Disusun Oleh:
Landung Salsabiila Zuhaal 20105030057
Nauva Auliyatul Faizah 20105030105
Hafidz Al Haq 20105030142
BAB II
1
Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur‟an dan Qira‟at (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 1996), hlm. 117.
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Ilmu Qiraat di Indonesia
Dalam kajian Ulumul Qur’an, ilmu Qiraat diartikan sebagai cara pengucapan dari
lafal wahyu Al-Qur’an sehingga bisa disimpulkan bahwa qiraat adalah bagian dari wahyu itu
sendiri karena wahyu dapat tertuang dalam ucapan maupun tulisan. Di Indonesia iilmu ini
masih relatif sedikit dikenal. Biasanya orang-orang cenderung rancu terhadap istilah qiraat
yang diartikan sebagai lagu atau seni dalam membaca Al-Qur’an. Padahal qiraat yang
menjadi bagian dari wahyu sangatlah berbeda dengan qiraat yang dijadikan seni dalam
membaca Al-Qur’an.
Perbedaan dasar antara qiraat dan nagam adalah nagam merupakan kreasi yang
diciptakan oleh manusia, sedangkan qiraat berasal dari wahyu dan tidak dapat diubah oleh
manusia. Oleh karena itu, qiraat harus bersumber jelas atau bersandar dan tersambung
kepada Nabi Muhammad selaku penerima wahyu. Mendapatkan qiraat pun lebih sulit
karena harus bersumber dari sanad yang benar padahal hanya sedikit jumlahnya. Sementara
nagam mendapatkannya lebih mudah karena sering diperlombakan dalam setiap ajang seni
membaca Al-Qur’an.
Meski demikian, tingkat kesulitan dan minimnya ahli qiraat di Indonesia tidak
menyurutkan keinginan para peminatnya untuk mempelajari atau bahkan
menghafalkannya. Pada awal abad ke-20 Masehi tercatat bahwa K.H. Moenawwir bin
Abdullah membawa qiraah sab’ah ke Indonesia. Beliau mempelajari ilmu qiraat di Makkah
dan Madinah dalam waktu 21 tahun. Dari sanalah muncul santri yang bersanad qiraat, yakni
KH Arwani Amin berasal dari Kudus. Melalui beliaulah transmisi sanad qiraah sab’ah terus
berlangsung sampai sekarang. Kemudian, pemerintah juga mendirikan Lembaga
Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) sebagai wadah pengembangan ilmu Al-Qur’an
sekaligus qiraatnya. KH Akhsin Sakho Muhammad mengatakan bahwa sejak MTQ Nasional
2003 di Mataram, LPTQ Nasional telah menetapkan qiraah sab’ah sebagai salah satu cabang
perlombaan. Tak hanya itu, di beberapa perguruan tinggi ilmu qiraat dijadikan sebagai mata
kuliah wajib yang harus dipelajari para mahasiswa.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, dalam ilmu qiraat yang memilliki bidang ilmu
riwayah seperti ini sanad adalah hal yang sangat penting. Ibnu Al-Jazari mengungkapkan
bahwa sebuah qiraat hanya dapat diterima apabila qiraat tersebut memenuhi tiga hal, yaitu
kesesuaian dengan kaidah tata bahasa Arab walaupun hanya satu segi saja, sesuai dengan
salah satu rasm di Masahif Usmani, serta mempunyai sanad yang sahih.
Di Indonesia khususnya, sanad qiraah sab’ah biasanya baru diberikan kepada murid
atau penghafal yang telah menyelesaikan hafalan 30 juz qiraah sab’ahdi hadapan gurunya.
Sanad sendiri adalah jaringan atau rantai seorang ahli yang diurutkan dari Nabi Muhammad
saw, para sahabat, tabiin, tabiut-tabiin, kemudian generasi – generasi berikutnya hingga ke
ahli atau hafidz tersebut. Memiliki sanad qiraah yang populer dimana di Indonesia adalah
qiraah Ashim dengan riwayat Hafs belum tentu memiliki sanad qiraah sab’ah.
M Syatibi AH dalam penelitiannya menemukan lima sanad dari ulama Indonesia yang
memiliki peranan dalam penyebaran tahfidz Al Qur’an dan merupakan sumber para huffadz
yang ada si lembaga pesantren yang ditelitinya. Diantara ulama-ulama tersebut adalah KH
Muhammad Said bin Ismail, KH Muhammad Munawwar, KH Muhammad Mahfudz at-
Tarmasi, KH Muhammad Munawwar, dan KH Dahlan Khalil. Diantara lima orang yang telah
disebutkan ini, hanya KH Muhammad Mahfudz at-Tarmasi dan KH Muhammad Munawwir
yang diketahui mengembangkan ilmu qiraat dan masih berlanjut generasinya hingga saat
ini. KH Muhammad Mahfudz at-Tarmasi mengembangkan ilmu qiraat dalam ranah teoritis,
sedangkan KH Muhammad Munawwir mengembangkannya dalam ranah praktis. Selain
yang telah disebutkan sebelumnya, masih ada lagi sumber sanad qiraah sab’ah di Indonesia,
yakni KH Makmun Bakri dari Limbangan, Garut. Beliau mendapatkan samad qiraah sab’ah
dari Syekh Siroj bin Muhammad bin Hasan yang berasal dari Garut juga namun telah lama
tinggal di Makkah.
Beberapa ahli yang telah dipaparkan di atas bisa jadi hanyalah segelintir saja karena
mungkin saat ini banyak yang masih mempelajarinya sehingga boleh jadi di kemudian hari
akan ada lagi sanad-sanad yang lain.
Pembelajaran secara teoritis pernah dilakukan oleh KH Anwar Amin di Pondok Pesantren
Tebuireng yang kala itu masih diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari . Beliau mendalami qiraah
sab’ah melalui kitab Siraj Al Mubtadi wa Tidzkar al Muqri al Muntahi karya Abu Al Qasim Ali
bin Usman bin Muhammad. Praktik dari teori ini baru dipelajari saat beliau belajar di Pondok
Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta. Disamping mengajarkan secara praktik, di
pondok pesantren ini juga diajarkan ilmu qiraat secara teori. Pembelajaran yang serupa juga
dilakukan oleh KH Murtadho yang masih putra dari KH Dimyati Banten. Kitab yang
digunakan juga Kitab Siraj Al Qari.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia juga menjadikan ilmu qiraat sebagai salah satu
mata kuliah maupun materi dalam Ulumul Qur’an yang wajib dipelajari. Sayangnya para
pengajar dari materi ini kebanyakan masih belum bersanad. Pengajar ilmu qiraat yang
memiliki sanad saat ini diketahui hanya dua orang, yaitu KH Ahsin Sakho Muhammad dan
Ahmad Fatoni yang dikenal sebagai pakar ilmu qiraat baik secara teoritis maupun praktis.
Selain secara teoritis, pelajaran secara praktis pun juga dilakukan di pesantren-
pesantren maupun di kediaman para ahli sanad. Pesantren-pesantren tersebut adalah
Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, Pondok
Pesantren Ar-Raudhatul Mardhiyyah Kudus, Pondok Pesantren Maunah Sari Kediri, Pondok
Pesantren Manba’ul Huda Kresek Banyuwangi, dan lain-lain. Pembelajaran praktis yang
dimaksudkan disini bukan berarti meninggalkan teori, akan tetapi menekankan
pembelajarannya pada praktik. Pembelajaran yang seperti ini justru pelestarian qiraat yang
sesungguhnya karena tidak berhenti pada teori saja sebagaimana yang dilakukan dalam
pembelajaran teoritis.
Pembelajaran praktis di Indonesia, secara umum dibagi menjadi dua, yaitu pembelajaran
parsial dan pembelajaran keseluruhan. Dikatakan parsial bilamana yang dipelajari adalah
beberapa ayat atau bagian dari Al-Qur’an. Pembelajaran parsial seperti ini biasanya
diperuntukkan tujuan tertentu, seperti lomba MTQ Qiraah sab’ah.
Sedangkan pembelajaran secara keseluruhan biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu
sorogan dan bandongan. Sistem bandongan dilakukan oleh seorang guru dalam
mengajarkan qiraat kepada murid-muridnya secara komunal atau berkelompok. Sistem ini
cukup efektif dari segi waktu karena dalam satu waktu dapat mengajarkan qiraat kepada
beberapa orang sekaligus. Akan tetapi, sistem ini juga memiliki kelemahan, yaitu apabila
seorang murid tidak hadir dalam suatu pertemuan maka pertemuan berikutnya dia akan
tertinggal pada qiraat tertentu, kecuali apabila dia menyempurnakannya sendiri dengan
bertanya kepada guru atau murid lainnya. Adapun sistem sorogan dalam proses talaqqi
qiraat dilaksanakan secara individual di hadapan guru secara langsung sehingga tidak ada
satu ayat pun yang tertinggal dari gurunya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistem ini
banyak diterapkan dan dipertahankan oleh mayoritas pondok pesantren karena lebih dekat
dengan orisinalitas Al-Qur’an dari aspek persambungan sanad antara murid dengan gurunya
hingga ke Rasulullah.
Akhirnya, beliau berinisiatif untuk menyusun sebuah metode kajian qiraah sab’ah
yang lebih mudah dan praktis. Inisiatif beliau tersebut direalisasikan dalam sebuah kitab
Faid Al Barakat fi Sab Al Qiraat.
Pada awalnya kitab ini tidak dipublikasikan secara massal atas perintah KH Anwar Amin
dengan berbagai pertimbangan. Dengan demikian, santri-santri terdahulu yang mempelajari
qiraah sab’ah harus menulis isi kitab Faid al Barakat per halamannya dari santri senior yang
telah mengkhatamkan kemudian disetorkan dan dikoreksi oleh KH Anwar Amin bersamaan
dengan proses talaqqi. Kitab Faid Al Barakat masih menjadi rujukan utama bagi para
penghafal qiraah sab’ah dari jalur KH Anwar Amin hingga sekarang. Namun, mulai tahun
1997 kitab tersebut dicetak dan dipublikasikan dalam jumlah besar oleh percetakan
Mubarakatan Thayyibah Kudus.
Kitab Hirz Al Amani atau Nadzam Asy-Syatibiyah yang menjadi acuan kitab Faid Al Barkat
fi Sabb al Qiraat juga digunakan oleh KH Ahsin Sakho Muhammad dalam mengajarkan qiraat
di Pondok Pesantren Dar Al Qur’an yang diasuhnya. Beliau juga aktif menulis karya di bidang
ilmu qiraat, diantaranya Manba’ Al Qiraat fii Sabb Al-Qiraat.
Beberapa literatur kajian ilmu qiraat menyatakan bahwa ada dua cara baca Al-Qur’an
dengan menggunakan ragam qiraat, yaitu bil-ifrad atau mufradat, dan bil-jama. Metode al-
Mufradat dalam kaitannya dengan qiraah sab’ah dimaknai sebagai sebuah bacaan pada
salah satu rawi qiraat yang membedakan antara rawi satu dengan rawi yang lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap rawi atau imam memiliki metodologi masing-masing
dalam membaca kalimat tertentu dari Alquran. Perbedaan ini dalam ilmu qiraat disebut
dengan al ushul dan Al Farsyi.
Metode jama‘ terdiri dari dua macam, yakni jama‘ ṣugrā dan jama‘ kubrā.
Pertama, jama‘ ṣugrā disini maksudnya menggabungkan dua rāwī dari masing-masing
imam/qāri’. Misalnya sedang mempelajari qirā’āt Nāfi‘, maka pembacaan ayatnya
menggunakan riwayat dari Qālūn dan Warsy sekaligus. Pertama-tama membaca dengan
menggunakan riwayat Qālūn, kemudian diulang dengan riwayat Warsy. Pengulangan dua
riwayattersebut dilakukan per ayat yang sedang dibaca. Apabila dalam sebuah ayat, riwayat
Warsy sama dengan riwayat Qālūn maka cara bacanya cukup satu kali karena dianggap telah
mencukupi. Proses pembacaanjuga dilalui secara berurutan sesuai urutan imam yang sama
dengan urutan imam pada metode mufradāt.
Kedua, jama‘ kubrā. Jama‘ kubrā adalah sistematika penggabungan qira’at dari
semua bacaan imam (qurrā’) yang tujuh. Proses ini dilakukan per ayat dengan mengulang-
ulang bagian yang bacaannya berbeda dari setiap rāwī dan imam/qāri’. Apabila terdapat
kesamaan dari para rāwī dan imam maka cukup dibaca satu kali saja. Metode ini lebih
ringkas dan cepat dibanding metode jama‘ ṣugrā. Hal tersebut disebabkan karena jama‘
ṣugrā mengharuskan pembaca untuk melewati tujuh kali khatam apabila ingin menguasai
tujuh qirā’at, yang mana setiap khatamannya harus mengulang bacaan yang berbeda dari
dua rāwī imam yang sedang dibaca. Akan tetapi, jama‘ kubrā ini baru diajarkan apabila
seseorang telah memahami metode-metode sebelumnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kajian Ulumul Qur’an, ilmu Qiraat diartikan sebagai cara pengucapan dari
lafal wahyu Al-Qur’an sehingga bisa disimpulkan bahwa qiraat adalah bagian dari wahyu itu
sendiri karena wahyu dapat tertuang dalam ucapan maupun tulisan. Di Indonesia iilmu ini
masih relatif sedikit dikenal. Biasanya orang-orang cenderung rancu terhadap istilah qiraat
yang diartikan sebagai lagu atau seni dalam membaca Al-Qur’an. Padahal qiraat yang
menjadi bagian dari wahyu sangatlah berbeda dengan qiraat yang dijadikan seni dalam
membaca Al-Qur’an. Perbedaan dasar antara qiraat dan nagam adalah nagam merupakan
kreasi yang diciptakan oleh manusia, sedangkan qiraat berasal dari wahyu dan tidak dapat
diubah oleh manusia. Oleh karena itu, qiraat harus bersumber jelas atau bersandar dan
tersambung kepada Nabi Muhammad selaku penerima wahyu. Mendapatkan qiraat pun
lebih sulit karena harus bersumber dari sanad yang benar padahal hanya sedikit jumlahnya.
Sementara nagam mendapatkannya lebih mudah karena sering diperlombakan dalam setiap
ajang seni membaca Al-Qur’an.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, dalam ilmu qiraat yang memilliki bidang ilmu
riwayah seperti ini sanad adalah hal yang sangat penting. Ibnu Al-Jazari mengungkapkan
bahwa sebuah qiraat hanya dapat diterima apabila qiraat tersebut memenuhi tiga hal, yaitu
kesesuaian dengan kaidah tata bahasa Arab walaupun hanya satu segi saja, sesuai dengan
salah satu rasm di Masahif Usmani, serta mempunyai sanad yang sahih. Membahas
penghafal qiraah sab’ah jalur KH Muhammad Munawwir sama halnya dengan membahas
jalur KH Anwar Amin. Hal ini dikarenakan hanya beliau yang berhasil mendapatkan sanad
dari KH Muhammad Munawwir. Beliau mempelajarinya dengan menggunakan panduan
kitab Hirz Al Amani atau Nadzam Asy-Syatibiyah. Selama menelaah dan mendalaminya,
beliau mendapatkan kesulitan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu
hampir sepuluh tahun lamanya.
Beberapa literatur kajian ilmu qiraat menyatakan bahwa ada dua cara baca Al-Qur’an
dengan menggunakan ragam qiraat, yaitu bil-ifrad atau mufradat, dan bil-jama. Metode al-
Mufradat dalam kaitannya dengan qiraah sab’ah dimaknai sebagai sebuah bacaan pada
salah satu rawi qiraat yang membedakan antara rawi satu dengan rawi yang lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap rawi atau imam memiliki metodologi masing-masing
dalam membaca kalimat tertentu dari Alquran. Perbedaan ini dalam ilmu qiraat disebut
dengan al ushul dan Al Farsyi.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur‟an dan Qira‟at (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 1996),
hlm. 117.