Inilah
Alasan Mengapa Hari Sabat Harus Dikuduskan
2. Sabat bayangan?
Beberapa orang dari kalangan Kristen mempunyai pemahaman bahwa
hari Sabat merupakan bayangan atau lambang, dan mrngatakan bahwa
hari Sabat itu telah digenapi oleh Yesus Kristus di kayu salib. Walau
pemahaman ini berkembang begitu luas di kalangan Kristen, namun
MAHK mempunyai pemahaman yang berbeda dalam hal ini.
1[1] Penafsiran yang salah ini sesungguhnya menyimpang dari maksud pengudusan hari Sabat
yang benar, ketika Yesus melakukan hal-hal yang penting, seperti menyembuhkan orang sakit
(Matius 12:9-15a; Yohanes 5:1-18), memetik gandum (Matius 12:1-8), yang oleh orang Yahudi
merupakan sesuatu yang dilarang, termasuk menyuruh seorang yang sudah 38 tahun menderita
sakit di kolam Betesda untuk memikul tilamnya pada hari Sabat. Tindakan Yesus untuk
membersihkan hari Sabat dari noda-noda tambahan para rabi ini, dianggap oleh orang Yahudi
sebagai sebagai peniadaan Sabat atau mengurangi kwalitas kekudusannya, sehingga mereka
berupaya untuk membunuh-Nya.
Alkitab secara jelas membedakan hari Sabat, hari ketujuh, dari hari-hari
sabat Yahudi. Sementara hari Sabat, hari ketujuh adalah milik Tuhan dan
sifatnya kekal, maka hari-hari sabat Yahudi hanyalah merupakan
bayangan atau lambang, yang melambangkan Kristus. Ada tujuh sabat
dalam setahun (sabat tahunan) yang berhubungan dengan upacara
agama Yahudi, yaitu Paskah, Roti Tak Beragi, Hulu Hasil, Pentakosta,
Meniup Serunai, Pendamaian, serta Pondok Daun. Hari-hari raya ini
berhubungan dengan upacara kaabah, dan sabat-sabat tahunan ini jatuh
pada hari tertentu pada bulan tertentu, dan kadang bertepatan dengan
hari Sabat, hari ketujuh pada pekan. Jika hari-hari sabat Yahudi ini jatuh
bertepatan dengan hari Sabat, hari yang ketujuh, maka hari sabat ini
disebut Sabat agung; rasul Yohanes menyebutnya Sabat hari yang
besar (Yohanes 19:31). Selain hari-hari raya Yahudi yang disebut sabat,
ada juga tahun sabat (Imamat 25).
Sabat-sabat perayaan ini, dengan seluruh korban persembahan khusus,
menunjuk ke depan, kepada satu korban untuk semua, yaitu Yesus Kristus
sebagai domba Allah yang mengangkut dosa isi dunia (Yohanes 1:29),
dan sebagai domba Paskah (1Korintus 5:7), kematian-Nya terjadi tepat
pada hari Paskah (tanggal 14 Nisan) yang jatuh pada hari Jumat, yang
mana untuk bertahun-tahun lamanya kematian-Nya ini telah dilakonkan
dalam bentuk lambang atau bayangan, dengan mengorbankan domba-
domba yang tidak bercacat dan bercela, dan kebangkitan-Nya terjadi
bertepatan dengan hari raya Hulu Hasil (16 Nisan), ketika Ia bangkit
sebagai hulu hasil dari antara mereka yang tidur (1Korintus 15:20, 23).
Kebangkitan-Nya itu adalah bukti bahwa Ia telah mengalahkan maut. Ia
menggenapi persis seperti yang dipraktekkan melalui lambang, baik
kematian-Nya, selama Ia di dalam kubur, dan kebangkitan-Nya. Hari-hari
sabat bayangan ini berakhir untuk selamanya di kayu salib, ketika
lambang bertemu dengan wujud yang dilambangkannya. Namun hal ini
tidak dapat mempengaruhi hari Sabat, hari ketujuh, karena memang tidak
pernah dirancang oleh Allah untuk menjadi lambang.2[2]
2[2] Hal ini benar, karena di dalam buku Imamat, terdapat perbedaan yang jelas antara Sabat hari
ketujuh dan sabat-sabat Yahudi, dengan menggunakan kata Sabatmu (Imamat 23:32), yang
secara pasti berbeda dengan Sabatku (Yehezkiel 20:12, 20), hari kudusku dan hari kudus
TUHAN (Yesaya 58:13), dan hari yang ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu (Keluaran 20:19).
bebas dari beban dosa dan akibatnya. Yesus dan suatu hari untuk
beristirahat dan bebas dari beban dosa dan akibatnya. Yesus
menguduskan hari Sabat selama kehidupan dan pelayanan-Nya di atas
dunia ini (Lukas 4:16) dan memberikan contoh bagaimana memelihara
hari Sabat dengan baik dan benar serta apa arti rohani dari hal itu,
termasuk berbuat baik pada hari Sabat, ketika suatu saat Ia sendiri
menyembuhkan orang pada hari Sabat (Matius 12:9-15a; Yohanes 5:1-8).
Mungkin anda bertanya, bagaimana dengan bunyi ayat Alkitab di dalam
Keluaran 31:14; 35:2, yang mengatakan bahwa orang yang melanggar
hari Sabat akan dihukum mati? Untuk jelasnya marilah kita membaca
ayat-ayat itu:
Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang
melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang
melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya
(Keluaran 31:14).
Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh
haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni Sabat hari perhentian penuh bagi T UHAN;
setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati (Keluaran
35:2).
Tentunya bunyi ayat ini sangat menakutkan bagi kebanyakan orang yang
membacanya. Penulis juga pernah ketakutan dengan ayat ini sebelum
saya mengerti maksudnya. Satu hal yang perlu kita pahami sehubungan
dengan bunyi ayat di atas ialah bahwa bunyi dari ayat ini merupakan
bahagian dari isi hukum sipil Israel, dan hukum sipil ini berlaku ketika
bangsa ini berada di bawah theocracy. Beberapa bahagian dari hukum
sipil tersebut berhubungan dengan Sabat, dan memerlukan hukum sipil
yang berat bagi mereka yang secara congkak menajiskan kekudusan hari
Sabat dengan mencari kayu bakar, dan bahkan tindakan yang lain.
Namun hukum sipil ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya
theocracy (kepemimpinan oleh Tuhan), sehingga tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa pengudusan hari Sabat adalah kelanjutan dari periode
ini.
3[3] Hari Sabat dikuduskan oleh gereja Celtic selambat-lambatnya pada abad keempat belas
(Andrew Lange, A History of Scotland, 1909, vol. I, hal. 96; dan hal yang sama juga dikatakan
oleh William F. Skene, Celtic Scotland, 1877, vol. 2, hal. 349.
4[4] Pada abad ketujuh belas Edward Brerewood, dari Gresham College, London A
Lerned Treatise of the Sabbath, 1630, hal. 349), meninggalkan catatan : (A Lerned Treatise of the
Sabbath, 1630, hal. 349), meninggalkan catatan :Sabat yang asli tetap dan dikuduskan oleh
orang Kristen Gereja Timur, lebih dari tiga ratus tahun setelah kematian Juruselamat kita.
Hal ini didukung oleh tuan William Domville (The Sabbath or an Examination of Six Texts, 1849,
vol. 1, hal. 291), dengan mengatakan:
Abad-abad dari era kekristenan telah berlalu sebelum hari Minggu dirayakan oleh orang Kristen
sebagai suatu Sabat.
Dan lagi, Lyman Coleman, seorang sejarawan dari Lafayette College (Ancient Christianity
Exemplified, 1852, fasal 26. bahagian 2), setuju dengan hal ini dan memberikan kesaksian:
6. Nubuatan Perubahan Sabat
Kami percaya bahwa ada satu kuasa yang secara tidak sah dan tidak
beralasan telah mengubah kekudusan hari Sabat kepada hari Minggu,
yaitu kekuasaan Roma Katolik, sebagaimana yang telah dinubuatkan oleh
Nabi Daniel (dicatat secara khusus pada pasal 7:24 dan 25).5[5]
Suatu pengakuan yang berani oleh Roma Katolik sehubungan dengan
wibawa dan kekuasaan untuk mengubah Sepuluh Perintah Allah ini
dapat dilihat di dalam buku Catholic Belief (edisi revisi 1948). Di dalam
halaman 197 terdapat daftar Sepuluh Perintah Allah dalam bentuk
singkat. Dalam hukum ketiga, berbunyi: Remember that thou keep
holy the Sabbath day.(Ingat dan kuduskan hari Sabat)
Pada halaman yang sama terdapat judul The Commandments of
the Church, dan bahagian pertama dari commandment ini berbunyi:
We are chiefly commanded by the church (Kami diperintahkan oleh
gereja ) 1). To keep the Sundays and Holy-days of Obligation (Untuk
memelihara hari minggu dan hari-hari raya wajib )
Kemudian, sehubungan dengan penggantian hari Sabat kepada hari
Minggu dapat dilihat pada penjelasan pernyataan Tradisi Kerasulan dan
Gerejawi terdapat dalam Kredo Pius IV, yang sangat berwibawa yang
dikeluarkan (diterbitkan) pada akhir konsili di Trent. Kredo itu berbunyi:
Tidak ada yang lebih tegas atau lebih jelas dari pengakuan di atas
sehubungan dengan pemindahan atau penggantian hari kudus Tuhan.
Sementara itu, hari Sabat, hari ketujuh, terus dikuduskan untuk berabad-
abad lamanya setelah peristiwa penyaliban Juruselamat, dan perayaan
kebangkitan Kristus, yang tadinya hanya bersifat upacara dan dirayakan
setahun sekali, berangsur-angsur menjadi sejajar, dan kemudian
pemeliharaan hari ini melampaui hari Sabat, hari yang dikuduskan oleh
Allah sendiri. Dan pada konsili di Laodikea, kekuasaan yang berpengaruh
dalam konsili ini mengutuk mereka yang masih terus menguduskan hari
Sabat dan menolak memelihara hari Minggu. Pada canon (peraturan-
peraturan) dari konsili ini digabungkan dengan canon konsili umum di
Bahkan hingga pada abad kelima puluh penyucian Sabat Yahudi masih diteruskan di gereja
Kristen, tetapi dengan suatu keadaan yang kaku dan kekhidmatan secara berangsur-angsur
berkurang.
5[5] Bahkan Philip Melanchton, sehubungan dengan nubuatan Daniel 7:25, mengatakan: Dia
(kepausan tanduk kecil) mengubah waktu dan hukum yaitu hari yag lain dari enam hari kerja
sebagaimana diperintahkan oleh Allah . ketika ia mengubah hari Sabtu kepada hari Minggu
Mereka mengubah hukum Allah dan menggantikannya dengan tradisi mereka sendiri dan
memeliharanya melebihi perintah Allah. Exposicion of Daniel the Prophete (1545), tr, by George
Joye, hal. 119.
Chalcedon pada tahun 451, dan menerima kekuasaan legislative (dewan
perwakilan) seluruh gereja.6[6] Pada abad berikutnya, Justinian, kaisar
Roma (527-565) memasukkan canon-canon dari empat konsili umum
pertama, termasuk canon konsili Chalcedon dan canon 29 dari konsili
Laodikea ke dalam kitab undang-undang yang dikenal dengan The
Justinians Code (Corpus Juris Civilis), bersama dengan aturan
pelanggaran atas canon-canon ini, sehingga dapat dihukum dengan
hukum sipil.
Undang-undang Justinian ini kemudian diterima di seluruh daratan
Eropa sebagai hukum yang berpengaruh dan berkuasa di abad-abad
pertengahan, hingga terjadi perubahan oleh negara-negara yang
menerima paham (dikuasai oleh) Protestant, dan menggantikannya
dengan dekrit toleransi yang dibuat oleh parlemen mereka. Setelah
revolusi Prancis pada abad 18, maka undang-undang Justinian ini diganti
dengan undang-undang Napoleon.
Walaupun Gereja Katolik menyatakan dengan tegas bahwa mereka
telah mengubah kekudusan hari Sabat kepada hari Minggu, dan hal itu
diakui oleh para pendahulu Protestant, namun sikap MAHK ialah tidak
mengakui adanya perobahan itu, karena tidak direstui oleh Kitab Suci.
Kami percaya bahwa hari kutujuh terus menjadi tanda peringatan
penciptaan dunia yang tidak dapat diubah, dan selanjutnya, hari Sabat
memperbaharui orang percaya di dalam Kristus yang berhenti dari dosa,
masuk kedalam perhentian rohani, dan hari Sabat dipelihara sebagai
tanda bahwa ia telah diciptakan kembali. Itulah sebabnya kami menolak
6[6] Canon 29 dari konsili Laodikea, dikutip oleh Hafele (A History of the Councils of the
Church, 1896, vol. 2, hal. 316) sebagai berikut :Agama Kristen tidak harus sama dengan Yahudi
bermalas-malas pada hari Sabtu (Sabat, asli), tetapi harus bekerja pada hari itu; tetapi pada hari
Tuhan mereka harus menghormatinya secara khusus, dan sebgai orang Kristen, seharusnya, jika
mungkin, jangan bekerja pada hari itu. Jika didapati sama dengan Yahudi, mereka akan diasingkan
dari Kristus.
Kembali ke abad kesembilan belas, William Prynne, dari Britain (A Brief Polemicall Disertation
concerning the true time of the Inchoation and Determination of the Lords Day Sabbath, 1655, hal.
33, 44), membeberkan fakta ini :
Sabat hari ketujuh dikuduskan oleh Kristus, para Rasul, dan orang Kristen mula-mula
hingga para konsili Laodikea dalam suatu cara yang sungguh-sungguh meniadakan
pengudusannya. Konsili Laodikea upaya pertama pemeliharaan hari Tuhan.
Tiga abad kemudian katekismus Roma Katolik tetap mempertahankan bahwa konsili telah
diperbaiki. Demikian juga Peter Geiermann (The Converts Catechism of Catholic Doctrine, 1910,
hal. 50), yang tulisan-tulisannya mendapat restu Paus Pius X, pada tanggal 25 Januari 1910,
memberikan jawaban atas pertanyaan seperti berikut :
Jawab : Kita memelihara hari Minggu gantinya hari Sabtu karena Gereja Katolik, pada konsili
Laodikea (336 A.D.)memindahkan kekudusan hari Sabtu kepada hari Minggu.Beberapa orang
menentukan tanggal perbaikan sebelum konsili Nicea (325), yang lain setelah konsili
Constantinople (381). Namun kebanyakan penulis terdahulu menetapkan tanggal 364.
untuk mengakui, menghormati, apa lagi untuk menuruti perobahan hari
Sabat Allah oleh kapausan. Kami menerima Alkitab sebagai satu-satunya
aturan iman dan tingkah laku, dan Alkitab tidak membenarkan perobahan
demikian, maka kami menolak untuk taat mengikuti tradisi dan
perintah manusia.
Sementara Gereja Katolik mengaku bertanggungjawab atas perobahan
hari Sabat, para pendahulu Protestant, di era reformasi maupun sebelum
reformasi, mengakui bahwa perobahan itu tidak berdasarkan firman Tuhan
maupun restu para Rasul, tetapi oleh manusia, melalui tindakan gereja.
Sehubungan dengan perobahan ini, berikut beberapa bukti catatan
sejarah. Pengakuan Iman Augsburg tahun 1530, artikel XXVIII,
mengatakan:
Mereka (Katolik) mengatakan bahwa probahan hari Sabat kepada hari Tuhan,
berlawanan, sebagaimana terdapat di dalam firman Allah; dan mereka tidak mempunyai
contoh di mulut mereka sehubungan dengan perobahan Sabat. Mereka membutuhkan
kuasa Gereja untuk menjadi sangat besar, karena mereka telah membuang satu perintah
dari hukum Allah. Philip Scaff, The Creeds of the Christendom, vol. 3, hal. 64.
Sejarawan Jerman, Johann August mengatakan:
Perayaan hari Minggu, sebagaimana perayaan hari-hari lainnya, senantiasa hanya
merupakan penetapan manusia, dan adalah jauh dari keinginan para Rasul untuk
meninggikan hukum Tuhan dalam hal ini, jauh dari keinginan para Bapa gereja, dalam
memindahkan hukum Sabat kepada hari Minggu. The History of the Christian Religion
and Church, Roses translation (1831), vol. 1, hal. 186.
Robert W. Dale, seorang Congregationlist Inggris mengatakan:
Sabat dibangun pada suatu perintah Tuhan yang khusus. Kita dapat mengatakan bahwa
tidak ada perintah demikian yang mewajibkan kita untuk memelihara hari Minggu. - The
Ten Commandments (1891), hal. 100.
Isaac Williams, seorang Doctor Anglican mengakui bahwa:
Alasan mengapa kami memelihara hari pertama gantinya hari ketujuh adalah (juga)
untuk alasan yang sama sebagaimana kami memelihara hal-hal yang lain, bukan karena
Alkitab, tetapi karena gereja telah memerintahkan hal itu. - Plain Sermon on the
Catechism (1882), vol. 1, hal. 336.
Seorang Congregationalist Amerika, Lyman Abbott, mengatakan
bahwa:
Dugaan yang beredar bahwa Kristus dan para Rasul secara berwenang menggantikan
hari ketujuh dengan hari pertama itu secara mutlak tidak ada satu pun perintah di dalam
Perjanjian Baru. - Christian Union, 26 Juni 1890.
F. W. Farrar, seorang Dekan Anglican Inggris, mengatakan bahwa:
Gereja Kristen membuatnya dengan tidak resmi, tetapi berangsur-angsur dan hampir
tidak disadari, memindahkan suatu hari ke hari yang lain. The Voice From Sinai (1892),
hal. 167.
Canon Aglican Eyton dari Westminster, di dalam The Ten
Commandments (1894), halaman 62, menambahkan:
Tidak ada kata, tidak ada petunjuk, di dalam Perjanjian Baru tentang berhenti bekerja
pada hari Minggu.
N. Summerbell mengatakan dengan tegas bahwa:
Gereja Roma Katolik yang telah merobah hukum keempat, membuang jauh Sabat firman
Allah, dan melembagakan hari Minggu sebagai hari suci. History of the Christian, hal.
418.
The Catholic Miror, organ resmi dari James Cardinal Gibons, (23 Sept. 1893) dalam satu dari
empat seri tajuk rencana, dalam cara yang sama menegaskan :
Gereja Katolik, untuk selama seribu tahun sebelum Protestant lahir, dalam menjalankan missi
Ilahi, telah mengobah hari Sabtu ke hari Minggu. Protestant, pada saat kelahirannya (Reformasi
abad keenam belas) menemukan Sabat Kristen secara kuat berakar, hal mana pada saat itu
Sabat Kristen diterima tanpa ada perdebatan argumentasi, sehingga secara tidak langsung
menyatakan bahwa gereja mempunyai hak untuk merobah hari itu, untuk lebih dari tiga ratus
tahun. Oleh karena itu Sabat Kristen hingga kini diakui oleh keturunan Gereja Katolik sebagai istri
dari Roh Kudus, diterima tanpa bantahan atau perdebatan dari dunia Protestant. - (Baca juga
James Cardinal Gibons, The Faith of Our Fathers, 1893, hal. 111; J.I. Von Dolinger, The First Ages
of Christianity and the Church, vol. 2, hal. 206, 207.)
yang pertama, dikorbankan sebagai Anak Domba Allah yang tidak ada
cacat dan cela, maka hari Sabat Allah, yaitu hari yang Dia sendiri
kuduskan, yaitu hari ketujuh, tidak pernah digantikan-Nya dengan hari
yang lain, bahkan hari Minggu sekalipun.
Dan dalam menguduskan hari Sabat, kami percaya memperoleh berkat
ganda, yaitu pertama, berkat yang telah diberikan-Nya melalui
memberkati hari itu pada awal dunia, kedua, menikmati berkat
persekutuan bersama dengan Allah di dalam kekudusan-Nya, karena Dia
menguduskan hari Sabat, dan ketiga, menikmati berkat melalui berhenti
dari pekerjaan jasmani, dan mendalami firman Tuhan, baik secara pribadi,
maupun secara kelompok, di rumah, maupun di tempat pertemuan
umum, sepanjang hari itu. Sungguh, hari Sabat merupakan hari istimewa,
di mana Allah sendiri yang mengkhususkannya untuk kita, ya, untuk
semua manusia.
Dan bahwa dalam kehidupan-Nya di dunia, Yesus juga telah membiasakan
diri dalam menguduskan hari Sabat (Lukas 4:16), dan juga merupakan
kebiasaan para Rasul (Kisah Para Rasul 13:14, 42-44; 14:1-3; 16:13;
17:2; Ibrani 4:9), sehingga adalah benar bahwa menguduskan hari Sabat
itu tidak legalistik.
Oleh karena itu kami juga mengundang para pembaca sekalian untuk
bersama-sama menguduskan hari Sabat sebagai bukti tanda kasih kita
kepada Allah pencipta kita. Karena jika kita melakukan kehendak-Nya,
maka pada saat yang sama, kita menghidupkan hukum yang
memerdekakan kita dari dosa (Yakobus 1:25; 2:12), dan itu berarti kita
berada di dalam Dia, dan bahwa adalah kewajiban kita untuk hidup
seperti Kristus telah hidup (1Yohanes 2:5, 6). Rasul Yohanes mengatakan
bahwa tanda kita mengenal Allah jika kita menuruti perintah-Nya (1
Yohanes 2:3). Tetapi jika kita tidak hidup sesuai dengan kehendak Tuhan,
tidak menuruti perintah-Nya, termasuk tidak menguduskan hari Sabat,
maka kehidupan kekristenan kita hanyalah suatu praktek keagamaan
yang jauh dari maksud-Nya (baca Matius 7:21-23). Orang yang mengaku
percaya kepada Yesus tetapi tidak menuruti perintah Allah, menurut rasul
Yohanes, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada
kebenaran (1 Yohanes 2:4).
Adalah benar bahwa Allah memerintahkan seluruh umat manusia, umat
tebusan-Nya, untuk ingat dan kuduskan hari Sabat (Keluaran 20:8),
sebagaimana juga Yesus yang adalah Tuhan, tunduk menjalankan perintah
tersebut dengan menguduskan hari Sabat (Lukas 4:16), dan sungguh,
para pembaca sekalian tidak serta merta menjadi legalistik dengan
menguduskan hari Sabat. Itu justru menegakkan perintah Allah pencipta
alam semesta.
Doa dan harapan kami adalah kiranya Roh Kudus menolong pada
pembaca sekalian untuk memahami penjelasan ini dan kiranya Roh yang
sama menyanggupkan anda untuk menguduskan hari Sabat, hari yang
dikuduskan oleh Yesus pada awal penciptaam dunia (Kejadian 2:1-3), hari
yang dikuduskan oleh Yesus pada saat menjelma menjadi manusia (Lukas
4:16), hari yang disediakan oleh Yesus bagi umat Allah di akhir zaman
(Ibrani 4:9).
Tuhan Yesus kiranya akan selalu memberkati kita sekalian, A m i n .