Anda di halaman 1dari 11

Kelompok 8:

- Haerul
(01143261)
- Afiah Nur
(01143263)
Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah

A. Pengertian Murabahah

Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah
membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang
bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati
antara bank syariah dan nasabah.

Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang
membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah
secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa
besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa
lump sum atau berdasarkan persentase.

Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum


tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia
juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut.

B. Praktik Murabahah Dalam Perbankan Syariah

aplikasi jual beli murabahah pada perbankan syariah di dasarkan pada Keputusan
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank
Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan
murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.


3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,


misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan


harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak


bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip,
menjadi milik bank.

Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah


diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI
No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut:

1. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan


barang terkait dengan kegiatan transaksiMurabahah dengan nasabah sebagai
pihak pembeli barang;

2. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas,
harga perolehan dan spesifikasinya;
3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi
informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad
Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa
analisa atas karakter (Character ) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi
analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek
usaha (Condition).

5. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya;

6. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang


dipesan nasabah;

7. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan
atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan

8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian


tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah; dan

9. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan
berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.

C. Perbandingan Antara Pebiayaan Berbasis Murabahah dan Bunga Tetap

Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada perbankan


Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan yang menggunakan
sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan konvensional. Disini kita akan melakukan
perbandingan untuk menemukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara
keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan menfokuskan perbandingan pada aspek-
aspek sebagai berikut :
1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan
Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional memberikan
pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu,
maka bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu
jatuh tempo pinjaman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi
urusan bagi bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang akan dibeli
oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh suku bunga terkait
yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun tidak tetap). Dan menjadi
tanggung jawab nasabah sendiri setelah memperoleh pinjaman dengan suku bunga
tertentu untuk membeli barang-barang yang diperlukan berapapun harganya. Akan tetapi
tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan syariah melalui pembiayaan murabahah,
di mana bank Islam terlebih dahulu memastikan bahwa nasabah mengetahui total harga
barang yang dibutuhkan sebelumnya. Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan
kepada nasabah tetap memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut mencukupi untuk
membayar apa yang akan dibeli atau tidak.
Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika ditinjau dan dianalisa lebih jauh di
mana dalam penetapan bunga yang berlaku di perbankan konvensional, suku bunga yang
diberlakukan adalah tergantung pada kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan
riil, yang juga sangat tergantung pada kemungkinan terjadinya inflasi di masa mendatang,
preferensi likuiditas, jumlah permintaan pinjaman, kebijakan moneter ataupun
perkembangan suku bunga luar negeri.
2. Resiko Dalam Pembiayaan
Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah lembaga keuangan seperti
bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari berbagai resiko yang akan menyertainya.
Demikian juga halnya dengan pembiayaan yang dilakukan menggunakan skim
murabahah, di mana faktor pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan menjadi alasan
untuk mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini, pembahasan
mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan pada resiko-resiko
yang terkait dengannya, seperti :
a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank Islam terkait dengan
pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul dari barang yang dijual kepada
nasabah. Bank Islam ketika membeli barang yang diminta oleh nasabah
murabahahnya, maka secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan
pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah.
Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik sesuai dengan
pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah menjadi ketentuan yang berlaku
dalam hukum muamalah Islam. Seorang nasabah menurut kajian fiqih Islam berhak
menolak barang-barang yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diberikan.
b. Resiko yang tekait dengan pembayaran
Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah adalah resiko yang
terkait dengan pembayaran angsuran dari nasabahnya. Karenanya untuk menghindari
resiko ini, dalam klausul kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank Islam
mengharuskan adanya jaminan. Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan
pembayaran ini atau kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar
kewajibannya, bank Islam membedakannya sebagai berikut : Jika tidak adanya
pembayaran atau ketidak mampuan seorang nasabah dalam membayar diakibatkan
oleh adanya faktor-faktor di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka
bank Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang pembayaran hutang tersebut.
Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu dan tidak
melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini menggunakan sistem denda
kepada nasabahnya, yang jumlahnya disesuaikan dengan tingkat laba yang wajar
pada dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya untuk menutupi
peluang yang hilang) dari modal tersebut. Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin
dilakukan, maka bank Islam dalam sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan
yang diberikan beserta barang-barang yang diserahkan kepada nasabah.
Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank Islam dalam menyikapi
resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman murabahah yang diberikan, pada
dasarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh bank konvensional
ketika debiturnya tidak mampu mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai
kontrak yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun semacam denda
yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan jaminan dari
pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh
tempo.
3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli
Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem bunga dan mark-up dapat
dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada kedua kontrak yang terjadi. Pada awalnya,
teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam hubungan antara pihak bank
dan nasabah adalah hubungan kemitraan yang berdasarkan prinsip profit and loss
sharing (PLS), yang dapat menghapus sifat hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank
konvensional, yaitu hubungan antara kreditur dan debitur. Bagaimanapun juga kondisi
yang terjadi sulit untuk membenarkan teori tersebut, mengingat begitu pentingnya
peranan transaksi murabahah dalam perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat
diperkirakan melebihi 75 persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.
Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang terjadi membawa suatu
hubungan kreditur-debitur antara pihak bank dengan nasabah. Di mana si pembeli
(nasabah) menyetujui untuk membayar harga barang ditambah jumlah mark-up secara
angsuran, termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan dalam kontrak.
Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati kontark jual beli ini,
harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang nasabah kepada bank
bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan antara seorang kreditur dan
debitur yang tidak ada bedanya dengan hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di
bank konvensional.
4. Penyelesaian Hutang
Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak murabahah yang harus
dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran) tidak jauh berbeda dengan suatu
pembiayaan yang didasarkan pada suku bunga tetap pada perbankan konvensional.
Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap sebagai hutang, baik
biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut sebagai bunga atau laba serta jangka
waktu pembayarannya pun ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas adalah hanya terletak
pada kondisi ketika seorang debitur gagal melunasi hutangnya sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditetapkan.
Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui sistem bunga pada
umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada
saat jatuh tempo, baik si debitur mampu membayar atau tidak. Sementara itu di
perbankan Islam tidak demikian adanya, tergantung pada kondisi ketidak-mampuan
debitur dalam membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang debitur tidak mampu
melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi kelonggaran (toleransi) untuk
melunasinya sesuai dengan perintah al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 280.
Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus diberikan tanpa melalui penambahan
beban atau semacamnya seperti adanya denda dan sebagainya atas waktu yang diberikan
untuk pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi, sebagian besar bank-
bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah mempersempit penafsiran
perintah kandungan ayat tersebut. Menurut mereka, penerapan perintah tersebut secara
umum dapat memberikan
celah kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya, padahal mereka
mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasinya mereka
kemudian mengadopsi konsep denda bagi debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya
tepat waktu, khususnya untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah
untuk mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang tepat pada
waktunya.
Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep denda yang diberlakukan ini,
pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan praktis dari penerapan sistem bunga di
bank-bank konvensional, ketika hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi
atas hilangnya tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang diinvestasikan).
Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang diberikan kepada para
nasabahnya
D. Jaminan Untuk Pembiayaan Murabahah.
Menurut Al-quran dan Ass-sunnah . al-quran memerintahkan umat islam untuk menulis
tagihan utang mereka, dan jika perlu meminta jaminan atas utang itu (Al-quran, 2:283). Dalam
sejumlah kesemptan , nabi memberikan jaminan kepada krediturnya atas utang beliau, jaminan
adalah sala satu untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak akan dihilangkan, dan untuk
menghindari diri dari memakan harta ornag secara bathil (Al-quran, 2:188-4;416;9:34). Jaminan
dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak barang-barang murabahah sendiri
bilamana dipandang pantas untuk dijadikan jaminan, garansi pihak ketiga, pembayaran uang
muka, dan surat-surat komersial. Menurut kontrak bank memilih untuk meminta jaminan
tambahan kepada nasabah yang jaminan itu dapat diterima oleh bank dalam hal bank berfikir
bahwa jaminan yang diberikansbelumnya tidak mencukupi. Jika diminta, maka nasabah harus
memberikan jaminan itu tanpa bantahan atau penundaan.
Dalam murabaha, kntrak jual beli membawasuatu hubungan debitur-debitur antara
nasabah dan bank. Si pembeli setuju untuk membayar harga barang plus makup secara angsuran,
jumlah dan tanggal jatu tempoangsuran yang ditentukan di dlam kontrak. Begitu bank dan
nasabah amengikuti kontrak jual beli ini, harga jual menjadai tanggungan hutang nasabah kepada
bank. Jadi hubungan antara nasabah dan bank menjadai debitur dan kreditur. Ini juga menjadi
hubungan yang dominanmeski tidak berarti satu-satunya, anatara bank tradisional dan para
konsumennya.
Pinjaman dengan bunga pada umumnya menimbulkan sangsi bunga tambahan jika
pinjaman tidak dilunasi pada saat jatu tempo, enta si debitur mampu membayar atau tidak.
Dalam hal bank syariah, debitur harus diberi toleransi untuk melunasi hutang jika ia tidak
mampu. Namun, untuk menghindri cela potensi bagi debitur yang lalai untuk melunasi hutang
mereka padahal mereka mampu untuk melunasinya, maka dewan syariah telah mengadopsi
sistem denda terhadap mereka yang tidak melunasi hutang tetap waktu

E. Metode Metode Penentuan Harga Jual dan Profit Margin

Untuk menentukan margin dan penentuan harga jual murabahah ada beberapa cara, diantaranya:
1. Bank menentukan keuntungan dari jumlah dana yang dipinjam oleh nasabah untuk membeli
barang ke bank tersebut sebesar harga yang telah disepakati bersama.
2. Atas dana yang dipinjam oleh nasabah bank syariah menetapkan keuntungan transakasi,
misalnya 20%. Kemudian jika dibayar satu atau dua tahun untuk menstabilkan daya beli uang
tersebut, maka bank dapat menambahkan dua kali inflasi dimasa mendatang. Misal diperkirakan
inflasi 5% pertahun maka faktor stabilizer daya beli selama dua tahun sama dengan 2x5%=10%.
Jadi selama dua tahun nasabah mengangsur pokok pinjaman ditambah dengan keuntungan dan
inflasi.
3. Dalam penentuan harga jual bank, bank dapat menerapkan metode penetapan harga jual
berdasarkan cost plus mark up.

F. Metode Penentuan Harga Jual (Profit Margin) di Bank Syariah


Menurut Muhammad, ada beberapa metode penentuan profit margin yang dapat diterapkan
dalam pembiayaan di bank syariah di antaranya:

a) Penerapan Mark-up Pricing untuk Pembiayaan Syariah

Jika bank syariah hendak menerapkan metode mark-up pricing, metode ini hanya tepat jika
digunakan untuk pembiayaan yang sumber dananya dari Restricted Investment Account (RIA)
atau Mudharabah Muqayyadah sebab akad mudharabah muqayyadah adalah akad di mana
pemilik dana menuntut adanya kepastian hasil dari modal yang diinvestasikan.

b) Penerapan Target Return Pricing untuk Pembiayaan Syariah

Bank syariah beroperasi dengan tidak menggunakan bunga. Mekanisme operasional dalam
memperoleh pendapatan dapat dihasilkan berdasarkan klasifikasi akad, yaitu akad yang
menghasilkan keuntungan secara pasti, disebut natural certainty contract, dan akad yang
menghasilkan keuntungan yang tidak pasti, disebut natural uncertainty contract.

G. Batas Maksimal Penentuan Keuntungan Menurut Syariah


Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh seorang
pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan
bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari
dalil-dalil tersebut:

Dalil Pertama:


.
Dari Urwah al Bariqi, bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memberinya satu
dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua
ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seekor satu dinar. Selanjutnya dia
datang menemui nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dengan membawa seekor kambing dan uang
satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mendoakan keberkahan
pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia
mendapatkan laba darinya. (HR. Bukhari, no. 3443)

Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu Anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan
untung satu dinar atau 100%. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi
Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dan bukan hanya merestui, bahkan beliau Shalallahu Alaihi wa
Sallam berdoa agar perniagaan sahabat Urwah senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau
Shalallahu Alaihi wa Sallam semakin lihai berniaga.

Dalil Kedua:
Berbagai dalil yang telah dikemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan dalil dalam
masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah memiliki barang daganganny, maka tidak
ada alasan untuk memaksanya agar menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.

Dalil Ketiga:
Sahabat Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, Anas bin Malik radhiyallahu anhu
meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam,
Wahai Rasulullah, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga
jual! Menanggapi permintaan ini, beliau Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya:
sesungguhnya Allah-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan
Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allah dan tidak
seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau
harta kekayaan. (HR. Abu Dawud, no 3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh
syaikh al-Albani dalam kitab Misykatul Mashabih, no. 2894).

H. Penetapan Harga Jual Murabahah yang Efisien


Tidak ada dalil dalam syariah yang berkaitan dengan penentuan keuntungan usaha,
sehingga bila melebihi jumlah tersebut dinggap haram. Hal demikian telah menjadai kaidah
umum untuk seluruh jenis barang dagangandis etiap zaman dan tempat. Ketetntuan tersebut
karena ada beberapa hikmh diantaranya:
1. Perbedaan harga terkadang cepat berputar dan terkadanga lambat menurut kebiasaan,
kalau perputarannya cepat, maka keuntungannya lebih sedikit. Sementara bila
perputarannya lambat keunutngannya lambat.
2. Perbedaan penjualan kontan degan penjualan pembayaran tunda. Pada asalnya,kuntungan
penjualan kontan lebih kecil dibandingkan keuntungan pada penjualan kredit
3. Perbedaan komoditas yang dijual, antara komoditas primer dan skunder, keuntungannya
lebih sedikit, karena memperhatikan kaum papa dan ornag-orang yang membutuhkan,
dengan komoditas luks yang keuntungannya dilebihkan menurut kebjakan karena kurang
dibutuhkan.
Penuntuan besarnya keuntungan tidak boleh mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli,
memamfaatkan keluguan pembeli, ketidktahuannya, kondisinya yang terpepet atau sedang
membutuhkan, lalu harga ditinggikan. Justru sikap memberi kemudahan, sikap santun dan puas
dengan keuntungan yang sedikit lebih sesuai dengan petunjuk para ulam dan ruh kehidupan
syariah.
Secara matematis harga jual barang leh bank kepada calon nasabah pembiyaan murabahah dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Harga jual bank = harga beli bank + harga perolehan + keuntungan
Harga perolehan = proyeksi biaya operasi
Target volume pembiyaan
Margin dalam persentase = harga perolehan + keuntungan x 100%
Harga beli bank
Setelah angka-angka tersebut di dapat, barulah persentase margi ini dibandingkan dengan suku
bunga hanya dijadikan bechmark. Agar pembiyaan murabahah kompetitif, margin muraahah tadi
harus lebih kecil dari bung pinjaman.jika masi lebih besar maka yang harus dimainkan adalah
dengan memperkecil cost recovery dan keuntungan yang diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai