Anda di halaman 1dari 7

KONSEP TEORI

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas individu mata kuliah Keperawatan Lansia

Disusun Oleh:
Devi Mulyawati, Amd. Kep.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON


2018
LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi dan sosial yang
terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep
diri yang positif, dan kestabilan emosi. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan oleh perorangan,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat yang
didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lain seperti keluarga dan lingkungan
sosial. Lingkungan tersebut selain menunjang upaya kesehatan jiwa juga merupakan stressor
yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang, pada tingkat tertentu dapat menyebabkan
seseorang jatuh dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008).

Meningkatnya pasien dengan gangguan jiwa ini disebabkan banyak hal. Kondisi
lingkungan sosial yang semakin keras diperkirakan menjadi salah satu penyebab meningkatnya
jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk individu yang rentan
terhadap kondisi lingkungan dengan tingkat kemiskinan terlalu menekan.
Penatalaksanaan keperawatan klien dengan gangguan jiwa adalah pemberian terapi modalitas
yang salah satunya adalah Terapi Aktifitas Kelompok (TAK).

Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat
pada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktifitas digunakan
sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Fortinash & Worret, 2004).
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu
tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu fokus terapi adalah membuat sadar
diri (self-awareness). Peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
Kelompok adalah suatu system social yang khas yang dapat didefinisikan dan dipelajari. Sebuah
kelompok terdiri dari individu yang saling berinteraksi, interelasi, interdependensi dan saling
membagikan norma social yang sama (Stuart & Sundeen, 1998).
A. Pengertian
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis
terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan
hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya untuk identitas
hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang maladaptive (Stuart &
Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Kelliat,
2005)
B. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai
berikut:
Tujuan Umum
1. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan cara
membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
2. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
3. Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku
defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa
diri tidak berharga atau ditolak
4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi kognitif
dan afektif.
Tujuan Khusus
a. Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri tentang
mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
b. Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh seseorang
untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu bagi
anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh anggota
kelompok lainnya.
c. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat
kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang memungkinkan
peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.
C. Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Akivitas Kelompok
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah:
1. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok
kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak
terkontrol, mudah bosan.
2. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok
antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah,
agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan
tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok
3. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien
dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara,
sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.

D. Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
1. Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan dan
hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu
pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya
pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan
diambil secara bersama.
2. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar
antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya tidak semua anggota
mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika
terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat, 2005).
3. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan
60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan
kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan
kebutuhan (Kelliat, 2005).
4. Proses Terapi Aktivitas Kelompok
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam
psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan
menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang
tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari
suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka
dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian
mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang
tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud
dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam
kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan
bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk
terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat
diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara.
Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh karenanya
terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada
beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang
anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat
juga co-terapis membantu mengatasi kemacetan. Kalau terjadi kekacauan, anggota yang
menimbulkan terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan
terus dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar
atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di
tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula
wasit. Terapis lebih banyak pasif atau katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa
tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang
terdiri dari individu-individu. Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan
secara singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang
mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota
untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).

E. PerkembanganKelompok
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan kembang.
Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat fase (Kelliat, 2005) yaitu :
1. Fase prakelompok.
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan
dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan
pelaksana kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu disusun
panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.
2. Fase awal kelompok.
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru. Dan peran
yang baru. Fase ini terbagi dalam tiga fase (Kelliat, 2005) yaitu:
3. Tahap orientasi.
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan.
Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan
kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasian, waktu pertemuan, struktur, kejujuran dan
aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang berbicara pada satu waktu, norma
perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara anggota kelompok diupayakan terbentuk
pada fase orientasi.
4. Tahap konflik.
Peran dependen dan independent terjadi pada tahap ini, sebagian ingin pemimpin
yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahkan, atau sebaliknya
anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Adapula anggota yang netral dan dapat
membantu menyelesaikan konflik peran yang terjadi. Perasaan bermusuhan yang
ditampilkan, baik antara kelompok maupun anggota dengan pemimpin dapat terjadi
pada tahap ini. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun
negative dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah
perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab
konflik.
5. Tahap kohesif.
Setalah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu sama
lain. Perasaan positif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini, anggota
kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama
lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota kelompok dalam
melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap akhir fase ini, tiap anggota kelompok
belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan, mereka belajar persamaan dan
perbedaan, anggota kelompok akan membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatui
realitas.
6. Fase kerja kelompok.
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun mereka bekerja keras, tetapi
menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi stabil dan
realistis
Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan tetap
menjaga kelompok kearah pencapaian tujuan, serta mengurangi dampak dari factor
apa saja yang dapat mengurangi produktivitas kelompok. Selain itu pemimpin juga
bertindak sebagai konsultan. Beberapa problem yang mungkin muncul adalah
subgroup, conflict, self-desclosure,dan resistance. Beberapa anggota kelompok
menjadi sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian pemimpin, tidak ada lagi
kerahasian karena keterbukaan sangat tinggi dan keengganan berubah perlu
didefinisikan pemimpin kelompok agar segera melakukan strukturisasi.
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan kemampuan yang
bertambah disertai percaya diri dan kemandirian. Pada fase ini kelompok segera
masuk ke fase berikutnya yaitu perpisahan.
7. Fase terminasi
Terminasi dapat sementara atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karena anggota
kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun
individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan
individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau
beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu.
Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan
digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai