untuk menanyankan hal-hal yang belum di mengerti dengan

penuh kelembutan dan kesopan santunan, di katakan : barang siapa yang malu untuk

bertanya, maka kebodohannya akan tampak ketika berkumpul dengan orang lain.87[119]

Kesepuluh, membudayakan antri dalam mengambil jatah maju di hadapan guru, tidak

menyerobot orang sebelumnya.88[120]

Kesebelas, duduk di hadapan guru dengan penuh adap, dan tidak membaca sebelum

mendapatkan intruksi atau izin untuk membaca. Ketika membaca, hendaklah di awali dengan

membaca taawudz,dan basmalah, sholawat nabi, serta mendoakan gurunya, keluarga,dan

seluruh orang muslim.89[121]

Keduabelas, selaalu menekuni pelajarannya sehingga tidak meninggalkannya dalam

keadaan sia-sia, tidak beranjak ke Bab setelahnya sebelum memahami sebelumnya dan tidak

pindah dari satu daerah kedaerah lain tanpa ada alasan yang dibenarkan, karena hal itu akan

membuat tidak fokus dan menyia-nyiakan waktu.90[122]

Ketigabelas memberikan motivasi kepada teman-teman lainnya untuk selalu

bersungguh-sungguh dalam mencari, memberikan pemahaman kepada mereka tentangnya

86[118] Ibid, hal 49

87[119] Ibid, hal 50

88[120] Ibid, hal 51

89[121] Ibid, hal 52

90[122] Ibid, hal 53

27
ilmu dan memalingkan diri dari segala hal yang menyibukkan serta rasa kawatir. Begitupula

tiak bersikap sombong dan ujub dengan kepandaian yang dimiliki, memulyakan mereka

dengan tegur sapa, menjalin cinta dan kebersamaan dalam agama, memaafkan kesalahan

mereka menutupi aib mereka dan membalas budi baik mereka.91[123]

Dari kutipan di atas tentang landasan moral belajar, bahwa KH,HASYIM ASYARI

membagi nya menjadi 3 pokok bahasa, yaitu:

A.Bentuk nilai moral terhadap diri nya, meliputi:


1. Membersihkan hati

2. Memurni kan niat

3. Bergegas dalam mencari ilmu

4. Bersikap qonaah

5. Membagi waktu dengan baik

6. Menyedikit kan makan dan minum

7. Waro (menghindari hal hal yang di haramkan)

8. Mengurangi mengkomsumsi makanan makanan yang menimbulkan dampak negatif pada

tubuh

9. Menyedikitkan tidur, maksimal 8 jam dalam sehari semalam

10. Menjauhi pergaulan yang tidak berfaidah.

B. Bentuk nilai moral pelajaran terhadap guru, meliputi:


1. Meminta pertolongan kepada allah sebelum mencari guru

2. Memilih guru yang memiliki keluasan ilmu syariat, thariqoh, dan hakikat.

3. Patuh terhadap guru

4. Memandang guru dengan penuh keagungan.

5. Mengenali hak-hak guru dan memulyakannya.

6. Sabar atas sikap kera guru

91[123] Ibid, hal 54

28
7. Meminta izin sebelum memasuki majlis guru

8. Duduk dengan penuh adab

9. Berkomunikasi dengan gratis

10. Mendengarkan dengan seksama penjelasan guru

11. Tidak berbicara tanpa izin

12. Menerima pemberian guru,

C. Bentuk nilai moral elajar terhadap terhadap pelajaran dan interaksinya dengan guru, teman,

meliputi :

1. Memulai ilmu dari yang fardu Ain

2. Melandasi ilmunya dengan Al-Quran, Al-Hadis, serta ilmu-ilmu yang terkait dengannya.

3. Tidak sibuk dengan perbedaan para ulama dalam permulaan belajar.

4. Mentashihkan ilmu kepada guru atau orang yang sudah dipercaya.

5. Semangat untuk mendengarkan ilmu khususnya tentang hadis.

6. Mempelajari kitab atau buku yang labih luas penjabarannya.

7. Istiqomah mendatangi halaqoh guru

8. Menyampaikan salam untuk guru dan para hadirin

9. Tidak malu bertanya

10. Menbudidayakan atri dalam belajar

11. Duduk dengan penuh adab

12. Mengulang-ulang pelajaran agar tidak mudah lupa

13. Memberi motivasi belajar kepada teman-teman.

2. Landasan Moral Mengajar

Seperti halnya dalam pembahasan landasan moral belajar, KH. Hasyim Asyari dalam

kitabnya Adab al-Alim-wa al-Mutaalim tentang landasan moral mengajar juga membaginya

dalam 3 sub pembahasan pokok yaitu :

29
a. Bentuk nilai moral pengajar terhadap dirinya sendiri

Dalam kaitannya dengan pembahasan ini KH. Hasyim Asyari dalam adab al-alim

wa al-mutaalimnya, membaginya dalam 20 kategori, yaitu :

Petama : selalu merasa di awasi oleh Allah diwaktu sepi dan terang-terangan.

Kedua : selalu merasa takut kepada Allah dalam setiap gerak dan diam, ucaapan dan

perbuatan.

Ketiga : selalu bersikap tenang

Keempat : selalu bersikap waro (menjauhi hal-hal yang diharamkan).

Kelima : selalu bersikap tawadhu.

Keenam : selalu bersikap Khusu (tenang) karena Allah.92[124]

Ketujuh : selalu bersikap tawakal kepada Allahdalam semua hal.

Kedelapan : tidak menjadikan ilmunya sebagai sarana meraup keuntungan

Kesembilan : tidak mengagungkan para pencinta dunia dengan datang kepada mereka untuk

kepentingan selain kemaslahatan.93[125]

Kesepuluh : berahlak dengan zuhut (tidak terbuai dengan dunia) dan membatasinya sedekadar

mencukupi dirinya dan keluarganya secara seimbang dan bersifat qonaah.94[126]

Kesebelas : menghindari pekerjaan-pekerjaan yang di pandang rendah oleh watak manusia

maupun secara syara umumnya manusia, seperti tukang bekam, menyamak, menukar uang,

dan sejenisnya.95[127]

92[124] Ibid, hal 55

93[125] Ibid, hal 56

94[126] Ibid, hal 58

95[127] Ibid, hal 59

30
Keduabelas : menjauhi hal-hal yang mengundang persangkaan buruk meski jauh, maka

hendaknya seorang pengajar itu tidak melakukan sesuatu yang bisa merendahkan

hargadirinya atau hal-hal yang secara lahirnya diingkari meski secara batin dibenarkan. 96

[128]

Ketiga belas : selalu manjaga dan melakukan syiar-syiar islam dan hukum-hukum yang

tampak seperti mendirikan solat dimasjid secara jamaah, menyebarkan salam, amar maruf

nahi munkar dengan penuh kesabaran terhadap resiko-resiko dan selalu menyerahkan diri

hanya kepada Allah SWT.97[129]

Keempatbelas : selalu tampil untuk menegakkan sunnah dan mengalahkan bidah, begitu juga

menjaga perkara-perkara agama dan kemaslahatan kaum muslimin dengan cara yang baik

dan benar.98[130]

Kelimabelas : menjaga hal-hal yang dianjurkan oleh syara baik yang bersifat qauli maupun

fili seperti membaca Quran, dzikir, kepada Allah dan juga yang berbentuk doa-doa

ataupun wirid-wirid malam dan siang memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi

Muhammad SAW , mencintai, mengagungkan, dan sopan santun ketika mendengarkan

namanya maupun mendengarkan sunnha-sunnahnya.99[131]

96[128] Ibid, hal 59

97[129] Ibid, hal 60

98[130] Ibid, hal 62

99[131] Ibid Hal 62

31
Keenambelas : berinteraksi dengan manusia dengan ahlak yang mulia wajah yang berseri,

menyebarkan salam, memberikan makan, manahan marah serta kebaikan-kebaikan lainnya.


100
[132]

Ketujuhbelas : membersihkan batin dan lahirnya dari ahlak-ahlak tercela seperti berprasangka

buruk dengki, pemarah, takabur, riya, ujub, suka memperdengarkan kebaikkannya keada

orang lain dan lain sebagainya, setelah itu meramaikannya dengan ahalak-ahalak terpuji. 101

[133]

Kedelapanbelas : selalu semangat untuk menambah ilmu dan amal dengan penuh

kesungguhan, melanggengkan wirid-wirid iabadah, membaca, mempelajari, mengingat-ingat,

mengahafal dan membahas ilmu secara rutin.102[134]

Kesembilan belas : tidak malu atau gengsi untuk mencari tahu apa yang belum diketahui

meski dari orang yang dibawahnya secara kedudukan, nasab maupun umur, karean

sesungguhnya hikmah adalah barang temuan orang mukmin yanga akan diambilnya

dimanasaja ia temukan.103[135]

Kedua puluh : menyibukkan diri dengan mengarang, mengumpulkan nmembuat catatan-

catatan penting ketika memiliki kapasitas tentang itu, karena hal itu sebagaimana dikatakan

oleh syaikh khotib al baghdadi dapat menguatkan hafalan, menajamkan hati dan fikiran,

100[132] Ibid, hal 63

101[133] Ibid, hal 63

102[134] Ibid, hal 67

103[135] Ibid, hal 68

32
memperjelas keterangan serta pahala yang besar dan akan selalu ada sampai akhir zaman.104

[136]

b. Bentuk nilai moral mengajar terhadap pelajaran

Dalam pembahasan ini KH. Hasyim asyari dalam kitabnya adab al-amir wa al-

mutaalim mengemukakan secara panjang lebar tentang nilai moral pengajar terhadap

pelajaran ini, mulai dari awal keberangkatan hingga akhir pembelajaran. Yaitu sebagai berikut

Ketika seorang alim hendak menghadiri majlis elajarannya, hendaklah dia bersuci

dari hadats dan najis, membersihkan dirinya,memakai wangi-wangian, serta berpakaian yang

baik dan layak. Kesemuanya itu di niatkan untuk mengagungkan ilmu dan menghormati

syariat , serta meniatkan mengajar hanya untuk taqorrup kepada allah, menyebarkan ilmu,

menghidukan syariat, dan menyampaikan hukum-hukum allah.

Setelah itu, ketika hendak keluar rumah lalu berdoa sebagaimana yang di ajarkan

oleh nabi muhammad SAW. Yaitu:

Artinya : ya allah, aku menta perlindumgan padamu dari menyesatkan atau di sesatkan,terpeleset atau di

pelesetkan, berbuat dholim atau di dholimi, bodoh atau di bodohi, sungguh mulia

pertolonganmu dan agung pujian bagimu, serta tiada tuhan selainmu.


Setelah itu membaca :
Artinya : Dengan menyebut nama allah, saya berpegang kepada allah , saya pasrah kepada allah dan

tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan allah. Ya allah, tetapkan hatiku, dan

letakkanlah kebenaran pada lisanku.

104[136] Ibid, hal 70

33
Setelah itu ketika sampai di tempat, hendaklah memberi salam keada hadirin, dan

duduk menghadap kiblat (ketika memungkinkan) dengan khusyuk dan tenang.menjaga

tubuhnya dari gerakan-gerakan yang tidak di perlukan. Selanjutnya, seorang alim memulai

pelajarannya dengan membaca ayat al-quran serta mendoakan kebaikan untuk

dirinya,hadirin dan seluruh umat islam. Lalu membaca taawudz, basmalah fan hamdallah,

serta besholawat keada nabi dan para keluarga, dan para shohabat-shohabat beliau.

Adapun ketika mata pelajarannya itu bermacam-macam, maka hendaklah di mulai dari

pelajaran yang paling mulia, dan lebih penting. Yaitu memulainya dari pelajaran tafsir al-

quran, hadits nabi, ushuluddin, ushul fiqh, kitab-kitab madzhab, nahwu shorof dengan

berurutan. Dan mengakhiri dengan kitab-kitab tentang pembersihan hati. Dalam penyampaian

hendaklah tidak terlalu panjang yang membosankan, tidak perlu terlalu ringkas, namun di

sesuaikan dengan kondisi pendengarannya.

Selanjutnya bagi pelajar hendaklah tidakl mengeraskan suaranya lebih dari kebutuhan,

dan tidak pula memelankannya hingga tidak terdengar oleh para hadirin, agar mereka semua

bisa menyimaknya. Dan juga menjaga dan mengkondisikan majlis dari kegaduhan, dan

ketidak fokusan pembahasan. Mengingatkan mereka tentang di bencinya berbantah-bantah

setelah tampak kebenaran dan memahamkan mereka bahwa tujuan utamanya adalah

menjelaskan kebenaran, menjernihkan hati serta mengambil faidah.

Dan ketika pengajar di tanya tentang apa yang tidak di ketahui maka katakanlah saya

tidah tahu, karna ucapan itu adalah bagian dari ilmu. Dan setahuilah bahwa ucapan saya

tidak tahu tidak akan mengurangi derakat seorang alim ketika di tanya sebagaimana

disangka oleh orang-orang bodoh. Bahkan sesungguhnya ucapan itu menunjukkan akan

keluasan pengetahuannya dan kekuatan agamanya, serta ketakutannya kepada allah dari

mengatakan apa yang tidak di ketahui.

34
Dan di akhir pengajarannya hendaklah mengucapkan kata wallahhu alam, karena

ucapan itu menunjukkan pada ketulusan mengingit allah, sebagaimana di awal pelajaran

terdahulu mengucapkan basmallah, agar di awal dan diakhir pelajaran syarat dengan muatan

dzikir kepada allah. Dan setelah semuanya selesai hendaklah di akhiri dengan membaca doa

kafarot majlis yaitu :

Artinya : maha suci engkau ya allah, segala puji bagimu. Saya bersaksi bahwa tiada

tuhan selain engkau , saya mohon amun serta bertaubat kepada engkau.105[137]

C. Bentuk Nilai Moral Pengajar Terhadap Murid-Muridnya

Ada empat belas nilai moral pengajar terhadap murid-muridnya yang dicantumkan

K.H. Hasyim Asyari dalam kitabnya Adab al Alim wa al Mutaalim yaitu :

Pertama, melaksanakan pengajaran dan binbingan dengan niat hanya karena Allah

SWT, menyebarkan ilmu, ikut menyemarakkan syariat dan ikut menampakkan kebenaran

dan menghilangkan kebatilan.106[138]

Kedua, selalu member mereka bimbingan meski niat mereka belum lurus. Karena

keikhlasan niat dalam belajar dari mereka yang masih pertama belajar tidaklah mudah. 107

[139]

Ketiga, mencintai murid-muridnya sebagaimana mencintai dirisendiri dan membenci

sesuatu keburukan yang akan menimpa murid-muridnya sama dengan ia membenci suatu

keburukan yang akan menimpa dirinya.108[140]

105[137] Ibid, hal 71-79

106[138] Ibid, hal 81

107[139] Ibid, hal 81-82

108[140] Ibid, hal 83

35
Keempat, memberikan kemudahan pada mereka dalam penyampaian materi berbicara

dengan baik agar mereka mudah memahami.109[141]

Kelima, berusaha semaksimalmungkin untuk memahamkan meraka, memberikan

makna-makan yang mudah dicerna serta memberikan pemahaman bagi mereka yang belum

faham.110[142]

Keenam, menyuruh murid-muridnya dalam beberapa waktu untuk mengulangi hafalan

mereka yang belum faham.111[143]

Ketujuh, memberi arahan keapada anak didik agar tidak mempelajari suatu ilmu yang

belum dia mampu untuk menerimanya atau belum tingkatannya.112[144]

Kedelapan, tidak menampakkan rasa pilih kasih terhadap mereka dalam mencintai

maupun dalam memberikan perhatian terhadap mereka, karena hal itu akan membuat

mereka.113[145]

Kesembilan, menyayangi mereka dan menyebut mereka dengan baik dan penuh

pujian dan hendaknya seorang pengajar harus mengenal mereka, baik nama, nasab, tempat

tinggal mereka serta selalu mendoakan mereka dengan kebaikan. Begitu pula seorang

pengajar harus selalu mengawasi tingkah laku murid-muridnya, baik dari sisi adab,

pendidikan, maupun ahlak mereka lahir dan batin.114[146]

109[141] Ibid, hal 84

110[142] Ibid, hal 85

111[143] Ibid, hal 88

112[144] Ibid, hal 88

113[145] Ibid, hal 90

114[146] Ibid, hal 90-91

36
Kesepuluh selalu membimbing mereka dalam interaksinya dengan teman-teman yang

lain, seperti membiasakan salam, berkomunikasi dengan baik, saling mengasihi, dan saling

tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan.115[147]

Kesebelas, berusaha untuk memberikan hal-hal yang terkaitdengan kemaslahatan

anak didik dan menolong mereka sesuai dengan kemampuan guru, karean sesungguhnya

Allah selalu menolong orang hambanya selama hamba itu mau menolong saudaranya.116[148]

Keduabelas, menanyakan kepada mereka ketika tidak hadir dalam majlis ilmu, serta

mencari tahu alas an ketidak hadirannya, dan tidak ketika salah seorang dari mereka sakit

maka hendaklah seorang guru itu menjenguknyabegitu pula ketika mereka dalam kesulitan

hendaklah seorang guru itu meringankan bebean mereka.117[149]

Ketiga belas, bersikap rendah diri kepada anak didik dan setiap orang yang

membutuhkan petunjuk darinya serta selalu bersikap sopan santun kepada mereka, karena

sesunggunya sikap tawadhu itu akan mengangkat drajat seseorang.118[150]

Keempatbelas, berbicara ataupun berkomunikasidengan mereka secara baik,

mengagungkan mereka, memanggil mereka dengan panggilan yang baik, menyambut mereka

dengan hangat serta wajah yang berseri penuh kasih saying karena secara umum mereka

adalah wasiat Rasulallah SAW.119[151]

115[147] Ibid, hal 91-92

116[148] Ibid, hal 92

117[149] Ibid, hal 92-93

118[150] Ibid, hal 94

119[151] Ibid, hal 94-95

37
Dari keterangan kutipan diatas tentang landasan moral mengajar, KH. Hasyim Asyari

dalam kitabnya adab al Alim wa al mutaalim membaginya kedalam 3 point dasar dengan

kesimpulan sebagai berikut :

a. Bentuk nilai moral pengajar terhadap dirinya sendiri meliputi :


1. Selalu merasa diawasi Allah SWT.
2. Selalu bertaqwa kepada Allah SWT.
3. Selalu bersikap tenang.
4. Selalu menjauhi hal-hal yang diharamkan.
5. Rendah hati.
6. Bersikap khusyu.
7. Selalu bertawakal kepada Allah.
8. Tidak menjadikan ilmunya sebagai barang dagangan.
9. Tidak mengagungkan para pecinta dunia.
10. Tidak terbuai dengan dunia (zuhut).
11. Menghindari pekerjaan-pekerjaan rendah secara umum.
12. Menjauhi hal-hal yang mengundang prasangka buruk.
13. Selalu menjaga dan melestarikan syiar-syiar agama islam.
14. Selalu istiqomah dalam mengarjakan sunnah.
15. Menjaga hal-hal yang dianjurkan oleh syara.
16. Berinteraksi dengan ahlak yang mulia.
17. Membersihkan hatinya dari ahlak-ahlak tercela.
18. Semangat untuk menambah ilmu dan amal.
19. Tidak malu untuk bertanya
20. Mamberi kontribusi kepada islam dengan mengarang buku atau kitab.
b. Bentuk nilai moral pengajar terhadap pelajaran meliputi :
1. Bersuci dari hadast dan najis sebelum berangkat mengajar.
2. Berpakaian rapid an memakai wangi-wangian.
3. Membaca dan keluar rumah.
4. Duduk dengan tenang ketika mengajar.
5. Berdoa sebelum belajar/mengajar.
6. Memulai dari pelajaran yang paling mulia dan penting.
7. Mengkondisikan suasana belajar yang tenang.
8. Tidak malu untuk mengatakan Saya Tidak Tahu.
9. Membaca doa akhir majlis setelah selesai mengajar.
c. Bentuk nilai moral pengajar terhadap murid, meliputi :
1. Niat mengajar hanya karena Allah SWT.
2. Selalu siap membimbing murid
3. Mencintai murid-muridnya
4. Memberikan kemudahan dalam menyampaikan materi.
5. Berusaha keras memahamkan murid
6. Member motivasi untuk menghafalkan pelajaran.
7. Mengarahkan murid untuk tidak mempelajari ilmu yang belum tingkatannya.
8. Tidak pilih kasih.
9. Menyayangi mereka.
10. Membimbing mereka pada interaksi yang baik.
11. Memberikan kemaslahatan kepada mereka.
12. Menanyakan mereka ketika berhalangan hadir.

38
13. Bersikap tawadhu.
14. Berkomunikasi dengan mereka secara baik dan sopan.

3. Tujuan Landasan Moral Dalam Belajar Mengajar

Pada dasarnya tujuan landasan moral adalah upaya penanaman dan bimbingan kepada

setiap guru dan murid agar dalam proses kegiatan belajar mengajar tercapai suatu

transformasi ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan tepat guna.

Adapun tujuan dari landasan moral dalam belajar mengajar itu sendiri, menurut KH.

Hasyim Asyari adalah :

a. Sebagian ulama berkata bahwa tauhid itu akan manumbuhkan iman dan barangsiapa yang

tidak mamiliki iman, maka dia juga tidak bertauhid. Begitu pula iman akan memunculkan

syariat, maka barang siapa yang tidak bersyariat maka dia tidak akan beriaman. Sedangakan

syariat juga akan menumbuhkan adab (nilai moral), maka barang siapa yang tidak beradab

maka sama dengan tidak memiliki syariat, iman dan tauhid pada dirinya.

39
b. Ini adalah Nash yang sangat jelas dan ucapan yang sangat gamblang dan menguatkan

ketinggian posisi adab, dan menjelaskan bahwa sesungguhnya semua amal-amal yang

bersifat agamis, baik sebangsa hatiatau badan, ucapan maupun perbuatan itu tidak akan

dianggap sama sekali tanpa dihiasi dengan kebaikan-kebaikan moral, sifat-sifat terpuji dan

ahalak yang mulia.


c. Sesunggguhnya menghiasi amal dengan nilai moral pada permulaannya itu adalah sesuatu

tanda akan diterimanya amal di akhirnya.


d. Dan sesunguhnya nilai moral (adab) sebagaimana dibutuhkan oleh pelajar dalam proses

belajarnya itu juga dibutuhkan oleh pengajar dalm posisi mengajarnya.120[152]

Berdasarkan pengertian diatas tentang tujuan landasan moral dalam belajar mengajar

ini dapat disimpulkan bahwasanya landasan moral ini bertujuan :

a. Agar mendapatkan ridho dari Allah dengan kesemupurnaan menjalankan tauhid, iman, dan

syariat.

b. Sebagai bukti bahwa pemiliknya adalah orang-orang yang telah mencapai tingkatan tauhid,

iman, dan syariat.

c. Meningkatkan kualitas amal manusia, bahwa amal apapun bentuk dan caranya tidak akan

dianggap bila tidak di landasi dengan nilai moral yang baik dan sifat-sifat yang mulia.

d. Agar amal yang kita lakukan benar-benar diterima di sisi Allah SWT.

e. Dengan nilai yang bermuara pada ahlakul karimah agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat

dan barokah baik bagi pelajar maupun penmgajar.

f. Agar terbiasa dengan nilai-nilai Moralyang bermuara pada ahlak. Mengamalkannya dengan

sungguh-sungguh agar tercapai kebaikan dan kebahagiaan didunia dan akherat.

120[152] KH. Hasyim Asyari, Adab al-alim wa al-mutaalim, Maktabah Taurats al


islami, tabu ireng, Jombang, 1415 H, hal 11

40
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarnuji. 2005. Talim al-Mutaallim Thuruq al-Taallum, terj. Abu Shofia dan

Ibnu Sanusi, Jakarta: Pustaka Amani


Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada
Syaibani al, Omar Mohammad al-Taumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, terj.

Hasan Langgulung, Bandung: Bulan Bintang

41

Anda mungkin juga menyukai