Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HADIST TARBAWI

Tentang

HONOR DAN GAJI DALAM PENDIDIKAN

Disusun Oleh

Kelompk 8

Wahyuni Reffy (2314070299)

Dosen Pengampu :

Fredika Ramadanil, S,Th,I,M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1445 H / 2024 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan mengucapkan Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah


SWT,yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah ini demi memenuhi mata kuliah Hadist Tarbawi.
Pada kesempatan kali ini,saya mengucapkan terima kasih saya sebagai pemakalah
memakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu,saya
mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini agar menjadi lebih baik
kedepannya.saya berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak
terutama bagi saya sebagai pemakalah dan terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Padang, 2 Maret 2024

Pemaklah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Islam niat menjadi rukun beramal, tidak sah suatu amal yang tidak disertai
niat. Niat pun harus tulus karena Allah atau karena ,mengaharap ridha Allah yang disebut
dengan ikhlas. Dalam salah atu hadist Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sahnya
segala amal adalah dengan niat” (HR. Bukhari dan Muslim). Niat ini berasal dari bahasa Arab
sekalipun telah menjadi bahasa Indonesia. Namun pengertian niat harus dikembalikan kepada
bahasa aslinya yakini bahasa Arab. Dalam bahasa Arab niyat erate al-Qashdu = bertujuan.
Sedang menurut syara’ niat adalah:

‫قصد ااشيئ مقتر نا بفعله‬

“Bersengaja melakukan sesuatu dibarengkan dengan pekerjaannya.”

Niat disini memang berbeda dengan niat dalam bahasa Indonesia. Niat dalam bahasa
Indonesia dapat diartikan keinginan seseorang yang dilakukan jauh hari sebelum berbuat.
Misalnya, aku niat melaksanakan haji karena Allah dilakukan pada saat berihram haji dari
miqat (batas mulai ihram). Niat berwudhu ketika membasuh muka bukan ketika berjalan
menuju kekamar mandi. Berbeda dengan niat dalam bahasa Indonesia lebih dekat disebut
‘azam dalam bahsa Arab bukan niat dalam syara’. Niat dalam pembahsan Hadist Tarbawi
dapat diartikan mencari ilmu. Pada bab ini akan dibahas Hadist tentang keikhlasan mencari
ilmu yang meliputi mencari ridha Allah, menerima dan melarang upah bagi pengajar dan
tidak riya.

A. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Keutamaan Iklas Dalam Mencari Ilmu?
2. Bagaimana Hukum Menerima Upah Bagi Pendidik?

B. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui Keutamaan Iklas Dalam Mencari Ilmu
2. Untuk mengetahui Hukum Menerima Upah Bagi Pendidik
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keutamaan Iklas Dalam Mencari Ilmu


1. Keutamaan Dalam Menuntut Ilmu

a. Kosakata (Mufradat)

b. Terjemahan

Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang keluar
dalam mencari ilmu, maka ia pada jalan Allah sehingga ia pulang". Abu Isa berkata Hadis ini
Hasan Gharib dan sebagian mereka meriwayatkannya tetapi tidak dimarfu' kan kepada
Rasulullah SAW. (HR. al-Turmudzi).

c. Pembelajaran yang di petik dari hadist


a. Kedudukan mencari ilmu sama dengan jihad dijalan Allah dan mendapat pahala
yang sama, karena keduanya mempunyai makna yang sama yakni menghidupkan
agama.
b. Orang yang meninggal di tengah –tengah pembelajran mendapat pahala mati
syahid.
c. Pelajar berhak memerima zakat baik masuk pada fisabillah atau sebagai miskin. 1

1
Majid Abdul Khon.Hadist Tarbawi edisi pertama.Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group.2012.Hal
194-197
2. Keutamaan mencari ilmu

Ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan


hidup, baik di dunia maupun akhirat. Sehubungan dengan itu, Allah mengajarkan kepada
Adam dan semua keturunannya. Dengan ilmu pengetahuan itu, manusia dapat melaksanakan
tugasnya dalam kehidupan ini, baik tugas khilafah maupun tugas ubudiah. Oleh karena itu,
Rasulullah menyuruh, menganjurkan, dan memotivasi umatnya agar menuntut ilmu
pengetahuan.

Mencari ilmu adalah suatu aktivitas yang memiliki tantangan. Tantangan itu dapat
berupa biaya, waktu, kesehatan, dan kecerdasan. Orang yang mampu menghadapi tantangan
itu adalah orang yang memiliki keikhlasan dan semangat rela berkorban. Ada orang yang
tidak sukses dalam menuntut ilmu karena tidak sabar dalam berjuang menghadapi tantangan.
Ketika menuntut ilmu, seseorang tidak dapat mencari uang, bahkan sebaliknya,
menghabiskan uang. Bagi orang yang tidak memiliki tabungan, maka ia akan mengalami
kesulitan untuk mencari ilmu terutama pada jalur pendidikan formal. Demikian juga dengan
tantangan yang lain.

‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم ْن َس َلَك َطِريًقا َيْلَتِم ُس ِفيِه ِع ْلًم ا َس َّهَل ُهَّللا َلُه َطِر يًقا‬
‫ِإَلى اْلَج َّنِة‬

Artinya; Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang


menempuh jalan menuntut ilmu, akan dimudahkan Allah jalan untuknya ke surga." (HR.
Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Baihaqi.2

3. Tujuan atau Niat Mencari Ilmu

Mencari ilmu merupakan suatu kewajiban. Tujuannya tidak lain ialah agar lebih dekat
kepada Allah SwtDengan mempelajari banyak ilmu, kita akan memiliki potensi untuk
mendekatkan diri kepada Allah SwtIlmu yang dipakai untuk dekat kepada-Nya sejatinya
merupakan akhlak Rasulullah Saw. Karena itu, tidak dibenarkan jika kita menuntut ilmu
semata-mata demi materi atau popularitas. Islam tidak menganjurkan, bahkan melarang,
umatnya menuntut ilmu demi tujuan-tujuan yang selain Allah Swt. Sebab, hanya ridha-Nya
yang menjadi tujuan hakiki para pe- nuntut ilmu.

Suatu ketika, Umar bin Khathab Ra. berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda, "Sesungguhnya, amal perbuatan itu disertai dengan niatnya. Barang siapa berniat
2
Bukhari Umar. Hadis Tarbawi,Pendidikan dalam perspektif Hadits.Jakarta.Bumi Aksara. 2012.Hal 4-12
hanya karena Allah dan Rasul-Nya, serta hijrahnya karena dunia dan yang diharapkan, atau
wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju sesuatu yang ia inginkan." (HR. Bukhari
dan Muslim).

Sejatinya, hadits tersebut berbicara tentang niat dari sebuah tujuan. Jika kita berniat
mencari ilmu karena Allah Swt., maka menjadi mulia hidup kita. Namun, jika kita belajar
dengan niat mencari popularitas atau kejayaan duniawi, misalnya, maka ilmu yang kita
peroleh tidak akan bernilai di sisi Allah Swt. Dalam konteks inilah, keberadaan niat menjadi
amat penting. Karena itu, kita perlu meneguhkan bahwa tujuan mencari ilmu harus diniatkan
semata-mata karena Allah Swt.; tidak ada tujuan lain yang lebih mulia dari-Nya. Islam
mewajibkan kita menuntut ilmu dengan niat karena Allah Swt. Jika kita meniatkan kepada
yang selain-Nya, maka kita tidak saja rugi di dunia, namun juga di akhirat.3

B. Hukum Menerima Upah Bagi Pendidik


1. Pendidik

Secara etimologi, pendidik memiliki definisi sebagai orang yang melakukan


pembinaan dan bimbingan. Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa pendidik merupakan
pelaku atau subjek dalam proses pendidikan. Zainal Effendy Hasibuan merangkum beberapa
istilah terkait pendidik berdasarkan hadis Nabi, yaitu: mursyid, muzakki, mudarris, dan
murabbi.4 Konsep ta'lim oleh pendidik sebagai subjek dan muta'allim bagi peserta didik
sebagai objek menjadi kajian yang penting digali untuk mengetahui fungsi masing-masing
peran dalam pendidikan Islam.5

Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, para pendidik adalah orang yang
mengupayakan terbentuknya manusia yang rasional dalam mengimani sesuatu yan bersifat
metafisikal, melakukan filter, dalam menerima doktrin agama. Sedangkan tugas pendidik
antara lain yaitu ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para syuhada.
Oleh karenanya pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Pendidik adalah bapak
rohani (spiritual father) bagi peserta didik yang memberikan santapan rohani dengan Ilmu,
pembinaan akhalaq mulia dan meluruskan perilakunya yang buruk. Ketinggian kedudukan

3
M.Ainur Rasyid. Hadist-Hadist Tarbawi .Yogyakarta.Diva Press. 2017. Hal 46-48
4
Samsul Nizar. Hadis Tarbawi Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah. (Jakarta: Kalam
Mulia. 2011).Hal 105
5
As’adut Tabiin.hadist tarbawi sebuah rekonstruksi pendidikan dalam bingkai ke islaman.Riau:
Redaksidotplus.2023. Hal 86.
guru bukan pada aspek materi atau kekayaan, tetapi keutamaan yang disediakan oleh Allah di
akhirat.6

Oleh karena itu menurut al-Ghazali, guru dituntut melaksanakan tugasnya yaitu
menyampaikan ilmu dan tidak terlalu mengharapkan materi. Al-Ghazali lebih lanjut
menyatakan bahwa diantara adab yang harus dilaksanakan oleh guru adalah mengikuti
ajaran-ajaran Rasulullah. Rasul tidak meminta upah (gaji) untuk mengajarkan ilmunya dan
tidak mengharapkan balas jasa. Bahkan rasul mengajar semata-mata hanya karena Allah dan
mengharapkan keridhaan-Nya.

Akan tetapi guru tetaplah guru yaitu manusia yang membutuhkan materi (makan,
minum pakaian dan bersabda, "Apakah kamu benar-benar tahu bahwa yang kamu kerjakan
tadi bisa menyembuhkan? Bagikanlah kambing-kambing tersebut, dan sisakanlah sebagian
untukku." (Shahih: Al Irwa' (1552), Ahadits Al Buyu'. Muttafaq 'alaih). Hadits di atas adalah
salah satu dalil bahwa guru boleh menerima upah dari pekerjaannya, hanya saja perlu
diingatkan kembali bahwa guru harus berangkat dari keikhlasan dalam medidik anak-
anannya, sementara upah yang diberikan hanya sebagai konsekuensi dari pekerjaannya;
bukan sesuatu yang sangat diharapkan sehingga ketika gaji tidak diberikan akan mengutuk
dan marah7

2. Pembahansan hadist

Hadits tentang mengambil upah dalam pengajaran Al-Qur’an atau agama memang
terjadi kontradiktif, ada hadits yang secara tekstual melarang menerima upah dalam
mengajarkan Al-Qur’an dan ada pula yang secara kontekstual membolehkannya, dalam teori
ilmu hadits disebut ilmu Mukhtalif Al-Hadits (Aliyah, 2014). Tetapi dalam hal ini kedua
hadits tersebut dapat dikompromikan yakni kemutlakan larangan dibatasi dengan beberapa
catatan dan disesuaikan dengan keadaan tertentu. Oleh karena itu sampai saat ini hadits
terkait larangan menerima upah dalam mengajarkan Al-Qur’an ini masih menjadi
perselisihan pendapat diantara kalangan para ulama madzhab fiqih. Berkaitan dengan hal ini,
para ulama merumuskan teori ilmu Mukhtalif Hadits sebagai usaha agar seseorang terhindar
dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami perbedaan hadits-hadits yang mukhtalif. 8

a. Pengajaran boleh menerima upah

6
Tejo waskito.Antalogi Hadits Tarbawi .Jawa Barat:edu publisher.2020.Hal 2.
7
Shabri Shaleh Anwar. Sudirman Anwar .Pendidikan Karakter Qur’ani.Hal 366-369.
8
M.Pd Musbikhin, S, Pd, “Jurnal Ummul Qura Vol V, No 1, Maret 2015 11,” V.1 (2015), 11–23.
‫ َح َّد َثِني‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َح َّد َثَنا َأُبو َم ْعَش ٍر الَبْص ِر ُّي ُهَو َص ُدوٌق ُيوُس ُف ْبُن َيِز يَد الَبَّراُء‬، ‫َح َّد َثِني ِس يَد اُن ْبُن ُمَض اِر ٍب َأُبو ُمَحَّمٍد الَباِهِلُّي‬
‫ َأَّن َنَفًرا ِم ْن َأْص َح اِب الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم ُّر وا‬:‫ َع ِن اْبِن َعَّباٍس‬،‫ َع ِن اْبِن َأِبي ُم َلْيَكَة‬، ‫ُع َبْيُد ِهَّللا ْبُن اَألْخ َنِس َأُبو َم اِلٍك‬
،‫ ِإَّن ِفي الَم اِء َر ُج اًل َلِد يًغ ا َأْو َسِليًم ا‬،‫ َهْل ِفيُك ْم ِم ْن َر اٍق‬: ‫ َفَقاَل‬، ‫ َفَعَرَض َلُهْم َر ُجٌل ِم ْن َأْهِل الَم اِء‬، ‫ ِفيِهْم َلِد يٌغ َأْو َسِليٌم‬، ‫ِبَم اٍء‬
‫ َأَخ ْذ َت َع َلى ِكَتاِب ِهَّللا‬:‫ َفَك ِرُهوا َذ ِلَك َو َقاُلوا‬،‫ َفَج اَء ِبالَّش اِء ِإَلى َأْص َح اِبِه‬،‫ َفَبَر َأ‬، ‫ َفَقَر َأ ِبَفاِتَحِة الِكَتاِب َع َلى َش اٍء‬، ‫َفاْنَطَلَق َر ُجٌل ِم ْنُهْم‬
‫ «ِإَّن َأَح َّق‬: ‫ َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬،‫ َأَخ َذ َع َلى ِكَتاِب ِهَّللا َأْج ًرا‬،‫ َيا َر ُسوَل ِهَّللا‬:‫ َفَقاُلوا‬،‫ َح َّتى َقِدُم وا الَم ِد يَنَة‬،‫َأْج ًرا‬
‫َم ا َأَخ ْذ ُتْم َع َلْيِه َأْج ًرا ِكَتاُب الَّل‬

diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw
melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah
seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; "Adakah di
antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata
air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa." Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke
tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang
yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-
temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu
mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai
Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah." Maka Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan)
kitabullah."

hadits lain dengan lafadz yang hampir sama disebutkan oleh imam Bukhori dalam kitabnya
Shohih Al Bukhori hadits nomer 2276 bab ruqyah dengan Al Qur’an. Dan Imam Ibnu Majah
dalam kitabnya sunan Ibnu Majah, nomer hadits 2157 bab Upah mengajarkan Al Qur’an

‫َع ِن‬، ‫ َع ْن ُع َباَد َة ْبِن ُنَسٍّي‬، ‫ َح َّد َثَنا ُمِغ يَر ُة ْبُن ِزَياٍد اْلَم ْو ِصِلُّي‬: ‫ َح َّد َثَنا َوِكيٌع َقاَل‬: ‫ َقااَل‬، ‫ َوُمَحَّم ُد ْبُن ِإْس َم اِع يَل‬، ‫َح َّد َثَنا َع ِلُّي ْبُن ُمَحَّمٍد‬
،‫ َفَأْهَدى ِإَلَّي َر ُجٌل ِم ْنُهْم َقْو ًسا‬،‫ َع َّلْم ُت َناًسا ِم ْن َأْهِل الُّص َّفِة اْلُقْر آَن َو اْلِكَتاَبَة‬: ‫ َقاَل‬،‫ َع ْن ُع َباَد َة ْبِن الَّصاِمِت‬،‫اَأْلْس َوِد ْبِن َثْع َلَبَة‬
‫ «ِإْن َس َّرَك َأْن ُتَطَّوَق ِبَها‬: ‫ َفَقاَل‬،‫ َفَس َأْلُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ْنَها‬،‫ َو َأْر ِم ي َع ْنَها ِفي َس ِبيِل ِهَّللا‬، ‫ َلْيَس ْت ِبَم اٍل‬: ‫َفُقْلُت‬
‫»َطْو ًقا ِم ْن َناٍر َفاْقَبْلَها‬

Diriwayatkan dari Ali bin Muhammad melalui jalur Ubadah bin Shomit berkata : Aku
mengajarkan Alqur’an dan kitab kepada penduduk Shuffah, lalu salah seorang diantara
mereka memberiku busur panah. Aku berkata : hal ini tidak bayar, aku melakukannya di jalan
Allah. Kemudian aku bertanya kepada Rosulullah tentang hal tersebut, beliau bersabda : jika
engkau senang digantungkan dari api neraka sebab busur itu, maka terimalah”

Lafadz ‫ ِإَّن َأَح َّق َم ا َأَخ ْذ ُتْم َع َلْيِه َأْج ًرا ِكَتاُب ِهَّللا‬yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhori dan lafadz ‫ِإْن‬
‫ َس َّرَك َأْن ُتَطَّوَق ِبَها َطْو ًقا ِم ْن َناٍر َفاْقَبْلَها‬memberikan pengertian tentang hokum seseorang menerima
upah dalam mengajar. Dalam mengajar terdapat beberapa hokum yang berbeda-beda
adakalanya haram dan mubah sesuai dengan pendapat para ulama’.

Imam As Suyuthi memberikan pendapat pada hadits yang kedua yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah telah di naskah ( digugurkan dengan hadits sebelumnya
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori).

b. Boleh menerima Imbalan Mengajar

Para ulama sepakat bahwa honor yang diterima oleh para pendakwah, guru ngaji dan
para pengajar ilmu agama yang berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal dan tidak
termasuk imbalan dari dakwah yang mereka lakukan dan tidak mengurangi keikhlasan
mereka, itu merupakan penghargaan dari pihak pemerintah dikarenakan mereka disibukkan
oleh pekerjaan membina umat, sebagaimana dahulu para sahabat menerima 'athayaa (hibah)
dari baitul maal.9

Dan para ulama’ dalam memberikan fatwa atas permasalahan hokum menerima
imbalan dari mengajar terdapat beberapa perbedaan pendapat.

 Pendapat pertama : Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah dan al-Hadawiyah tidak
membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-qur’an berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari ubay bin ka’ab.

‫ ِإْن َأَخ ْذ َتَها َأَخ ْذ َت‬: ‫ َع ًّلْم ُت َر ُج ًال الُقْر آَن َفَأْهَدى ِلي ُقوًسا َفَذ َكْر ُت َذ ِلَك ِللَّنِبي صلى هللا عليه و سلم َفَقاَل‬: ‫َقاَل ُأَبْي ْبُن َكْع ٍب‬
‫ُقوًسا ِم َن الَّناِر َفَر َد ْدُتَها‬

Artinya : “Telah berkata Ubay bin Ka’ab : Saya telah mengajar seorang laki-laki akan
Qur’an, lalu dihadiahkan kepada saya satu panah, lantas saya khabarkan yang demikian
kepada Rasulullah saw. Maka sabdanya:“Jika engkau ambil dia, berarti engkau ambil satu
panah dari api”. Lalu saya kembalikan dia. (HR.Ibnu Majah, Abu Daud).

 Pendapat kedua : Didalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari ibnu Abbas
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “ Sesungguhnya upah yang paling benar kalian
terima adalah kitabullah” ( HR.Bukhori)

Al-Hafizh ibnu hajar mengatakan bahwa jumhur ulama telah berdalil dengan hadist ini
didalam membolehkan mengambil bayaran dari mengajarkan Al-Qur’an.[4] Imam ash-
Shon’ani mengatakan bahwa jumhur ulama, malik dan syafi’i membolehkan mengambil upah

9
Erwandi Tarmizi.harta-harta muamalat kontemporer.Bogor: PT Mulia Insani.2018.hal 376
dari mengajarkan Al-Qur’an baik orang yang belajarnya adalah anak kecil atau orang dewasa
seandainya hal itu dapat membantu sipengajar didalam pengajarannya berdasarkan hadist
diatas. Menurut pendapat kedua ini bahwa hadist-hadist dan riwayat-riwayat tentang
mengharamkan ambil upah buat mengajar Qur’an itu, tidak ada yang kuat, tetapi lantaran
hadist itu banyak, maka dapat juga dipandang sebagai larangan yang enteng yaitu makruh.

Dan menurut pandangan pendapat kedua ini, bahwa hal mengajar itu ada 2 macam:

1. Mengajarkan Qur’an
2. Mengajarkan lain-lain ilmu agama

Mengajar Qur’an pula terbagi 2

1. Dengan cara yang guru-guru itu terpandang hina.


2. Dengan cara-cara yang terhormat.

Menurut riwayat-riwayat yang tersebut di dalam kitab-kitab yang juga terbukti


dihadapan kita, bahwa guru-guru Qur’an yang mengambil upah itu, selalu terpandang rendah,
begitu juga tukang mengaji Qur’an dengan dapat bayaran, karena kerendahan ini, akan
berpengaruh juga pada Qur’an yang dijadikan penghidupan itu. Bisa jadi inilah yang menjadi
sebab buat larangan tersebut. Pemandangan ini, dikuatkan oleh perbuatan Nabi pada
mengawinkan seorang dengan maskawin dari ayat-ayat Qur’an.

Dibolehkan oleh Nabi tentang kawin itu, pada pandangan kami, ialah lantaran ditempat
tersebut, tidak terpandang hina atau rendah. Mengajar Qur’an dengan cara yang tidak
terpandang rendah itu, pada pandangan kami tidak termasuk pada larangan tadi, yaitu
umpamanya seorang mengajar dengan mendapat gaji dari Baitul-Maal, atau mengajar Qur’an
yang disertakan dengan lain-lain ilmu agama. Orang ini tidak akan terpandang rendah,
lantaran orang-orang yang belajar kepadanya itu, merasa belajar dengan tidak bayar dan si
guru pun tidak merasa rendah, lantaran dia tidak perlu kepada orang-orang yang belajar itu.
Adapun mengajar lain-lain ilmu agama itu, tidak terlihat larangannya dan juga guru-guru itu
tidak terpandang rendah walaupun mereka sambilkan dengan ajaran Qur’an.

Pendapat ketiga : Sementara itu para ulama sebahagian pada umumnya membolehkan
pengambilan upah dari mengajarkan Al-qur’an dikarenakan darurat yaitu kekhawatiran akan
hilangnya Al-qur’an ditengah-tengah kaum muslimin terlebih lagi dengan terputusnya
pemberian kaum muslimin kepada baitul maal sebagai lembaga penopang perekonomian
umat yang mengakibatkan para guru Al-Qur’an tidak lagi menyibukkan dirinya dengan
mengajarkan Al-Qur’an kepada umat karena tuntutan kebutuhan keluarga mereka.

al-Imam Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pakar-pakar hukum Madinah sepakat


membenarkan perolehan upah mengajar al-Quran dan agama. Jika demikian halnya pada
masa lalu, maka lebih-lebih pada masa sekarang dimana kebutuhan hidup semakin banyak
dan berkembang. Dan di sisi lain karena kesibukan mengajar al-Quran dan agama, menjadi
tidak punya waktu dan kesempatan untuk mencarikan nafkah bagi keluarga yang menjadi
tanggungan.

Boleh guru-guru minta dan menerima bayaran dari murid-murid, terutama dimasa yang
sekolah-sekolah sudah teratur dan guru mesti mengajar dengan tetap, padahal guru-guru itu
perlu makan dan minum, sedang mengajar dengan cara sambilan saja akan memundurkan
kita jauh kebelakang. Adapun apabila terjadi penentuan sejumlah harga tertentu diawal
sebagai bayaran atas pengajaran Al-Qur’an yang dilakukannya maka terjadi perbedaan
pendapat dikalangan para ulama. Al-Hasan al Bashri, Asy Sya’bi dan ibnu Sirin
membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-Qur’an selama orang itu tidak
mensyaratkannya. Mereka berdalil dengan hadist ubadah bin ash Shomit yang telah
mengajarkan Al-Qur’an kepada seseorang dari Ahli Suffah kemudian orang itu
menghadiahinya dengan sebuah busur (panah) maka Nabi Saw bersabda, “Jika engkau
menyukai busur dari neraka maka terimalah”. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan yang
lainnya membolehkan pengambilan upah dari pengajaran Al-Qur’an meskipun orang itu
menentukannya sebagai persyaratan.

Imam Ibnu Hajar mengutip Perkataan Imam Sya’by dalam Fathul Bari, beliau berkata :
tidak diperbolehkan Muallim ( pengajar ) memberikan syarat kecuali ia diberi sesuatu dan dia
menerimanya. Dan diperjelas dengan pendapat Ibnu Abi Syaibah : jika dia diberi sesuatu
maka diperkenankan untuk menerimanya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ikhlas dalam pendidikan adalah mencari ilmu untuk mencari keridhaan Allah. Seorang
pelajar yang mempelajari syara' hanya ingin mendapatkan materi dunia saja tidak
mendapatkan bau-bauan yang berlebihan. Keridhaan Allah dalam niat berkaitan dengan niat
yang baik, bukan sekedar kepentingan yang sementara melainkan kepentingan yang kekal
yaitu kebaikan.

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan pembaca dapat
menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

Majid Abdul Khon.2012. Hadist Tarbawi edisi pertama.Jakarta: Kencana PrenadaMedia


Group.

Bukhari Umar. Hadis Tarbawi,2012. Pendidikan dalam perspektif Hadits.Jakarta.Bumi


Aksara.

M.Ainur Rasyid. 2017. Hadist-Hadist Tarbawi .Yogyakarta.Diva Press.

Samsul Nizar. 2011. Hadis Tarbawi Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif
Rasulullah. (Jakarta: Kalam Mulia.

As’adut Tabiin. 2023.hadist tarbawi sebuah rekonstruksi pendidikan dalam bingkai ke


islaman.Riau: Redaksidotplus.

Tejo waskito. 2020 .Antalogi Hadits Tarbawi .Jawa Barat:edu publisher.

Shabri Shaleh Anwar. Sudirman Anwar .Pendidikan Karakter Qur’ani.Hal 366-369.

M.Pd Musbikhin, S, Pd,2015. “Jurnal Ummul Qura Vol V, No 1, Maret 2015 11,” V.1 11–23.

Erwandi Tarmizi. 2018.harta-harta muamalat kontemporer.Bogor: PT Mulia Insani.


1. 2.

4.
3.

5. 6.
8.
7.

Anda mungkin juga menyukai