Anda di halaman 1dari 5

Resensi Buku

Nofriyanto, M.Ag
Identitas Buku
Judul : Tadzkirotus Sami wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Muta'allim
Penulis: Badruddin Muhammad bin Ibrahim Al-Kinani Al-Hamawi Asy-Syafi’i
Penerbit: Syirkah Darul Basyair Al Islamiyah, Beirut, Cet. III, 2012 M
Tebal : 147 halaman
Selayang Pandang Biografi Penulis
Nama lengkap penulis kitab Tadzkirotus Sami wal Mutakallim fi adabil 'alim
wal muta'allim adalah Abu Abdullah Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah
bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shakhr Al-Kinani Al-Hamawi Asy-
Syafi’i, yang dikenal dengan Badruddin Ibnu Jama’ah. Lahir pada Jum’at malam 4
Rabi’ul Akhir tahun 639 H.
Sejak kecil Badruddin Ibnu Jama’ah tumbuh dan berkembang di kediaman
yang sarat akan ilmu, dan lingkungan yang representatif, holistik juga sangat relijius.
Ia menghafal dan belajar al qur’an dan matan-matan ilmu langsung dari ayahnya.
Dari garis keturununan, ia termasuk keturunan para alim ulama. Ayahnya
Burhanuddin Ibnu Jama’ah (w.675 H) dan kakeknya sering memangku jabatan hakim
(qodhi). Padahal sama-sama kita ketahui dalam peradaban Islam bahwa jabatan
hakim (qodhi) pada umumnya memang hanya dijabat oleh ahli ilmu bukan
sembarang orang. Melihat kepada latar belakang keluarganya, maka tak heran jika
di perjalanan hidup beliau nantinya juga menjabat hakim berkali-kali.
Badruddin Ibnu Jama’ah berlajar dan menimba ilmu dari guru-guru tersohor
dan terkenal akan kealiman dan kesalihannya antara lain Syarafuddin Abdil Aziz Al-
Anshari (w.662 H), Ar-Radhi Ibnul Burhan (w.664 H), Ar-Rasyid Al-‘Athar (w.662 H),
at Tajj Ibnul Qasthalani (w. 665 H), At Taqiy Ibnu Abil Yusr (w. 672 H). Juga kepada
pakar gramatika Arab tersohor Imam Ibnu Malik (w. 672 H). Adapun guru yang paling
banyak mempengaruhi pemikirannya ialah Qadhi Taqiyuddin Ibnu Ruzain (w. 680 H)
Sebagai murid, Badruddin Ibnu Jama’ah termasuk yang paling punya jiddiyah
wal hamasah (kesungguhan dan semangat) melebihi kawan-kawan seperguruan
dan termasuk yang paling menonjol di antara mereka dalam bidang keilmuan. Suatu
hari, Imam Nawawi perna diminta pendapatnya tentang fatwa-fatwa Badruddin Ibnu
Jama’ah. lalu imam Nawawi menilai jawaban-jawabannya tersebut sangat bagus.
Karya-karya ulama yang juga pakar di bidang tafsir ini antara lain, Al-Munhil
Ar-Rawi, At-Tibyan limuhimmatil Qur’an, Al-Masalik fi ‘Ulumil Manasik, An-Najmul
Lami’ fi Syarhil Jam’il Jawami’, Al-Fawaid Al-Laihah min Surotil Fatihah termasuk
kitab yang sedang kita bahas saat ini Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil
‘Alim wal Muta’allim, dan banyak lagi yang lainnya. Karya-karyanya yang mencakup
banyak bidang ilmu syar’i menunjukkan kepada penguasaanya yang mendalam
terhadap multidisiplin keilmuan.
Selain berdakwah aktifitas utama beliau lainnya ialah mengajar. Beliau
pernah mengajar di Damaskus: di Qaimariyyah, Al-‘Adiliyyah Al-Kubra, Asy-
Syamiyyah Al-Barroniyyah, dll. Di Kairo : di Ash-Shalihiyyah, An-Nashiriyyah, Al-
Kamiliyyah, Jami’ Al-Hakim, Jami’ Ibnu Thulun, dan tempat-tempat keilmuan lainnya.
Dari aktifitas belajar mengajar inilah nanti lahirnya para ulama tersohor antara lain,
Syamsuddin Adz-Dzahabi (w. 748 H), Tajuddin As-Subki (w. 771 H), Ash-Shalah
Ash-Shafdi (w. 764 H), dan anaknya sendiri yaitu Izzuddin (w.767 H).
Pribadi beliau Badruddin Ibnu Jama’ah dikenal luas oleh banyak kalangan
sebagai ahli ilmu yang wara’, zuhud, berjiwa pemimpin, memiliki akal dan
kecerdasan yang cemerlang, ahli ibadah, tutur kata yang lemah lembut, karismatik,
berparas rupawan, guru yang baik dan kompeten dan berbagai sifat-sifat baik
lainnya. Beliau kembali kehariban Allah SWT pada malam Senin 21 Jumada Ula
tahun 733. Rahimahullah Ibn Jama’ah wa Ajzala Lahu Tsawab.
Keistimewan dan Kelebihan Kitab
Sejatinya terdapat banyak kitab Islam klasik yang membahas masalah adab
ilmu. Sebut saja misalkan Imam An Nawawi dengan karyanya Adabul 'Alim wal
Muta'allim, Imam Al Ghazali dengan karyanya yang sangat monumental Ihya’
Ulumud Din, dan Imam Al Bukhari dengan Adabul Mufrod. Namun berbeda dengan
kitab-kitab adab-adab yang pernah ada, rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan
karya Al-Imam Al-Qadhi Badruddin Ibnu Jama'ah ini lebih komprehensif dan memiliki
kekhasan tersendiri. Salah satu alasannya dengan melihat cakupan kitabnya yang
berisikan lima bidang pembahasan tentang adab yang belum ditemukan di kitab-
kitab adab lainnya.
Bab pertama tentang keutamaan ilmu dan ahlinya. Bab kedua tentang adab
seorang alim (guru) terhadap dirinya, bersama murid-muridnya dan dalam
memberikan pelajaran dan pengajaran. Bab ketiga tentang adab murid terhadap diri
sendiri, guru, teman dan pelajaran. Bab keempat tentang adab musohabah
(berinteraksi) dengan buku-buku. Bab kelima tentang adab tinggal di madrasah.
Selain memilki keistimewaan dan keunikan dalam lima cakupan bidang adab
di atas, buku ini juga memiliki keistimewaaan dan keunikan dalam susunan penyajian
data dan referensinya. Pertama, dimulai dari riwayat-riwayat yang telah disepakati
para ulama dalam kitab-kitab. Kedua, dari apa yang penulis dapat langsung dari
guru-gurunya. Ketiga, dari hasil telaah penulis terhadap berbagai referensi lain.
Keempat, merupakan buah perenungan dan pemikiran hasil mudzakaroh
(mengulang-ngulang pelajaran). Keempat keunikan ini dikolaborasikan dengan gaya
penulisan yang singkat padat namun sarat makna. Misalkan denga tanpa
menyertakan sanad-sanad dan dalil-dalil yang panjang. Semua itu dilakukan penulis
demi kemudahan bagi pembaca dalam menelaah isi kitabnya juga agar terhindar dari
kebosanan.
Gambaran umum Isi Kitab
Pada bab pertama dari kitabnya penulis Badruddin Ibnu Jama’ah banyak
menukil nash dari Al Qur’an dan Hadis serta atsar-atsar terkait keutamaan ilmu,
belajar dan mengajarkannya serta ulama yang memiliki sifat-sifat tertentu yang
mendapatkan berbagai keutamaan tersebut. Di antara ayat-ayat Al Quran yang
beliau kutip misalkan QS. Al Mujadilah ayat 11, QS Az Zumar ayat 1 dan QS Fathir
ayat 28. Sedangkan hadis Nabi SAW contohnya hadis “Barang siapa yang Allah
inginkan kebaikan atasnya maka Allah jadikan ia faqih (ahli) dalam urusan
agamanya” (HR. Bukhari Muslim). Dan hadis “Keutamaan ahli ilmu dibandingkan ahli
ibadah ibarat keutamaanku dibandingkan orang yang paling rendah kedudukannya di
antara kalian” (HR. Tirmidzi). Sedangkan atsar dari para salaf shalih yang beliau
kutip misalkan perkataan Abu Al Aswad ad Duali, “Tidak ada sesuatu yang lebih
mulia dari pada ilmu, para raja adalah sebagai hakim atas manusia, namun para
ulama adalah sebagai hakim atas para raja”.
Setelah memaparkan sekian banyak dalil tentang keutamaan ilmu dan
ahlinya, Badruddin Ibnu Jama’ah menambahkan enam alasan mengapa
menyibukkan diri dengan ilmu lebih utama dari pada melakukan amal-amal sunnah
badaniyah seperti shalat, tasbih, puasa dan lain-lain. Pertama, ilmu lebih banyak
manfaatnya dan skup cakupannya lebih luas. Tidak hanya hanya bagi si empunya
tapi juga bagi orang lain. Kedua, ilmu merupakan syarat sah diterimanya ibadah.
Ketiga, karena ulama merupakan pewaris para nabi berbeda dengan ahli ibadah
yang bukan termasuk dalam golongan ini. Keempat, ada perintah wajibnya taat
kepada para ulama. Kelima, manfaat ilmu lebih abadi meskipun yang punya telah
mati, tidak seperti ibadah lainnya yang terbatas kepada umur. Keenam, karena
sifatnya yang abadi menjadikan ilmu ibarat penopang lestari dan tegaknya syariat
sekaligus bentuk penjagaan terhadap ajaran-ajaran agama.
Di penghujung bab pertama dari kitabnya, Badruddin Ibnu Jama’ah
menyebutkan bahwa semua kemuliaan ilmu dan ahli ilmu yang disebutkan dalam
berbagai nash dan atsar hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang ikhlas mencari
keridhoan Allah semata, baik dalam belajar atau mengajarkan ilmu. Semua
keutamaan itu akan diraih dan diperuntukkan bagi mereka yang mengamalkan
ilmunya. Yaitu orang-orang yang orientasi amal dan hidupnya adalah akhirat. Bukan
bagi para pencari tujuan dan keuntungan duniawi. Apalagi bagi mereka yang berniat
buruk seperti gila popularitas. Hal ini ia tegaskan dengan mengutip hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Barang siapa menuntut ilmu untuk mendebat
orang yang bodoh atau menandingi para ulama atau untuk mencari perhatian
manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka.” (halaman 45)
Bab kedua dari bukunya berisi tiga sub bab. Di sub bab pertama Badruddin
Ibnu Jama’ah menuliskan dua belas adab ahli ilmu terhadap dirinya sendiri.
Pertama, senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT saat sendiri atau di khalahak
ramai. Kedua, senantiasa menjaga kehormatan diri dengan tidak menghinakan
dirinya dengan mendatangi para pencari kesenangan duniawi tanpa alasan yang
dibenarkan atau kondisi darurat. Ketiga, berlaku zuhud terhadap kehidupan duniawi.
Keempat, mensucikan dirinya dalam menuntut ilmu dari niatan menjadi perantara
wasilah kepada tujuan-tujuan duniawi, seperti rasa ingin dihormati, harta, sum'ah,
cinta popularitas dan merasa lebih dari yang lain. Kelima, mencari rizki dari jalur-jalur
yang terhindar dan jauh dari kehinaan. Keenam, konsisten dalam menjalankan syiar-
syiar dan ajaran-ajaran agama. Ketujuh, konsisten dalam menjalankan amal-amal
dan ibadah-ibadah sunnah. Kedelapan, bermuamalah dengan manusia dengan
perangai dan budi pekerti yang baik. Kesembilan, berakhlaq terpuci dan
meninggalkan akhlaq yang buruk. Kesepuluh, senantiasa membekali diri dan
bersungguh-sungguh dalam segala hal. Kesebelas, tidak boleh merasa sungkan
atau enggan mengambil faidah dari apa yang tidak ia ketahui meskipun disampaikan
oleh orang yang lebih rendah dari dirinya, baik secara kedudukan, nasab keturunan,
dan umur. Kedua belas, Senantiasa menyibukkan diri dengan menulis, mengarang
dan mentelaah kitab-kitab.
Di sub bab kedua dari bab kedua Badruddin Ibnu Jama’ah juga menuliskan
beberapa adab seorang ahli ilmu dalam pengajarannya. Pertama, senantiasa
mengajar dalam kondisi suci, rapi dan berpakaian yang bagus sebagai bentuk
penghormatan kepada ilmu yang diajarkan. Kedua, berdoa sebelum mengajar sejak
keluar dari rumah. Ketiga, duduk di tempat yang bisa dilihat oleh para hadirin dan
memberikan tempat duduk bagi mereka sesuai kedudukan dan umur. Keempat,
berdoa bagi diri sendiri, hadirin disertai dengan membaca beberapa ayat dari al
quran, ta’awudz, basmalah, shalawat, mendoakan kebaikan kepada para pemimpin,
ulama dan tempat dimana ia tinggal dan hadirin tempati. Kelima, menentukan skala
prioritas ilmu yang dipelajari dan diajarkan. Keenam, bersuara dengan sewajarnya
saat mengajar. Ketujuh, menghindari perdebatan atau perbuatan-perbuatan yang
merusak suasana majlis seperti berteriak, tertawa yang berlebihan atau hal-hal yang
tidak bermanfaat lainnya. Kedelapan, berlaku inshof dan adil terhadap diri dan ilmu
misalkan dalam hal menjawab pertanyaan yang tidak ia ketahui dengan kata “laa adri
atau dengan ungkapan wallahu A’lam”, atau dalam menetapkan waktu yang paling
pas untuk belajar dan tidak membebani para hadirin. Kesembilan, termasuk yang
tidak kalah penting adalah siapapun tidak diperkenankan mengajarkan sesuatu yang
ia tidak memiliki pengetahuan atasnya.
Adapun di sub bab ketiga, Badruddin Ibnu Jama’ah menulis tentang
beberapa adab seorang ahli ilmu dengan muridnya. Antara lain, pertama, hendaklah
seorang guru meniatkan dalam pengajarannya untuk semata-mata karena ingin
meraih ridho Allah SWT. Kedua, tidak melarang para murid yang memiliki niat lain
dalam belajar terutama para murid pemula. Sebab, seiring berjalannya waktu niat ini
akan bisa diperbaiki dengan pengajaran dan pelatihan yang konsisten dan bertahap.
Ketiga, Seorang guru hendaklah senantiasa memotivasi para murid untuk cinta akan
ilmu dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mencarinya. Keempat,
mencintai para murid sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kelima, berusaha
sebaik dan semaksimal mungkin dalam mempersiapkan dan mempermudah
pengajarannya. Keenam, diperkenankan baginya menyodorkan masalah-masalah
yang memiliki kaitan dengan pembahasan jika telah selesai dalam pengajaran demi
menguji pemahaman para murid. Ketujuh, menetapkan sesi-sesi tertentu di sela-sela
pengajarannya untuk menguji hafalan para murid. Kedelapan, menasehati para
murid agar tidak melakukan hal-hal yang melebihi batas kemampuan diri.
Kesembilan, mengajarkan para murid dengan kaidah-kaidah umum yang berlaku
pada setiap bidang ilmu. Kesepuluh, tidak menampakkan rasa pilih kasih atau
membeda-bedakan antara murid yang satu dengan yang lainnya meskipun berbeda
umur, kedudukan atau prestasi. Kesebelas, senantiasa memantau akhlak, perangai
dan tindak tunduk para murid. Kedua belas, senantiasa berusaha melakukan hal-hal
yang bermanfaat bagi para murid dan menyatukan hati-hati mereka dan
menumbuhkan rasa saling tolong menolong di antara mereka satu sama lain. Ketiga
belas, berlaku rendah hati di depan para murid.
Adapun di bab ketiga dari bukunya Badruddin Ibnu Jama’ah menjabarkan
adab-adab murid atau pencari ilmu dalam tiga sub bab. Pada sub bab yang pertama,
tentang adab-adab murid terhadap dirinya sendiri. Seperti mensucikan hatinya dari
segala jenis penyakit hati, pikiran dan perangai buruk. Memanfaatkan semaksimal
mungkin waktu muda dan memanagenya sebaik mungkin. Berlaku wajar tidak
berlebihan dalam makan dan minum juga berpakaian. Berlaku wara’ dalam segala
hal. Mengurangi waktu yang terbuang banyak untuk tidur dan lain-lain.
Sedangkan sub bab kedua, tentang adab-adab murid kepada guru,
berteladan kepadanya dan menjaga kehormatannya. Di antara adab-adab tersebut
ialah, murid hendaklah melakukan istikhoroh dalam memilih guru. Tunduk dan patuh
kepadanya. Melihatnya dengan pandangan penuh penghormatan. Mengetahui hak-
hak dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya. Sabar dan menahan diri dari
perbuatannya yang tidak ia senangi. Meminta izin kepadanya untuk hadir dan duduk
di majlisnya jika bukan pengajian atau pengajaran umum. Duduk dengan sopan,
tenang saat menghadiri pengajarannya. Tidak diperkenankan bagi murid
menanyakan hal-hal yang bernada merendahkan guru, semisal kata-kata,
“kenapa?”, “Siapa yang bicara seperti ini” atau kata-kata yang semisal dengannya.
Tidak mendahului gurunya atau memotong perkataannya tatkala memberikan
pengajaran meskipun ia telah mengetahuinya. Menerima dengan tangan kanan
semua pemberian gurunya. Berjalan di belakang guru saat siang hari dan di
depannya pada malam hari menyesuaikan kondisi demi keamanan guru.
Adapun di sub bab ketiga dari bab tiga, Badruddin Ibnu Jama’ah
memaparkan tentang adab-adab murid terhadap pelajarannya. Adab-adab tersebut
antara lain, hendaklah orang yang mencari ilmu memulai pelajarannya dengan
menghafalkan al quran secara itqon, menghindarkan dirinya dari kesibukan
membahas permasalahan-permasalahan yang merupakan majalu khilaf (perbedaan
pendapat). Melakukan tashih (kroscek dan validasi) kepada ahlinya sebelum
menghafal pelajaran. Mendahulukan menghafal hadis dari pada menyibukkan diri
dengan pembahasan-pembahasan seputarnya seperti sanad, matan dan lain-lain.
Senantiasa mengikuti penuh sesi pengajaran guru dari awal sampai akhir agar tidak
ada pelajaran yang luput. Mengucapkan salam kepada hadirin jika menghadiri majlis
guru dan berperangai baik dengan mereka. Tidak malu bertanya terkait hal-hal yang
belum ia ketahui.
Adapun di bab keempat buku ini penulis membahas lebih detail tentang adab-
adab terhadap buku-buku yang merupakan wasilah ilmu. Seperti adab-adab dalam
membawa buku, meletakkan, membeli, meminjamnya dan lain-lain. Adapun adab-
adab tersebut antara lain, hendaklah setiap pencari ilmu atau orang yang belajar
mengusahakan dirinya untuk memiliki buku-buku yang ia butuhkan, jika tidak mampu
membeli, bisa dengan menyewa, jika tidak bisa juga dengan meminjamnya. Karena
ia merupakan wasilah untuk meraih ilmu pengetahuan. Meletakkan buku di tempat
semestinya bukan di lantai atau tempat-tempat kurang layak lainnya. Menjaga wudhu
saat mentelaah buku-buku pelajaran dan lain-lain.
Sedangkan bab kelima yang merupakan bab terakhir buku ini berisi
penjelasan tentang adab-adab terhadap madrasah tempat mencari ilmu. Di dalam
bab terakhir ini Badruddin Ibnu Jama’ah menuliskan beberapa adab yang harus
dilakukan antara lain, sebisa mungkin berlaku wara’ dengan menempati tempat
kediaman sendiri bukan madrasah selama masa belajar. Hendaklah pengajar di
madrasah tersebut orang yang kapabel dan memiliki jiwa kepemimpinan, lurus
agama, cerdas, karismatik, berakhlak mulia, adil, mencintai para alim ulama dan
berlemah lembut kepada orang-orang tak punya. Menghormati segenap penghuni
madrasah dengan menyebarkan salam, saling mencintai, tolong-menolong, menjaga
hak dan kewajiban bertetangga dan pergaulan. Memilih roommate (teman satu
ruangan) dari orang yang baik. Tidak diperkenankan bagi siapapun menjadikan pintu
atau gerbang madrasah sebagai majlis. Tidak diperkenankan bagi siapapun melihat
atau mengintip kepada rumah atau tempat-tempat yang berada di samping
madrasahnya. Datang lebih dahulu ke madrasah sebelum guru hadir.
Rekomendasi
‘Ala Kulli Hal buku Tadzkirotus Sami wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal
Muta'allim karangan Badruddin Ibnu Jama’ah ini sudah seharusnya menjadi panduan
bagi semua pihak yang terlibat dalam proses dan kegiatan belajar mengajar. Isinya
sangat rinci dan mencakup hampir semua aspek pendidikan. Termasuk kurikulum,
norma-norma (moral spiritual dan perilaku), bahkan sarana prasarana pendidikan.
Meskipun ditulis jauh beradab-abad sebelum saat ini, namun di dalamnya pembaca
akan mendapatkan gambaran ideal yang sangat dibutuhkan oleh semua lembaga
pendidikan Islam masa kini. Berpadu dengan bahasa yang sederhana, ringkas, dan
pilihan kata yang tepat. Wallahu A’lam Bis Showab.

Anda mungkin juga menyukai