Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH JARINGAN ULAMA PENGHAFAL Al-QUR’AN

DI NUSANTARA

MAKALAH

Disusun sebagai Tugas


Pada Matakuliah Metodologi Tahfidz Qur’an

oleh
Pristi Setya Islami 1917501098
Muwafik Ali 1917501081

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


JURUSAN STUDI AL-QUR’AN DAN SEJARAH
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN HUMANIORA
UIN PROF. K. H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab suci bagi umat Islam. Kandungan ayat-
ayatnya menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia. Umat Islam mempunyai
kawajiban untuk memelihara dan menjaga kesuciannya dalam rangka
melestarikan keotentikan ayat-ayat Al-Qur’an Fiman Allah Swt dalam Surah Al
Hijr 15: 9 :
)9-9 :15/‫اِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َواِنَّا لَهٗ لَ ٰحفِظُوْ نَ ( الحجر‬
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
kami benar-benar memeliharanya.
Dengan adanya jaminan itu, tidak berarti umat Islam terlepas dari tanggung jawab
dan kewajiban untuk memelihara kemurniannya dari tangan-tangan jahil dan
musuh Islam yang tidak henti-hentinya berusaha mengotori dan memalsukan ayat-
ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu umat Islam pada dasarnya tetap berkewajiban
memeliharannya.
Salah satu usaha nyata dalam proses pemeliharaan kemurnian Al Qur’an
ialah dengan menghafalkannya. Pada masa permulaan Islam, setiap kali Nabi
Muhammad SAW, menerima wahyu, beliau menyampaikannya kepada para
sahabat dan memerintahkann mereka untuk menghafal dan menuliskannya.
Hampir semua sahabat yang menerimanya mampu menguasai dan menghafal isi
wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW. Tradisi menghafal Al-Qur’an
dilanjutkan setelah nabi Muhammad SAW wafat, bahkan sampai saat ini umat
Islam senantiasa melakukan tradisi tersebut sebagai amaliah ibadah dan dalam
rangka memelihara keotentikan ayat-ayat Al Qur’an.
Nabi Muhammad SAW memberikan penghargaan yang sangat tinggi
kepada para penghafal (hafiz) Al Qur’an. Beliau bersabada : “Umatku yang paling
mulia adalah para penghafal Al Qur’an (HR. Tirmizi). Dalam Hadis lain Nabi
SAW bersabda : “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang memepelajari dan
mengajarkan Al Qur’an (kepada orang lain)” (HR. Al Bukhari). Imam Abdul
Abbas dalam kitabnya Asy-Syafi menjelaskan bahwa hukum menghafal Al-
Qur’an adalah Fardu Kifayah. Jika kewajiban ini tidak terpenuhi, seluruh umat
Islam akan menanggung dosanya. Oleh karena itu menghafal Al Qur’an (tahfizul
Qur’an) menjadi bagian penting dalam Islam. Nash di atas hanya sebagian kecil
saja yang menyebutkan tentang kemuliaan penghafal Al Qur’an, dan masih
banyak lagi nash lain yang menjelaskan hal tersebut. Ini membuktikan bahwa
seorang penghafal Al qur’an (hafizh) mendapat derajat yang tinggi dimata Allah
SWT.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Tradisi menghafal dan menyalin Al Qur’an telah lama dilakukan
di berbagai daerah di Nusantara. Pelaksanaan penyalinan Al Qur’an tidak dapat
dilakukan oleh setiap orang, karena dalam pelaksanaanya diperlukan kemampuan
menulis huruf Arab yang benar. Dalam penelitian Puslitbang Lektur Keagamaan
tahun 2003-2005 ditemukan sekitar 250 naskah Al Qur’an tulisan tangan di
berbagai daerah nusantara yang diperkirakan merupakan hasil karya ulama
Indonesia dan ulama-ulama tersebut diduga hafal Al Qur’an 30 juz.
Usaha menghafal al Qur’an (Hifzul Qur’an pada awalnya dilakukan oleh
perorangan melalui guru tertentu, kalaupun ada yang melalui lembaga, lembaga
itu bukan khusus tahfizhul Qur’an, tapi sebagai pesantren biasa yang secara
kebetulan terdapat guru (kiai) yang hafal Al Qur’an. Akan tetapi ada beberapa
ulama yang merintis pembelajaran tahfizh dengan mendirikan pesantren khusus
tahfizhul Qur’an seperti pesantren Krapayak (Al Munawir) di Yogyakarta dan al-
Hikmah di Benda Bumiayu. Perkembangan selanjutnya, kecenderungan untuk
menghafal Al Qur’an mulai banyak diminati masyarakat, dan untuk menampung
keinginan tersebut dibentuk lembaga tahfizul Qur’an pada pesantren (salafiayah)
yang telah ada atau berdiri sendiri (takhasus tahfizul Qur’an), bahkan ada
diantaranya yang menambah (kurikulumnya) dengan kajian bidang lain, seperti
ulumul Qur’an dan tafsir Al Qur’an.
Lembaga yang menyelenggarakan tahfizhul Qur’an pada awalnya terbatas di
beberapa daerah, tetapi setelah cabang tahfizhul Qur’an dimasukkan dalam
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tahun 1981 (Panitia Pusat MTQ Nasional
XX, 2003), lembaga model ini kemudian berkembang di daerah-daerah Indonesia.
Perkembangan ini tentunya tidak lepas dari peran serta para ulama penghafal Al
Qur’an yang berusaha menyebarkan dan menggalakkan pembelajaran tahfizhul
Qur’an di lembaga-lembaga seperti pesantren atau sejenisnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada paparan dalam latar belakang masalah, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sanad Al-Qur’an di Nusantara?
2. Bagaimana genealogi keilmuan tahfidz?
3. Bagaimana jaringan ulama dan pesantren tahfidz Al-Qur’an di Nusantara?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sanad Al-Qur’an di Nusantara.
2. Untuk mengetahui genealogi keilmuan tahfidz.
3. Untuk mengetahui jaringan ulama dan pesantren tahfidz Al-Qur’an di
Nusantara.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sanad Al-Qur’an di Nusantara


Pada masa Nabi, pemberian ijazah telah dijumpai, bahkan dilakukan oleh
Nabi kepada sebagian sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz, dan
Ubay bin Ka’ab. Nabi bersabda:
ٍ ‫ َوُأبَ ِّي ْب ِن َك ْع‬،‫ َو ُم َعا ِذ ب ِْن َجبَ ٍل‬،‫ َو َسالِ ٍم‬،‫ُخ ُذوا القُرْ آنَ ِم ْن َأرْ بَ َع ٍة ِم ْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد‬
‫ب‬
Artinya: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang; dari Abdullah bin Mas’ud,
Salim, Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”. Dalam hadis ini, Nabi memberikan
ijazah (legalitas formal) kepada keempat sahabat di atas untuk mengajarkan Al-
Qur’an karena kapasitasnya yang mumpuni dalam bidang Al-Qur’an. Secara
bahasa, ijazah berarti legalitas atau putusan, sedangkan dalam ranah ilmu Al-
Qur’an adalah sebuah persaksian atau pengakuan dari seorang mujiz (guru yang
memberikan ijazah) kepada seorang mujaz (yang mendapatkan ijazah) atas
keahliannya dalam bidang Al-Qur’an, seperti hafal Al-Qur’an, memiliki kapasitas
keilmuan dan bacaan Al-Qur’an yang baik serta memiliki kecakapan dan keahlian
dalam mengajarkan Al-Qur’an. Proses menghafal Qur’an mutlak dibutuhkan
seorang guru yang mempunyai klasifikasi dan kapasitas yang Mutawattir
hingga Rasulullah SAW, disinilah letak sanad memegang kunci penting
sebagai tonggak tradisi tahfidz.1
Sanad adalah jaringan atau silsilah seorang hafidz yang diurutkan dari
Nabi Muhammad SAW sampai pada guru tahfidz yang ada. Tidak semua
hafidz mempunyai sanad tertulis, itu tergantung dari guru yang mengajarkan
tahfidz padanya, apakah dia mempunyai sanad dari gurunya atau tidak. Sanad para
hufaz di Indonesia mempunyai perbedaan urutan dan sumbernya,
walaupun pada titik tertentu akan bertemu pada jalur yang sama. Perbedaan ini
terjadi karena guru tahfidz mereka tidak dari sumber yang sama, baik pada
guru yang ada di Indonesia, atau para guru mereka yang bersumber dari Timur
Tengah. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa, Madura, dan Bali,

Moh. Fathurrozi, “6 Metode Dapatkan Ijazah Sanad Al-Qur’an Bersambung ke


1

Rasulullah” dalam https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/6-metode-dapatkan-ijazah-sanad-al-quran-


bersambung-ke-rasulullah-ohRtZ diakses pada 25 September 2022, pukul 20.23 WIB.
ditemukan 5 sanad yang mempunyai peranan dalam penyebaran tahfidzul
Qur’an dan merupakan sumber para hufaz yang ada di
lembaga/pesantren tahfidz. Kesemuanya bersumber dari Mekah, mereka adalah:
1. KH. Muhammad Said bin Ismail, Sampang, Madura.
2. KH. Munawaar, Sidayu, Gresik.
3. KH. Muhammad Mahfudz at-Tarmasi. Termas, Pacitan.
4. KH. Muhammad Munawwir, Krapyak, Yogyakarta

5. KH. M. Dahlan Khalil, Rejoso, Jombang.

Dari lima orang inilah berkembang para hufaz dan pesantren di


Indonesia. Usaha menghafal al Qur’an pada awalnya dilakukan oleh perorangan
melalui guru tertentu, kalaupun ada yang melalui lembaga, lembaga itu bukan
khusus tahfizhul Qur’an, tapi sebagai pesantren biasa yang secara kebetulan
terdapat guru (kiai) yang hafal Al Qur’an. Akan tetapi ada beberapa ulama
yang merintis pembelajaran tahfizh dengan mendirikan pesantren khusus
tahfizhul Qur’an seperti pesantren Krapyak (Al Munawir) di Yogyakarta.
Perkembangan selanjutnya, kecenderungan untuk menghafal Al Qur’an mulai
banyak diminati masyarakat, dan untuk menampung keinginan tersebut
dibentuk lembaga tahfizul Qur’an pada pesantren (salafiayah) yang telah ada atau
berdiri sendiri (takhasus tahfizul Qur’an), bahkan ada diantaranya yang
menambah (kurikulumnya) dengan kajian bidang lain, seperti ulumul Qur’an
dan tafsir Al Qur’an.2

Berikut enam metode ijazah Al-Qur’an yang umumnya tertera dalam


penulisan ijazah transmisi sanad beserta peringkatnya:

Pertama, ijazah ‘ardhan wa sima’an (ijazah setoran dan sema’an). Secara praktik,
seorang guru membaca Al-Qur’an dan murid mendengarkan dengan seksama.
Setelah sang guru selesai membaca, murid membaca ulang yang dibaca oleh
gurunya. Metode ijazah dan talaqqi Al-Qur’an seperti ini merupakan yang paling
tinggi derajatnya, hanya saja praktiknya sedikit ditemukan pada saat ini.  Praktik
2
Syaifudin Noer, “Historis Tahfidzul Qur’an: Upaya Melacak Tradisi Tahfidz di
Nusantara” dalam Jurnal of Islamic Education Studies Vol. 6 No. 1 Edisi Juni 2021, hal. 90.
talaqqi (tatap muka atau perjumpaan langsung) seperti ini telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, dengan Malaikat Jibril. Nabi menyimak dengan seksama
bacaan Jibril, kemudian setelah menuntaskan bacaannya, Nabi membaca ulang
yang dibaca oleh Jibril. Metode seperti ini termaktub dalam Al-Qur’an; ُ‫فَِإ َذا قَ َرْأنَاه‬
)18( ُ‫ فَاتَّبِ ْع قُرْ آنَه‬Artinya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaan itu”. Imam Nafi’ (w. 169 H) merupakan salah satu Imam Qira’at yang
mengikuti metode talaqqi seperti di atas. Beliau membaca Al-Qur’an kepada
murid-muridnya sebanyak 30 ayat pada setiap pertemuan. Begitu pula Imam
Ashim, beliau membaca Al-Qur’an kepada muridnya yang bernama Imam
Syu’bah (w. 193 H) sebanyak lima ayat tiap kali pertemuan. 

Kedua, ijazah ardhan faqath (ijazah setoran saja), yaitu seorang murid membaca
kepada seorang Guru sampai khatam tanpa harus menyimak bacaan guru terlebih
dahulu. Metode talaqqi seperti ini sangat terkenal dan banyak dipraktikkan di
berbagai kuttab, pesantren tahfidz, lembaga pendidikan Al-Qur’an, dan majelis
pengajian Al-Qur’an. Pada umumnya yang menggunakan metode seperti ini
adalah mereka yang sudah mahir membaca Al-Qur’an atau yang sudah khatam
kemudian menyetorkan kembali hafalannya kepada Guru yang lain dengan tujuan
“tabarrukan” (mencari berkah).  Di sisi lain, setelah Islam meluas dan banyak
orang Muslim yang mahir membaca Al-Qur’an, maka sudah barang tentu metode
seperti ini merupakan yang paling praktis. Dalam ranah pengajaran Al-Qur’an,
metode pertama disebut dengan metode mutaqaddimin (lama) sedangkan metode
yang kedua disebut metode muta’akhkhirin (baru).

Ketiga, ijazah sima’an faqath (ijazah sema’an saja), yaitu seorang guru membaca
Al-Qur’an dan seorang murid mendengarkan tanpa harus mengulangi bacaan sang
guru. Dalam transmisi sanad Al-Qur’an, metode semacam ini sangat jarang
dijumpai meskipun menurut sebagian ulama dianggap sah. Metode ini banyak
digunakan dalam periwayatan hadits.  Imam Khalaf bin al-Bazzar (w. 229 H)
merupakan salah satu imam Qira’at Asyrah (10) dan perawi qira’at dari Imam
Hamzah (w. 156 H) yang mempraktikkan kedua metode talaqqi di atas; Pertama,
kepada Imam Sulaim bin Isa (w. 188 H), murid kinasih Imam Hamzah, beliau
talaqqi dengan menggunakan metode setoran (ardhan). Kedua, kepada Iman Ali
al-Kisa’i (w. 189 H), beliau talaqqi secara sima’an sampai khatam tanpa setoran
terlebih dahulu. Meskipun demikian, Imam Khalaf menguasai secara tepat (dhabt)
qira’at Imam Ali al-Kisa’i.

Keempat, ijazah bi al-ikhtibar (ijazah dengan uji kompetensi), yaitu seorang Guru
menguji kompetensi seorang murid dengan mengajukan beberapa pertanyaan
wajah-wajah bacaan di tempat yang berbeda-beda. Apabila sang murid mampu
menjawab dan memiliki kapasitas keilmuan, maka dia berhak mendapatkan
ijazah. Tapi apabila sang murid dianggap tidak mampu, maka dia tak berhak
mendapatkan legalitas ijazah.  Secara umum pemberian ijazah seperti ini berlaku
dan dianggap sah apabila seorang muird telah mengkhatamkan Al-Qur’an terlebih
dahulu atau telah menguasai qira’at Al-Qur’an secara “riwayatan wa dirayatan”
kepada seorang Guru yang mumpuni. Ketentuan lain juga berlaku yaitu seorang
Guru mengenali kepakaran Guru pertama atau dengan menunjukkan legalitas
ijazahnya. Seorang murid yang mencari ijazah dengan cara ini dituntut harus
memiliki keberanian, kredibilitas, kapasitas dan penguasaan terhadap ilmu yang
ditekuni. Pada umumnya murid yang ingin mendapatkan ijazah melalui metode
seperti ini bertujuan untuk mendapatkan transmisi periwayatan yang lebih dekat
jalurnya kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.

Kelima, ijazah bi ba’dh Al-Qur’an (ijazah sebagian Al-Qur’an), yaitu seorang


murid membaca beberapa ayat Al-Qur’an kepada seorang Guru, kemudian
diberikan ijazah. Pemberian ijazah seperti ini dilakukan oleh Imam Ibnu al-Jazari
(w. 833 H) kepada muridnya, Syekh Ridwan al-Uqba (w. 852 H). Beliau hanya
membaca surat al-Fatihah dan lima ayat surat al-Baqarah di dalam Ka’bah. Dalam
penulisan ijazah dan transmisi sanad banyak dijumpai penyebutan dan penisbatan
nama Ridwan al-Uqba dari jalur Imam Ibnu al-Jazari. Demikian pula, Abu Thahir
al-Nuwairi (w. 856 H), beliau membaca qira’at asyrah kepada Imam Ibnu al-Jazari
hanya sampai pada surat an-Nisa. Kedua murid Imam Ibnu al-Jazari ini tidak
sampai khatam. Namun sebelum membaca dan mengambil sanad dari Ibnu al-
Jazari, keduanya terlebih dahulu mengkhatamkan kepada seorang Guru yang
kompeten.  Syekh Ridwan al-Uqba membaca Al-Qur’an dan qira’at kepada Syekh
Zaki Abu al-Barakat, Syekh an-Nur Abu al-Hasan Ali al-Dumairi al-Maliki,
Syekh Ismail al-Anbabi dan lain-lain. Sedangkan Syekh Thahir al-Nuawairi
membaca kepada Abu Abdillah al-Hariri, Syekh an-Nur al-Habibi, Syekh Ibnu
Ayyasy dan lain-lain. Sehingga sah-sah saja pemberian ijazah sanad seperti ini
kepada keduanya karena kualitas, kredibilitas dan kapasitas yang dimiliki tidak
terbantahkan, disamping telah mengkhatamkan terlebih dahulu kepada Guru yang
lain. Penulisan dan penisbatan nama Ibnu al-Jazari dalam sebuah ijazah sanad bisa
jadi karena faktor ketenaran beliau dan menjadi rujukan ulama pada masa itu
dalam bidang qira’at hingga mendapatkan julukan “Khatimah al-Muhaqqiqin”,
pamungkas para peneliti. Termasuk dalam kategori metode talaqqi seperti ini
adalah “ijazah bi al-munawabah”, yaitu pengajian Al-Qur’an berbentuk halaqah.
Setiap murid membaca Al-Qur’an/qira’at secara bergiliran yang dipandu dan
dikoreksi oleh seorang Guru dan murid lain yang menyimak ikut aktif mengoreksi
bacaan temannya. Seorang murid yang mendengarkan bacaan temannya tercatat
layaknya membaca.  Metode seperti ini dipraktikkan oleh sebagian masyayikh di
Timur Tengah, termasuk Syekh Bakri al-Tharabisyi (w. 1433 H- 2012 M). Namun
di akhir hayatnya, beliau mencabut ijazah metode seperti ini karena banyak yang
menyalahgunakan untuk kepentingan yang tidak selaras dengan nilai-nilai ajaran
Al-Qur’an.

Keenam, ijazah bil mukatabah, yaitu seorang guru mengirimkan ijazah kepada
muridnya meskipun tidak bertemu dan mendengarkan darinya walau satu huruf.
Pemberian ijazah ini karena kepakaran dan kemahiran seorang dalam bidang ilmu
qira’at. Seperti pemberian ijazah qira’at 14 dari Syekh Ali al- Dhabba’ (w. 1389 H
– 1961 M) kepada Syekh Abdur Qadir Quwaidir al-Urbili (w. 1369 H – 1900 M).
Meskipun keduanya tidak pernah bertemu.3

3
Moh. Fathurrozi, “6 Metode Dapatkan Ijazah Sanad Al-Qur’an Bersambung ke
Rasulullah” dalam https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/6-metode-dapatkan-ijazah-sanad-al-quran-
B. Genealogi KeilmuanTahfidz
Berdasarkan buku Para Penjaga Alquran karya Lajnah Pentashihan Mushaf
Alquran Badan Libang Kementerian Agama disebutkan, guru qiraah sab’ah
(ketujuh varian bacaan Alquran) KH Munawwir Krapyak adalah Syekh Yusuf
Hajar. Adapun sanad tahfiznya dapat diketahui secara lengkap sebagai berikut:
K.H.Munawwir Krapyak, dengan qiraah Imam Asim menurut riwayat Imam
Hafs, mengambil dari Syekh Abdul Karim Umar al-Badri, dari Syekh Ismail
Basyatin, dari Syekh Ahmad ar-Rasyidi, dari Syekh Mustafa Abdurrahman al-
Azmiri, dari Syekh Hijazi. Kemudian berlanjut ke atas dari Syekh Ali bin
Sulaiman al-Manshuri, dari Syekh Sultan al-Mizahi, dari Syekh Saifuddin
Ataillah al Fadali, dari Syekh Sahazah al-Yamani, dari Syekh Nasiruddin at-
Tablawi, dari Syekh Abu Yahya Zakariyya al-Anshari. Berlanjut dari Imam
Ahmad al-Asyuti, dari Imam Muhammad bin Muhammad al-Jazari, dari Imam
Muhammad bin Abdul Khaliq al-Misri, dari Imam Abu al-Hasan Ali bin Syuja,
dari Imam Abu al-Qasim asy-Syatibi, dari Imam Ali bin Muhammad bin Huzail,
dari Imam Sulaiman bin Najah al-Andalusi, dari Imam Abu Amr Usman ad-Dani,
dari Imam Tahir bin Galbun, dari Imam Ahmad bin Sahl al-Asynani. Lanjut dari
Imam Ubaid bin as-Sabah, dari Imam Hafs bin Sulaiman, dari Imam Asim bin
Abi an-Najud, dari Imam Abdurrahman as-Sulami, dari Zaid bin Sabit dan Ubay
bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan,
yang mengambil langsung dari Rasulullah SAW yang bermuara dari Allah SWT
melalui perantara Malaikat Jibril.4 

C. Jaringan Ulama dan Pesantren Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara

bersambung-ke-rasulullah-ohRtZ diakses pada 25 September 2022, pukul 20.30 WIB.


4
Imas Damayanti, “Sanad Al-Qur’an KH Munawwir yang Tersambung ke Rasulullah
SAW” dalam https://www.republika.co.id/berita/q5pkrv320/sanad-alquran-kh-munawwir-yang-
tersambung-ke-rasulullah-saw diakses pada 25 September 2022, pukul 20.32 WIB.
Dalam sejarah perkembangan pengajaran tahfiz dan lembaga tehfizul Qur’an
di Indonesia sebelum kemerdekaan tahun 1945, dapat dicatat beberapa tokoh
ulama dan pesantren diantaranya :
1. K.H. Muhammad Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
(w. 1942)
Setelah belajar kepada beberapa ulama nusantara pada tahun 1888 M,
KH. Munawwir meneruskan belajar ke Mekah al-Mukarramah. Di kota ini ia
menetap selama enam belas (16) tahun untuk mengkhususkan belajar Al-
Qur’an dan ilmu-ilmu pendukungnya, seperti tafsir dan Qira’ah Sab’ah.
Setelah belajar di Mekah al-Mukarromah, kemudian berpindah ke Medinah al
Munawwarah. Adapun gurunya antara lain: 1) Syekh Abdullah Sanqoro 2)
Syekh Syarbini 3) Syekh Muqri 4) Syekh Ibrahim Huzaimi 5) Syekh
Manshur 6) Syekh Abdusy Syakur 7) Syekh Musthafa.
Pada akhir tahun 1909 M, K.H. M. Munawwir merintis berdirinya
Pondok Pesantren yang kemudian dikenal dengan pondok pesantren Krapyak
Yogyakarta. Tahap awal berupa rumah kediaman dan langgar yang
bersambung dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren.
Kemudian pada tahun 1910 pesantren ini mulai ditempati oleh santri yang
hendak menghafal Al-Qur’an dan ia sendiri sebagai pengasuhnya.5
Ciri khas yang paling menonjol dari metode pengajaran Al-Qur’an yang
dikembangkan K.H. M. Munawwir ialah:
a. Membuat stratifikasi pembelajaran Al-Qur’an menjadi tiga tahapan, bin-
nazar atau membaca langsung Al-Qur’an secara fasih dan murattal (pelan dan
jelas semua makhraj dan shifat huruf Al-Qur’an), bil-gaib atau menghapal Al-
Qur’an secara fasih dan murattal dan Qira’ah Sab’ah. Tahapan-tahapan itu
harus dilalui setiap orang yang ingin menjadi ahli Al-Qur’an.
b. Menekankan latihan fasahah dan murattal (membaca secara fasih dan tartil)
pada bacaan surah-surah pendek, mulai dari Surah al-Fatihah, surah-surah Juz
5
Ahmad Fathoni, “Sejarah dan Perkembangan Tahfidz Al-Qur’an di Indonesia” dalam
http://www.baq.or.id/2018/02/sejarah-perkembangan-pengajaran-tahfidz.html diakses pada 25
September 2022, pukul 20.36 WIB.
‘Amma, Surah al-Mulk, Surah al-Waqi’ah, Surah as-Sajdah, dan Surah al-
Kahf. Proses tahapan ini harus dilakukan setiap orang yang belajar Al-
Qur’an, berulang-ulang sebelum belajar menghafal Al-Qur’an secara utuh.
Hampir seluruh pesantren Al-Qur’an di Jawa mempraktikkan metode
pembelajaran Al-Qur’an yang dikembangkan K.H. M. Munawwir tersebut.
Karena itu, sumbangsih K.H. M. Munawwir dalam pelestarian Al-Qur’an di
Indonesia sangat besar. Bahkan lebih dari itu, praktik pembelajaran Qira’ah
Sab’ah secara mudah dilakukan K.H. M. Munawwir dengan thariq asy
Syathibiyyah.
2. KH. Munawar Gresik – Jatim (1884 – 1944 M)
K.H. Munawar mulai pertama mendirikan Pesantren Tahfizul Qur’an
(hapalan Qur’an) pada tahun 1910 M. (keterangan K.H. Syafiq) KH.
Munawwar merupakan pelopor yang mendirikan Pesantren Tahfizul Qur’an
di Sidayu Gresik Jawa Timur. Santri yang datang untuk belajar dan
menghapal Al-Qur’an kepadanya ada yang mukim di pesantren dan ada yang
tidak. Bagi santri yang jauh bisa mukim di pesantren sedangkan santri dari
daerah sekitar hanya datang jika hendak belajar atau menyetorkan bacaannya.
KH. Munawwar mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dan menghapalnya ketika
belajar di Arab Saudi tepatnya di kota Mekkah dan Madinah. Meskipun ia
menguasai Qiraat Sab’ah namun ia tidak mengajarkannya kepada murid-
muridnya di Indonesia, hal ini karena kekhawatiran beliau terhadap ragam
bacaan tersebut. Ia juga tidak mewajibkan terhadap perempuan untuk
menghafal Al-Qur’an.
KH. Munawwar mendapatkan sanad qiraatnya dari gurunya yang
berada di Arab Saudi yaitu Abdul Karim Ibnu Umar Al-Badri. Sanad yang ia
miliki memiliki kesamaan dengan sanad yang dimiliki oleh KH. Munawwir
Krapyak Yogyakarta, hal ini dikarenakan mereka berdua satu perguruan.
Kemungkinan besar juga memiliki kesamaan sanad yang dimiliki oleh KH.
Badawi Kaliwungu yang juga merupakan satu perguruan.6
3. KH. Said Ismail (1891 – 1954 M)
6
Abid.
Ia dilahirkan di Mekkah pada tahun 1891 dan wafat th 1954. Kedua
orang tuanya berasal dari Madura dan telah menjadi warga Negara Saudi
Arabia. Pada masa kecilnya, belajar baca tulis AI-Qur’an kepada
ayahandanya. Kemudian pada usia 6 tahun ia sudah mampu membaca AI-
Qur’an dengan baik, fasih dan lancar. Dan yang paling pertama ditekuni
adalah belajar menghafal AI-Qur’an kepada guru-guru tahfizh yang ada di
Masjidil Haram pada waktu itu. Salah satu gurunya yaitu Sheikh Abd Hamid
Mirdad asal Mesir. Pada umur 7 tahun ia mulai menghafal Al-Qur’an, dan
tamat ketika ia berusia 10 tahun. Ditangan Sheikh Abd.Hamid Mirdad inilah
beliau berhasil menamatkan hafalan AI-Qu^annya, daiam waktu 3 tahun.
Selain dari ayahandanya iapun belajar dari buyutnya yaitu K.H. Muhammad
Muqri.
Setelah ia menamatkan hafalan Al-Qur’annya, baru belajar dengan ilmu
yang lain seperti ilmu al-Qur’an, Nahwu, Sharaf dan Bahasa Arab. Pada masa
itu beium ada sistim kelas seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah ataupun Aliyah.
Beliau hanya belajar pengetahuan dasar keagamaan dengan mengikuti
pengajian yang sifatnya pengajian “sorogan” di Masjidil Haram. Maka di usia
15 tahun ia kembali ke tanah leluhurnya Sampang Madura, untuk
mengabdikan hafalan Al-Qur’an dan pengetahuan agamanya. Dan ternyata di
terima baik dan disambut hangat oleh masyarakat Sampang dan merintis
pendirian pondok pesantren Tahfizul Qur’an pada tahun 1917.
4. AG. KH. As’ad Abd Rasyid (W. 1952)
Pondok Pesantren As’adiyah didirikan pada tahun 1928, yang dirintis
oleh Muassis al-awal Anre Gurutta (AG) K.H.M. As’ad A. Rasyid,
sekembalinya beliau dari Makkah al-Mukarramah. Beliau adalah putra asli
daerah Sengkang -Wajo, lahir dan dibesarkan di Makkah al-Mukarramah.
Selain Pengajian kitab kuning yang dikembangkan, beliau juga merintis
pondok tahfizul qur’an, pengasuh dan guru tahfiznya, yaitu Sheikh Ahmad
‘Afifi al-Masry, dikenal dengan nama “Puang Masere”. Setelah wafat Sheikh
Afifi, tahun 1951, maka beliau mengambil alih kepemimpinan pondok tahfiz
ini selama setahun, hingga beliau wafat pada tanggal 28 Desember 1952.
Kemudian dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, yaitu K.H.M. Jafar Hamzah
dari tahun 1952 – 1957, periode ke tiga di lanjutkan oleh K.H.Hasan Basri
darti tahun 1958-1960, kemudian Ust. H. Abdullah Massarasa, dari tahun
1961-1970, periode keempat dari tahun 1971-1976 oleh K.H. Abd. Rasyid
As’ad, putra Pengasuh, periode kelima oleh K. H. M. Yahya dari tahun 1977-
sekarang ini.
Memasuki Eksintensi tahfizul Qur’an di Indonesia Pasca Kemerdekaan
1945 hingga Musabaqah Tilawatil Qur’an 1981. Pada periode ini
perkembangan pengajran tahfizul Qur’an sudah mulai berkembang lebih
semarak dibanding periode sebelumnya. Namun sebenarnya masih jauh dari
memadai jika dilihat jumlah populasi umat Islam Indonesia. Adapun beberapa
tokoh atau Lembaga tahfizul Qur’an yang popular pada masa ini adalah :
1. KH. Muntaha (1912-2004 M) Pesentren Al ‘Asy’ariyah Wonosobo-Jawa
Tengah.
Menjadi pengasuh pesantren Al ‘Asy’ariyah pengganti ayahnya KH.
Asy’ari mulai tahun 1950 M, mulai tahun ini pula pengajaran tahfizhul
Qur’an dimulai sebab muntaha sudah hafal Al Qur’an mulai umur 16 tahun
kepada KH. Utsman Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Setelah hafal Al
Qur’an meneruskan kepesantren Al Munawwir Krpyak Yogyakarta
memantapkan hafalan Al Qur’an dan memperdalam ilmu-ilmu Al Qur’an
kepada KH. M. Munawwir. Konsep pembelajarannya menitik beratkan pada
3 unsur : 1) Tahfizul Qur’an sebagai Program Unggulan 2) Kajian Kitab
kuning sebagai penyempurna wawasan keagamaan. 3) Penguasaan terhadap
bahasa asing (Arab, Inggris) sebgai modal komunikasi dalam bermasyarakat.
2. KH. Yusuf Junaidi (1921-1987) Bogor.
KH. Yusuf Junaidi lahir di Kaliwungu, Kendal jawa Tengah Tahun
1921. sedang matarantai Sanad Kiyai Yusuf Junaidi berasal dari Syekh
Ahmad Badawi ar Rosyidi Kaliwungu, dari para gurunya Syekh Ahmad Ibadi
al Mishri dan Syekh Abdullah bin Ibrahim al Mishri, salah satu ulama
Masjidil Haram. Sanad ini diturunkan kepada para santrinya yang telah hafal
Al Qur’an yang kini tersebar diberbagai wilayah Bogor dan sekitarnya. Pada
usia 35 tahun tepat tahun 1966 KH Yusuf Junaidi mendirikan pesantren
Tahfihzul Qur’an didesa Laladon Ciomas Bogor.7
3. KH. Muhammad Arwani Kudus- Jawa Tengah (1905-1994 M)
Sebelum belajar Ilmu Qira’ah kepada KH.Munawwir, Arwani
diharuskan menghafal Al Qur’an terlebih dahulu. Sehingga ketika itu ia mulai
belajar menghafal Al Qur’an. Berkat ketekunan dan kecerdasannya dalam
waktu dua tahun saja ia telah menghafal Al Qur’an 30 juz. Setelah itu barulah
ia mulai belajar Qira’ah Sab’ah kepada KH Munawwir. Untuk menamatkan
pelajaran Qira’ah Sab’ah, Arwani membutuhkan waktu sekitar 9 tahun
lamanya. Ia selesai bealajar Qira’ah Sab’ah dengan kitab al Syatibi dan
mendapatkan ijazah dari KH.Munawwir tertanggal 7 Jumadil ‘Ula
1355H/1936 M. di dalam ijazah yang diberikan, terdapat keterangan bahwa ia
telah mengkhatamkan sanad dari KH. Munawwir sampai kepada Nabi
Muhammad Saw secara lengkap. Profil Pesantren yang dipimpin :Yanbu’ul
Qur’an dengan alamat Jl. KH.Mahammad Arwani no.24 Kel.Kajeksan Kota
didirikan oleh KH.M.Arwani Amin Said, seorang ulama besar yang sangat
dikenal keilmuannya, dan dalam bidang Al Qur’an adalah menyusun kitab
Qira’at Sab’ah yang diberi nama Faidhal Barokaat
4. Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) Jakarta.
Perguruan ini lahir pada tahun 1971 berbentuk pendidikan formal.
Perguruan Tinggi yang mahasiswanya laki-laki semua dan menempuh jenjang
perkuliahan akademis yang mengkaji ilmu-ilmu Agama, Al Qur’an, Qira’at
Sab’ah, Rasm Utsmani, dll juga para mahasiswa diharuskan menghafal Al
Qur’an 30 juz. Perguruan ini didirikan oleh Prof.KH. Ibrahim Hosen, LML.
Perguruan ini kini memiliki Strata Satu (S1) dan Strata Dua (S2) .
5. Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta
Perguruan Tinggi ini pendirinya sama dengan PTIQ Jakarta, yaitu
Prof.KH. Ibrahim Hosen, LML tahun 1977 dan mahasiswanya semuanya
perempuan. Semua yang dikaji sama dengan PTIQ Jakarta. Dan kini telah
memiliki tingkat Strata Satu (S1 dan Strata Dua (S2).8
7
Abid.
8
Abid.
Terkahir, eksistensi Tahfizul Qur’an di Indonesia Pasca Musabaqah
Hifzul Qur’an tahun 1981. Perkembangan pengajran tahfizul Qur’an di
Indonesia pasca MHQ tahun 1981 boleh diibaratkan bagaikan ari bah yang
tidak dapat dibendung lagi. Kalau sebelumnya hanya eksis dan berkembang
di pulau Jawa dan Sulawesi, maka sejak tahun 1981 hingga kini hampir
semua daerah di nusantara kecuali daerah Papua, hidup subur bak jamur
dimusim hujan dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, baik
dalam format pendidikan formal maupun non formal. Lihat saja berbagai
lembaga pendidikan berikut :
1. Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al Qur’an (STAI-PIQ),
Padang Sumatera Barat yang didirikan tahun 1981.
2. Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Al ‘Azi’ziyah Lombok NTB yang
didirikan tahun 1985.
3. Lembaga Tahfihzul Qur’an di Pondok Pesantren Ma’had Hadits Biru
Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang didirikan tahun 1989.
4. Madrasah Tahfizhul Qur’an Yayasan Islamic Centre Sumatera Utara yang
didirikan tahun 1989.
5. Pondok Pesantren Madinah al Munawwarah Buya Naska Padang Sumatera
Barat yang didirikan tahun 1990
6. Pondok Pesantren Khulafaur Rasyidin Jl. Ahmad Yani II KM 9,3 Desa
Sungai Raya, Pontianak Kalimantan Barat yang didirikan tahun 1998
7. Dll- dll

BAB III
PENTUP

A. Simpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan beberapa poin pokok berikut ini.
1. Sanad para hufaz di Indonesia mempunyai perbedaan urutan dan
sumbernya, walaupun pada titik tertentu akan bertemu pada jalur yang sama.
Perbedaan ini terjadi karena guru tahfidz mereka tidak dari sumber yang
sama, baik pada guru yang ada di Indonesia, atau para guru mereka
yang bersumber dari Timur Tengah.
2. Guru qiraah sab’ah (ketujuh varian bacaan Alquran) KH Munawwir Krapyak
adalah Syekh Yusuf Hajar.
3. Dalam sejarah perkembangan pengajaran tahfiz dan lembaga tehfizul Qur’an
di Indonesia, terjadi pada sebelum kemerdekaan tahun 1945, pasca
kemerdekaan, dan pasca Musabaqah Hifzul Qur’an.

B. Saran
Berdasarkan pada hasil temuan dalam makalah ini, maka kepada pembaca
yang akan menganalisis tentang sejarah jaringan ulama penghafal Al-Qur’an di
Nusantara disarankan untuk menjadikan makalah ini sebagai sumber referensi.
Kepada guru di pendidikan manapun disarankan untuk menjadikan hasil temuan
dalam makalah ini sebagai bahan ajar kepada para murid-muridnya.
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Fathurrozi, 2020. “6 Metode Dapatkan Ijazah Sanad Al-Qur’an Bersambung


ke Rasulullah” dalam https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/6-metode-
dapatkan-ijazah-sanad-al-quran-bersambung-ke-rasulullah-ohRtZ
diakses pada 20.23, tanggal 25 September 2022.

Syaifudin Noer, 2021. “Historis Tahfidzul Qur’an: Upaya Melacak Tradisi


Tahfidz di Nusantara” dalam Jurnal of Islamic Education Studies Vol. 6
No. 1 Edisi Juni 2021, hal. 90.

Imas Damayanti, 2020. “Sanad Al-Qur’an KH Munawwir yang Tersambung ke


Rasulullah SAW” dalam
https://www.republika.co.id/berita/q5pkrv320/sanad-alquran-kh-
munawwir-yang-tersambung-ke-rasulullah-saw diakses pada 20.32,
tanggal 25 September 2022.

Ahmad Fathoni, 2018. “Sejarah dan Perkembangan Tahfidz Al-Qur’an di


Indonesia” dalam http://www.baq.or.id/2018/02/sejarah-perkembangan-
pengajaran-tahfidz.html diakses pada 20.36, tanggal 25 September 2022.

Sumardi. 2009. Tadarus Al-Qur’an (The Hope The Fear). Jakarta: Sahifa.

Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2005. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-


Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.

Qardhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Bandung: Gema Insani.

Fadlilah, Umi. 2015. “Rancang Bangun Website dan E-Learning di TPQ Al-
Fadhillah” dalam Ilmu Komputer dan Informatika. Vol. 1. No. 1. Hlm.
40-43.

Anda mungkin juga menyukai