Anda di halaman 1dari 16

LEGALISTIKKAH MENGUDUSKAN HARI SABAT?

Inilah
Alasan Mengapa Hari Sabat Harus Dikuduskan

Tidak dapat disangkal bahwa di dalam dunia Kekristenan terdapat


sangat banyak keragaman dalam menafsirkan dasar iman dan aturan
bertingkah laku, yaitu Alkitab. Setiap orang yang mempunyai versi
penafsiran dan sudut pandang terhadap Alkitab yang berbeda ini
kemudian membentuk kelompok tersendiri yang dikenal sebagai
denominasi gereja. Mereka juga membentuk organisasi, tatacara
ibadah, cara pemahaman serta penafsiran Alkitab yang berbeda dengan
kelompok gereja Kristen yang lainnya. Hal inilah yang membuat
Kekristenan sekarang ini nampak terkotak-kotak; berbeda dengan
Kekristenan pada awal perkembangannya.
Suatu ciri Masehi Advent Hari Ketujuh (MAHK) yang berbeda dari
denominasi Kristen lainnya yaitu menguduskan hari Sabat, hari ketujuh
dalam pekan, dan juga beberapa dasar pemahaman Alkitab lainnya.
Perbedaan yang seharusnya menjadi keanekaragaman yang indah,
kemudian berdampak pada saling memojokkan, saling menekan serta
saling menjelekkan. Denominasi yang satu merasa lebih benar daripada
yang lainnya, bahkan saling mengejek dan menuduh. Gantinya setiap
denominasi saling berbagi berkat rohani, malah berupaya untuk merusak
berkat rohani.
Tidak dapat disangkal, ada tuduhan yang diarahkan kepada MAHK
bahwa Advent itu identik dengan Yahudi, dan pengudusan akan hari
Sabat adalah suatu tindakan yang legalistik, yaitu menguduskan hari
Sabat agar diselamatkan. Pernyataan ini dilontarkan oleh karena MAHK
menguduskan hari Sabat, juga memelihara kesembilan perintah lainnya
dari Sepuluh Perintah Allah, yang dikenal dengan Sepuluh Firman, atau
hukum moral.
Adapun tulisan ini semata-mata bertujuan untuk membagikan berkat
rohani kepada sesama umat percaya tanpa memandang denominasi.
Sehubungan sengan tuduhan di atas maka pertanyaan yang timbul ialah,
Apa manfaat hukum moral bagi umat yang telah ditebus oleh Kristus
melalui kematian-Nya di Golgota? Salahkah memelihara Sepuluh Firman?
Haruskah umat tebusan Kristus hidup bebas dan merdeka di atas dunia ini
tanpa ada rambu-rambu yang mengatur kehidupan rohani dan sosial
sehari-hari?
Hukum moral, sifatnya adalah kekal, dan oleh karena itu tidak dapat
berubah, dan diubahkan. Prinsip dasar dari hukum moral ini terdapat di
dalam Sepuluh Perintah Allah. Bagi umat yang telah ditebus, penurutan
akan hukum moral bukanlah merupakn upaya untuk memperoleh
keselamatan, tetapi sebaliknya, adalah menghidupkan kehendak Allah
yang telah meyelamatkan kita melalui pengorbanan Yesus Kristus,
sekaligus pernyataan kasih yang kita kepada-Nya (Yohanes 14 : 15; 15 :
14).
Hukum moral dalam bentuk yang asli tidak terdapat di dalam
Alkitab (karena Sepuluh hukum merupakan ringkasan hukum moral),
namun penjelasan yang menyeluruh dari prinsip hukum moral dapat kita
temui dalam ajaran Yesus, yaitu Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal
budimu. dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri
(Matius 22:37-39). Ini adalah prinsip dasar kepemerintahan moral Allah.
Fungsi daripada hukum moral menurut para rasul adalah untuk
menyatakan dosa: Karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal
dosa (Roma 3:20); tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak
ada juga pelanggaran ( Roma 4:15); justru oleh hukum Taurat aku telah
mengenal dosa (Roma 7:7); dan setiap orang yang berbuat dosa,
melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah
(1 Yohanes 3:4).
Kami menguduskan hari Sabat, oleh karena, pertama, hari Sabat,
dasarnya pada pekan penciptaan. Ketika Allah selesai menciptakan dunia
selama enam hari, Ia berhenti, berkati, dan menguduskan hari sabat
(Kejadian 2:1-3). Kedua, hari Sabat adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum moral Allah yang diberikan kepada manusia untuk
diimplementasikan.
Ada orang yang mengatakan bahwa hari Sabat hanya untuk orang Yahudi
saja, dan orang Kristen tidak lagi perlu untuk menguduskan hari itu.
Tetapi Yesus Kristus sendiri yang mengatakan bahwa hari Sabat diadakan
untuk manusia (Markus 2 : 27 ,28). Yang kami yakini ialah bahwa hari
Sabat telah diberikan oleh Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus yang
adalah Pencipta (Yohanes 1 :1-3) kepada manusia, pada awal penciptaan
dunia ini jauh sebelum ada orang Israel, atau orang Yahudi ada, bahkan
jauh sebelum peristiwa Allah menuntun orang Israel keluar dari Mesir.
Suatu penelitian sehubungan dengan hari Sabat mengatakan bahwa:
Bahagian terdahulu dari kitab Kejadian yang tidak dicacat berkenaan dengan Sabat
dapat dimengerti ketika seorang mengingat bahwa saat hukum Allah diperkenalkan
kepada para Bapa leluhur hal itu diterima sebagai kebenaran. Penulis catatan sejarah di
dalam kitab Kejadian tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting untuk
dicatat di dalam penelitiannya untuk abad-abad ini. Tetapi Abraham menuruti perintah
Allah (Kejadian 26:5). Kata Ibrani di sini digunakan untuk Perintah, kata yang sama
yang digunakan untuk Sepuluh Perintah di dalam Ulangan 5:10, 29. Kalisch
menyebutkan hal ini sebagai hukum yang tertulis di dalam hati manusia, dan Pulpit
Cammentary menyatakan bahwa kata itu berarti hukum yang ditulis di atas dua loh
batu. Abraham mengenal dan menuruti hukum moral Allah. Jika demikian, tidakkah itu
termasuk hari Sabat? The Companion Bible (Kejadian 26:5) mengatakan sebagai berikut:
Selama pengalaman di padang belantara, Allah menguji umat-Nya agar supaya mereka
dapat berjalan sesuai dengan perintah-Nya (Keluaran 16:4). Ujian itu tiba pada masalah
hari Sabat. Dan sebagai perbandingan dari isi kitab Keluaran 16:1 dengan Keluaran 9:1
menunjukkan bahwa hal ini terjadi beberapa minggu sebelum pengumuman Sepuluh
Firman. Oleh karena itu hal ini diketahui bukan saja sebagai hukum Allah tetapi juga
perintah khusus ini tercakup di dalam-Nya sebagai bukti referensi dari hari Sabat. ---
Ccatatan kaki dalam buku Questions on Doctrine, Hal. 156.
Hari Sabat, diperkenalkan dan diberikan kepada manusia sebelum
kejatuhan manusia ke dalam dosa, dan terus dipelihara oleh manusia
sesudah kejatuhan, dan itu diberikan kepada manusia dalam bentuk yang
tidak terpisahkan dari perintah Allah yang lainnya pada peristiwa di Sinai,
untuk ditaati dan dihidupkan. Itulah sebabnya hari Sabat itu bukan hanya
milik orang Yahudi, atau Israel, sebagaiman yang diajarkan, tetapi itu
diberikan kepada semua manusia disetiap zaman, tanpa dibatasi oleh
ruang dan waktu.

1. Makna Rohani Hari Sabat.


Setelah Allah menciptakan segala sesuatu selama enam hari
penciptaan-Nya, maka nabi Musa mencatat:
Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya. Ketika Allah pada hari
ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibua-Nya itu, berhentilah Ia pada hari
ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari
ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala
pekerjan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu (Kejadian 2 : 1-3).
Keberadaan hari Sabat berawal sebelum dosa masuk ke dunia; dan itu
berarti bahwa Allah melembagakan pengudusan hari Sabat ini sebagai
suatu tanda telah selesainya pekan penciptaan, yang menurut Allah
sendiri Sungguh amat baik (Kejadian 1:31), dan dengan
menguduskannya bersama dengan Adam dan Hawa, maka Ia meminta
manusia untuk menguduskan hari Sabat untuk memperingati peristiwa
penciptaan dunia. Tetapi tidak hanya itu. Hari yang oleh nabi Musa
dikatakan sebagai hari Sabat TUHAN, Allahmu (Keluaran 20:10);
adalah hari yang memberikan makna rohani yang dalam bagi mereka
yang menguduskannya. Sesuai dengan artinya, Sabat, dari kata
shbhath yang artinya istirahat, diadakan dengan satu tujuan agar umat
kepunyaan Allah berhenti dari dosa dan akibatnya, termasuk berhenti dari
aktivitas jasmani, kepada perhentian rohani. Oleh karena hari Sabat
dilembagakan pada saat sebelum dosa masuk ke dalam dunia, menjadi
tanda peringatan dunia yang sempurna, maka seandainya jikalau dosa
tidak masuk ke dunia, secara pasti manusia akan menguduskan hari sabat
yang asli ini.
Hari Sabat adalah bahagian dari rencana Allah yang mula-mula bagi
manusia, ketika pertama kali manusia diciptakan, yaitu agar manusia
hidup kekal, dalam kebahagiaan, tanpa dosa, dalam memuliakan Allah,
Penciptanya.
Pengudusan hari Sabat adalah suatu pernyataan kepercayaan bahwa
Kristus telah menciptakan dunia, dan juga suatu ungkapan perasaan
kasih, kesetiaan, dan ketaatan kepada-Nya sebagai Pencipta, Penebus,
dan Raja. Fakta yang lebih dalam ialah bahwa Ia adalah Tuhan atas hari
Sabat (Markus 2:28) sangat mencintai manusia, sehingga Ia menjelma
menjadi manusia dan mengorbankan hidup-Nya untuk menyelamatkan
kita dari kehancuran dosa. Dalam penjelmaan-Nya, Ia juga membersihkan
hari Sabat dari noda-noda tambahan para rabi, yang tadinya hari Sabat
dianggap sebagai hari keramat, beban, yang sangat ketat dan mengikat
pemeliharaannya, seperti hari Sabat tidak boleh menyembuhkan orang
sakit, memberi makan ternak, berjalan sejauh dua puluh (20) mil, dan
bahkan larangan untuk tidak melahirkan pada hari itu, bagi para ibu yang
sedang hamil yang akan melahirkan.1[1]
Bahwa oleh karena Allah menguduskan dan memberkati hari Sabat,
tentunya kita yang berhenti pada hari Sabat disanggupkan untuk
menerima berkat kekudusan hari Sabat. Allah menguduskan hari Sabat,
dapat berarti bahwa Allah membuat hari itu kudus. Menguduskan juga
dapat berarti mengasingkan dari yang lain, dari hari-hari yang lain. Ketika
Allah menguduskan hari Sabat, dan meminta kita manusia untuk
menguduskannya, itu berarti Allah mengundang kita untuk juga
mengambil bahagian di dalam kekudusan-Nya, dan itu hanya terdapat di
dalam hari yang Ia sendiri kuduskan.
Hari Sabat merupakan tanda antara Allah dan manusia. Nabi Yehezkiel
menulis firman Allah yang datang kepadanya:
Hari-hari Sabat-Ku juga kuberikan kepada mereka menjadi peringatan di antara Aku
dan mereka, supaya mereka mengetahui bahwa Akulah T UHAN, yang menguduskan
mereka. Kuduskanlah hari-hari Sabat-Ku, sehingga itu menjadi peringatan di antara Aku
dan kamu, supaya orang mengetahui bahwa Akulah T UHAN, Allahmu. (Yehezkiel 20:12,
20).
Adalah merupakan suatu kesempatan indah jika kita bisa berdiri
sebagai duta Allah, dan itu melalui menguduskan hari Sabat Tuhan.
Dengan menguduskan hari Sabat Tuhan, kita mempunyai keuntungan
ganda, yaitu yang pertama, kita dikenal oleh Allah sebagai umat-Nya
Inilah yang dimaksudkan oleh rasul Paulus ketika mengatakan: sesudah
kamu dikenal oleh Allah (Galatia 4:9); dan yang kedua, dunia mengenal
bahwa kita adalah umat Allah, tentunya kita merupakan sasaran utama
perhatian dan berkat-Nya, dan pada gilirannya, kita akan leluasa bersaksi
dan tidak akan mempermalukan kesaksian yang kita bawakan, dalam hal
ini tidak mempermalukan Tuhan yang adalah inti kesaksian kita.
Berhenti dari pekerjaan dan menguduskan hari Sabat berarti mengikuti
teladan yang ditinggalkan oleh Pencipta dan Juruselamat kita, baik pada
saat Dia berhenti, berkati dan kuduskan hari Sabat pada pekan
penciptaan (Kejadian 2:1-3), dan juga pada saat penjelmaan-Nya Dia terus
menguduskan hari Sabat di dalam sepanjang kehidupan-Nya (Lukas 4:16).
Tidak ada cara lain untuk menyenangkan Pencipta dan Juruselamat kita
selain mengikuti contoh dan teladan-Nya yang telah Ia tinggalkan untuk
kita.

2. Sabat bayangan?
Beberapa orang dari kalangan Kristen mempunyai pemahaman bahwa
hari Sabat merupakan bayangan atau lambang, dan mrngatakan bahwa
hari Sabat itu telah digenapi oleh Yesus Kristus di kayu salib. Walau
pemahaman ini berkembang begitu luas di kalangan Kristen, namun
MAHK mempunyai pemahaman yang berbeda dalam hal ini.
1[1] Penafsiran yang salah ini sesungguhnya menyimpang dari maksud pengudusan hari Sabat
yang benar, ketika Yesus melakukan hal-hal yang penting, seperti menyembuhkan orang sakit
(Matius 12:9-15a; Yohanes 5:1-18), memetik gandum (Matius 12:1-8), yang oleh orang Yahudi
merupakan sesuatu yang dilarang, termasuk menyuruh seorang yang sudah 38 tahun menderita
sakit di kolam Betesda untuk memikul tilamnya pada hari Sabat. Tindakan Yesus untuk
membersihkan hari Sabat dari noda-noda tambahan para rabi ini, dianggap oleh orang Yahudi
sebagai sebagai peniadaan Sabat atau mengurangi kwalitas kekudusannya, sehingga mereka
berupaya untuk membunuh-Nya.
Alkitab secara jelas membedakan hari Sabat, hari ketujuh, dari hari-hari
sabat Yahudi. Sementara hari Sabat, hari ketujuh adalah milik Tuhan dan
sifatnya kekal, maka hari-hari sabat Yahudi hanyalah merupakan
bayangan atau lambang, yang melambangkan Kristus. Ada tujuh sabat
dalam setahun (sabat tahunan) yang berhubungan dengan upacara
agama Yahudi, yaitu Paskah, Roti Tak Beragi, Hulu Hasil, Pentakosta,
Meniup Serunai, Pendamaian, serta Pondok Daun. Hari-hari raya ini
berhubungan dengan upacara kaabah, dan sabat-sabat tahunan ini jatuh
pada hari tertentu pada bulan tertentu, dan kadang bertepatan dengan
hari Sabat, hari ketujuh pada pekan. Jika hari-hari sabat Yahudi ini jatuh
bertepatan dengan hari Sabat, hari yang ketujuh, maka hari sabat ini
disebut Sabat agung; rasul Yohanes menyebutnya Sabat hari yang
besar (Yohanes 19:31). Selain hari-hari raya Yahudi yang disebut sabat,
ada juga tahun sabat (Imamat 25).
Sabat-sabat perayaan ini, dengan seluruh korban persembahan khusus,
menunjuk ke depan, kepada satu korban untuk semua, yaitu Yesus Kristus
sebagai domba Allah yang mengangkut dosa isi dunia (Yohanes 1:29),
dan sebagai domba Paskah (1Korintus 5:7), kematian-Nya terjadi tepat
pada hari Paskah (tanggal 14 Nisan) yang jatuh pada hari Jumat, yang
mana untuk bertahun-tahun lamanya kematian-Nya ini telah dilakonkan
dalam bentuk lambang atau bayangan, dengan mengorbankan domba-
domba yang tidak bercacat dan bercela, dan kebangkitan-Nya terjadi
bertepatan dengan hari raya Hulu Hasil (16 Nisan), ketika Ia bangkit
sebagai hulu hasil dari antara mereka yang tidur (1Korintus 15:20, 23).
Kebangkitan-Nya itu adalah bukti bahwa Ia telah mengalahkan maut. Ia
menggenapi persis seperti yang dipraktekkan melalui lambang, baik
kematian-Nya, selama Ia di dalam kubur, dan kebangkitan-Nya. Hari-hari
sabat bayangan ini berakhir untuk selamanya di kayu salib, ketika
lambang bertemu dengan wujud yang dilambangkannya. Namun hal ini
tidak dapat mempengaruhi hari Sabat, hari ketujuh, karena memang tidak
pernah dirancang oleh Allah untuk menjadi lambang.2[2]

3. Sabat yang tidak digenapi.


Hari Sabat, berdasarkan perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah,
bukanlah berhubungan dengan upacara sehingga harus digenapi atau
dibatalkan di dalam Yesus. Hari Sabat tidak dilembagakan sebagai
bahagian dari upacara di Sinai, yang menunjuk ke depan, kepada Kristus
yang mati untuk menebus kita di Golgota, tetapi sebaliknya sebagai tanda
peringatan awal penciptaan dunia. Nabi Yesaya menubuatkan bahwa
Kristus akan memperbesar hukum-Nya, dan membuatnya terhormat
(Yesaya 42:12), dan yang kemudian Ia lakukan agar hukum itu tidak
merupakan beban yang mengikat, termasuk hari Sabat, dengan
membersihkannya dari tambahan-tambahan, aturan yang ruwet dan
berbelit-belit oleh para rabi, dan membuat hari Sabat sebagai hari
kenikmatan (Yesaya 58:13, 14), dan suatu hari untuk beristirahat dan

2[2] Hal ini benar, karena di dalam buku Imamat, terdapat perbedaan yang jelas antara Sabat hari
ketujuh dan sabat-sabat Yahudi, dengan menggunakan kata Sabatmu (Imamat 23:32), yang
secara pasti berbeda dengan Sabatku (Yehezkiel 20:12, 20), hari kudusku dan hari kudus
TUHAN (Yesaya 58:13), dan hari yang ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu (Keluaran 20:19).
bebas dari beban dosa dan akibatnya. Yesus dan suatu hari untuk
beristirahat dan bebas dari beban dosa dan akibatnya. Yesus
menguduskan hari Sabat selama kehidupan dan pelayanan-Nya di atas
dunia ini (Lukas 4:16) dan memberikan contoh bagaimana memelihara
hari Sabat dengan baik dan benar serta apa arti rohani dari hal itu,
termasuk berbuat baik pada hari Sabat, ketika suatu saat Ia sendiri
menyembuhkan orang pada hari Sabat (Matius 12:9-15a; Yohanes 5:1-8).
Mungkin anda bertanya, bagaimana dengan bunyi ayat Alkitab di dalam
Keluaran 31:14; 35:2, yang mengatakan bahwa orang yang melanggar
hari Sabat akan dihukum mati? Untuk jelasnya marilah kita membaca
ayat-ayat itu:
Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang
melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang
melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya
(Keluaran 31:14).

Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh
haruslah ada perhentian kudus bagimu, yakni Sabat hari perhentian penuh bagi T UHAN;
setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, haruslah dihukum mati (Keluaran
35:2).
Tentunya bunyi ayat ini sangat menakutkan bagi kebanyakan orang yang
membacanya. Penulis juga pernah ketakutan dengan ayat ini sebelum
saya mengerti maksudnya. Satu hal yang perlu kita pahami sehubungan
dengan bunyi ayat di atas ialah bahwa bunyi dari ayat ini merupakan
bahagian dari isi hukum sipil Israel, dan hukum sipil ini berlaku ketika
bangsa ini berada di bawah theocracy. Beberapa bahagian dari hukum
sipil tersebut berhubungan dengan Sabat, dan memerlukan hukum sipil
yang berat bagi mereka yang secara congkak menajiskan kekudusan hari
Sabat dengan mencari kayu bakar, dan bahkan tindakan yang lain.
Namun hukum sipil ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya
theocracy (kepemimpinan oleh Tuhan), sehingga tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa pengudusan hari Sabat adalah kelanjutan dari periode
ini.

4. Menguduskan Hari Sabat Berarti Legalistik?


Ada sementara orang yang bahwa beranggapan adalah benar hari
Sabat itu adalah hari yang dikuduskan oleh Allah sendiri, dan makna
kekudusannya itu bersifat kekal; tetapi anggapan ini selanjutnya
mengatakan bahwa yang terpenting bukan harinya, tetapi adalah
maknanya, yaitu makna Sabatnya. Jadi jika dunia Kristen sekarang ini
telah secara umum menerima hari Minggu sebagai Sabat, maka makna
rohani dari hari Sabat itu terdapat pada hari Minggu, dan tidak lagi pada
hari ketujuh pada pekan, hari Sabtu, seperti yang terjadi pada zaman
Perjanjian Lama. Tetapi benarkah demikian? Dapatkah dengan mudah
kita memindahkan makna Sabat, dari hari ketujuh kepada salah satu hari
yang lain di dalam pekan.
Dua ciri yang khas dari lembaga hari Sabat yang tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya ialah makna Sabat dan makna hari
ketujuh. Hal ini oleh karena hari ketujuh diasingkan untuk dan sebagai
hari Sabat. Jelasnya, hari ketujuh yang dipilih oleh Allah untuk
menjadikannya hari Sabat. Artinya hari ketujuh adalah hari Sabat. Alkitab
mencatat: Tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat T UHAN, Allahmu
(Keluaran 20:9) Tidak akan kita dapati di dalam Alkitab, baik secara
langsung maupun tidak langsung, makna Sabat dari hari ketujuh itu dapat
dipindahkan kepada suatu hari yang lain di antara deretan hari-hari di
dalam pekan. Sebaliknya Alkitab memberikan bukti bahwa makna Sabat
tidak dapat dipisahkan dari hari ketujuh. Mari kita baca ayat Alkitab
berikut :
Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya,
dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan
menguduskannya (Keluaran 20:11; baca juga Kejadian 2:1-3).
Allah melembagakan hari Sabat pada hari ketujuh, justru pada pekan
pertama dalam penciptaan, sehingga kedua aspek, yaitu makna hari
ketujuh dan makna hari Sabat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain, sebaliknya kedua aspek ini merupakan suatu kesatuan yang
sempurna, dan adalah benar bahwa kedua aspek ini tidak dapat
dipisahkan dari peristiwa penciptaan.
Tidak dapat disangkal bahwa orang-orang Ibrani, dalam praktik
keagamaan mereka, pengudusan hari Sabat hanyalah merupakan suatu
praktek legalistik, yaitu bahwa praktik keagamaan mereka hanyalah
bersifat formal, sementara nilai-nilai spiritualnya kurang diresapi atau
dimaknai, sehingga Yesus mencela mereka dengan mengatakan:
Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu
orang-orang munafik, sebab kamu ama seperti kuburan yang dilabur
putih, yang sebelah ruarnya memang bersih tampaknya, tetapi bahagian
dalam penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran (Matius 23:27),
sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi
sebelah dalamnya penuh rampasan dan kekerasan (Matius 23:25).
Berdasarkan fakta di atas, ada yang mengatakan bahwa dengan
menguduskan hari Sabat berarti melibatkan diri di dalam legalisme,
sebagaimana orang Yahudi yang beragama hanya secara legalitas. Tetapi
pertanyaan yang perlu ditanyakan sehubungan dengan pendapat tersebut
ialah adakah pernyataan Firman Allah bahwa penghormatan akan makna
hari ketujuh, Sabat, dianggap sebagai suatu tindakan secara langsung ke
dalam legalisme? Apakah menjadi legalistik ketika Allah memilih untuk
beristirahat pada hari ketujuh dalam pekan penciptaan? Dan jika tidak
legalistik bagi Allah untuk beristirahat (berhenti) pada hari ketujuh,
mengapa kemudian dianggap legalistik untuk melakukan hal yang sama
sesuai dengan perintah-Nya? Dan seandainya adalah legalistik jika
berhenti pada hari ketujuh, mengapa tidak legalistik jika tidak berhenti
dari pekerjaan kita sebagaimana perintah-Nya, tetapi hanya memilih hari
apa saja sesuai dengan kemauan kita untuk sekedar berbakti, termasuk
memilih hari pertama? Di bahagian mana dari Alkitab yang menyatakan
(atau mungkin memberi kesan) bahwa memaknai hari Sabat dengan
sekedar berbakti pada salah satu hari selain hari ketujuh itu tidak
legalistik, sementara memaknai hari Sabat pada hari ketujuh, atau
berhenti pada hari ketujuh yang istimewa karena dikuduskan oleh Allah
sendiri adalah legalistik?

5. Sabat Yang Lain.


Pengakuan bahwa hari Minggu sebagai hari Sabat bukanlah hal yang
baru. Secara umum telah diajarkan bahwa hari ketujuh adalah hari Sabat
bagi orang Yahudi, sedangkan hari pertama, hari minggu, adalah hari
Sabat bagi orang Kristen, yang lebih dikenal dengan nama hari Tuhan.
Walaupun demikian, kita telah menelusuri dengan saksama bahwa
tidak satupun pernyataan di dalam Alkitab yang memberikan penegasan
secara langsung maupun tidak langsung bahwa hari Sabat yang
dikuduskan oleh Allah (Kejadian 2:1-3), telah berobah, namun ada
pengakuan bahwa kekudusannya telah dipindahkan kepada hari pertama,
yaitu hari Minggu. Jika demikian, mengapa hari Minggu nampaknya lebih
populer dari pada hari Sabtu? Apa yang menyebabkan sehingga
penyucian hari Sabat, hari ketujuh, hari Sabtu, sangat tidak terkenal dan
seakan-akan redup? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan ini marilah kita menelusuri catatan sejarah gereja.
Kejadian sebenarnya berdasarkan tulisan-tulisan gereja permulaan, hari
pertama dalam pekan disebut hari Tuhan pertama kali disebutkan oleh
Clement dari Alexandria, mejelang akhir abad ke dua. Dan juga seorang
penulis gerejawi pertama yang diketahui secara pasti mengajarkan bahwa
pemeliharaan hari Sabat telah dipindahkan oleh Kristus kepada hari
pertama, ialah Eusebius dari Caesarea yang membuat pernyataan dalam
komentarnya terhadap kitab Mazmur, Mazmur 92, yang ditulis pada
pertengahan abad keempat. (Frank H. Yost menjelaskan hal ini dalam
bukunya The Early Christian Sabbath, 1947, fasal 5 ).
Pemeliharaan hari Minggu sebagai sutu upacara gereja memperingati
kebangkitan Kristus, sebagai tambahan, dan bukan sebagai pengganti
hari Sabat; dan hal ini diperkenalkan di Roma sekitar abad kedua, dan
peristiwa kebangkitan Kristus ini diperingati secara tahunan. Kebiasaan
ini berkembang perlahan-lahan sejak waktu itu. Walaupun orang Kristen
di Roma pada umumnya berpuasa gantinya mengadakan perbaktian pada
hari Sabat, Ambrose, Bishop Milan (375-397) menolak untuk mengikuti
praktik ini di wilayah keuskupannya ---(Ambrose De Elia et Jejunio 10;
Paulinus Life of St. Ambrose 38; Augustine, Epistle 36.14 to Casulanus;
Epistle 54.2 to Januarius).
Augustine, Bishop Hipo, menyatakan bahwa sementara gereja Roma
berpuasa pada hari ketujuh setiap pekan pada masanya, praktik itu tidak
diikuti secara umum oleh orang-orang di Italy. Dengan demikian
Augustine membuat suatu pernyataan khusus tentang penolakan praktek
Ambrose di Milan. Ia menambahkan bahwa walaupun puasa adalah
praktik orang Kristen di seluruh dunia, dan secara khusus di Timur, oleh
karena sangat menghormati hari Sabat, maka ia menolak untuk
melakukan hal itu. Dan ia juga mengatakan bahwa sementara gereja-
gereja di Afrika Utara mengikuti contoh Roma dalam berpuasa pada hari
Sabat, maka yang lain berada di bawah pengawasannya menolak untuk
melakukan hal yang sama. (Augustine, Epistle 36.14 to Casulanus;
Epistle 82 to Jerome.)
Socrates, seorang sejarawan gereja, menulis pada tahun 430 A.D.,
mengatakan:
Hampir semua gereja di seluruh dunia menyucikan hari Sabat (hari ketujuh) setiap
pekan, tetapi orang Kristen di Alexandria dan di Roma, oleh karena tradisi, menolak
untuk melakukannya. --- (Ecclesiastical History v. 22).
Socrates juga meninggalkan catatan bahwa orang-orang Arian secara
bersamaan mengadakan pertemuan pada hari Sabat dan Minggu (ibid, vi
8). Dan lagi, seorang sejarawan gereja abad kelima, Sozomen,
memperkuat pernyataan Socrates, sebagaimana yang dicatat bahwa :
Orang-orang di Constantinople, dan beberapa kota lainnya, berkumpul bersama pada
hari Sabat, juga pada hari berikutnya, yang mana kebiasaan ini tidak pernah diadakan di
Roma ataupun Alexandria. (ibid, vii. 19)
Setelah Undang-Undang Sipil berkenaan dengan menjadikan hari
Minggu sebagai hari untuk memuliakan Dewa Matahari yang diterbitkan
oleh kaisar Roma, Flavius Valerius Aurelius Constantine, pada 7 Maret 321,
maka perintah untuk berhenti dari pekerjaan dan beristirahat pun
diturunkan, dan hal ini menyokong dan memperkuat Undang-Undang
gereja (oleh Roma dan Constantinople) yang sudah ada, sehubungan
dengan pemeliharaan hari Minggu, maka pemeliharaan hari Minggu lebih
populer dengan berlalunya abad demi abad. Pada saat perpecahan gereja
Timur dan Barat yang dikenal dengan istilah The Great Schism pada tahun
1054, salah satu persoalan dari sekian banyak persoalan pokok adalah
karena Roma tetap melaksanakan praktek berpuasa pada hari Sabat.
Gereja-gereja Timur, sampai pada masa-masa kemudian, masih tetap
menghormati dan meninggikan kekudusan hari Sabat, sehingga tidak
melakukan hal yang sama seperti Roma, walaupun pemeliharaan hari
Minggu hampir diterima secara universal. (Cardinal Humbert, Adversus
Graecorum Calumnias {Againts the Calumnies of the Greek}, in Mignes
Patrologiae Latina, vol. 143, cols 936, 937; dan juga Gibbon, Decline and
Fall of the Roman Empire, fasal 60.)
Menjelitnya popularitas pemeliharaan hari Minggu melampaui hari
Sabat secara umum terjadi secara perlahan-lahan melalui banyak
tantangan dan bahkan pertumpahan darah, sebagaimana dibuktikan oleh
sejarah dari gereja Celtic. Menurut Lange, memakan waktu berabad-
abad lamanya untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari yang dihormati
sebagai hari sabat.3[3]
Pada periode ini, bahasa Spanyol, Portugis, Italia, Polandia, dan
sejumlah bahasa yang lain, hari ketujuh oleh beberapa terjemahan tetap
menyebutnya dengan nama yang lama, yaitu Sabat.4[4]

3[3] Hari Sabat dikuduskan oleh gereja Celtic selambat-lambatnya pada abad keempat belas
(Andrew Lange, A History of Scotland, 1909, vol. I, hal. 96; dan hal yang sama juga dikatakan
oleh William F. Skene, Celtic Scotland, 1877, vol. 2, hal. 349.

4[4] Pada abad ketujuh belas Edward Brerewood, dari Gresham College, London A
Lerned Treatise of the Sabbath, 1630, hal. 349), meninggalkan catatan : (A Lerned Treatise of the
Sabbath, 1630, hal. 349), meninggalkan catatan :Sabat yang asli tetap dan dikuduskan oleh
orang Kristen Gereja Timur, lebih dari tiga ratus tahun setelah kematian Juruselamat kita.

Hal ini didukung oleh tuan William Domville (The Sabbath or an Examination of Six Texts, 1849,
vol. 1, hal. 291), dengan mengatakan:

Abad-abad dari era kekristenan telah berlalu sebelum hari Minggu dirayakan oleh orang Kristen
sebagai suatu Sabat.

Dan lagi, Lyman Coleman, seorang sejarawan dari Lafayette College (Ancient Christianity
Exemplified, 1852, fasal 26. bahagian 2), setuju dengan hal ini dan memberikan kesaksian:
6. Nubuatan Perubahan Sabat
Kami percaya bahwa ada satu kuasa yang secara tidak sah dan tidak
beralasan telah mengubah kekudusan hari Sabat kepada hari Minggu,
yaitu kekuasaan Roma Katolik, sebagaimana yang telah dinubuatkan oleh
Nabi Daniel (dicatat secara khusus pada pasal 7:24 dan 25).5[5]
Suatu pengakuan yang berani oleh Roma Katolik sehubungan dengan
wibawa dan kekuasaan untuk mengubah Sepuluh Perintah Allah ini
dapat dilihat di dalam buku Catholic Belief (edisi revisi 1948). Di dalam
halaman 197 terdapat daftar Sepuluh Perintah Allah dalam bentuk
singkat. Dalam hukum ketiga, berbunyi: Remember that thou keep
holy the Sabbath day.(Ingat dan kuduskan hari Sabat)
Pada halaman yang sama terdapat judul The Commandments of
the Church, dan bahagian pertama dari commandment ini berbunyi:
We are chiefly commanded by the church (Kami diperintahkan oleh
gereja ) 1). To keep the Sundays and Holy-days of Obligation (Untuk
memelihara hari minggu dan hari-hari raya wajib )
Kemudian, sehubungan dengan penggantian hari Sabat kepada hari
Minggu dapat dilihat pada penjelasan pernyataan Tradisi Kerasulan dan
Gerejawi terdapat dalam Kredo Pius IV, yang sangat berwibawa yang
dikeluarkan (diterbitkan) pada akhir konsili di Trent. Kredo itu berbunyi:

Bahwa saya mengaku percaya kepada hal-hal yang menyatakan kebenaran


sebagaimana yang diumumkan oleh gereja dan juga yang diajarkan oleh para Rasul,
apakah secara jelas atau tidak jelas menyatakan kebenaran atau bahkan tidak
disebutkan di dalam firman Allah yang tertulis sekalipun misalnya, sebagai contoh,
bahwa hari Minggu gantinya hari Sabtu (disebut Sabat) untuk dikuduskan; ibid., hal.
153.

Tidak ada yang lebih tegas atau lebih jelas dari pengakuan di atas
sehubungan dengan pemindahan atau penggantian hari kudus Tuhan.
Sementara itu, hari Sabat, hari ketujuh, terus dikuduskan untuk berabad-
abad lamanya setelah peristiwa penyaliban Juruselamat, dan perayaan
kebangkitan Kristus, yang tadinya hanya bersifat upacara dan dirayakan
setahun sekali, berangsur-angsur menjadi sejajar, dan kemudian
pemeliharaan hari ini melampaui hari Sabat, hari yang dikuduskan oleh
Allah sendiri. Dan pada konsili di Laodikea, kekuasaan yang berpengaruh
dalam konsili ini mengutuk mereka yang masih terus menguduskan hari
Sabat dan menolak memelihara hari Minggu. Pada canon (peraturan-
peraturan) dari konsili ini digabungkan dengan canon konsili umum di

Bahkan hingga pada abad kelima puluh penyucian Sabat Yahudi masih diteruskan di gereja
Kristen, tetapi dengan suatu keadaan yang kaku dan kekhidmatan secara berangsur-angsur
berkurang.

5[5] Bahkan Philip Melanchton, sehubungan dengan nubuatan Daniel 7:25, mengatakan: Dia
(kepausan tanduk kecil) mengubah waktu dan hukum yaitu hari yag lain dari enam hari kerja
sebagaimana diperintahkan oleh Allah . ketika ia mengubah hari Sabtu kepada hari Minggu
Mereka mengubah hukum Allah dan menggantikannya dengan tradisi mereka sendiri dan
memeliharanya melebihi perintah Allah. Exposicion of Daniel the Prophete (1545), tr, by George
Joye, hal. 119.
Chalcedon pada tahun 451, dan menerima kekuasaan legislative (dewan
perwakilan) seluruh gereja.6[6] Pada abad berikutnya, Justinian, kaisar
Roma (527-565) memasukkan canon-canon dari empat konsili umum
pertama, termasuk canon konsili Chalcedon dan canon 29 dari konsili
Laodikea ke dalam kitab undang-undang yang dikenal dengan The
Justinians Code (Corpus Juris Civilis), bersama dengan aturan
pelanggaran atas canon-canon ini, sehingga dapat dihukum dengan
hukum sipil.
Undang-undang Justinian ini kemudian diterima di seluruh daratan
Eropa sebagai hukum yang berpengaruh dan berkuasa di abad-abad
pertengahan, hingga terjadi perubahan oleh negara-negara yang
menerima paham (dikuasai oleh) Protestant, dan menggantikannya
dengan dekrit toleransi yang dibuat oleh parlemen mereka. Setelah
revolusi Prancis pada abad 18, maka undang-undang Justinian ini diganti
dengan undang-undang Napoleon.
Walaupun Gereja Katolik menyatakan dengan tegas bahwa mereka
telah mengubah kekudusan hari Sabat kepada hari Minggu, dan hal itu
diakui oleh para pendahulu Protestant, namun sikap MAHK ialah tidak
mengakui adanya perobahan itu, karena tidak direstui oleh Kitab Suci.
Kami percaya bahwa hari kutujuh terus menjadi tanda peringatan
penciptaan dunia yang tidak dapat diubah, dan selanjutnya, hari Sabat
memperbaharui orang percaya di dalam Kristus yang berhenti dari dosa,
masuk kedalam perhentian rohani, dan hari Sabat dipelihara sebagai
tanda bahwa ia telah diciptakan kembali. Itulah sebabnya kami menolak

6[6] Canon 29 dari konsili Laodikea, dikutip oleh Hafele (A History of the Councils of the
Church, 1896, vol. 2, hal. 316) sebagai berikut :Agama Kristen tidak harus sama dengan Yahudi
bermalas-malas pada hari Sabtu (Sabat, asli), tetapi harus bekerja pada hari itu; tetapi pada hari
Tuhan mereka harus menghormatinya secara khusus, dan sebgai orang Kristen, seharusnya, jika
mungkin, jangan bekerja pada hari itu. Jika didapati sama dengan Yahudi, mereka akan diasingkan
dari Kristus.

Kembali ke abad kesembilan belas, William Prynne, dari Britain (A Brief Polemicall Disertation
concerning the true time of the Inchoation and Determination of the Lords Day Sabbath, 1655, hal.
33, 44), membeberkan fakta ini :

Sabat hari ketujuh dikuduskan oleh Kristus, para Rasul, dan orang Kristen mula-mula
hingga para konsili Laodikea dalam suatu cara yang sungguh-sungguh meniadakan
pengudusannya. Konsili Laodikea upaya pertama pemeliharaan hari Tuhan.

Tiga abad kemudian katekismus Roma Katolik tetap mempertahankan bahwa konsili telah
diperbaiki. Demikian juga Peter Geiermann (The Converts Catechism of Catholic Doctrine, 1910,
hal. 50), yang tulisan-tulisannya mendapat restu Paus Pius X, pada tanggal 25 Januari 1910,
memberikan jawaban atas pertanyaan seperti berikut :

Tanya: Hari yang mana yang disebut hari Sabat ?

Jawab : Hari Sabtu ialah hari Sabat

Tanya : Mengapa kita memelihara hari Minggu gantinya hari Sabat ?

Jawab : Kita memelihara hari Minggu gantinya hari Sabtu karena Gereja Katolik, pada konsili
Laodikea (336 A.D.)memindahkan kekudusan hari Sabtu kepada hari Minggu.Beberapa orang
menentukan tanggal perbaikan sebelum konsili Nicea (325), yang lain setelah konsili
Constantinople (381). Namun kebanyakan penulis terdahulu menetapkan tanggal 364.
untuk mengakui, menghormati, apa lagi untuk menuruti perobahan hari
Sabat Allah oleh kapausan. Kami menerima Alkitab sebagai satu-satunya
aturan iman dan tingkah laku, dan Alkitab tidak membenarkan perobahan
demikian, maka kami menolak untuk taat mengikuti tradisi dan
perintah manusia.
Sementara Gereja Katolik mengaku bertanggungjawab atas perobahan
hari Sabat, para pendahulu Protestant, di era reformasi maupun sebelum
reformasi, mengakui bahwa perobahan itu tidak berdasarkan firman Tuhan
maupun restu para Rasul, tetapi oleh manusia, melalui tindakan gereja.
Sehubungan dengan perobahan ini, berikut beberapa bukti catatan
sejarah. Pengakuan Iman Augsburg tahun 1530, artikel XXVIII,
mengatakan:
Mereka (Katolik) mengatakan bahwa probahan hari Sabat kepada hari Tuhan,
berlawanan, sebagaimana terdapat di dalam firman Allah; dan mereka tidak mempunyai
contoh di mulut mereka sehubungan dengan perobahan Sabat. Mereka membutuhkan
kuasa Gereja untuk menjadi sangat besar, karena mereka telah membuang satu perintah
dari hukum Allah. Philip Scaff, The Creeds of the Christendom, vol. 3, hal. 64.
Sejarawan Jerman, Johann August mengatakan:
Perayaan hari Minggu, sebagaimana perayaan hari-hari lainnya, senantiasa hanya
merupakan penetapan manusia, dan adalah jauh dari keinginan para Rasul untuk
meninggikan hukum Tuhan dalam hal ini, jauh dari keinginan para Bapa gereja, dalam
memindahkan hukum Sabat kepada hari Minggu. The History of the Christian Religion
and Church, Roses translation (1831), vol. 1, hal. 186.
Robert W. Dale, seorang Congregationlist Inggris mengatakan:
Sabat dibangun pada suatu perintah Tuhan yang khusus. Kita dapat mengatakan bahwa
tidak ada perintah demikian yang mewajibkan kita untuk memelihara hari Minggu. - The
Ten Commandments (1891), hal. 100.
Isaac Williams, seorang Doctor Anglican mengakui bahwa:
Alasan mengapa kami memelihara hari pertama gantinya hari ketujuh adalah (juga)
untuk alasan yang sama sebagaimana kami memelihara hal-hal yang lain, bukan karena
Alkitab, tetapi karena gereja telah memerintahkan hal itu. - Plain Sermon on the
Catechism (1882), vol. 1, hal. 336.
Seorang Congregationalist Amerika, Lyman Abbott, mengatakan
bahwa:
Dugaan yang beredar bahwa Kristus dan para Rasul secara berwenang menggantikan
hari ketujuh dengan hari pertama itu secara mutlak tidak ada satu pun perintah di dalam
Perjanjian Baru. - Christian Union, 26 Juni 1890.
F. W. Farrar, seorang Dekan Anglican Inggris, mengatakan bahwa:
Gereja Kristen membuatnya dengan tidak resmi, tetapi berangsur-angsur dan hampir
tidak disadari, memindahkan suatu hari ke hari yang lain. The Voice From Sinai (1892),
hal. 167.
Canon Aglican Eyton dari Westminster, di dalam The Ten
Commandments (1894), halaman 62, menambahkan:
Tidak ada kata, tidak ada petunjuk, di dalam Perjanjian Baru tentang berhenti bekerja
pada hari Minggu.
N. Summerbell mengatakan dengan tegas bahwa:
Gereja Roma Katolik yang telah merobah hukum keempat, membuang jauh Sabat firman
Allah, dan melembagakan hari Minggu sebagai hari suci. History of the Christian, hal.
418.

William E. Gladstone, seoang negarawan yang empat kali menjadi


Perdana Menteri Inggris mengatakan bahwa:
Hari ketujuh telah dihilangkan dari namanya (gelarnya) untuk kewajiban perayaan
agama, dan keistimewaannya (hari ketujuh) telah dipindahkan kepada hari pertama;
tanpa tuntunan dan aturan firman Allah. Later Gleanings, hal. 342.
Data-data sejarah yang kami sajikan ini adalah sedikit dari begitu
banyak data yang dapat kami tunjukkan, yang sekiranya dapat menolong
kita untuk menyadari betapa suatu perobahan telah terjadi sehubungan
dengan hari kudus Allah. Suatu tindakan pelanggaran terhadap hukum
dan kewibawaan Allah justru dilakukan oleh sebuah lembaga gereja,
kumpulan orang-orang yang mengaku percaya dan setia kepada-Nya.

7. Hari Sabat Diubah Oleh Kekuasaan Gereja Roma.


Jawaban resmi dari Kepausan kepada penganut Protestant diberikan
kepada konsili di Trent (1545-1563). Di sinilah penolakan akhir secara
sadar dan kutukan terhadap ajaran reformasi tentang supremasi Alkitab,
dan terhadap topik-topik firman Tuhan yang lainnya telah terjadi.
Persoalan yang mendasar ialah secara nyata gereja Katolik mensejajarkan
dan bahkan mengunggulkan tradisi melebihi Alkitab sebagai suatu dasar
dan aturan iman.
Selama sidang ketujuh, Cardinal Casper del Fosso, bishop agung dari
Reggio, pada tanggal 18 Januari 1562, menegaskan bahwa tradisi gerejawi
bertumbuh terus-menerus dari gereja Katolik. Ia menunjuk kepada
perobahan yang telah lama ditetapkan sehubungan dengan penggantian
hari Sabat kepada hari Minggu, sebagai bukti dari kedudukan gereja
Katolik yang diinspirasikan. Ia menyatakan bahwa perobahan itu tidak
dapat dibuat berdasarkan perintah Kristus, tetapi berdasarkan otoritas
gereja Katolik, yang mana perobahan itu diterima oleh kaum Protestant.
Pembicaraannya tersebut kemudian menjadi faktor yang menentukan
bagi keputusan dari konsili tersebut. Dan sejak di Trent itulah perobahan
hari Sabat kepada hari Minggu diakui oleh Roma Katolik sebagai bukti dari
kekuasaan gereja untuk mengubah, bahkan perintah Allah sekalipun.
(Lihat ringkasan Kredo Paus Pius IV di dalam bukunya Joseph Faa di
Bruno, Catholic Belief, 1948, hal. 152-155; dan juga Henry Schroeder
(tr.) Cannons and Decrees of the Coucil of Trent 1937.)

8. Mengapa hari Sabat disucikan?


Di dalam Cathechism of the Council of Trent (Catechismus Romanus)
terdapat argumentasi yang licik, sebagaimana yang pernah diadakan di
Trent, bahwa sementara prinsip Sabat adalah berhubungan dengan moral,
dan sifatnya kekal, maka elemen waktu dari Sabat itu sendiri bersifat
sementara. Dan karena hari ketujuh merupakan waktu sementara yang
ditentukan untuk orang Yahudi di zaman Perjanjian Lama, maka gereja
induk Katolik, di dalam kekuasaan, wibawa, dan pengertian yang dalam
dari para utusan yang hadir, ditunjuk sebagai satu-satunya pemelihara,
serta penafsir tradisi yang tidak pernah salah, telah memindahkan
kekhikmatan dan kekudusan hari ketujuh kepada hari pertama. (Dovan,
Catechism of the Council of Trent 1867, hal. 340, 342; baca juga Labbe
and Cossart, Sacrosancta Concilia; Fra Paolo Sapri, Histoire du Concille de
Trente, vol. 2; H.J. Holtzman, Canon and the Tradition; T.A. Buckley, A
History of the Council of the Trent, dan lain-lain.)
Satu hal yang boleh ditambahkan di sini ialah bahwa gereja Roma Katolik
boleh jadi mencela kesungguh-sungguhan Protestant yang mengaku
mengikuti Alkitab sebagai satu-satunya aturan iman dan tingkah laku,
namun pada kenyataannya mengikuti wibawa dan contoh dari tradisi
gereja Katolik.7[7]
Mengapa kami menguduskan hari Sabat? Hal ini karena kami percaya
bahwa Yesus Kristus yang adalah pencipta segala sesuatu (Yohanes 1:3,
10; 1 Korentus 13:8), dan yang adalah pembuat Sabat yang asli, yang
adalah tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-
lamanya (Ibrani 13:8), tidak pernah membuat perobahan atas hari Sabat,
dan Ia justru memberikan otoritas untuk tidak merobah hari Sabat (Ibrani
4:9; baca juga ayat 1-13).
Oleh karena itu kami percaya bahwa selama hukum Sabat ini
tidak dirobah oleh Tuhan, dan bahwa perobahan yang telah terjadi ini
telah terlebih dahulu dinubuatkan di dalam firman Tuhan, maka kami akan
secara khikmat mengingat dan menguduskan hari Sabat yang asli,
yaitu hari ketujuh menurut Sepuluh Perintah Allah, yang secara jelas
tertulis.
Dengan seluruh kerendahan hati kami ingin mengatakan bahwa kami
menguduskan hari Sabat oleh karena mengikuti contoh yang Allah sendiri
tinggalkan untuk manusia, yaitu berhenti, berkati, dan kuduskan hari
Sabat, dan kami merasa bangga berada di dalam perhentian bersama
Allah, di dalam hari yang kudus ini, dan di dalamnya kami dikuduskan, dan
di dalam kekudusan, kami menikmati berkat yang disediakan-Nya setiap
saat untuk hari Sabat.
Kami percaya bahwa hari Sabat adalah tanda kekal antara Allah dan
manusia, yaitu tanda peringatan kuasa daya cipta Allah, dan bahwa hari
Sabat akan tetap menjadi tanda yang kekal dari keadilan dan
kemahakuasaan pemerintahan Allah, dan bahwa sampai di dalam
kerajaan Sorga, semua umat tebusan akan terus datang ke hadirat Allah
dan meyembah-Nya pada hari Sabat (Yesaya 66:22, 23).
Inilah kekekalan hari Sabat, yaitu hari yang dikuduskan oleh Allah pada
akhir pekan pertama dari penciptaan dunia, dan hari Sabat ini berbeda
dari hari sabat dalam deretan hari-hari raya orang Yahudi. Sementara
hari-hari raya orang Yahudi itu adalah bayangan atau lambang tentang
Yesus, yang tentunya telah digenapi oleh Yesus pada kedatangan-Nya
7[7] Mgr. Louis de Segur, seorang Uskup agung Prancis (Plain Talk About Protestantism of Today,
1868, hal. 213, dengan izin terbit oleh Johannes Josephus) mengatakan :Adalah gereja Katholik,
oleh kuasa Yesus Kristus, telah memindahkan perintah ini kepada hari Minggu dalam memperingati
kebangkitan Tuhan kita. Kemudian pemeliharaan hari Minggu oleh Protestant adalah suatu
penghormatan yang mereka berikan kepada otoritas Gereja (Katolik).

The Catholic Miror, organ resmi dari James Cardinal Gibons, (23 Sept. 1893) dalam satu dari
empat seri tajuk rencana, dalam cara yang sama menegaskan :

Gereja Katolik, untuk selama seribu tahun sebelum Protestant lahir, dalam menjalankan missi
Ilahi, telah mengobah hari Sabtu ke hari Minggu. Protestant, pada saat kelahirannya (Reformasi
abad keenam belas) menemukan Sabat Kristen secara kuat berakar, hal mana pada saat itu
Sabat Kristen diterima tanpa ada perdebatan argumentasi, sehingga secara tidak langsung
menyatakan bahwa gereja mempunyai hak untuk merobah hari itu, untuk lebih dari tiga ratus
tahun. Oleh karena itu Sabat Kristen hingga kini diakui oleh keturunan Gereja Katolik sebagai istri
dari Roh Kudus, diterima tanpa bantahan atau perdebatan dari dunia Protestant. - (Baca juga
James Cardinal Gibons, The Faith of Our Fathers, 1893, hal. 111; J.I. Von Dolinger, The First Ages
of Christianity and the Church, vol. 2, hal. 206, 207.)
yang pertama, dikorbankan sebagai Anak Domba Allah yang tidak ada
cacat dan cela, maka hari Sabat Allah, yaitu hari yang Dia sendiri
kuduskan, yaitu hari ketujuh, tidak pernah digantikan-Nya dengan hari
yang lain, bahkan hari Minggu sekalipun.
Dan dalam menguduskan hari Sabat, kami percaya memperoleh berkat
ganda, yaitu pertama, berkat yang telah diberikan-Nya melalui
memberkati hari itu pada awal dunia, kedua, menikmati berkat
persekutuan bersama dengan Allah di dalam kekudusan-Nya, karena Dia
menguduskan hari Sabat, dan ketiga, menikmati berkat melalui berhenti
dari pekerjaan jasmani, dan mendalami firman Tuhan, baik secara pribadi,
maupun secara kelompok, di rumah, maupun di tempat pertemuan
umum, sepanjang hari itu. Sungguh, hari Sabat merupakan hari istimewa,
di mana Allah sendiri yang mengkhususkannya untuk kita, ya, untuk
semua manusia.
Dan bahwa dalam kehidupan-Nya di dunia, Yesus juga telah membiasakan
diri dalam menguduskan hari Sabat (Lukas 4:16), dan juga merupakan
kebiasaan para Rasul (Kisah Para Rasul 13:14, 42-44; 14:1-3; 16:13;
17:2; Ibrani 4:9), sehingga adalah benar bahwa menguduskan hari Sabat
itu tidak legalistik.
Oleh karena itu kami juga mengundang para pembaca sekalian untuk
bersama-sama menguduskan hari Sabat sebagai bukti tanda kasih kita
kepada Allah pencipta kita. Karena jika kita melakukan kehendak-Nya,
maka pada saat yang sama, kita menghidupkan hukum yang
memerdekakan kita dari dosa (Yakobus 1:25; 2:12), dan itu berarti kita
berada di dalam Dia, dan bahwa adalah kewajiban kita untuk hidup
seperti Kristus telah hidup (1Yohanes 2:5, 6). Rasul Yohanes mengatakan
bahwa tanda kita mengenal Allah jika kita menuruti perintah-Nya (1
Yohanes 2:3). Tetapi jika kita tidak hidup sesuai dengan kehendak Tuhan,
tidak menuruti perintah-Nya, termasuk tidak menguduskan hari Sabat,
maka kehidupan kekristenan kita hanyalah suatu praktek keagamaan
yang jauh dari maksud-Nya (baca Matius 7:21-23). Orang yang mengaku
percaya kepada Yesus tetapi tidak menuruti perintah Allah, menurut rasul
Yohanes, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada
kebenaran (1 Yohanes 2:4).
Adalah benar bahwa Allah memerintahkan seluruh umat manusia, umat
tebusan-Nya, untuk ingat dan kuduskan hari Sabat (Keluaran 20:8),
sebagaimana juga Yesus yang adalah Tuhan, tunduk menjalankan perintah
tersebut dengan menguduskan hari Sabat (Lukas 4:16), dan sungguh,
para pembaca sekalian tidak serta merta menjadi legalistik dengan
menguduskan hari Sabat. Itu justru menegakkan perintah Allah pencipta
alam semesta.
Doa dan harapan kami adalah kiranya Roh Kudus menolong pada
pembaca sekalian untuk memahami penjelasan ini dan kiranya Roh yang
sama menyanggupkan anda untuk menguduskan hari Sabat, hari yang
dikuduskan oleh Yesus pada awal penciptaam dunia (Kejadian 2:1-3), hari
yang dikuduskan oleh Yesus pada saat menjelma menjadi manusia (Lukas
4:16), hari yang disediakan oleh Yesus bagi umat Allah di akhir zaman
(Ibrani 4:9).
Tuhan Yesus kiranya akan selalu memberkati kita sekalian, A m i n .

Anda mungkin juga menyukai