Anda di halaman 1dari 29

BAB II

MELATONIN SEBAGAI NEUROPROTEKTIF PADA PENYAKIT


ALZHEIMER DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1 Penyakit Alzheimer

Penyakit Alzheimer atau Demensia Alzheimer (AD) merupakan suatu

sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan

deteorisasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi

sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (AAI, 2003). Penyakit Alzheimer

(AD) termasuk gangguan neurodegeneratif yang ditandai dengan kemunduran

fungsi kognitif progresif serta terdapatnya senile plaque (SP) ekstraseluler dari

agregat -amyloid (A) dan neurofibrillary tangles (NFT) intraseluler,

terutama protein hyperphosphorylated Tau (Lin et al, 2013). Menurut Goldstein

(2001), AD merupakan sejenis sindrom dengan ciri seperti apoptosis sel-sel

otak pada saat bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil

(Goldstein, 2001). Gambar 2.1. menunjukkan perbedaan gambaran otak pada

penderita Alzheimer.

Gambar 2.1 Gambaran Otak Penderita Alzheimer


(Sumber : Alzheimer Disease International Organization, 2010)

7

Penyakit Alzheimer (AD) merupakan gangguan neurodegeratif, yakni

golongan penyakit kronis dan progresif yang ditandai dengan kelainan khas

dan simetris pada saraf kognitif, motorik atau sensorik. Penyebab neurogenesis

pada AD belum dapat ditentukan, namun terdapat tiga proses utama yang

sering saling terkait, yaitu kerusakan yang dimediasi radikal bebas, disfungsi

mitokondria dan eksitoksisitas, dianggap mendasari mekanisme patofisiologis

menyebabkan kematian sel saraf (Cardinali et al, 2014).

Terdapat sejumlah faktor patogenesa penyakit Alzheimer (Pohjasvaara

et al, 1997), yaitu :

1. Faktor Genetik

Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus penyakit

Alzheimer diturunkan melalui gen autosomal dominan. Individu

keturunan garis pertama pada keluarga penderita Alzheimer mempunyai

risiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok

kontrol normal.

Pemeriksaan genetika DNA pada penderita Alzheimer dengan

familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21,

sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada

kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai

kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat

neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan marker

kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan

histopatologi pada penderita Alzheimer.

Hasil penelitian penyakit Alzheimer terhadap anak kembar

menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote.

Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyakit

8
Alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa

penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini

menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan

ekspresi genetika pada Alzheimer.

2. Faktor Infeksi

Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga

penderita Alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analyzed,

ternyata ditemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut

menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat,

kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob

Disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit Alzheimer.

Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain :

a. Manifestasi klinik yang sama

b. Tidak adanya respon imun yang spesifik

c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat

d. Timbulnya gejala mioklonus

e. Adanya gambaran spongioform

3. Faktor Lingkungan

Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat

berperan dalam patogenesa penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan

antara lain : aluminium, silikon, merkuri, dan zink. Aluminium

merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang

ditemukan NFT dan senile plaque. Hal tersebut di atas belum dapat

dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminium adalah penyebab

degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada

9

penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan ketidakseimbangan

merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.

Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan

depolarisasi melalui reseptor N-metyl D-aspartat sehingga kalsium akan

masuk ke intraseluler (cairan influks) dan menyebabkan kerusakan

metabolisme energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian

neuron.

4. Faktor Imunologis

Behan dan Felman (1970), melaporkan 60% pasien yang menderita

Alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan

albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli

dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan

bermakna dan meningkat dari penderita Alzheimer dengan penderita

tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang

sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor imunitas.

5. Faktor Trauma

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit

Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju

yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan

banyak NFT.

6. Faktor Neurotransmiter

Perubahan neurotransmiter pada jaringan otak penderita

Alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti :

a. Asetilkolin

Bartien (1982), mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik

neurotransmiter dengan cara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan

10
otak pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas

kolinasetil transferase, asetilkolin-esterase dan transport kolin serta

penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan

postsinaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis,

temporalis superior, nukleus basalis, hipokampus.

Kelainan neurotransmiter asetilkolin merupakan kelainan yang selalu

ada dibaningkan jenis neurotransmiter lainnya pada penyakit

Alzheimer, dimana pada jaringan otak atau biopsinya selalu

didapatkan kehilangan cholinergic marker. Pada penelitian dengan

pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan

berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung

hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.

b. Noradrenalin

Kadar metabolisma norepinefrin dan dopamin didapatkan menurut

pada jaringan otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian

dorsal lokus serules yang merupakan tempat yang utama

noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal

noradrenergik.

Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak

penderita Alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada

presinap neokorteks. Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi

noradrenalin menurun baik pada post dan ante mortem penderita

Alzheimer.

c. Dopamin

Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas

neurotransmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya

11

gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita Alzheimer.

Hasil ini masih kontroversi, kemungkinan disebabkan karena

potongan histopatologi regio hipothalamus setiap penelitian

berbeda-beda.

d. Serotonin

Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5-

hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita

Alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis.

Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi,

pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada

posterior paraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.

Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan

hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada

nukleus raphe dorsalis.

e. MAO (Monoamine Oksidase)

Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmiter

monoamin. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu

MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin dan sebagian

kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama

dopamin. Pada penderita Alzheimer, didapatkan peningkatan

MAO A pada hipothalamus dan frontalis, sedangkan MAO B

meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus

basalis.

12
Secara etiologi AD terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita

pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok

yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset (AAI,

2003). Klasifikasi AD dapat dilihat pada Tabel 2.1..

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Alzheimer

Berdasarkan
Umur : Gejala Klinik & Anatomis :

(a) Demensia senilis (a) Anterior :


onset > 65 tahun. (Frontal premotor cortex)
(b) Demensia presinilis Perubahan perilaku, kehilangan kontrol, anti
onset < 65 tahun sosial, reaksi lambat.
(b) Posterior :
(Lobus parietal dan temporal)
Gangguan kognitif seperti memori dan bahasa,
Level Kortikal : tanpa disertai gangguan perilaku.
(c) Subkortikal :
(a) Demensia kortikal Apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan
(b) Demensia subkortikal gerak.
(d) Kortikal :
Gangguan fungsi luhur, afasia, agnosia,
apraksia.

(Sumber : Sjahrir dkk, 1999)

2.2 Mekanisme Penyakit Alzheimer

Pada AD terdapat penurunan progresif fungsi kognitif, dengan kelainan

neurobehavioral lainnya seperti perilaku gelisah dan gangguan tidur berat.

Meskipun banyak studi yang dilakukan pada AD, etiologinya masih belum

diketahui. Banyak mekanisme termasuk peradangan kronis yang berhubungan

dengan pelepasan sitokin, neurotoksisitas dan radikal bebas diduga memiliki

kemungkinan sebagai faktor penyebab AD. Pengendapan plak amiloid pada

AD yang menyebabkan kematian sel dengan induksi stres oksidatif merupakan

mekanisme patogenik utama AD. Deposit protein A meningkat tergantung

flavo-enzim dalam H2O2 dan lipid peroksida yang meningkatkan produksi

7

radikal bebas. Protein -amyloid meningkat - diinduksi stres oksidatif dalam

hubungannya dengan penurunan dukungan neurotropik adalah penentu utama

dari AD. Studi yang dilakukan pada sampel otak post-mortem yang diperoleh

dari pasien AD telah menunjukkan lipid, protein dan DNA oksidasi yang luas.

Jaringan saraf pasien AD menunjukkan peningkatan tingkat peroksidasi-

produk akhir seperti malondialdehyde (MDA), 4-hidroksinonenal, karbonil dan

spesies lainnya. Meskipun A berkontribusi langsung atau tidak langsung

degenerasi neuronal, potensi untuk menyebabkan AD tergantung pada

kerentanan individu untuk toksisitas A-dimediasi (Srinivasan, 2012).

Mitokondria adalah tidak hanya sumber utama spesies oksigen reaktif

(ROS) tetapi juga target utama serangan oleh ROS dan spesies nitrogen reaktif.

Kerusakan rantai pernapasan mitokondria dapat menyebabkan kerusakan pada

potensial membran proton mitokondria, mitochondrial permeability transition

pore (mtPTP) dan induksi akibat apoptosis, yang mengarah ke generasi

selanjutnya dari radikal bebas dan menyebabkan siklus yang pada akhirnya

menyebabkan kematian sel baik oleh proses nekrotik atau apoptosis (Lenaz,

2001). Temuan dari sejumlah studi mengungkapkan keterlibatan produksi ROS

mitokondria dan kelainan mitokondria selanjutnya dalam patofisiologi AD.

Mitokondria superoksida (O2) produksi memainkan peran penting dalam

peristiwa patologis yang mengikuti peningkatan kadar peptida A. Perubahan

histopatologi dari AD, akumulasi yaitu ekstraseluler dari oligomer dan fibrillar

A peptida dan NFT intraseluler menginduksi defisit fungsional kompleks

rantai pernapasan mitokondria dan, dengan demikian, mengakibatkan disfungsi

mitokondria dan ditingkatkan stres oksidatif (Muller et al, 2010).

Hipotesis amiloid cascade diusulkan oleh Hardy dan Selkoe (2002)

menunjukkan metabolisme rusak protein prekursor amiloid sebagai acara

8
pemulai dalam patogenesis AD. Apakah ekstraseluler A - diinduksi kerusakan

mitokondria adalah peristiwa yang memicu awal dalam AD adalah subyek

perdebatan sejak A muncul dalam mitokondria jauh sebelum munculnya

deposito A ekstraseluler. Enzim yang mentransfer A ke mitokondria telah

diidentifikasi sebagai kompleks translocases kedua membran luar (TOM) dan

membran dalam (TIM). Kehadiran intraselular A adalah salah satu alasan

utama untuk pengurangan konsumsi oksigen yang disebabkan oleh rantai

transpor elektron, karena A mengurangi aktivitas enzimatik kompleks rantai

pernapasan III dan IV. Beberapa mekanisme neurotoksik lainnya, seperti

pembentukan saluran ion yang memungkinkan peningkatan penyerapan

kalsium oleh mitokondria dan membuka mtPTP dengan penghambatan

berikutnya kompleks pernapasan, telah diusulkan untuk A - neurotoksisitas

yang diinduksi yang dimediasi melalui interaksi intramitokondrial. Fakta

bahwa A dapat menumpuk kedua intraseluler dan intramitokondria telah

dibuktikan oleh Rosales-Corral et al (2012), di mana injeksi intraserebral dari

fibrillar A disebabkan akumulasi A kedua intraseluler dan intramitokondria,

jauh di dalam krista, sehingga pendukung lainnya pandangan peneliti

akumulasi intramitokondria dari A. Selain menghambat mitokondria kegiatan

yang kompleks pernapasan pada pasien AD, gangguan dalam dinamika

mitokondria juga telah ditunjukkan. Ini termasuk gangguan dalam struktur

mitokondria, penurunan Dynamin - terkait peptida (Drp1) dan

ketidakseimbangan dalam fisi dan fusi, dengan kerusakan saraf akibat rugi

sinaptik (Rosales et al, 2012). Gangguan signifikan dari protein mitokondria

dan lipid juga terjadi setelah akumulasi intramitokondrial dari A, yang pada

gilirannya menyebabkan gangguan fungsional mitokondria dalam AD

(Srinivasan, 2012).

9

Protein terkait ditemukan di mtPTP, menyebabkan Cyp D translokasi

dari matriks ke membran dalam, yang mengakibatkan pembukaan mtPTP dan

pembengkakan mitokondria konsekuen, dengan berikutnya perubahan seluler

dan sinaptik. Kekurangan Cyp D telah ditunjukkan untuk melemahkan stres

oksidatif mitokondria A-diinduksi, sehingga mengurangi disfungsi sinaptik

A-terkait dan gangguan kognitif. Dari temuan ini jelas bahwa interaksi A

dan Cyp D adalah salah satu alasan utama untuk patologi mitokondria di AD.

Dengan demikian, aspek mitokondria dari AD berkaitan dengan A-diinduksi

generasi radikal bebas, tergantung eksitasi kalsium yang berlebihan dan

konsekuensinya bagi potensi membran mitokondria dan mtPTP semua harus

diperhitungkan untuk secara efektif mengatasi penyakit dengan terapi obat

yang cocok. Attenuation atau pencegahan stres oksidatif meningkat terlihat

pada pasien AD harus menjadi tujuan utama dari pengobatan strategis untuk

AD (Srinivasan, 2012).

2.3 Biosintesis dan Metabolisme Melatonin

Melatonin (5-metoksi-N-asetiltriptamin) adalah hormon derivat asam

amino triptofan yang diproduksi oleh kelenjar pineal dan bersifat sebagai

antioksidan (Brzezinski, 1997). Berdasarkan strukturnya melatonin bersifat

ampifilik, dan berbeda dengan antioksidan lain yang bersifat hidrofilik atau

lipofilik. Dengan kata lain, melatonin dapat larut dalam air dan lemak sehingga

dapat melewati sawar atau barrier fisiologis berupa lemak dan cairan tubuh

(Reiter, 2004). Berikut Gambar 2.2. menunjukkan struktur melatonin.

10
Gambar 2.2 Struktur Melatonin
(Sumber : Kaur et al, 2008)

Melatonin dihasilkan dari metabolisme asam amino triptofan. Triptofan

ditransportasikan secara aktif ke dalam sel pinealosit. Kemudian, enzim

triptofan hidroksilase (TRPH) mengkonversi triptofan menjadi 5-hidroksi

triptofan (5-OHTRP). Aktivitas enzim TRPH dapat dihambat oleh p-

klorofenilalanin, yaitu suatu asam amino yang menurunkan kadar serotonin di

kelenjar pineal. Enzim 5-hidroksi triptofan dekarboksilase (5-OHTRPD)

menghilangkan gugus karboksil terminal dari 5-OHTRP dan menyebabkan

terbentuknya serotonin. Aktivitas 5-OHTRPD di kelenjar pineal adalah yang

tertinggi dibandingkan dengan jaringan lain dan aktivitasnya tidak dipengaruhi

oleh irama sirkadian. Enzim serotonin N-asetil-transferase (SNAT)

menganalisis transfer gugus asetil dari asetil-koA ke serotonin sehingga

terbentuk N-asetilserotonin (NAS). Enzim hidroksindole-O-metiltransferase

(HIOMT) menganalisis gugus O-metilasi NAS untuk membentuk melatonin.

Tahap ini adalah tahap terakhir biosintesis melatonin. Aktivitas enzim SNAT

di kelenjar pineal terjadi selama 24 jam, tetapi pada saat malam hari aktivitas

enzim tersebut meningkat menjadi 20-100 kali dari pada siang hari.

Metabolisme dan biosintesis melatonin dirangkum seperti pada Gambar 2.2.

(Morera et al, 2009).

11

Melatonin (N-asetil-5-methoxytryptamine) disintesis dari serotonin, dan

karena itu akhirnya dari triptofan. Serotonin diasetilisasi untuk membentuk N-

acetylserotonin dengan tingkat membatasi enzim arlakylamine-N-

asetiltransferase (AA-NAT). N-acetylserotonin kemudian diubah menjadi

melatonin oleh enzim HIOMT. Gambar 2.3. menggambarkan biosintesis

melatonin. Setelah terbentuk, melatonin tidak disimpan dalam kelenjar pineal

tetapi berdifusi ke dalam darah kapiler dan CSF. Sebagai melatonin melewati

semua jaringan dengan mudah dan CSF nilai melatonin hampir 30 kali lebih

tinggi dibandingkan dalam darah, jaringan otak memiliki konsentrasi melatonin

lebih tinggi daripada jaringan lain dalam tubuh. Sementara melatonin jaringan

hanya menunjukkan variasi sirkadian moderat, beredar melatonin pameran

paling menonjol ritme sirkadian, dengan tingkat tertinggi terjadi pada malam

hari dan tingkat terendah pada siang hari di sebagian besar kelompok usia (10 -

70 tahun) (Srinivasan, 2012).

Beredar melatonin dimetabolisme terutama di hati di mana pertama

hidroksilasi pada posisi C6 oleh sitokrom P450 mono-oksigenase (CYP1A1

dan CYP1A2) dan, setelah itu, terkonjugasi dengan sulfat membentuk 6-

sulfatoxymelatonin (aMT6S). Di otak, melatonin dimetabolisme untuk

kynuramine derivatif N1-asetil-N2-formyl-5-methoxykynuramine (AFMK)

(Reiter, 2002). Sebuah diagram skematik yang menunjukkan metabolisme

melatonin tampak pada Gambar 2.4..

Melatonin terlibat dalam mengontrol berbagai fungsi fisiologis tubuh,

seperti koordinasi ritme sirkadian termasuk tidur-terjaga irama, regulasi tidur,

fungsi kekebalan tubuh, fungsi anti-oksidan, kontrol reproduksi, penghambatan

pertumbuhan tumor, dan kontrol suasana hati dan perilaku manusia dan ini

telah ditinjau. Melatonin berpartisipasi dalam banyak fungsi-fungsi ini dengan

12
bertindak melalui reseptor membran G-protein seperti MT1 dan MT2 melatonin

reseptor. Melatonin juga bekerja langsung pada sel-sel tanpa intervensi apapun

dari reseptor ini dengan mengikat kalmodulin. Meskipun tindakan radikal

bebas dari melatonin tidak melibatkan reseptor, tindakan stimulasi melatonin

pada pembentukan enzim antioksidan -glutamylcysteine synthase melibatkan

RZR / ROR reseptor (Srinivasan, 2012).

1.

2.

3.

4.

Gambar 2.3 Biosintesis Melatonin


(Sumber : Srinivasan, 2012)

13

Gambar 2.4 Diagram Metabolisme Melatonin di SSP
(Sumber : Srinivasan, 2012)

Antioksidan melatonin adalah kemampuannya dalam membersihkan

radikal bebas dan menginduksi ekspresi enzim antioksidan. Aktivitas dan

ekspresi enzim antioksidan seperti superoksid dismutase, katalase, glutation

peroksidase dan glutation reduktase meningkat karena melatonin (Subramanian

et al, 2007). Meskipun berat jaringan otak hanya 2% dari berat badan,

penggunaan energi jaringan otak mencapai 20% dari utilisasi energi tubuh.

Keadaan ini menyebabkan produksi ROS otak lebih banyak daripada jaringan

tubuh lain (Reiter et al, 2005). Terlebih lagi jaringan otak mengandung tinggi

asam lemak tidak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acid (PUFA) dan besi

non-heme yang rentan teroksidasi oleh radikal bebas. Kondisi patologis

berhubungan dengan penurunan kadar antioksidan nonenzimatik plasma dan

penurunan aktivitas enzim antioksidan. Melatonin diketahui mencegah

produksi inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Alonso et al, 2006).

Peningkatan ekspresi iNOS ini terjadi di berbagai jaringan sebagai respon

terhadap hipoksia dan berperan dalam memicu peningkatan produksi NO dan

14
ROS (Jung et al, 2000). Efek neuroprotektif melatonin pada penyakit alzheimer

dilaporkan melalui potensiasi antioksidan jaringan otak, seperti asam askorbat

dan menurunkan aktivasi nuclear factor kappa B (NFkB). Aktivasi NFkB

inilah yang selanjutnya berperan besar pada stres oksidatif (Feng et al, 2004).

NFkB aktif akan memicu produksi berbagai sitokin proinflamasi dan mikroglia

merupakan salah satu sel utama pembentuk berbagai sitokin (Yu et al, 2002).

Skema mekanisme aksi dari melatonin dapat dilihat pada Gambar 2.5..

Penyetelan
Pacemaker SSP: efek antirangsang,
melalui MT2
Sirkardian: menghindari Ca2+
suprachiasmatic Penghambatan berlebihan
nucleus melalui MT1

Peningkatan regulasi
Transmisi lansung
(melalui MT1, enzim antioksidan:
MT2, RZR/ROR, GSH peroksidase,
, dll) GSSH reduktase, -
glutamilsistein sintase,
Scavenging dari OH glc-6-P dehidroginase,
(+ O2-), CO3- (+ O2-), katalase, Mn- &
radikal kation organik CuZnSODs
(+ O2-), O3, NO, dll
Irama Terbuka:
Breeding Regulasi enzim
musiman prooksidan:
(hipotalamus dan Aktivasi (melalui NO sintase, lipogenase
organ lain yang MT1, MT2,
berhubungan RZR/ROR,
)
dengan Produksi oksidasi
reproduksi) primer, seperti Attenuation kebocoran
c3OHM, AFMK elektron mitokondria

AMK Penghambatan
langsung pembukaan
mtPTP
Sistem Imunitas:
sel B, sel T, sel
NK, thymocytes, Penurunan radikal
Penghambatan dan
SSTL
regulasi Pencegahan apoptosis bebas dan oksidan
siklooksigenase-2 lainnya

Gambar 2.5 Skema Mekanisme Aksi dari Melatonin


(Sumber : Cardinali et al, 2006)

Melatonin langsung beredar dalam aliran darah dan/atau cairan

serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) setelah diproduksi oleh kelenjar

pineal tanpa disimpan terlebih dahulu. Sebanyak 70% melatonin terikat

albumin untuk transportasi (Cardinali et al, 1972). Waktu paruh melatonin

adalah kurang lebih 30 menit, di mana 30 menit untuk pemberian melatonin


15

intravena dan 30-45 menit untuk pemberian melatonin per oral. Penelitian pada

penderita sakit kritis menunjukkan suplementasi melatonin per oral mengalami

penyerapan secara cepat. Melatonin serum meningkat dalam 5 menit dan

puncaknya terjadi 16 menit setelah suplementasi (Mistraletti et al, 2010). Studi

farmakokinetik pada hewan coba mendapatkan bahwa sekitar 500 mg

melatonin harus diberikan secara berkesinambungan setiap jam agar

peningkatan kadar melatonin serum tetap bertahan 10 kali lebih tinggi dari

kadar normal. Melatonin mengalami inaktivasi di hepar dengan dikonversi

menjadi 6-hidroksimelatonin (6HMT) oleh sistem enzim p-450-dependent

microsomal mixed-function. Sebagian besar 6HMT diekskresikan melalui urin

dan feses dalam bentuk konjugat sulfat 6-sulfatoksimelatonin (6SMT) dan

sisanya dalam bentuk glukoronid (Arendt, 1995). Gangguan fungsi hepar dan

ginjal dapat memengaruhi bersihan atau klirens melatonin. Metabolit utama

melatonin adalah 6SMT, dan konsentrasi dalam urin mencapai 90% setelah

suplementasi melatonin (Viljoen et al, 1992).

2.4 Peran Melatonin pada Penyakit Alzheimer

Senile plaque ekstraseluler terutama dibentuk oleh deposit A dan NFT

intraseluler, terutama timbul dari hiperfosforilasi mikrotubulus abnormal

terkait protein (MAP) Tau adalah karakteristik patologis utama penyakit

Alzheimer. A memainkan peran penting dalam mempromosikan degenerasi

neuron pada penyakit Alzheimer beralih neuron rentan terhadap kenaikan

berhubungan dengan usia pada tingkat stres oksidatif dan metabolisme energi

sel diubah (Cardinali, 2014).

A terdiri oleh 39-43 residu asam amino yang berasal dari prekursor,

protein prekursor amiloid (APP). APP proteolitik diproses oleh - atau -

16
secretase di jalur yang berbeda. Jalur -non-amyloidogenic melibatkan

pembelahan APP oleh -secretase untuk melepaskan fragmen N-terminal dari

APP, yang setelah pembelahan oleh -secretase menghalangi pembentukan A.

Jalur -amyloidogenic termasuk -secretase, yang menghasilkan pembentukan

utuh A peptida dan dimediasi oleh pembelahan berurutan -secretase dan -

secretase di N dan C-terminal A urutan (Matsubara, 2003).

Melatonin menghambat tingkat normal sekresi APP larut dalam garis sel

yang berbeda bercampur dengan pematangan APP. Selain itu, administrasi

melatonin efisien mengurangi generasi A dan deposisi in vivo dan in vitro

(Lahiri, 2004). Umumnya, hasil transgenik di tikus mendukung pandangan

bahwa melatonin harus diberikan pada fase awal untuk mengatur APP dan

metabolisme A terutama dengan mencegah pembentukan mereka, dengan

sedikit efek anti-amyloid nanti. Dengan demikian, terapi melatonin pada tikus

Tg2576 tua mulai 14 bulan usia tidak bisa mencegah A deposisi tambahan

sementara perlakuan yang sama mulai bulan keempat usia efektif untuk

mengurangi itu (Quinn, 2005). Sebagai amiloid plak patologi biasanya terlihat

pada 10 sampai tikus Tg2576 12-bulan-tua data menunjukkan kepada

efektivitas melatonin dalam mencegah pembentukan plak amiloid awal

daripada kemudian (Hsiao, 1996).

Bagaimana melatonin diberikannya efek penghambatan pada generasi A

tetap tidak terdefinisi. Pembelahan proteolitik APP oleh -secretase jalur diatur

oleh banyak rangsangan fisiologis dan patologis khususnya melalui protein

kinase (PK) C aktivasi dan secretase-dimediasi pembelahan APP.

Penghambatan sintase kinase-glikogen 3 (GSK-3) dan peningkatan regulasi c-

Juni hasil kinase N-terminal di aktivitas tinggi metaloproteinase matriks

dengan meningkatnya degradasi A (Donnelly, 2008). Aktivitas insulin-

17

merendahkan enzim (IDE) yang mengatur kadar insulin, A dan APP, menurun

setelah A peningkatan. GSK-3 berinteraksi dengan-Presenilin 1, kofaktor dari

-secretase, fosforilasi GSK-3 oleh PKC yang mengarah ke y-secretase

inaktivasi. Memang, GSK-3 bisa menjadi salah satu jalur sinyal umum,

meningkatkan A generasi dan tau hyperphosphorylation, dan melatonin bisa

mengatur pengolahan APP melalui PKC dan GSK-3 jalur (Gambar 2.5) (Farris,

2003). Gambar 2.6. menerangkan pengaruh melatonin pada gangguan sinyal

insulin otak pada penyakit Alzheimer.

Gambar 2.6 Pengaruh melatonin pada gangguan sinyal insulin otak pada penyakit
Alzheimer.
(Sumber : Cardinali, 2014)

Melatonin berinteraksi dengan A40 dan A42 dan menghambat

progresif -sheet dan / atau fibril amiloid. Interaksi antara melatonin dan A

18
tampaknya tergantung pada karakteristik melatonin struktural daripada sifat

antioksidannya, karena tidak bisa menirukan oleh pemulung radikal bebas

lainnya. Dengan menghalangi pembentukan lembaran sekunder, melatonin

tidak hanya mengurangi neurotoksisitas tetapi juga memfasilitasi peptida izin

meningkatnya degradasi proteolitik, misalnya, oleh IDE (Poeggeler, 2001).

Stres oksidatif memainkan peran sentral dalam A-diinduksi

neurotoksisitas dan kematian sel. Mengumpulkan dukungan data yang

melatonin secara efektif melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif A-

diinduksi dan kematian sel in vitro dan in vivo (Rosales-Corral, 2012). Dalam

sel dan hewan yang diberi A, melatonin bisa mengerahkan aktivitas pelindung

melalui efek antioksidan, sedangkan pada sel APP transfected dan model

hewan transgenik, mekanisme yang mendasari mungkin melibatkan terutama

penghambatan generasi -lembar dan / atau fibril amiloid. Agregat A

menghasilkan ROS yang menghasilkan kematian neuronal melalui kerusakan

lipid membran neuronal, protein dan asam nukleat. Perlindungan dari toksisitas

A oleh melatonin, terutama di tingkat mitokondria (Dragicevic, 2011).

Hiperfosforilasi Tau mengurangi kapasitas Tau untuk mencegah

perubahan mikrotubulus dan gangguan sitoskeleton terjadi kemudian. Luasnya

patologi neurofibrillary berkorelasi dengan keparahan demensia pada pasien

penyakit Alzheimer. Tingkat Hiperfosforilasi Tau adalah tiga sampai empat

kali lebih tinggi di otak pasien penyakit Alzheimer dari dalam otak orang

dewasa normal (Iqbal et al, 2005).

Melatonin efisien melemahkan Hiperfosforilasi Tau dengan

mempengaruhi protein kinase dan fosfatase di sejumlah model eksperimental

termasuk paparan dari N2a dan sel SH-SY5Y neuroblastoma untuk

Wortmannin, calyculin A, dan asam okadaic (Xiong, 2011). Melatonin juga

19

antagonis stres oksidatif yang diberikan oleh agen ini. Penghambatan

melatonin biosintesis pada tikus tidak hanya mengakibatkan gangguan memori

spasial, tetapi juga disebabkan peningkatan fosforilasi Tau, efek dicegah

dengan suplementasi melatonin (Zhu et al, 2004).

Stres oksidatif diketahui mempengaruhi Tau fosforilasi. Akumulasi gagal

melipat dan protein dikumpulkan dalam neuron otak penyakit Alzheimer

dianggap sebagai konsekuensi dari stres oksidatif, selain perubahan struktural

molekul karena usia (Kenyon, 2010). Sebagai melatonin mencegah, sebagai

antioksidan dan scavenger radikal bebas, kelebihan produksi radikal bebas,

tampaknya layak bahwa pencegahan Tau fosforilasi oleh melatonin sebagian

terjadi karena aktivitas antioksidannya. Selain beberapa studi menunjukkan

melatonin dapat bertindak sebagai modulator enzim dengan cara yang tidak

berhubungan dengan sifat antioksidan. Ini termasuk peraturan oleh melatonin

dari PKA, PKC, Ca2+/-kalmodulin bergantung kinase II dan mitogen-diaktifkan

protein kinase (Chan et al, 2002).

Merupakan faktor penting dalam patogenesis penyakit Alzheimer adalah

aktivasi mikroglia menghasilkan tingkat yang lebih tinggi dari ekspresi sitokin

proinflamasi. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa penggunaan obat anti-

inflamasi mengurangi timbulnya penyakit Alzheimer. Aktivasi mikroglia A-

diinduksi merupakan sumber utama dari respon inflamasi. Melatonin

dilemahkan produksi sitokin proinflamasi yang diinduksi oleh A, NFkB, dan

NO dalam otak tikus. Selain itu, kegiatan mengikat DNA dari NFkB dihambat

oleh melatonin (Lau et al, 2012).

Peristiwa besar lain dalam patogenesis penyakit Alzheimer adalah defisit

dalam fungsi kolinergik. Neuron di nucleus basalis dari Meynert, sumber

utama persarafan kolinergik ke korteks serebral dan hippocampus, menjalani

20
degenerasi mendalam dan selektif dalam otak penderita Alzheimer. Kadar

asetilkolin (Ach) berkurang pada tahap awal penyakit Alzheimer sedangkan

kegiatan sintesis dan degradasi enzim acetyltransferase kolin (chatting) dan

acetylcholinesterase (AChE) tidak berubah sampai fase akhir dari penyakit

Alzheimer. Sebagai penurunan aktivitas chatting di neokorteks pasien

Alzheimer berkorelasi dengan keparahan demensia, inhibitor AChE telah

menjadi pengobatan standar ringan sampai sedang penyakit Alzheimer

(Spencer et al, 2010).

Melatonin memiliki efek perlindungan pada sistem kolinergik. Ini

mencegah inhibisi induksi peroxynitrite transportasi kolin dan aktivitas

chatting di synaptosomes dan vesikula sinaptik. Melatonin pengobatan delapan

bulan-tua APP695 tikus transgenik secara signifikan meningkatkan

pengurangan besar dalam aktivitas chatting di korteks frontal dan hipokampus.

Melatonin juga antagonizes defisit memori spasial dan aktivitas chatting

menurun ditemukan pada tikus diovariektomi dewasa (Feng et al, 2004).

Namun, pada tikus perfusi intracerebroventricularly dengan A selama 14

hari, melatonin tidak dapat mengembalikan aktivitas. Melatonin menghambat

peningkatan lipopolysaccharide dan streptozotocin diinduksi dalam kegiatan

AChE. Baru-baru hibrida dari tacrine AChE inhibitor dan melatonin disintesis

sebagai calon obat baru untuk mengobati penyakit Alzheimer. Hibrida ini

menunjukkan aktivitas antioksidan dan kolinergik-melestarikan lebih baik dari

tacrine atau melatonin sendiri. Administrasi intraserebral langsung salah satu

hibrida ini menurun disebabkan kematian sel dan A beban di APP / PS1

parenkim otak tikus disertai dengan pemulihan fungsi kognitif (Spuch et al,

2010).

21

Ada minat yang tumbuh dalam peran gangguan sinyal insulin otak di

penyakit Alzheimer patologi. Gangguan insulin otak / insulin-like growth

factor 1 (IGF-1) signaling telah disarankan untuk menjadi peristiwa yang

mendasari penyebab penyakit Alzheimer kunci, yang terkait dengan

keberadaan kedua senile plaque dan neurofibrillary tangles. Pandangan ini,

bagaimanapun, tidak universal diadakan. Reseptor terganggu insulin / insulin

(IR) sinyal mengarah ke penurunan aktivasi insulin-dimediasi phosphoinositide

3-kinase (PI-3K) / Akt aktivitas sinyal, sehingga overactivation dari GSK-3

yang secara langsung mempromosikan Hiperfosforilasi Tau dan akumulasi A

dan pembentukan plak senile (Gambar 2.6). Aktivitas IDE, yang mengatur

tingkat insulin, A dan APP, menurun setelah A deposisi (Farris et al, 2003).

Administrasi melatonin dilaporkan mengurangi tanda-tanda sindrom

metabolik, seperti hiperglikemia, dislipidemia, hiperinsulinemia, resistensi

insulin, berat badan, dan hipertensi. Melatonin mengembalikan mekanisme

reseptor insulin / insulin dan meningkatkan phosphoinositide 3-kinase / Akt

aktivitas sinyal dengan penghambatan resultan dari GSK-3 dan kurang

akumulasi A dan Hiperfosforilasi Tau. Selain itu, gangguan sinyal insulin

menyebabkan penurunan glukosa transporter-1 (GLUT-1) dan -3 (GLUT-3)

ekspresi, yang berpuncak pada gangguan otak penyerapan glukosa /

metabolisme, acara lain menetral oleh melatonin. Metabolisme glukosa

neuronal dipulihkan menambah tau N-asetilglukosamin asilasi, sehingga

mengurangi Hiperfosforilasi Tau (Gambar 2.6) (Cardinali et al, 2013).

Gambar 2.7. merangkum target utama mungkin bagi obat pada penyakit

Alzheimer. The Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya

inhibitor AChE dan N-methyl-D-aspartat (NMDA) receptor blockers untuk

penggunaan klinis. Seperti dibahas di atas, melatonin memiliki properti unik

22
untuk mempengaruhi semua mekanisme fisiopatologis digambarkan dalam

Gambar 2.7. Oleh karena itu, potensinya sebagai neuroprotektor pada penyakit

Alzheimer perlu untuk dieksplorasi.

Gambar 2.7. Potensi Melatonin Sebagai Terapi Penyakit Alzheimer.


(Sumber : Cardinali, 2014)

2.5 Melatonin sebagai Neuroprotektif pada Penyakit Alzheimer

Melatonin merupakan neuroprotektif pada penyakit Alzheimer karena

perannya sebagai antagonis stres oksidatif. Melatonin memiliki efek sebagai: 1)

antioksidan, termasuk pengaruh pada metabolisme mitokondria; 2)

antifibrillogenic; 3) sitoskeletal, termasuk penindasan Hiperfosforilasi protein.

Meskipun tindakan ini diamati pada konsentrasi farmakologis, relevansi

temuan ini dapat dihargai jika kita menganggap tingkat yang relatif tinggi

23

sekresi melatonin dalam CSF, penyerapan ke dalam jaringan otak dan

metabolisme melatonin menjadi senyawa saraf lain seperti kynuramines

AFMK dan AMK (Srinivasan, 2012). Melatonin telah terbukti untuk mencegah

kematian sel-sel neuroblastoma terkena beta-amyloid polipeptida. Ini didirikan

oleh karya perintis dari kelompok riset Pappolla ini. Menggunakan sel

neuroblastoma murine (N2a), Pappola et al (1997), pertama menunjukkan

bahwa ko-inkubasi sel neuroblastoma dengan amiloid- polipeptida dan

melatonin secara signifikan mengurangi beberapa fitur apoptosis, termasuk

penyusutan seluler dan pembentukan blebs membran (Srinivasan, 2012).

Studi terbaru menunjukkan bahwa astrosit apoptosis astrositik

berkontribusi pada patogenesis AD. Astrosit pameran Tau fosforilasi dan

aktivasi kinase stres, seperti yang terlihat dalam AD patologi saraf. Mereka

juga memproduksi apolipoprotein- E4 (ApoE4), memperparah -amyloid efek.

-amyloid protein dan astrosit-neuron interaksi mempotensiasi degenerasi saraf

AD. Selama interaksi dengan A, astrosit kehilangan kontrol atas glial

produksi NO, sehingga membentuk peroxynitrate neurotoksik. Pengobatan sel

astroglioma C6 dengan melatonin secara efektif mencegah peningkatan

produksi NO yang diinduksi oleh A (Feng et al, 2004).

Beberapa model hewan AD telah digunakan untuk mempelajari

antioksidan mungkin dan tindakan antiapoptosis melatonin dalam menangkap

lesi saraf. Asam okadaic menginduksi perubahan fisiologis dan biokimia mirip

dengan yang terlihat di AD. Peningkatan kadar 4-hidroksinonenal (produk dari

peroksidasi lipid) dalam sel neuron berbudaya (sel SY5Y) telah ditemukan

setelah pemberian asam okadaic. Dengan pemberian antioksidan seperti

vitamin C atau melatonin, efek asam Okadaic pada NIE 115 sel neuron secara

efektif mencegah. Melatonin ditemukan unggul vitamin C dalam penelitian ini,

24
karena tidak hanya mencegah kerusakan radikal bebas diinduksi dengan

efisiensi yang lebih besar tetapi juga meningkatkan glutathione-S transferase

dan glutation reduktase enzim, yang tidak jelas dengan vitamin C (Montila-

Lopez, 2002). Dalam model tikus APP695Tg, plak senile muncul di korteks

serebral sedini di usia 8 bulan. Tikus-tikus ini menampilkan manifestasi

perilaku dan gangguan memori seperti yang terlihat pada pasien AD.

Administrasi melatonin (10 mg / kg) defisit belajar dan memori dikurangi dan

juga mengurangi jumlah neuron apoptosis (Srinivasan, 2012).

Melatonin tidak hanya mengurangi beberapa fitur apoptosis, seperti

penyusutan seluler, dan pembentukan blebs membran seperti yang dibahas

dalam paragraf sebelumnya, tetapi juga diberikannya tindakan antiamyloid

melalui beberapa mekanisme. A oleh di ducing kerusakan stres oksidatif

DNA mitokondria, membentuk karbonil protein, menginduksi peroksidasi lipid

dan merusak struktur membran mitokondria dan respirasi dan memecah

potensial membran mitokondria. Setiap tindakan ini yang menghasilkan

disfungsi mitokondria dicegah dengan pemberian melatonin. Melatonin juga

menghambat pembentukan fibril amiloid, seperti yang ditunjukkan oleh teknik

yang berbeda. Kedua A1-40, dan peptida A1-42 secara efektif menghambat

(Cheng, 2005). Sebuah analog struktural melatonin, asam yaitu indole-3-

propionat, tidak hanya saham melatonin ini aktivitas radikal pembilasan tetapi

juga menunjukkan setara atau bahkan lebih tinggi antifibrillogenic aktivitas

(Poeggeler, 1999). Lipoprotein termasuk kolesterol dan apolipoprotein subtipe

dapat memodulasi Fibrillogenesis. Melatonin telah terbukti untuk membalikkan

aktivitas profibrillogenik dari apolipoprotein E4 dan memusuhi kombinasi

neurotoksik dari A dan ApoE4 atau apoE3. Salah satu wujud lain dari AD

sebagai belajar di eksperimental model AD adalah ekspresi dari hiper protein

25

phosphosphorylation dan sitoskeletal disorganisasi didorong oleh glikogen

sintase kinase 3 (GSK-3), tapi melatonin juga terbalik GSK-3 aktivasi,

menunjukkan bahwa melatonin sehingga tak hanya bertindak sebagai

antioksidan, tetapi juga mengganggu dengan sistem fosforilasi, terutama

menekankan kinase. Melatonin telah dilemahkan Hiperfosforilasi Tau

disebabkan oleh Wortmannin. Tyrosine kinase (trk) reseptor, elemen penting

dari sistem fosforilasi dan neurotrophin, yang terpengaruh oleh A dan

oxidotoxin lainnya. Dalam sel neuroblastoma, melatonin dinormalisasi trk dan

neurotrophin ekspresi (Reyes-Toso, 2003). Gambar 2.8. dan Tabel 2.2.

menerangkan mekanisme neuroprotektif melatonin pada penyakit Alzheimer

(AD).

Amiloid protein- deposisi pada saraf

Pembentukan fibril amiloid

AKSI
MELATONIN Peningkatan stres oksidatif sel saraf

Peningkatan peroksidasi Oksidasi DNA Peningkatan protein hiper


lipid fosforilasi

Kematian Sel Saraf

(apoptosis atau nekrosis)

Gambar 2.8. Patofisologi Penyakit Alzheimer & Aksi Neuroprotektif Melatonin


(Sumber : Srinivasan, 2012)

26
Tabel 2.2. Ringkasan Efek Melatonin pada Penyakit Alzheimer

Mekanisme

(1.) Penghambatan deposit protein amiloid-


(2.) Menghambat pembentukan fibril amiloid
(3.) Menghambat radikal bebas yang disebabkan oleh protein
amiloid-
(4.) Menghambat reaksi peroksidasi lipid dalam jaringan saraf
(5.) Menekan protein hiperfosforilasi
(6.) Mengaktifkan GSK-3 (glikogen sintase kinase)
(7.) Mencegah disorganisasi sitoskeletal
(8.) Meningkatkan kualitas tidur pada pasien AD, sehingga
menghambat neurodegenerasi

(Sumber : Srinivasan, 2012)

Kelainan mitokondria dalam AD telah dibahas dalam paragraf

sebelumnya. Peran saraf melatonin dalam AD tidak hanya tergantung pada

tindakan radikal, tetapi juga pada tindakan tambahan, termasuk melindungi

membran mitokondria dan DNA mitokondria dari penghinaan oksidatif,

stimulasi glutathione (GSH) sintesis, pengurangan teroksidasi glutathione

(GSSG) tingkat dan pemeliharaan dari mitokondria elektron fluks (Lenaz,

2001). Rantai transpor elektron (ETC) merupakan sumber utama reaktif spesies

oksigen (ROS) dalam sel. Kompleks I dan III dari ETC telah diidentifikasi

sebagai dua lokasi utama anion superoksida (O2) generasi. Sementara banyak

dari O2 dilepaskan dari kompleks III ke kedua sisi membran dalam, besi-sulfur

klaster N2 kompleks saya muncul menjadi situs utama rilis O2 untuk matriks.

The O2 sehingga terbentuk dibuang oleh beberapa jalur. Sebagian dari itu

kembali menyumbangkan elektron ke-dll di sitokrom c. Fraksi lain diubah

menjadi H2O2 dan O2 oleh mitokondria Mn yang mengandung subform oksida

dismutase super (MnSOD) (Genova et al, 2005). Sebuah fraksi ketiga

menggabungkan O2 dengan NO menimbulkan peroxynitrite, sumber tambahan

27

protein yang merusak. Tindakan mitokondria melatonin ini berlangsung dalam

organel. Melatonin, yang memiliki amphilicity seimbang, melintasi membran

sel dengan mudah dan terkonsentrasi dalam kompartemen subselular (Martin et

al, 2002). Efek melatonin pada fluks elektron memiliki dua aspek. Pertama,

meningkatkan aktivitas mitokondria kompleks pernafasan Aku dan IV dalam

waktu cara yang tergantung. Ini efek dari melatonin, yaitu peningkatan

kapasitas transpor elektron di mitokondria, luar biasa sebagai efek ini diamati

pada tikus dengan percepatan penuaan (Jou et al, 2004). Sebagai tambahan dari

ini, proses lainnya perturbing potensial membran mitokondria seperti kalsium

yang berlebihan juga diantagonis oleh melatonin. Melatonin telah terbukti

untuk mencegah kalsium yang berlebihan dan menetral runtuhnya potensial

membran mitokondria yang disebabkan oleh H2O2, dan juga menghambat

pembukaan mtPTP, sehingga mencegah terjadinya apoptosis. Ringkasan saraf

melatonin ini tindakan pada fisiologi mitokondria dan metabolisme disajikan

pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.9.. Melatonin juga mengaktifkan jalur sinyal,

yaitu Bcl-2 jalur yang menstabilkan fungsi mitokondria oleh antiapoptotic Bcl-

2 keluarga modulator. Melatonin ditingkatkan Bcl-2 ekspresi dengan

penghambatan akibat kematian sel A-diinduksi (Aliev et al, 2009). Caspase-3

diketahui secara langsung terkait dengan pelepasan sitokrom c dan terkait

dengan kematian sel di AD, dan ini turun diatur oleh melatonin. Dengan

demikian, faktor-faktor penginduksi apoptosis dibebaskan selama kerusakan

mitokondria secara efektif dihambat oleh melatonin melalui berbagai

mekanisme, sehingga mencegah kematian sel saraf terlihat pada AD (Gracia et

al, 2010).

28
Akumulasi amiloid- intramitokondria

Peningkatan radikal bebas pada


mitokondria

Penggelembungan intramitokondria

AKSI Pengoksidasian lipid, protein, DNA


MELATONIN pada mitokondria

Pembukaan mitochondrial transition pores


(mt PTP)

Penurunan kompleks enzim respirasi


III & IV

Penurunan konsumsi oksigen

Kematian Sel (nekrosis atau apoptosis)

Menghambat Merangsang

Gambar 2.9. Efek Melatonin pada Patofisiologi Mitokondria AD


(Sumber : Srinivasan, 2012)

Tabel 2.3. Ringkasan Fisiologis & Efek Metabolik Melatonin pada Disfungsi
Mitokondria terkait Amiloid-B di Jaringan Saraf

Mekanisme

(1.) Mencegah efek intramitokondria (efek amiloid-)


(2.) Mencegah pembukaan pori-pori mitokondria transisi
(3.) Meningkatkan kegiatan yang kompleks enzim pernapasan
mitokondria
(4.) Perlindungan elektron mengalir melalui rantai transpor
elektron
(5.) Meningkatkan intramitokondria GSH pool
(6.) Mencegah peroksidasi lipid intramitokondria
(7.) Mencegah oksidasi DNA mitokondria
(8.) Meningkatkan sintesis ATP
(9.) Mencegah kematian sel oleh efek nekrotik atau efek apoptosis

(Sumber : Srinivasan, 2012)

29

Anda mungkin juga menyukai