Rocka Polka
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2. Masa Perdarahan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vascular dan trombosit untuk
menghentikan perdarahan.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya perdarahan pada luka yang mengenai
kapiler. Terdapat 2 macam cara yaitu cara Ivy dan Duke.
Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg pada lengan atas.
Setalah dilakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol, kulit lengan bawah bagian voler
diregangkan lalu dilakukan tusukan denagn lancet sedalam 3mm. Stopwatch dijalankan
waktu darah keluar. Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak
keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6 menit.
Pada cara duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun telinga. Dengan
lancet, dilakukan tususkan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch dijalankan waktu darah
keluar. Setiap 30 detik, darah dapat dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar
lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkiasar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya
dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin dilakukan
pembendungan.
Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yang kurang memuaskan karena
tidak dapat dilakukan standarisasi tusukan baik mengenai dalamnya, panjangnya,
lokalisasinya maupun arahnya sehingga korelasi antara hasil tes ini dan keadaan klinik tidak
begitu baik. Perbedaan suhu kulit juga dapat mempengaruhi hasil tes ini.
Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu bercak darah pada
kertas saring mempunyai diameter 5 mm atau lebih. Masa perdarahan yang kurang dari 1
menit juga disebabkan tusukan yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan
dianggap batal dan perlu diulang.
Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih dapat dipercaya daripada cara Duke, karena pada
cara Duke tidak dilakukan pembendungan sehingga mekanisme hemostatis kurang dapat
dinilai. Apabila pada cara Ivy perdarahan berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga
karena tertusuknya vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau
hasilnya tetap lebih dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam
mekanisme hemostatis. Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostatis
dengan mengerjakan pemeriksaan-pemeriksaan lain.
3. Hitung Trombosit
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung. Cara langsung
dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik, dan otomatik.
Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan pengencer lalu diidikan
ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung dibawah mikroskop. Untuk larutan
pengencer yang dipakai larutan Rees Ecker atau larutan amonium oksalat 1%. Cara manula
mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena trombosit kecil sekali sehingga
sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah pecah dan cenderung saling
melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing. Oleh karena itu
alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan larutan pengencer harus disaring terlebih
dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan d ipakai darah dengan anticoagulant sodium
ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam batas waktu yang diijinkan artinya tidak lebih
dari 3 jam setelah pengambilan darah.
Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic particle counter sehingga
ketelitiannya lebih baik daripada cara manual. Akan tetapi cara ini masih mempunyai
kelemahan, karena trombosit yang besar (giant trombocyte) atau beberapa trombosit yang
menggumpal tidak ikut terhitung, sehingga jumlah trombosit yang dihitung menjadi lebih
rendah.
Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan jumlah
trombosit dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari
jumlah mutlak eritrosit.
Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah trombosit dalam
sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai pemeriksaan penyaringan. Pada sediaan
hapus darah tepi, selain dapat dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa
morfologi trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat langsung dari
darah tanpa antikoagulan, maka trombosit cenderung membentuk gumpalan. Jika berarti
membentuk gumpalan berarti tedapat gangguan fungsi trombosit.
Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh cara menghitungnya dan
berkisar antar 150.000 400.000 per l darah.
Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika
jumlah lebih dari 100.00/l. Jika fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit
diatas 50.000/l tidak mengalami perdarahan kecualai terjadi trauma atau operasi. Jumlah
trombosit kurang dari 50.000/l digolongkan trombositopenia berat dan perdarahan spontan
akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari 20.000/l.
1. Antikoagulan
Untuk pemeriksaan koagulasi antikoagulan yang dipakai adalah natrium sitrat 0,109 M
dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian natrium sitrat.Untuk hitung trombosit
antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA.Jika dipakai darah kapiler, maka tetes darah
pertama harus dibuang.
2. Penampung
Untuk mencegah terjadinya aktivasi factor pembekuan, dianjurkan memakai penampung
dari plastic atau gelas yang telah dilapisi silicon.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemeriksaan faal hemosatasis adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengetahui faal hemostatis serta kelainan yang terjadi. Pemeriksaan faal hemostatis sangat
penting dalam mendiagnosis diatesis hemoragik. Pemeriksaan ini terdiri atas:
1. Tes penyaring meliputi :
a. Percobaan pembendungan
b. Masa perdarahan
c. Hitung trombosit
d. Masa protombin plasma (Prothrombin Time, PT)
e. Masa tromboplastin partial teraktivasi (Activated partial thromboplastin time, APTT)
f. Masa trombin (Thrombin time, TT)
2. Tes khusus meliputi :
a. Tes faal trombosit
b. Tes Ristocetin
c. Pengukuran faktor spesifik (faktor pembekuan)
d. Pengukuran alpha-2 antiplasmin
B. SARAN
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa analis dapat mengetahui dan mampu
melakukan pemeriksaan hemostasis dengan berbagai metode yang ada sehingga dapat
mengeluarkan hasil yang tepat dalam membantu diagnosa suatu penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta, I Made,Prof.,Dr. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC. Halaman 238-239
2. Setiabudi, Rahajuningsih D. 2009. Hemostasis dan Trombosis. Jakarta : FKUI. Halaman 23-
32
BAHAN 2
menik
Beranda
ciri_cirikanker otak
Proses koagulasi dapat dimulai melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik (extrinsic pathway)
dan jalur intrinsik (intrinsic pathway). Jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi kerusakan vaskuler
sehingga faktor jaringan (tissue factor) mengalami pemaparan terhadap komponen darah
dalam sirkulasi. Faktor jaringan dengan bantuan kalsium menyebabkan aktivasi faktor VII
menjadi FVIIa. Kompleks FVIIa, tissue factor dan kalsium (disebut sebagai extrinsic tenase
complex) mengaktifkan faktor X menjadi FXa dan faktor IX menjadi FIXa. Jalur ekstrinsik
berlangsung pendek karena dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Jadi jalur
ekstrinsik hanya memulai proses koagulasi, begitu terbentuk sedikit thrombin, maka thrombin
akan mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa lebih lanjut, sehingga proses koagulasi
dilanjutkan oleh jalur intrinsik. Jalur intrinsik dimulai dengan adanya contact activation yang
melibatkan faktor XII, prekalikrein dan high molecular weigth kinninogen (HMWK) yang
kemudian mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa. Akhir-akhir ini peran faktor XII, HMWK
dan prekalikrein dalam proses koagulasi dipertanyakan. Proses selanjutnya adalah
pembentukan intrinsic tenase complex yang melibatkan FIXa, FVIIIa, posfolipid dari PF3
(trombosit factor 3) dan kalsium. Intrinsic tenase complex akan mengaktifkan faktor X
menjadi FXa. Langkah berikutnya adalah pembentukan kompleks yang terdiri dari FXa, FVa,
posfolipid dari PF3 serta kalsium yang disebut sebagai prothrombinase complex yang
mengubah prothrombin menjadi thrombin yang selanjutnya memecah fibrinogen menjadi
fibrin.
Bleeding Time
Bleeding time (BT) menilai kemampuan darah untuk membeku setelah adanya luka atau
trauma, dimana trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk
bekuan. Prinsip pemeriksaannya adalah mengukur lamanya waktu perdarahan setelah insisi
standart pada lengan bawah atau cuping telinga. Bleeding time digunakan untuk pemeriksaan
penyaring hemostasis primer atau interaksi antara trombosit dan pembuluh darah dalam
membentuk sumbat hemostatik, pasien dengan perdarahan yang memanjang setelah luka,
pasien dengan riwayat keluarga gangguan perdarahan.
Pemeriksaan BT dapat dilakukan dengan metoda Ivy , yaitu dilakukan insisi dengan lanset
sepanjang 10 mm dan kedalaman 1 mm di lengan bawah kemudian setiap 30 detik darah
dihapus dengan kertas filter sampai perdarahan berhenti, atau dengan metoda Duke dengan
cara yang sama insisi di lokasi cuping telinga sedalam 3-4 mm.
BT memanjang pada gangguan fungsi trombosit atau jumlah trombosit dibawah 100.000/
mm3. Pemanjangan BT menunjukkan adanya defek hemostasis, termasuk didalamnya
trombositopenia (biasanya dibawah 100.000/ mm3), gangguan fungsi trombosit heriditer,
defek vaskuler kegagalan vasokonstriksi), Von Willebrand's disease, disseminated
intravascular coagulation (DIC), defek fungsi trombosit (Bernard-Soulier disease dan
Glanzmanns thrombasthenia) , obat-obatan (aspirin/ ASA, inhibitor siklooksigenase,
warfarin, heparin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), beta-blockers, alkohol,
antibiotika) dan hipofibrinogenemia. Trombositopenia akibat defek produksi oleh sumsum
tulang menyebabkan pemanjangan BT lebih berat dibandingkan trombositopenia akibat
destruksi berlebih trombosit. Pasien dengan von Willebrands disease hasil BT memanjang
karena faktor von Willebrand merupakan trombosit agglutination protein. BT normal tidak
menyingkirkan kemungkinan terjadinya perdarahan hebat pada tindakan invasif.
Monitoring sangat penting pada terapi Heparin ok bila dosis tidak mencukupi untuk
menghambat koagulasi akan terbentuk bekuan darah di sepanjang pembuluh darah dan bila
dosis heparin berlebihan akan terjadi komplikasi perdarahan yang mangancam jiwa. Heparin
dosis tinggi diberikan sebelum, selama dan beberapa saat setelah operasi jantung Selama
operasi berlangsung, darah difiltrasi dan dioksigenasi diluar tubuh menggunakan mesin
jantung paru, dimana kontak darah dengan permukaan artifisial mesin akan memacu
koagulasi membentuk bekuan darah, dengan dosis tinggi Heparin akan mencegah
terbentuknya bekuan darah.
Indikasi pemeriksaan ACT adalah setelah pemberian dosis awal bolus Heparin, bedah jantung
terbuka (sebelum, selama dan beberapa saat setelahnya), tindakan kateterisasi jantung,
tindakan lain yang memerlukan antikoagulan dosis tinggi, pemeriksaan biasanya dilakukan
secara serial. ACT mengukur efek inhibisi Heparin terhadap koagulasi bukan konsentrasi
Heparin dalam darah.
Prinsip pemeriksaan ACT adalah mengukur waktu terbentuknya fibrin dengan cara interaksi
sampel darah dengan activating agent Kaolin pada alat, kemudian secara elektronik diukur
waktu terbentuknya serabut fibrin. Sampel darah dapat berupa whole blood atau darah sitrat.
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi hasil ACT adalah :
- Tidak dilakukannya pemanasan alat hingga 37 C
- Hipotermia
- Bahan kateter jantung dan clearing heparin flush
- Hemodilusi
- Jumlah dan fungsi trombosit
Trombosit yang teraktivasi selama operasi biasanya menjadi disfungsional
- Pemberian Protamine sulfate
- Keadaan tertentu misalnya antibodi lupus dan defisiensi faktor pembekuan darah
ACT diukur dalam satuan detik. Makin tinggi hasil ACT maka makin tinggi derajat inhibisi
pembekuan darah. Clotting time memanjang bila terdapat defisiensi berat faktor pembekuan
pada jalur intrinsik dan jalur bersama, misalnya pada hemofilia (defisiensi F VIIc dan F Ixc),
terapi antikoagulan sistemik (Heparin). Selama operasi CABG, ACT dipertahankan pada
batas bawah dimana pasien diharapkan tidak dapat membentuk bekuan darah. Setelah
operasi, ACT dipertahankan dalam batas 175-225 detik sampai keadaan pasien stabil. >br>
Masa Protrombin Plasma (PT)
Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses
pembekuan. Protrombin (F II) dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin untuk
membentuk bekuan darah.
Pemeriksaan PT digunakan untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan
jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin),
faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan
memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal.
PT diukur dalam detik. Dilakukan dengan cara menambahkan campuran kalsium dan
tromboplastin pada plasma. Tromboplastin dapat dibuat dengan berbagai metoda sehingga
menimbulkan variasi kepekaan terhadap penurunan faktor pembekuan yang bergantung pada
vitamin K dan menyebabkan pengukuran waktu protrombin yang sama sering mencerminkan
ambang efek antikoagulan yang berbeda. Usaha untuk mengatasi variasi kepekaan ini
dilakukan dengan menggunakan sistem INR (International Normalized Ratio). International
Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan tromboplastin jaringan
yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari WHO dimana
tromboplastin yang digunakan dikalibrasi terhadap sediaan baku atas dasar hubungan linier
antara log rasio waktu protrombin dari sediaan baku dengan dari tromboplastin lokal.
INR didapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian
dipangkatkan dengan ISI di mana ISI adalah International Sensitivity Index. Jadi INR adalah
rasio PT yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh bila tromboplastin baku WHO yang
digunakan, sedangkan ISI merupakan ukuran kepekaan sediaan tromboplastin terhadap
penurunan faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Sediaan baku yang pertama
mempunyai ISI = 1,0 ( tromboplastin yang kurang peka mempunyai ISI > 1,0). Dengan
demikian cara paling efektif untuk standardisasi pelaporan PT adalah kombinasi sistim INR
dengan pemakaian konsisten tromboplastin yang peka yang mempunyai nilai ISI sama.
INR digunakan untuk monitoring terapi warfarin (Coumadin) pada pasien jantung, stroke,
deep vein thrombosis (DVT), katup jantung buatan, terapi jangka pendek setelah operasi
misal knee replacements. INR hanya boleh digunakan setelah respons pasien stabil terhadap
warfarin, yaitu minimal satu minggu terapi. Standar INR tidak boleh digunakan jika pasien
baru memulai terapi warfarin untuk menghindari hasil yang salah pada uji. Pasien dalam
terapi antikoagulan diharapkan nilai INR nya 2-3 , bila terdapat resiko tinggi terbentuk
bekuan, iperluakn INR sekitar 2,5 3,5.
Bahan pemeriksaan PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah vena dengan
antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat harus
diperiksa dalam waktu selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel disentrifus
selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8 oC
menyebabkan teraktivasinya F VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein.
PT dapat diukur secara manual (visual), foto-optik atau elektromekanik. Teknik manual
memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan
dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis,
metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah
besar dengan cepat dan teliti.
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah
diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang
digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2.
Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru dari
kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (misalnya Neoplastine CI plus)
- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (misalnya
Thromborel S).
PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya
<30%. Pemanjangan PT dijumpai pada penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker
hati, ikterus), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated
intravascular coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN),
gangguan reabsorbsi usus. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat
mensintesis protrombin. Pemanjangan PT dapat disebabkan pengaruh obat-obatan : vitamin
K antagonis, antibiotik (penisilin, streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol, kanamisin,
neomisin, tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin,
klordiazepoksid, difenilhidantoin , heparin, metildopa), mitramisin, reserpin, fenilbutazon ,
quinidin, salisilat/ aspirin, sulfonamide. PT memendek pada tromboflebitis, infark
miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis, diuretik,
difenhidramin, kontrasepsi oral, rifampisin dan metaproterenol.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan PT adalah sampel darah membeku,
membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam, diet tinggi
lemak (pemendekan PT) dan penggunaan alkohol (pemanjangan PT) >br>
Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang
berfungsi sebagai pengganti trombosit factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan
dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acid, micronized silica atau celite. Reagen
komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal dari jaringan otak kelinci dengan
kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan
dengan aktivator micronized silica.
Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah
uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama,
yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin
antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF),
faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I
(fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant.
APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya
lebih dari 7 detik dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal.
Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan alat otomatis
(koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual
memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan
dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis,
metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah
besar dengan cepat dan teliti.
Prinsip dari pemeriksaan APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung
semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial
(fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite
koloidal). Penambahan kalsium akan memulai proses pembekuan (bekuan fibrin) dan waktu
yang diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin dicatat sebagai APTT.
Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat
3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi
silikon. Sampel disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan
dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu 20 5 oC. Jika dalam terapi heparin, plasma
masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20 5 oC kalau sampling dengan antikoagulan citrate.
Nilai normal uji APTT adalah 20 35 detik, bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung
pada peralatan dan reagen yang digunakan.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil APTT adalah :
- Bekuan pada sampel darah
- Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok
- Pengambilan sampel darah pada jalur intravena misal pada infus Heparin.
Pasien dengan APTT panjang dan PT normal memiliki kelainan dalam jalur koagulasi
intrinsik karena semua komponen uji aPTT kecuali koalin bersifat intrinsik terhadap plasma,
sedangkan pada PT panjang dan aPTT normal terjadi kelainan dalam jalur koagulasi
ekstrinsik terhadap plasma.
D- Dimer
D-Dimer adalah produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan
bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik. Pada proses pembentukan bekuan
normal, bekuan fibrin terbentuk sebagai langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil
katalisis oleh trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan melepaskan
fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B ( FPA dan FPB ). Fibrin monomer akan mengalami
polimerisasi membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh pengaruh faktor XIII akan
terjadi ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan
memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D-Dimer.
D-dimer digunakan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang
menyebabkan hiperkoagulabilitas, suatu kecenderungan darah untuk membeku melebihi
ukuran normal. Paling sering ditemukan pada trombosis vena dalam (DVT) yang
berhubungan dengan pembekuan darah di vena terutama di kaki yang menyebabkan
penyumbatan alirah darah di kaki sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan.
Keadaan ini dapat menimbulkan gumpalan kecil yang terpecah dan berjalan mengikuti aliran
darah menuju bagian lain di tubuh sehingga dapat menimbulkan emboli paru (PE). sebagai
positif. Pada sebagian besar kasus, bekuan darah terjadi di pembuluh vena, tetapi dapat juga
terjadi pada arteri. Kombinasi dari dua jenis trombosis ini diistilahkan dengan
tromboembolisme vena (VTE, venous thromboembolism). Bekuan darah pada arteri
koronaria dapat berasal dari aritmia jantung fibrilasi atrium atau kerusakan katup jantung
yang dapat berakibat heart attack. Bekuan dapat juga berasal dari kerusakan aterosklerosis,
pecahan bekuan menyebabkan emboli dan menyumbat arteri organ lain seperti otak (stroke)
dan ginjal.
Indikasi pemeriksaan D-dimer adalah pasien dengan gejala DVT , PE yang biasanya diikuti
pemeriksaan PT, APTT dan jumlah trombosit untuk mendukung diagnosis. D-dimer juga
dipakai untuk membantu melakukan diagnosis DIC , yang dapat timbul dari berbagai situasi
seperti pembedahan, gigitan ular berbisa, penyakit hati dan setelah melahirkan. Pada DIC,
faktor-faktor pembekuan darah diaktifkan secara bersamaan di seluruh tubuh sehingga
menyebabkan pembekuan darah di bagian tubuh yang dapat beresiko pendarahan berlebihan.
Kadar D-Dimer dalam batas nilai rujukan menunjukkan tidak terdapat penyakit atau keadaan
akut yang menyebabkan pembentukan dan pemecahan bekuan, karena tes ini mengukur
aktivitas fibrinolitik dalam darah. Peningkatan kadar D-Dimer menunjukan peningkatan
produksi fibrin degradation products (FDP), terdapat pembentukan dan pemecahan trombus
yang signifikan dalam tubuh tetapi tidak menunjukkan lokasinya. D-dimer meningkat pada
post-operasi, trauma, infeksi, post-partum, eklampsia, penyakit jantung, keganasan. Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer antara lain :
- Hasil negatif palsu pada terapi antikoagulan
- Hasil positif palsu pada usia tua, Rheumatoid factor, trigliserid tinggi, lipemia, bilirubin,
hemolisis sampel darah. Fibrinogen.
Fibrinogen (F I) adalah glikoprotein plasma terlarut yang disintesis oleh hepatosit dan
megakariosit. Fibrinogen sebagai prekursor fibrin, diubah menjadi fibrin oleh thrombin
dengan bantuan serine protease thrombin selama proses pembekuan. Fibrinogen dapat
membentuk jembatan diantara trombosit dengan cara berikatan dengan protein membran
GpIIb/ IIIa di permukaan trombosit. Indikasi pemeriksaan fibrinogen adalah bila dijumpai
abnormalitas PT dan APTT, kasus perdarahan yang belum diketahui penyebabnya,
monitoring progresifitas suatu penyakit (misalnya penyakit hepar) dan monitoring terapi DIC.
Fibrinogen dapat diukur dalam darah vena menggunakan sampel darah sitrate atau whole
blood bila menggunakan metode viscoelastic methods seperti thrombelastometry (fungsi
trombosit dihambat dengan cytochalasin D).
Peningkatan fibrinogen dijumpai pada infeksi akut atau kerusakan jaringan (perannya sebagai
protein fase akut), keganasan, infark miokard, stroke, inflamasi (arthritis rheumatoid,
glomerulonephritis), kehamilan, merokok sigaret, kontrasepsi oral, penggunaan preparat
estrogen. Hipertensi disertai peningkatan fibrinogen meningkatkan resiko stroke. Beberapa
klinisi melakukan pemeriksaan Fibrinogen disertai dengan C-reactive protein (CRP) untuk
menentukan resiko penyakit kardiovaskuler dan sebagai pertimbangan dalam menangani
faktor resiko lainnya seperti kolesterol dan HDL. Peningkatan fibrinogen yang berkaitan
dengan infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer disebabkan oleh peningkatan
viskositas, peningkatan koagulasi, peningkatan availabilitas untuk adhesi dan agregasi
trombosit.
Gangguan polimerisasi fibrin dapat diinduksi oleh infus plasma expanders yang berakibat
perdarahan hebat. Pada kasus dysfibrinogenemia, terdapat abnormalitas fungsi fibrinogen
dengan jumlah normal, hal ini disebabkan oleh mutasi gen yang mengontrol produksi
fibrinogen oleh hepar sehingga hepar memproduksi fibrinogen abnormal yang resisten
terhadap degradasi saat dikonversi menjadi fibrin. Dysfibrinogenemia dapat meningkatkan
resiko trombosis vena. Pasien dengan defisiensi fibrinogen atau gangguan polimerisasi
fibrinogen dysfibrinogenemia dapat mengalami perdarahan sehingga diperlukan koreksi
dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP), cryoprecipitate (plasma kaya fibrinogen) atau
konsentrat fibrinogen.
Thrombin time
Thrombin time (TT) diperoleh dengan menambahkan reagen thrombin ke plasma sitrate,
mengukur waktu sejak ditambahkannya thrombin sampai terbentuknya bekuan darah pada
suhu 37 oC, digunakan untuk mengetahui jumlah dan kualitas fibrinogen dan konversi
fibrinogen (soluble protein) menjadi fibrin (insoluble protein). Bila pasien dalam terapi
Heparin, digunakan reptilase sebagai pengganti thrombin (efek sama dengan thrombin tetapi
tidak dihambat oleh Heparin). Reptilase digunakan untuk identifikasi Heparin sebagai
penyebab pemanjangan TT.
Sampel darah untuk pemeriksaan menggunakan darah sitrat (vacutainer bertutup biru),
dengan pengisian darah sesuai agar tercapai ratio antikoagulant terhadap darah adalah satu
bagian antikoagulan per sembilan bagian darah. Nilai normal tergantung dari kadar thrombin
yang dipakai, umumnya kurang dari 22 detik, tergantung dari metode yang digunakan.
Prinsip pemeriksaan adalah perubahan transmisi cahaya (light transmittance changes), yaitu
penambahan agonist (aggregating agents) ke dalam PRP akan menginduksi terjadinya
agregasi trombosit sehingga transmisi cahaya melalui PRP meningkat. Agonist dapat berupa
ADP (yang umumnya dipakai), epinferin, kolagen, thrombin, ristocetin). Beberapa macam
obat yang dapat mempengaruhi hasil adalah : Aspirin, NSAID (Ibuprofen), antidepresi
tricyclic, antihistamin, beberapa antibiotika, plasma expander Dextran, Warfarin, beta-
blocker. Bila pasien mengkonsumsi obat tersebut, dianjurkan berhenti dua minggu sebelum
pemeriksaan.
Gangguan fungsi trombosit didapat disebabkan oleh penyakit kronis seperti gagal ginjal
(uremia), myeloproliferative disorders (MPDS), leukemia akut. Gangguan fungsi trombosit
yang bersifat sementara dijumpai pada konsumsi obat aspirin dan NSAID, setelah operasi
bypass jantung (CABG) yang berkepanjangan.
PENUTUP
Hemostasis merupakan kemampuan tubuh untuk menghentikan perdarahan dan berfungsi
menjaga keenceran darah sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik, serta
membentuk thrombus sementara pada dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
Telah dibahas mengenai faktor-faktor yang berperan dalam koagulasi, prinsip pemeriksaan
dan interpretasi hasil beberapa pemeriksaan koagulasi.
Diposkan oleh menik menik di 07:16
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook