Anda di halaman 1dari 6

Ilmu Menurut Imam Ghazali

Oleh : Fejri Gasman*

“Idza zaadani ‘ilman, zaadani fahman bijahly” (Imam Ghazali)

Pendahuluan

Al-‘Ilm Shifatul ‘Alim, Sepenggal kalimat yang bermakna bahwa Ilmu adalah merupakan
sifat dari orang yang berilmu itu sendiri. Ilmu bukan berada didalam sutur tapi dia
mestinya ada dalam shudur. Oleh karena itu, tidak ada ilmu tanpa ada yang memberi,
pertanyaan timbul lagi: Siapakah yang memberikan ilmu? Kenapa warisan ilmu hanya
diberikan kepada‘ulama saja dan bukan umara? Apakah kriteria orang yang mendapat
julukan ‘ulama itu? Pertanyaan yang kerap kali kita dengar tapi kadang jawabannya belum
tepat mengenai sasaran. Pembahasan kali ini tidak menyinggung pertanyaan diatas tapi
lebih kepada keutamaan ilmu, pembagian dan kriteria ilmu itu sendiri.

Di Abad ke-12 dan ke-13 yang lampau, para ilmuwan barat berbicara: kenapa kita sudah
menterjemahkan banyak buku khazanah keilmuwan Islam tapi kita belum juga maju
seperti mereka? melihat para ilmuwan muslim begitu kaya dengan khazanah keilmuwan
Islam diberbagai bidang, akhirnya mereka secara massif menterjemahkan kedalam bahasa
Latin yang hingga abad ke-18 merupakan lingua franca sekaligus bahasa agama dan ilmu
pengetahuan. Kemudian pertanyaan-pertanyaan itu muncul lagi di abad ke-20 dan ke-21,
hanya sayangnya pertanyaan itu bukan datang dari komunitas non-muslim lagi tapi umat
muslim sendiri. Kemuduran yang diartikan oleh sebagian orang disini adalah sains dan
teknologi.

“Peneluran” sains dan teknologi barat sudah banyak didapati dimana-mana sehingga
paradigma pemikiran mereka menjadi acuan disiplin keilmuan sains dan teknologi di abad
ke-21. Para ilmuwan muslim abad ke-19 dan-20 seperti Muhammad Iqbal, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridho, Syeikh Waliullah Adh-Dhihlawi, Shibli Nu’mani dan sebagiannya
sebenarnya sudah mempunyai konsep besar untuk merekonstruksi kembali sistim
pendidikan sehingga menjadi sebuah keseimbangan ilmu duniawi dan ukhrowi dan tidak
ada perbedaan antara ilmu Islam dan ilmu sains. hanya saja yang me-lirik kembali konsep
itu masih terbilang.

Dari sini banyak disiplin ilmu yang perlu untuk dikaji dan pelajari lagi, baik tentang
Epistimologi, Ontologi maupun Aksiologinya. Dari variasi itu, banyak pandangan yang
tidak sama satu dengan yang lain. Beberapa rujukan ilmu yang diambil oleh para ilmuwan
barat semuanya bermuara dari asumsi keraguan (conjecture source), dan bahkan tidak
berdasar.[5] Itulah kemudian disiplin ilmu yang ambil dari western scholars menjadi suatu
keunikan tersendiri tapi sebenarnya rujukan mereka sangat syarat dengan kelemahan.
Bagaimanapun juga, mengkaji khazanah keilmuan dari kitab-kitab turots para ulama
muslim tidak kalah hebatnya untuk ditelaah dan kemudian dijadikan rujukan seperti halnya
ke-iri-an para ilmuwan barat ketika melihat khazanah keilmuwan Islam di sekitar abad ke-
12 dan 13 Masehi, Sungguh membanggakan..!!

Berawal dari sinilah, penulis mencoba melihat tokoh sangat berpengaruh dalam
pemikirannya terutama konsep ilmu yang sebagian banyak rujukannya
dipetik dari absolute source, tak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tokoh yang dijuluki Hujjatul Islam ini
sudah membuat influential book,Ihya ‘Ulumuddin. Sebuah rujukan dari permasalahan umat
dari mulai masalah fundamental sampai konvensional, juga dari
hal fisik sampai metafisik. Oleh Karena itu, sangatlah penting penulis memulakan
pembahasannya dari seorang tokoh besar berasal dari Thusi, Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al Ghazali yang akan dibahas dalam konsepnya tentang
Ilmu. Akan diuraikan oleh penulis dalam goresan sederhana dibawah ini.

Fadhilah Ilmu, Ta’lim dan Belajar

Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun
perempuan. Ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi banyak menunjukkan tentang hal itu.
Sekarang timbul pertanyaan, Ilmu apakah yang diwajibkan kepada seorang muslim untuk
mencarinya? Sudah barang tentu bukanlah semuanya.

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan kemudian wajib untuk diamalkan
dengan baik dan ikhlas. Keutamaan ilmu tersebut sebenarnya adalah peluang manusia
untuk mendapatkan derajat yang lebih baik. Dengannya dapat
memzahirkanexistensi manusia itu sendiri. Karena itulah Allah membedakan antara orang
yang mengetahui dan tidak mengetahui, keduanya tidak sama. Firman Allah SWT, “Qul,
hal yastawi alladzina ya’lamun walladzina la ya’lamun?.”

Sebagai penuntut ilmu, selalu tak lepas dari hal-hal yang mengganggu perjalanannya, baik
itu ekonomi, maupun akademisnya. Seorang yang ingin mencari ilmu harus meyakini
pertama kali adalah rizki sepenuhnya dijamin Allah 100% dan dia datang dari tempat yang
tidak diduga-duga. Oleh karena itu, ajakan satu sama lain untuk belajar menjadi hal
penting. Rumusannya, sebenarnya orang tanpa diajak untuk mencari uang, dia sudah pasti
akan mencarinya tapi bila diajak saja untuk belajar belum tentu mau apalagi kalau tidak
diajak. Oleh karena itu, sangat penting untuk saling mengajak satu sama lain dalam
kebaikan terutama dalam belajar. Dengan begitu, maka orang yang keluar menuntut ilmu
sesungguhnya Allah akan membukakan jalan kemudahan baginya bahkan jalan menuju
surga sekalipun.

Ketika perjalanannya yang dilalui banyak rintangan dan hambatan maka saat itulah ujian
akan dia hadapi yang akhirnya akan menguji kesabarannya dalam melangkah. Itulah
kenapa Imam Ghazali banyak menyinggung tentang kemuliaan orang yang menuntut ilmu
seperti belajar satu bab saja dari ilmu Allah itu lebih baik dari pada sholat sunnah 100
rakaat.
Ada banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan kewajiban terhadap orang yang
mempunyai ilmu. Imam Ghazali menyebutkan Ilmu itu haram untuk di simpan secara
sengaja. Ilmu Allah adalah ilmu yang menjadi solusi bagi manusia, tapi ketika Ilmu Allah
itu disimpan dan tidak mengajarkannya maka dia akan menjadi dosa dalam hatinya.Itulah
sebagian daripada fadhilah Ilmu dan fadhilah yang menuntut ilmu serta sebagian dari
kewajiban orang yang sudah mempunyai ilmu.

Imam Ghazali mendeskripsikan bahwa menuntut Ilmu itu seperti sesuatu yang disukai, jika
dia memintanya maka seterusnya akan meminta yang lainnya atau meminta selain dari
sejenisnya. Beliau mengatakan bahwa meminta selain darinya adalah lebih mulia (asyraf
) dan lebih utama (afdhal ) daripada meminta selain dari jenisnya, seperti dirham dan dinar
(money oriented). Oleh karena itu, yang meminta selainnya atau meminta bermacam-
macam disiplin ilmu yang lain untuk dipelajari (knowledge oriented), akan mendapatkan
kebahagiaan di akhirat dan mendapatkan kenikmatan‘melihat’ Allah SWT nantinya.
Dengan deskripsi inilah, jika melihat ilmu seperti akan melihat sebuah kelezatannya ada
dihadapannya.

Ilmu menjadi wasilah untuk kesurga dan kebahagiaan yg ada didalamnya serta jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allahsubhanahu wata’ala. Wasilah kepada kebahagiaan
merupakan sesuatu yang afdhal untuk dilakukan. Barangsiapa betawasshul kepada
kebaikan hendaklah dengan ilmu dan amal. Tidak ada tawasshul kepada amal kecuali
harus dengan ilmu dan kemudian diamalkan. Ilmu adalah permulaan dari kebahagiaan
dunia dan akhirat. Dengan demikian, Ilmu menjadi amalan yang utama (afdhalul amal) dan
tujuannya supaya dekat (Qorb) dengan Allah rabbul’ alamin, sang pemilik Ilmu dan alam
semesta. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa jika ilmu merupakan hal yang utama
(afdhalul umur) maka yang menuntutnya termasuk yang meminta ke-afdhal-an dan ke-
asyraf-an itu, dan begitu juga pengajarnya. Subhanallah…!

Pembagian Ilmu

Dalam buku Ihya Ulumuddin di bab pertama ini, Imam Ghazali menulis tentang
pembagian Ilmu. Menurut Imam Ghazali, Ilmu ada yang menjadi fardhu ‘ain untuk
dipelajari, ada juga fardhu kifayah. Ilmu itu terbagi menjadi 2: yaitu Ilmu
Mu’amalah dan Ilmu Mukasyafah.

Dalam Ilmu Mu’amalah ini ada yang disyari’atkan dan ada juga tidak disyari’atkan. Yang
disyari’atkan dibagi menjadi 2, ilmu yang terpuji (‘ilmu mahmudah) dan ilmu yang tercela
(‘ilmu madzmumah).

Imam Ghazali menjelaskan bahwa ilmu itu menjadi mahmudah karena bermanfaat untuk
kemaslahatan ummat. Beliau pun membagi menjadi 4 yaitu: Ushul, Furu’,
Muqoddimat, dan Mutammimat.

1. Ushul seperti Kitabullah Al-Qur’an, Assunnah, Ijma’ul ‘ummah,


dan atsarushohabah.
2. Furu’ itu ilmu penunjang yang bisa membantu untuk memahami ‘ushul, bukan
dari aspek lafaznya tapi dari aspek maknanya.ini pun dibagi menjadi 2; pertama,
penunjang kebaikan dunia (mashlahat duniawi) seperti, ilmu fiqh, ilmu ‘aqoid,
kedokteran, hisab, falak, politik, ekonomi dsb; dan kedua, penunjang kebaikan
akhirat (mashlahat ukhrowi)seperti ‘ilm ahwalul qolb dan ‘ilm akhlaqul mahmudah
wal madzmumah.
3. Muqoddimaat adalah sebagai alat yang membantu untuk bisa memahami
ilmu ushul, Seperti Nahwu, Shorf, Balaghoh dsb.
4. Mutammimat adalah yang menyempurnakan seperti di dalam al-Qur’an.
mempelajari ta’limul qiro’at, makharijul huruf. Kalau yang berkaitan dengan
maknanya seperti ilmu tafsir. Yang berkaitan dengan hukum-hukumnya seperti
mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khosh, atau nash dan dzohir.

Kalau didalam atsar dan akhbar ada ilmu tentang rijal, nama-namanya, nasabnya, nama-
nama sahabat, sifat-sifatnya, atau ilmu‘adalah firruwat, mursal dan musnad, dsb.
Kesemuanya ini adalah ilm yang disyari’atkan dan semuanya mahmudah dan masuk
kedalam fardh kifayah untuk diperlajari. Sedangkan Ilmu madzmumah (tdk terpuji)
dicontohkan beliau seperti Sihr, Talbis, Jimat (Tholsimaat) dan ‘Ilm Asy-Sya’idzah.

Ada 3 alasan kenapa ilmu itu disebut ilmu yang tercela (madzmumah); Pertama, jika ilmu
itu membawa yang lain kepada kejahatan, Kedua, jika sebuah ilmu itu menyebabkan
banyak kerugian. ketiga, jika ilmu tidak bermanfaat.

Imam Ghazali menyebutkan juga bahwa Ilmu yang tidak disyari’atkan adalah ilmu yang
tidak dimanfaatkan oleh paraanbiya seperti al-hisab, atau yang berkaitan
dengan eksperimen (Tajribah) seperti kedokteran, dan pendengaran (Sima’ ) seperti
bahasa.

Dalam pembagian ilmu diatas, Imam Ghazali menjelaskan bahwa kedua ilmu itu (ilmu
mu’amalah dan ilmu mukasyafah) tidak akan dapat dipahami jika ada 2 sifat dalam
hatinya, yaitu bid’ah dan kibr.

Didalam ilmu mu’amalah, Ada 3 hal yang dibebankan kepada seorang hamba yang berakal
dan mampu untuk berbuat dengannya, yaitu: I’tiqad,
Fi’il dan Turuk; Pertama, I’tiqod disini bermaksud bahwa setiap yang sudah mencapai
kedewasaan maka wajib untuk mempercayai bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
Muhammad sebagai utusan_Nya(Syahadah). Kedua, Fi’il ditujukan kepada setiap orang
yang sudah bisa mengetahui akan syari’at Islam maka dia dituntut untuk mengerjakannya,
contoh: sholat, puasa, haji, dsb. Ketiga, Turuk dimaksudkan adalah seorang diwajibkan
untuk belajar sesuai dengan kondisi keadaannya dan tidak bertolak dengan keadaan
seseorang, seperti orang tuli tidak diwajibkan belajar dari pelajaran yang berkaitan dengan
pendengarannya, atau orang yang buta tidak diwajibkan belajar dalam hal yang
berhubungan dengan penglihatannya.

Imam Ghazali menerangkan lagi bahwa ilmu mu’amalah ini sangat berkaitan erat dengan
“keadaan hati” (ahwalil qolbi)artinya dengan Ilmu manusia itu bisa menjadi terpuji
ataupun tercela. Oleh Karena itu, tidak akan bermanfaat ilmu seseorang bila dia
mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.

Perihal ahwalul qolb didalam ilmu mu’amalah ini, Imam Ghazali menjelaskan 2 hati (hati
yang terpuji dan hati yang tercela) yang dimiliki setiap penuntut ilmu, yaitu Pertama, yang
memiliki hati terpuji apabila mempunyai kondisi hati yang positif
seperti Shabr, Syukr, Khouf (takut kepada
Allah), Rojak (pengharapan), Ridho (rela), Zuhd, Taqwa, Qona’ah (merasa cukup),
Sakha (dermawan), Husnuddzon (baik sangka), Shidq (Jujur), dsb. Ilmu akan banyak
manfaatnya bila seseorang mempunyai sifat hati yang seperti disebutkan
diatas. Kedua, Ilmu tidak akan bermanfaat bila yang menuntut ilmu tadi memiliki kondisi
hati yang negatif, seperti hasd (iri), hubbutsana’ (suka pujian), al-
kibr (sombong), riyak, ghodob (marah), al-‘adawah (permusuhan), thomak (rakus), bakhil,
dsb. Sama seperti perkataan seorang ‘ulama muslim Tajuddin Assabaky dalam bukunya
“Muqoddimah Thobaqoti asy-Syafi’iyyah al-Kubro” beliau berkata: ”man lam yashun
nafsahu, lam yanfa’hu ‘ilman” artinya barangsiapa yang tidak menjaga (kehormatan)
dirinya, maka ilmu tidak akan bermanfaat untuknya. Itulah kenapa, setiap ilmu yang
disampaikan harus secara baik dan dalam kondisi hati yang positif.

Dalam Ilmu Mukasyafah, Imam Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini


adalah “ghooyah” dari semua ilmu karena dia yang berkaitan dengan hati, jiwa, ruh dan
pensucian jiwa (Purification of Soul). Dia diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati
seseorang dan yang mensucikan dari sifat-sifat tercela. Dengan membuka cahaya itu maka
perkara yang banyak dapat diselesaikan, didengar, dilihat dan dibaca dan akhirnya
membuka hakekatul ma’rifah dengan dzatullah subhanahu wata’ala. Inilah ilmunya
para Shiddiqun dan Muqorrobun. Mereka bisa mengetahui hakekat dari makna kenabian,
wahyu, syeitan, lafadznya malaikat dan syeitan, perbuatan syeitan kepada manusia, cara
penampakan malaikat kepada nabi, cara penyampaian wahyu kepada nabi, mengetahui
seisi langit dan bumi, mengetahui hati dan bercampurnya malaikat dan syeitan-syeitan
didalam hati manusia, mengetahui surga dan neraka, adzab kubur, shirath, mizan dan
hisab. Mengetahui sebuah makna pertemuan dengan Allah Azza wajalla dan melihat
kepada wajah_Nya yang maha mulia, dsb. Inilah ilmu yang tidak tertulis didalam buku dan
tidak dibicarakan kecuali ahlinya saja yang bisa merasakannya. Dilakukan dengan jalan
berdzikir dan secara rahasia. Ilmu ini adalah ilmu yang kurang terlihat. Penjelasan tentang
ilmu ini akan dijelaskan panjang dibab-bab berikutnya.

Perubahan makna Ilmu

Makna dari penamaan beberapa disiplin ilmu kadang akan merubah otentitas dari
kandungan ilmu itu sendiri. Imam Ghazali mengatakan bahwa banyak orang merubah
makna Fiqh, Ilm, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Perubahan makna ini menyebabkan
perubahan otentisannya karena kaitan yang tersirat dari ilmu-ilmu tersebut sangat
berhubungan dengan metafisik termasuk juga akhirat, jiwa, dan keterlibatan Allah didalam
kebanyakan pembahasannya.

Jika menyinggung dalam disiplin Ilmu Fiqh, Ketika itu Sa’ad ibn Ibrahim ditanya:
siapakah ulama’ faqih di Madinah? Dia menjawab: dia yang lebih banyak takut kepada
Allah. Rasulullah SAW juga pernah bersabda: Seorang manusia tidak bisa disebut seorang
faqih yang sempurna jika tidak membuat manusia memahami tentang existensi Allah. Oleh
karena itu, ketika banyak yang merubah makna fiqh, Ilm, Tauhid, Tadzkir dan hikmah dan
memisahkannya dari keterlibatan Allah didalamnya maka sebenarnya itu adalah ilmu yang
tidak terpuji.

Dalam kaitan perubahan ini, Imam Ghazali menyinggung bahwa ketika khalifah Umar r.a.
meninggal, Hazrat Ibn masud pun berseru bahwa: “Nine-tenths of the science of religion
have passed away. The present people used the term Ilm to mean the science of those who
can well debate the cases of jurisprudence with their adversaries and those who cannot do
that are termed weak and outside the category of the learned men” Demikanlah bahwa
memang perubahan makna yang terjadi sungguh banyak merubah esensi ilmu dari sudut
pandangan Islam.

Penutup

Sudah banyak yang mengelempokkan disiplin Ilmu sehingga menganggap bahwa ilmu
yang mereka galuti adalah yang wajib untuk dipelajari. Imam Ghazali menyebutkan ada
lebih dari 20 kelompok yang mengatakan kewajiban ilmu itu wajib dipelajari, seperti
kelompok al-Mutakallimun: mereka mengatakan bahwah Ilmu Kalam itu wajib dipelajari
karena dapat mengetahui ke-tawhid-an dan Dzat Allah Subhanahu dan juga sifat-
sifat_Nya. Ada juga kelompok al-Fuqoha’: mereka mengatakan Ilmu Fiqh itu wajib untuk
dipelajari karena dengannya bisa mengetahui ‘Ibadah, halal dan haram dan apa-apa yang
diharamkan dan dihalalkan dari mu’amalah .dsb. Oleh karena itu pembagian-pembagian
diatas menggambarkan bahwa betapa pentingnya ilmu itu dipelajari.

Sekarang, ilmu yang kita pelajari menjadi sebuah pilihan. Ketika dihadapkan kepada 2
pilihan maka pilihan itulah yang akan kita ambil. Jika ingin yang terbaik, maka pilihlah
jalan yang sudah dilakukan ulama’ terdahulu karena mereka adalah para waratsatul
anbiya’, dan jika sebaliknya maka pilihlah jalan yang dilalui generasi terbaru. Yang jelas,
Imam Ghazali sudah menjelaskan bahwa tujuan ilmu hanyalah agar dekat dengan Allah
dan mengenal lebih banyak tentang_Nya. Jika sudah mengenal Allah maka rasa cinta akan
tumbuh dan kemudian menjadi lebih dekat kepada_Nya Rabbul ‘arsyil adzim. Jati diri ini
akan ditemukan ketika kita sudah mengetahui Allah dengan ilmu_Nya yang kita pelajari,
seperti sabda Rasulullah: “Man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa Rabbahu” Artinya
barangsiapa yang sudah mengetahui [jati] dirinya maka artinya dia sudah mengenal
Tuhannya. Oleh karena itu, kenalilah Allah dengan belajar semua Ilmu_Nya karena Ilmu
itu wajib untuk dipelajari oleh setiap muslim. Dia adalah tuntutan agar bisa mengenal
Allah. Dan musuh manusia paling besar adalah kebodohannya sendiri, “Annasu a’daa_un
ma jahilu”. Sekian dan Terimakasih.

“Belajar itu murah tapi Ilmu itu mahal”

http://isfimalaysia.wordpress.com/2012/01/27/ilmu-menurut-imam-ghazali/

* Kandidat Master Ushuluddin di Universitan Islam Antar bangsa, Malaysia

Anda mungkin juga menyukai