Kolelitiasis
Kolelitiasis
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit batu kandung empedu merupakan penyakit yang sudah di kenal sejak ribuan
tahun yang lalu. Pada abad ke-17 telah dicurigai sebagai penyebab penyakit pada manusia.
Batu empedu merupakan penyakit yang pada awalnya sering ditemukan di negara Barat dan
jarang di negara berkembang. Tetapi dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi,
perubahan menu diet ala Barat serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi,
prevalensi penyakit empedu di negara berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat
(Sjamsuhidajat, 2002). Penyakit batu kandung empedu ini sering ditemukan secara kebetulan
saat melakukan USG perut. Sensitivitas pemeriksaan secara USG ini terhadap penyakit batu
kandung empedu sekitar 95%.
Prevalensi penyakit batu kandung empedu pada suku Indian di Amerika mencapai
tingkat yang tinggi yaitu sekitar 40 70%. Di Amerika Serikat, insiden batu empedu
diperkirakan 20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30%
sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi (menurut Healthy Lifestyle
Desember 2008). Sedangkan di Asia, prevalensinya berkisar antara 3 - 15%, tetapi diAfrika
prevalensi rendah yaitu < 5%. Di Indonesia angka kejadian penyakit batu kandung empedu
ini diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain yang ada di Asia Tenggara, hanya
saja baru mendapatkan perhatian secara klinis, sementara penelitian batu empedu masih
terbatas (Laurentius,2006). Dari hasil penelitian mengatakan bahwa di negara Barat 80 %
batu empedu adalah batu kolesterol. Berdasarkan penelitian di RSCM Jakarta dari 51 pasien
di bagian Hepatologi ditemukan 73% pasien yang menderita penyakit batu empedu pigmen
dan batu kolesterol pada 27% pasien (menurut divisi Hepatology, Departemen IPD,
FKUI/RSCM Jakarta, Mei 2009). Dan ini sesuai dengan angka di negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi
empedu oleh kuman gram negatif E.Coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen.
Di wilayah ini insiden batu primer saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit batu
empedu, sedangkan di negara Barat sekitar 5% (Sjamsuhidajat, 2002).
Sekitar 80% dari batu empedu berasal dari batu koleserol dan batu pigmen terutama
terdiri dari kalsium billiburate dan ini mengandung kolesterol kurang dari 20%. Batu
kandung empedu dianggap sebagai gangguan pembuangan kolesterol. Cairan empedu
mengandung sejumlah besar kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan
empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu.Akibat dari endapan ini akhirnya membentuk batu.
Prevalensi penderita penyakit batu kandung empedu meningkat sehubungan dengan
usia dan dua kali lebih tinggi pada pada wanita di bandingkan pada pria. Perbedaan gender ini
karena faktor hormon esterogen yang meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Proses
kehamilan meningkatkan resiko batu empedu karena terjadinya gangguan pada proses
pengosongan kandung empedu. Gangguan pada proses ini disebabkan oleh penggabungan
pengaruh antara hormon esterogen dan hormon progesteron. Akibat penggabungan ini
meningkatkan hipersekresi kolesterol ke dalam empedu yang mempengaruhi pembentukan
batu empedu.
1.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dari penyusunan makalah ini diharapkan penulis dapat mengerti, memahami dan
memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien kolelitiasis.
2. Tujuan Khusus
Setelah penulisan makalah ini, penulis mampu :
a) Menjelaskan konsep dasar penyakit kolelitiasis dimulai dari pengertian, penyebab,
patofisiologi, manifestasi klinik, pemeriksaan diagnostik sampai dengan
penatalaksanaan medik pada penderita kolelitiasis.
b) Melakukan pengkajian pada klien penderita kolelitiasis
c) Merumuskan diagnosa keperawatan kepada klien penderita kolelitiasis
d) Menyusun intervensi keperawatan pada klien penderita kolelitiasis
e) Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien penderita kolelitiasis
f) Melakukan evaluasi keperawatan pada klien penderita kolelitiasis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu
empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung,
pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan,
yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena
kava. Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung
empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang
terbentuk primer di dalam saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran
balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat,
maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri
bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.
b. Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu:
Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah
cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin
yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen
utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan,
empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera
masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke
duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan
pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam
kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan
ke duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor,
yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus.
Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung
empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu
mengalir ke duodenum.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu,
lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot
polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120
menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik, dan
elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam
empedu, kolesterol, dan fosfolipid.
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan
hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu
serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi.
Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,
berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal
dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu
sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang
dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh
garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap
sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon,
bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok
ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu
yang disekresikan dalam feses.
2.3. Etiologi
Pada dasarnya semua penyakit kronik memiliki riwayat alamiah yang bersifat
multifaktorial termasuk disini adalah cholelithiasis yang diakibatkan dari interaksi antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan akhir akhir ini dianggap berakibat dari
tumbuhnya gaya hidup yang modern, termasuk disini adalah tingginya asupan karbohidrat,
prevalensi tinggi timbulnya obesitas, dan NIDDM, dan gaya hidup yang cenderung sedenter.
Hipotesis genetic mendukung teori cholelithiasis berkembang dari hubungan
keluarga, survey epidemiologi yang telah ada memberikan kesan bahwa ras Amerika dan
bangsa Indian memiliki gen lithogenik lebih tinggi. Karena kolesterol dalam empedu
kebanyakan berasal dari kolesterol yang dibentuk dari lipoprotein plasma, beberapa studi dan
penelitian memfokuskan pada gen yang terkait dengan transport dari kolesterol yang dibentuk
dari lipoprotein plasma, beberapa studi dan penelitian memfokuskan pada gen yang terkait
dengan transport dari kolesterol tersebut, termasuk ekspresi dari apoprotein E, B, dan A-I,
dan cholesterol ester transfer protein. Pada percobaan dengan menggunakan tikus dan
hamster telah ditemukan memang ada suatu gen yang dapat membantu terbentuknya batu
empedu cholesterol.
Factor factor yang mendasari terjadinya batu empedu pada beberapa penelitian
adalah jenis kelamin, usia, kolesterol HDL yang rendah, BMI yang tinggi, presentase lemak
tubuh, kadar glukosa serum yang lebih tinggi terutama pada wanita ( dengan atau tanpa
NIDDM ), paritas dan hiperinsulinemia. Pada penelitian yang secara konsisten dan sering
ditemukan adalah hubungan antara konsisten dan sering ditemukan adalah hubungan antara
konsentrasi kolesterol HDL serum dengan terjadinya batu empedu, yang memberikan kesan
bahwa ambnormalitas dari metabolisme HDL yang mendasari terjadinya batu empedu.
Diagram faktor resiko terjadinya batu empedu
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapt mengalami dua jenis
gejala: gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala
yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat
akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang
samar pada kuadran kanan atau abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi setelah
individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau digoreng.
Proses
Gangguan Penurunan fungsi
degenerasi
metabolisme hati
penyakit hati
Pengendapan Peradangan
Sintesis
kolestrol dalam, sekresi
kolestrol kolestrol kantong
empedu
Batu
empedu
Menyumbat
aliran getah
penkreas
Hasilkan subtansi
P Bersifat iriatif Peningkatan suhu
disaluran cerna
Serabut saraf
eferen Hipertermi
hipotalamusMerangsang
nervus vagal
Permeabilitas
Nyeri hebat pada
kapiler
kuadran atas dan
nyeri tekanMenekan s.
daerah parasimpatis Cairan shif
epigastrium keperitonium
Nyeri Penurunan
peristaltik Resiko
kekurangan
Resiko syok volume cairan
Makanan
(hipovolemik)
tertahan
Ketidakefektifa
dilambung
n nutrisi
kurang dari
Rasa mual
kebutuhan
muntah
2.8. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedurdiagnostik
pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat
digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak
membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini akan membrikan hasil yang paling
akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang
dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau
duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan.
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta
mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver
tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat
dilihat pada sat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang
fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula
dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.(Smeltzer, 2002)
5. Pemeriksaan darah
Kenaikan serum kolesterol
Kenaikan fosfolipid
Penurunan ester kolesterol
Kenaikan protrombin serum time
Kenaikan bilirubin total, transaminase
Penurunan urobilirubin
Peningkatan sel darah putih
Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus
utama
2.9. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah
harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan,
kecuali jika kondisi pasien memburuk.(Smeltzer, 2002)
Manajemen terapi :
a. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
b. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
d. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
e. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
a. Pelarutan batu empedu
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier
butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan
langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui
saluran T Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan;
melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
b. Pengangkatan non bedah
Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang belum
terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur
pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat
saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T Tube; jaring digunakan
untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur
kedua adalah penggunaan endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong
dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini
digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter Oddi sehingga
mulut spingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit
untuk bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring
atau balon kecil pada ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu
empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi pasien harus
diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi dan
pankreatitis.
c. ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)
Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock
Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus
dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer, 2002)
3. Penatalaksanaan bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan
untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab
kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang
dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana
kondisi pasien mengharuskannya.
Tindakan operatif meliputi :
a. Sfingerotomy endosokopik
b. PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
c. Pemasangan T Tube saluran empedu koledoskop
d. Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube
Penatalaksanaan pra operatif :
a. Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu
b. Foto thoraks
c. Ektrokardiogram
d. Pemeriksaan faal hati
e. Vitamin k (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)
f. Terapi komponen darah
g. Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa scara intravena bersama
suplemen hidrolisat protein mungkin diperlikan untuk membentu kesembuhan
luka dan mencegah kerusakan hati.
2.10. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang sehat
yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang dilakukan terhadap
individu yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan
makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol dengan
mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan serat
makanan lain yang akan mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga menurunkan
risiko stagnasi cairan empedu di kandung empedu , minum sekitar 8 gelas air setiap hari
untuk menjaga kadar air yang tepat dari cairan empedu.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita
kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kolelitiasis
agar dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis,
ERCP, dan ESWL. Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif dengan tujuan
mempertahankan kualitas hidup penderita dan memperlambat progresifitas penyakit dan
mengurangi rasa nyeri dan keluhan lain. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
memerhatikan asupan makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan merupakan asuhan yang diberikan oleh seorang perawat kepada
sistematis yang dilakukan oleh perawat bersama klien dalam menentukan kebutuhan asuhan
yang akan dilakukan, melaksanakan tindakan serta mengevaluasi hasil asuhan yang telah
3.2. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : kelemahan.
Tanda : geilsah.
b. Sirkulasi
Gejala/Tanda : takikardia, berkeringat.
c. Eliminasi
Gejala : perubahan warna urine & feses.
Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine gelap, pekat,
feses warna tanah liat, steatorea.
d. Makanan/Cairan
Gejala : anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak & makanan
pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus,
dyspepsia.
Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan.
e. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan,
kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai tiba-tiba & biasanya
memuncak dalam 30 menit.
Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, tanda
Murphy positif.
f. Pernapasan
Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, penapasan tertekan ditandai oleh napas
pendek, dangkal.
g. Keamanan
Tanda : demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat & gatal (pruritus),
kecendrungan perdarahan (kekurangan vit. K).
h. Penyuluhan dan Pembelajaran
Gejala : kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu, adanya
kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah.
i. Pemeriksaan Diagnostik
Darah lengkap : Leukositis sedang (akut).
Billirubin & amilase serum : meningkat.
Enzim hati serum-AST (SGOT) : ALT (SGOT), LDH : agak meningkat, alkalin fosfat
& S-nukleotidase, ditandai pe obstruksi bilier.
Kadar protombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorpsi vit. K.
Ultrasound : menyatakan kalkuli & distensi empedu/duktus empedu.
Kolangiopankreatografi retrograd endoskopik : memperlihatkan percabangan bilier
dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran dengan fluoroskopi
antara penyakit kandung empedu & kanker pangkreas.
CT-Scan : dapat menyatakan kista kandung empedu.
Scan hati : menunjukkan obstruksi percabangan bilier.
3.3. Diagnosa
1. Nyeri akut b.d obstruksi, spasme, proses iflamasi, iskemik jaringan, infeksi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang tidak
adekuat akibat mual, muntah, dispepsia
3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan melalui penghisapan gaster berlebihan,
muntah, distensi, dan hipermotilitas gaster
4. Resiko infeksi b.d prosedur invasive (pasca tindakan pembedahan)
3.4. Intervensi
3.5. Evaluasi
1. Berikan informasi verbal dan tertulis kepada pasien dan keluarganya tentang hal
berikut: obat-obatan, meliputi: nama, tujuan, dosis, jadwal, tindakan pencegahan,
interaksi obat-obat dan makanan-obat, potensial efek samping.
2. Anjurkan pada pasien untuk rutin kontrol ke pelayanan kesehatan (puskesmas, dokter
praktik, RS). Segera lapor ke dokter bila muncul gejala : penurunan selera makan,
muntah, rasa nyeri, rasa kaku pada perut, dan kenaikan suhu tubuh; karena gejala
tersebut dapat menunjukkan infeksi atau gangguan pada sistem pencernaan.
3. Instruksikan pada pasien dan keluarga bila muncul gejala-gejala : kuning pada kulit
dan mata, air kencing yang berwarna gelap, tinja yang berwarna pucat, gatal-gatal,
atau tanda-tanda peradangan dan infeksi, seperti rasa nyeri atau panas.
4. Berikan penjelasan pada klien, bahwa sebagian pasien mungkin mendapatkan tinja
yang lembek sehingga ia harus buang air besar 1 sampai 3 kali sehari. Jelaskan
bahwa keadaan ini terjadi akibat pengaliran getah empedu yang sedikit-sedikit tetapi
terus berlangsung melalui sambungan saluran getah empedu-usus duabelas jari
sesudah operasi pengangkatn kandung empedu. Biasanya gejala buang air besar yang
sering itu akan menghilang dalam tempo beberap minggu hingga beberapa bulan.
5. Fokus pendidikan kesehatan pada klien adalah tentang diit/makanan. Anjurkan pada
pasien untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi protein (misal : tempe, kacang-
kacangan, dsb) dan rendah lemak (misal :jangan makan daging terlalu sering/banyak,
kurangi mentega, konsumsi susu yang rendah lemak, dll). Anjurkan pada pasien yang
kelebihan berat badan unuk mengurangi berat badannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Di negara-negara Asia, prevalensi kolelithiasis berkisar antara 3-10%. Angka kejadian
penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu lainnya di Indonesia tidak berbeda jauh
dengan angka di negara lain di Asia Tenggara. Sementara ini didapat kesan bahwa meskipun
batu kolesterol di Indonesia lebih umum, tetapi angka kejadian batu pigmen lebih tinggi
dibanding yang terdapat di negara barat, tetapi sesuai dengan angka di negara tetangga (Asia
Tenggara).Banyak penelitian akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa kolelitiasis
mempunyai hubungan dengan umur, jenis kelamin wanita, kehamilan, Body Mass Index
(BMI), konsumsi alkohol, kebiasaan diet dan gangguan metabolik seperti diabetes mellitus
dan hiperlipidemia
4.2. Saran
Setelah mengetahui fakor resiko tertinggi terjadinya penyakit batu kandung empedu
tersebut maka diharapkan yang memiliki berat badan berlebih atau kegemukan untuk
mengurangi konsumsi makanan yang berlemak khususnya yang berjenis kelamin wanita
sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit batu kandung empedu. Bagi kita
tenaga kesehatan yang ada apabila kita melihat pasien atau keluarga yang memiliki resiko
faktor tersebut ditambah dengan seringnya mengalami gejala seperti sakit maag, maka
sebaiknya kita mengarahkan untuk melakukan pemeriksaan penyakit batu empedu.